http://www.suarapembaruan.com/News/1998/08/280898/OpEd/op06/op06.html SUARA PEMBARUAN DAILY
Kurikulum Matematika Pra-universitas Oleh: Hendra Gunawan Mendikbud Prof. Dr. Juwono Sudarsono baru-baru ini mengungkapkan Niatnya untuk merevisi mata pelajaran matematika di sekolah dasar dan menengah, yang selama ini dinilai banyak kalangan terlalu melelahkan dan memberatkan siswa. Menurut Mendikbud mata pelajaran matematika di sekolah dasar idealnya hanya diberikan selama 4-5 jam per minggu, tidak lebih dari 6 jam per minggu, sebagaimana diberikan sekarang ini (Suara Pembaruan, 3 Agustus 1998). Yang menarik, Mendikbud menyatakan, ''pelajaran matematika sesungguhnya sangat baik bagi siswa untuk mengembangkan otak bagian Sebelah kiri, (yakni) daya analisis rasional dan (kemampuan) berpikir logis.'' Karena itu, lanjutnya, ''siswa yang menguasai matematika, fisika, atau kimia, sangat berpotensi untuk mengembangkan diri.'' Sebelum niat merevisi kurikulum matematika sekolah dasar dan menengah itu dilakukan, ada baiknya dipahami betul apa matematika itu, mengapa matematika harus diajarkan dan bagaimana sebaiknya matematika diajarkan, baik oleh penyusun kurikulum maupun guru di sekolah. Matematika Itu Apa? Selama ini masih banyak orang yang menganggap bahwa matematika tidaklah lebih dari sekadar berhitung Dan bermain dengan rumus dan angka-angka. Melalui suatu angket, saya pernah bertanya kepada sejumlah mahasiswa baru yang pada waktu itu baru saja diterima di perguruan tinggi terkemuka di negara kita. ''Menurut Anda, matematika itu apa?'' Jawaban yang saya peroleh dari mereka hampir seragam. Yaitu, matematika adalah ilmu hitungmenghitung yang senantiasa berurusan dengan rumus dan angka-angka (Hendra Gunawan, ''Matematika Bukan Sekadar Berhitung'', Pikiran Rakyat, 16/01/1998). Memperoleh jawaban seperti itu, saya berkesimpulan bahwa mestilah ada yang salah dengan kurikulum matematika sekolah dasar dan menengah (serta bimbingan belajar!), yang menyebabkan mereka berpandangan keliru tentang matematika. Beban kurikulum matematika yang terlalu berat mungkin merupakan salah satu biang keladinya. Berhitung, atau tepatnya aritmatika dengan keempat operasi dasarnya (yaitu penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian), memang lazim diajarkan kepada siswa di sekolah dasar, sebelum mereka mempelajari matematika lebih jauh di sekolah menengah dan perguruan tinggi kelak. Namun, sebagaimana halnya musik bukan sekadar bernyanyi, matematika bukan sekadar berhitung atau berkutat dengan rumus dan angka-angka. Matematika menuntut pula kemampuan berpikir eksploratif dan kreatif. Karena itu, berbeda dengan Cerdas Cermat atau Cepat Tepat yang hanya menanyakan soal-soal berhitung dalam waktu yang amat singkat. Misalnya, Olimpiade Matematika Internasional (IMO) selalu mengetengahkan soal-soal matematika yang memerlukan perumusan dan pemecahan masalah dengan argumentasi yang ketat. Setiap hari selama Dua hari berturut-turut peserta IMO - siswa SMU atau sederajat dari berbagai negara termasuk Indonesia - diberi waktu 4 1/2 jam untuk mengerjakan tiga soal semacam itu. Mereka dalam hal ini dituntut lebih banyak berpikir eksploratif dan kreatif daripada sekadar berhitung mekanis dan prosedural. Lalu bagaimana prestasi siswa terbaik kita di IMO 1998? Sungguh amat menyedihkan! Mengapa Diajarkan Banyak orang mengatakan bahwa matematika itu berguna, diperlukan dalam pekerjaan dan kehidupan sehari-hari, serta terpakai dalam berbagai bidang ilmu dan teknologi. Karena itu anak-anak kita di sekolah harus bisa berhitung, menyelesaikan persamaan, menggambar grafik, menghitung integral dan sebagainya. Semuanya harus diajarkan, termasuk logika, statistik dan teori graf. Pokoknya jangan sampai ada yang
terlewatkan! Namun kita rupanya lupa bahwa matematika adalah ilmu yang berkembang sejak ribuan tahun lalu dan masih tumbuh subur hingga kini. Tidak mungkin bisa semaunya kita ajarkan kepada siswa di sekolah. Bahkan, seorang doktor matematika yang paling jenius pun takkan pernah dapat menguasai seluruh materi matematika. Jadi, seharusnya bukan materinya yang kita kejar, tetapi tujuannya. Matematika diajarkan karena matematika melatih siswa berpikir dan berargumentasi. Tidak hanya mengasah fungsi otak kiri, yaitu berpikir logis, analitis, kritis, detil, runtut, berurutan dan sistematis, tetapi juga mengasah fungsi otak kanan, seperti berpikir alternatif, eksploratif dan kreatif, serta kemampuan desain dan optimasi. Melalui matematika, siswa dapat pula dibiasakan bekerja efisien, selalu berusaha mencari jalan yang lebih sederhana dan lebih singkat (tanpa mengurangi keefektivannya, juga cermat dan tidak ceroboh, serta ketat dalam berargumentasi alias tidak sembarang omong atau tulis (Hendra Gunawan, Mengapa Matematika Harus Diajarkan, Suara Pembaruan, 24/05/1998). Semua ini penting untuk diingat oleh penyusun kurikulum matematika, juga guru dilapangan, agar materi tidak terlalu padat, sehingga siswa punya waktu cukup untuk mengendapkan apa yang telah diperoleh dan mengembangkan kemampuan berpikir secara optimal. Lalu bagaimana sebaiknya matematika diajarkan? Pada dasarnya, matematika adalah pemecahan masalah (problem solving). Karena itu, matematika sebaiknya diajarkan melalui berbagai masalah yang ada di sekitar kita. Tentu dengan memperhatikan Usia dan pengalaman yang mungkin dimiliki siswa. Untuk siswa sekolah dasar misalnya, matematika sebaiknya diajarkan sambil bermain (konkret), jangan langsung memperkenalkan simbol dan aturan macam-macam (abstrak). Terilhami oleh pengalaman seorang teman, saya bereksperimen dengan seorang keponakan saya yang masih berusia empat tahun. Saya hadapkan ia kepada dua kumpulan kelereng. Yang pertama terdiri dari dua butir kelereng, yang kedua empat butir kelereng. Saya bertanya kepada dia: ''Mana yang lebih banyak?''. Dengan cepat ia menunjuk ke arah kumpulan yang kedua. Lalu saya lanjutkan, supaya sama banyaknya, apa yang harus dilakukan? Saya berharap bahwa ia akan mengambil dua kelereng yang bertebaran di sekitarnya lalu menambahkan ke kumpulan yang pertama. Ternyata, ia mengambil dua butir kelereng dari kumpulan yang kedua, sehingga banyaknya kelereng yang tersisa tinggal dua butir, sama dengan banyaknya kelereng pada kumpulan pertama! Saya jadi berpikir, apakah ada cara lain? Bukankah kita juga dapat mengambil satu butir kelereng dari kumpulan kedua dan kemudian menambahkannya pada kumpulan pertama, sehingga banyaknya kelereng pada kedua kumpulan menjadi sama-sama tiga butir? Dan masih banyak cara yang lain. Apa yang dapat kita petik dari contoh sederhana tersebut? Pertama, tanpa mengenal simbol dan aturan macam-macam, seorang anak berusia sekitar 4 tahun pun dapat bermatematika. Kedua, banyak persoalan di sekitar kita yang dapat kita pakai untuk mengajarkan matematika kepada anak-anak kita. Ketiga, suatu masalah kadang mempunyai banyak pemecahan. Kemampuan berpikir alternatif dan eksploratif, yang sesungguhnya amat melekat dengan matematika yang dapat ditumbuhkan melalui persoalan semacam itu. Jadi, jelaslah persoalannya bukan berapa jam mata pelajaran matematika mesti diajarkan di sekolah, tetapi bagaimana sebaiknya matematika diajarkan kepada siswa. Bila diajarkan dengan baik dan benar, siswa malah bisa ''ketagihan'', seperti yang terjadi di sekolah dasar eksperimental Mangunan yang dikelola Romo Mangunwijaya. *** Penulis adalah dosen matematika ITB, Bandung Last modified: 8/28/98
(Halim 'Mat-96)