Kumpulan Artikel Seputar Idul Fitri

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kumpulan Artikel Seputar Idul Fitri as PDF for free.

More details

  • Words: 39,896
  • Pages: 110
Kumpulan Artikel Seputar Idul Fitri Daftar isi Zakat Fitrah Pensuci Jiwa Hukum Seputar Zakat Fitrah Meneladani Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam Ber'idul Fithri Seputar Zakat Fitrah dan Hari Raya ‘Iedul Fitri Shalat Ied & Hal-hal yang Berkaitan dengannya Kekeliruan & Kesalahan di Hari Raya Hukum Mengangkat Tangan Pada Takbir-Takbir Jenazah Dan Dua Shalat ‘Ied (Iedul Fithri Dan Iedul Adha) Tuntunan para Salaf dalam bertakbir disaat hari Raya Hukum Seputar Iedul Fitri Fatwa Seputar Sholat ‘Ied Shalat Ied di Lapangan Sunnah Ied yang Hampir Terlupakan Ucapan Selamat Pada Hari Raya Hukum dalam puasa Sunnah 6 hari bulan Syawal Mendulang Pahala Pasca Ramadhan Hukum Seputar Puasa Syawal Bid'ah Hari Raya Ketupat (Hari Raya Al Abrar) Ziarah Kubur Bid'ahnya Anggapan Sial Menikah Di Bulan Syawal

Zakat Fitrah Pensuci Jiwa Penulis: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc. Zakat Fitri, atau yang lazim disebut zakat fitrah, sudah jamak diketahui sebagai penutup rangkaian ibadah bulan Ramadhan. Bisa jadi sudah banyak pembahasan seputar hal ini yang tersuguh untuk kaum muslimin. Namun tidak ada salahnya jika diulas kembali dengan dilengkapi dalil-dalilnya. Telah menjadi kewajiban atas kaum muslimin untuk mengetahui hukum-hukum seputar zakat fitrah. Ini dikarenakan Allah Subhanahu wa Ta'ala mensyariatkan atas mereka untuk menunaikannya usai melakukan kewajiban puasa Ramadhan. Tanpa mempelajari hukum-hukumnya, maka pelaksanaan syariat ini tidak akan sempurna. Sebaliknya, dengan mempelajarinya maka akan sempurna realisasi dari syariat tersebut. Hikmah Zakat Fitrah Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, ia berkata: ‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ َوَ  َ َزآَ َة ا ِْْ ِ ُْ َ ًة ِ ِ ِ ِ ْ ا ْ ِ َو‬ ُ ُْ‫ض َر‬ َ َ َ& ِ ِْ‫ َوُ*ْ(َ)ً ِ ْ(َ'َآ‬+ ِ َ& ‫ا‬ “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor serta sebagai pemberian makanan untuk orang-orang miskin.” (Hasan, HR. Abu Dawud Kitabul Zakat Bab. Zakatul Fitr: 17 no. 1609 Ibnu Majah: 2/395 K. Zakat Bab Shadaqah Fitri: 21 no: 1827 dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud) Mengapa disebut Zakat Fitrah? Sebutan yang populer di kalangan masyarakat kita adalah zakat fitrah. Mengapa demikian? Karena maksud dari zakat ini adalah zakat jiwa, diambil dari kata fitrah, yaitu asal-usul penciptaan jiwa (manusia) sehingga wajib atas setiap jiwa (Fathul Bari, 3/367). Semakna dengan itu Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumi menjelaskan bahwa ucapan para ulama “wajib fitrah” maksudnya wajib zakat fitrah. (Al-Mishbahul Munir: 476) Namun yang lebih populer di kalangan para ulama –wallahu a’lam– disebut ‫َزآَ ُة‬ ِ ِْْ ‫ ا‬zakat fithri atau ِ ِْْ ‫َ)ُ ا‬,-َ َ" shadaqah fithri. Kata Fithri di sini kembali kepada makna berbuka dari puasa Ramadhan, karena kewajiban tersebut ada setelah selesai menunaikan puasa bulan Ramadhan. Sebagian ulama seperti Ibnu Hajar Al-’Asqalani menerangkan bahwa sebutan yang kedua ini lebih jelas jika merujuk pada sebab musababnya dan pada sebagian penyebutannya dalam sebagian riwayat. (Lihat Fathul Bari, 3/367) Hukum Zakat Fitrah Pendapat yang terkuat, zakat fitrah hukumnya wajib. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, di antara mereka adalah Abul Aliyah, Atha’ dan Ibnu Sirin,

sebagaimana disebutkan Al-Imam Al-Bukhari. Bahkan Ibnul Mundzir telah menukil ijma’ atas wajibnya fitrah, walaupun tidak benar jika dikatakan ijma’. Namun, ini cukup menunjukkan bahwa mayoritas para ulama berpandangan wajibnya zakat fitrah. Dasar mereka adalah hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: ْ ِ ًَ" ْ‫َ(ْ ٍ َأو‬0 ْ ِ ًَ" ِ ِْْ ‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ َوَ  َ َزآَ َة ا‬ ُ ُْ‫ض َر‬ َ َ َ& ‫ل‬ َ َ, َ(ُْ1َ ُ ‫ ا‬2 َ ِ3‫ ُ(َ َ َر‬ ِ ْ4‫َ ْ ا‬ ‫ َو‬-ِ ْ5َ*ْ ‫َ*ِْ ٍ َ َ! ا‬6 !َ ‫س ِإ‬ ِ 1 ‫ج ا‬ ِ ْ‫ُ ُو‬: ; َ ْ5َ, ‫ُ َ>دى‬0 ْ‫َِ َأن‬4 َ َ ‫ َوَأ‬ َ ِْ(ِ ْ'ُ(ْ ‫ ا‬ َ ِ ِ ِْ5َ@ْ ‫َ! وَا ِْ ِ وَا‬AْBC ُ ْ‫آَ ِ َوا‬D ‫ وَا‬E ُFْ ‫ا‬ ‫ ِة‬G َ  ‫ا‬ Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menfardhukan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas budak sahaya, orang merdeka, laki-laki, wanita, kecil dan besar dari kaum muslimin. Dan Nabi memerintahkan untuk ditunaikan sebelum keluarnya orangorang menuju shalat (Id).” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitabuz Zakat Bab Fardhu Shadaqatul Fithri 3/367, no. 1503 dan ini lafadznya. Diriwayatkan juga oleh Muslim) Dalam lafadz Al-Bukhari yang lain: ِْ*َ6 ْ ِ ًَ" ْ‫َ(ْ ٍ َأو‬0 ْ ِ ًَ" ِ ِْْ ‫آَ ِة ا‬Hَ ِ4 َ  َ‫ "َ ! ا ُ َ َِْ َو‬2 I ِ51 ‫ٍأ  ا‬ “Nabi memerintahkan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.” (HR. Al-Bukhari no. 1507) Dari dua lafadz hadits tersebut nampak jelas bagi kita bahwa Nabi menfardhukan dan memerintahkan, sehingga hukum zakat fitrah adalah wajib. Dalam hal ini, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Adapula yang berpendapat, hukumnya adalah hanya sebuah amal kebaikan, yang dahulu diwajibkan namun kemudian kewajiban itu dihapus. Pendapat ini lemah karena hadits yang mereka pakai sebagai dasar lemah menurut Ibnu Hajar. Sebabnya, dalam sanadnya ada rawi yang tidak dikenal. Demikian pula pendapat yang sebelumnya juga lemah. (Lihat At-Tamhid, 14/321; Fathul Bari, 3/368, dan Rahmatul Ummah fikhtilafil A`immah hal. 82) Siapa yang Wajib Berzakat Fitrah? Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan dalam hadits sebelumnya bahwa kewajiban tersebut dikenakan atas semua orang, besar ataupun kecil, laki-laki ataupun perempuan, dan orang merdeka maupun budak hamba sahaya. Akan tetapi untuk anak kecil diwakili oleh walinya dalam mengeluarkan zakat. Ibnu Hajar mengatakan: “Yang nampak dari hadits itu bahwa kewajiban zakat dikenakan atas anak kecil, namun perintah tersebut tertuju kepada walinya. Dengan demikian, kewajiban tersebut ditunaikan dari harta anak kecil tersebut. Jika tidak punya, maka menjadi kewajiban yang memberinya nafkah, ini merupakan pendapat jumhur ulama.” (Al-Fath, 3/369; lihat At-Tamhid, 14/326328, 335-336) Nafi’ mengatakan:

ُ ُ ْ4‫ن ا‬ َ َ@َ&2  ِ1َ4 ْ َ 2ِْ*ُِ ‫ن‬ َ َ‫! ِإنْ آ‬JَK ِ ِْ5َ@ْ ‫ ا ِْ ِ وَا‬ ِ َ 2ِْ*ُL َ َ( “Dahulu Ibnu ‘Umar menunaikan zakat anak kecil dan dewasa, sehingga dia dulu benar-benar menunaikan zakat anakku.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabuz Zakat Bab 77, no. 1511, Al-Fath, 3/375) Demikian pula budak hamba sahaya diwakili oleh tuannya. (Al-Fath, 3/369) Apakah selain Muslim terkena Kewajiban Zakat? Sebagai contoh seorang anak yang kafir, apakah ayahnya (yang muslim) berkewajiban mengeluarkan zakatnya? Jawabnya: tidak. Karena Nabi memberikan catatan di akhir hadits bahwa kewajiban itu berlaku bagi kalangan muslimin (dari kalangan muslimin). Walaupun dalam hal ini ada pula yang berpendapat tetap dikeluarkan zakatnya. Namun pendapat tersebut tidak kuat, karena tidak sesuai dengan dzahir hadits Nabi. Apakah Janin Wajib Dizakati? Jawabnya: tidak. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat tersebut kepada (anak kecil), sedangkan janin tidak disebut (anak kecil) baik dari sisi bahasa maupun adat. Bahkan Ibnul Mundzir menukilkan ijma’ tentang tidak diwajibkannya zakat fitrah atas janin. Walaupun sebetulnya ada juga yang berpendapat wajibnya atas janin, yaitu sebagian riwayat dari Al-Imam Ahmad dan pendapat Ibnu Hazm dengan catatan –menurutnya– janin sudah berumur 120 hari. Pendapat lain dari Al-Imam Ahmad adalah sunnah. Namun dua pendapat terakhir ini lemah, karena tidak sesuai dengan hadits di atas. Wajibkah bagi Orang yang Tidak Mampu? Ibnul Qayyim mengatakan bahwa: “Bila kewajiban itu melekat ketika ia mampu melaksanakannya kemudian setelah itu ia tidak mampu, maka kewajiban tersebut tidak gugur darinya. Dan tidak menjadi kewajibannya (yakni gugur) jika ia tidak mampu semenjak kewajiban itu mengenainya.” (Bada`i’ul Fawa`id, 4/33) Adapun kriteria tidak mampu dalam hal ini, maka Asy-Syaukani menjelaskan: “Barangsiapa yang tidak mendapatkan sisa dari makanan pokoknya untuk malam hari raya dan siangnya, maka tidak berkewajiban membayar fitrah. Apabila ia memiliki sisa dari makanan pokok hari itu, ia harus mengeluarkannya bila sisa itu mencapai ukurannya (zakat fitrah).” (Ad-Darari, 1/365, Ar-Raudhatun Nadiyyah, 1/553, lihat pula Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 9/369) Dalam Bentuk Apa Zakat Fitrah dikeluarkan? Hal ini telah dijelaskan dalam hadits yang lalu. Dan lebih jelas lagi dengan riwayat berikut: ‫ل‬ َ َ, ُْ1َ ُ ‫ ا‬2 َ ِ3‫ي َر‬ E ‫ْ ِر‬-ُNْ ‫ ا‬-ٍ ِْ*َ 2ِ4‫َ ْ َأ‬: ْ‫ "َ ! ا ُ َ َِْ َوَ  َ "ًَ ِ ْ َ*َ ٍم َأو‬2 E ِ51 ‫ن ا‬ ِ َ ‫ َز‬2ِ& َِْْ*ُB 1ُ‫آ‬ ِ ًَ" ْ‫َ*ِْ ٍ َأو‬6 ْ ِ ًَ" ْ‫َ(ْ ٍ َأو‬0 ْ ِ ًَ"P ٍ ِْ4‫ ْ َز‬... “Dari Abu Sa’id radhiallahu 'anhu, ia berkata: ‘Kami memberikan zakat fitrah di

zaman Nabi sebanyak 1 sha’ dari makanan, 1 sha’ kurma, 1 sha’ gandum, ataupun 1 sha’ kismis (anggur kering)’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabuz Zakat no. 1508 dan 1506, dengan Bab Zakat Fitrah 1 sha’ dengan makanan. Diriwayatkan juga oleh Muslim no. 2280) Kata ‫( َ*َ ٍم‬makanan) maksudnya adalah makanan pokok penduduk suatu negeri baik berupa gandum, jagung, beras, atau lainnya. Yang mendukung pendapat ini adalah riwayat Abu Sa’id yang lain: َ1َ َ*َ ‫ن‬ َ َ‫ َوآ‬-ٍ ِْ*َ ُ4‫ل َأ‬ َ َ,‫َْ َم ا ِْْ ِ "ًَ ِ ْ َ*َ ٍم َو‬L َ  َ‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ َو‬ ِ ُْ‫ َر‬-ِ َْ 2ِ& ‫ج‬ ُ ِ ْNُB 1ُ‫ل آ‬ َ َ, ُ ْ(J ‫ُ وَا‬Qِ,C َ ْ‫ َوا‬P ُ ِْ4H ‫*ِْ ُ وَا‬R ‫ا‬ “Ia mengatakan: ‘Kami mengeluarkannya (zakat fitrah) berupa makanan di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari Idul Fitri’. Abu Sa’id mengatakan lagi: ‘Dan makanan kami saat itu adalah gandum, kismis, susu kering, dan kurma’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitabuz Zakat Bab Shadaqah Qablal Id, Al-Fath, 3/375 no. 1510) Di sisi lain, zakat fitrah bertujuan untuk menyenangkan para fakir dan miskin. Sehingga seandainya diberi sesuatu yang bukan dari makanan pokoknya maka tujuan itu menjadi kurang tepat sasaran. Inilah pendapat yang kuat yang dipilih oleh mayoritas para ulama. Di antaranya Malik (At-Tamhid, 4/138), Asy-Syafi’i dan salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad, Ibnu Taimiyyah (Majmu’ Fatawa, 25/69), Ibnul Mundzir (Al-Fath, 3/373), Ibnul Qayyim (I’lamul Muwaqqi’in, 2/21, 3/23, Taqrib li Fiqhi Ibnil Qayyim hal. 234), Ibnu Baz dan fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah (9/365, Fatawa Ramadhan, 2/914) Juga ada pendapat lain yaitu zakat fitrah diwujudkan hanya dalam bentuk makanan yang disebutkan dalam hadits Nabi. Ini adalah salah satu pendapat AlImam Ahmad. Namun pendapat ini lemah. (Majmu’ Fatawa, 25/68) Bolehkah Mengeluarkannya dalam Bentuk Uang? Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini. Pendapat pertama: Tidak boleh mengeluarkan dalam bentuk uang. Ini adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Dawud. Alasannya, syariat telah menyebutkan apa yang mesti dikeluarkan, sehingga tidak boleh menyelisihinya. Zakat sendiri juga tidak lepas dari nilai ibadah, maka yang seperti ini bentuknya harus mengikuti perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Selain itu, jika dengan uang maka akan membuka peluang untuk menentukan sendiri harganya. Sehingga menjadi lebih selamat jika menyelaraskan dengan apa yang disebut dalam hadits. An-Nawawi mengatakan: “Ucapan-ucapan Asy-Syafi’i sepakat bahwa tidak boleh mengeluarkan zakat dengan nilainya (uang).” (Al-Majmu’, 5/401) Abu Dawud mengatakan: “Aku mendengar Al-Imam Ahmad ditanya: ‘Bolehkah saya memberi uang dirham -yakni dalam zakat fitrah-?’ Beliau menjawab: ‘Saya khawatir tidak sah, menyelisihi Sunnah Rasulullah’.” Ibnu Qudamah mengatakan: “Yang tampak dari madzhab Ahmad bahwa tidak boleh mengeluarkan uang pada zakat.” (Al-Mughni, 4/295)

Pendapat ini pula yang dipilih oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, dan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan (lihat Fatawa Ramadhan, 2/918-928) Pendapat kedua: Boleh mengeluarkannya dalam bentuk uang yang senilai dengan apa yang wajib dia keluarkan dari zakatnya, dan tidak ada bedanya antara keduanya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah. (Al-Mughni, 4/295, AlMajmu’, 5/402, Bada`i’ush-Shana`i’, 2/205, Tamamul Minnah, hal. 379) Pendapat pertama itulah yang kuat. Atas dasar itu bila seorang muzakki (yang mengeluarkan zakat) memberi uang pada amil, maka amil diperbolehkan menerimanya jika posisinya sebagai wakil dari muzakki. Selanjutnya, amil tersebut membelikan beras –misalnya– untuk muzakki dan menyalurkannya kepada fuqara dalam bentuk beras, bukan uang. Namun sebagian ulama membolehkan mengganti harta zakat dalam bentuk uang dalam kondisi tertentu, tidak secara mutlak. Yaitu ketika yang demikian itu lebih bermaslahat bagi orang-orang fakir dan lebih mempermudah bagi orang kaya. Ini merupakan pilihan Ibnu Taimiyyah. Beliau rahimahullahu mengatakan: “Boleh mengeluarkan uang dalam zakat bila ada kebutuhan dan maslahat. Contohnya, seseorang menjual hasil kebun atau tanamannya. Jika ia mengeluarkan zakat 1/10 (sepersepuluh) dari uang dirhamnya maka sah. Ia tidak perlu membeli korma atau gandum terlebih dulu. Al-Imam Ahmad telah menyebutkan kebolehannya.” (Dinukil dari Tamamul Minnah, hal. 380) Beliau juga mengatakan dalam Majmu’ Fatawa (25/82-83): “Yang kuat dalam masalah ini bahwa mengeluarkan uang tanpa kebutuhan dan tanpa maslahat yang kuat maka tidak boleh …. Karena jika diperbolehkan mengeluarkan uang secara mutlak, maka bisa jadi si pemilik akan mencari jenis-jenis yang jelek. Bisa jadi pula dalam penentuan harga terjadi sesuatu yang merugikan… Adapun mengeluarkan uang karena kebutuhan dan maslahat atau untuk keadilan maka tidak mengapa….” Pendapat ini dipilih oleh Asy-Syaikh Al-Albani sebagaimana disebutkan dalam kitab Tamamul Minnah (hal. 379-380) Yang perlu diperhatikan, ketika memilih pendapat ini, harus sangat diperhatikan sisi maslahat yang disebutkan tadi dan tidak boleh sembarangan dalam menentukan, sehingga berakibat menggampangkan masalah ini. Ukuran yang Dikeluarkan Dari hadits-hadits yang lalu jelas sekali bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menentukan ukuran zakat fitrah adalah 1 sha’. Tapi, berapa 1 sha’ itu? Satu sha’ sama dengan 4 mud. Sedangkan 1 mud sama dengan 1 cakupan dua telapak tangan yang berukuran sedang. Berapa bila diukur dengan kilogram (kg)? Tentu yang demikian ini tidak bisa tepat dan hanya bisa diukur dengan perkiraan. Oleh karenanya para ulama sekarangpun berbeda pendapat ketika mengukurnya dengan kilogram. Dewan Fatwa Saudi Arabia atau Al-Lajnah Ad-Da`imah yang diketuai Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, wakilnya Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi dan anggotanya Abdullah bin Ghudayyan memperkirakan 3 kg. (Fatawa Al-Lajnah,

9/371) Adapun Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin berpendapat sekitar 2,040 kg. (Fatawa Arkanil Islam, hal. 429) Tentang Al-Bur atau Al-Hinthah Ada perbedaan pendapat tentang ukuran yang dikeluarkan dari jenis hinthah (salah satu jenis gandum). Sebagian shahabat berpendapat tetap 1 sha’, sementara yang lain berpendapat ½ sha’. Nampaknya pendapat kedua itu yang lebih kuat berdasarkan riwayat: ٍ ْ@َ4 !ِ4‫ َأ‬S َ ِ14 ‫ن َأْ(َ َء‬  ‫ِِْ َأ‬4‫َُ َ ْ َأ‬U- َK ‫ ُْ َو َة‬ ِ 4 ‫َ ِم‬Rِ‫ُْ َ ْ ه‬0َ َ5ْ:‫َأ‬: ُ ‫ل ا ِ "َ ! ا‬ ِ ُْ‫ َر‬-ِ َْ !َ َ ‫ج‬ ُ ِ ْNُ0 ْSَBَ‫َ آ‬B‫َأ‬ ِِ4 ‫ن‬ َ ْ*َLَ5َJ‫َـ‬L ‫ِي‬D ‫ع ا‬ ِ  ِ4 ْ‫ أو‬-E ُ(ْ ِ4 ٍ ْ(َ0 ْ ِ ًَ" ْ‫َْ)ٍ َأو‬1ِK ْ ِ ِ ْL- ُ ‫ك‬ ِ ْ ُ ْ(َ(ْ ‫ُْْ وَا‬1ِ E ُFْ ‫َ َِْ َوَ  َ َ ْ َأهْ َِ ا‬ “Dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya bahwa Asma’ binti Abu Bakar dahulu di zaman Nabi dia mengeluarkan (zakat) untuk keluarganya yang merdeka atau yang sahaya dua mud hinthah atau satu sha’ kurma dengan ukuran mud atau sha’ yang mereka pakai untuk jual beli.” (Shahih, HR. Ath-Thahawi dalam Ma’ani Al-Atsar, 2871, Ibnu Abi Syaibah dan Ahmad. Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: “Sanadnya shahih, sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim.” Lihat Tamamul Minnah hal. 387) Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, dan di masa sekarang Al-Albani. Waktu Mengeluarkannya Menurut sebagian ulama bahwa jatuhnya kewajiban fitrah itu dengan selesainya bulan Ramadhan. Namun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkan bahwa waktu pengeluaran zakat fitrah itu sebelum shalat sebagaimana dalam hadits yang lalu. ‫ ِة‬G َ  ‫س ِإ َ! ا‬ ِ 1 ‫ج ا‬ ِ ْ‫ُ ُو‬: ; َ ْ5َ, ‫ُ َ>دى‬0 ْ‫َِ َأن‬4 َ َ ‫َوَأ‬ “Dan Nabi memerintahkan agar dilaksanakan sebelum orang-orang keluar menuju shalat.” Dengan demikian, zakat tersebut harus tersalurkan kepada yang berhak sebelum shalat. Sehingga maksud dari zakat fitrah tersebut terwujud, yaitu untuk mencukupi mereka di hari itu. Namun demikian, syariat memberikan kelonggaran kepada kita dalam penunaian zakat, di mana pelaksanaannya kepada amil zakat dapat dimajukan 2 atau 3 hari sebelum Id berdasarkan riwayat berikut ini: ِ َْ َْL ْ‫َِْ ٍم َأو‬4 ِ ِْْ ‫; ا‬ َ ْ5َ, ‫ن‬ َ ُْْ*Lُ ‫ُا‬Bَ‫ََ َوآ‬Bُْ َ5ْZَL َ ْLDِ  ‫ُ*َِْْ ا‬L َ(ُْ1َ ُ ‫ ا‬2 َ ِ3‫ ُ(َ َ َر‬ ُ ْ4‫ن ا‬ َ َ‫آ‬ “Dulu Abdullah bin Umar memberikan zakat fitrah kepada yang menerimanya1. Dan dahulu mereka menunaikannya 1 atau 2 hari sebelum hari Id.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabuz Zakat Bab 77 no. 1511 Al-Fath, 3/375) Dalam riwayat Malik dari Nafi’:

َ‫ ُ(َ َ آ‬ َ ْ4 ِ ‫ ا‬-َ ْ5َ ‫ن‬  ‫َ)ٍَأ‬UG َ َU ْ‫ َأو‬ ِ َْ َِْ4 ِ ِْْ ‫; ا‬ َ ْ5َ, [ُ -َ ْ1ِ \ُ َ(ْ]ُ0 ‫ِي‬D ‫آَ ِة ا ِْْ ِ ِإ َ! ا‬Hَ ِ4 + ُ َ*ْ5َL ‫ن‬ َ “Bahwasanya Abdullah bin Umar menyerahkan zakat fitrahnya kepada petugas yang zakat dikumpulkan kepadanya, 2 atau 3 hari sebelum Idul Fitri.” (AlMuwaththa`, Kitabuz Zakat Bab Waqtu Irsal Zakatil Fithri, 1/285. Lihat pula AlIrwa` no. 846) Sehingga tidak boleh mendahulukan lebih cepat daripada itu, walaupun ada juga yang berpendapat itu boleh. Pendapat pertama itulah yang benar, karena demikianlah praktek para shahabat. Bolehkan Mengeluarkan Zakat Fitrah Setelah Shalat Id? Hal ini telah dijelaskan oleh hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini: ‫ل‬ َ َ, ‫س‬ ٍ 5َ ِ ْ4‫َ ْ ا‬: ً)َ(ْ*ُ‫ َو‬+ ِ َ& ‫ ا ْ ِ وَا‬ َ ِ ِ ِ ِ ‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ َوَ  َ َزآَ َة ا ِْْ ِ َُْ ًة‬ ُ ُْ‫ض َر‬ َ َ َ& 2 َ َِ& ‫ ِة‬G َ  ‫; ا‬ َ ْ5َ, َ‫ َ ْ َأداه‬ ِ ِْ‫ت ِ ْ(َ'َآ‬ ِ َ,-َ  ‫ ا‬ َ ِ ٌ)َ,-َ َ" 2 َ َِ& ‫ ِة‬G َ  ‫ ا‬-َ ْ*َ4 َ‫ُْ َ)ٌ َو َ ْ َأداه‬5ْZَ ٌ‫َزآَة‬ Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor serta sebagai pemberian makanan bagi orang-orang miskin. Maka barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (Id) maka itu zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka itu hanya sekedar sedekah dari sedekah-sedekah yang ada.” (Hasan, HR. Abu Dawud Kitabuz Zakat Bab Zakatul Fithr, 17 no. 1609, Ibnu Majah, 2/395 Kitabuz Zakat Bab Shadaqah Fithri, 21 no. 1827, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud) Ibnul Qayyim mengatakan: “Konsekuensi dari dua2 hadits tersebut adalah tidak boleh menunda penunaian zakat sampai setelah Shalat Id; dan bahwa kewajiban zakat itu gugur dengan selesainya shalat. Inilah pendapat yang benar karena tiada yang menentang dua hadits ini dan tidak ada pula yang menghapus serta tidak ada ijma’ yang menghalangi untuk berpendapat dengan kandungan 2 hadits itu. Dan dahulu guru kami (Ibnu Taimiyyah) menguatkan pendapat ini serta membelanya.” (Zadul Ma’ad, 2/21) Atas dasar itu, maka jangan sampai zakat fitrah diserahkan ke tangan fakir setelah Shalat Id, kecuali bila si fakir mewakilkan kepada yang lain untuk menerimanya. Sasaran Zakat Fitrah Yang kami maksud di sini adalah mashraf atau sasaran penyaluran zakat. Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini. Sebagian ulama mengatakan sasaran penyalurannya adalah orang fakir miskin secara khusus. Sebagian lagi mengatakan, sasaran penyalurannya adalah sebagaimana zakat yang lain, yaitu 8 golongan sebagaimana tertera dalam surat At-Taubah 60. Ini merupakan pendapat Asy-Syafi’i, satu riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih oleh

Ibnu Qudamah (Al-Mughni, 4/314). Dari dua pendapat yang ada, nampaknya yang kuat adalah pendapat yang pertama. Dengan dasar hadits Nabi yang lalu: ‫ل‬ َ َ, ‫س‬ ٍ 5َ ِ ْ4‫َ ْ ا‬: ‫ض‬ َ َ َ& ً)َ(ْ*ُ‫ َو‬+ ِ َ& ‫ ا ْ ِ وَا‬ َ ِ ِ ِ ِ ‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ َوَ  َ َزآَ َة ا ِْْ ِ َُْ ًة‬ ُ ُْ‫َر‬ ِ ِْ‫ ِ ْ(َ'َآ‬ Dari Ibnu Abbas ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor serta sebagai pemberian makanan bagi orang-orang miskin.” Ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, AsySyaukani dalam bukunya As-Sailul Jarrar3 dan di zaman ini Asy Syaikh AlAlbani, dan difatwakan Asy-Syaikh Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, dan lain-lain. Ibnul Qayyim mengatakan: “Di antara petunjuk beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, zakat ini dikhususkan bagi orang-orang miskin dan tidak membagikannya kepada 8 golongan secomot-secomot. Beliau tidak pula memerintahkan untuk itu serta tidak seorangpun dari kalangan shahabat yang melakukannya. Demikian pula orang-orang yang setelah mereka.” (Zadul Ma’ad, 2/21, lihat pula Majmu’ Fatawa, 25/75, Tamamul Minnah, hal. 387, As-Sailul Jarrar, 2/86, Fatawa Ramadhan, 2/936) Atas dasar itu, tidak diperkenankan menyalurkan zakat fitrah untuk pembangunan masjid, sekolah, atau sejenisnya. Demikian difatwakan oleh AlLajnah Ad-Da`imah (9/369). Definisi Fakir Para ulama banyak membicarakan hal ini. Terlebih, kata fakir ini sering bersanding dengan kata miskin, yang berarti masing-masing punya pengertian tersendiri. Pembahasan masalah ini cukup panjang dan membutuhkan pembahasan khusus. Namun di sini kami akan sebutkan secara ringkas pendapat yang nampaknya lebih kuat: Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya (8/168) menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam hal perbedaan antara fakir dan miskin sampai 9 pendapat. Di antaranya, bahwa fakir lebih membutuhkan daripada miskin. Ini adalah pendapat Asy-Syafi’i dan jumhur sebagaimana dalam Fathul Bari. (Dinukil dari Imdadul Qari, 1/236-237) Di antara alasannya adalah karena Allah Subhanahu wa Ta'ala lebih dahulu menyebut fakir daripada miskin dalam surat At-Taubah: 60. ‫ت‬ ُ َ,-َ  ‫(َ ا‬B‫ َ ََْ ِإ‬ َ ِْ ِ َ*ْ ‫ وَا‬ ِ ِْ‫ََا ِء وَا ْ(َ'َآ‬Zُْ ِ

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat…” Tentu Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan dari yang terpenting. Juga dalam surat Al-Kahfi: 79, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

ً5َْ` ٍ)َ1َِْ ;  ُ‫ آ‬Dُ ُ:ْaَL ٌbِ َ ُْ‫ن َورَا َءه‬ َ َ‫ََ َوآ‬5ِْ‫ت َأنْ َأ‬ ُ ْ‫ َرد‬aََ& ِ ْFَ5ْ ‫ ا‬2ِ& ‫ن‬ َ ُْ َ(ْ*َL َ ِْ‫ْ ِ(َ'َآ‬SَBَ@َ& ُ)َ1ِْ' ‫َأ  ا‬ “Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusak bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera…” Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebut mereka miskin padahal mereka memiliki kapal. Jadi baik fakir maupun miskin sama-sama tidak punya kecukupan, walaupun fakir lebih kekurangan dari miskin. Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan dalam Tafsir-nya (341): “Fakir adalah orang yang tidak punya apa-apa atau punya sedikit kecukupan tapi kurang dari setengahnya. Sedangkan miskin adalah yang mendapatkan setengah kecukupan atau lebih tapi tidak memadai.” Berapakah yang Diberikan kepada Mereka? Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di mengatakan (hal. 341): “Maka mereka diberi seukuran yang membuat hilangnya kefakiran dan kemiskinan mereka.” Maka diupayakan jangan sampai setiap orang miskin diberi kurang dari ukuran zakat fitrah itu sendiri. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Pendapat yang paling lemah adalah pendapat yang mengatakan wajib atas setiap muslim untuk membayarkan zakat fitrahnya kepada 12, 18, 24, 32, atau 28 orang, atau semacam itu. Karena ini menyelisihi apa yang dilakukan kaum muslimin dahulu di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, para khalifahnya, serta seluruh shahabatnya. Tidak seorang muslimpun melakukan yang demikian di masa mereka. Bahkan dahulu setiap muslim membayar fitrahnya sendiri dan fitrah keluarganya kepada satu orang muslim. Seandainya mereka melihat ada yang membagi satu sha’ untuk sekian belas jiwa di mana setiap orang diberi satu genggam, tentu mereka mengingkari itu dengan sekeras-kerasnya. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menentukan kadar yang diperintahkan yaitu satu sha’ kurma, gandum, atau dari bur ½ atau 1 sha’, sesuai kadar yang cukup untuk satu orang miskin. Dan beliau jadikan ini sebagai makanan mereka di hari raya, yang mereka tercukupi dengan itu. Jika satu orang hanya memperoleh satu genggam, maka ia tidak mendapatkan manfaat dan tidak selaras dengan tujuannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/73-74) Bagaimana Hukum Mendirikan Semacam Badan Amil Zakat? Telah diajukan sebuah pertanyaan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah tentang sebuah organisasi yang bernama Jum’iyyatul Bir di Jeddah, Saudi Arabia yang mengelola anak yatim dan bantuan kepada keluarga yang membutuhkan, menerima zakat dan menyalurkannya kepada orang-orang yang membutuhkan. Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab: “Organisasi tersebut wajib untuk menyalurkan zakat fitrah kepada orang-orang yang berhak sebelum diselenggarakan Shalat Id, tidak boleh menundanya dari waktu itu. Karena Nabi memerintahkan untuk

disampaikan kepada orang-orang fakir sebelum Shalat Id. Organisasi itu kedudukannya sebagai wakil dari muzakki (pemberi zakat), dan organisasi tersebut tidak diperkenankan untuk menerima zakat fitrah kecuali seukuran yang ia mampu untuk menyalurkannya kepada orang-orang fakir sebelum Shalat Id. Dan tidak boleh pula membayar zakat fitrah dalam bentuk uang karena dalil-dalil syar’i menunjukkan wajibnya mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk makanan, juga tidak boleh berpaling dari dalil syar’i kepada pendapat seseorang manusia. Apabila muzakki membayarkan kepada organisasi itu dalam bentuk uang untuk dibelikan makanan untuk orang-orang fakir, maka itu wajib dilaksanakan sebelum Shalat Id dan tidak boleh bagi organisasi itu untuk mengeluarkannya dalam bentuk uang.” (Fatawa Al-Lajnah, 9/379, ditandatangani Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, dan Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan. Lihat pula 9/389) Akan tetapi pada asalnya zakat fitrah langsung diberikan oleh muzakki kepada yang berhak. (Fatawa Lajnah, 9/389) Bila ia memberikannya kepada badan amil zakat maka harus diperhatikan minimalnya dua hal: 1. Mereka benar-benar orang yang mengetahui hukum sehingga tahu selukbeluk hukum zakat dan yang berhak menerimanya. 2. Mereka adalah orang yang amanah, benar-benar menyampaikannya kepada yang berhak, sesuai dengan aturan syar’i. Hal ini kami tegaskan karena di masa ini banyak orang yang tidak tahu hukum, lebih-lebih tidak sedikit yang tidak amanah. Ada yang mengambilnya tanpa hak dan ada yang menyalurkannya tidak tepat sasaran. Justru zakat itu dikembangkan atau untuk kesejahteraan organisasi/partainya. Atau terkadang dia menundanya, yang berarti menunda pemberian kepada orang yang sangat membutuhkan, walaupun terkadang melegitimasi perbuatan mereka dengan alasan-alasan ‘syar’i’ yang dibuat-buat. Bolehkah Zakat (Secara Umum) Dikembangkan oleh Badan Amil Zakat? Pertanyaan tentang ini telah diajukan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah, jawabnya: Tidak boleh bagi wakil dari organisasi tersebut untuk mengembangkan harta zakat. Yang wajib dilakukan adalah menyalurkannya ke tempat-tempat yang syar’i yang telah disebut dalam nash (Al-Qur’an atau Hadits, -pent.) setelah mengecek (tempat) penyalurannya kepada orang-orang yang berhak. Karena tujuan zakat adalah memenuhi kebutuhan orang-orang fakir dan melunasi hutang orang-orang yang berhutang. Sementara pengembangan harta zakat bisa jadi justru menyebabkan hilangnya maslahat ini, atau menundanya dalam waktu yang lama dari orang-orang yang berhak (sangat membutuhkannya segera, ed.) (Fatawa Al-Lajnah, 9/454 ditandatangani oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud) Tempat Ditunaikannya Zakat Fitrah Sebuah pertanyaan ditujukan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah: “Apakah saya boleh menunaikan zakat untuk keluarga saya di mana saya puasa

Ramadhan di (Saudi Arabia) bagian timur sementara keluarga saya di (Saudi Arabia) bagian utara?” Jawab: Zakat fitrah itu dikeluarkan di tempat seseorang berada. Namun jika wakil atau walinya mengeluarkannya di daerah tempat yang bersangkutan tidak ada di sana, maka diperbolehkan. (Fatawa Al-Lajnah, 9/384, ditandatangani oleh AsySyaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud. Lihat Fatawa Ramadhan, 2/943) Wallahu a’lam bish-shawab. 1 Yang dimaksud adalah amil zakat, bukan fakir miskin. Lihat Fathul Bari (3/376) dan Al-Irwa` (3/335). 2 Sebelumnya beliau juga menyebutkan hadits lain yang semakna. 3 Lain halnya dalam bukunya Ad-Darari, di situ beliau berpendapat seperti AsySyafi’i. http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=372

HUKUM SEPUTAR ZAKAT FITRAH Penulis: Fadlilatu As Syaikh Al'Allamah Al Faqih Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah Soal 11 : Bolehkah mewakilkan pemberian zakat fitrah kepada teman untuk diberikan kepada orang yang faqir? Jawab : Diperbolehkan yang demikian di waktu zakat fitrah dikeluarkan. (Syaikh Utsaimin) Soal 12 : Apakah diperbolehkan memberikan/mengeluarkan zakat fitrah sebelum hari raya 'iedul fitr ? Jawab : Diperbolehkan mengeluarkan zakat fitrah sehari atau dua hari sebelum hari raya 'iedul fitr. Yang paling afdlal/utama adalah mengeluarkan zakat fitrah pada hari raya 'iedul fitr sebelum dilaksanakannya shalat 'ied. Dan tidak diperbolehkan untuk menunda /mengakhirkan pengeluaran zakat fitrah hingga setelah selesainya shalat 'ied. Hal ini berdasarkan perkataan Ibnu Umar : "Rasulullah memerintahkan agar zakat fitrah ditunaikan/dikeluarkan sebelum keluarnya manusia untuk melaksanakan shalat 'ied". Dan berdasarkan hadits Ibnu Abbas , dari Nabi bahwa beliau bersabda (yang artinya) : "Barang siapa yang menunaikan zakat fitrah sebelum shalai 'ied maka itu merupakan zakat yang diterima. Dan barang siapa yang menunaikannya setelah shalat 'ied maka itu adalah shadaqah dari shadaqah-sahadaqah yang ada (tidak dianggap sebagai zakat fitrah)”. (Syaikh Utsaimin) Soal 13 : Bagaimana hukumnya mengeluarkan beras untuk menunaikan zakat fitrah ? Jawab : Tidak diragukan lagi tentang hukum bolehnya mengeluarkan beras untuk zakat fitrah.Bahkan bisa kita katakan : bahwa pada zaman kita ini, mengeluarkan beras untuk zakat fitrah itu lebih utama dibandingkan mengeluarkan selain beras dari jenis makanan pokok yang ada. Hal ini karena beras adalah makanan pokok yang paling banyak dikonsumsi oleh manusia pada zaman ini. Yang menunjukkan bahwa zakat fitrah dikeluarkan dalam bentuk makanan yang paling banyak dikonsumsi oleh manusia adalah hadits Abu Sa'id Al Khudri yang terdapat dalam Shahih Bukhary. Abu Sa'id Al Khudri berkata : "Dahulu kami mengeluarkan zakat fitrah pada hari 'iedul fitri (sebelum shalat 'ied) pada masa Nabi berupa satu sho' dari makanan pokok. Dan adalah makanan pokok kami pada waktu itu berupa gandum, anggur kering, al aqt (makanan dari susu yang diaduk kemudian dikeringkan) , dan kurma." Pengkhususan jenis-jenis makanan ini tidak dimaksudkan bahwa zakat fitrah harus dikeluarkan dalam bentuk gandum,anggur kering, al-aqt, ataupun kurma. Akan tetapi karena keberadaan makanan-makanan itulah yang menjadi makanan pokok pada waktu itu.(Syaikh Utsaimin) Ket : 1 Sho’ beratnya sekitar 2,040 kg gandum.Bila dilebihkan dari ukuran 1 sho’

dengan niat shadaqoh maka boleh hukumnya. Soal 14 : Apakah diperbolehkan mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk uang tunai ? Jawab : Zakat fitrah tidak sah jika dikeluarkan dalam bentuk uang tunai. Karena Nabi mewajibkannya dalam bentuk makanan pokok, baik berupa buah kurma, gandum (atau makanan pokok yang lainnya). Dan Abu Sa'id Al khudri telah berkata : " Dahulu kami mengeluarkan zakat fitrah pada hari 'ied (sebelum sholat 'ied) pada masa nabi berupa satu sho'dari makanan pokok. Dan adalah makanan pokok kami pada waktu itu berupa buah kurma, biji gandum, anggur yang kering, dan al aqt (makanan dari susu yang diaduk kemudian dikeringkan)." Maka tidak diperbolehkan mengeluarkan zakat fitrah kecuali dengan apa-apa yang diwajibkan oleh Nabi . Dan berdasarkan hadits Nabi dari jalan Ibnu Abbas bahwa beliau (Rosululloh) mewajibkan dikeluarkannya zakat fitrah dalam rangka mensucikan/membersihkan orang yang berpuasa dari perbuatan keji dan sia-sia, dan dalam rangka memberi makan orang-orang miskin.Dan pelaksanaan ibadah tidak boleh melampaui batas-batas syar'i, meskipun hal itu dianggap baik. Maka ketika nabi mewajibkan zakat fitrah dalam bentuk makanan dalam rangka memberi makan orang -orang miskin, hal ini karena uang tunai tidak bisa langsung dimakan. Uang tunai masih harus dipergunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan baik itu makanan, minuman, pakaian dan selainnya. Kemudian juga jika zakat fitrah dikeluarkan dalam bentuk uang tunai maka akan mudah disembunyikan dan dikorupsi. Hal ini karena kebiasaan orang meletakkan uang di sakunya. Maka jika seseorang menemukan seorang yang fakir kemudian memberikan zakat fitrah padanya dalam bentuk uang, maka tidak akan terang dan jelas kadarnya bagi keluarga miskin tersebut. Dan jika zakat fitrah dikeluarkan dalam bentuk uang , terkadang seorang salah dalam memperkirakan jumlah uang yang harus dia keluarkan. Terkadang dia mengeluarkan dalam jumlah yang lebih sedikit dari yang seharusnya. Hal yang demikian belum membuat dia terbebas/lepas dari tanggungannya untuk mengeluarkan zakat sesuai kadarnya. Dan sesungguhnya Rosululloh telah mewajibkan penunaian zakat fitrah dalam bentuk berbagai jenis makanan pokok yang ada, yang bermacam-macam/ berbeda-beda jenisnya dan kadar harganya. Berbeda dengan uang tunai. Kalau sekiranya uang tunai bisa digunakan untuk menunaikan zakat fitrah, maka harus digunakan satu jenis mata uang, atau apa-apa yang sebanding Adapun perkataan bahwa uang tunai itu lebih bermanfaat bagi si miskin maka jawabannya adalah: bila si miskin menginginkan uang, maka dia bisa menjual zakat fitrah yang diterimanya tersebut. Adapun muzakky (orang yang mengeluarkan zakat) tetap wajib berzakat fitrah dalam bentuk makanan pokok. (Syaikh Utsaimin) (Diterjemahkan oleh Al Akh Abu Sulaiman dari Fataawa wa Rasaail Ibnu Utsaimin, dan Majmu‘ Fataawa Syaikh Shalih Fauzan. Muraja’ah Al Ustadz Abu ‘Isa Nurwahid)

Sumber : Buletin Da'wah Al-Atsary, Semarang. Edisi 18 / 1427 H Dikirim via email oleh Al-Akh Dadik Meneladani Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam Ber'idul Fithri Penulis: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc. Idul Fitri bisa memiliki banyak makna bagi tiap-tiap orang. Ada yang memaknai Idul Fitri sebagai hari yang menyenangkan karena tersedianya banyak makanan enak, baju baru, banyaknya hadiah, dan lainnya. Ada lagi yang memaknai Idul Fitri sebagai saat yang paling tepat untuk pulang kampung dan berkumpul bersama handai tolan. Sebagian lagi rela melakukan perjalanan yang cukup jauh untuk mengunjungi tempat-tempat wisata, dan berbagai aktivitas lain yang bisa kita saksikan. Namun barangkali hanya sedikit yang mau untuk memaknai Idul Fitri sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam “memaknainya”. Idul Fitri memang hari istimewa. Secara syar’i pun dijelaskan bahwa Idul Fitri merupakan salah satu hari besar umat Islam selain Hari Raya Idul Adha. Karenanya, agama ini membolehkan umatnya untuk mengungkapkan perasaan bahagia dan bersenang-senang pada hari itu. Sebagai bagian dari ritual agama, prosesi perayaan Idul Fitri sebenarnya tak bisa lepas dari aturan syariat. Ia harus didudukkan sebagaimana keinginan syariat. Bagaimana masyarakat kita selama ini menjalani perayaan Idul Fitri yang datang menjumpai? Secara lahir, kita menyaksikan perayaan Hari Raya Idul Fitri masih sebatas sebagai rutinitas tahunan yang memakan biaya besar dan juga melelahkan. Kita sepertinya belum menemukan esensi yang sebenarnya dari Hari Raya Idul Fitri sebagaimana yang dimaukan syariat. Bila Ramadhan sudah berjalan 3 minggu atau sepekan lagi ibadah puasa usai, “aroma” Idul Fitri seolah mulai tercium. Ibu-ibu pun sibuk menyusun menu makanan dan kue-kue, baju-baju baru ramai diburu, transportasi mulai padat karena banyak yang bepergian atau karena arus mudik mulai meningkat, serta berbagai aktivitas lainya. Semua itu seolah sudah menjadi aktivitas “wajib” menjelang Idul Fitri, belum ada tanda-tanda menurun atau berkurang. Untuk mengerjakan sebuah amal ibadah, bekal ilmu syar’i memang mutlak diperlukan. Bila tidak, ibadah hanya dikerjakan berdasar apa yang dia lihat dari para orang tua. Tak ayal, bentuk amalannya pun menjadi demikian jauh dari yang dimaukan syariat. Demikian pula dengan Idul Fitri. Bila kita paham bagaimana bimbingan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah ini, tentu berbagai aktivitas yang selama ini kita saksikan bisa diminimalkan. Beridul Fitri tidak harus menyiapkan makanan enak dalam jumlah banyak, tidak harus beli baju baru karena baju yang bersih dan dalam kondisi baik pun sudah mencukupi, tidak harus mudik karena bersilaturahim dengan para saudara yang sebenarnya bisa dilakukan kapan saja, dan sebagainya. Dengan tahu bimbingan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beridul Fitri tidak lagi butuh biaya besar dan semuanya terasa lebih mudah. Berikut ini sedikit penjelasan tentang bimbingan syariat dalam beridul Fitri.

Definisi Id (Hari Raya) Ibnu A’rabi mengatakan: “Id1 dinamakan demikian karena setiap tahun terulang dengan kebahagiaan yang baru.” (Al-Lisan hal. 5) Ibnu Taimiyyah berkata: “Id adalah sebutan untuk sesuatu yang selalu terulang berupa perkumpulan yang bersifat massal, baik tahunan, mingguan atau bulanan.” (dinukil dari Fathul Majid hal. 289 tahqiq Al-Furayyan) Id dalam Islam adalah Idul Fitri, Idul Adha dan Hari Jum’at. ‫ل‬ َ َ, c ٍ َB‫َ ْ َأ‬: ‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ َو‬ ُ ُْ‫ َم َر‬-ِ َ,‫ل‬ َ َZَ& ،َ(ِِْ& ‫ن‬ َ ُْ5َ*ْ َL ‫ن‬ ِ َ َْL َُْ ‫َ)َ َو‬1ْL-ِ َ(ْ ‫َ  َ ا‬: ‫َ ُا‬, ‫ن ا َْْ َنِ؟‬ ِ ‫َا‬Dَ‫ َ ه‬: ِ)ِ ِ‫ ا ْ]َه‬2ِ& َ(ِِْ& P ُ َ*ْ َB 1ُ‫آ‬. َ  َ‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ َو‬ ُ ُْ‫ل َر‬ َ َZَ&: ً َْ: َ(ِِ4 ُْ@َ -َ ْ4‫ْ َأ‬-َ, َ ‫ن ا‬  ‫َ! ِإ‬Fْ3C َ ْ‫َْ َم ا‬L ،َ(ُْ1ِ ‫ا‬ ِ ِْْ ‫َْ َم ا‬L‫َو‬ Dari Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah datang ke Madinah dalam keadaan orang-orang Madinah mempunyai 2 hari (raya) yang mereka bermain-main padanya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: “Apa (yang kalian lakukan) dengan 2 hari itu?” Mereka menjawab: “Kami bermain-main padanya waktu kami masih jahiliyyah.” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantikannya untuk kalian dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.” (Shahih, HR. Abu Dawud no. 1004, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani) Hukum Shalat Id Ibnu Rajab berkata: “Para ulama berbeda pendapat tentang hukum Shalat Id menjadi 3 pendapat: Pertama: Shalat Id merupakan amalan Sunnah (ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) yang dianjurkan, seandainya orang-orang meninggalkannya maka tidak berdosa. Ini adalah pendapat Al-Imam Ats-Tsauri dan salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad. Kedua: Bahwa itu adalah fardhu kifayah, sehingga jika penduduk suatu negeri sepakat untuk tidak melakukannya berarti mereka semua berdosa dan mesti diperangi karena meninggalkannya. Ini yang tampak dari madzhab Al-Imam Ahmad dan pendapat sekelompok orang dari madzhab Hanafi dan Syafi’i. Ketiga: Wajib ‘ain (atas setiap orang) seperti halnya Shalat Jum’at. Ini pendapat Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Al-Imam Asy-Syafi’I mengatakan dalam Mukhtashar Al-Muzani: “Barangsiapa memiliki kewajiban untuk mengerjakan Shalat Jum’at, wajib baginya untuk menghadiri shalat 2 hari raya. Dan ini tegas bahwa hal itu wajib ‘ain.” (Diringkas dari Fathul Bari Ibnu Rajab, 6/75-76) Yang terkuat dari pendapat yang ada –wallahu a’lam– adalah pendapat ketiga dengan dalil berikut: ْSَ َ, َ)َِ ‫م‬E ‫َ ْ ُأ‬: َْ َ ُ ‫ل ا ِ "َ ! ا‬ ُ ُْ‫َ َر‬Bَ َ ‫ت َأ‬ ِ ‫َ َو َذوَا‬gُFْ ‫ وَا‬h َ ِ0‫َ! ا ْ*ََا‬Fْ3C َ ْ‫ ا ِْْ ِ َوا‬2ِ&  َُiِ ْNُB ْ‫ِ َوَ  َ َأن‬ َ ِْ(ِ ْ'ُ(ْ ‫َْ َ َو َدْ َ َة ا‬Nْ ‫ن ا‬ َ ْ-َْRَL‫ َة َو‬G َ  ‫ ا‬ َ ْ Hِ َJْ*ََ& g ُ ُFْ ‫  ا‬aََ& ،ِ‫وْر‬-ُ ُNْ ‫ا‬. S ُ ْ ُ,: ‫ن‬ ُ ُْ@َL j َ َB‫َا‬-ْK‫ ِإ‬،ِ ‫ل ا‬ َ ُْ‫َ َر‬L ََ

‫ل‬ َ َ, ‫َبٌ؟‬5ْ ِi: َِ4َ5ْ ِi ْ ِ َُJْ:‫ِ'َْ ُأ‬5ْ ُJِ

Dari Ummu ‘Athiyyah ia mengatakan: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengajak keluar (kaum wanita) pada (hari raya) Idul Fitri dan Idul Adha yaitu gadis-gadis, wanita yang haid, dan wanita-wanita yang dipingit. Adapun yang haid maka dia menjauhi tempat shalat dan ikut menyaksikan kebaikan dan dakwah muslimin. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab?” Nabi menjawab: “Hendaknya saudaranya meminjamkan jilbabnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim, ini lafadz Muslim Kitabul ‘Idain Bab Dzikru Ibahati Khurujinnisa) Perhatikanlah perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk pergi menuju tempat shalat, sampai-sampai yang tidak punya jilbabpun tidak mendapatkan udzur. Bahkan tetap harus keluar dengan dipinjami jilbab oleh yang lain. Shiddiq Hasan Khan berkata: “Perintah untuk keluar berarti perintah untuk shalat bagi yang tidak punya udzur… Karena keluarnya (ke tempat shalat) merupakan sarana untuk shalat dan wajibnya sarana tersebut berkonsekuensi wajibnya yang diberi sarana (yakni shalat). Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya Shalat Id adalah bahwa Shalat Id menggugurkan Shalat Jum’at bila keduanya bertepatan dalam satu hari. Dan sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin menggugurkan suatu kewajiban.” (ArRaudhatun Nadiyyah, 1/380 dengan At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah. Lihat pula lebih rinci dalam Majmu’ Fatawa, 24/179-186, As-Sailul Jarrar, 1/315, Tamamul Minnah, hal. 344) Wajibkah Shalat Id Bagi Musafir? Sebuah pertanyaan telah diajukan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yang intinya: Apakah untuk Shalat Id disyaratkan pelakunya seorang yang mukim (tidak sedang bepergian)? Beliau kemudian menjawab yang intinya: “Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Ada yang mengatakan, disyaratkan mukim. Ada yang mengatakan, tidak disyaratkan mukim.” Lalu beliau mengatakan: “Yang benar tanpa keraguan, adalah pendapat yang pertama. Yaitu Shalat Id tidak disyariatkan bagi musafir, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam banyak melakukan safar dan melakukan 3 kali umrah selain umrah haji, beliau juga berhaji wada’ dan ribuan manusia menyertai beliau, serta beliau berperang lebih dari 20 peperangan, namun tidak seorangpun menukilkan bahwa dalam safarnya beliau melakukan Shalat Jum’at dan Shalat Id…” (Majmu’ Fatawa, 24/177-178) Mandi Sebelum Melakukan Shalat Id َُ(ْ ‫ َو ِإ َ! ا‬-ُ َْL ْ‫; َأن‬ َ ْ5َ, ِ ِْْ ‫َْ َم ا‬L ; ُ ِ'َJَْL ‫ن‬ َ َ‫ ُ(َ َ آ‬ َ ْ4 ِ ‫ ا‬-َ ْ5َ ‫ن‬  ‫َ&ِ ٍ\ َأ‬B ْ َ b ٍ ِ َ ْ َ! “Dari Malik dari Nafi’, ia berkata bahwa Abdullah bin Umar dahulu mandi pada hari Idul Fitri sebelum pergi ke mushalla (lapangan).” (Shahih, HR. Malik dalam Al-Muwaththa` dan Al-Imam Asy-Syafi’i dari jalannya dalam Al-Umm) Dalam atsar lain dari Zadzan, seseorang bertanya kepada ‘Ali radhiallahu 'anhu tentang mandi, maka ‘Ali berkata: “Mandilah setiap hari jika kamu mau.” Ia

menjawab: “Tidak, mandi yang itu benar-benar mandi.” Ali radhiallahu 'anhu berkata: “Hari Jum’at, hari Arafah, hari Idul Adha, dan hari Idul Fitri.” (HR. AlBaihaqi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa`, 1-176-177)) Memakai Wewangian ِ ِْْ ‫َْ َم ا‬L P ُ ََJَL‫; َو‬ ُ ِ'َJَْL َ َ(ُ َ ْ4‫ن ا‬  ‫َ&ِ ٍ\ َأ‬B ْ َ َ)َ5ْZُ ِ ْ4 !َُْ ْ َ “Dari Musa bin ‘Uqbah, dari Nafi’ bahwa Ibnu ‘Umar mandi dan memakai wewangian di hari Idul fitri.” (Riwayat Al-Firyabi dan Abdurrazzaq) Al-Baghawi berkata: “Disunnahkan untuk mandi di hari Id. Diriwayatkan dari Ali bahwa beliau mandi di hari Id, demikian pula yang sejenis itu dari Ibnu Umar dan Salamah bin Akwa’ dan agar memakai pakaian yang paling bagus yang dia dapati serta agar memakai wewangian.” (Syarhus Sunnah, 4/303) Memakai Pakaian yang Bagus ‫ل‬ َ َ, َ َ(ُ ِ ْ4 ِ ‫ ا‬-ِ ْ5َ ْ َ: ‫ع‬ ُ َ5ُ0 ‫ق‬ ٍ َ ْ5َJْ‫)ً ِ ْ ِإ‬5ُi ُ َ(ُ Dَ َ:‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ َوَ  َ َأ‬ َ ُْ‫َِ َر‬4 !َ0aََ& َ‫ه‬Dَ َ:aََ& ‫ق‬ ِ ْI' ‫ ا‬2ِ& ‫ل‬ َ َZَ&: ‫ وَا ْ ُ&ُْ ِد‬-ِ ِْ*ْ ِ َِ4 ْ;(َ]َ0 [ِ Dِ َ‫َ\ْ ه‬Jْ4‫ل ا ِ ا‬ َ ُْ‫َ َر‬L. َ  َ‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ َو‬ ُ ُْ‫ل َُ َر‬ َ َZَ&: ‫س‬ ُ َ5ِ [ِ Dِ َ‫(َ ه‬B‫ ِإ‬j َ ْ َ َُ ‫ق‬ َG َ َ: Dari Abdullah bin Umar bahwa Umar mengambil sebuah jubah dari sutera yang dijual di pasar maka dia bawa kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Umar radhiallahu 'anhu berkata: “Wahai Rasulullah, belilah ini dan berhiaslah dengan pakaian ini untuk hari raya dan menyambut utusan-utusan.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkata: “Ini adalah pakaian orang yang tidak akan dapat bagian (di akhirat)….” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabul Jum’ah Bab Fil ‘Idain wat Tajammul fihi dan Muslim Kitab Libas Waz Zinah) Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya berhias untuk hari raya dan bahwa ini perkara yang biasa di antara mereka.” (Fathul Bari) Makan Sebelum Berangkat Shalat Id َ, b ٍ ِ َ ِ ْ4 c ِ َB‫لَ ْ َأ‬ َ : ‫ت‬ ٍ ‫َ(ََا‬0 ; َ ُ‫ْآ‬aَL !JَK ِ ِْْ ‫َْ َم ا‬L ‫ُو‬-َْL َj َ  َ‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ َو‬ ُ ُْ‫ن َر‬ َ َ‫آ‬. ُ ْ4 aُiَ ُ ‫ل‬ َ َ,‫َو‬ ‫َ ٍء‬i‫ َر‬: ‫ل‬ َ َ, ِ ‫ ا‬-ُ َْ5ُ 2ِ1َU- َK: ُ ُ‫ْآ‬aَL‫ "َ ! ا ُ َ َِْ َوَ  َ َو‬2 E ِ51 ‫ ا‬ ِ َ ٌcَB‫ َأ‬2ِ1َU- َK‫ًْا‬0‫ ِو‬  ُ Dari Anas bin Malik ia berkata: Adalah Rasulullah tidak keluar di hari fitri sebelum beliau makan beberapa kurma. Murajja‘ bin Raja‘ berkata: Abdullah berkata kepadaku, ia mengatakan bahwa Anas berkata kepadanya: “Nabi memakannya dalam jumlah ganjil.” (Shahih, HR Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Al-Akl Yaumal ‘Idain Qablal Khuruj) Ibnu Rajab berkata: “Mayoritas ulama menganggap sunnah untuk makan pada Idul Fitri sebelum keluar menuju tempat Shalat Id, di antara mereka ‘Ali dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma.” Di antara hikmah dalam aturan syariat ini, yang disebutkan oleh para ulama adalah:

a. Menyelisihi Ahlul kitab, yang tidak mau makan pada hari raya mereka sampai mereka pulang. b. Untuk menampakkan perbedaan dengan Ramadhan. c. Karena sunnahnya Shalat Idul Fitri lebih siang (dibanding Idul Adha) sehingga makan sebelum shalat lebih menenangkan jiwa. Berbeda dengan Shalat Idul Adha, yang sunnah adalah segera dilaksanakan. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/89) Bertakbir Ketika Keluar Menuju Tempat Shalat \َ ََ, ‫ةَ؛‬G َ  ‫َ! ا‬nَ, ‫ذَا‬oَِ& ،َ‫ة‬G َ  ‫ ا‬2 َ ِnْZَL !JَK‫ ا ْ(َُ ! َو‬2 َ ِ0ْaَL !JَK ُ E5َ@َُ& ِ ِْْ ‫َْ َم ا‬L ‫ج‬ ُ ُ ْNَL َ  َ‫ن "َ ! ا ُ َ َِْ َو‬ َ َ‫آ‬ َ ِْ5ْ@J ‫ا‬ “Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar di Hari Raya Idul Fitri lalu beliau bertakbir sampai datang ke tempat shalat dan sampai selesai shalat. Apabila telah selesai shalat beliau memutus takbir.” (Shahih, Mursal Az-Zuhri, diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dengan syawahidnya dalam Ash-Shahihah no. 171) Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Dalam hadits ini ada dalil disyariatkannya apa yang diamalkan kaum muslimin yaitu bertakbir dengan keras selama perjalanan menuju tempat shalat walaupun banyak di antara mereka mulai menggampangkan sunnah (ajaran) ini, sehingga hampir-hampir menjadi sekedar berita (apa yang dulu terjadi). Hal itu karena lemahnya mental keagamaan mereka dan karena rasa malu untuk menampilkan sunnah serta terang-terangan dengannya. Dan dalam kesempatan ini, amat baik untuk kita ingatkan bahwa mengeraskan takbir di sini tidak disyariatkan padanya berpadu dalam satu suara sebagaimana dilakukan sebagian manusia2…” (Ash-Shahihah: 1 bagian 1 hal. 331) Lafadz Takbir Tentang hal ini tidak terdapat riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam –wallahu a’lam–. Yang ada adalah dari shahabat, dan itu ada beberapa lafadz. Asy-Syaikh Al-Albani berkata: Telah shahih mengucapkan 2 kali takbir dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhu: ‫ن‬ َ َ‫ُ آ‬B‫ َأ‬h ِ ْLِ ْRJ ‫ َم ا‬L‫ِ ُ َأ‬5َ@ُL: -ُ ْ(َFْ ‫َ ُ َو ِ ِ ا‬5ْ‫َ ُ ا ُ َأآ‬5ْ‫ ا ٌ وَا ُ َأآ‬j  ‫ ِإ ََ ِإ‬j َ ُ َ5ْ‫َ ُ ا ُ َأآ‬5ْ‫ا ُ َأآ‬ Bahwa beliau bertakbir di hari-hari tasyriq: ُ َ5ْ‫ ا ٌ وَا ُ َأآ‬j  ‫ ِإ ََ ِإ‬j َ ُ َ5ْ‫َ ُ ا ُ َأآ‬5ْ‫ ا ُ َأآ‬-ُ ْ(َFْ ‫َ ُ َو ِ ِ ا‬5ْ‫ا ُ َأآ‬ (HR. Ibnu Abi Syaibah, 2/2/2 dan sanadnya shahih) Namun Ibnu Abi Syaibah menyebutkan juga di tempat yang lain dengan sanad yang sama dengan takbir tiga kali. Demikian pula diriwayatkan Al-Baihaqi (3/315) dan Yahya bin Sa’id dari Al-Hakam dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dengan tiga

kali takbir. Dalam salah satu riwayat Ibnu ‘Abbas disebutkan: -ُ ْ(َFْ ‫َ ُ َو ِ ِ ا‬5ْ‫; ا ُ َأآ‬  َi‫َ ُ َوَأ‬5ْ‫ًِْا ا ُ َأآ‬5َ‫َ ُ آ‬5ْ‫ًِْا ا ُ َأآ‬5َ‫َ ُ آ‬5ْ‫ا ُ َأآ‬ (Lihat Irwa`ul Ghalil, 3/125) Tempat Shalat Id Banyak ulama menyebutkan bahwa petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam shalat dua hari raya adalah beliau selalu melakukannya di mushalla. Mushalla yang dimaksud adalah tempat shalat berupa tanah lapang dan bukan masjid, sebagaimana dijelaskan sebagian riwayat hadits berikut ini. ‫ل‬ َ َ, ‫ََا ِء‬5ْ ‫ ا‬ ِ َ: ‫ل‬ َ َ,‫ِِْ َو‬iَ ِ4 َ1َْ َ ; َ َ5ْ,‫ُ  َأ‬U ِ َْJَ*ْ‫ِْ ِ\ &ََ ! َرآ‬Zَ5ْ ‫ً! ِإ َ! ا‬Fْ3‫َْ َم َأ‬L َ  َ‫ "َ ! ا ُ َ َِْ َو‬2 I ِ51 ‫ج ا‬ َ َ َ:: ‫ن‬  ‫ِإ‬ ُ'ُB ‫ل‬ َ ‫ََأ و‬1َJ1ُ h َ َ&‫ْ وَا‬-َZَ& b َ ِ ‫; َذ‬ َ َ*َ& ْ َ(َ& َ َFْ1َ1َ& \َ ِiَْB  ُU ‫ ِة‬G َ  ِ4 ‫َأ‬-َ ْ5َB ْ‫َا َأن‬Dَ‫َ ه‬1ِ َْL 2ِ& َ1ِ@ Dari Al-Bara’ Ibnu ‘Azib ia berkata: “Nabi pergi pada hari Idul Adha ke Baqi’ lalu shalat 2 rakaat lalu menghadap kami dengan wajahnya dan mengatakan: ‘Sesungguhnya awal ibadah kita di hari ini adalah dimulai dengan shalat. Lalu kita pulang kemudian menyembelih kurban. Barangsiapa yang sesuai dengan itu berarti telah sesuai dengan sunnah…” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Istiqbalul Imam An-Nas Fi Khuthbatil ‘Id) Ibnu Rajab berkata: “Dalam hadits ini dijelaskan bahwa keluarnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan shalatnya adalah di Baqi’, namun bukan yang dimaksud adalah Nabi shalat di kuburan Baqi’. Tapi yang dimaksud adalah bahwa beliau shalat di tempat lapang yang bersambung dengan kuburan Baqi’ dan nama Baqi’ itu meliputi seluruh daerah tersebut. Juga Ibnu Zabalah telah menyebutkan dengan sanadnya bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Id di luar Madinah sampai di lima tempat, sehingga pada akhirnya shalatnya tetap di tempat yang dikenal (untuk pelaksanaan Id, -pent.). Lalu orang-orang sepeninggal beliau shalat di tempat itu.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/144) ‫ل‬ َ َ, ‫ي‬ E ‫ْ ِر‬-ُNْ ‫ ا‬-ٍ ِْ*َ 2ِ4‫َ ْ َأ‬: ‫ن‬ َ َ‫ْ ٍء آ‬2َ6 ‫ل‬ ُ ‫ و‬aََ& ! َُ(ْ ‫َ! ِإ َ! ا‬Fْ3C َ ْ‫َْ َم ا ِْْ ِ َوا‬L ‫ج‬ ُ ُ ْNَL َ  َ‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ َو‬ ُ ُْ‫َر‬ ِْ"ُْL‫ُُْ َو‬pِ*ََ& ِِْ&ُُْ" !َ َ ٌ‫ُ ُْس‬i ‫س‬ ُ 1 ‫س وَا‬ ِ 1 ‫; ا‬ َ ِ4َZُ ‫ُْ ُم‬Zََ& ‫ف‬ ُ ِ َْ1َL  ُU ‫ ُة‬G َ  ‫ِِ ا‬4 ‫ُأ‬-َ ْ5َL -ُ ْLِ ُL ‫ن‬ َ َ‫نْ آ‬oَِ& ُْ‫ْ ُ ُه‬aَL‫ِْ َو‬ ‫ف‬ ُ ِ َْ1َL  ُU ِِ4 َ َ ‫ْ ٍء َأ‬2َRِ4 َ ُ ْaَL ْ‫ََ*َُ َأو‬, ًAْ*َ4 \َ َْZَL ْ‫َأن‬ “Dari Abu Sa’id Al-Khudri ia mengatakan: Bahwa Rasulullah dahulu keluar di hari Idul Fitri dan Idhul Adha ke mushalla, yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat, lalu berpaling dan kemudian berdiri di hadapan manusia sedang mereka duduk di shaf-shaf mereka. Kemudian beliau menasehati dan memberi wasiat kepada mereka serta memberi perintah kepada mereka. Bila beliau ingin mengutus suatu utusan maka beliau utus, atau ingin memerintahkan sesuatu maka beliau perintahkan, lalu beliau pergi.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al’Idain Bab Al-Khuruj Ilal Mushalla bi Ghairil Mimbar dan Muslim) Ibnu Hajar menjelaskan: “Al-Mushalla yang dimaksud dalam hadits adalah tempat yang telah dikenal, jarak antara tempat tersebut dengan masjid Nabawi

sejauh 1.000 hasta.” Ibnul Qayyim berkata: “Yaitu tempat jamaah haji meletakkan barang bawaan mereka.” Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Nampaknya tempat itu dahulu di sebelah timur masjid Nabawi, dekat dengan kuburan Baqi’…” (dinukil dari Shalatul ‘Idain fil Mushalla Hiya Sunnah karya Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 16) Waktu Pelaksanaan Shalat ‫ل‬ َ َ, 2 I ِ5َK ‫ُ(َْ ٍ ا‬: ُ ْ4 -ُ ْLHِ َL: ْ5َ ‫ج‬ َ َ َ: -ِ ِْ ‫َْ ِم‬L 2ِ& ‫س‬ ِ 1 ‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ َوَ  َ َ َ\ ا‬ ِ ُْ‫ َر‬P ُ ِKَ" ٍ ْ'ُ4 ُ ْ4 ِ ‫ ا‬-ُ ‫ َ ِم‬r ِ ْ‫َْ َء ا‬4‫ْ@َ َ ِإ‬Baََ& !َFْ3‫&ِْ ٍ َأوْ َأ‬. ‫ل‬ َ َZَ&: s ِ ِْ5ْ'J ‫ ا‬ َ ِْK b َ ِ ‫ ِ[ َو َذ‬Dِ َ‫َ ه‬1َJََ َ1ْ`َ َ& ْ-َ, 1ُ‫ آ‬B‫ِإ‬ “Yazid bin Khumair Ar-Rahabi berkata: Abdullah bin Busr, salah seorang shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pergi bersama orang-orang di Hari Idul Fitri atau Idhul Adha, maka ia mengingkari lambatnya imam. Iapun berkata: ‘Kami dahulu telah selesai pada saat seperti ini.’ Dan itu ketika tasbih.” (Shahih, HR. Al-Bukhari secara mua’llaq, Kitabul ‘Idain Bab At-Tabkir Ilal ‘Id, 2/456, Abu Dawud Kitabush Shalat Bab Waqtul Khuruj Ilal ‘Id: 1135, Ibnu Majah Kitab Iqamatush- shalah was Sunan fiha Bab Fi Waqti Shalatil ’Idain. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud) Yang dimaksud dengan kata “ketika tasbih” adalah ketika waktu shalat sunnah. Dan itu adalah ketika telah berlalunya waktu yang dibenci shalat padanya. Dalam riwayat yang shahih riwayat Ath-Thabrani yaitu ketika Shalat Sunnah Dhuha. Ibnu Baththal berkata: “Para ahli fiqih bersepakat bahwa Shalat Id tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya matahari atau ketika terbitnya. Shalat Id hanyalah diperbolehkan ketika diperbolehkannya shalat sunnah.” Demikian dijelaskan Ibnu Hajar. (Al-Fath, 2/457) Namun sebenarnya ada yang berpendapat bahwa awal waktunya adalah bila terbit matahari, walaupun waktu dibencinya shalat belum lewat. Ini pendapat Imam Malik. Adapun pendapat yang lalu, adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad dan salah satu pendapat pengikut Syafi’i. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/104) Namun yang kuat adalah pendapat yang pertama, karena menurut Ibnu Rajab: “Sesungguhnya telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rafi’ bin Khadij dan sekelompok tabi’in bahwa mereka tidak keluar menuju Shalat Id kecuali bila matahari telah terbit. Bahkan sebagian mereka Shalat Dhuha di masjid sebelum keluar menuju Id. Ini menunjukkan bahwa Shalat Id dahulu dilakukan setelah lewatnya waktu larangan shalat.” (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105) Apakah Waktu Idul Fitri lebih Didahulukan daripada Idul Adha? Ada dua pendapat: Pertama, bahwa keduanya dilakukan dalam waktu yang sama. Kedua, disunnahkan untuk diakhirkan waktu Shalat Idul Fitri dan disegerakan waktu Idul Adha. Itu adalah pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad. Ini yang dikuatkan Ibnu Qayyim, dan beliau mengatakan: “Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melambatkan Shalat Idul Fitri serta menyegerakan Idul Adha. Dan Ibnu ‘Umar dengan semangatnya untuk mengikuti sunnah tidak keluar

sehingga telah terbit matahari dan bertakbir dari rumahnya menuju mushalla.” (Zadul Ma’ad, 1/427, Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105) Hikmahnya, dengan melambatkan Shalat Idul Fitri maka semakin meluas waktu yang disunahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah; dan dengan menyegerakan Shalat Idul Adha maka semakin luas waktu untuk menyembelih dan tidak memberatkan manusia untuk menahan dari makan sehingga memakan hasil qurban mereka. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105-106) Tanpa Adzan dan Iqamah ‫ل‬ َ َ, ‫ َ(ُ َ َة‬ ِ ْ4 ِ ِ4َi ْ َ: ٍ)َ َ,‫ ِإ‬j َ ‫ن َو‬ ٍ ‫َِْ ِ َأذَا‬4 ِ َْ0 َ j َ ‫ `َْ َ َ ٍة َو‬ ِ ْL-َ ِْ*ْ ‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ َوَ  َ ا‬ ِ ُْ‫ َ َ\ َر‬S ُ ْ َ" Dari Jabir bin Samurah ia berkata: “Aku shalat bersama Rasulullah 2 Hari Raya (yakni Idul Fitri dan Idul Adha), bukan hanya 1 atau 2 kali, tanpa adzan dan tanpa iqamah.” (Shahih, HR. Muslim) j َ َ, ‫ي‬ E ‫َْ ِر‬BC َ ْ‫ ا ِ ا‬-ِ ْ5َ ِ ْ4 ِ ِ4َi ْ َ‫س َو‬ ٍ 5َ ِ ْ4‫ ا‬ ِ َ: َL ‫ن‬ ُ ‫ُ َ> ذ‬L ْ ُ@َL َْ ٍ ِْK -َ ْ*َ4 ُُJْ aََ  ُU !َFْ3C َ ْ‫َْ َم ا‬L j َ ‫ْ َم ا ِْْ ِ َو‬ ‫ل‬ َ َ, 2ِBَ َ5ْ:aََ& b َ ِ ‫َ ْ َذ‬: -َ ْ*َ4 j َ ‫ َ ُم َو‬r ِ ْ‫ج ا‬ ُ ُ ْNَL َ ِْK ِ ِْْ ‫َْ َم ا‬L ‫ ِة‬G َ  ِ ‫ن‬ َ ‫ َأذَا‬j َ ْ‫ي َأن‬ I ‫َْ ِر‬BC َ ْ‫ ا ِ ا‬-ِ ْ5َ ُ ْ4 ُ ِ4َi 2ِBَ َ5ْ:‫َأ‬ ‫ج‬ ُ ُ ْNَL َ َ)َ َ,‫ ِإ‬j َ ‫ َو‬Dٍ ِtَ َْL ‫َا َء‬-ِB j َ ،َ‫ْء‬2َ6 j َ ‫َاءَ َو‬-ِB jَ‫َ َ)َ و‬,‫ ِإ‬j َ ‫َو‬ Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma dan Jabir bin Abdillah Al-Anshari keduanya berkata: “Tidak ada adzan pada hari Fitri dan Adha.” Kemudian aku bertanya kepada Ibnu Abbas tentang itu, maka ia mengabarkan kepadaku bahwa Jabir bin Abdillah Al-Anshari mengatakan: “Tidak ada adzan dan iqamah di hari Fitri ketika keluarnya imam, tidak pula setelah keluarnya. Tidak ada iqamah, tidak ada panggilan dan tidak ada apapun, tidak pula iqamah.” (Shahih, HR. Muslim) Ibnu Rajab berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam hal ini dan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar dan ‘Umar radhiallahu 'anhuma melakukan Shalat Id tanpa adzan dan iqamah.” Al-Imam Malik berkata: “Itu adalah sunnah yang tiada diperselisihkan menurut kami, dan para ulama sepakat bahwa adzan dan iqamah dalam shalat 2 Hari Raya adalah bid’ah.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/94) Bagaimana dengan panggilan yang lain semacam: Ash-shalatu Jami’ah? Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya menganggap hal itu sunnah. Mereka berdalil dengan: Pertama: riwayat mursal dari seorang tabi’in yaitu Az-Zuhri. Kedua: mengqiyaskannya dengan Shalat Kusuf (gerhana). Namun pendapat yang kuat bahwa hal itu juga tidak disyariatkan. Adapun riwayat dari Az-Zuhri merupakan riwayat mursal yang tentunya tergolong dha’if (lemah). Sedangkan pengqiyasan dengan Shalat Kusuf tidaklah tepat, dan keduanya memiliki perbedaan. Di antaranya bahwa pada Shalat Kusuf orangorang masih berpencar sehingga perlu seruan semacam itu, sementara Shalat Id tidak. Bahkan orang-orang sudah menuju tempat shalat dan berkumpul padanya. (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab, 6/95) Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu berkata: “Qiyas di sini tidak sah, karena adanya nash yang shahih yang menunjukkan bahwa di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk Shalat Id tidak ada adzan dan iqamah

atau suatu apapun. Dan dari sini diketahui bahwa panggilan untuk Shalat Id adalah bid’ah, dengan lafadz apapun.” (Ta’liq terhadap Fathul Bari, 2/452) Ibnu Qayyim berkata: Apabila Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat maka mulailah beliau shalat tanpa adzan dan iqamah dan tanpa ucapan “Ash-shalatu Jami’ah”, dan Sunnah Nabi adalah tidak dilakukan sesuatupun dari (panggilan-panggilan) itu. (Zadul Ma’ad, 1/427) Kaifiyah (Tata Cara) Shalat Id Shalat Id dilakukan dua rakaat, pada prinsipnya sama dengan shalat-shalat yang lain. Namun ada sedikit perbedaan yaitu dengan ditambahnya takbir pada rakaat yang pertama 7 kali, dan pada rakaat yang kedua tambah 5 kali takbir selain takbiratul intiqal. Adapun takbir tambahan pada rakaat pertama dan kedua itu tanpa takbir ruku’, sebagaimana dijelaskan oleh ‘Aisyah dalam riwayatnya: ‫ن َر‬  ‫َ)َ َأ‬Rَِ ْ َ‫ع‬ ِ ُْ‫آ‬I ‫ْ ا‬2َ0َ ِْ5ْ@َ0 ‫َ(ْ'ً َِى‬:‫ْ*ً َو‬5َ !َFْ3C َ ْ‫ ا ِْْ ِ َوا‬2ِ& َ 5َ‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ َوَ  َ آ‬ َ ُْ “Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah bertakbir para (shalat) Fitri dan Adha 7 kali dan 5 kali selain 2 takbir ruku’.” (HR. Abu Dawud dalam Kitabush Shalat Bab AtTakbir fil ’Idain. ‘Aunul Ma’bud, 4/10, Ibnu Majah no. 1280, dishahihkan oleh AsySyaikh Al-Abani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1149) Pertanyaan: Apakah pada 5 takbir pada rakaat yang kedua dengan takbiratul intiqal (takbir perpindahan dari sujud menuju berdiri)? Ibnu Abdil Bar menukilkan kesepakatan para ulama bahwa lima takbir tersebut selain takbiratul intiqal. (Al-Istidzkar, 7/52 dinukil dari Tanwirul ‘Ainain) Pertanyaan: Tentang 7 takbir pertama, apakah termasuk takbiratul ihram atau tidak? Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat: Pertama: Pendapat Al-Imam Malik, Al-Imam Ahmad, Abu Tsaur dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma bahwa 7 takbir itu termasuk takbiratul ihram. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/178, Aunul Ma’bud, 4/6, Istidzkar, 2/396 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah) Kedua: Pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, bahwa 7 takbir itu tidak termasuk takbiratul ihram. (Al-Umm, 3/234 cet. Dar Qutaibah dan referensi sebelumnya) Nampaknya yang lebih kuat adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal itu karena ada riwayat yang mendukungnya, yaitu: [ِ -E ِi ْ َ ِِْ4‫ َ ْ َأ‬P ٍ َْ*ُ6 ِ ْ4 ‫ ْ َ(ِْو‬ َ : َ ِْ5ْ@َ0 ‫ْ َ َة‬Rَ ْ2َJَ1ْU‫ ا‬ ِ ْL-َ ِْ*ْ ‫ ا‬2ِ& َ 5َ‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ َوَ  َ آ‬ َ ُْ‫ن َر‬  ‫ْ*ً َأ‬5َ ،ً‫ة‬ ‫ ِة‬G َ  ‫ ا‬2 ِ َ0َ ِْ5ْ@َ0 ‫ِ َ ِة َِى‬:uْ‫ ا‬2ِ& ً'ْ(َ:‫وْ َ! َو‬C ُ ْ‫ ا‬2ِ& “Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir pada 2 hari raya 12 takbir, 7 pada rakaat yang pertama dan 5 pada rakaat yang terakhir, selain 2 takbir shalat.”(Ini lafadz AthThahawi) Adapun lafadz Ad-Daruquthni:

‫َْا ِم‬Kr ِ ْ‫ِْ َ ِة ا‬5ْ@َ0 ‫َِى‬ “Selain takbiratul ihram.” (HR. Ath-Thahawi dalam Ma’ani Al-Atsar, 4/343 no. 6744 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Ad-Daruquthni, 2/47-48 no. 20) Dalam sanad hadits ini ada seorang perawi yang diperselisihkan bernama Abdullah bin Abdurrahman At-Tha‘ifi. Akan tetapi hadits ini dishahihkan oleh AlImam Ahmad, ‘Ali Ibnul Madini dan Al-Imam Al-Bukhari sebagaimana dinukilkan oleh At-Tirmidzi. (lihat At-Talkhis, 2/84, tahqiq As-Sayyid Abdullah Hasyim AlYamani, At-Ta’liqul Mughni, 2/18 dan Tanwirul ‘Ainain, hal. 158) Adapun bacaan surat pada 2 rakaat tersebut, semua surat yang ada boleh dan sah untuk dibaca. Akan tetapi dahulu Nabi membaca pada rakaat yang pertama “Sabbihisma” (Surat Al-A’la) dan pada rakaat yang kedua “Hal ataaka” (Surat AlGhasyiah). Pernah pula pada rakaat yang pertama Surat Qaf dam kedua Surat Al-Qamar (keduanya riwayat Muslim, lihat Zadul Ma’ad, 1/427-428) Apakah Mengangkat Tangan di Setiap Takbir Tambahan? Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat mengangkat tangan. Sementara salah satu dari pendapat Al-Imam Malik tidak mengangkat tangan, kecuali takbiratul ihram. Ini dikuatkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah (hal. 349). Lihat juga Al-Irwa‘ (3/113). Tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih dalam hal ini. Kapan Membaca Doa Istiftah? Al-Imam Asy-Syafi’i dan jumhur ulama berpendapat setelah takbiratul ihram dan sebelum takbir tambahan. (Al-Umm, 3/234 dan Al-Majmu’, 5/26. Lihat pula Tanwirul ‘Ainain hal. 149) Khutbah Id Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendahulukan shalat sebelum khutbah. ‫ل‬ َ َ, ‫س‬ ٍ 5َ ِ ْ4‫َ ْ ا‬: -َ ِْ*ْ ‫ت ا‬ ُ ْ-َِ6 ُْI ُ@َ& ُْْ1َ ُ ‫ ا‬2 َ ِ3‫ن َر‬ َ َ(ْAُ‫َ@ْ ٍ وَُ(َ َ َو‬4 2ِ4‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ َوَ  َ َوَأ‬ ِ ُْ‫ َ َ\ َر‬ ِ)َ5ُْNْ ‫; ا‬ َ ْ5َ, ‫ن‬ َ ْI َُL ‫ُا‬Bَ‫آ‬ “Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: Aku mengikuti Shalat Id bersama Rasulullah, Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman maka mereka semua shalat dahulu sebelum khutbah.” (Shahih, HR Al-Bukhari Kitab ‘Idain Bab Al-Khutbah Ba’dal Id) Dalam berkhutbah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan menghadap manusia tanpa memakai mimbar, mengingatkan mereka untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahkan juga beliau mengingatkan kaum wanita secara khusus untuk banyak melakukan shadaqah, karena ternyata kebanyakan penduduk neraka adalah kaum wanita. Jamaah Id dipersilahkan memilih duduk mendengarkan atau tidak, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

‫ل‬ َ َ, P ِ ِ' ‫ ا‬ ِ ْ4 ِ ‫ ا‬-ِ ْ5َ ْ َ: ‫ل‬ َ َ, ‫ َة‬G َ  ‫َ! ا‬nَ, (َ َ& -َ ِْ*ْ ‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ َوَ  َ ا‬ ِ ُْ‫ت َ َ\ َر‬ ُ ْ-َِ6: ْ َ(َ& P ُ ُْNَB B‫ِإ‬ َ5ُْNْ ِ c َ ِ ْ]َL ْ‫ َأن‬P  َK‫َْأ‬Pَ‫ْه‬Dَْ َ& P َ َ‫ْه‬DَL ْ‫ َأن‬P  َK‫ْ َو َ ْ َأ‬cِ ْ]َْ َ& ِ) Dari ‘Abdullah bin Saib ia berkata: Aku menyaksikan bersama Rasulullah Shalat Id, maka ketika beliau selesai shalat, beliau berkata: “Kami berkhutbah, barangsiapa yang ingin duduk untuk mendengarkan khutbah duduklah dan barangsiapa yang ingin pergi maka silahkan.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan AnNasa`i. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 1155) Namun alangkah baiknya untuk mendengarkannya bila itu berisi nasehatnasehat untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berpegang teguh dengan agama dan Sunnah serta menjauhi bid’ah. Berbeda keadaannya bila mimbar Id berubah menjadi ajang kampanye politik atau mencaci maki pemerintah muslim yang tiada menambah di masyarakat kecuali kekacauan. Wallahu a’lam. Wanita yang Haid Wanita yang sedang haid tetap mengikuti acara Shalat Id, walaupun tidak boleh melakukan shalat, bahkan haram dan tidak sah. Ia diperintahkan untuk menjauh dari tempat shalat sebagaimana hadits yang lalu dalam pembahasan hukum Shalat Id. Sutrah Bagi Imam Sutrah adalah benda, bisa berupa tembok, tiang, tongkat atau yang lain yang diletakkan di depan orang shalat sebagai pembatas shalatnya, panjangnya kurang lebih 1 hasta. Telah terdapat larangan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melewati orang yang shalat. Dengan sutrah ini, seseorang boleh melewati orang yang shalat dari belakang sutrah dan tidak boleh antara seorang yang shalat dengan sutrah. Sutrah ini disyariatkan untuk imam dan orang yang shalat sendirian atau munfarid. Adapun makmum tidak perlu dan boleh lewat di depan makmum. Ini adalah Sunnah yang mayoritas orang meninggalkannya. Oleh karenanya, marilah kita menghidupkan sunnah ini, termasuk dalam Shalat Id. ‫ن‬  ‫ ُ(َ َ َأ‬ ِ ْ4‫ ا‬ ِ َ ََْ ‫ ِإ‬2E ََُ& ِْL-َ َL َ َْ4 \ُ َ3ُْJَ& ِ)َ4َْFْ ِ4 َ َ ‫ َأ‬-ِ ِْ*ْ ‫َْ َم ا‬L ‫ج‬ َ َ َ: ‫ن ِإذَا‬ َ َ‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ َوَ  َ آ‬ َ ُْ‫َر‬ ‫ ََا ُء‬C ُ ْ‫هَ ا‬Dَ َN0‫َ  ا‬U ْ ِ(َ& ِ َ' ‫ ا‬2ِ& b َ ِ ‫; َذ‬ ُ َ*َْL ‫ن‬ َ َ‫س َورَا َء ُ[ َوآ‬ ُ 1 ‫وَا‬ “Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu apabila keluar pada hari Id, beliau memerintahkan untuk membawa tombak kecil, lalu ditancapkan di depannya, lalu beliau shalat ke hadapannya, sedang orang-orang di belakangnya. Beliau melakukan hal itu di safarnya dan dari situlah para pimpinan melakukannya juga.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabush Shalat Bab Sutratul Imam Sutrah liman Khalfah dan Kitabul ‘Idain Bab Ash-Shalat Ilal harbah Yaumul Id. Al-Fath, 2/463 dan Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/136)

Bila Masbuq (Tertinggal) Shalat Id, Apa yang Dilakukan? Al-Imam Al-Bukhari membuat bab dalam Shahih-nya berjudul: “Bila tertinggal shalat Id maka shalat 2 rakaat, demikian pula wanita dan orang-orang yang di rumah dan desa-desa berdasarkan sabda Nabi: ‘Ini adalah Id kita pemeluk Islam’.” Adalah ‘Atha` (tabi’in) bila ketinggalan Shalat Id beliau shalat dua rakaat. Bagaimana dengan takbirnya? Menurut Al-Hasan, An-Nakha’i, Malik, Al-Laits, Asy-Syafi’i dan Ahmad dalam satu riwayat, shalat dengan takbir seperti takbir imam. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/169) Pulang dari Shalat Id Melalui Rute Lain saat Berangkat ‫ل‬ َ َ, َ(ُْ1َ ُ ‫ ا‬2 َ ِ3‫ ا ِ َر‬-ِ ْ5َ ِ ْ4 ِ ِ4َi ْ َ: َ: -ٍ ِْ ‫َْ ُم‬L ‫ن‬ َ َ‫ "َ ! ا ُ َ َِْ َوَ  َ ِإذَا آ‬2 I ِ51 ‫ن ا‬ َ َ‫آ‬h َ ْLِ  ‫ ا‬v َ َ  Dari Jabir, ia berkata:” Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila di hari Id, beliau mengambil jalan yang berbeda. (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Man Khalafa Thariq Idza Raja’a…, Fathul Bari karya Ibnu Hajar, 2/472986, karya Ibnu Rajab, 6/163 no. 986) Ibnu Rajab berkata: “Banyak ulama menganggap sunnah bagi imam atau selainnya, bila pergi melalui suatu jalan menuju Shalat Id maka pulang dari jalan yang lainnya. Dan itu adalah pendapat Al-Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i dan Ahmad… Dan seandainya pulang dari jalan itu, maka tidak dimakruhkan.” Para ulama menyebutkan beberapa hikmahnya, di antaranya agar lebih banyak bertemu sesama muslimin untuk memberi salam dan menumbuhkan rasa cinta. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/166-167. Lihat pula Zadul Ma’ad, 1/433) Bila Id Bertepatan dengan Hari Jum’at ‫ل‬ َ َ, 2 E ِ R ‫ َر ْ َ)َ ا‬2ِ4‫ َأ‬ ِ ْ4 ‫س‬ ِ َL‫َ ْ ِإ‬: ‫ل‬ َ َ, َ َ,ْ‫ َأر‬ َ ْ4 -َ ْL‫ل َز‬ ُ aَْ'َL َ ُ‫ن َوه‬ َ َُْ 2ِ4‫ َأ‬ َ ْ4 َ)َL‫ت ُ*َ ِو‬ ُ ْ-َِ6: ِ ‫ل ا‬ ِ ُْ‫ت َ َ\ َر‬ َ ْ-َِ6‫َأ‬ ُ ‫ل"َ ! ا‬ َ َ, ‫َْمٍ؟‬L 2ِ& َ*َ(َJْi‫ ا‬ ِ ْL-َ ِْ َ  َ‫ َ َِْ َو‬: َْ*َB. ‫ل‬ َ َ,: ‫ل‬ َ َ, ‫َ\َ؟‬1َ" v َ َْ@َ&: ،ِ)َ*ُ(ُ]ْ ‫ ا‬2ِ& w َ :‫ُ  َر‬U -َ ِْ*ْ ‫"َ ! ا‬ ‫ل‬ َ َZَ&: ; E َُْ َ& 2 َ E َُL ْ‫َ َء َأن‬6 ْ َ Dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami, ia berkata: Aku menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dia sedang bertanya kepada Zaid bin Arqam: “Apakah kamu menyaksikan bersama Rasulullah, dua Id berkumpul dalam satu hari?” Ia menjawab: “Iya.” Mu’awiyah berkata: “Bagaimana yang beliau lakukan?” Ia menjawab: “Beliau Shalat Id lalu memberikan keringanan pada Shalat Jumat dan mengatakan: ‘Barangsiapa yang ingin mengerjakan Shalat Jumat maka shalatlah’.” ‫ل‬ َ َ, ُB‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ َوَ  َ َأ‬ ِ ُْ‫ْ َ َة َ ْ َر‬Lَ ُ‫ ه‬2ِ4‫َ ْ َأ‬: ‫َا‬Dَ‫َْ ِ@ُْ ه‬L 2ِ& \َ َ(َJْi‫ْ ا‬-َ, ْ ِ [ُ ‫َأ‬Hَ ْi‫َ َء َأ‬6 ْ َ(َ& ،ِ‫َان‬-ِْ ‫ن‬ َ ُْ*E(َ]ُ B‫ا ْ]ُ(ُ*َ)ِ َوِإ‬ Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau berkata: “Telah berkumpul pada hari kalian ini 2 Id, maka barangsiapa yang berkehendak, (Shalat Id) telah mencukupinya dari Jum’at dan sesungguhnya kami tetap

melaksanakan Jum’at.” (Keduanya diriwayatkan Abu Dawud dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1070 dan 1073) Ibnu Taimiyyah berkata: “Pendapat yang ke-3 dan itulah yang benar, bahwa yang ikut Shalat Id maka gugur darinya kewajiban Shalat Jum’at. Akan tetapi bagi imam agar tetap melaksanakan Shalat Jum’at, supaya orang yang ingin mengikuti Shalat Jum’at dan orang yang tidak ikut Shalat Id bisa mengikutinya. Inilah yang diriwayatkan dari Nabi dan para shahabatnya.” (Majmu’ Fatawa, 23/211) Lalu beliau mengatakan juga bahwa yang tidak Shalat Jum’at maka tetap Shalat Dzuhur. Ada sebagian ulama yang berpendapat tidak Shalat Dzuhur pula, di antaranya ‘Atha`. Tapi ini pendapat yang lemah dan dibantah oleh para ulama. (Lihat AtTamhid, 10/270-271) Ucapan Selamat Saat Hari Raya Ibnu Hajar mengatakan: “Kami meriwayatkan dalam Al-Muhamiliyyat dengan sanad yang hasan dari Jubair bin Nufair bahwa ia berkata: ‘Para shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bila bertemu di hari Id, sebagian mereka mengatakan kepada sebagian yang lain: b َ ْ1ِ ‫ َو‬1ِ ُ ‫; ا‬ َ 5َZَ0 “Semoga Allah menerima (amal) dari kami dan dari kamu.” (Lihat pula masalah ini dalam Ahkamul ‘Idain karya Ali Hasan hal. 61, Majmu’ Fatawa, 24/253, Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/167-168) Wallahu a’lam. 1 'Id artinya kembali. 2 Karena Nabi tidak memberi contoh demikian dalam ibadah ini. Lain halnya – wallahu a’lam– bila kebersamaan itu tanpa disengaja. http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=373

Seputar Zakat Fitrah dan Hari Raya ‘Iedul Fitri Penulis: Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah Zakat Fitrah Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang hukum mengeluarkan zakat fitrah pada sepuluh hari pertama pada bulan Ramadhan? Beliau rahimahullah menjawab: Kata zakat fitrah berasal dari kata al-fithr (berbuka), karena dari al-fithr inilah sebab dinamakan zakat fitrah. Apabila berbuka dari Ramadhan merupakan sebab dari penamaan ini, maka zakat ini terkait dengannya dan tidak boleh mendahuluinya (dari berbuka-masuk Syawalred). Oleh sebab itu, waktu yang paling utama dalam mengeluarkannya adalah pada hari ‘Ied sebelum shalat (‘Ied). Akan tetapi diperbolehkan untuk mendahului (dalam mengeluarkannya) sehari atau dua hari sebelum ‘Ied agar memberi keleluasaan bagi yang memberi dan yang mengambil. Sedangkan zakat yang dilakukan sebelum hari-hari tersebut, menurut pendapat yang kuat di kalangan para ulama adalah tidak boleh. Berkaitan dengan waktu penunaian zakat fitrah, ada dua bagian waktu: 1. Waktu yang diperbolehkan, yaitu sehari atau dua hari sebelum ‘Ied 2. Waktu yang utama, yaitu pada hari ‘Ied sebelum shalat Adapun mengakhirkannya hingga usai melaksanakan shalat, maka hal ini haram (terlarang) dan tidak sah sebagai zakat fitrah. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma: ْ َ ‫ َو‬،ٌ)َ ُْ5ْZَ ٌ‫ زَآَة‬2 َ َِ& ‫ ِة‬G َ  ‫; ا‬ َ ْ5َ, َ‫ت َو َ ْ َأداه‬ ِ َ,َ- ‫ ا‬ َ ِ ٌ)َ,-َ َ" 2 َ َِ& ‫ ِة‬G َ  ‫ ا‬-َ ْ*َ4 َ ‫َأداه‬ “Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat, maka zakatnya diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat, maka itu termasuk dari shadaqah.” Kecuali apabila orang tersebut tidak mengetahui (kapan) hari ‘Ied. Misalnya dia berada di padang pasir dan tidak mengetahuinya kecuali dalam keadaan terlambat atau yang semisalnya. Maka tidak mengapa baginya untuk menunaikannya setelah shalat ‘Ied, dan itu mencukupi sebagai zakat fitrah.1 Beliau rahimahullah ditanya: Kapankah waktu mengeluarkan zakat fitrah? Berapa ukurannya? Bolehkah menambah takarannya? Beliau rahimahullah menjawab: Zakat fitrah adalah makanan yang dikeluarkan oleh seseorang di akhir bulan Ramadhan, dan ukurannya adalah sebanyak satu sha’2. Ibnu ‘Umar radhiallahu 'anhuma berkata: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan sebanyak satu sha’ kurma, atau gandum.” Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma berkata: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan shadaqatul fithr sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata keji, serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin.” Maka zakat fitrah itu berupa makanan pokok masyarakat sekitar. Pada masa sekarang yakni kurma, gandum, dan beras. Apabila kita tinggal di tengah

masyarakat yang memakan jagung, maka kita mengeluarkan jagung atau kismis atau aqith (susu yang dikeringkan). Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu 'anhu: “Dahulu kami mengeluarkan zakat pada masa Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam (seukuran) satu sha’ dari makanan, dan makanan pokok kami adalah kurma, gandum, kismis, dan aqith.” Waktu mengeluarkannya adalah pada pagi hari ‘Ied sebelum shalat, berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar radhiallahu 'anhuma: “Dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar zakat ditunaikan sebelum kaum muslimin keluar untuk shalat,” dan hadits ini marfu’. Dan dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma: “Barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum shalat, maka itu zakat yang diterima, dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka hal itu (hanyalah) shadaqah.” Dibolehkan untuk mengawalkan sehari atau dua hari sebelum ‘Ied, dan tidak boleh lebih cepat dari itu. Karena zakat ini dinamakan zakat fitrah, disandarkan kepada al-fithr (berbuka, masuk Syawal, red). Seandainya kita katakan boleh mengeluarkannya ketika masuk bulan (Ramadhan), maka namanya zakat shiyam. Oleh karena itu, zakat fithr dibatasi pada hari ‘Ied sebelum shalat, dan diringankan (dimudahkan) dalam mengeluarkannya sehari atau dua hari sebelum ‘Ied. Adapun menambah takarannya lebih dari satu sha’ dengan tujuan untuk ibadah, maka termasuk bid’ah. Namun apabila untuk alasan shadaqah dan bukan zakat, maka boleh dan tidak berdosa. Dan lebih utama untuk membatasi sesuai dengan yang ditentukan oleh syariat. Dan barangsiapa yang hendak bershadaqah, hendaknya secara terpisah dari zakat fitrah. Banyak kaum muslimin yang berkata: Berat bagiku untuk menakar dan aku tidak memiliki takaran. Maka aku mengeluarkan takaran yang aku yakini seukuran yang diwajibkan atau lebih dan aku berhati-hati dengan hal ini. Maka yang demikian ini dibolehkan. (Diambil dari kitab Majmu’ Fatawa li Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin, juz 18 bab Zakatul Fithr) Hari Raya ‘Iedul Fitri Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang hukum menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan pada hari ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha serta malam 27 Rajab, Nishfu (pertengahan) Sya’ban, dan hari ‘Asyura? Beliau rahimahullah menjawab: Tidak mengapa menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan pada hari-hari ‘Ied seperti ‘Iedul Fitri atau ‘Iedul Adha selama dalam batas-batas syar’i. Di antaranya seseorang makan dan minum atau yang semisalnya. Telah tsabit (pasti) dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam salah satu hadits beliau: ;  َi‫ َو‬H َ ِ ‫ َو ِذآْ ِ ا‬،ٍ‫َْب‬6‫; َو‬ ٍ ْ‫ ُم َأآ‬L‫ِ َأ‬hْLِ ْRJ ‫ ُم ا‬L‫َأ‬ “Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum, dan berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala“, yaitu dalam tiga hari setelah ‘Iedul Adha yang barakah. Demikian pula pada hari ‘Ied, kaum muslimin menyembelih dan memakan qurban mereka serta menikmati nikmat Allah atas mereka. Dan juga pada hari ‘Iedul Fitri, tidak mengapa menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan selama

tidak melampaui batasan syar’i. Sedangkan menampakkan kegembiraan pada malam 27 Rajab atau Nishfu Sya’ban atau di hari ‘Asyura, maka hal tersebut tidak ada asalnya dan dilarang (merayakannya). Dan apabila diundang untuk merayakannya, hendaknya tidak menghadirinya berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: ‫ ِر‬1 ‫ْ ا‬2ِ& ٍ)َ G َ َ3 ;  ُ‫ َ)ٍ َوآ‬G َ َ3 ٍ)َْ-ِ4 ;  ُ‫ن آ‬  oَِ& ‫ ُْ ِر‬C ُ ْ‫ت ا‬ ِ َUَ-ْFُ ‫آُْ َو‬L‫ِإ‬ “Hati-hatilah kalian terhadap perkara baru (yang diada-adakan), karena sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di annaar.” Adapun malam 27 Rajab, orang-orang mengatakannya sebagai malam Mi’raj, yaitu malam di-mi’raj-kannya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Allah. Padahal hal ini tidak tsabit (tidak benar) dari sisi sejarah. Dan segala sesuatu yang tidak tsabit maka batil, dan setiap yang dibangun di atas kebatilan maka batil (juga). Seandainya pun benar bahwa malam Mi’raj pada tanggal 27 Rajab, maka kita dilarang untuk mengadakan sesuatu yang baru berupa syi’ar-syi’ar ‘Ied ataupun sesuatu dari perkara ibadah, karena hal itu tidak tsabit dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak pula dari shahabatnya. Apabila tidak tsabit dari orang yang di-mi’raj-kan (Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) dan juga tidak tsabit dari shahabatnya, yang mereka lebih utama dalam hal ini dan paling bersemangat terhadap Sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan syariatnya, maka bagaimana mungkin kita boleh mengada-adakan sesuatu yang tidak ada di masa Nabi r, dalam memuliakan hari-hari tersebut dan tidak pula dalam menghidupkannya? Dan sesungguhnya sebagian tabi’in menghidupkannya dengan shalat dan dzikir, bukan dengan makan dan bergembira serta menampakkan syiar-syiar ied. Adapun hari ‘Asyura, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa pada hari itu, maka beliau menjawab: َ)َِ3َ(ْ ‫َ)َ ا‬1' ‫ ُ ا‬Eَ@ُL “Menghapuskan dosa (kecil) setahun yang lalu,” yakni setahun sebelum hari itu. Dan tidak ada syi’ar-syi’ar ‘Ied sedikit pun pada hari tersebut. Sebagaimana halnya pada hari tersebut tidak ada syi’ar-syi’ar ‘Ied, maka tidak ada pula syi’arsyi’ar kesedihan pula sedikit pun. Menampakkan kegembiraan atau kesedihan pada hari tersebut merupakan perbuatan yang menyelisihi As Sunnah. Dan tidak diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (mengenai amalan) pada hari itu kecuali puasa, sedangkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita untuk berpuasa sehari sebelum atau sesudahnya, untuk menyelisihi Yahudi yang berpuasa pada hari itu saja. (Diambil dari Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, juz 16 bab Shalatul ‘Iedain). 1 Begitu pula seandainya berita ‘Ied datang tiba-tiba dan tidak memungkinkan baginya untuk menyerahkannya kepada yang berhak sebelum shalat ‘Ied, atau karena udzur lainnya. Dan ini dinamakan mengqadha karena udzur. (Lihat AsySyarhul Mumti’ karya Ibnu ‘Utsaimin, 6/174-175, ed) 2 Yaitu sha’ Nabawi. Adapun ukurannya, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyatakan, berdasarkan ukuran mudd yang dietmukandi reruntuhan di Unaizah, yang

terbuat dari tembaga dan tertulis padanya: Milik Fulan, dari Fulan,... sampai kepada Zaid bin Tsabit radhiallahu 'anhu (shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam), adalah senilai 2,040 kg gandum yang bagus (lihat Asy-Syarhul Mumti’ karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 6/76). Jika dinilaikan dengan beras maka sekitar 2,250 kg. Ada juga yang menyatakan bahwa 1 sha’ Nabawi ukurannya sekitar 3 kg, sebagaimana fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz (Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah, edisi 17/1406-1407H), dan juga Asy-Syaikh Alu Bassam dalam Taudhihul Ahkam (3/74) menyatakan bahwa 1 sha’ Nabawi ukurannya 3000 gr (3 kg) bila diukur dengan hinthah (sejenis gandum).Sehingga kebiasaan kaum muslimin di Indonesia yang menunaikan zakat fitrah dengan ukuran 2,5 kg beras insya Allah sudah mencukupi. (ed) http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=188

Shalat Ied & Hal-hal yang Berkaitan dengannya Penulis: Al Ustadz Zuhair Syarif Penyebab rusaknya ittiba' dan tersebarnya bid'ah serta kesalahan-kesalahan dalam beribadah adalah karena adanya hadits-hadits dlaif dan maudlu' yang tidak ada sandarannya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Di samping itu juga dikarenakan sikap taqlid dan ta'ashub pada salah satu madzhab tertentu tanpa mengindahkan hadits-hadits shahih dari Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam rangka menghidupkan sunnah yang lurus inilah, dalam edisi ini, kami ingin menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan shalat Ied (baik Iedul Fithri maupun Iedul Adl-ha). Hal itu agar kita dapat melaksanakan ibadah ini dengan sebenar-benarnya sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Di antara hal-hal yang berkaitan dengan shalat Ied adalah: Tempat Shalat untuk Dua Ied Telah masyhur baik dari kalangan huffadh (ulama) maupun ahli hadits bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam –dalam ucapan dan perbuatanperbuatannya— terus meneru melakukan shalat Ied (Iedul Fithri dan Iedul Adlha) di mushalla (tanah lapang). Pendapat para ulama ini didasarkan pada dalil hadits-hadits shahih yang ada dalam Shahihain, kitab-kitab Sunan, kitab-kitab sanad dan lainnya yang diriwayatkan dari banyak jalan. Untuk itu untuk lebih meyakinkan pembaca atas pendapat para ulama tersebut, akan kami bawakan hadits-hadits yang berkaitan dengannya. Hadits-hadits tersebut kami nukilkan beserta takhrij dan tahqiqnya serta penjelasannya dari kitab Syaikh Al-Albani yang berjudul Shalatul 'Iedain fil Mushalla Hiya Sunnah. Hadits Pertama ‫ل‬ َ َ, 1 ‫ ا‬23‫ْرِي ر‬-ُNْ ‫ ا‬-ِ ِْ*َ 2ِ4‫َ ْ َأ‬: !َ ‫َ! ِإ‬Fْ3C َ ْ‫َْ َم ا ِْْ ِ َو ا‬L ‫ج‬ ُ ُ ْNَL  ‫ل ا ِ " ! ا   و‬ ُ ُْ‫ن َر‬ َ َ‫آ‬ ! َُ(ْ ‫ا‬. ‫ُُْ َو‬pِ*ََ& ،ِِْ&ُُْ" !َ َ ٌ‫ُ ُْس‬i ‫س‬ ُ 1 ‫ َو ا‬،ِ‫س‬1 ‫; ا‬ َ ِ4َZُ ‫ُْ ُم‬Zََ& ‫ف‬ ُ ِ َْ1َL  ُU ،ُ‫ة‬G َ  ‫ِِ ا‬4 ‫ُأ‬-َ ْ5َL x ٍ َْ6 ‫ل‬ ُ ‫ و‬aََ& ُْ‫ْ ُ ُه‬aَL ‫ُْ"ِِْْ َو‬L. ‫ َأ‬x ٍ َْRِ4 ُ ُ ْaَL ْ‫ َأو‬،َُ*ََ, ًAْ*َ4 \َ َْZَL ْ‫ َأن‬-ُ ْLِ ُL ‫ن‬ َ َ‫نْ آ‬oَِ&-ٍ ِْ*َ ُْ4‫ل َأ‬ َ َ, ،ُ‫َْ ِف‬1َL  ُU ِِ4 َ َ : ‫ل‬ ِ Hَ َL َْ َ& b َ ِ ‫س َ َ! َذ‬ ُ 1 ‫ا‬.... (‫ يراخبلا [اور‬٢/٢٥٩-٢٦٠ ‫ ملسم و‬٣/٢٠ ‫ يئاسنلا و‬١/٢٣٤ ‫يف ىلماحملا و‬ ‫ ـج نيديعلا باتك‬٢ ‫ مقر‬٨٦ ‫ [جرختسم يف ميعن وبأ و‬٢/١٠/٢ ‫ [ننس يف يق[يبلا و‬٣/٢٨٠) Dari Abi Sa'id Al-Khudri radliallahu 'anhu, ia berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa keluar menuju mushalla pada hari Iedul Fithri dan Adl-ha. Hal pertama yang beliau lakukan adalah shalat. Kemudian beliau berpaling menghadap manusia, di mana mereka dalam keadaan duduk di shaf-shaf mereka. Beliau memberi pelajaran, wasiat, dan perintah. Jika beliau ingin mengutus satu utusan, maka (beliau) memutuskannya. Atau bila beliau ingin memerintahkan sesuatu, maka beliau memerintahkannya dan kemudian

berpaling." Abu Said berkata: "Maka manusia terus menerus melakukan yang demikian...." (HR. Bukhari 2/259-260, Muslim 3/20, Nasa`i 1/234; Lihat AlMuhamili di dalam Kitab Iedain 2/76, Abu Nu'aim dalam Mustakhraj 2/10/2, dan Baihaqi dalam Sunannya 3/280) Hadits Kedua ْ َ ‫ل‬ َ َ, َ(ُْ1َ ُ ‫ ا‬2 َ ِ3‫ ُ(َ َ َر‬ ِ ْ4 ِ ‫ ا‬-ِ ْ5َ: ‫ ُة‬Hَ َ1َ*ْ ‫ َو ا‬،ِ-ِْ*ْ ‫َْ ِم ا‬L 2ِ& ! َُ(ْ ‫وْ ِإ َ! ا‬-ُ َْL   ‫ن " ! ا   و‬ َ َ‫آ‬ ََْ ‫ ِإ‬2E ََُ& ِْL-َ َL َ َْ4 ْSَ5ُِB ! َُ(ْ ‫َ َ َ… ا‬4 ‫ذَا‬oَِ& ،ِْL-َ َL َ َْ4 ; ُ َ(ْFُ0. b َ ِ ‫ِِ َو َذ‬4 ُ ِJَJْ'َL ٌ‫ْء‬2َ6 ِِْ& c َ َْ ‫َ ًء‬nَ& ! َُ(ْ ‫ن ا‬  ‫َأ‬. (‫ يراخبلا [اور‬١/٣٥٤ ‫ ملسم و‬٢/٥٥ ‫ دواد وبأ و‬١/١٠٩ ‫ يئاسنلا و‬١/٢٣٢ ‫ [جام نبا و‬١/٣٩٢ ‫و‬ ‫ مقر دمحأ‬٦٢٨٦ ‫ ـج نيديعلا باتك يف يلماحملا و‬٢ ‫ مقر‬٢٦-٣٦ ‫يف ىماحشلا مساقلا وبأ و‬ ‫ مقر ديعلا ةفحت‬١٤-١٦ ‫ يق[يبلا و‬٣/٢٨٤-٢٨٥) Dari Abdullah bin Umar radliyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa berpagi-pagi (menuju) ke mushalla pada hari Ied, sedangkan 'anazah dibawa di depannya. Ketika beliau sampai di sana ('anazah tadi) ditancapkan di depan beliau dan beliau shalat menghadapnya. Hal ini karena mushalla itu terbuka, tidak ada yang membatasinya. (HR. Bukhari 1/354, Muslim 2/55, Abu Dawud 1/109, An-Nasa`i 1/232, Ibnu Majah 1/392, Ahmad 6286, Al-Muhamili 2/26-36, Abul Qasim As-Syaukani[1] di dalam Tuhfatul Ied 1416 dan Al-Baihaqi 3/284-285) 'Anazah (sebagaimana yang diterangkan di dalam An-Nihayah) bentuknya seperti setengah tombak atau lebih besar sedikit. Di ujungnya ada mata lembing seperti mata tombak dan paling mirip dengan bentuk tongkat. Hadits Ketiga ‫ل‬ َ َ, ‫ب‬ ٍ ‫ َ ِز‬ ِ ْ4 ‫َا ِء‬5ْ ‫ ا‬ ِ َ: \ِ ِْZَ5ْ ‫َ! ِإ َ! ا‬Fْ3‫َْ َم َأ‬L   ‫ " ! ا   و‬2 I ِ51 ‫ج ا‬ َ َ َ:(‫ةياور يفو‬: ! َُ(ْ ‫&ََ ! )ا‬ ‫ل‬ َ َ, ‫ِِْ َو‬iَ ِ4 َ1َْ َ ; َ َ5ْ,‫ُ  َأ‬U ،ِ َْJَ*ْ‫ َرآ‬: 2ِ& َ1ِ@ُ'ُB ‫ل‬ َ ‫ن َأ و‬  ‫ْ ِإ‬-َZَ& b َ ِ ‫; َذ‬ َ َ*َ& ْ َ(َ& ،َُFْ1َ1َ& \َ ِiَْB  ُU ‫ ِة‬G َ  ِ4 ‫َأ‬-َ ْ5َB ْ‫َا َأن‬Dَ‫َ ه‬1ِ َْL x ٍ َْ6 2ِ& b ِ ُ'I1 ‫ ا‬ َ ِ c َ َْ ،ِِ ْ‫ه‬C َ ِ َُ ]َ ٌxَْ6 َ ُ‫(َ ه‬Boَِ& b َ ِ ‫; َذ‬ َ ْ5َ, s َ َ4‫ َو َ ْ َذ‬،َ1َJ1ُ h َ َ&‫وَا‬. (‫ يراخبلا [اور‬٢/٣٧٢ ‫ دمحأو‬٤/٢٨٢ ‫ ىلماحملاو‬٢ ‫ مقر‬٩٠، ٩٦ ‫)نسح دنسب ام[ل ىرخألا ةياورلاو‬ Dari Al-Barra' bin 'Azib, ia berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam keluar menuju ke Baqi' (dalam riwayat lain: mushalla) pada hari Iedul Adl-ha. Di sana beliau shalat dua rakaat, setelah itu beliau menghadapkan wajahnya kepada kami seraya berkata: "Sesungguhnya awal ketaatan dan ibadah pada hari kita ini adalah kita memulai dengan shalat, kemudian pulang dan berkurban. Barangsiapa melaksanakan yang demikian itu, sungguh dia telah mencocoki sunnah kami. Dan barangsiapa berkurban sebelum itu, maka itu sesuatu yang dia tergesa-gesa untuk keluarganya, tidak ada sedikitpun nilai ibadahnya." (HR. Bukhari 2/372, Ahmad 4/282, Al-Muhamili 2/96, bagi keduanya ada riwayat lain dengan sanad hasan) Hadits Keempat َُ ; َ ِْ, ‫س‬ ٍ 5َ ِ ْ4‫ ا‬ ِ َ: ‫ل‬ َ َ, ‫ " ! ا   و  ؟‬2 E ِ51 ‫ َ َ\ ا‬-َ ِْ*ْ ‫ت ا‬ َ ْ-َِ6‫َأ‬: ،ُُ0ْ-َِ6 َ ِ َE ‫ ا‬ َ ِ 2ِBَ@َ j َ َْ ‫ َو‬،َْ*َB َ'E1 ‫َ! ا‬0‫ُ  َأ‬U ! ََ& ْSَ  ‫ ا‬ ِ ْ4 ِ ِْAَ‫ دَا ِر آ‬-َ ْ1ِ ْ‫ي‬Dِ  ‫َ! ا ْ*َ َ َ ا‬0‫! َأ‬JَK  ُ‫ َو َأ َ َه‬  ُ‫ َو َذآ َه‬  َُpََ َ& ٌ‫ل‬G َ ِ4 َُ*َ ‫ َء َو‬ ِِJَْ4 !َ ‫لٌ ِإ‬G َ ِ4 ‫ هُ َ َو‬h َ َ َْB‫ُ  ا‬U ‫ل‬ ٍG َ ِ4 ‫ب‬ ِ َْU 2ِ& َُ1ْ&Dِ ْZَL  ِْL-ِ ْLaَِ4 َ ْLِ َْL  ُُJْL‫َ)ِ &َ ََأ‬,-َ  ِ4. ‫ يراخبلا [جرخأ‬٢/٣٧٣ ‫و‬ ‫ ملسم‬٢/١٨-١٩ ‫ ةبيش يبأ نبا و‬٢/٣/٢ ‫ مقر ىلماحملا و‬٢٨، ٢٩ ‫ مقر ىبايرفلا و‬٨٥، ٩٣ ‫و‬ ‫ [جرختسم يف ميعن وبأ‬٢/٨/٢-٩/١٠ ‫جيرج نبا نع ةياور يف ملسم داز و‬: ‫ ِ*ََ ٍء‬S ُ ْ ُ,: !َ َ ˆZَK‫َأ‬ ‫ل‬ َ َ, ‫ ُهُ ؟‬E‫آ‬Dَ َُ& ‫غ‬ ُ َ َْL َ ِْK ‫'َ َء‬E1 ‫ ا‬2 َ ِ0ْaَL ْ‫ن َأن‬ َ uْ‫ َ ِم ا‬r ِ ْ‫ا‬: ِ ‫ن َذ‬  ‫َ؟َأيْ َ*ُ(ِْي ِإ‬bِ ‫ن َذ‬ َ ُْ َ*ََL j َ َُْ َ ‫ َ َِْْ َو‬h Š َFَ b َ!

Dari Ibnu Abbas, beliau ditanya: "Apakah engkau menghadiri shalat Ied bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam?" Beliau menjawab: "Ya, dan kalaulah bukan karena tempatku yang kecil ini tidaklah aku menyaksikannya hingga beliau datang ke 'alam (sebidang tanah) yang berada di sisi (sebelah) rumah Katsir bin As-Shalt. Maka beliau shalat kemudian berkhutbah dan datang ke para wanita bersama Bilal. Beliau memberi pelajaran, mengingatkan dan memerintah mereka untuk bershadaqah. Maka aku lihat mereka merentangkan tangan-tangan mereka untuk melemparkannya (shadaqah) pada baju Bilal. Kemudian beliau pergi bersama Bilal ke rumahnya. (HR. Bukhari 2/373, Muslim 2/18-19, Ibnu Abi Syaibah 2/3/2, Al-Muhamili 38-39, Al-Firyaabi no. 85, 93 dan Abu Nu'aim di dalam Mustakhrajnya 2/8/2-9/10 dan Muslim menambahkan di dalam riwayatnya dari Ibnu Juraij: "Aku berkata kepada Atha': Apakah benar bagi imam sekarang untuk mendatangi para wanita jika telah selesai (shalat) dan mengingatkan mereka?" Beliau menjawab: "Ya, demi Allah sesungguhnya yang demikian itu haq. Kenapa mereka tidak melakukan yang demikian?") Demikianlah hadits-hadits yang merupakan hujjah yang kokoh dan jelas tentang sunnahnya melakukan shalat Ied di mushalla (tanah lapang). Oleh karena itu jumhur ulama mengatakan di dalam Syarhus Sunnah (Imam Al-Baghawi 3/294): "Termasuk sunnah bagi imam untuk keluar (ke mushalla) guna melaksanakan dua shalat Ied. Kecuali jika ada udzur, maka (boleh) shalat di masjid, yaitu masjid di dalam negeri-(nya)." Al-'Allamah Ibnul Haaj Al-Maliki berkata: "Sunnah yang berlangsung pada dua shalat Ied adalah dilakukan di mushalla (tanah lapang), karena sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: "Shalat di masjidku ini lebih utama dari seribu shalat di tempat lain selain Masjidil Haram." (HR. Bukhari 1190 dan Muslim 1394). Walaupun ada fadlilah yang besar seperti ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam masih juga keluar (ke mushalla) dan meninggalkannya (masjid)." (AlMadkhal 2/283). Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata di dalam Al-Mughni (2/229-230): "Termasuk dari sunnah adalah shalat Ied di mushalla. Ali radliallahu 'anhu memerintahkan yang demikian dan Al-Auza'i serta Ashhabur Ra'yi menganggapnya baik. Inilah ucapan Ibnul Mundzir." Mengomentari hadits pertama, Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani (Fathul Bari 2/450) berkata: "Dari hadits ini diambillah dalil atas sunnahnya keluar ke tanah lapang untuk shalat Ied. Sesungguhnya yang demikian itu lebih utama daripada shalat Ied di masjid karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terus menerus melakukan yang demikian. Padahal shalat di masjid beliau memiliki banyak keutamaan." Imam Muhyiddin An-Nawawi berkata dalam Syarah Shahih Muslim ketika mengomentari hadits pertama: "Hadits ini adalah dalil bagi orang yang menyatakan sunnahnya menuju ke mushalla untuk shalat Ied. Dan ini lebih afdlal (utama) daripada dikerjakan di masjid. Hal ini berlaku bagi kaum muslimin di seluruh negeri. Adapun mengenai penduduk Mekah yang selalu melaksanakan shalat Ied di masjid sejak awal, di kalangan kami ada dua pendapat: 1. (Shalat Ied) di tanah lapang lebih afdlal berdasarkan hadits ini. 2. Yang ini lebih benar menurut kebanyakan mereka bahwa di masjid lebih afdlal

kecuali jika masjidnya sempit." Mereka (para pengikut Imam Nawawi) berkata: "Sesungguhnya penduduk Mekah shalat di masjid karena luasnya, sedangkan keluarnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ke mushalla karena sempitnya masjid. Hal in menunjukkan bahwa shalat di masjid lebih utama apabila masjid itu luas (lapang)." Bantahan terhadap Alasan bahwa Shalat Ied di Tanah Lapang dengan sebab Sempitnya Masjid Pernyataan para pengikut dan murid Imam Nawawi ini perlu ditinjau lagi. Sebab jika permasalahannya sebagaimana yang mereka nyatakan, maka tidaklah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terus menerus menunaikannya di tanah lapang. Beliau tentu tidak akan terus menerus dalam melakukan suatu ibadah, kecuali karena itulah yang paling utama. Jadi, pendapat yang menyatakan bahwa hal itu dilakukan karena sempitnya masjid adalah pendapat yang tidak ada dalilnya. Yang menguatkan bantahan terhadap pendapat mereka adalah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa shalat Jum'at di masjid, sedangkan yang datang untuk shalat adalah seluruh penduduk Madinah dan sekitarnya. Beliau shalat Jum'at bersama mereka di masjid tersebut. Tidak jelas perbedaan jumlah antara dua kelompok ini, yakni kelompok yang hadir pada shalat Jum'at dan kelompok yang hadir pada shalat Ied, sehingga dikatakan: Masjid ini cukup luas untuk yang ini (shalat Jum'at) dan tidak cukup untuk yang itu (shalat Ied). Barangsiapa yang mengatakan demikian, maka dia harus mendatangkan dalilnya dan kami yakin dia tidak akan menemuinya. Kalau misalnya, shalat Ied yang dilakukan di masjid lebih utama daripada dilakukan di tanah lapang karena kondisi masjid saat itu sempit, tentu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bergegas untuk memperluasnya sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah-khalifah sesudah beliau. (Hal itu) dikarenakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lebih pantas sebagai orang yang pertama memperluasnya dibandingkan dengan mereka, kalau memang tidak cukup dipakai untuk shalat Ied. Walaupun demikian beliau meninggalkannya, sehingga tidak mungkin pernyataan tersebut diterima. Hal ini hanyalah merupakan anggapan seseorang yang ingin menolak. Dan tidaklah aku menyangkan ada seseorang yang alim berani atas tanggapan seperti ini. Kalau dia melakukan yang demikian, maka kami mendahuluinya dengan firman Allah Ta'ala yang artinya: "Katakanlah, tunjukkanlah bukti kalian jika kalian orang-orang yang benar." (Al-Baqarah: 111) Dengan demikian pernyataan di atas sudah terbantah. Adapun (tentang pendapat) Imam Nawawi yang bermadzhab Syafi'i, kita nukilkan ucapan Imam Syafi'i sendiri: "Telah sampai kepada kami (riwayat) bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar ke tengah lapang pada dua hari Ied di Madinah. Demikian pula orang-orang sesudah beliau, kecuali jika ada udzur hujan dan selainnya. Demikian juga kebanyakan negeri-negeri, kecuali penduduk Makkah." Selanjutnya beliau mengisyaratkan bahwa sebab yang demikian adalah karena luasnya masjid dan sempitnya pinggiran-pinggiran Mekah dengan ucapannya: "Jika suatu negeri yang makmur (banyak orang) dan masjid mereka

mencukupi untuk shalat Ied, aku tidak berpendapat bahwa mereka harus keluar darinya (masjid). Sedangkan kalau masjidnya tidak mencukupi mereka, aku memakruhkan shalat di dalamnya dan tidak ada pengulangan." (Al-Umm 1/287). Alasan yang dikehendaki dari keterangan tersebut berkisar tentang luas dan sempitnya masjid, bukan tentang keluarnya ke tanah lapang, karena yang dikehendaki adalah terkumpulnya masyarakat. Apabila di masjid sudah mencukupi, lebih-lebih masjid yang ada keutamaannya maka lebih afdlal. Mengenai perkataan Imam Syafi'i ini, Imam As-Syaukani mengomentari dengan ucapannya: "Dalam perkataannya (Imam Syafi'i) bahwa alasan dengan sempit dan luasnya masjid ini hanya kira-kira dan prasangka saja. Untuk itu tidak boleh digunakan sebagai dalih untuk tidak mencontoh kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam perkara "keluar ke tanah lapang" sesudah diketahui bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terus menerus melakukannya. Adapun pengambilan dalil yang demikian (luas dan sempitnya masjid) sebagai alasan untuk shalat Ied di masjid Makkah, dapat dijawab dengan kemungkinan tidak dilakukannya keluar ke tanah lapang (di Makkah), karena sempitnya pinggiran-pinggiran kota Makkah, bukan karena luasnya masjid." Syaikh Al-Albani berkata: "Kemungkinan yang disebutkan oleh Imam Syaukani ini diisyaratkan juga oleh Imam Syafi'i sendiri dengan ucapannya: 'Sesungguhnya apa yang aku katakan ini adalah tidak lain karena tidak adanya keluasan di sekeliling rumah-rumah kota Makkah, keluasan yang lebar (tanah lapang).'" (Al-Umm 1/207) Hal ini menguatkan pendapat Imam Syaukani: "Alasan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melakukannya di masjid, karena sempit adalah hanya kirakira saja." Kemudian dengan alasan tadi, mereka (murid-murid Imam Nawawi) berargumentasi dengan riwayat Baihaqi di dalam Sunan Al-Kubra (3/310) dari jalan Muhammad bin Abdul Aziz bin Abdurrahman dari Utsman bin Abdurrahman At-Taimi, ia berkata: Hujan deras turun di Madinah pada hari Iedul Fithri pada masa pemerintahan Aban bin Utsman. Maka beliau mengumpulkan manusia di masjid dan tidak keluar ke tanah lapang, di mana beliau biasa shalat Iedul Fithri dan Adl-ha padanya. Kemudian beliau berkata kepada Abdullah bin Amir bin Rabi'ah: "Berdirilah dan khabarkan kepada manusia apa yang kamu khabarkan kepadaku." Abdullah bin Amir berkata: "Sesungguhnya manusia di jaman Umar bin Khaththab radliallahu 'anhu kehujanan, sehingga mereka terhalang untuk keluar ke tanah lapang. Lalu Umar pun mengumpulkan manusia ke masjid dan shalat bersama mereka. Kemudian beliau berdiri di atas mimbar seraya berkata: 'Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar bersama manusia ke tanah lapang untuk shalat (Ied), karena tanah lapang lebih memberi manfaat dan lebih leluasa untuk mereka. Dan bahwasanya masjid beliau tidak mencukupi mereka. Namun, apabila turun hujan maka masjid lebih bermanfaat.'" Jawaban terhadap argumentasi ini, Syaikh Al-Albani berkata: "Riwayat ini dlaif jiddan (lemah sekali) karena di dalam sanadnya ada Muhammad bin Abdul Aziz. Dia adalah Muhammad bin Abdul Aziz bin Umar bin Abdurrahman bin Auf AlQadli. Bukhari berkata tentangnya: 'Dia munkarul hadits (munkar haditsnya).' An-

Nasa`i berkata: 'Dia matruk (ditinggalkan haditsnya).' Imam Syafi'i telah mengeluarkan riwayat ini di dalam al-Umm (1/707) dari jalan yang lain dari Aban secara mauquf. Bersamaan dengan itu, sanadnya juga lemah sekali karena riwayatnya dari Ibrahim guru Imam As-Syafi'i dan dia adalah Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya Al-Aslami. Dia seorang pendusta (banyak dusta dalam periwayatan). Imam Malik berkata: 'Dia tidak dipercaya di dalam hadits dan agamanya.'" Oleh karena itu Al-Hafidh berkata tentangnya di dalam AtTaqrib: "Ditinggalkan riwayat hadits darinya." Dari keterangan yang telah lewat terlihat batilnya alasan dengan sempitnya masjid dan rajih (kuat)nya ucapan para ulama yang memastikan bahwa shalat Ied di tanah lapang adalah sunnah dan disyariatkan di setiap jaman dan negeri, kecuali karena darurat. Dan aku (Al-Albani) tidak mengetahui seorang pun dari kalangan para ulama yang mumpuni dalam ilmunya menyelisihi yang demikian itu. Demikian pula Ibnu Hazm di dalam Al-Muhalla (5/81) berkata: "Adapun sunnahnya shalat dua Ied adalah keluarnya penduduk di setiap desa atau kota ke tanah lapang yang luas pada waktu sesudah meningginya matahari dan ketika mula bolehnya shalat sunnah." Beliau berkata lagi (hal. 86): "Jika mereka mempunyai masyaqqah (keberatan/udzur), maka mereka shalat jamaah di masjid." Selanjutnya beliau menyambung (hal. 87): "Kami telah meriwayatkan dari Umar dan Utsman radliyallahu 'anhuma, bahwasanya keduanya shalat Ied di masjid bersama manusia karena terjadi hujan di hari Ied. Sedangkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa keluar ke tanah lapang untuk shalat dua Ied. Maka perkara shalat di tanah lapang ini lebih utama sedangkan selainnya (selain di tanah lapang, yaitu di masjid) juga diganjar, karena shalat di lapangan adalah perbuatan Rasulullah, bukan perintah." Al-'Allamah Al-'Aini Al-Hanafi berkata di dalam Syarah Bukhari ketika mengambil hukum dari hadits Abi Said (6/280-281): "Di dalam hadits tersebut ada dalil untuk menampakkan diri dan keluar ke tanah lapang dan tidak boleh shalat di masjid kecuali karena darurat." Ibnu Ziyad meriwayatkan dari Imam Malik, beliau berkata: "Termasuk sunnah adalah keluar ke tanah lapang, kecuali penduduk Makkah, maka di masjid." Di dalam Fatawa Al-Hindiyah (1/118) disebutkan: "Keluar ke tanah lapang pada shalat Ied adalah sunnah, walaupun masjid jami' masih lapang. Demikianlah pendapat para ulama dan inilah yang shahih (benar)." Dalam Al-Mudawwanah (1/171) yang diriwayatkan dari Malik, beliau berkata: "Tidak boleh shalat dua Ied di dua tempat dan tidak boleh di masjid mereka, akan tetapi hendaklah mereka keluar sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar. Dari Ibnu Wahab dari Yunus dari Ibnu Syihab, dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar ke mushalla (tanah lapang) kemudian disunnahkan hal itu kepada penduduk negeri-negeri." Dengan ucapan-ucapan dan bantahan-bantahan yang kami nukilkan dari para ulama, maka terbantahlah ucapan-ucapan atau kesalahan di atas. Sunnah nabawiyah yang tercantum di dalam hadits-hadits yang shahih menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dua Ied di

tanah lapang di luar daerah. Terus menerus pekerjaan ini berlangsung sejak jaman pertama dan mereka tidak melakukan shalat Ied di masjid, kecuali kalau ada darurat yaitu hujan atau yang lainnya. Ini adalah madzhab imam yang empat dan selain mereka dari para ulama ridwanullahu alaihim. Aku (Al-Albani) tidak mengetahui seorangpun yang menyelisihinya (di atas), kecuali ucapan Syafi'i radliyallahu 'anhu tentang memilih shalat di masjid apabila mencukupi penduduk negeri. Bersamaan dengan ini beliau berpendapat tidak apa-apa shalat di tanah lapang walaupun masjid cukup untuk menampung mereka. Telah jelas pula dari beliau bahwasanya beliau memakruhkan shalat Ied di masjid jika masjid tidak cukup oleh penduduk negeri. Begitulah yang terdapat di dalam hadits-hadits yang shahih. Perbuatan ini terus menerus dilakukan pada jaman pertama (Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) dan demikian pula ucapan para ulama. Semua itu menunjukkan bahwasanya dua shalat Ied yang dilakukan sekarang di masjid-masjid adalah bid'ah. Demikian pula sampai kepada kita perkataan Syafi'i yang menyatakan tidak didapati satu masjid pun di sebuah negeri yang dapat menampung seluruh penduduk negeri. Hikmah Shalat di Tanah Lapang Sunnah dua shalat Ied di tanah lapang mempunyai hikmah yang agung yaitu: kaum muslimin mempunyai dua hari di dalam satu tahun di mana penduduk negeri dapat berkumpul pada hari itu baik laki-laki, perempuan maupun anakanak untuk menghadapkan hati-hati mereka kepada Allah. Mereka berkumpul pada kalimat yang satu, shalat di belakang imam yang satu, bertahlil, bertakbir dan berdoa kepada Allah dengan keikhlasan seakan-akan mereka satu hati. Mereka bergembira dan bahagia dengan nikmat Allah atas mereka. Maka hari Ied tersebut di sisi mereka adalah hari besar. Hukum Shalat Ied Sebagian manusia meremehkan hukum shalat Ied. Mereka mengatakan bahwa hukumnya adalah sunnah sehingga mereka tidak menunaikannya di tanah lapang. Padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyuruh para wanita untuk keluar ke tanah lapang guna menunaikan shalat Ied. Dalam permasalahan ini Imam As-Syaukani berkata: "Ketahuilah bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terus menerus mengerjakan dua shalat Ied ini dan tidak pernah meninggalkannya satu pun dari beberapa Ied. Dan beliau memerintahkan manusia untuk keluar padanya, hingga menyuruh wanita yang merdeka, gadis-gadis pingitan dan wanita yang haidl. Beliau menyuruh wanitawanita yang haid agar menjauhi shalat dan menyaksikan kebaikan serta panggilan kaum muslimin. Bahkan beliau menyuruh wanita yang tidak mempunyai jilbab agar saudaranya meminjamkan jilbabnya. Semua ini menunjukkan bahwasanya shalat ini wajib, wajib yang ditekankan atas individu, bukan fardlu kifayah." (As-Sailul Jarar 1/315). Syaikh Masyhur Hasan Salman mengomentari ucapan ini: "Syaukani rahimahullah mengisyaratkan kepada hadits Ummu 'Athiyah radliallahu 'anha: ْSَ َ, َْ1َ ُ ‫ ا‬2 َ ِ3‫م ََِ)َ َر‬E ‫َ ْ ُأ‬: !َFْ3C َ ْ‫ ا ِْْ ِ َو ا‬2ِ&  َُiِ ْNُB ْ‫ل ا ِ " ! ا   و   َأن‬ ُ ُْ‫َ َر‬Bَ َ ‫َأ‬: ‫ َو‬g َ ِFْ ‫ َو ا‬h َ ِ0‫ َة ا ْ*ََا‬G َ  ‫ ا‬ َ ْ Hِ َJْ*ََ& g ُ ِFْ ‫  ا‬aََ& ‫وْ ِر‬-ُ ُNْ ‫ت ا‬ ِ ‫ َذوَا‬. ‫ظفل يفو‬: ‫َْ َ َو َدْ َ َة‬Nْ ‫ن ا‬ َ ْ-َْRَL‫ َو‬،! َُ(ْ ‫ا‬

َ ِْ(ِ ْ'ُ(ْ ‫ا‬. S ُ ْ ُ,: ِ ‫ل ا‬ َ ُْ‫َ َر‬L! ٌ‫َب‬5ْ ِi ََ ‫ن‬ ُ ُْ@َL j َ َB-َ ْK‫ل !ِإ‬ َ َ,: َِ4َ5ْ ِi ْ ِ َُJْ:‫ِ'َْ ُأ‬5ْ ُJِ ‫ا‬. (‫يف يراخبلا [جرخأ‬ ‫ مقر حيحصلا‬٣٢٤، ٣٥١، ٩٧١، ٩٧٤، ٩٨٠، ٩٨١، ‫ و‬١٦٥٢ ‫ مقر حيحصلا يف ملسمو‬٩٨٠ ‫دمحأو‬ ‫ دنسملا يف‬٥/٨٤ ‫ و‬٨٥ ‫ ىبتجملا يف يئاسنلاو‬٣/١٨٠ ‫ مقر ننسلا يف [جام نباو‬١٣٠٧ ‫ مقر عماجلا يف يذمرتلاو‬٥٣٩) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh kami untuk mengeluarkan mereka pada Iedul Fithri dan Adl-ha (yakni) wanita-wanita yang merdeka, yang haid dan gadis-gadis pingitan. Di dalam lafadh (lain): (Keluar) ke mushalla (tanah lapang) dan mereka menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Aku (Ummu Athiyah) berkata: Wahai Rasulullah. Salah seorang dari kami tidak mempunyai jilbab? Beliau berkata: (Suruh) agar saudaranya memakaikan jilbabnya." (HR. Bukhari di dalam Shahihnya no. 324, 351, 971, 974, 980, 981, 1652, Muslim di dalam Shahihnya 980, Ahmad di dalam Musnadnya 5/84-85, AnNasa`i di dalam Al-Mujtaba 3/180, Ibnu Majah di dalam As-Sunan 1307 dan AtTirmidzi di dalam Al-Jami' no. 539) Perintah untuk keluar (pada saat Ied) mengharuskan perintah untuk shalat bagi orang yang tidak mempunyai udzur. Inilah sebenarnya inti dari ucapan Rasul, karena keluar ke tanah lapang merupakan perantara pada shalat. Maka wajibnya perantara mengharuskan wajibnya tujuan dan dalam hal ini laki-laki lebih diutamakan daripada wanita (Al-Mauidlah Al-Hasanah hal. 43). Termasuk dalil wajibnya dua shalat Ied adalah bahwasanya shalat Ied menggugurkan kewajiban shalat Jum'at apabila bertepatan waktunya. Telah jelas dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya ketika berkumpulnya shalat Ied dan Jum'at pada hari yang sama, beliau bersabda: ‫ن‬ َ ُْ*َ(ْ]ُ B‫ َوِإ‬،ِ)َ*ْ(ُ]ْ ‫ ا‬ َ ِ [ُ ‫َأ‬Hَ ْi‫َءَ َأ‬6 ْ َ(َ& ،ِ‫َان‬-ِْ ‫َا‬Dَ‫َْ ِ@ُْ ه‬L 2ِ& \َ َ(َJْi‫ا‬. (‫ماكحأ يف يبايرفلا [جرخأ‬ ‫ مقر نيديعلا‬١٥٠ ‫ مقر ننسلا يف دواد وبأو‬١٠٧٣ ‫ مقر ننسلا يف [جام نباو‬١٣١١ ‫نباو‬ ‫ ىقتنملا يف دوراجلا‬٣٠٢ ‫ كردتسملا يف مكاحلاو‬١/٢٨٨ ‫ىربكلا ننسلا يف يق[يبلاو‬ ٣/٣١٨ ‫ دي[متلا يف ربلا دبع نباو‬١٠/٢٧٢ ‫ دادغب خيرات يف بيطخلاو‬٣/١٢٩ ‫يزوجلا نباو‬ ‫ تاي[اولا يف‬١/٤٧٣ ‫ثيداحأ جيرخت يف نيرمقلا عطاوس( رظنا [د[اوشل حيحص ثيدحلاو‬ ‫دشار نب ناميلس نب دعاسم خيشلل )نيديعلا ماكحأ‬، ‫ ص‬٢١١ ‫)[دعب امو‬ Telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Maka barangsiapa yang ingin (melakukan shalat Ied) maka dia telah tercukupi dari shalat Jum'at dan sesungguhnya kita telah dikumpulkan. (Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Firyabi dalam Ahkamul Iedain no. 150, Abu Dawud di dalam Sunannya no. 1073, Ibnu Majah di dalam As-Sunan no. 1311, Ibnul Jarud di dalam Al-Muntaqa 302, AlHakim di dalam Al-Mustadrak 1/288, Al-Baihaqi di dalam As-Sunan Al-Kubra 3/318, Ibnu Abdil Barr di dalam At-Tamhid 10/272, Al-Khatib di dalam Tarikh Baghdad 3/129, Ibnul Jauzi di dalam Al-Wahiyat 1/473. Hadits ini SHAHIH dengan syahid-syahidnya (hadits-hadits penguat). Lihat kitab Sawathi' AlQamarain fi Takhriji Ahaditsi Ahkamil Iedain karya Syaikh Musa'id bin Sulaiman bin Rasyid hal. 211. Telah diketahui bahwa bukanlah sesuatu yang wajib kalau tidak menggugurkan sesuatu yang wajib. Dan sungguh telah jelas bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terus menerus melaksanakannya dengan berjamaah sejak disyariatkannya sampai beliau meninggal. Dan beliau menggandengkan perintahnya kepada manusia dengan terus menerusnya ini agar mereka keluar ke tanah lapang untuk shalat (Lihat Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah 24/212 dan

23/161, Ar-Raudlah An-Nadiyah 1/142, Nailul Authar 3/282-283 dan termasuk Tamamul Minnah 344). Inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan ucapannya: "Kami menguatkan pendapat bahwa (hukum) shalat Ied adalah wajib atas individu (fardlu 'ain) sebagaimana ucapan Abu Hanifah (lihat Hasyiah Ibnu 'Abidin 2/1661) dan selainnya. Hal ini juga merupakan salah satu dari ucapan-ucapan Imam Syafi'i dan salah satu di antara dua pendapat madzhab Ahmad bin Hanbal (Hanbali). Adapun ucapan orang yang berkata bahwa shalat Ied tidak wajib, ini sangat jauh (dari kebenaran). Sesungguhnya shalat Ied itu termasuk syiar Islam yang sangat agung. Manusia berkumpul pada saat itu lebih banyak daripada shalat Jum'at, serta disyariatkan pula takbir di dalamnya. Sedangkan ucapan orang yang menyatakan bahwa shalat Ied itu fardlu kifayah ini pun tidak jelas (Majmu' Fatawa 23/161). Sifat/Cara Shalat Ied Pertama, jumlah (Shalat Ied) adalah dua rakaat, berdasarkan riwayat Umar radliallahu 'anhu bahwa shalat safar, shalat Iedul Adl-ha dan shalat Iedul Fithri adalah dua rakaat dengan sempurna tanpa qashar atas lisan Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam (Dikeluarkan oleh Ahmad 1/37, An-Nasa`i 3/183, AtThahawi di dalam Syarhul Ma'anil Atsar 1/421 dan Al-Baihaqi 3/200 dan sanadnya shahih). Kedua, rakaat pertama –seperti semua shalat— dimulai dengan takbiratul Ihram, selanjutnya membaca takbir padanya tujuh kali. Sedangkan pada rakaat kedua takbir lima kali, selain takbir perpindahan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah radliallahu 'anha bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam takbir di shalat Iedul Fithri dan Adl-ha pada rakaat pertama tujuh kali takbir dan rakaat kedua lima kali takbir selain dua takbir ruku'." (Dikeluarkan oleh Abu Dawud 1150, Ibnu Majah 1280, Ahmad 6/70 dan Al-Baihaqi 3/287 dan sanadnya SHAHIH). Takbir di atas diucapkan sebelum membaca Al-Fatihah. Al-Baghawi berkata: "Perkataan kebanyakan ahlul ilmi dari kalangan shahabat dan orang yang sesudah mereka, bahwasanya beliau shallallahu 'alaihi wa sallam takbir pada shalat Ied pada takbir pertama tujuh kali selain takbir pembukaan. Pada rakaat kedua lima kali, selain takbir perpindahan sebelum membaca (Al-Fatihah). Diriwayatkan yang demikian dari Abu Bakar, Umar, Ali, dan yang lainnya..." (Syarhus Sunnah 4/309, lihat Majmu' Fatawa Syaikh Islam 24/220, 221). Ketiga, Tidak shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan takbir-takbir shalat Ied (Lihat Irwa'ul Ghalil 3/12-114). Akan tetapi Ibnul Qayyim berkata: "Ibnu Umar, yang beliau sangat bersemangat dalam ittiba' (kepada Rasulullah), beliau mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan setiap takbir (Zadul Ma'ad 1/441). Tetapi, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan yang demikian (mengangkat tangan) diriwayatkan dari Ibnu Umar dan ayahnya radliallahu 'anhuma, oleh karenanya hal ini tidak dapat dijadikan sebagai sunnah. Lebih-lebih riwayat Umar dan anaknya ini tidak shahih (Lihat

Tamamul Minnah hal. 348-349). Imam Malik berkata tentang mengangkat tangan pada takbir shalat Ied: "Aku tidak mendengar (riwayatnya) sedikitpun." (Dikeluarkan oleh Al-Firyabi dalam Ahkamul Iedain no. 137 dengan sanad SHAHIH). Keempat, tidak shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dzikir tertentu di antara takbir-takbir Ied. Akan tetapi telah jelas dari Ibnu Mas'ud radliyallahu 'anhu bahwa beliau berkata tentang shalat Ied: "Di antara tiap dua takbir terdapat pujian dan sanjungan kepada Allah 'Azza wa Jalla." (Diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dengan sanad yang kuat). Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam diam sejenak di antara dua takbir, (namun) tidak dihapal darinya dzikir tertentu di antara takbir-takbir tersebut. Akan tetapi telah disebutkan dari Ibnu Mas'ud bahwasanya beliau berkata: 'Allah dipuji dan disanjung dan dibacakan shalawat atas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.'" (Zaadul Ma'ad 1/443). Kelima, apabila takbirnya sudah sempurna, dimulai membaca surat Al-Fatihah. Setelah itu membaca surat Qaaf pada salah satu dari dua rakaat. Pada rakaat lainnya membaca surat Al-Qamar. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim 891, AnNasa`i 3/84, At-Tirmidzi 534, Ibnu Majah dari Abi Waqid Al-Laitsi). Terkadang pada dua rakaat itu beliau juga membaca surat Al-A'laa dan AlGhasiyah. (Diriwayatkan oleh Muslim 378, Tirmidzi 533, An-Nasa`i 3/184 dan Ibnu Majah dari shahabat Nu'man bin Basyir radliallahu 'anhu). Telah shahih keadaan riwayatnya, dan tidak shahih dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selain itu. (Zaadul Ma'ad 1/443 dan lihat Majalatul Azhar 7/194). Keenam, (setelah melakukan di atas) selebihnya sama seperti shalat-shalat yang biasa, tidak berbeda darinya sedikitpun. (Lihat buku Sifat Shalat Nabi oleh Syaikh Al-Albani dan buku At-Tadzhirah Wudlu`i wa Shalatu Nabi oleh Syaikh Ali Hasan). Ketujuh, barangsiapa yang luput/tidak mendapati shalat Ied berjamaah, maka hendaklah dia shalat dua rakaat. Imam Bukhari berkata: "Apabila seseorang tidak mendapati shalat Ied, hendaklah dia shalat dua rakaat." (Shahih Bukhari 1/134-135). Atha' berkata: "Apabila (seseorang) kehilangan Ied, shalatlah dua rakaat (sama dengan di atas)." Imam Waliyullah Ad-Daklawi berkata: "Madzhab Syafi'i menyatakan bahwa apabila seseorang tidak mendapati shalat Ied bersama Imam, maka hendaklah dia shalat dua rakaat sehingga dia mendapatkan keutamaan shalat Ied, walaupun kehilangan keutamaan berjamaah bersama imam. Adapun menurut madzhab Hanafi, tidak ada qadla untuk shalat Ied. Kalau kehilangan shalat bersama imam, maka telah hilang sama sekali. (Syarhu Taraajimi Abwabil Bukhari 80 dan lihat kitab Al-Majmu' 3/27-29). Tidak Ada Shalat Sunnah Sebelum Shalat Ied Terdapat kesalahan pada sebagian kaum muslimin di kebanyakan negeri mereka, yakni mereka melakukan shalat dua rakaat di tanah lapang sebelum mereka duduk ketika menunggu berdirinya imam untuk shalat Ied. Shalat seperti ini tidak teriwayatkan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan

diriwayatkan dari beliau bahwa beliau meninggalkannya. Dari Ibnu Abbas radliallahu 'anhuma, dia berkata: "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dua rakaat pada hari Ied, tidak shalat sebelumnya dan tidak pula sesudahnya." (Dikeluarkan oleh Bukhari 945, 989, 1364, Muslim 884, Abu Dawud 1159, AtTirmidzi 537, An-Nasa`i 3/193, Ibnu Majah 1291, Abdurrazaq 3/275, Ahmad 1/355 dan Ibnu Abi Syaibah 2/177). Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata: "Jadi, kesimpulannya bahwa untuk shalat Ied tidak ada shalat sunnah sebelum dan sesudahnya. Berbeda dengan orang yang menqiyaskan (menyamakan)nya dengan shalat Jum'at." (Fathul Bari 2/476). Imam Ahmad berkata: "Tidak ada shalat sebelum dan sesudahnya sama sekali." (Masa`il Imam Ahmad no. 469). Beliau berkata juga: "Tidak ada shalat sebelum dan tidak pula sesudahnya. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam keluar (ke tanah lapang) untuk shalat Ied dan beliau tidak shalat sebelum dan tidak pula sesudahnya. Sebagian penduduk Bashrah shalat sunah Qabliyyah (sebelumnya) dan sebagian penduduk Kuffah[2] shalat sunnah ba'diyah (sesudahnya)." Ibnul Qayyim berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat tidak pernah shalat apabila sampai ke tanah lapang sebelum shalat Ied dan sesudahnya." (Zadul Ma'ad 1/443). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila sampai ke tanah lapang, beliau memulai shalat tanpa adzan dan iqamat. (Beliau juga) tidak mengucapkan: "AsShalatul jami'ah." Yang demikian ini tidak dikerjakan sama sekali." (lihat AtTamhid 10/243). Bahkan para muhaqiqin (peneliti dari para ulama) menyatakan bahwa melaksanakan hal itu adalah bid'ah. (lihat Subulus Salam 2/67). Khutbah Ied Termasuk sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah berkhutbah Ied sesudah shalat. Dalam permasalahan ini Bukhari memberi bab di dalam kitab Shahihnya bab Khutbah Sesudah Shalat Ied. (Fathul Bari 2/452). Ibnu Abbas berkata: "Aku menghadiri shalat Ied bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman radliallahu 'anhum. Semuanya shalat Ied sebelum berkhutbah. (Diriwayatkan oleh Bukhari 962, Muslim 884 dan Ahmad 1/331, 3461). Ibnu Umar berkata: Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar, mereka shalat Ied sebelum khutbah. (Dikeluarkan oleh Bukhari 963, Muslim 888, At-Tirmidzi 531, An-Nasa`i 3/183, Ibnu Majah 1286 dan Ahmad 2/12,38). Waliyullah Ad-Dahlawi mengomentari terhadap bab Bukhari di atas dengan ucapannya: "Bahwasanya sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang dikerjakan oleh khulafa`ur rasyidin adalah khutbah sesudah shalat. Adapun penggantian yang terjadi –yakni mendahulukan khutbah atas shalat dengan mengqiyaskan dengan shalat Jum'at-, hal itu adalah bid'ah yang bersumber dari Marwan bin Hakam bin Abil Ash (Syarah Taraajim Abu Bukhari 79). Imam Tirmidzi berkata: "Ahlul ilmi dari kalangan shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengamalkan seperti ini. Mereka melakukan shalat Iedain sebelum khutbah. Sedangkan pertama kali orang yang khutbah sebelum shalat adalah

Marwan bin Hakam. (lihat kitab Al-Umm 1/235-236 karya Imam As-Syafi'i dan Tuhfatul Ahwadzi 3/3-6 karya Al-Qadli Ibnul Arabi Al-Maliki). Di samping itu termasuk bid'ah Marwaniyah adalah mengeluarkan mimbar ke tanah lapang sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Said. Beliau berkata: "Terus menerus manusia atas yang demikian (khutbah sesudah shalat Ied) sampai aku keluar bersama Marwan. Dia –sebagai amir Madinah- ke lapangan pada Iedul Adl-ha dan Fithri. Tatkala kami sampai ke tanah lapang, tiba-tiba ada mimbar yang dibuat oleh Katsir bin As-Shalt. Ketika Marwan ingin menaikinya sebelum shalat, aku menarik bajunya, (namun) diapun menariknya. Kemudian dia naik dan berkhutbah sebelum shalat. Aku berkata kepadanya: "Demi Allah, engkau telah merubah (sunnah)." Dia menjawab: "Wahai Abu Said! Sungguh telah hilang apa-apa yang engkau ketahui." Aku berkata: "Demi Allah, apa-apa yang aku ketahui lebih baik daripada yang tidak aku ketahui." Dia menjawab: "Sesungguhnya manusia tidak mau duduk bersama kami sesudah shalat, maka aku berkhutbah sebelum (dimulainya) shalat." Menghadiri Khutbah Bukan Merupakan Kewajiban Dari Abu Said Al-Khudri dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar ke tanah lapang pada hari Iedul Fithri dan Adl-ha. Pertama kali yang beliau mulai adalah shalat, kemudian berpaling. Selanjutnya beliau menghadap manusia, dimana manusia dalam keadaan duduk pada shaf-shaf mereka. Beliau memberi pelajaran, wasiat dan perintah kepada mereka. (Dikeluarkan oleh AlBukhari 958, Muslim 889, An-Nasa`i 3/187, dan Ahmad 3/36, 54). Khutbah Ied, sebagaimana khutbah-khutbah lainnya, dibuka dengan sanjungan dan pujian kepada Allah 'Azza wa Jalla. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa membuka semua khutbahnya dengan pujian kepada Allah. Tidak ada satu haditspun yang dihapal (hadits yang shahih yang menyatakan) bahwa beliau membuka khutbah dua Ied dengan takbir. Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah di dalam Sunannya 1287 dari Said Al-Quradli, muadzin Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya beliau memperbanyak bacaan takbir di sela-sela khutbah Iedain, hal itu tidak menunjukkan bahwa beliau membuka khutbah dengan takbir...." (Zaadul Ma'ad 1/447-448). Menghadiri khutbah Ied tidak wajib seperti shalat. Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Abdullah bin As-Suaib, dia berkata: "Aku menghadiri Ied bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika selesai shalat beliau berkata: 'Sesungguhnya kami (akan) berkhutbah, barangsiapa suka untuk duduk (mendengarkan), maka duduklah dan barangsiapa yang suka untuk pergi maka pergilah." (Dikeluarkan oleh Abu Dawud 1155 dan sanadnya SHAHIH, lihat Irwa`ul Ghalil 3/96-98). Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberi keringanan terhadap orang yang menghadiri Ied untuk duduk (mendengarkan) khutbah atau pergi." (Zadul Ma'ad 1/448). Termasuk dari kesalahan-kesalahan (yang banyak dilakukan oleh para) khatib shalat Ied adalah menjadikan dua khutbah dan memisahkan antara keduanya dengan duduk. (Padahal) semua riwayat yang menerangkan adanya dua

khutbah pada shalat Ied adalah dlaif. Imam Nawawi berkata: "Tidak tsabit sama sekali (dari Rasulullah) pengulangan khutbah." (Lihat Fiqhus Sunnah 1/322 dan Tamamul Minnah hal. 348). Demikianlah keterangan-keterangan dari Rasulullah dan para ulama dari kalangan shahabat dan orang yang sesudahnya tentang masalah shalat dan khutbah Ied. Kami uraikan hal-hal yang demikian, agar kita mengamalkan Islam di atas bashirah (ilmu) dan hujjah yang mantap dan agar kita selamat dari bid'ah dan kesalahan. Wallahu A'lam. Maraji': 1. Shalatul Iedain fil Mushalla Hiyas Sunnah, Syaikh Al-Albani. 2. Ahkamul Iedain fis Sunnah Al-Muthahharah, Syaikh Ali Hasan. 3. Al-Qaulul Mubin fi Akhtha`il Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan Salman. Sumber: SALAFY edisi XIII/Sya'ban-Ramadlan/1417/1997 rubrik Ahkam.

________________________________________ [1] Namanya berbeda dengan yang tertulis di tulisan arabnya, kemungkinan ada kesalahan, wallahu a'lam. (nas.) [2] Dua kota yang banyak terjadi fitnah di dalamnya dan banyak bermunculan padanya firqah-firqah bid'ah. (ed.)

Kekeliruan & Kesalahan di Hari Raya Penulis: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah Hari raya adalah hari bergembira bagi seluruh ummat Islam di Indonesia Raya, bahkan di seluruh dunia. Ini merupakan nikmat dari Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Namun kegembiraan ini terkadang disalahsalurkan oleh sebagian kaum muslimin dalam beberapa bentuk pelanggaran berikut: Mengkhususkan Ziarah Kubur Ziarah kubur merupakan perkara yang dianjurkan oleh syari’at kita, selama di dalamnya tak ada pelanggaran, seperti melakukan kesyirikan, dan perbuatan bid’ah (perkara yang tak ada contohnya). Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, ‫ِ َ َة‬:u‫ ُآُْ ا‬E‫آ‬Dَ ُ0 َBoَِ& ‫ُْ َر‬5ُZْ ‫ُزوْ ُروْا ا‬ "Berziarahlah ke kubur, karena sesungguhnya ia akan mengingatkan kalian tentang akhirat". [HR. Ibnu Majah (1569). Hadits ini di-shohih-kan Al-Albaniy dalam Shohih Al-Adab (518)] Adapun jika di dalam ziarah terdapat perbuatan kesyirikan (seperti, berdoa kepada orang mati, meminta sesuatu kepadanya, dan mengharap darinya sesuatu), maka ini adalah ziarah yang terlarang. Demikian pula, jika dalam ziarah ada perbuatan bid’ah (tak ada contohnya dalam syari’at), seperti mengkhususkan waktu, dan tempat ziarah kubur, maka ini adalah ziarah yang terlarang. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, ِ& c َ َْ َ ‫َا‬Dَ‫َ ه‬Bِ ْ ‫ْ َأ‬2ِ& ‫ث‬ َ -َ ْK‫ِْ &َُ َ رَ Šد َ ْ َأ‬ "Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan agama kami sesuatu yang bukan termasuk darinya, maka sesuatu itu akan tertolak". [HR. Al-Bukhoriy (2550), dan Muslim (1718)] Jadi, mengkhususkanziarah kuburdi awal Romadhon, dan hari raya merupakan perkara yang terlarang, karena ia termasuk bid’ah, tak ada tuntunannya dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabat dalam mengkhususkannya. Mereka berziarah kapan saja, tak ada waktu, dan tempat khusus ketika ziarah kubur. Yang jelas, bisa mengingat mati sesuai sunnah. Berjabat Tangan antara Seorang Lelaki dengan Wanita yang Bukan Mahram Berjabatan tangan antara kaum muslimin ketika bersua adalah yang lumrah, baik

itu di hari raya, atau selainnya. Namun ada satu hal perlu kami ingatkan bahwa berjabatan tangan dengan wanita yang bukan mahram kita -khususnya-, ini dilarang dalam agama kita, karena ia tak halal disentuh. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, َُ ُ َْ: -ٍ ْL-ِ َK ْ ِ ٍQَْNِ(ِ4 ; ٍ ُi‫س َر‬ ِ ْ‫ْ َرأ‬2ِ& َ َ*ُْL ْ‫ن‬aََ َُ ; I ِFَ0 َ ‫ ا ْ ََأ ًة‬c  َ(َL ْ‫ ِ ْ َأن‬ "Andaikan kepala seseorang di cerca dengan jarum besi, itu lebih baik (ringan) baginya dibandingkan menyentuh seorang wanita yang tak halal baginya". [HR. Ar-Ruyaniy dalam Al-Musnad (227/2), dan Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (486, & 487)] Al-Allamah Syaikh Muhammad Nashir Al-Albaniy-rahimahullah- berkata setelah menguatkan sanad hadits diatas dalam Ash-Shohihah (1/1/448), "Dalam hadits ini terdapat ancaman yang keras bagi orang yang menyentuh wanita yang tak halal baginya. Jadi, di dalamnya juga ada dalil yang menunjukkan haramnya berjabat tangan dengan para wanita (yang bukan mahram), karena berjabat tangan dicakup oleh kata "menyentuh", tanpa syak. Perkara seperti ini telah menimpa kebanyakan kaum muslimin di zaman ini. (Namun sayang),diantara mereka ada yang berilmu andaikan ia ingkari dalam hatinya, maka masalahnya sedikit agak ringan. Cuman mereka ini berusaha meghalalkannya dengan berbagai jalan, dan takwil. Telah sampai suatu berita kepada kami bahwa ada seorang tokoh besar di Al-Azhar telah disaksikan oleh sebagian orang sedang berjabat tangan dengan para wanita !! Hanya kepada Allah tempat kita mengadu dari keterasingan Islam". Saking asingnya, orang berilmu saja tak tahu atau pura-pura tak tahu tentang haramnya jabat tangan dengan wanita yang bukan mahram. Mencukur Jenggot Jenggot adalah lambang kejantanan pria muslim yang diharuskan dan diwajibkan untuk dijaga dan dipanjangkan. Dengarkan perintah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, ‫َ!ُأ‬FE ‫ب َوأُْْْا ا‬ َ ‫َا ِر‬R ‫ُْْا ا‬K "Potonglah (tepi) kumis, dan biarkanlah (panjangkan) jenggot". [HR. Al-Bukhoriy (5553), dan Muslim (259)] Perintah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam hadits ini mengandung hukum wajibnya memelihara jenggot, dan membiarkannya tumbuh.[Lihat Madarij As-Salikin (3/46) karya Ibnul Qoyyim, cet. Dar Al-Kitab Al-Arabiy] Para ulama’ dari kalangan Malikiyyah berkata, "Haram mencukur jenggot". [Lihat Al-Fiqh ala Al-Madzahib Al-Arba’ah (2/45)]

Namun amat disayangkan, lambang kejantanan ini dipangkas, bahkan dibabat habis oleh sebagian orang yang mengikuti Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam segala urusannya. Mereka tak sadar bahwa jenggot adalah perkara yang diperhatikan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sampai beliau mewajibkannya atas pria muslim. Kebiasaan jelek ‘mencukur dan memangkas jenggot’ sudah mendarah daging dalam pribadi mereka sehingga di hari raya ied kita akan menyaksikan pemandangan yang mengerikan dengan maraknya gerakan "Pangkas dan Gundul Jenggot" di kalangan kaum muslimin, baik yang tua, apalagi remaja!! Syaikh Al-Albaniy-rahimahullah- berkata, "Maksiat ini (cukur jenggot) termasuk maksiat yang paling banyak tersebar di antara kaum muslimin di zaman ini, karena berkuasanya orang-orang kafir (para penjajah) atas kebanyakan negerinegeri mereka, mereka juga (para penjajah itu) menularkan maksiat ini ke negeri-negeri itu; serta adanya sebagian kaum muslimin taqlid kepada mereka, padahal Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- melarang mereka dari hal itu secara gamblang dalam sabdanya -Shollallahu ‘alaihi wasallam!َFE ‫ب َوَأوْ&ُْا ا‬ َ ‫َا ِر‬R ‫ُْْا ا‬K‫ ُا‬ ِ ِْ‫ْ ِآ‬Rُ(ْ ‫َ ُِْا ا‬: " Selisihilah orang-orang musyrikin, potonglah (pinggir kumis kalian, dan biarkanlah (perbanyaklah) kalian". ".[HR. Al-Bukhoriy (5553), dan Muslim (259)]". [Lihat Hajjah An-Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- (hal. 7)] Mengadakan Lomba dan Balapan Kendaraan di Jalan Raya Sudah menjadi kebiasaan buruk menimpa sebagian tempat di Indonesia Raya, adanya sebagian pemuda yang ugal-ugalan memamerkan "kelincahan" (baca: kenakalan) mereka dalam mengendarai motor atau mobil di malam hari raya. Ulah ugal-ugalan seperti ini bisa mengganggu, dan membuat takut bagi kaum muslimin yang berseliweran, dan berada dekat dengan TKP (tempat kejadian peristiwa). Bahkan terkadang mereka menabrak sebagian orang sehingga orangorang merasa kaget dan takut lewat, karena mendengar suara dentuman knalpot mereka yang dirancang bagaikan suara meriam. Padahal di dalam Islam, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang kita mengagetkan seorang muslim. Abdur Rahman bin Abi Laila berkata, "Sebagian sahabat Muhammad Shollallahu ‘alaihi wasallam- menceritakan kami bahwa mereka pernah melakukan perjalanan bersama Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- . Maka tidurlah seorang laki-laki diantara mereka. Sebagian orang mendatangi tali yang ada pada laki-laki itu seraya mengambil tali itu, dan laki-laki itu pun kaget. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, ٍ ِ ْ'ُ(ِ ; I ِFَLَ ً(ِ ْ'ُ ‫ع‬ َ ‫و‬E َ ُL ْ‫َأن‬ "Tidak halal bagi seorang muslim untuk membuat takut seorang muslim". [HR.

Abu Dawud (5004). Di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ghoyah Al-Maram (447)] Jika dibanding antara kagetnya sahabat yang tertidur ini akibat ulah temannya dengan kaget, dan takutnya kaum muslimin yang lewat atau berada di lokasi balapan, maka kita bisa pastikan bahwa balapan liar seperti ini, hukumnya haram. Apalagi pemerintah sendiri melarang hal tersebut, karena menelurkan bahaya bagi diri mereka, dan masyarakat !! Fa’tabiruu ya ulil abshor… Berdzikir dengan Tabuhan dan Suara Musik Berdzikir adalah ibadah yang harus didasari oleh sunnah (tuntunan) Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam- dalam perkara tata cara, waktu, dan tempatnya. Jika suatu dzikir, caranya tidak sesuai sunnah, misalnya dzikir jama’ah, dzikir dengan suara musik, dzikir sambil joget, dan lainnya, maka dzikir tersebut adalah bid’ah (ajaran baru) yang tertolak. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, Dَ َ‫َ ه‬Bِ ْ ‫ْ َأ‬2ِ& ‫ث‬ َ -َ ْK‫ &ِِْ &َُ َ َر Šد َ ْ َأ‬c َ َْ َ ‫ا‬ "Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan agama kami sesuatu yang bukan termasuk darinya, maka sesuatu itu akan tertolak". [HR. Al-Bukhoriy (2550), dan Muslim (1718)] Jadi, dzikir (diantaranya takbiran ied), jika diiringi suara musik, maka ini adalah bid’ah yang tidak mendapatkan pahala, bahkan dosa. Oleh karenanya, kita sesalkan sebagian kaum muslimin bertakbir dengan beduk, gitar, suara orgen, bahkan anehnya lagi mereka ramu dengan bumbu musik ala "Disco Remix", Na’udzu billah min dzalik !!!! Al-Imam Asy-Syafi’iy-rahimahullah- berkata ketika beliau mengingkari taghbir (dzikir yang diiringi tabuhan rebana atau pukulan tongkat), "Aku tinggalkan di Kota Baghdad sesuatu yang diada-adakan oleh kaum zindiq (munafik) yang mereka sebut dengan "taghbir" untuk menyibukkan manusia dari Al-Qur’an". [Lihat Hilyah Al-Auliya’ (9/146)] Belum lagi, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mengharamkan musik. Beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,  ‫ ِ ْ ُأ‬  َBُْ@ََ ‫ف‬ َ ‫َ(ْ َ وَا ْ(َ*َ ِز‬Nْ ‫ْ َ وَا‬Lِ َFْ ‫ِ  وَا‬Fْ ‫ن ا‬ َ ْI ِFَJْ'َL ٌ‫َْام‬,‫ْ َأ‬2ِJ "Benar-benar akan ada beberapa kaum diantara ummatku akan menghalalkan zina, sutra, minuman keras, dan musik". [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (5268)] Sholat di Atas Koran dan Sesuatu yang Bergambar Hari raya ied merupakan hari bergembira dan beribadah bagi kaum muslimin. Mereka berbondong-bondong menuju ke lapangan untuk melaksanakan sholat

ied dalam rangka beribadah dan menampakkan persatuan kaum muslimin. Tapi ada satu hal yang mengundang perhatian, ketika mereka ke lapangan, mereka membawa surat kabar alias koran atau yang bergambar (seperti, baju) untuk dijadikan alas. Gambar yang terdapat di koran itu sering kali nampak di depan mata mereka ketika sholat, sehingga mengganggu ke-khusyu’-an mereka dalam sholat. A’isyah -radhiyallahu ‘anhu- berkata, "Sesungguhnya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pernah sholat menggunakan khomishoh (pakaian) yang memiliki corak. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- melihat kepada pakaian itu dengan sekali pandangan. Tatkala usai sholat, beliau bersabda, ْ2ِ0َ َ" ْ َ ًِB ْ2ِ1ْJَْ ‫َ َأ‬Boَِ& ٍ َْi ْ2ِ4‫ِ)ِ َأ‬Bَ]ِ5ْBaَِ4 ْ2ِBُْ0ْ‫َْ ٍ َوأ‬i ْ2ِ4َ‫ ِ[ ِإ َ! أ‬Dِ َ‫ْ ه‬2ِJَِْ(َNِ4 ‫ُْا‬5َ‫ِاذْه‬ "Bawalah khomishoh-ku ini ke Abu Jahm, dan bawa kepadaku Anbijaniyyah (pakaian tak bercorak) milik Abu Jahm, karena khomishoh ini tadi telah melalaikanku dalam sholat". [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (366), dan Muslim dalam Shohih-nya (556)] Al-Imam Ath-Thibiy-rahimahullah- berkata, "Dalam hadits Anbijaniyyah (hadits di atas) terdapat pemberitahuan bahwa gambar, dan hal-hal yang mencolok memiliki pengaruh bagi hati yang bersih, dan jiwa yang suci, terlebih lagi yang di bawahnya".[Lihat Umdah Al-Qoriy (4/94)] Pengaruh gambar sangat besar bagi seseorang, apalagi saat sholat. Dia bisa menghilangkan kekhusyu’an. Terlebih lagi jika gambarnya adalah manusia. Oleh karena itu Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- meminta baju lain yang tak bergambar. Tragisnya lagi, jika kita sedang sholat, sedang di depan kita terdapat gambar seorang wanita cantik !! Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 35 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp) http://almakassari.com/?p=182

HUKUM MENGANGKAT TANGAN PADA TAKBIR-TAKBIR JENAZAH DAN DUA SHALAT ‘IED (IEDUL FITHRI DAN IEDUL ADHA) Penulis: Al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi A. Mengangkat Kedua Tangan pada Takbir-Takbir Shalat Jenazah Para ulama sepakat bahwa disyariatkan mengangkat kedua tangan pada takbir yang pertama dalam shalat jenazah.(1) Dan yang terjadi perselisihan di kalangan para ulama adalah tentang hukum mengangkat tangan pada takbir kedua dan seterusnya. Dalam hal ini ada dua pendapat yang masyhur: Pendapat pertama: mengatakan bahwa tidak disyariatkan mengangkat kedua tangan, kecuali pada takbir yang pertama. Ini adalah pendapat Sufyan Ats-Tsauri dan Abu Hanifah. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Hazm dan Asy-Syaukani. Adapun Imam Malik, diperselisihkan tentang pendapat beliau.(2) Pendapat kedua: mengatakan bahwa disyariatkan mengangkat kedua tangan pada setiap kali takbir. Ini adalah pendapat Salim bin Abdillah bin Umar, Umar bin Abdil Aziz, Atha’, Yahya bin Sa’id, Qais bin Abi Hazim, Az-Zuhri, Ahmad, Ishaq, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i, Abdullah bin Mubarak, dan dikuatkan oleh Ibnul Mundzir dan An-nawawi. At-Tirmidzi menyandarkan pendapat ini kepada kebanyakan ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi Shallahu alaihi wasallam.(3) Hujjah (alasan) pendapat pertama: Adapun hujjah pendapat pertama adalah beberapa dalil: 1- Hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu: ُ‫ن َر‬  ‫َ! َ َ! ا ُْ'َْىَأ‬1ْ(ُْ ‫َ َ\ ا‬3‫ِ َ ٍة َو َو‬5ْ@َ0 ‫ل‬ ِ ‫ َأ و‬2ِ& ِْL-َ َL \َ َ&َ َ& ‫َ َز ٍة‬1َi !َ َ َ 5َ‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ َوَ  َ آ‬ َ “Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertakbir dalam shalat jenazah, lalu beliau mengangkat kedua tangannya pada awal takbir, dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya."(4) 2- Hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhu: ِ ‫ل ا‬ َ ُ‫ن َر‬  ‫َأ‬-‫ملسو [يلع [للا ىلص‬- ‫َ*ُ ُد‬L j َ  ُU ‫ِ َ ٍة‬5ْ@َ0 ‫ل‬ ِ ‫َ َز ِة &ِ! َأ و‬1َ]ْ ‫ِْ َ َ! ا‬L-َ َL \ُ َ&َْL ‫ن‬ َ َ‫آ‬ “Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya pada shalat jenazah pada takbir pertama, kemudian beliau tidak mengulanginya."(5) 3- Mereka juga mengatakan: setiap takbir sama kedudukannya seperti raka’at, dan sebagaimana tidak dianjurkan mengangkat kedua tangan pada seluruh raka’at, maka demikian pula tidak dianjurkan mengangkat tangan pada setiap takbir.(6)

Hujjah (alasan) pendapat kedua Adapun hujjah pendapat kedua adalah beberapa dalil: 1- Hadits Abdullah bin Umar radhiallahu anhu: ‫ملس فرصنا اذإو ةريبكت لك يف [يدي عفر ةزانجلا ىلع ىلص اذإ ناك يبنلا نأ‬ “Bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam jika menshalati jenazah, beliau mengangkat kedua tangannya pada setiap takbir, dan jika selesai beliau mengucapkan salam".(7) 2- Beberapa atsar dari shahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Di antaranya: Φ Atsar (riwayat) Abdullah bin Umar radhiallahu anhu bahwa beliau mengangkat kedua tangannya pada setiap kali takbir dari takbir shalat jenazah, dan jika berdiri di antara dua raka’at dalam shalat wajib.(8) Φ Atsar (riwayat) Anas bin Malik radhiallahu anhu bahwa beliau mengangkat kedua tangannya setiap kali bertakbir pada shalat jenazah.(9) ? Atsar (riwayat) dari Umar radhiallahu anhu bahwa beliau mengangkat kedua tangannya pada setiap takbir dalam shalat jenazah dan shalat ‘ied.(10) Atsar (riwayat) dari Abdullah bin Abbas radhiallahu anhu? bahwa beliau mengangkat kedua tangannya pada takbir-takbir shalat jenazah.(11) 3- Mengqiyas shalat jenazah dengan shalat yang lainnya, di mana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam senantiasa mengangkat kedua tangannya di saat beliau berdiri dalam shalat.(12) Tarjih (penguatan pendapat) antara dua madzhab Dalam menguatkan salah satu dari dua pendapat di atas, kita harus melihat kekuatan masing-masing dalil yang dijadikan hujjah bagi masingmasing pihak, yang dengan itu kita akan memberikan kesimpulan tentang pendapat manakah yang paling rajih (kuat). Kedudukan hujjah pendapat pertama - Adapun hadits Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertakbir dalam shalat jenazah, lalu beliau mengangkat kedua tangannya pada awal takbir, dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya. Ini adalah hadits yang sangat lemah, sebab hadits ini berasal dari jalan Yahya bin Ya’la dari Yazid bin Sinan dari Zaid bin Abi Unaisah dari AzZuhri dari Sa’id bin Musayyab dari Abu Hurairah secara marfu’. Dan dalam sanad hadits ini terdapat kelemahan dari dua sisi: Pertama: perawi yang bernama Yahya bin Ya’la Al-Aslami Al-Qathawani, Abu Zakaria Al-Kufi, beliau adalah seorang perawi yang lemah. Imam Bukhari berkata tentangnya: goncang haditsnya. Dan juga dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in, Abu Hatim, Ibnu Hibban, dan Al-Bazzar. Kedua: perawi yang bernama Yazid bin Sinan Al-Jazari, Abu Farwah Ar-

Rahawi, juga perawi yang lemah, bahkan Imam An-Nasaai mengatakan tentangnya: lemah, ditinggalkan haditsnya. Dan juga dilemahkan oleh Imam Ahmad,dan Yahya bin Ma’in. Ibnu Hibban berkata: dia banyak salah, aku tidak senang berhujjah dengannya jika ia meriwayatkan hadits yang sesuai dengan riwayat para perawi yang tsiqah (terpercaya), maka apalagi jika ia menyendiri dalam periwayatan. Maka dengan ini sebab kelemahan ini menyebabkan riwayat ini sangat lemah. Oleh karena itu, At-Tirmidzi berkata setelah menyebutkan hadits ini: ini adalah hadits gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalan ini. Demikian pula Imam Adz-Dzahabi menyebutkan dalam Mizanul I’tidal (4/415): di antara hadits-hadits mungkar yang diriwayatkan oleh Yahya bin Ya’la adalah hadits ini. Ad-Daruquthni juga berkata bahwa hadits ini tidak tsabit. Hadits ini juga dilemahkan oleh Ibnul Mulaqqin dan Al-Hafidz Ibnu Hajar.(13) - Adapun hadits Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya pada shalat jenazah pada takbir pertama, kemudian beliau tidak mengulanginya. Hadits ini berasal dari jalan Al-Fadhl bin As-Sakan dari Hisyam bin Yusuf dari Ma’mar dari Abdullah bin Thawus dari ayahnya dari Ibnu Abbas, secara marfu’. Dan hadits ini juga termasuk hadits yang lemah, Al-Fadhl bin As-Sakan adalah perawi yang lemah, dilemahkan oleh Ad-Daruquthni. Al-Uqaili mengatakan: dia tidak teliti dalam haditsnya, di samping itu pula dia seorang perawi yang majhul (tidak dikenal). Hadits ini juga dilemahkan oleh Ibnul Mulaqqin dan Al-Hafidz .(14) Maka kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa tidak ada satu pun hadits yang shahih yang menjelaskan bahwa mengangkat tangan hanya dilakukan pada takbir pertama. Berkata Al-Hafidz setelah menyebutkan kelemahan dua riwayat tesebut di atas: ‫ئيش [يف حصي الو‬ “dan tidak ada satu pun yang shahih dalam hal ini.”(15) Adapun alasan bahwa takbir sama kedudukannya dengan raka’at yang memiliki ruku’ dan sujud, ini pun qiyas yang tidak benar sebab jika takbir pada shalat jenazah sama kedudukannya seperti raka’at, maka tentu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang mengerjakan shalat jenazah di pekuburan, sebagaimana beliau melarang mengerjakan shalatshalat yang memiliki raka’at di pekuburan. Kedudukan hujjah pendapat kedua - Adapun hadits Abdullah bin Umar radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam jika menshalati jenazah, beliau mengangkat

kedua tangannya pada setiap takbir, dan jika selesai beliau mengucapkan salam. Hadits ini adalah hadits yang diperselisihkan apakah dia mauquf (dari perbuatan Ibnu Umar), atau marfu’ (dari perbuatan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam). Adapun dari jalan Umar bin Syabbah, beliau meriwayatkan dari Yazid bin Harun dari Yahya bin Sa’id dari Nafi’ dari Ibnu Umar secara marfu’. Sedangkan yang lain meriwayatkan dari Yazid secara mauquf. Ad-Daruquthni berkata: yang benar adalah riwayat mauquf.(16) - Sedangkan atsar yang datang dari Ibnu Umar radhiallahu anhu adalah atsar yang shahih, demikian pula yang datang dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu, telah dishahihkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar. Kesimpulan Dari pemaparan dalil-dalil yang dijadikan hujjah oleh masing-masing pendapat, tampak bagi kita sekalian bahwa riwayat yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama tidak satu pun yang shahih, namun berada di antara lemah dan sangat lemah sekali. Sementara riwayat-riwayat yang dijadikan dalil oleh pendapat kedua, telah shahih datang dari beberapa shahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, seperti Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, dan tidak diketahui ada yang menyelisihi mereka dalam hal ini,sehingga dapat dijadikan sebagai hujjah. Wallahu A’lam Bish-Shawab. Faedah: Telah ditanya samahatusy syekh Bin Baaz rahimahullah tentang mengangkat kedua tangan dalam shalat jenazah bersaman dengan takbirtakbir, apakah termasuk sunnah? Maka beliau menjawab: ‫سابع نباو رمع نبا نع تبث امل ; ا[لك عبرألا تاريبكتلا عم نيديلا عفر ةنسلا‬ ‫ ا[لك تاريبكتلا عم ناعفري اناك ام[نأ‬, ‫رمع نبا ثيدح نم اعوفرم ينطقرادلا [اورو‬ ‫ديج دنسب‬. (‫زاب نبا ىواتف عومجم‬:13‫؟‬148) Beliau menjawab: yang sunnah adalah mengangkat kedua tangan bersamaan dengan empat takbir seluruhnya, berdasarkan (riwayat) yang shahih dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas, bahwa keduanya mengangkat (kedua tangannya) bersama dengan seluruh takbir. Diriwayatkan (oleh) AdDaruquthni secara marfu’ dari hadits Ibnu Umar dengan sanad yang bagus.(17) Ini juga menjadi jawaban dari Lajnah da’imah, dalam fatwanya dinyatakan: ‫ةءارقو تاريبكتلا ا[يف بجاولا نأل ؛نيديلا عفر نودب ةزانجلا ةالص زوجت‬

‫مالسلاو تيملل ءاعدلاو ةحتافلا‬، ‫عيمج يف ةنسلا و[ نيديلا عفر نكلو‬ ‫تاريبكتلا‬.‫ ملسو [بحصو [لو دمحم انيبن ىلع [للا ىلصو قيفوتلا [للابو‬. ‫ءاتفإلاو ةيملعلا ثوحبلل ةمئادلا ةنجللا‬ ‫وضع‬، ‫وضع‬، ‫ةنجللا سيئر بئان‬، ‫سيئرلا‬ ‫دوعق نب [للادبع‬، ‫نايدغ نب [للادبع‬، ‫يفيفع قازرلادبع‬، ‫[للادبع نب زيزعلادبع‬ ‫زاب نب‬ (‫ةنجللا ىواتف‬:2514) “Boleh shalat jenazah tanpa mengangkat kedua tangan, sebab yang wajib padanya adalah bertakbir dengan beberapa kali takbir, membaca alfatihah, berdoa untuk si mayyit, dan mengucapkan salam, namun mengangkat kedua tangan adalah hal yang sunnah pada seluruh takbir. dan taufiq hanya milik Allah, shalawat serta salam kepada Nabi kita Muhammad, para pengikutnya, dan para shahabat.” Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz Wakil ketua: Abdurrazzaq Afifi Anggota: Abdullah bin Ghudayyan Anggota: Abdullah bin Qu’ud.(18) Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya: apakah termasuk dari sunnah mengangkat kedua tangan pada takbir-takbir shalat jenazah? Beliau menjawab: ‫ةنسلا نم معن‬,‫حص امك ةزانجلا ةالص يف ةريبكت لك دنع [يدي ناسنإلا عفري نأ‬ ‫عوكرلا ةلزنمب ةزانجلا ةالص يف نيديلا عفر نألو رمع نب [للا دبع نع كلذ‬ ‫ ىرخألا تاولصلا يف دوجسلاو‬,‫ لوقو لعف ىلع لمتشت ىرخألا تاولصلا‬,‫ةالص‬ ‫ لوقو لعف ىلع لمتشت اضيأ ةزانجلا‬,‫مل [انعم تكستو ىلوألا يف عفرت كنوكف‬ ‫ةيناثلا ةريبكتلاو ىلوألا ةريبكتلا نيب ركذلا يف زيمت‬,‫رثألا لد دق كلذلو‬ ‫ةريبكت لك دنع يديألا ا[يف عفرت ةزانجلا ةالص نأ ىلع رظنلاو‬ “Iya,termasuk dari sunnah seseorang mengangkat kedua tangannya pada setiap kali takbir dalam shalat jenazah, sebagaimana yang telah shahih hal itu dari Abdullah bin Umar. Dan karena mengangkat kedua tangan dalam shalat jenazah kedudukannya seperti ruku’ dan sujud pada shalatshalat yang lain, shalat-shalat yang lain mencakup perbuatan dan perkataan, shalat jenazah juga mencakup perbuatan dan perkataan. Maka ketika engkau mengangkat pada takbir pertama lalu engkau diam, maka maknanya engkau tidak memisahkan dalam dzikir antara takbir pertama dengan takbir kedua. Oleh karenanya, telah ditunjukkan oleh atsar maupun pandangan bahwa shalat jenazah diangkat kedua tangan pada setiap kali takbir.”(19) B. Mengangkat Tangan pada Takbir-Takbir Tambahan pada Dua Shalat ‘Ied Ini masalah kedua, yaitu masalah hukum mengangkat kedua tangan pada

takbir-takbir tambahan dalam dua shalat ‘ied, apakah ini termasuk perkara yang disyari’atkan? Dalam hal ini, juga terjadi perselisihan di kalangan para ulama menjadi dua pendapat: pertama: mengatakan bahwa? tidak diangkat kedua tangan pada takbirtakbir tersebut kecuali pada takbiratul ihram. Ini adalah pendapat Malik, Ibnu Abi Laila, dan Abu Yusuf. Kedua: mengatakan dianjurkannya mengangkat kedua tangan pada? setiap takbir shalat ‘ied. Ini adalah pendapat Asy-Syafi’i, Ahmad, Al-Laits bin Sa’ad, Abu Hanifah, dan muridnya Muhammad bin Hasan AsySyaibani, Atha’, Al-auza’i, Dawud, dan Ibnul Mundzir. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Utsaimin.(20) Pendapat yang kuat dalam masalah ini Yang rajih di antara dua pendapat ini adalah pendapat kedua yang mengatakan dianjurkannya mengangkat kedua tangan pada setiap takbirtakbir tambahan, berdasarkan dalil-dalil berikut: - Hadits Abdullah bin Umar radhiallahu anhu berkata: َ(ُ‫ َ َوه‬5َ‫ُ  آ‬U َِْ5ِ@ْ1َ ‫ْ َو‬DَK ‫ن‬ َ ُ@َ0 !JَK ِْL-َ َL \َ َ&‫َ َم ِإ َ! ا  َ ِة َر‬, ‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ َوَ  َ ِإذَا‬ ُ ُ‫ن َر‬ َ َ‫آ‬ َ0 !JَK َ(َُ*َ&‫َُ َر‬5ْ ُ" \َ َ&َْL ْ‫ُ  ِإذَا َأرَا َد َأن‬U \ُ َ‫ &ََْآ‬b َ ِ Dَ َ‫َْ&َ ُ\ آ‬L َ ‫ ُ[ َو‬-َ ِ(َK ْ َ(ِ ُ ‫ل َ(ِ َ\ ا‬ َ َ,  ُU َِْ5ِ@ْ1َ َ‫ْو‬DَK ‫ن‬ َ ُ@ ُُ0َ َ" 2 َ ِnَZْ1َ0 !JَK ‫ع‬ ِ ُ‫آ‬I ‫; ا‬ َ ْ5َ, َ‫ ُه‬E5َ@ُL ‫ِ َ ٍة‬5ْ@َ0 ; E ُ‫ آ‬2ِ& َ(ُُ*َ&َْL‫]ُ ِد َو‬I' ‫ ا‬2ِ& ِْL-َ َL “Adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam apabila berdiri untuk shalat, beliau mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua pundaknya, lalu bertakbir dan kedua (tangannya) dalam keadaan demikian, lalu ruku’. Kemudian, jika beliau hendak mengangkat punggungnya, beliau mengangkat keduanya hingga sejajar dengan kedua pundaknya, lalu berkata: sami’allaahu liman hamidah (Allah mendengar orang yang memberi pujian kepada-Nya), dan beliau tidak mengangkat kedua tangannya pada waktu hendak sujud. Dan beliau mengangkat keduanya pada setiap kali takbir yang beliau bertakbir dengannya sebelum ruku’ hingga shalatnya selesai.”(21) Perkataan beliau “sebelum ruku’” menunjukkan keumuman takbir sebelum ruku’, termasuk di antaranya takbir-takbir tambahan pada shalat ‘ied. Oleh karena itu, hadits ini disebutkan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra dalam bab: “mengangkat kedua tangan pada takbir shalat ‘ied”. - Hadits Waa’il bin Hujr radhiallahu anhu bahwa beliau berkata: ِ5ْ@J ‫ِْ َ َ\ ا‬L-َ َL \ُ َ&َْL َ  َ‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ َو‬ َ ُ‫ َر‬S ُ ْL‫ ِ َرَأ‬ “Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan takbir.”(22)

Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata ketika mengomentari hadits ini: “Aku memandang semuanya termasuk dalam hadits ini.”(23) Faedah Ibnu Juraij berkata: aku bertanya kepada Atha’: apakah seorang imam mengangkat kedua tangannya setiap kali takbir tambahan dalam shalat ‘iedul fithri? Beliau menjawab: “Iya, dan manusia (para makmum) juga mengangkatnya.”(24) Wabillahi At-Taufiq Ditulis oleh Al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi. Footnote: Kesepakatan ini disebutkan oleh Ibnul Mundzir dalam Al-Ijma’:42. 2 Dalam satu riwayat Malik mengatakan: diangkat tangan pada awal takbir dalam shalat jenazah. Dalam riwayat lain beliau mengatakan: Aku senang agar kedua tangan diangkat pada empat kali takbir. (Al-Mudawwanatul Kubra: 176). 3 Lihat: Al-Mughni,Ibnu Qudamah: 2/373,Jami’ At-Tirmidzi: 3/388, AlMuhalla, Ibnu Hazm:5/124, Nailul Authar: 4:105, Al-Majmu’, An-Nawawi: 5/136, Al-Mudawwanatul Kubra, Imam Malik:176. Ahkamul Janaiz, AlAlbani:148. As-Sunan Al-Kubra, Al-Baihaqi:4/44. Ma’rifatus Sunan wal Atsar, Al-Baihaqi (3/169). Al-Umm,Asy-Syafi’i:1/271, Al-Hawi Al-Kabir (3/55). 4 (HR. At-Tirmidzi:1077,Ad-Daruquhni (2/75), Abu Umar Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid (20/79). 5 (HR. Daruquthni: (2/75), Al-Uqaili dalam kitab Adh-Dhu’afa’ (1500) 6 Al-Mughni: 2/373. 7 HR. Ad-Daruquthni dalam kitabnya “Al-Ilal”, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Mubarakfuri dalam At-Tuhfah (4/163), Az-Zaila’I dalam Nasbur Rayah (2/285). 8 HR.Asy-Syafi’i dalam Al-Umm (1/271), Al-Baihaqi (4/44), dan dalam Ma’rifaus Sunan wal Atsar (3/169), dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz (148). 9 HR. Asy-Syafi’i sebagaimana yang disebutkan Al-Baihaqi dalam Ma’rifatus Sunan wal Atsar (3/170),namun dalam sanadnya terdapat dua kelemahan: Pertama:ada perawi yang bernama Salamah bin Wardan,dia lemah,dan lebih lemah lagi disaat dia meriwayatkan dari Anas bin Malik. Kedua: terdapat perawi yang mubham (tidak disebut namanya). 10 Disebutkan oleh Ibnu Qudamah dan berkata: diriwayatkan oleh AlAtsram (Al-Mughni:2/240),juga lihat dalam Al-Mubdi’ (2/184). Dan juga diriwayatkan Al-Baihaqi (2/293),dan beliau mengatakan: ”hadits ini munqathi’ (terputus sanadnya).” Al-Albani juga melemahkannya dalam Al-

Irwa’ (3/640). 11 Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur,sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Al-Habir (2/146-147), dan beliau menshahihkannya. 12 Qiyas ini disebutkan oleh Asy-Syafi’i dalam Al-Umm (1/271). 13 Al-‘Ilal,Ad-Daruquthni (9/150), Nashbur Rayah (2/285) ,At-Talkhis AlHabir (2/146-147),Al-Badr al-Munir (5/387). 14 Nashbur rayah (2/285), At-Talkhis Al-Habir (2/146-147),Al-Badr alMunir (5/387). 15 At-Talkhis Al-habir (2/146-147). 16 Namun Syekh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafidzahullah Ta’ala lebih condong menshahihkan hadits tersebut secara marfu’, disebabkan perawi Umar bin Syabbah adalah perawi yang terpercaya, dan tidak ada celah untuk melemahkan riwayatnya.Syekh Bin Baaz juga mengatakan tentang hadits ini: sanadnya jayyid (bagus). (Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz: 13/148) 17 Majmu’ Fatawa Bin Baaz: 13/148. 18 Fatawa Al-Lajnah no: 2514. 19 Silsilah Liqa’ al-bab al-Maftuh, kaset no:179, set kedua. 20 Al-Majmu’ (5/20), Mukhtashar ikhtilaf al-fuqaha,At-Thahawi (1/323),AlMughni (2/239),hilyatul ‘ulama (2/256), Al-Hawi Al-Kabir (2/491), Silsilah Liqa’ al-bab Al-Maftuh, no:224, set kedua. 21 HR. Ahmad (2/133), Abu Dawud (722), Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa (178), Ad-Daruquthni (1/288), Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (3/292). Berkata Al-Albani: sanadnya shahih berdasarkan syarat dua Syekh (Bukhari dan Muslim).Lihat: Irwa’ul Ghalil (3/113). 22 HR.Ahmad (4/316), Ath-Thabarani (22/33), Dihasankan Al-albani dalam Al-Irwa’ (3/641). 23 Ar-Raudhul Murbi’ (1/308), Al-Mughni (2/119). 24 Riwayat Abdurrazzaq (3/5699), Al-Baihaqi (3/293),dengan sanad yang shahih.

Tuntunan para Salaf dalam bertakbir disaat hari Raya Penulis: Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari Allah Ta'ala berfirman (yang artinya) : “ Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, mudah-mudahan kalian mau bersyukur". Telah terdapat riwayat, “Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah keluar pada hari raya Idhul Fithri, beliau bertakbir, ketika mendatangi mushalla sampai selesainya shalat, apabila shalat telah selesai, maka beliau menghentikan takbirnya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al Mushannaf, al Muhamili dalam Shalatul ‘Idain dengan sanad sahih tetapi mursal. Riwayat tersebut memiliki syahid/penguat yang menguatkan riwayat tersebut. Lihat Silsilah al Ahadits ash Shohihah (170). Takbir pada Idul Fithri dimulai pada waktu keluar menunaikan shalat Id]. Berkata Al-Muhaddits Syaikh Al Albani : "Dalam hadits ini ada dalil disyari'atkannya melakukan takbir dengan suara jahr (keras) di jalanan ketika menuju mushalla sebagaimana yang biasa dilakukan kaum muslimin. Meskipun banyak dari mereka mulai menganggap remeh sunnah ini hingga hampir-hampir sunnah ini sekedar menjadi berita. Termasuk yang baik untuk disebutkan dalam kesempatan ini adalah bahwa mengeraskan takbir disini tidak disyari'atkan berkumpul atas satu suara (menyuarakan takbir secara serempak dengan dipimpin seseorang -pent) sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang.. Demikian pula setiap dzikir yang disyariatkan untuk mengeraskan suara ketika membacanya atau tidak disyariatkan mengeraskan suara, maka tidak dibenarkan berkumpul atas satu suara seperti yang telah disebutkan . Hendaknya kita hati-hati dari perbuatan tersebut[1], dan hendaklah kita selalu meletakkan di hadapan mata kita bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuknya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam". Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang waktu takbir pada dua hari raya (Kapan kaum musliminb diperintahkan takbir di kedua hari raya – pent), maka beliau rahimahullah menjawab : "Segala puji bagi Allah, pendapat yang paling benar tentang takbir ini yang jumhur salaf dan para ahli fiqih dari kalangan sahabat serta imam berpegang dengannya adalah : Hendaklah takbir dilakukan mulai dari waktu fajar hari Arafah sampai akhir hari Tasyriq ( tanggal 11,12,13 Dzulhijjah), dilakukan setiap selesai mengerjakan shalat, dan disyariatkan bagi setiap orang untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika keluar untuk shalat Id. Ini merupakan kesepakatan para imam yang empat". [Majmu Al -

Fatawa 24/220 dan lihat 'Subulus Salam' 2/71-72] Ibnu Umar dahulu apabila pergi keluar pada hari raya Idhul Fithri dan Idhul Adha, beliau mengeraskan ucapan takbirnya sampai ke mushalla, kemudian bertakbir sampai imam datang. (HR Ad Daraquthni dan Ibnu Abi Syaibah dan selain mereka dengan sanad yang shahih. Lihat Irwa ‘ul Ghalil 650). Aku katakan : Ucapan beliau rahimahullah : '(dilakukan) setelah selesai shalat' secara khusus tidaklah dilandasi dalil. Yang benar, takbir dilakukan pada setiap waktu tanpa pengkhususan. Yang menunjukkan demikian adalah ucapan Imam Bukhari dalam kitab 'Iedain dari "Shahih Bukhari" 2/416 : "Bab Takbir pada harihari Mina, dan pada keesokan paginya menuju Arafah". Umar Radliallahu 'anhu pernah bertakbir di kubahnya di Mina. Maka orang-orang yang berada di masjid mendengarnya lalu mereka bertakbir dan bertakbir pula orang-orang yang berada di pasar hingga kota Mina gemuruh dengan suara takbir. Ibnu Umar pernah bertakbir di Mina pada hari-hari itu dan setelah shalat (lima waktu), di tempat tidurnya, di kemah, di majlis dan di tempat berjalannya pada hari-hari itu seluruhnya. Maimunnah pernah bertakbir pada hari kurban, dan para wanita bertakbir di belakang Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz pada malam-malam hari Tasyriq bersama kaum pria di masjid". Pada pagi hari Idul Fitri dan Idul Adha, Ibnu Umar mengeraskan takbir hingga ia tiba di mushalla, kemudian ia tetap bertakbir hingga datang imam. [Diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni, Ibnu Abi Syaibah dan selainnya dengan isnad yang shahih. Lihat "Irwaul Ghalil' 650] Sepanjang yang aku ketahui, tidak ada hadits nabawi yang shahih tentang tata cara takbir. Yang ada hanyalah tata cara takbir yang di riwayatkan dari sebagian sahabat, semoga Allah meridlai mereka semuanya. Seperti Ibnu Mas'ud, ia mengucapkan takbir dengan lafadh : Allahu Akbar Allahu Akbar Laa ilaha illallaha, wa Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamdu. (Yang artinya) : “ Allah Maha Besar Allah Maha Besar, Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah, Allah Maha Besar Allah Maha Besar dan untuk Allah segala pujian". [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/168 dengan isnad yang shahih] Sedangkan Ibnu Abbas bertakbir dengan lafadh : Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, wa lillahil hamdu, Allahu Akbar, wa Ajallu Allahu Akbar 'alaa maa hadanaa. (yang artinya) : “ Allah Maha Besar Allah Maha Besar Allah Maha Besar dan bagi

Allah lah segala pujian, Allah Maha Besar dan Maha Mulia, Allah Maha Besar atas petunjuk yang diberikannya pada kita". [Diriwayatkan oleh Al Baihaqi 3/315 dan sanadnya shahih] Abdurrazzaq -dan dari jalannya Al-Baihaqi dalam "As Sunanul Kubra" (3/316)meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Salman Al- Khair Radliallahu anhu, ia berkata : (yang artinya) : “ Agungkanlah Allah dengan mengucapkan : Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar kabira". Banyak orang awam yang menyelisihi dzikir yang diriwayatkan dari salaf ini dengan dzikir-dzikir lain dan dengan tambahan yang dibuat-buat tanpa ada asalnya. Sehingga Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam "Fathul Bari (2/536) : "Pada masa ini telah diada-adakan suatu tambahan dalam dzikir itu, yang sebenarnya tidak ada asalnya".

Footnote : (1). Yang lebih tragis lagi pelaksanaan takbir untuk hari raya Iedhul Fithri khususnya, sebagian kaum muslimin di negeri-negerinya melakukan dengan cara-cara yang jauh dari sunnah, seperti yang disebutkan di atas dan yang lebih fatal sebagian mereka mengadakan acara takbiran – menurut anggapan mereka – pada malam hari Lebaran sudah mengumandangkan kalimat takbir bahkan dengan cara-cara yang penuh dengan kemaksiatan musik, bercampurnya lakilaki dan wanita serta berjoget-joget dan kemungkaran lainnya – yang sudah dianggap bagian dari syiar Islam. Bahkan mereka menganggap hal itu sunnah dan kewajiban yang harus dilakukan dengan cara yang demikian. Laa haula walaa quwwata illa billah – pent. (Dinukil dari Ahkaamu Al' Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari dan Syaikh Salim Al Hilali, edisi Tuntunan Ibadah Ramadhan dan Hari Raya, terbitan Maktabah Salafy Press, penerjemah ustadz Hannan Husein Bahannan)

Hukum Seputar Iedul Fitri Penulis: Fadlilatu As Syaikh Al'Allamah Al Faqih Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah Soal 3 : Jika 'iedul fitri bertepatan dengan hari Jum'at, apakah boleh aku menjalankan sholat 'ied dan meninggalkan sholat Jum'at atau sebaliknya ? Jawab : Jika keadaannya demikian, bagi seorang muslim yang telah menjalankan sholat 'ied sebagai makmum maka gugur kewajibannya untuk menjalankan sholat Jum'at dan sunnah baginya bila ingin menjalankan sholat jum'at .Jika dia tidak menjalankan sholat Jum'at maka wajib baginya untuk sholat dzuhur, ini bagi ma'mum. Adapun seorang imam maka wajib baginya menjalankan sholat Jum'at bersama kaum muslimin setelah dia manjalankan sholat 'ied (Syaikh Sholih Fauzan) Soal 4 : Apakah boleh menampakan kegembiraan dan suka cita di hari raya 'iedul fitri, 'iedul adha, malam 27 Rajab, malam niysfu Sya'ban, hari Asy syura ? Jawab : Apabila yang demikian dilakukan pada 'iedul fitri/ 'iedul adha maka boleh selama dalam batasan-batasan syari'at. Seperti bersuka cita dengan hidangan makan dan minum sebagaimana sabda Nabi (yang artinya) : “Hari-hari Tasyrik adalah hari hari makan dan minum serta dzikrulloh." Yaitu 3 hari setelah 'iedul adha menikmati nikmat Allah azza wa jalla. Demikian juga 'iedul fitri selama dalam batasan batasan syar'i. Adapun pada malam 27 Rajab, Malam niysfu Sya'ban, hari Asy syura maka tidak boleh merayakan/ memperingatinya dengan kegembiraan sebagaimana sabda Nabi (yang artinya) : "Berhati-hatilah kalian dengan perkara baru dalam agama, sesunguhnya setiap bid'ah (perkara baru) dalam agama adalah sesat ". Kemudian, anggapan malam 27 Rajab adalah malam isra mi'rajnya Nabi Muhammad adalah tidak benar dalam sejarah Islam. Pun kalau seandainya itu benar, maka tidak boleh dirayakan sebagaimana 'ied dan dirayakan dengan ibadah, karena yang seperti ini tidak pernah ada pada zaman Nabi . Adapun hari Asy syura' yang dianjurkan adalah berpuasa pada hari itu. Puasa pada hari itu dikatakan oleh Nabi : "menghapuskan dosa dosa tahun sebelumnya". Nabi pun memerintahkan agar berpuasa sehari sebelum dan sesudah puasa Asy syura dalam rangka menyelisihi yahudi yang hanya berpuasa pada hari Asy syura saja. (Syaikh Utsaimin) (Diterjemahkan oleh Al Ustadz Abu ‘Isa Nurwahid dari Fataawa Lajnah ad Da’imah, Syarhul Mumthi’ Ibnu Utsaimin, Fataawa wa Rasaail Ibnu Utsaimin, dan Majmu’Fataawa Syaikh Shalih Fauzan)

Sumber : Buletin Da'wah Al-Atsary, Semarang. Edisi 18 / 1427 H Dikirim via email oleh Al-Akh Dadik FATWA SEPUTAR SHOLAT ‘IED Penulis: SYAIKH AL ‘ALLAMAH MUHAMMAD BIN SHOLEH AL - ’UTSAIMIN

Soal : Apa yang disunnahkan sebelum seseorang pergi untuk sholat idul fitri dan idul adha? Jawab : Disunnahkan pada idul fitri untuk makan kurma dengan jumlah ganjil sebelum seseorang pergi kelapangan untuk sholat idul fitri. Adapun idhul adha, disunnahkan bagi yang berkurban untuk makan sebagian daging korban yang disembelihnya setelah sholat. Berkaitan dengan mandi, sebagian ulama mengatakan hukumnya adalah sesuatu hal yang di cintai, demikian juga berpakaian dengan pakaian yang paling bagus. Jika seseorang mencukupkan diri dengan wudhu dan memakai pakaian biasa pada sholat ied maka boleh. Soal : Apa yang disunnahkan sebelum seseorang pergi untuk sholat idul fitri dan idul adha? Jawab : Disunnahkan pada idul fitri untuk makan kurma dengan jumlah ganjil sebelum seseorang pergi kelapangan untuk sholat idul fitri. Adapun idhul adha, disunnahkan bagi yang berkurban untuk makan sebagian daging korban yang disembelihnya setelah sholat. Berkaitan dengan mandi, sebagian ulama mengatakan hukumnya adalah sesuatu hal yang di cintai, demikian juga berpakaian dengan pakaian yang paling bagus. Jika seseorang mencukupkan diri dengan wudhu dan memakai pakaian biasa pada sholat ied maka boleh. Sumber : Bulletin Al Atsary Edisi 1/Dzulhijjah/1426H , Diterjemahkan dari “Fatawa wa rosaail Ibnu ‘Utsaimin” Oleh Al-Ustadz Abu ‘Isa Nurwahid

Shalat Ied di Lapangan Penulis: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah Ada suatu pemandangan yang terkadang menarik perhatian, yaitu adanya dua kubu kaum muslimin yang mengadakan sholat ied. Kubu yang pertama melaksanakan sholat ied di lapangan, dan kubu yang kedua sholat ied di masjid. Terkadang kaum muslimin pusing tujuh keliling melihat fenomena perpecahan seperti ini. Tragisnya lagi, jika yang berselisih dalam hal ini adalah dua organisasi besar di Indonesia Raya. Nah, manakah yang benar sikapnya dalam perkara ini sehingga harus didukung. Ikuti pembahasannya berikut ini: Jika kita adakan riset ilmiah berdasarkan Al-Kitab dan Sunnah, maka kita akan menemukan bahwa hadits-hadits dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallammendukung kubu yang melaksanakan sholat ied di lapangan. Pembaca yang budiman, hadits-hadits dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallammenunjukkan bahwa Sholat ied: idul fitri, maupun iedul adha, semuanya beliau kerjakan di lapangan. Dalil Pertama Abu Sa’id Al-Khudriy -radhiyallahu ‘anhu- berkata, ‫ف‬ ُ ِ َْ1َL  ُU ‫ِِ ا  َ َة‬4 ‫ُأ‬-َ ْ5َL ‫ْ ٍء‬2َ6 ‫ل‬ ُ ‫و‬aََ& ! َُ(ْ ‫َ! ِإ َ! ا‬Fْ3aَْ ‫َْ َم ا ِْْ ِ وَا‬L ‫ج‬ ُ ُ ْNَL َ  َ‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ َو‬ ُ ُْ‫ن َر‬ َ َ‫آ‬ ََ& ْ‫ََ*َُ َأو‬, ًAْ*َ4 \َ َْZَL ْ‫ َأن‬-ُ ْLِ ُL َ‫نْ آَن‬oَِ& ُْ‫ْ ُ ُه‬aَL‫ُْ"ِِْْ َو‬L‫ُُْ ُو‬pِ*ََ& ِِْ&ُُْ" !َ َ ٌ‫ُ ُْس‬i ‫س‬ ُ 1 ‫س وَا‬ ِ 1 ‫ِ;َ ا‬4َZُ ‫ُْ ُم‬Z ‫ف‬ ُ ِ َْ1َL  ُU ِِ4 َ َ ‫ْ ٍء َأ‬2َRِ4 ُ ُ ْaَL "Dulu Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- keluar di hari raya idul fitri dan idul adha menuju lapangan. Maka sesuatu yang paling pertama kali beliau mulai adalah shalat ied, kemudian beliau berbalik dan berdiri menghadap manusia, sedangkan manusia duduk pada shaf-shaf mereka. Beliau pun memberikan nasihat dan wasiat kepada mereka, serta memberikan perintah kepada mereka. Jika beliau ingin mengirim suatu utusan, maka beliau putuskan (tetapkan), atau jika beliau memerintahkan sesuatu, maka beliau akan memerintahkannya. Lalu beliau pun pulang". [HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya(913) dan Mulim dalam Shohih-nya (889)] Al-Hafizh Ibnu Hajar-rahimahullah- berkata, "Hadits ini dijadikan dalil untuk menunjukkan dianjurkannya keluar menuju padang luas (lapangan) untuk mengerjakan shalat ied, dan bahwasanya hal itu lebih utama dibandingkan shalat ied di masjid, karena kontunyunya nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- atas hal itu, padahal masjid beliau memiliki keutamaan.[Lihat Fathul Bari (2/450)]

Imam Asy-Syafi’iy-rahimahullah- berkata, "Telah sampai berita kepada kami bahwa Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dulu keluar di dua hari raya menuju lapangan yang terdapat di kota Madinah. Demikian pula generasi setelahnya, dan seluruh penduduk negeri, kecuali penduduk Mekah, maka sesungguhnya belum sampai berita kepada kami bahwa seorang diantara salaf shalat ied memimpin mereka, kecuali di masjid mereka. [Lihat Al-Umm (1/389)] Adapun penduduk Mekkah, mereka dikecualikan dalam hal ini, karena sempitnya lokasi yang ada di negeri itu. Mekkah adalah lembah yang dikelilingi oleh pegunungan, tidak mungkin bagi penduduk untuk melaksanakan sholat ied kecuali di lembah itu. Sedang di lembah itulah terdapat Baitullah. Jadi, mau tidak mau, ya mereka harus sholat di Masjidil Haram. Orang yang berpendapat bolehnya sholat di masjid, jika masjidnya luas, sudah dibantah oleh Asy-syaukaniy-rahimahullah- ketika berkata dalam Nailul Authar (3/359), "Dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa alasan sempit, dan luasnya masjid sekedar sangkaan belaka tidak cocok untuk dijadikan udzur dari mencontoh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- untuk keluar menuju lapangan setelah mengakui kesinambungan Beliau terhadap hal tersebut. Adapun berdalil bahwa hal itu merupakan alasan untuk melakukan shalat ied di masjid mekkah (masjidil haram), maka dijawab bahwasanya tidak keluarnya mereka menuju lapangan, karena sempitnya lokasi Mekkah, bukan karena luasnya masjidil haram". Dalil Kedua Ibnu umar -radhiyallahu ‘anhuma- berkata, َ‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ َوَ  َ آ‬ َ ُْ‫ن َر‬  ‫َ َ َ… ا ْ(َُ ! َأ‬4 ‫ذَا‬oَِ& ِْL-َ َL َ َْ4 ; ُ َ(ْFُ0 ‫ ُة‬Hَ َ1َ*ْ ‫ وَا‬-ِ ِْ*ْ ‫َْ ِم ا‬L ْ2ِ& ! َُ(ْ ‫وْ ِإ َ! ا‬-ُ َْL ‫ن‬ َ ِِ4 ُ َJَJْ'ُL ٌ‫ْء‬2َ6 ِِْ& c َ َْ ‫َ ًء‬nَ& ‫ن‬ َ َ‫ن ا ْ(َُ ! آ‬  ‫ َأ‬b َ ِ ‫ ِإ ََْ َو َذ‬2E ََُ& ِْL-َ َL َ َْ4 ْSَ5ُِB "Rasulullah-Shollallahu ‘alaihi wasallam- keluar pagi-pagi menuju lapangan di hari ied, sedangkan tombak kecil di depan beliu. Jika telah tiba di lapangan, maka tombak kecil itu ditancapkan di depan beliau. Lalu beliau pun shalat menghadap tombak tersebut. Demikianlah, karena lapangan itu adalah padang, di dalamnya tak ada sesuatu yang bisa dijadikan "sutroh" (pembatas di depan imam)" [HR.Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (930), dan Ibnu Majah dalam Sunannya (1304)] Dalil Ketiga Al-Baraa’ -radhiyallahu ‘anhu- berkata, ْ2ِ& َ1ِ@ُ'ُB ‫ل‬ َ ‫ن َأ و‬  ‫ل ِإ‬ َ َ,‫ِِْ َو‬iَ ِ4 َ1َْ َ ; َ َ5ْ,‫ُ  َأ‬U ِ َْJَ*َ‫ِْ ِ\ &ََ ! َرآ‬Zَ5ْ ‫َ! ِإ َ! ا‬Fْ3aَْ ‫َْ َم ا‬L َ  َ‫ "َ ! ا ُ َ َِْ َو‬2 I ِ51 ‫ج ا‬ َ َ َ: َ& َ َFْ1َ1َ& \َ ِiَْB  ُU ‫ِ  َ ِة‬4 ‫َأ‬-َ ْ5َB ْ‫َا َأن‬Dَ‫َ ه‬1ِ َْL ِِ ْ‫ه‬aَِ َُ ]َ ٌ‫ْء‬2َ6 َ ُ‫(َ ه‬Boَِ& b َ ِ ‫; َذ‬ َ ْ5َ, s َ َ4‫َ َو َ ْ َذ‬1َJ1ُ h َ َ&‫ْ وَا‬-َZَ& b َ ِ ‫; َذ‬ َ َ*َ& ْ َ( ‫ْ ٍء‬2َ6 ْ2ِ& b ِ ُ'I1 ‫ ا‬ ِ ِ c َ َْ

"Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- keluar pada hari idul adha menuju Baqi’. Lalu beliau shalat ied dua rakaat. Kemudian beliau menghadapkan wajahnya kepada kami seraya bersabda, "Sesungguhnya awal kurban kita adalah pada hari kita ini. Kita mulai dengan shalat, lalu kita kembali untuk menyembelih hewan kurban. Barang siapa yang melakukan hal itu, maka sungguh ia telah mencocoki sunnah kita. Barangsiapa yang menyembelih sebelum itu (sebelum shalat), maka dia (sembelihannya) adalah sesuatu yang ia segerakan untuk keluarganya, bukan hewan kurban sedikitpun". [HR.Al-Bukhariy (933)] Baqi’ yang dimaksudkan disini adalah lapangan, yaitu padang yang luas waktu itu, berada sekitar 100 meter sebelah timur Masjid Nabawi. Namun sekarang tempat itu dijadikan lokasi kuburan. Jadi, Baqi’ dahulu adalah tanah lapang yang luas dan kosong, namun sekarang diisi dengan kuburan yang sebelumnya tak ada. Dalil Keempat Abdur Rahman bin Abis berkata, ُُ0ْ-َِ6 َ ِ َE ‫ ا‬ َ ِ ْ2ِBَ@َ َ َْ ‫َ*َْ َو‬B ‫ل‬ َ َ, ‫ "َ ! ا ُ َ َِْ َوَ  َ ؟‬2 E ِ51 ‫ َ َ\ ا‬-َ ِْ*ْ ‫ت ا‬ َ ْ-َِ6‫; َُ َأ‬ َ ِْ, ‫س‬ ٍ 5َ َ ْ4‫ ا‬S ُ ْ*ِ(َ ‫! َأ‬JَK  ُ‫ َوَأ َ َه‬  ُ‫ َو َذآ َه‬  َُpََ َ& ٌ‫ِ َل‬4 َُ*َ ‫'َ َء َو‬E1 ‫َ! ا‬0‫ُ  َأ‬U P َ ََ:  ُU ! ََ& S ِ ْ  ‫ ا‬ ِ ْ4 ِ ِْAَ‫ دَا ِر آ‬-َ ْ1ِ ْ‫ي‬Dِ  ‫َ! ا ْ*َ َ َ ا‬0 ُU ‫ل‬ ٍ َ ِ4 ‫ب‬ ِ َْU ْ2ِ& َُ1ْ&Dِ ْZَL  ِْL-َ ْLaَِ4 َ ْLِ َْL  ُُJْL‫َ)ِ &َ ََأ‬,-َ  ِ4ِِJَْ4 !َ ِ‫ِ َلٌ إ‬4‫ هُ َ َو‬h َ َ َْB‫ ا‬ "Aku pernah mendengarkan Ibnu Abbas sedang ditanya, apakah engkau pernah menghadiri shalat ied bersama Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- ? Ibnu Abbas menjawab, ya pernah. Andaikan aku tidak kecil, maka aku tidak akan menyaksikannya, sampai Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- mendatangi tanda (yang terdapat di lapangan), di dekat rumah Katsir Ibnu Ash-Shalt. Kemudian beliau shalat dan berkhutbah serta mendatangi para wanita sedang beliau bersama Bilal. Maka nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- menasihati mereka, mengingatkan, dan memerintahkan mereka untuk bersedaqah. Lalu aku pun melihat mereka mengulurkan (sedeqah) dengan tangan mereka sambil melemparkannya ke baju Bilal. Kemudian nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan Bilal berangkat menuju ke rumahnya". [HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya(934)]. Al-Hafizh-rahimahullah- berkata, "Ibnu Sa’ad berkata, "Rumah Katsir bin AshSholt merupakan kiblat bagi lapangan di dua hari raya. Rumah itu menurun ke perut lembah Bathhan, suatu lembah di tengah kota Madinah". Selesai ucapan Ibnu Sa’ad".[Lihat Fathul Bari (2/449), cet. Darul Ma’rifah] Dalil-dalil ini dan lainnya menunjukkan bahwa sholat ied di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dilaksanakan di lapangan yang berada pada sebelah timur Masjid Nabawi. Dari hadits-hadits inilah para ulama mengambil kesimpulan bahwa sholat ied, petunjuknya dilaksanakan di lapangan, bukan di masjid !!! Inilah petunjuknya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , Sedang sebaikbaik petunjuk adalah petunjuknya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- .

Ibnu Hazm Azh-Zhohiriy-rahimahullah- berkata dalam Al-Muhalla (5/81), "Sunnahnya sholat ied, penduduk setiap kampung, dan kota keluar menuju lapangan yang luas, di dekat tempat tinggal mereka di waktu pagi setelah memutihnya matahari, dan ketika awal bolehnya sholat sunnah". Imam Al-AiniyAl-Hanafiy -rahimahullah- berkata, "Dalam hadits ini terdapat anjuran keluar menuju lapangan, dan tidak melaksanakan shalat ied di masjid, kecuali karena darurat". [Lihat Umdah Al-Qoriy (6/280)]. Imam Malikbin Anas-rahimahullah- berkata dalam Al-Mudawwanah Al-Kubra (1/245), "Seorang tidak boleh shalat ied di dua hari raya pada dua tempat; mereka juga tidak boleh shalat di masjid mereka, tapi mereka harus keluar (ke lapangan) sebagaimana Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dulu keluar (menuju lapangan)". Ibnu Qudamah -rahimahullah- berkata dalam Al-Mughniy (2/229), "Sunnahnya seorang shalat ied di lapangan. Ali -radhiyallahu ‘anhu- telah memerintahkan hal tersebut dan dianggap suatu pendapat yang baik oleh Al-Auza’iy dan ahli ra’yi. Ini adalah pendapat Ibnul Mundzir… Kami (Ibnu Qudamah) memiliki dalil bahwa Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dulu keluar menuju lapangan, dan meninggalkan masjidnya, demikian pula para khulafaurrasyidin setelahnya. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tidaklah meninggalkan perkara yang lebih afdhol (sholat ied di masjidnya), padahal ia dekat, lalu beliau memaksakan diri melakukan perkara yang kurang (yaitu shalat di lapangan), padahal ia lebih jauh. Jadi nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tidaklah mensyariatkan umatnya untuk meninggalkan perkara-perkara yang afdhol. Kita juga diperintahkan untuk mengikuti Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , dan berteladan kepadanya. Maka tidak mungkin suatu yang diperintahkan adalah kekurangan, dan sesuatu yang dilarang merupakan sesuatu yang sempurna. Tidak dinukil dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau shalat ied di masjidnya, kecuali karena udzur. Ini juga merupakan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin, karena manusia pada setiap zaman dan tempat, mereka keluar menuju lapangan untuk melaksanakan shalat ied di dalamnya, padahal masjid luas dan sempit. Dulu nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- laksanakan shalat ied di lapangan, padahal masjidnya mulia, dan juga shalat sunnah di rumah lebih utama dibandingkan shalat sunnah di masjid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , padahal ia lebih utama". Inilah beberapa dalil dan komentar para ulama kita yang menghilangkan dahaga bagi orang yang haus ilmu; mengangkat syubhat, dan keraguan dari hati. Semoga dengan risalah ringkas ini kaum muslimin bisa menyatukan langkah dalam melaksanakan sholat ied sehingga persatuan dan kebersamaan diantara mereka semakin kuat, membuat orang-orang kafir gentar dan segan. Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 34 Tahun http://almakassari.com/?p=181#more-181

Sunnah Ied yang Hampir Terlupakan Penulis: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah

‘Ied "lebaran" merupakan hari berbahagia dan bersuka cita bagi kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Kegembiraan ini nampak di wajah,tindak-tanduk dan kesibukan mereka. Orang yang dulunya berselisih dan saling benci, pada hari itu saling mema’afkan. Ibu-ibu rumah tangga sibuk membuat berbagai macam kue, ketupat, makanan yang akan dihidangkan kepada para tamu yang akan berdatangan pada hari ied. Bapak-bapak sibuk belanja baju baru buat anak dan keluarganya. Para pekerja dan penuntut ilmu yang ada diperantauan nun jauh di negeri orang sibuk menghubungi keluarga mereka, entah lewat surat atau telepon. Di balik kesibukan dan kegembiraan ini, terkadang mengantarkan sebagian manusia lalai untuk mempersiapkan apa yang mereka harus kerjakan di hari Ied. Diantaranya, seperti berikut ini Dianjurkan mandi sebelum berangkat ke musholla. Seorang di hari ied disunnahkan untuk bersuci dan membersihkan diri agar bau tak sedap tidak mengganggu saudara kita yang lain ketika sholat dan bertemu. Ini berdasarkan atsar dari Ali bin Abi Tholib Radhiyallahu anhu pernah ditanya tentang mandi, maka beliau menjawab, ِ ِْْ ‫َْ َم ا‬L‫ْ ِ َو‬F1 ‫َْ َم ا‬L‫ْ َم َ َ&َ)َ َو‬Lَ ‫َْ َم ا ْ]ُ(ُ*َ)ِ َو‬L "(Mandi seyogyanya dilakukan) di hari Jum’at, hari Arafah (wuquf), hari Iedul Adh-ha, dan hari Iedul Fitri". [HR.Asy-Syafi’i dalam Al-Musnad (114), dan AlBaihaqy (5919)] Memakai Pakaian yang Bagus dan Berhias dengannya Diantara bentuk kegembiraan seorang muslim, dia mempersiapkan dan memakai pakaian baru di hari raya iedul Fitri dan iedul Adhha. Ketahuilah, Sunnah ini diambil dari hadits Ibnu Umar , ia berkata: [ِ Dِ َ‫َ\ْ ه‬Jْ4‫ل ا ِ ِا‬ َ ُ‫َ َر‬L ‫ل‬ َ َZَ& َ  َ‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ َو‬ َ ُْ‫َ! َر‬0aََ& َ‫ه‬Dَ َ:aََ& ِ‫ْق‬I' ‫ْ ا‬2ِ& ‫ع‬ ُ َ5ُ0 ‫ق‬ ٍ َ ْ5َJْ‫)ً ِ ْ ِإ‬5ُi ُ َ(ُ Dَ َ:‫َأ‬ ِ َِ4 ْ;(َ]َ0‫ وَا ْ ُ&ُْ ِد‬-ِ ِْ*ْ

" Umar mengambil jubah dari sutera yang dijual di pasar. Diapun mengambilnya lalu dibawa kepada Rasulullah r seraya berkata: [" Ya Rasulullah, Belilah ini agar engkau bisa berhias dengannya untuk hari ied dan para utusan …"] " [HR.AlBukhory dalam Shohih-nya (906), Muslim dalam Shohih-nya (2068)] Al-Allamah Asy-Syaukani -Rahimahullah- berkata dalam Nail Al-Author (3/349)," Segi pengambilan dalil dari hadits ini tentang disyari’atkannya berhias di hari ied adalah adanya taqrir Nabi r bagi Umar atas dasar bolehnya berhias di hari ied, dan terpokusnya pengingkaran beliau atas orang yang memakai sejenis pakaian tersebut, karena ia dari sutera". Di hari Iedul Fithri, Disunnahkan Makan Sebelum ke Musholla Sebelum berangkat ke musholla (lapangan), maka dianjurkan makan –utamanya kurma- sebagaimana ini dilakukan oleh Nabi kita Muhammad r pada hari iedul fitri. Adapun iedul Adhha, maka sebaliknya seseorang dianjurkan makan setelah sholat ied agar nantinya bisa mencicipi hewan kurbannya. Buraidah –Radhiyallahu- anhu berkata: \َ ِiَْL !JَK ُ َ*َْL َ ِ ْF1 ‫َْ َم ا‬L‫َْ*َ َ َو‬L !JَK ‫ج‬ ُ ُ ْNَL َ ِ ِْْ ‫َْ َم ا‬L َ  َ‫ "َ ! ا ُ َ َِْ َو‬2 I ِ51 ‫ن ا‬ َ َ‫آ‬ "Nabi r tidaklah keluar di hari iedul Fithri sampai beliau makan, dan pada hari iedul Adh-ha beliau tak makan sampai beliau kembali". HR. Ibnu Majah dalam As-Sunan (1756). Di-hasan-kan oleh Syu’aib Al-Arna’uth dalam Takhrij AlMusnad (5/352/no.23033) Al-Muhallab bin Abi Shofroh - Rahimahullah - berkata,”Hikmahnya makan sebelum sholat ied adalah agar orang tidak menyangka wajibnya puasa sampai usai sholat ied. Seakan Nabi r hendak menepis persangkaan itu" . [Lihat Fath AlBari (2/447)] Diantara hikmahnya agar masih ada waktu mengeluarkan shodaqoh di waktuwaktu yang cocok dan sangat dibutuhkannya oleh para faqir-miskin. Ibnul Munayyir –Rahimahullah- berkata: "Nabi r makan di dua hari ied pada waktu yang masyru’ (disyari’atkan) agar bisa mengeluarkan shodaqoh khusus bagi ied tersebut. Maka waktu mengeluarkan shodaqoh ied fithri sebelum berangkat (ke musholla), dan waktu mengeluarkan shodaqoh kurban setelah disembelih. Jadi, keduanya bersatu pada satu sisi, dan berbeda pada sisi yang lain.". [Lihat Fath Al-Bari (2/448)] Bertakbir Menuju Lapangan Mengumandangkan takbiran saat menuju musholla merupakan sunnah yang dilakukan pada dua hari raya kaum muslimin. Sunnah ini dilakukan bukan Cuma saat keluar dari rumah, bahkan terus dilakukan dengan suara keras sampai tiba di lapangan. Setelah tiba di lapangan, tetap bertakbir sampai imam datang

memimpin sholat ied. Inilah sunnahnya ! Ada suatu riwayat dari Nabi r : "Bahwa beliau keluar di hari iedul Fithri seraya bertakbir sampai tiba di musholla dan sampai usai sholat. Jika usai sholat, beliau hentikan takbir". HR.Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (2/165) dan AlFiryabi dalam Ahkam Al-Iedain (95).Lihat juga Silsilah Ahadits Ash-Shohihah (171)] Dalam riwayat lain, Ibnu Umar Radhiyallahu berkata, -َ ِْ*ْ ‫ْ ا‬2ِ& ‫ج‬ ُ ُ ْNَL ‫ن‬ َ َ‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ َوَ  َ آ‬ َ ُْ‫ن َر‬  ‫َ*َْ ٍ َأ‬i‫ َو‬2 ٍ ِ َ‫س َو‬ ِ 5َ*ْ ‫ِا ِ وَا‬-ْ5َ‫س َو‬ ٍ 5َ ِ ْ4 ; ِ ْnَْ ‫ َ َ\ ا‬ ِ ْL ِ ِْ5ْ@J ‫; وَا‬ ِ ِْ ْJ ِ4 َُ0َْ" ً*ِ&‫ رَا‬ َ َ(ْL‫م َأ‬E ‫ ُأ‬ ِ ْ4 َ َ(ْL‫َ)َ َوَأ‬U‫َ ِر‬K ِ ْ4 -ٍ ْL‫ َو َز‬-ٍ ْL‫ َز‬ ِ ْ4 َ)َ َ‫َوُأ‬ "Nabi r keluar di dua hari raya bersama Al-Fadhl bin Abbas, Abdullah, Al-Abbas, Ali, Ja’far, Al-Hasan,Al- Husain , Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan Aiman bin Ummi Aiman sambil mengangkat suaranya bertahlil dan bertakbir". [HR.AlBaihaqy dalam As-Sunan Al-Kubro (3/279) dan dihasankan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa’ (3/123) Jadi, disyari’atkan di hari ied saat hendak keluar ke lapangan untuk mengumandangkan takbir dengan suara keras berdasarkan kesepakatan empat Imam madzhab. Tapi tidak dilakukan secara berjama’ah.[Lihat Majmu’ Al-Fatawa 24/220] Muhaddits Negeri Syam, Muhammad Nashiruddin Al-Albany-rahimahullah berkata dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (1/281) ketika mengomentari hadits pertama di atas," Dalam hadits ini terdapat dalil disyari’atkannya sesuatu yang telah dilakukan oleh kaum muslimin berupa adanya takbir dengan suara keras di jalan-jalan menuju musholla. Sekalipun kebanyakan di antara mereka sudah mulai meremehkan sunnah ini sehingga hampir menjadi tinggal cerita belaka. Itu disebabkan lemahnya dasar agama mereka serta canggungnya mereka menampakkan sunnah". Faidah : Tentang lafazh takbir, tak ada yang shohih datangnya dari Nabi r . Akan tetapi disana ada beberapa atsar yang shohih datangnya dari para sahabat Radhiyallahu anhum ajma’in. Dari sahabat Ibnu Mas’ud, beliau mengucapkan: -ُ ْ(َFْ ‫َ ُ َو ِ ِ ا‬5ْ‫َ ُ َا ُ َأآ‬5ْ‫َ ُ َِإ ََ ِإ ا ُ وَا ُ َأآ‬5ْ‫َ ُ َا ُ َأآ‬5ْ‫َا ُ َأآ‬ [HR.Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (2/168) dengan sanad yang shohih] Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhu-, beliau mengucapkan:

‫ََا‬B‫َا‬-َ‫َ ُ َ َ! َ ه‬5ْ‫; َا ُ َأآ‬ I َi‫َ ُ َوَأ‬5ْ‫ َا ُ أَآ‬-ُ ْ(َFْ ‫َ ُ َو ِ ِ ا‬5ْ‫َ ُ َا ُ َأآ‬5ْ‫َ ُ َا ُ َأآ‬5ْ‫ُ َأآ‬ [HR.Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubro (3/315) dengan sanad yang shohih.] Salman Al-Farisy, beliau mengucapkan :"Bertakbirlah : ‫ًِْا‬5َ‫َ ُآ‬5ْ‫َ َُا ُ َأآ‬5ْ‫َ َُا ُ َأآ‬5ْ‫َا ُ َأآ‬ [HR.Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubro (3/316) dengan sanad yang shohih.] Adapun tambahan yang diberikan oleh orang-orang di zaman kita pada lafazh takbir, maka semua itu merupakan buatan orang-orang belakangan, tak ada dasarnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar Asy-Syafi’i -rahimahullah-berkata dalam Al-Fath (2/536), "Di zaman ini telah diciptakan semacam tambahan pada masalah (lafazh takbir) itu yang tak ada dasarnya". Faedah : Waktu takbiran di hari raya iedul Adhha mulai waktu fajar hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) sampai akhir hari Tasyriq (13 Dzulhijjah). Inilah madzhab Jumhur salaf dan ahli fiqh dari kalangan sahabat dan lainnya. [Lihat Majmu’ Al-Fatawa (24/220)] Sebagian orang mengkhususkannya takbiran sehabis sholat. Tapi ini tak ada dalilnya. Ini dikuatkan dengan sebuah atsar :"Ibnu Umar bertakbir di Mina pada hari-hari itu –tasyriq,pen-, seusai sholat, di atas tempat tidur, dalam tenda, majlis, dan waktu berjalan pada semua hari-hari tersebut ". [HR.Al-Bukhory dalam AshShohih (1/330)] Disyari’atkan Wanita dan Anak Kecil Ikut ke Lapangan Di hari ied wanita-walaupun ia haid- dan anak-anak kecil disyari’atkan untuk keluar menyaksikan sholat dan doanya kaum muslimin. Ummu Athiyyah berkata: ‫وْ ِر‬-ُ ُNْ ‫ت ا‬ ِ ‫ َو َذوَا‬g َ ُFْ ‫ وَا‬h َ ِ0‫َ! ا ْ*ََا‬Fْ3aَْ ‫ْ ا ِْْ ِ وَا‬2ِ&  َُiِ ْNُB ْ‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ َوَ  َ َأن‬ ُ ُْ‫َ َر‬Bَ َ ‫َأ‬.  aََ& ْ ُ, َ ِْ(ِ ْ'ُ(ْ ‫َْ َ َو َدْ َ َة ا‬Nْ ‫ن ا‬ َ ْ-َْRLَ ‫ ا  َ َة َو‬ َ ْ Hِ َJْ*ََ& g ُ ُFْ ‫َلَا‬, ‫َبٌ؟‬5ْ ِi ََ ‫ن‬ ُ ُْ@َL َ َB‫َا‬-ْK‫ل ا ِ ِإ‬ َ ُْ‫َ َر‬L ُS: َْ'ِ5ْ ُJِ

َِ4َ5ْ ِi ْ ِ َُJْ:‫ُأ‬ "Rasulullah r memerintahkan kami mengeluarkan para wanita gadis, haidh, dan pingitan. Adapun yang haidh , maka mereka menjauhi sholat, dan menyaksikan kebaikan dan dakwah/doanya kaum muslimin.Aku berkata: " Ya Rasulullah, seorang di antara kami ada yang tak punya jilbab". Beliau menjawab: "Hendaknya saudaranya memakaikan (meminjamkan) jilbabnya kepada saudaranya". [Al-Bukhory dalam Ash-Shohih (971) dan Muslim dalam Ash-

Shohih (890)] Al-Hafizh Ibnu Hajar Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata dalam Fath Al-Bari (2/470), "Di dalamnya terdapat anjuran keluarnya para wanita untuk menyaksikan dua hari raya, baik dia itu gadis, ataupun bukan; baik dia itu wanita pingitan ataupun bukan". Bahkan sebagian ulama’ mewajibkan. Mencari Jalan lain Ketika Pulang ke Rumah Disunnahkan mencari jalan lain ketika selesai melaksanakan sholat ied. Artinya ketika ia pergi ke musholla mengambil suatu jalan, dan ketika pulang ke rumah di mencari jalan lain dalam rangka mencontoh Nabi r . Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata : ِِْ& ‫ج‬ َ َ َ: ْ‫ي‬Dِ  ‫ ا‬h ِ ْLِ  ‫ْ `َْ ِ ا‬2ِ& \َ َi‫ َر‬-ِ ِْ*ْ ‫! ا‬ َ ِ‫ج إ‬ َ َ َ: ‫ "َ ! ا ُ َ َِْ َوَ  َ ِإذَا‬2 I ِ51 ‫ن ا‬ َ َ‫آ‬ "Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- jika keluar ied, beliau kembali pada selain jalan yang beliau tempati keluar". [HR.Ibnu Majah dalam As-Sunan (1301). Lihat Shohih Ibnu Majah (1076) karya Al-Albaniy] Berjalan Menuju dan Kembali dari Musholla Pada hari ied di sunnahkan berjalan menuju musholla untuk melaksanakan sholat ied. Demikian pula ketika kembali ke rumah. Tapi ini jika mushollanya dekat sehingga orang tak berat jalan menuju musholla. Adapun jika jauh atau perlu sekali, maka tak masalah. Ali bin Abi Tholib-Radhiyallahu anhu- berkata: ًِ6َ -ِ ِْ*ْ ‫ج ِإ َ! ا‬ َ ُ ْNَ0 ْ‫)ِ َأن‬1I' ‫ ا‬ َ ِ "Diantara sunnah, kamu keluar menuju ied sambil jalan". [HR.At-Tirmidzy dalam As-Sunan (2/410); di-hasan-kan Al-Albany dalam Shohih Sunan At-Tirmidzy (530)] Abu ‘Isa At-Tirmidzy- rahimahullah-berkata dalam Sunan At-Tirmidzy (2/410), "Hadits ini di amalkan di sisi para ahli ilmu. Mereka menganjurkan seseorang keluar menuju ied sambil jalan". Bersegera & Cepat Berangkat Melaksanakan Sholat Ied Demikian pula bersegera berangkat menuju musholla untuk menunaikan sholat ied. Perkara ini dianjurkan agar setiap orang mengambil tempat dan banyak mengumandangkan takbir sampai keluarnya memimpin sholat ied. Faedah: Setelah tiba di musholla (lapangan) seseorang tidak dianjurkan sholat sebelum dan setelah sholat ied; juga tidak disunnahkan melakukan adzan dan iqomat, karena Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- kita tak pernah melakukan hal itu

kecuali jika sholat iednya di masjid ia harus sholat dua raka’at tahiyyatul masjid. Ibnu Abbas berkata: َ‫ه‬-َ ْ*َ4 َ ‫ْ ََ َو‬5َ, ; E َُL َْ ِ َْJَ*ْ‫َْ َم ا ِْْ ِ َرآ‬L ! َ" َ  َ‫ "َ ! ا ُ َ َِْ َو‬2  ِ51 ‫ن ا‬  ‫َأ‬ "Nabi r melaksanakan sholat iedul fithri sebanyak dua raka’at, namun beliau tidak sholat sebelum dan sesudahnya". [HR.Al-Bukhory dalam Ash-Shohih (989)] Al-Hafizh Ibnu Hajar – rahimahullah - berkata: "Walhasil, sholat ied tidak terbukti memiliki sholat sunnah sebelum dan setelahnya, berbeda dengan orang yang meng-qiyas-kannya dengan sholat jum’at". [Lihat Fath Al-Bari (2/476)] Jabir bin Samurah -radhiyallahu ‘anhu- berkata, ٍ)َ َ,‫ن َو َ ِإ‬ ٍ ‫َِْ ِ َأذَا‬4 ِ َْ0 َ َ ‫ `َْ َ َ ةٍ َو‬ ِ ْL-َ ِْ*ْ ‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ َوَ  َ ا‬ ِ ُْ‫ َ َ\ َر‬S ُ ْ ًَ" “Aku telah melaksanakan sholat bersama Rasulullah r -bukan Cuma sekali dua kali saja- tanpa adzan dan iqomat”. Al-Allamah Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah – rahimahullah- berkata, "Nabi r jika tiba di musholla, beliau memulai sholat, tanpa ada adzan dan iqomah; tidak pula ucapan, "Ash-Sholatu jami’ah". Sunnahnya, tidak dilakukan semua itu". [Lihat Zaadul Ma’ad (1/441)] Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 33 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

http://almakassari.com/?p=171

‫‪Ucapan Selamat Pada Hari Raya‬‬ ‫‪Penulis: Asy Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi‬‬

‫ميحرلا نمحرلا [للا مسب‬ ‫ديعلا موي ةئن[تلا‬

‫باحصأ ناكو ‪.‬ةئن[تلاب ةئن[تلل ةلدابم نوكي نأ الإ فلسلا نع ائيش كلذ يف فرعأ ال‬ ‫م[ضعب ين[يو ضعب ديب م[ضعب ذخأي ينا[تلا نولدابتي ملسو [يلع [للا ىلص يبنلا‬ ‫‪ 3/294-295 :‬ينغملا يف ةمادق نبا كلذ ركذ دقو ‪.‬اضعب‬ ‫‪,‬كنمو انم [للا لبقت ‪:‬ديعلا موي ‪ :‬لجرلل لجرلا لوقي نأ سأب الو ‪[-:‬للا [محر‪, -‬دمحأ لاق"‬ ‫‪[,‬ب سأب ال ‪:‬لاق مكنمو انم [للا لبقت نيديعلا يف سانلا لوق نع دمحأ لئس ‪:‬برح لاقو‬ ‫اذ[ لاقي نأ [ركت الف ‪:‬ليق ‪,‬معن ‪:‬لاق ؟عقسألا نب ةلثاو ‪:‬ليق ةمامأ يبأ نع ماشلا ل[أ [يوري‬ ‫تنك ‪:‬لاق دايز نب دمحم نأ ‪,‬ا[نم ثيداحأ ديعلا ةئن[ت يف ليقع نبا ركذو ‪,‬ال ‪:‬لاق ديعلا موي‬ ‫نم اوعجر اذإ اوناكف ‪-‬ملسو [يلع [للا ىلص ‪ -‬يبنلا باحصأ نم [ريغو ىل[ابلا ةمامأ يبأ عم‬ ‫دانسإ ةمامأ يبأ ثيدح دانسإ ‪:‬دمحأ لاقو ‪,‬كنمو انم [للا لبقت ضعبل م[ضعب لوقي ديعلا‬ ‫فرعن لزن مل ‪:‬لاقو ةنس نيثالثو سمخ ذنم سنأ نب كلام تلأس ‪:‬تباث نب يلع لاقو ديج‬ ‫‪[".‬يلع [تددر دحأ [لاق نإو ‪,‬ادحأ [ب ىدتبأ ال ‪:‬لاق [نأ دمحأ نع يورو ‪,‬ةنيدملاب اذ[‬ ‫‪.‬قيفوتلا [للابو‬

‫ىوتفلا [ذ[ ىلمأ‬ ‫يمجنلا ىيحي نب دمحأ خيشلا ةليضف‬

‫ميحرلا نمحرلا [للا مسب‬ ‫‪Ucapan Selamat Pada Hari Raya‬‬

‫‪Syaikh kami Mufti KSA bagian selatan Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi‬‬ ‫‪hafizhahullah berkata :‬‬

“Saya tidak mengetahui tentang hal tersebut dari salaf sedikit-pun selain dalam rangka saling mengucapkan selamat. Dahulu para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saling mengucapkan selamat. Sebagian mereka menggandeng tangan sebagian lainnya dan saling mengucapkan selamat. Ibnu Qudamah menyebutkan hal tersebut dalam Al Mughni 3/294-295 : “Ahmad rahimahullah berkata : “Tidak mengapa seseorang mengucapkan taqabbalallahu minna waminkum terhadap saudaranya pada hari raya”. Harb berkata : Ahmad pernah ditanya tentang ucapan manusia taqabbalallahu minna waminkum pada dua hari raya. Dia menjawab : “Tidak mengapa. Salah seorang penduduk Syam meriwayatkan dari Abu Umamah Al Bahili”. Ditanyakan : (Apakah) Watsilah bin Al Asqa’ ? Ahmad menjawab : “Ya”. Ditanyakan : Apakah anda tidak memakhruhkan ucapan ini diucapkan pada hari raya ? Ahmad menjawab : “Tidak”. Ibnu ‘Aqil menyebutkan beberapa hadits tentang ucapan selamat pada hari raya, diantaranya adalah bahwa Muhammad bin Ziyad berkata : Saya pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan selainnya dari Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasalla, dahulu apabila mereka kembali dari berhari raya, mereka saling mengucapkan taqabbalallahu minna waminka. Ahmad berkata : “Isnad hadits Abu Umamah adalah isnad yang baik. Ali bin Tsabit berkata : “Saya bertanya kepada Malik bin Anas sejak 35 tahun yang lalu dan dia menjawab : “Kami selalu mengetahui hal ini di Madinah”. Dan diriwayatkan dari Ahmad bahwa dia berkata : “Saya tidak memulai untuk mengucapkan salam kepada seorang-pun, tetapi jika ada seseorang mengucapkannya, maka aku balas dengan balasan serupa”. Selesai. Wabillahit-taufiq.

Yang mendikte fatwa ini Yang mulia Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi (ttd) 09 Syawal 1428 H

Alih bahasa oleh Abu Abdillah Muhammad Yahya 09 Syawal 1428 H/20 Oktober 2007 Nijamiyah-Shamithah-Jazan Sumber : [email protected]

Hukum dalam puasa Sunnah 6 hari bulan Syawal Penulis: Lajnah Ad-Da'imah lil Buhuts wal Ifta' Dalil-dalil tentang Puasa Syawal Dari Abu Ayyub radhiyallahu anhu: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Siapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan 6 hari pada Syawal, maka itulah puasa seumur hidup'." [Riwayat Muslim 1984, Ahmad 5/417, Abu Dawud 2433, AtTirmidzi 1164] Hukum Puasa Syawal Hukumnya adalah sunnah: "Ini adalah hadits shahih yang menunjukkan bahwa berpuasa 6 hari pada Syawal adalah sunnah. Asy-Syafi'i, Ahmad dan banyak ulama terkemuka mengikutinya. Tidaklah benar untuk menolak hadits ini dengan alasan-alasan yang dikemukakan beberapa ulama dalam memakruhkan puasa ini, seperti; khawatir orang yang tidak tahu menganggap ini bagian dari Ramadhan, atau khawatir manusia akan menganggap ini wajib, atau karena dia tidak mendengar bahwa ulama salaf biasa berpuasa dalam Syawal, karena semua ini adalah perkiraan-perkiraan, yang tidak bisa digunakan untuk menolak Sunnah yang shahih. Jika sesuatu telah diketahui, maka menjadi bukti bagi yang tidak mengetahui." [Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/389] Hal-hal yang berkaitan dengannya adalah: 1. Tidak harus dilaksanakan berurutan. "Hari-hari ini (berpuasa syawal-) tidak harus dilakukan langsung setelah ramadhan. Boleh melakukannya satu hari atau lebih setelah 'Id, dan mereka boleh menjalankannya secara berurutan atau terpisah selama bulan Syawal, apapun yang lebih mudah bagi seseorang. ... dan ini (hukumnya-) tidaklah wajib, melainkan sunnah." [Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/391] Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: "Shahabat-shahabat kami berkata: adalah mustahab untuk berpuasa 6 hari Syawal. Dari hadits ini mereka berkata: Sunnah mustahabah melakukannya secara berurutan pada awal-awal Syawal, tapi jika seseorang memisahkannya atau menunda pelaksanaannya hingga akhir Syawal, ini juga diperbolehkan, karena dia masih berada pada makna umum dari hadits tersebut. Kami tidak berbeda pendapat mengenai masalah ini dan inilah juga pendapat Ahmad dan Abu Dawud." [Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab]

Bagaimanapun juga bersegera adalah lebih baik: Berkata Musa: 'Itulah mereka telah menyusul aku. Dan aku bersegera kepada-Mu, Ya Rabbi, supaya Engkau ridho kepadaku. [QS Thoha: 84] 2. Tidak boleh dilakukan jika masih tertinggal dalam Ramadhan "Jika seseorang tertinggal beberapa hari dalam Ramadhan, dia harus berpuasa terlebih dahulu, lalu baru boleh melanjutkannya dengan 6 hari puasa Syawal, karena dia tidak bisa melanjutkan puasa Ramadhan dengan 6 hari puasa Syawal, kecuali dia telah menyempurnakan Ramadhan-nya terlebih dahulu." [Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/392] Tanya : Bagaimana kedudukan orang yang berpuasa enam hari di bulan syawal padahal punya qadla(mengganti) Ramadhan ? Jawab : Dasar puasa enam hari syawal adalah hadits berikut "Barangsiapa berpuasa Ramadhan lalu mengikutinya dengan enam hari Syawal maka ia laksana mengerjakan puasa satu tahun." Jika seseorang punya kewajiban qadla puasa lalu berpuasa enam hari padahal ia punya kewajiban qadla enam hari maka puasa syawalnya tak berpahala kecuali telah mengqadla ramadlannya (Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin) Hukum mengqadha enam hari puasa Syawal Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Seorang wanita sudah terbiasa menjalankan puasa enam hari di bulan Syawal setiap tahun, pada suatu tahun ia mengalami nifas karena melahirkan pada permulaan Ramadhan dan belum mendapat kesucian dari nifasnya itu kecuali setelah habisnya bulan Ramadhan, setelah mendapat kesucian ia mengqadha puasa Ramadhan. Apakah diharuskan baginya untuk mengqadha puasa Syawal yang enam hari itu setelah mengqadha puasa Ramadhan walau puasa Syawal itu dikerjakan bukan pada bulan Syawal ? Ataukah puasa Syawal itu tidak harus diqadha kecuali mengqadha puasa Ramadhan saja dan apakah puasa enam hari Syawal diharuskan terus menerus atau tidak ? Jawaban Puasa enam hari di bulan Syawal, sunat hukumnya dan bukan wajib berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya : Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan kemudian disusul dengan

puasa enam hari di bulan Syawal maka puasanya itu bagaikan puasa sepanjang tahun" [Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya] Hadits ini menunjukkan bahwa puasa enam hari itu boleh dilakukan secara berurutan ataupun tidak berurutan, karena ungkapan hadits itu bersifat mutlak, akan tetapi bersegera melaksanakan puasa enam hari itu adalah lebih utama berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya) : "..Dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Rabbku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku)" [Thaha : 84] Juga berdasarakan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah yang menunjukkan kutamaan bersegera dan berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan. Tidak diwajibkan untuk melaksanakan puasa Syawal secara terus menerus akan tetapi hal itu adalah lebih utama berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya) : "Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus dikerjakan walaupun sedikit" Tidak disyari'atkan untuk mengqadha puasa Syawal setelah habis bulan Syawal, karena puasa tersebut adalah puasa sunnat, baik puasa itu terlewat dengan atau tanpa udzur. Mengqadha enam hari puasa Ramadhan di bulan Syawal, apakah mendapat pahala puasa Syawal enam hari Pertanyaan Syaikh Abduillah bin Jibrin ditanya : Jika seorang wanita berpuasa enam hari di bulan Syawal untuk mengqadha puasa Ramadhan, apakah ia mendapat pahala puasa enam hari Syawal ? Jawaban Disebutkan dalam riwayat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda (yang artinya) : "Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari bulan Syawal maka seakan-akan ia berpuasa setahun" Hadits ini menunjukkan bahwa diwajibkannya menyempurnakan puasa Ramadhan yang merupakan puasa wajib kemudian ditambah dengan puasa enam hari di bulan Syawal yang merupakan puasa sunnah untuk mendapatkan pahala puasa setahun. Dalam hadits lain disebutkan (yang artinya) : "Puasa Ramadhan sama dengan sepuluh bulan dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan dua bulan" Yang berarti bahwa satu kebaikan mendapat sepuluh kebaikan, maka berdasarkan hadits ini barangsiapa yang tidak menyempurnakan puasa Ramadhan dikarenakan sakit, atau karena perjalanan atau karena haidh, atau karena nifas maka hendaknya ia menyempurnakan puasa Ramadhan itu dengan mendahulukan qadhanya dari pada puasa sunnat, termasuk puasa enam hari

Syawal atau puasa sunat lainnya. Jika telah menyempurnakan qadha puasa Ramadhan, baru disyariatkan untuk melaksanakan puasa enam hari Syawal agar bisa mendapatkan pahala atau kebaikan yang dimaksud. Dengan demikian puasa qadha yang ia lakukan itu tidak bersetatus sebagai puasa sunnat Syawal. Apakah suami berhak untuk melarang istrinya berpuasa Syawal Pertanyaan Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya : Apakah saya berhak untuk melarang istri saya jika ia hendak melakukan puasa sunat seperti puasa enam hari Syawal ? Dan apakah perbuatan saya itu berdosa ? Jawaban Ada nash yang melarang seorang wanita untuk berpuasa sunat saat suaminya hadir di sisinya (tidak berpergian/safar) kecuali dengan izin suaminya, hal ini untuk tidak menghalangi kebutuhan biologisnya. Dan seandainya wanita itu berpuasa tanpa seizin suaminya maka boleh bagi suaminya untuk membatalkan puasa istrinya itu jika suaminyta ingin mencampurinya. Jika suaminya itu tidak membutuhkan hajat biologis kepada istrinya, maka makruh hukumnya bagi sang suami untuk melarang istrinya berpuasa jika puasa itu tidak membahayakan diri istrinya atau menyulitkan istrinya dalam mengasuh atau menyusui anaknya, baik itu berupa puasa Syawal yang enam hari itu ataupun puasa-puasa sunnat lainnya. Hukum puasa sunnah bagi wanita bersuami Pertanyaan : Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : Bagaimanakah hukum puasa sunat bagi wanita yang telah bersuami ? Jawaban : Tidak boleh bagi wanita untuk berpuasa sunat jika suaminya hadir (tidak musafir) kecuali dengan seizinnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : "Tidak halal bagi seorang wanita unruk berpuasa saat suminya bersamanya kecuali dengan seizinnya" dalam riwayat lain disebutkan : "kecuali puasa Ramadhan" Adapun jika sang suami memperkenankannya untuk berpuasa sunat, atau suaminya sedang tidak hadir (bepergian), atau wanita itu tidak bersuami, maka dibolehkan baginya menjalankan puasa sunat, terutama pada hari-hari yang dianjurkan untuk berpuasa sunat yaitu : Puasa hari Senin dan Kamis, puasa tiga hari dalam setiap bulan, puasa enam hari di bulan Syawal, puasa pada sepuluh hari di bulan Dzulhijjah dan di hari 'Arafah, puasa 'Asyura serta puasa sehari sebelum atau setelahnya. (Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita Muslimah, Amin bin Yahya Al-Wazan)

Sumber : www.salafy.or.id Mendulang Pahala Pasca Ramadhan Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husen Al-Atsariyyah Ramadhan memang telah lewat. Namun itu tidak berarti menyurutkan semangat kita dalam beribadah. Masih banyak tambang pahala di luar Ramadhan… Ramadhan berlalu sudah, menyisakan sepenggal duka di hati insan beriman karena harus berpisah dengan bulan yang penuh keberkahan dan kebaikan. Terbayang saat-saat yang sarat dengan ibadah; puasa, tarawih, tadarus AlQur`an, dzikir, istighfar, sedekah, memberi makan orang yang berbuka… Rumah-rumah Allah Subhanahu wa Ta'ala dipenuhi jamaah, majelis-majelis dzikir dan ilmu, dipadati hadirin. Mengingat semua itu, tersimpan satu asa: andai setiap bulan dalam setahun adalah Ramadhan. Namun Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan segala sesuatu dengan hikmah-Nya. Yang tersisa hanyalah satu tanya: Adakah umur akan sampai di tahun mendatang untuk bersua kembali dengan Ramadhan? Ya. Ramadhan memang telah meninggalkan kita. Namun bukan berarti pupus harapan untuk meraih kebaikan demi kebaikan, karena bulan-bulan yang datang setelah Ramadhan pun memberi peluang kepada kita untuk mendulang pahala. Demikianlah seharusnya kehidupan seorang muslim. Ia habiskan umur demi umurnya, waktu demi waktunya di dunia, untuk mengumpulkan bekal agar beroleh kebahagiaan dan keberuntungan di negeri akhirat kelak. Datangnya Syawwal setelah Ramadhan Hari pertama bulan Syawwal ditandai dengan gema takbir, tahlil dan tahmid dari lisan-lisan kaum muslimin, menandakan tibanya hari Idul Fithri. Berpagi-pagi kaum muslimin menuju ke tanah lapang untuk mengerjakan shalat Idul Fithri sebagai tanda syukur kepada Rabb yang telah memberikan banyak kenikmatan, termasuk nikmat adanya hari Idul Fithri. Tidak ketinggalan kaum wanita muslimah, turut keluar ke tanah lapang. Dan keluarnya para wanita ini termasuk perkara yang disyariatkan dalam agama Islam sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hafshah bintu Sirin, seorang wanita yang alim dari kalangan tabi’in rahimahullah berkata: \َ َ ‫َا‬Hَ` َِJْ:‫ج ُأ‬ َ ْ‫ن َزو‬  ‫ْ َأ‬SU-َ َFَ& ،َُJَْ0aََ& ،ٍvَ َ: 2ِ1َ4 َ َْ, ْSَ Hَ َ1َ& ٌ‫ت ا ْ ََأة‬ ِ ‫ &َ]َ َء‬،ِ-ِْ*ْ ‫َْ َم ا‬L َ ْiُ ْNَL ْ‫َ َأن‬1َL‫ََا ِر‬i \ُ َ1ْ(َB 1ُ‫آ‬ َ ْ2َJْ1ِU َ  َ‫! ا ُ َ َِْ َو‬  َ" 2 E ِ51 ‫وَاتٍا‬Hَ َ` S E ِ 2ِ& َُ*َ َُJْ:‫ْ ُأ‬SَBَ@َ& ،ً‫ْ َوة‬Hَ` ‫ْ َ َة‬R. ْSَ َZَ&: ! َ 3َْ(ْ ‫ُْ ُم َ َ! ا‬ZَB 1ُ@َ& !َ(ْ َ@ْ ‫َاوِي ا‬-ُB‫ َو‬. ْSَ َZَ&: ٌ‫ْس‬aَ4 َB‫َا‬-ْK‫ َ َ! ِإ‬،ِ ‫ل ا‬ َ ُْ‫َ َر‬L-ٌ‫َب‬5ْ ِi ََ ْ ُ@َL َْ ‫ِإذَا‬- ‫ل‬ َ َZَ& ‫ْ ُجَ؟‬Nَ0 j َ ْ‫َأن‬: ِ َُJَ5ِKَ" َْ'ِ5ْ ُJ َ ِْ1ِ ْ>ُ(ْ ‫َْ َ َو َدْ َ َة ا‬Nْ ‫ن ا‬ َ ْ-َْRَْ َ& ،َِ4َ5ْ ِi ْ ِ . ُ)ََْK ْSَ َ,: َُJْ aََ'َ& َُJَْ0‫ َأ‬،َْ1َ ُ ‫ ا‬2 َ ِ3‫م َِ)َ َر‬I ‫ْ ُأ‬Sَ -ِ َ, (َ َ&: ْSَ َ, ‫َا؟‬Dَ‫َا َوآ‬Dَ‫ آ‬2ِ& S ِ ْ*ِ(َ‫َأ‬: 2ِ4aَِ4 ،َْ*َB- ‫ْ َو‬Sَ َ, j  ‫! ا ُ َ َِْ َوَ  َ ِإ‬  َ" 2  ِ51 ‫ت ا‬ ِ َ َ‫َ (َ َذآ‬,: 2ِ4aَِ4- ‫ل‬ َ َ,: h ُ ِ0‫ج ا ْ*ََا‬ ِ ُ ْNَِ

‫وْ ِر‬-ُ ُNْ ‫ت ا‬ ُ ‫ َذوَا‬-َ‫َل‬, ْ‫َأو‬: ‫وْ ِر‬-ُ ُNْ ‫ت ا‬ ُ ‫ َو َذوَا‬h ُ ِ0‫ا ْ*ََا‬. ‫ب‬ ُ IL‫ َأ‬b  َ6- ْ ‫ ا ْ(َُ ! َو‬g ُ ُFْ ‫ل ا‬ ُ Hِ َJْ*َL‫ َو‬g ُ ُFْ ‫َْ َ وَا‬Nْ ‫ن ا‬ َ ْ-َْRَ َ ِْ1ِ ْ>ُ(ْ ‫ َو َدْ َ َة ا‬. ْSَ َ,: ََ S ُ ْ ُZَ&: ْSَ َ, ‫ُ؟‬gُFْ : ‫َا؟‬Dَ‫ آ‬-ُ َْRَ0‫َا َو‬Dَ‫ آ‬-ُ َْRَ0‫ت َو‬ ٍ َ&َ َ -ُ َْRَ0 g ُ َِFْ ‫ ا‬c َ َْ ‫ َأ‬،َْ*َB

Kami dahulu melarang gadis-gadis kami1 untuk keluar (ke mushalla/tanah lapang) pada hari Id2. Datanglah seorang wanita, ia singgah/tinggal di bangunan Bani Khalaf. Maka aku mendatanginya. Ia kisahkan kepadaku bahwa suami dari saudara perempuannya3 (iparnya) pernah ikut berperang bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebanyak 12 kali dan saudara perempuannya itu menyertai suaminya dalam 6 peperangan. Saudara perempuannya itu mengatakan: “(Ketika ikut serta dalam peperangan), kami (para wanita) mengurusi orang-orang yang sakit dan mengobati orang-orang yang luka (dari kalangan mujahidin).” Saudara perempuannya itu juga mengatakan ketika mereka diperintah untuk ikut keluar ke mushalla ketika hari Id: “Wahai Rasulullah, apakah berdosa salah seorang dari kami bila ia tidak keluar ke mushalla (pada hari Id) karena tidak memiliki jilbab?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya kepadanya, agar mereka (para wanita) dapat menyaksikan kebaikan dan doanya kaum mukminin.” Hafshah berkata: “Ketika Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu 'anha datang (ke daerah kami), aku mendatanginya untuk bertanya: ‘Apakah engkau pernah mendengar tentang ini dan itu?’ Ummu ‘Athiyyah berkata: “Iya, ayahku menjadi tebusannya”. –Dan setiap kali Ummu ‘Athiyyah menyebutkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ia berkata: “Ayahku menjadi tebusannya.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Hendaklah gadis-gadis perawan yang dipingit…”. Atau beliau berkata: “Hendaklah gadis-gadis perawan dan wanita-wanita yang dipingit… –Ayyub, perawi hadits ini ragu– (ikut keluar ke mushalla Id). Demikian pula wanita-wanita yang sedang haid. Namun hendaklah mereka memisahkan diri dari tempat shalat, agar mereka dapat menyaksikan kebaikan dan doa kaum mukminin.” Wanita itu berkata: Aku bertanya dengan heran: “Apakah wanita haid juga diperintahkan keluar?” Ummu ‘Athiyyah menjawab: “Iya. Bukankah wanita haid juga hadir di Arafah, turut menyaksikan ini dan itu4?” (HR. Al-Bukhari no. 324, 980 dan Muslim no. 2051) Ditekankannya perkara keluarnya wanita ke mushalla Id ini tampak pada perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam agar wanita yang tidak punya jilbab tetap keluar menuju mushalla dengan dipinjami jilbab wanita yang lain. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sama sekali tidak memberikan udzur ketiadaan jilbab tersebut untuk membolehkan si wanita tidak keluar ke mushalla. Di masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu, para shahabiyyah menjalankan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas sehingga mereka dijumpai ikut keluar ke mushalla Id. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun menaruh perhatian atas kehadiran mereka dengan memberikan nasehat khusus kepada mereka di tempat mereka tatkala beliau pandang, khutbah Id yang beliau sampaikan tidak terdengar oleh mereka. Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits berikut ini: Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata: ِ)َ5ُْNْ ‫; ا‬ َ ْ5َ, ! ََ َ  َ‫! ا ُ َ َِْ َو‬  َ" ِ ‫ل ا‬ ِ ُْ‫ َ َ! َر‬-ُ َْ6‫َأ‬. ‫ل‬ َ َ,:  ُ‫َه‬0aََ& ،َ‫ِ'َء‬1ّ ‫ُ'ْ(ِ ِ\ ا‬L َْ ُB‫ &َ َأَى َأ‬،َPََ:  ُU َ َ ‫ َوَأ‬  َُpَ‫ َو َو‬  ُ‫آ َه‬Dَ َ&‫ْ َء‬2R ‫ص وَا‬ َ ُْNْ ‫ِ َ وَا‬0َNْ ‫ ا‬2ِZْ ُ0 ‫ ا ْ(ََْأ ُة‬S ِ َ َ*َ]َ& ِِ4َْAِ4 ٌ;َِ, ٌ‫ل‬G َ ِ4‫ َو‬،ِ)َ,-َ  ِ4  ُ‫ه‬

“Aku bersaksi bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan shalat Id sebelum khutbah, kemudian beliau berkhutbah. Beliau memandang bahwa khutbah yang beliau sampaikan tidak terdengar oleh kaum wanita. Maka beliau pun mendatangi tempat para wanita, lalu memperingatkan mereka, menasehati dan memerintahkan mereka untuk bersedekah. Sementara Bilal membentangkan pakaiannya untuk mengumpulkan sedekah para wanita tersebut. Mulailah wanita yang hadir di tempat tersebut melemparkan cincinnya, anting-antingnya dan perhiasan lainnya (sebagai sedekah).” (HR. Al-Bukhari no. 1449 dan Muslim no. 2042) Kepada para wanita yang hadir tersebut Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menasehatkan: َ 1ََi P ُ ََK  ُ‫َ َآ‬Aْ‫ن َأآ‬  oَِ& ،َ ْ,- ََ0. ْSَ َZَ& ِ ْL- َNْ ‫ِ'َ ِء َْ*َ ُء ا‬1ّ ‫ ا ْ ََأةٌ ِ ْ َِ)ِ ا‬S ِ َ َZَ&: ‫ل‬ َ َ, ‫ل ا ِ؟‬ َ ُْ‫َ َر‬L َ ِ :  ُ@BC َ ُْ@َ0‫@َ َة َو‬R ‫ن ا‬ َ ِْAْ@ُ0َ ِْRَ*ْ ‫ن ا‬ َ ْ “Bersedekahlah kalian, karena mayoritas kalian adalah kayu bakar Jahannam.” Salah seorang wanita yang hadir di tengah-tengah para wanita, yang kedua pipinya kehitam-hitaman, berdiri lalu berkata: “Kenapa kami mayoritas kayu bakar Jahannam, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Karena kalian itu banyak mengeluh dan mengingkari kebaikan suami.” (HR. Muslim no. 2045) Puasa Sunnah di Bulan Syawwal Selain kegembiraan di hari awal bulan Syawwal dengan datangnya Idul Fithri, ada keutamaan yang dijanjikan bagi setiap insan beriman di bulan yang datang setelah Ramadhan ini, yaitu disunnahkannya ibadah puasa selama enam hari. Sebenarnya, ulama berbeda pendapat tentang sunnah atau tidaknya puasa ini. Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Imam Ahmad, Dawud, dan orang-orang yang sepakat dengan mereka berpendapat sunnah. Sedangkan Al-Imam Malik dan Abu Hanifah memakruhkannya. Al-Imam Malik berkata dalam Al-Muwaththa`: “Aku tidak melihat seorang pun dari ahlul ilmi yang mengerjakan puasa ini.” Mereka mengatakan: Puasa ini dimakruhkan agar tidak disangka puasa ini termasuk kewajiban (karena dekatnya dengan Ramadhan). Namun pendapat yang rajih/kuat adalah pendapat yang mengatakan sunnahnya puasa enam hari di bulan Syawwal, karena adanya hadits shahih lagi sharih/jelas dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Shahabat yang mulia Abu Ayyub AlAnshari radhiyallahu 'anhu menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ِ ْ‫ه‬- ‫ن آََِ ِم ا‬ َ َ‫ل آ‬ ٍ ‫َا‬6 ْ ِ ˆJِ َُ*َ5ْ0‫ُ  َأ‬U ‫ن‬ َ َnَ ‫ َ ْ "َ َم َر‬ “Siapa yang puasa Ramadhan, kemudian ia mengikutkannya dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka puasanya itu seperti puasa setahun.” (HR. Muslim no. 2750) Tentunya keberadaan hadits yang shahih tidak boleh ditinggalkan karena mengikuti pendapat sebagian atau mayoritas orang, bahkan pendapat semua orang sekalipun. (Al-Minhaj, 8/297)

Udzur paling bagus yang diberikan kepada Al-Imam Malik rahimahullah dengan pendapat beliau yang memakruhkan puasa enam hari di bulan Syawwal adalah udzur yang dinyatakan oleh Abu ‘Umar Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah : “Hadits ini tidak sampai kepada Al-Imam Malik. Seandainya sampai kepada beliau, niscaya beliau akan berpendapat sebagaimana hadits tersebut.” (Taudhihul Ahkam, 3/534) Ulama kita menafsirkan hadits di atas dengan menyatakan kebaikan itu dilipatgandakan pahalanya menjadi sepuluh kali. Sehingga Ramadhan yang dikerjakan selama sebulan dilipatgandakan senilai sepuluh bulan. Sementara puasa enam hari bila dilipat-gandakan sepuluh berarti memiliki nilai enam puluh hari yang berarti sama dengan dua bulan. Sehingga bila seseorang menyempurnakan puasa Ramadhan ditambah dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, jadilah nilai puasanya sama dengan puasa setahun penuh (12 bulan). Tercapailah pahala ibadah setahun dengan tidak memberikan kepayahan dan kesulitan, sebagai keutamaan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan nikmat-Nya atas hamba-hamba-Nya. (Al-Hawil Kabir, 3/475, Syarh Riyadhish Shalihin, AsySyaikh Ibnu ‘Utsaimin, 3/413, Taudhihul Ahkam, 3/534) Adapun pelaksanaan puasa enam hari di bulan Syawwal ini bisa dilakukan di awal atau di akhir bulan, secara berurutan atau dipisah-pisah, karena haditsnya menyebutkan secara mutlak tanpa pembatasan waktu. (Al-Mughni, kitab AshShiyam, mas’alah Wa Man Shama Syahra Ramadhan, wa Atba’ahu bi Sittin min Syawwal) Dzulhijjah Bulan Haji Bulan Dzulhijjah yang datang setelah Syawwal dan Dzulqa’dah adalah bulan yang juga memiliki keutamaan untuk memperbanyak amal shalih di dalamnya. Terutama di sepuluh hari yang awal, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: ِ ْRَ*ْ ‫ ِم ا‬LَCْ‫ ِ[ ا‬Dِ ‫; ِ ْ ه‬  َi‫ َو‬H َ ِ ‫! ا‬ َ ِ‫ إ‬P I َK‫ َأ‬  ِِْ& s ُ ِ  ‫; ا‬ ُ َ(َ*ْ ‫ ٍم ا‬L‫ َ ِ ْ َأ‬. ‫َ ُا‬Z&: 2ِ& ٌ‫َِد‬i j َ ‫ َو‬،ِ ‫ل ا‬ َ ُْ‫َ َر‬L ‫ل‬ َ َ, ‫; ا ِ؟‬ ِ ِْ5َ: ; ِ ِْ5َ 2ِ& ٌ‫َِد‬i j َ ‫ْ ٍء َو‬2َRِ4 b َ ِ ‫ِ\ْ ِ ْ ذ‬iَْL َْ  ُU ِِ َ ‫َْ'ِِ َو‬1ِ4 ‫ج‬ َ َ َ: ٌ;ُi‫ َر‬j  ‫ ِإ‬،ِ ‫ا‬ “Tidak ada hari di mana amal shalih pada saat itu lebih dicintai Allah Subhanahu wa Ta'ala daripada hari-hari yang sepuluh ini.” Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, tidak pula jihad fi sabilillah?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad fi sabilillah, kecuali seseorang keluar berjihad membawa jiwa dan hartanya, kemudian tidak ada sesuatupun yang kembali darinya (ia kehilangan jiwanya dan hartanya dalam peperangan).” (HR.AtTirmidzi no. 757 dan selainnya, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi) Ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: mencakup shalat, puasa, sedekah, dzikir, takbir, membaca Al-Qur`an, birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua), silaturahim, berbuat baik kepada makhluk Allah Subhanahu wa Ta'ala dan selainnya. Di bulan Dzulhijjah ini dilaksanakan satu ibadah akbar yang merupakan rukun kelima dari agama kita yang mulia, yakni ibadah haji ke Baitullah. Di sana, di

tanah suci, di sisi Baitul ‘Atiq dan di tempat-tempat syiar haji lainnya, jutaan kaum muslimin dan muslimah berkumpul dari segala penjuru dunia dengan satu tujuan, mengagungkan syiar Allah Subhanahu wa Ta'ala, memenuhi panggilanNya: b َ َ b َ ْLِ َ6 j َ b َ ْ ُ(ْ ‫ وَا‬b َ َ َ)َ(ْ*ِ1ّ ‫ وَا‬-َ ْ(َFْ ‫ن ا‬  ‫ ِإ‬،َbْ5َ b َ َ b َ ْLِ َ6 j َ b َ ْ5َ ،َbْ5َ  ُّ ‫ ا‬b َ ْ5َ

“Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu, sesungguhnya segala pujian, kenikmatan, dan kerajaan adalah milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu.” Ketika tamu-tamu Allah Subhanahu wa Ta'ala sedang wuquf di Arafah, kita yang tidak berhaji disunnahkan untuk puasa di hari tersebut (tanggal 9 Dzulhijjah). Puasa hari Arafah ini dinyatakan sebagai puasa sunnah yang paling utama (afdhal) menurut kesepakatan ulama. (Taudhihul Ahkam, 3/530) Dalam pelaksanaan puasa di hari ini ada keutamaan besar yang dijanjikan sebagaimana berita dari Abu Qatadah radhiyallahu 'anhu. Ia berkata: ‫ل‬ َ َ, ،َ)َ&َ َ ‫َْ ِم‬L ‫; َ ْ "َْ ِم‬ َ ِtُ: َ)َِ,َ5ْ ‫َِ)َ وَا‬3َ(ْ ‫َ)َ ا‬1' ‫ ُ ا‬Eَ@ُL Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang puasa hari Arafah? Beliau bersabda: “Puasa Arafah (keutamaannya) akan menghapus dosa5 di tahun yang telah lewat dan tahun yang tersisa (mendatang).” (HR. Muslim no. 2739) Penghapusan dosa di tahun mendatang maksudnya adalah seseorang itu diberi taufik untuk tidak melakukan perbuatan dosa, atau bila ia jatuh dalam perbuatan dosa, ia diberi taufik untuk melakukan perkara-perkara yang dengannya akan menghapuskan dosanya. (Subulus Salam, 2/265) Keesokan harinya, tanggal 10 Dzulhijjah, ada lagi kegembiraan yang bisa kita rasakan sebagai anugerah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan rahmat-Nya. Yaitu datangnya hari raya haji yang dikenal dengan Idul Adhha, yang di dalamnya ada ibadah penyembelihan hewan kurban. Gema takbir, tahlil dan tahmid yang telah dikumandangkan sejak fajar hari Arafah terus terdengar pada hari berbahagia ini sampai akhir hari Tasyriq. -ُ ْ(َFْ ‫َ ُ َو ِ ِّ ا‬5ْ‫َ ُ ا ُ َأآ‬5ْ‫ وَا ُ َأآ‬،ُ ‫ ا‬j  ‫ إِ َ ِإ‬j َ ،َُ5ْ‫َ ُ ا ُ َأآ‬5ْ‫ا ُ َأآ‬ “Allah Maha Besar Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang benar kecuali hanya Allah, Allah Maha Besar Allah Maha Besar, dan segala puji hanya milik Allah.” Demikianlah wahai saudariku. Bulan-bulan yang kita lewati dalam hidup kita sebenarnya senantiasa menjanjikan kebaikan dan pahala, asalkan kita memang berniat mendulangnya sebagai bekal untuk menuju pertemuan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala di akhirat kelak. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. 1 Jawari atau ‘awatiq adalah anak perempuan yang telah baligh atau mendekati

baligh, atau wanita yang sudah pantas untuk menikah, atau wanita yang mulia di tengah keluarganya. (Fathul Bari, 1/548, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/418) 2 Mungkin mereka dulunya melarang gadis-gadis untuk keluar rumah karena adanya kerusakan yang terjadi setelah masa yang awal. Namun para shahabat tidak memandang demikian. Bahkan para shahabat memandang hukum yang ditetapkan di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terus berlaku. (Fathul Bari, 1/549) 3 Ada yang mengatakan nama saudara perempuannya adalah Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu 'anha (Fathul Bari, 1/549) 4 Seperti hadir di Muzdalifah, Mina, dan selainnya. 5 Jumhur ulama berpendapat bahwa dosa yang dihapuskan hanyalah dosa kecil. Adapun dosa besar harus dengan taubat atau beroleh rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala dan keutamaan-Nya. (Al-Minhaj, 3/106) Al-Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan: “Yang dimaukan dengan dosa yang dapat dihapuskan dengan ibadah puasa adalah dosa kecil. Kalau seseorang ternyata tidak memiliki dosa kecil, diharapkan dengan puasa itu akan diringankan dosa besarnya. Bila ia juga tidak memiliki dosa besar maka akan diangkat derajatnya.” (Al-Minhaj, 3/107, 8/292) Al-Imam Al-Haramain rahimahullah mengatakan: “Setiap pengabaran yang menunjukkan penghapusan dosa maka menurutku hal itu dibawa kepada dosadosa kecil, bukan dosa-dosa (besar) yang membinasakan.” (Taudhihul Ahkam, 3/530) Di antara yang menguatkan pendapat ini adalah hadits ‘Utsman radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: j  ‫ََُْ َو ُرآََُْ ِإ‬Rُ:‫ُْ َءهَ َو‬3‫ ُو‬ ُ ِ'ْFَُ& ٌ)َ4ُْJْ@َ ٌ‫ة‬G َ َ" [ُ ُ ُnْFَ0 ٍ ِ ْ'ُ ‫ئ‬ ٍ ِ ْ ‫ ا‬ ِ ِ َ َ ِ َ ْ5َ, َ(ِ ٌ‫ْ َُ آَ َرة‬SَBَ‫آ‬ ُI ُ‫هْ ُ آ‬- ‫ ا‬b َ ِ ‫ِْ َ ًة وَذ‬5َ‫ت آ‬ َ ْ>ُ0 َْ َ ،ِ‫ُْب‬BDI ‫ا‬ “Tidak ada seorang muslimpun yang mendatanginya shalat wajib, lalu ia membaguskan wudhunya, khusyunya dan rukunya, melainkan hal itu menjadi penghapus baginya dari dosa yang sebelumnya, selama ia tidak melakukan dosa besar. Yang demikian itu terus diperoleh di seluruh masa.” (HR. Muslim no. 542) Demikian pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu: ُ(ُ]ْ ‫ وَا ْ]ُ(ُ*َ)ُ ِإ َ! ا‬c ُ ْ(َNْ ‫ ُة ا‬G َ  ‫َُِا‬5َ@ْ ‫‘ ا‬ َ ُْ0 َْ َ  َُ1َْ4 َ(ِ ٌ‫*َ)ِ آَ َرة‬ “Shalat lima waktu dan Jum’at ke Jum’at merupakan kaffarah (penghapus ) dari dosa-dosa yang terjadi di antaranya, selama tidak dilakukan kaba`ir/dosa besar.” (HR. Muslim no. 549) http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=392

Hukum Seputar Puasa Syawal Penulis: Fadlilatu As Syaikh Al'Allamah Al Faqih Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah Soal 5 : Apakah puasa sunnah 6 hari di bulan Syawal harus dilakukan secara langsung setelah 'iedul fitri atau tidak ? Apakah harus berturut turut atau tidak ? Jawab : Yang demikian tidak harus dilakukan secara langsung setelah 'ied, boleh dilakukan 2 atau 3 hari setelahnya. Demikian juga tidak harus berturut-turut, boleh dilakukan secara terpisah, yang demikian sesuai kemudahan tiap-tiap muslim dalam melakukannya. (Fatwa Lajnah Da'imah no. 3475 ,Ketua Lajnah Syaikh bin Baz) Soal 6 : Istriku hamil di bulan Ramadhan. Aku juga mengeluarkan zakat untuk janinnya . Qodarullah, beberapa hari setelah 'ied istriku melahirkan bayi kembar 2, apakah aku wajib untuk mengeluarkan zakat untuk janin yang kedua ? Jawab : Tidak wajib bagimu untuk mengeluarkan zakat pada janin yang kedua yang sebelumnya engkau hanya mengeluarkan zakat untuk satu janin ( Fatwa Lajnah Da'imah no.10816, Ketua Lajnah Syaikh bin Baz) (Diterjemahkan oleh Al Ustadz Abu ‘Isa Nurwahid dari Fataawa Lajnah ad Da’imah, Syarhul Mumthi’ Ibnu Utsaimin, Fataawa wa Rasaail Ibnu Utsaimin, dan Majmu’Fataawa Syaikh Shalih Fauzan) Sumber : Buletin Da'wah Al-Atsary, Semarang. Edisi 18 / 1427 H Dikirim via email oleh Al-Akh Dadik

BID'AH HARI RAYA KETUPAT (Hari Raya Al Abrar) Penulis: Abdullah bin Abdul Aziz At tuwaijiry Di antara perkara yang diada-adakan (bid'ah) pada bulan Syawwal adalah bid'ah hari raya Al Abrar (orang-orang baik) (atau dikenal dengan hari raya Ketupat.pent.), yaitu hari kedelapan Syawwal. Setelah orang-orang menyelesaikan puasa bulan Ramadhan dan mereka berbuka pada hari pertama bulan Syawwal -yaitu hari raya (iedul) fitri- mereka mulai berpuasa enam hari pertama dari bulan Syawwal dan pada hari kedelapan mereka membuat hari raya yang mereka namakan iedul abrar (biasanya dikenal dengan hari raya Ketupat. Pent ) Syaikhul Islam lbnu Taimiyah –Rahimahullah- berkata: "adapun membuat musim tertentu selain musim yang disyariatkan seperti sebagian malam bulan Rabi'ul Awwal yang disebut malam maulid, atau sebagian malam bulan Rajab, tanggal 18 Dzulhijjah, Jum'at pertama bulan Rajab, atau tanggal 8 Syawwal yang orangorang jahil menamakannya dengan hari raya Al Abrar ( hari raya Ketupat) ; maka itu semua adalah bid'ah yang tidak disunnahkan dan tidak dilakukan oleh para salaf. Wallahu Subhanahu wata'ala a'1am. Peringatan hari raya ini biasanya dilakukan di salah satu masjid yang terkenal, para wanitapun berikhtilat (bercampur) dengan laki-laki, mereka bersalamsalaman dan mengucapkan lafadz-lafadz jahiliyyah tatkala berjabatan tangan, kemudian mereka pergi ke tempat dibuatnya sebagian makanan khusus untuk perayaan itu. (lihat : As Sunan wal mubtadi'at al muta'alliqah bil adzkar wassholawat karya Muhammad bin Abdis Salam As Syaqiriy hal. 166) (Kitab Al Bida' Al Hauliyyah karya : Abdullah bin Abdul Aziz At tuwaijiry. Cet. I Darul Fadhilah Riyadh, Hal. 350. Penterjemah : Muhammad Ar Rifa'i) Hari kedelapan dari syawwal ini orang umum menamakannya sebagai Iedul Abrar (hari raya orang yang baik) yaitu orang-orang yang telah puasa enam hari syawwal. Namun hal ini adalah bid'ah. Maka hari ke delapan ini bukanlah sebagai hari raya, bukan untuk orang baik (abrar) dan bukan pula bagi orang jahat (Fujjar). Sesungguhnya ucapan mereka (yaitu iedul abrar) mengandung konskwensi bahwa orang yang tidak puasa enam hari dari syawwal maka bukan termasuk orang baik, demikian ini adalah keliru. Karena orang yang telah menunaikan kewajibannya maka dia, tanpa diragukan adalah orang yang baik walaupun tentunya sebagian orang kebaikannya ada yang lebih sempurna dari yang lain.

(Syarhul Mumti' Karya As Syaikh Ibnu Utsaimin jilid 6 bab shaum Tathawwu') ZIARAH KUBUR Penulis: Al Ustadz Abu ‘Abdillah Mustamin Musaruddin Pertanyaan : Pada bulan-bulan tertentu seperti pada bulan Rajab, Sya’ban dan Syawal sering terlihat orang-orang ramai melakukan ziarah kubur, baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda dan sebagian mereka membawa air dan kembang untuk ditaburkan ke kuburan yang diziarahi. Fenomena ini mengundang pertanyaan dibenak saya di dalam beberapa hal yaitu sebagai berikut : Apa hukumnya berziarah kubur ? Apa ada waktu-waktu khusus dan hari-hari tertentu yang afdhal untuk berziarah ? Apakah ziarah kubur itu mempunyai manfaat ? Bagaimana sebenarnya tata cara berziarah kubur yang syar’i ? Apakah ada hal-hal yang terlarang sehubungan dengan ziarah kubur tersebut ? Jawaban : 1. Hukum Ziarah kubur Berziarah kubur adalah sesuatu yang disyari’atkan di dalam agama berdasarkan (dengan dalil) hadits-hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan ijma’ (kesepakatan). a) Dalil dari hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam : Dalil-dalil dari hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tentang disyari’atkannya ziarah kubur diantaranya : 1. Hadits Buraidah bin Al-Hushoib radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam beliau bersabda : َ‫وْ ُروْه‬Hُ َ& ‫ُْ ِر‬5ُZْ ‫َ َر ِة ا‬L‫ُ@ُْ َ ْ ِز‬JََْB S ُ ْ1ُ‫ْ آ‬2EB‫ِإ‬ ”Sesungguhnya aku pernah melarang kalian untuk menziarahi kubur, maka (sekarang) ziarahilah kuburan”. Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Muslim (3/65 dan 6/82) dan oleh Imam Abu Daud (2/72 dan 131) dengan tambahan lafazh : ‫ِ َ َة‬:’ْ ‫ ُآُْ ا‬E‫آ‬Dَ ُ0 َBoَِ& “Sebab ziarah kubur itu akan mengingatkan pada hari akhirat”.

Dan dari jalan Abu Daud hadits ini juga diriwayatkan maknanya oleh Imam AlBaihaqy (4/77), Imam An-Nasa`i (1/285 –286 dan 2/329-330), dan Imam Ahmad (5/350, 355-356 dan 361). 2. Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, yang semakna dengan hadits Buraidah. Dikeluarkan oleh Imam Ahmad 3/38,63 dan 66 dan Al-Hakim 1/374375 dan Al-Baihaqy (4/77) dari jalan Al-Hakim. 3. Hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, yang juga semakna dengan hadits Buraidah dikeluarkan oleh Al-Hakim 1/376. b. Ijma’ Adapun Ijma’ diriwayatkan (dihikayatkan) oleh : 1. Al-‘Abdary sebagaimana disebutkan oleh Imam An-Nawawy dalam kitab AlMajmu’ Syarah Al-Muhadzdzab (5/285). 2. Al-Imam Muwaffaquddin Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdasy Al-Hambaly (541-620 H) dalam kitab AlMughny (3/517). 3. Al-Hazimy sebagaimana disebutkan oleh Imam Asy-Syaukany dalam kitab Nailul Authar (4/119). Batasan disyari’atkannya ziarah kubur. Syariat yang telah disebutkan di atas tentang ziarah kubur adalah disunnahkan bagi laki-laki berdasarkan dalil-dalil dari hadits-hadits maupun hikayat ijma’ tersebut di atas. Adapun bagi wanita maka hukumnya adalah mubah (boleh), makruh bahkan sampai kepada haram bagi sebagian wanita. Perbedaan hukum antara laki-laki dan wanita dalam masalah ziarah kubur ini disebabkan oleh adanya hadits yang menunjukkan larangan ziarah kubur bagi wanita : ُْ1َ ُ ‫ ا‬2 َ ِ3‫ْ َ َة َر‬Lَ ُ‫ْ ه‬2ِ4‫َ ْ َأ‬: ‫ُْ ِر‬5ُZْ ‫ت ا‬ ِ ‫ زَاَِا‬ َ َ*َ َ  َ‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ وَ ِِ َو‬ َ ُْ‫ن َر‬  ‫َأ‬ “Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata : “Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam melaknat wanita-wanita peziarah kubur””. Hadits ini diriwayatkan Ibnu Hibban di dalam Shohihnya sebagaimana dalam AlIhsan no.3178. Dan mempunyai syawahidnya (pendukung-pendukungnya) diriwayatkan oleh

beberapa orang Shahabat diantaranya : Ø Hadits Hassan bin Tsabit dikeluarkan oleh Ahmad 3/242, Ibnu Abi Syaibah 4/141, Ibnu Majah 1/478, Al-Hakim 1/374, Al-Baihaqy dan Al-Bushiry di dalam kitabnya Az-Zawa`id dan dia berkata isnadnya shohih dan rijalnya tsiqot. Ø Hadits Ibnu ‘Abbas : Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Ashhabus Sunan Al-Arba’ah (Abu Daud, An-Nasa`i, At-Tirmidzy dan Ibnu Majah), Ibnu Hibban, AlHakim dan Al-Baihaqy. Catatan : Hadits dengan lafazh seperti di atas ‫ت‬ ِ ‫ زَاَِا‬menunjukkan pengharaman ziarah kubur bagi wanita secara umum tanpa ada pengecualian. Akan tetapi ada lafazh lain dari hadits ini, yaitu : ‫ُْ ِر‬5ُZْ ‫ت ا‬ ِ ‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ وَ ِِ َوَ  َ ُزوارَا‬ ُ ُْ‫ َر‬ َ َ*َ . ٍ“َْ ْ2ِ& ‫ َو‬: ُ ‫ ا‬ َ َ*َ

“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam )dalam lafazh yang lain Allah subhanahu wa ta’ala) melaknat wanita-wanita yang banyak berziarah kubur”. Lafazh ‫ت‬ ِ ‫( ُزوارَا‬wanita yang banyak berziarah) menjadi dalil bagi sebagian ‘ulama untuk menunjukkan bahwa berziarah kubur bagi wanita tidaklah terlarang secara mutlak (haram) akan tetapi terlarang bagi wanita untuk sering melakukan ziarah kubur. Sebagian dari perkataan para ‘ulama tentang ziarah kubur bagi wanita a) Yang mengatakan terlarangnya ziarah kubur bagi wanita. - Berkata Imam An-Nawawy Asy-Syafi’iy : “Nash-nash Imam Asy-Syafi’iy dan AlAshhab (pengikut Madzhab Syafi’iyyah) telah sepakat bahwa ziarah kubur disunnahkan bagi laki-laki”. (Al-Majmu’ 5/285). Perkataannya : “Disunnahkan bagi laki-laki” mempunyai pengertian bahwa bagi wanita tidak disunnahkan. - Berkata Imam Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah Al-Maqdasy Al-Hambaly : “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan dikalangan Ahlul ‘Ilmi tentang bolehnya lakilaki berziarah kubur”. Lihat Al-Mughny 3/517. Perkataannya : “Bolehnya laki-laki berziarah kubur” memiliki pengertian bahwa bagi wanita belum tentu boleh atau tidak boleh sama sekali. - Berkata Al-Imam Muhammad bin Muhammad Al-Abdary Al-Malikiy, terkenal

dengan nama kunyahnya “Ibnul Hajj” : “Dan seharusnya (selayaknya) baginya (laki-laki) untuk melarang wanita-wanita untuk keluar ke kuburan meskipun wanita-wanita tersebut memiliki mayat (karena si mayat adalah keluarga atau kerabatnya) sebab As-Sunnah telah menghukumi/menetapkan bahwa mereka (para wanita) tidak diperkenankan untuk keluar rumah”. Lihat : Madkhal AsSyar‘u Asy-syarif 1/250. - Berkata : Abu An-Naja Musa bin Ahmad Al-Maqdasy Al-Hambaly (pengarang Zadul Mustaqni’) : “Disunnahkan ziarah kubur kecuali bagi wanita”. Lihat : Kitab Hasyiah Ar-Raudhul Murbi’ Syarah Zadul Mustaqni’ 3/144-145. - Berkata Al-Imam Mar’iy bin Yusuf Al-Karmy : “Dan disunnahkan berziarah kubur bagi laki-laki dan dibenci (makruh) bagi wanita”. Lihat : Kitab Manar AsSabil Fii Syarh Ad-Dalil 1/235). - Berkata Syaikh Ibrahim Dhuwaiyyan : “Minimal hukumnya adalah makruh”. - Berkata Syaikh Doktor Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan : “Dan ziarah itu disyariatkan bagi laki-laki, adapun wanita diharamkan bagi mereka berziarah kubur”. Lihat : Al-Muntaqo Min Fatawa Syaikh Sholeh Al-Fauzan. b. Yang menyatakan bolehnya ziarah kubur bagi wanita : - Imam Al-Bukhary, dimana beliau meriwayatkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu : “Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam melewati seorang wanita yang sedang berada di sebuah kuburan, sambil menangis. Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata padanya : “Bertaqwalah engkau kepada Allah dan bersabarlah”. Maka berkata wanita itu : “Menjauhlah dariku, engkau belum pernah tertimpa musibah seperti yang menimpaku”, dan wanita itu belum mengenal Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, lalu disampaikan padanya bahwa dia itu adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, ketika itu ditimpa perasaan seperti akan mati (karena merasa takut dan bersalah-ed.). Kemudian wanita itu mendatangi pintu (rumah) Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan dia tidak menemukan penjaga-penjaga pintu maka wanita itu berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku (pada waktu itu) belum mengenalmu, maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata : “Sesungguhnya yang dinamakan sabar itu adalah ketika (bersabar) pada pukulan (benturan) pertama”. Al-Bukhary memberi terjemah (judul bab) untuk hadits ini dengan judul “Bab tentang ziarah kubur” yang mana ini menunjukkan bahwa beliau tidak membedakan antara laki-laki dan wanita dalam berziarah kubur. Lihat : Shohih Al-Bukhary 3/110-116. - Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolany menerangkan hadits di atas dalam Fathul Bary katanya : “Dan letak pendalilan dari hadits ini adalah bahwa Nabi

shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak mengingkari duduknya (keberadaan) wanita tersebut di kuburan. Dan taqrir Nabi (pembolehan) adalah hujjah. - Berkata Al-‘Ainy : “Dan pada hadits ini terdapat petunjuk tentang bolehnya berziarah kubur secara mutlak, baik peziarahnya laki-laki maupun wanita dan yang diziarahi (penghuni kubur) muslim atau kafir karena tidak adanya pembedaan padanya”. (Lihat : Umdatul Qory 3/76) - Al-Imam Al-Qurthuby berkata : “Laknat yang disebutkan di dalam hadits adalah bagi wanita-wanita yang memperbanyak ziarah karena bentuk lafazhnya menunjukkan “mubalaghah” (berlebih-lebihan). Dan sebabnya mungkin karena hal itu akan membawa wanita kepada penyelewengan hak suami dan berhias diri dan akan munculnya teriakan, erangan, raungan dan semisalnya. Dan dikatakan jika semua hal tersebut aman (dari terjadinya) maka tidak ada yang bisa mencegah untuk memberikan izin kepada para wanita, sebab mengingat mati diperlukan oleh laki-laki maupun wanita”. (Lihat : Jami’ Ahkamul Qur`an). - Berkata Al-Imam Asy-Syaukany : “Dan perkataan (pendapat) ini adalah yang pantas untuk pegangan dalam mengkompromikan antara hadits-hadits bab yang saling bertentangan pada lahirnya”. Lihat : Nailul Authar 4/121. - Berkata Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany : “Dan wanita seperti lakilaki dalam hal disunnahkannya ziarah kubur”. Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan empat alasan yang sangat kuat dalam menunjukkan hal tersebut di atas. Setelah itu beliau berkata : “Akan tetapi tidak dibolehkan bagi mereka (para wanita) untuk memperbanyak ziarah kubur dan bolak-balik ke kuburan sebab hal ini akan membawa mereka untuk melakukan penyelisihan terhadap syariat seperti meraung, memamerkan perhiasan/kecantikan, menjadikan kuburan sebagai tempat tamasya dan menghabiskan waktu dengan obrolan kosong (tidak berguna), sebagaimana terlihatnya hal tersebut dewasa ini pada sebagian negeri-negeri Islam, dan inilah maksud Insya Allah dari hadits masyhur : َ  َ‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ وَ ِِ َو‬ ُ ُْ‫ْ َْ“ٍ ( َ*َ َ َر‬2ِ&‫ َو‬: ُ ‫ ا‬ َ َ*َ ) ‫ُْ ِر‬5ُZْ ‫ت ا‬ ِ ‫َزوارَا‬ “Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam (dalam sebuah lafadz Allah melaknat) wanita-wanita yang banyak berziarah kubur”.(Sunan Al-Baihaqy 4/6996, Sunan Ibnu Majah no.1574, Musnad Ahmad 2/8430, 8655). Lihat : Kitab Ahkamul Janaiz karya Syaikh Al-Albany 229-237. Kesimpulan penulis : Wanita tidak dianjurkan untuk berziarah kubur, karena ditakutkan akan terjadi padanya hal-hal yang bertentangan dengan syari’at disebabkan karena kelemahan hati wanita dan karena perbuatannya, seperti akan terjadinya teriakan atau raungan ketika menangis/sedih, tabarruj (berhias), ikhtilath

(bercampur baur dengan laki-laki) dan hal-hal lain yang sejenis. Itulah sebabnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang sering melakukan ziarah kubur karena banyaknya (seringnya) berziarah kubur tersebut akan mengantarkannya kepada penyelisihan/penyelewengan terhadap syari’at. Akan tetapi jika seorang wanita kebetulan melewati kuburan atau berada di kuburan karena kebetulan (tanpa sengaja) seperti yang terjadi pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika mengikuti Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ke pekuburan Baqi’, maka pada waktu itu keadannya seperti laki-laki dalam hal bolehnya wanita tersebut berziarah, dengan memberi salam dan mendo’akan para penghuni kubur. Berkata Syaikh Ibrahim Duwaiyyan : “Jika seorang wanita yang sedang berjalan melewati suatu kuburan di jalannya dia memberi salam dan mendo’akan penghuni kubur (mayat) maka hal ini baik (tidak mengapa) sebab wanita tersebut tidak sengaja keluar untuk ke pekuburan”. Lihat : Manar As-Sabil Fi Syarh AdDalil. Wallahu A’lam Bis Showab. Hikmah dilarangnya para wanita memperbanyak (sering) berziarah Diantara hikmah tersebut : 1. Karena ziarah dapat membawa kepada penyelewengan hak-hak suami akan keluarnya para wanita dengan berhias lalu dilihat orang lain dan tak jarang ziarah tersebut disertai dengan raungan ketika menangis. Hal ini disebutkan oleh Imam Asy-Syaukany dalam Nailul Authar 4/121. 2. Karena para wanita memiliki kelemahan/kelembekan dan tidak memiliki kesabaran maka ditakutkan ziarah mereka akan mengantarkan kepada perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan yang akan mengeluarkan mereka dari keadaan sabar yang wajib. Hal ini disebutkan oleh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al-Bassam dalam kitab Taudhihul Ahkam 2/563-564. 3. Sebab wanita sedikit kesabarannya, maka tidaklah dia aman dari gejolak kesedihannya ketika melihat kuburan orang-orang yang dicintainya, dan ini akan membawa dia pada perbuatan-perbuatan yang tidak halal baginya, berbeda dengan laki-laki. Disebutkan oleh Syaikh Ibrahim Duwaiyyan menukil dari kitab Al-Kafi. Lihat : Manar As-Sabil Fii Syarh Ad-Dalil 1/236. 4. Berkata Imam Ibnul Hajj rahimahullah setelah menyebutkan 3 pendapat ulama tentang boleh tidaknya berziarah kubur bagi wanita : “Dan ketahuilah bahwa perselisihan pendapat para ‘ulama yang telah disebutkan adalah dengan kondisi wanita pada waktu itu (zamannya para ‘ulama salaf sebelum Ibnul Hajj yang wafat pada thn 732 H), maka mereka sebagaimana diketahui dari kebiasaan mereka yang mengikuti sunnah, sebagaimana telah lalu (tentang hal itu). Adapun keluarnya mereka (para wanita untuk berziarah) pada zaman ini (zaman Ibnul Hajj), maka kami berlindung kepada Allah dari kemungkinan adanya seorang

dari ‘ulama atau dari kalangan orang-orang yang memiliki muru`ah (kehormatan dan harga diri) atau cemburu (kepedulian) terhadap agamanya yang akan membolehkan hal ini. Jika terjadi keadaan darurat (yang mendesak) baginya untuk keluar maka hendaknya berdasarkan hal-hal yang telah diketahui dalam syari’at berupa menutup aurat sebagaimana yang telah lalu (pembahasannya) bukan sebagaimana adat mereka yang tercela pada masa ini. Lihatlah mudahmudahan Allah subhanahu wa ta'ala merahmati kami dan merahmatimu. Lihatlah mafsadah (kerusakan) ini yang telah dilemparkan oleh syaithan kepada sebagian mereka (para wanita) didalam membangun (menyusun) tingkatan-tingkatan kerusakan ini di kuburan (Madkhal Asy-Syar’u Asy-Syarif 1/251). ADAKAH WAKTU-WAKTU TERTENTU (KHUSUS) UNTUK BERZIARAH ? Ziarah Kubur dapat dilakukan kapan saja, tidak ada waktu yang khusus dan tidak boleh (tidak layak) dikhususkan untuk itu, baik pada bulan sya’ban, syawal maupun waktu-waktu yang lainnya. Hal ini karena tidak adanya dalil yang menunjukkan tentang adanya waktu khusus atau afdhal (paling baik) untuk berziarah kubur. Ketika Syaikh Doktor Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan ditanya tentang waktu/hari yang afdhal untuk berziarah, beliau berkata : “Tidak ada waktu khusus dan tidak ada waktu tertentu untuk berziarah kubur”. Lihat Al-Muntaqa min Fatawa Syaikh Sholih Al-Fauzan : 2/166. FAIDAH ZIARAH KUBUR a. Bagi yang berziarah Faidah yang bisa dipetik dan hasil yang akan didapatkan oleh orang yang berziarah kubur, antara lain : 1. Memberikan nasehat bagi dirinya. 2. Mengingatkannya kepada kematian, balasan dan hari kiamat. 3. Menambahkan kebaikan baginya. 4. Mengambil pelajaran. 5. Melunakkan (melembutkan) hati. 6. Menjadikannya zuhud terhadap dunia dan tamak terhadap kebaikan hari akhirat. Semua hal tersebut di atas ditunjukkan oleh hadits-hadits Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam :

‫ًَْا‬:َُ0‫َ َر‬L‫دْآُْ ِز‬Hِ َJْ ‫ِ َ َة َو‬:’ْ ‫ ُآُ ُ ا‬E‫آ‬Dَ ُ0 َBoَِ& َ‫وْ ُروْه‬Hُ َ& ‫ُْ ِر‬5ُZْ ‫َ َر ِة ا‬Lِ‫ُ@ُْ َ ْ ز‬JََْB S ُ ْ1ُ‫ْ آ‬2EB‫ِإ‬ “Sesungguhnya aku pernah melarang kalian dari berziarah kubur maka (sekarang) ziarahilah kubur sebab ziarah itu akan mengingatkan kalian terhadap hari akhirat dan akan menambah kebaikan pada diri kalian”. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari hadits Buraidah bin Al-Hushoib (5/350, 355, 356 dan 361). Dalam riwayat yang lain dari Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu : ‫ْ َ ًة‬5ِ َِْ& ‫ن‬  oَِ& “Sesungguhnya pada ziarah itu terdapat pelajaran”. Diriwayatkan oleh : Ahmad (3/38, 63, 66), Al-Hakim (1/374-375) dan Al-Baihaqy (4/77) dari jalan Al-Hakim. Dalam riwayat yang lain dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu : ‫ِ َ َة‬:’ْ ‫آ ُ ا‬Dِ ُ0‫ َو‬ ُ َْ*ْ ‫ْ َ ُ\ ا‬-َ0‫ َو‬P َ ْ َZْ ‫ق ا‬ I ِ ُL َBoَِ& “Sesungguhnya ziarah itu akan melunakkan hati, mengundang air mata dan mengingatkan pada hari kiamat”. Diriwayatkan oleh Al-Hakim (1/376). b) Bagi Penghuni Kubur Penghuni kubur akan mendapatkan manfaat dari ziarah kubur dengan adanya salam yang ditujukan padanya yang isinya adalah permohonan keselamatan baginya, permohonan ampunan dan rahmat baginya. Semua hal ini hanya bisa didapatkan oleh seorang muslim. (Disebutkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ahkamul Janaiz : 239). Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullahu ta’ala : “Pasal : Tentang Petunjuk Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam dalam ziarah kubur : Adalah beliau shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam jika menziarahi kubur para shahabatnya beliau menziarahinya untuk mendo’akan mereka dan memintakan rahmat dan pengampunan bagi mereka. Inilah bentuk ziarah yang disunnahkan bagi ummatnya dan beliau syari’atkan untuk mereka dan memerintahkan mereka jika menziarahi kuburan untuk mengatakan : َ1َ َ ‫ل ا‬ ُ aَْ'َB ‫ن‬ َ ُْZِKG َ َ ُ ‫َ َء ا‬6 ْ‫ ِإن‬B‫ َوِإ‬ َ ِْ(ِ ْ'ُ(ْ ‫ وَا‬ َ ِْ1ِ ْ>ُ(ْ ‫ ا‬ َ ِ ‫َ ِر‬L-E ‫; ا‬ َ ْ‫ ُم َ َْ@ُْ َأه‬G َ ' َ‫ َو َ@ُ ُ ا ْ*َ&َِ)َا‬ Salam keselamatan atas penghuni rumah-rumah (kuburan) dan kaum mu’minin dan muslimin, mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dari kita dan orang-orang yang belakangan, dan kami Insya Allah akan menyusul

kalian, kami memohon kepada Allah keselamatan bagi kami dan bagi kalian”. (Disebutkan dalam Kitab Zadul Ma’ad karya Ibnul Qoyyim). APA YANG SEHARUSNYA DILAKUKAN OLEH PEZIARAH KUBUR/(TATA CARA) ZIARAH Yang dilakukan oleh seorang peziarah adalah : 1. Memberi salam kepada penghuni kubur (muslimin) dan mendo’akan kebaikan bagi mereka. Diantara do’a yang diajarkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam kepada ummatnya yang berziarah kubur : َ ِْ1ِ ْ>ُ(ْ ‫ ا‬ َ ِ ‫َ ِر‬L-E ‫; ا‬ َ ْ‫ ُم َ َْ@ُْ َأه‬G َ ' َ‫َ َو َ@ُ ُ ا ْ*َ&َِ)َ ا‬1َ َ ‫ل ا‬ ُ aَْ'َB ‫ن‬ َ ُْZِKG َ َ ُ ‫َ َء ا‬6 ْ‫ ِإن‬B‫ َوِإ‬ َ ِْ(ِ ْ'ُ(ْ ‫وَا‬ Artinya : “Salam keselamatan atas penghuni rumah-rumah (kuburan) dan kaum mu’minin dan muslimin, mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dari kita dan orang-orang yang belakangan, dan kami Insya Allah akan menyusul kalian kami memohon kepada Allah keselamatan bagi kami dan bagi kalian”. Diriwayatkan oleh Imam Muslim 975, An-Nasa`i 4/94, Ahmad 5/353, 359, 360. -E ‫; ا‬ َ ْ‫ ُم َ َ! َأه‬G َ ' َ‫نا‬ َ ُْZِKG َ َ ُْ@ِ4 ُ ‫َ َء ا‬6 ْ‫ ِإن‬B‫ َوِإ‬ َ ْLِ ِ:ْaَJْ'ُ(ْ ‫ وَا‬1ِ ِ ِْ -ِ ْZَJْ'ُ(ْ ‫َ ُ ا ُ ا‬KَْL‫ َو‬ َ ِْ(ِ ْ'ُ(ْ ‫ وَا‬ َ ِْ1ِ ْ>ُ(ْ ‫ ا‬ َ ِ ‫َ ِر‬L “Keselamatan atas penghuni kubur dari kaum mu’minin dan muslimin mudahmudahan Allah merahmati orang-orang terdahulu dari kita dan orang-orang belakangan dan kami Insya Allah akan menyusul kalian”. 2. Tidak berjalan di atas kuburan dengan mengenakan sandal. Hal ini berdasarkan hadits Basyir bin Khashoshiah : ْ1ِ ْSَBَK ْ‫ْ ِإذ‬2ِRْ(َL َ ُ‫َ(َ ه‬1َْ4 h ِ ْ ‫ َأ‬b َ َFْL‫ َو‬ ِ َْJِJْ5E' ‫ ا‬P َ ِKَ" َL ‫ل‬ َ َZَ& ‫ن‬ ِG َ ْ*َB َِْ َ ‫ُْ ِر‬5ُZْ ‫ ا‬ َ َْ4 ْ2ِRْ(َL ٌ;ُi‫ذَا َر‬oَِ& ٌ‫َ َة‬pَB ُ َ ِِ4 !َ َ َ& َِْ ْ*َB \َ َ َ: َ  َ‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ وَ ِِ َو‬ َ ُْ‫ف َر‬ َ َ َ (َ َ& َ َpَ1َ& b َ َْJِJْ5ِ‫ا‬ “Ketika Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam sedang berjalan, tiba-tiba beliau memandang seorang laki-laki yang berjalan diantara kubur dengan mengenakan sandal, maka Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam bersabda : “Wahai pemilik (yang memakai) sandal celakalah engkau lepaskanlah sandalmu”. Maka orang itu memandang tatkala ia mengetahui Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam ia melepaskan kedua sandalnya dan melemparkannya. Diriwayatkan oleh Abu Daud 2/72, An-Nasa`i 1/288, Ibnu Majah 1/474, Al-Hakim 1/373 dan dia berkata : “Sanadnya shohih”, dan disepakati oleh Adz-Dzahaby dan dikuatkan (diakui) oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar (Fathul Bary 3/160). Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar : “Hadits ini menunjukkan makruhnya berjalan diantara kuburan dengan sandal” (Fathul Bary 3/160). Berkata Syaikh Al-Albany :

“Hadits ini menunjukkan makruhnya berjalan di atas kuburan dengan memakai sandal. Lihat Ahkamul Janaiz 252). 3. Tidak duduk atau bersandar pada kuburan. Hal ini berdasarkan hadits Abu Marbad radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam : ََْ ‫ا ِإ‬I َُ0 j َ ‫ُْ ِر َو‬5ُZْ ‫َ]ْ ِ'ُْا َ َ! ا‬0 j َ “Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan jangan melakukan shalat padanya”. Dikeluarkan oleh Imam Muslim 2/228. Dan hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda : ٍ ْ5َ, !َ َ c َ ِ ْ]َL ْ‫ٌَْ َُ ِ ْ َأن‬: [ِ -ِ ْ i ِ !َ ‫ ِإ‬w َ ُ ْNَJَ& َُ4َِU ‫ق‬ َ ِ ْFُJَ& ‫َ(ْ َ ٍة‬i !َ َ ُْ‫آ‬-ُ ُK‫ َأ‬c َ ِ ْ]َL ْ‫ن‬aََ

“Seandainya salah seorang dari kalian duduk di atas bara api hingga (bara api itu) membakar pakaiannya sampai mengenai kulitnya itu adalah lebih baik daripada dia duduk di atas kuburan”. Diriwayatkan oleh Imam Muslim. 4. Dibolehkan bagi peziarah untuk mengangkat tangannya ketika berdo’a untuk penghuni kubur, berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam keluar pada suatu malam, maka aku (‘Aisyah) mengutus Barirah untuk membuntuti kemana saja beliau (Rasulullah) pergi, maka Rasulullah mengambil jalan ke arah Baqi’ Al-Garqad kemudian beliau berdiri pada sisi yang terdekat dari Baqi’ lalu beliau mengangkat tangannya, setelah itu beliau pulang, maka kembalilah Barirah kepadaku dan mengabariku (apa yang dilihatnya). Maka pada pagi hari aku bertanya dan berkata : Wahai Rasulullah keluar kemana engkau semalam ? Beliau berkata : “Aku diutus kepada penghuni Baqi’ untuk mendo’akan mereka. Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (6/92) dan sebelumnya oleh Imam Malik pada kitabnya (Al-Muwatho` (1/239-240)). 5. Berkata ‘Abdullah Al-Bassam : “Tidaklah pantas bagi seseorang yang berada dipekuburan, baik dia bermaksud berziarah atau hanya secara kebetulan untuk berada dalam keadaan bergembira dan senang seakan-akan dia berada pada suatu pesta, seharusnya dia ikut hanyut atau memperlihatkan perasaan ikut hanyut dihadapan keluarga mayat”. (Lihat Taudhihul Ahkam 2/564). 6. Menghadap ke kuburan ketika memberi salam kepada penghuni kubur. Hal ini diambil dari hadits-hadits yang lalu tentang cara memberi salam pada

penghuni kubur. 7. Ketika mendo’akan penghuni kubur tidak menghadap kekuburan melainkan menghadap kiblat. Sebab Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam melarang ummatnya shalat menghadap kubur dan karena do’a adalah intinya ibadah, sebagaimana sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam : ‫َ َد ُة‬5ِ*ْ ‫َ ُء هُ َ ا‬-I ‫ا‬ “Doa adalah ibadah”. Diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzy (4/178,223) dan Ibnu Majah (2/428-429). HAL-HAL YANG DIHARAMKAN DALAM ZIARAH KUBUR. Macam-macam Ziarah Kubur dan Hal-hal yang diharamkan dalam dalam Ziarah Kubur. Hal ini telah disebutkan oleh Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al-Bassam dalam Kitab Taudhihul Ahkam (2/562-563), bahwa keadaan seorang yang berziarah ada empat jenis, yaitu : 1) Mendo’akan para penghuni kubur dengan cara memohon kepada Allah subhanahu wa ta'ala pengampunan dan rahmat bagi para penghuni kubur, dan memohonkan do’a khusus bagi yang dia ziarahi dan pengampunan. Mengambil pelajaran dari keadaan orang mati sehingga bisa menjadi peringatan dan nasehat baginya. Inilah bentuk ziarah yang syar’i. 2) Berdo’a kepada Allah subhanahu wa ta'ala bagi dirinya sendiri dan bagi orangorang yang dicintainya dipekuburan atau di dekat sebuah kuburan tertentu dengan keyakinan bahwa berdo’a dipekuburan atau pada kuburan seseorang tertentu afdhal (lebih utama) dan lebih mustajab daripada berdo’a di mesjid. Dan ini adalah bid’ah munkarah, haram hukumnya. 3) Berdo’a kepada Allah subhanahu wa ta'ala dengan mengambil perantara jah (kedudukan) penghuni kubur atau haknya. Seperti dia berkata : “Aku memohon pada-Mu wahai Rabbku berikanlah …(sesuatu)… dengan jah (kedudukan) penghuni kuburan ini atau dengan haknya terhadap-Mu, atau dengan kedudukannya disisi-Mu” ; atau yang semisalnya. Dan ini adalah bid’ah muharramah dan haram hukumnya, sebab perbuatan tersebut adalah sarana/jalan yang mengantar kepada kesyirikan kepada Allah subhanahu wa ta'ala. 4) Tidak berdo’a kepada Allah subhanahu wa ta'ala melainkan berdo’a kepada para penghuni kubur atau kepada penghuni kubur tertentu, seperti dia berkata :

Wahai wali Allah, Wahai Nabi Allah, Wahai tuanku, cukupilah aku atau berilah aku…(sesuatu)…dan semisalnya. Dan ini adalah syirik Akbar (besar). Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ta’ala dalam kitabnya ArRaddu ‘Alal Bakry hal.56-57, ketika menyebutkan tingkatan bid’ah yang berhubungan dengan ziarah kubur, kata beliau : “Bid’ahnya bertingkat-tingkat : Tingkatan Pertama (yang paling jauh dari syari’at) : Dia (penziarah) meminta hajatnya pada mayat atau dia beristighotsah (meminta tolong ketika terjepit/susah) padanya sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan orang terhadap kebanyakan penghuni kubur. Dan ini adalah termasuk jenis peribadatan kepada berhala. Tingkatan kedua : Dia (penziarah) meyakini bahwa berdo’a disisi kuburnya mustajab atau bahwa do’a tersebut afdhal (lebih baik) daripada berdo’a di mesjid-mesjid dan di rumah-rumah. Dan dia maksudkan ziarah kuburnya untuk hal itu (berdo’a di sisi kuburan), atau untuk shalat disisinya atau untuk tujuan meminta hajat-hajatnya padanya. Dan ini juga termasuk kemungkarankemungkaran yang baru berdasarkan kesepakatan imam-imam kaum muslimin. Dan ziarah tersebut haram. Dan saya tidak mengetahui adanya pertentangan pendapat dikalangan imam-imam agama ini tentang masalah ini. Tingkatan ketiga : Dia (penziarah) meminta kepada penghuni kubur agar memintakan (hajat) baginya kepada Allah. Dan ini adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan para imam-imam kaum muslimin. Hal-hal yang diharamkan dalam ziarah kubur (Bid’ah-bid’ah Ziarah Kubur) 1. Kesyirikan. Syirik Akbar (besar) sering terjadi dan dilakukan oleh sebagian orang di kuburan. Batasan syirik besar (Asy-Syirkul Akbar) itu sendiri adalah jika seseorang memalingkan satu jenis atau satu bentuk dari jenis-jenis/bentuk-bentuk ibadah kepada selain Allah subhanahu wa ta'ala. Segala i’tiqod (keyakinan), atau perkataan atau perbuatan yang telah tsabit (kuat) bahwa itu adalah diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala, maka memalingkannya kepada selain Allah subhanahu wa ta'ala adalah kesyirikan dan kekufuran. (Lihat : Al-Qaul As-Sadid Syarh kitab At-Tauhid karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy hal 48). Syirik Akbar (besar) yang mungkin sering terjadi dikuburan adalah : - menyembelih untuk penghuni kubur, - menunaikan nadzar kepadanya,

- memberikan persembahan kepada penghuni kubur yang disertai dengan keyakinan dan perasaan cinta dan atau berharap dan atau takut terhadap penghuni kubur, - bertawakkal kepadanya, - berdo’a kepadanya, - meminta pertolongan untuk mendapatkan kebaikan (Isti’anah) atau untuk lepas dari kesulitan (istighotsah) pada penghuni kubur, - thawaf pada kuburan, - dan ibadah lainnya yang ditujukan untuk penghuni kubur. Semua hal tersebut di atas adalah syirik besar dan mengakibatkan batalnya seluruh amalan. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman ; setelah menyebutkan tentang para nabi dan rasul-Nya : ‫ن‬ َ ُ َ(ْ*َL ‫ُا‬Bَ‫ُْْ َ آ‬1َ َQِ5َFَ ‫ْ َآُا‬6َ‫َ ِد ِ[ َو َْ أ‬5ِ ْ ِ ‫َ ُء‬RَL ْ َ ِِ4 ‫ِي‬-َْL ِ ‫َى ا‬-ُ‫ ه‬b َ ِ ‫َذ‬ “Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”.(Q.S. Al-An’am : 88). Tidak ada seorangpun yang beramal seperti amalannya para nabi dan rasul, sebab merekalah orang-orang yang paling tahu tentang Allah dan paling taqwa kepada-Nya, tetapi Allah subhanahu wa ta'ala tetap menyatakan bahwa seandainya mereka berbuat kesyirikan maka akan sirna/lenyap semua apa yang mereka kerjakan. Seperti juga firman Allah subhanahu wa ta'ala yang lainnya : َ ِ ْ ُ‫ْ َوآ‬-ُ5َْ& َ ‫; ا‬ ِ َ4 َ LَِِNْ ‫ ا‬ َ ِ  َBُ@َJَ ‫ َو‬b َ ُ َ(َ  ََ5ْFََ S َ ْ‫ْ َآ‬6‫ِ ْ َأ‬tَ b َ ِ ْ5َ, ْ ِ َ LِD ‫ َوِإ َ! ا‬b َ َْ ‫ ِإ‬2 َ ِK‫ْ أُو‬-َZَ ‫َو‬ َ Lِِ‫آ‬R ‫ا‬ “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu : “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur”. (Q.S. Az-Zumar : 65-66). Dan ayat-ayat di atas menggambarkan tentang begitu berbahayanya syirik tersebut dan begitu sesatnya manusia jika terjatuh ke dalam kesyirikan tersebut. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta'ala :

ً(ِpَ ً(ْU‫ََى ِإ‬Jْ&‫ ا‬-ِ َZَ& ِ ِ4 ْ‫ْ ِك‬RُL ْ َ ‫َو‬ “Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. (Q.S. An-Nisa : 48) dan firman Allah subhanahu wa ta'ala :

 ‫ن ا‬  ‫ًاِإ‬-ِ*َ4 ً َ َ3 ;  َ3 ْ-َZَ& ِ ِ4 ْ‫ِْك‬RُL ْ َ ‫َ ُء َو‬RَL ْ َ(ِ b َ ِ ‫ن َذ‬ َ ‫َِْ ُ َ دُو‬L‫ِِ َو‬4 ‫ك‬ َ َ ْRُL ْ‫َِْ ُ َأن‬L َ َ “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya”. (Q.S. An-Nisa : 116). dan firman Allah subhanahu wa ta'ala : ‫ِِ َو‬1ْ4ِ ‫ن‬ ُ َ(ْZُ ‫ل‬ َ َ, ْ‫ٌِ َوِإذ‬pَ ٌْ ُpَ ‫ك‬ َ ْER ‫ن ا‬  ‫ِ ِ ِإ‬4 ْ‫ْ ِك‬Rُ0 َ 2  َ1ُ4َL ُُpِ*َL َ ُ‫ه‬ “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya : "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar"”. (Q.S. Luqman : 13). 2. Duduk di atas kuburan, sebagaimana penjelasan yang lalu dalam tata cara ziarah kubur. 3. Shalat menghadap kuburan, Point 2 dan 3 berdasarkan sabda Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam : ََْ َ ‫َ]ْ ِ'ُْا‬0 j َ ‫ُْ ِر َو‬5ُZْ ‫ْا ِإ َ! ا‬I َُ0 j َ “Janganlah kalian shalat menghadap kuburan dan jangan pula kalian duduk di atasnya”. Diriwayatkan oleh Imam Muslim 3/62 dari hadits Abi Martsad Al-Ghanawy.

4. Shalat dikuburan, meskipun tidak menghadap padanya, berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry : ‫َ( َم‬Fْ ‫َ َ َة وَا‬5ْZَ(ْ ‫ ا‬j  ‫ٌ ِإ‬-ِ]ْ'َ َI ُ‫ض آ‬ ُ ْ‫ر‬aَْ ‫ا‬ “Bumi ini semuanya adalah mesjid (tempat shalat) kecuali pekuburan dan kamar mandi”. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzy no.317, Ibnu Majah 1/246 no.745, Ibnu Hibban 8/92 no.2321. Dan hadits Anas bin Malik : ‫ُْ ِر‬5ُZْ ‫ ا‬ َ َْ4 ‫ ِة‬G َ  ‫ ا‬ ِ َ َ  َ‫ل ا ِ "َ ! ا ُ َ َِْ وَ ِِ َو‬ ُ ُْ‫ََ! َر‬B “Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam melarang dari shalat diantara kuburan”. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban 4/596 no.1698. Dan Hadits Ibnu ‘Umar : ‫ُْرًا‬5ُ, َ‫وْه‬Dُ ِNJَ0 j َ ‫ِ@ُْ َو‬0G َ َ" ْ ِ ُْ@ِ0ُُْ4 ْ2ِ& ‫ْ*َ ُْا‬i‫ِا‬ “Lakukanlah di rumah-rumah kalian sebagian dari shalat-shalat kalian dan janganlah menjadikannya sebagai kuburan”. H.R. Bukhary no.422. Maksudnya bahwa kuburan tidaklah boleh dijadikan tempat shalat sebagaimana rumah yang dianjurkan untuk dilakukan sebagian shalat padanya (shalat-shalat sunnah bagi laki-laki). Dan hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda : ‫َ َ ِة‬Zَ5ْ ‫ْ َُأ &ِِْ ُْ َر ُة ا‬Zَ0 ْ‫ي‬Dِ  ‫ ا‬S ِ َْ5ْ ‫ ا‬ َ ِ ُ ِْ1َL ‫ن‬ َ َْR ‫ن ا‬  ‫ِ َ ِإ‬4َZَ ُْ@َ0ُُْ4 ‫َ]ْ*َ ُْا‬0 j َ. “Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai pekuburan, sesungguhnya syaithan akan lari dari rumah yang dibacakan padanya surah AlBaqarah”. Diriwayatkan oleh Imam Muslim no.780. 5. Menjadikan kuburan sebagai tempat peringatan, dikunjungi pada waktu-waktu tertentu dan pada musim-musim tertentu untuk beribadah disisinya atau untuk selainnya.

Berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam bersabda : I ََ& ُْJْ1ُ‫ُ(َ آ‬AَْK‫ُْرًا َو‬5ُ, ُْ@َ0ُُْ4 ‫َ]ْ*َ ُْا‬0 j َ ‫ًا َو‬-ِْ ْ‫ْ ِي‬5َ, ‫وْا‬Dُ ِNJَ0 j َ ْ2ِ1ُُ ْ5َ0 ُْ@َ0G َ َ" ‫ن‬  oَِ& 2  َ َ ‫ْا‬

“Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat peringatan dan janganlah menjadikan rumah kalian sebagai kuburan dan dimanapun kalian berada bersholawatlah kepadaku sebab sholawat kalian akan sampai kepadaku”. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 2/367, Abu Daud no.2042. (Lihat : Kitab Ahkamul Jana`iz dan kitab Min Bida’il Qubur). 6. Melakukan perjalanan (bersafar) dengan maksud hanya untuk berziarah kubur. Berdasarkan hadits : v Hadits Abu Hurairah dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam : !َْ,aَْ ‫ ا‬-ِ ِ]ْ'َ ‫ل "َ ! ا ُ َ َِْ وَ ِِ َوَ  َ َو‬ ِ ُْ ‫ ا‬-ِ ِ]ْ'َ ‫ََا ِم َو‬Fْ ‫ ا‬-ِ ِ]ْ'َ(ْ ‫ ا‬-َ ِiَ'َ ِ)َUG َ َU !َ ‫ ِإ‬j  ‫ل ِإ‬ ُ َKE ‫ ا‬-I َRُ0 j َ. ُُpَْ ‫َ ِريْ َو ُ'ْ ٌِ َو‬Nُ5ْ ‫َُ ا‬iَ ْ:‫ْ َِ َء " َأ‬L‫ ِإ‬-ِ ِ]ْ'َ ‫يْ َو‬-ِ ِ]ْ'َ ‫َ)ِ َو‬5ْ*َ@ْ ‫ ا‬-ِ ِ]ْ'َ -َ ِiَ'َ ِ)َUG َ َU !َ ‫ُ'َ&َ َ ِإ‬L َ(B‫ِإ‬. “Tidaklah (boleh) dilakukan perjalanan (untuk ibadah) kecuali kepada tiga mesjid : Al-Masjidil Haram dan Masjid Ar-Rasul dan Masjid Al-Aqsho”. Dikeluarkan oleh Imam Bukhary dan Muslim dengan lafazh “safar itu hanyalah kepada tiga mesjid (yaitu) Masjid Al-Ka’bah dan Mesjidku dan Masjid Iliya`”. v Hadits Abu Sa’id Al-Khudry dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam : ٍ“َْ ْ2ِ&‫ َو‬-I َRُ0 j َ : !َُ,aَْ ‫ ا‬-ِ ِ]ْ'َ ‫ََا ِم َو‬Fْ ‫ ا‬-ِ ِ]ْ'َ ‫َا َو‬Dَ‫يْ ه‬-ِ ِ]ْ'َ -َ ِiَ'َ ِ)َUG َ َU !َ ‫ ِإ‬j  ‫ل ِإ‬ َ َKE ‫وْا ا‬-ˆ ُRَ0 j َ . َُiَ ْ:‫َأ‬ ٍ ِ ْ'ُ(ِ ُ َ:’ْ ‫ن وَا ْ“ُ ا‬ ِ َNْR ‫ا‬. Artinya : “Tidaklah (boleh) dilakukan perjalanan -dan dalam sebuah riwayat : janganlah kalian melakukan perjalanan- (untuk ibadah) kecuali kepada tiga mesjid : Mesjidku (Mesjid Nabawy), Masjidil Haram dan Masjid Al-Aqsho”. Muttafaqun ‘alaihi. 7. Menyalakan lampu (pelita) pada kuburan. Karena perbuatan tersebut adalah bid’ah yang tidak pernah dikenal oleh para salafus sholeh, dan hal itu merupakan pemborosan harta dan karena perbuatan tersebut menyerupai Majusi (para penyembah api). Lihat : Kitab Ahkamul Jana`iz hal. 294.

8. Membaca Al-Qur`an dikuburan. Membaca Al-Qur`an dipekuburan adalah suatu bid’ah dan bukanlah petunjuk Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Bahkan petunjuk (sunnah) Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam adalah berziarah dan mendo’akan mereka, bukan membaca Al-Qur`an. Dan hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda : ‫َ َ ِة‬Zَ5ْ ‫ْ َُأ &ِِْ ُْ َر ُة ا‬Zُ0 ْ‫ي‬Dِ  ‫ ا‬S ِ َْ5ْ ‫ ا‬ َ ِ ُ ِْ1َL ‫ن‬ َ َْR ‫ن ا‬  ‫ِ َ ِإ‬4َZَ ُْ@َ0ُُْ4 ‫َ]ْ*َ ُْا‬0 j َ. “Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai pekuburan, sesungguhnya syaithan akan lari dari rumah yang dibacakan padanya surah AlBaqarah”. Diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 780. Pada hadits ini terkandung pengertian bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam memerintahkan ummatnya agar membaca Al-Qur`an di rumah-rumah mereka (menjadikan rumah-rumah mereka sebagai salah satu tempat membaca Al-Qur`an), kemudian beliau menjelaskan hikmahnya, yaitu bahwa syaithan akan lari dari rumah-rumah mereka jika dibacakan surah Al-Baqarah. Dan sebelumnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam telah melarang untuk menjadikan rumah-rumah mereka sebagai kuburan yang dihubungkan dengan hikmah (illat tersebut), maka mafhum (dipahami) dari hadits di atas adalah bahwa kuburan bukanlah tempat yang disyari’atkan untuk membaca Al-Qur`an, bahkan tidak boleh membaca Al-Qur`an padanya. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : “Para ulama telah menukil dari Imam Ahmad tentang makruhnya membaca Al-Qur`an dikuburan dan ini adalah pendapat jumhur As-Salaf dan para shahabatnya (Ahmad) yang terdahulu juga di atas pendapat ini, dan tidak ada seorangpun dari ‘ulama yang diperhitungkan mengatakan bahwa membaca Al-Qur`an dikuburan afdhal (lebih baik). Dan menyimpan mashohif (kitab-kitab Al-Qur`an) dikuburan adalah bid’ah meskipun untuk dibaca… dan membacakan Al-Qur`an bagi mayat adalah bid’ah”. Lihat Min Bida’il Qubur hal.59. 9. Mengeraskan suara di kuburan. Berkata Qais bin Abbad : “Adalah shahabat-shahabat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyukai merendahkan suara dalam tiga perkara : dalam penerangan, ketika membaca Al-Qur`an dan ketika di dekat jenazahjenazah. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no.11201. Lihat Min Bida’il Qubur hal.88.

Catatan: Untuk no.10 dan seterusnya akan disebutkan saja bentuk bid’ahnya dengan menunjuk rujukannya kalau ada, adapun yang tidak disebutkan rujukannya maka ia masuk ke dalam umumnya perkara-perkara yang bid’ah karena tidak dicontohkan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam maupun para shahabatnya walaupun sebab untuk melakukannya ada. Hal ini dilakukan agar tulisan ini tidak menjadi terlalu panjang. Wallahul Musta’an. 10. Memasang payung. Lihat Min Bida’il Qubur hal 93-94. 11. Menanaminya dengan pohon dan kembang. 12. Menyiraminya dengan air 13. Menaburkan kembang padanya. 14. Berziarah kubur setelah hari ke-3 dari kematian dan berziarah pada setiap akhir pekan kemudian pada hari ke-15, kemudian pada hari ke-40 dan sebagian orang hanya melakukannya pada hari ke-15 dan hari ke-40 saja. (Kitab Ahkamul Jana`iz). 15. Menziarahi kuburan kedua orang tua setiap hari jum’at (kitab Ahkamul Jana`iz). 16. Keyakinan sebagian orang yang menyatakan bahwa : mayat jika tidak diziarahi pada malam jum’at maka dia akan tinggal dengan hati yang hancur diantara mayat-mayat lainnya dan bahwa mayat itu dapat melihat orang-orang yang menziarahi begitu mereka keluar dari batas kota. (Al-Madkhal 3/277). 17. Mengkhususkan ziarah kubur pada hari ‘Asyura`. (Al-Madkhal 1/290). 18. Mengkhususkan ziarah pada malam nisfu sya’ban (Al-Madkhal 1/310, Talbis Iblis hal.429). 19. Bepergian ke pekuburan pada 2 hari raya ‘Ied (‘Iedhul Fithri dan ‘Iedhul Adha). (Ahkamul Jana`iz hal.325). 20. Bepergian kepekuburan pada bulan-bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan (Ahkamul Jana`iz hal.325). 21. Mengkhususkan berziarah kubur pada hari senin dan kamis (Kitab Ahkamul Jana`iz hal.325). 22. Berdiri dan diam sejenak dengan sangat khusyu’ di depan pintu pekuburan seakan-akan meminta izin untuk masuk, kemudian setelah itu baru masuk ke

pekuburan (Ahkamul Jana`iz hal.325). 23. Berdiri di depan kubur sambil meletakkan kedua tangan seperti seorang yang sedang shalat, kemudian duduk disebelahnya (Ahkamul Jana`iz hal.325). 24. Melakukan tayammum untuk berziarah kubur (Kitab Ahkamul Jana`iz hal.325). 25. Membacakan surah Al-Fatihah untuk para mayit. (kitab Ahkamul Jana`iz 325). 26. Membaca do’a : S َ Eَ(ْ ‫َا ا‬Dَ‫ب ه‬ َ DE َ*ُ0 j َ ْ‫ "َ ! ا ُ َ َِْ وَ ِِ َوَ  َ َأن‬-ٍ (َFُ ِ)َ ُْFِ4 b َ ُ aَْ‫ْ َأ‬2EB‫اَ ُ  ِإ‬ “Ya Allah aku meminta kepada-MU dengan (perantara) kehormatan Muhammad shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam agar Engkau tidak menyiksa mayat ini”. (Ahkamul Jana`iz hal.326). 27. Menamakan ziarah terhadap kuburan tertentu sebagai haji. (Ahkamul Jana`iz). 28. Mengirimkan salam kepada para Nabi melalui orang yang menziarahi kuburan mereka. (Lihat : Kitab Ahkamul Jana`iz hal.327). 29. Mengirimkan surat dan foto-foto kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam lewat orang yang berziarah ke Mesjid Nabawy. Dan hal ini sering terjadi/dialami. 30. Berziarah kekuburan pahlawan tak dikenal. (Ahkamul Jana`iz 327). 31. Perkataan bahwa do’a akan mustajab jika dilakukan di dekat orang-orang sholeh. (Ahkamul Jana`iz). 32. Memukul beduk, gendang dan menari disisi kuburan Al-Khalil Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dalam rangka pendekatan diri kepada Allah subhanahu wa ta'ala (Al-Madkhal 4/246). 33. Meletakkan mushaf dikuburan bagi orang-orang yang bermaksud membaca Al-Qur`an. (Al-Fatawa 1/174). 34. Melemparkan sapu tangan dan pakaian ke kuburan dengan tujuan tabarruk (mencari berkah). (Al-Madkhal 1/263). 35. Berlama-lamanya seorang wanita pada sebuah kuburan dan menggosokgosokkan kemaluannya pada kuburan dengan tujuan supaya ia bisa hamil.

(Ahkamul Jana`iz hal.330). 36. Mengusap-usap kuburan dan menciumnya. (Iqtidha` Ash-Shirathal Mustaqim karya Ibnu Taimiyah, Al-I’tishom karya Asy-Syathiby). 37. Menempelkan perut dan punggung atau sesuatu dari anggota badan pada tembok kuburan (Ziyaratul Qubur wal Istinjad bil Maqbur ; Ibnu Taimiyah hal.54). 38. Berziarah kekubur para nabi dan orang-orang sholeh dengan maksud untuk berdo’a disisi kuburan mereka dengan harapan terkabulnya do’a tersebut. (ArRaddu ‘Alal Bakry hal.27-57). 39. Keluar dari kuburan (pekuburan) yang diagungkan dengan cara berjalan mundur. (Al-Madkhal 4/238). 40. Berdiri yang lama dihadapan kuburan Nabi untuk mendo’akan dirinya sendiri sambil menghadap ke kuburan. (Ar-Raddu ‘alal Bakry / Ahkamul Jana`iz hal.335). Dan masih banyak lagi bentuk-bentuk amalan/perbuatan yang dilakukan ketika berziarah kubur yang menyelisihi cara berziarah yang syar’i yang mana semua bentuk-bentuk tersebut adalah bid’ah di dalam agama ini yang telah dinyatakan oleh nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bahwa setiap bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat tempatnya di neraka. Na’udzu billahi minha. Wallahu Ta’ala A’lam Bishshowab. Maroji’ 1. Ahkamul Jana`iz Wa Bid’auha / Syaikh Al-Imam Muhammad Nashirudddin AlAlbany. 2. Al-I’tishom / Al-Imam Asy-Syathiby. 3. Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab / Al-Imam An-Nawawy. 4. Al-Mughny / Ibnu Qudamah. 5. Al-Muntaqo Min Fatawa Syaikh Sholih bin Fauzan Al-Fauzan. 6. Ash-Shorimul Munky Fii Ar-Raddi ‘Ala As-Subky / Muhammad bin Abdul Hady. 7. Hasyiah Ar-Raudhoh Murbi’ Syarh Zadul Mustaqni’ / ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Qosim An-Najdy. 8. Iqtidho` Ash-Shirothol Mustaqim Fii Mukhalafatu Ashhabul Jahim / Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

9. Madkhal Asy-Syar’u Asy-Syarif / Al-Imam Muhammad bin Muhammad AlAbdary Ibnul Hajj. 10. Majmu’ Al-Fatawa / Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. 11. Manarus Sabil Fii Syarh Ad-Dalil / Syaikh Ibrahim bin Muhammad Duwaiyyan. 12. Min Bida’il Qubur / Hamad bin ‘Abdullah bin Ibrahim Al-Humaidy. 13. Nailul Author Min Ahaditsi Sayyidil Akhyar / Al-Imam Muhammad bin ‘Ali AsySyaukany. 14. Talbis Iblis / Ibnul Jauzy. 15. Talkhis Kitab Al-Istighotsah (Ar-Raddu ‘alal Bakry) / Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. 16. Taudhihul Ahkam / ‘Abdullah Al-Bassam. 17. Zadul Ma’ad Fii Hadyi Khairil ‘Ibad / Ibnul Qoyyim Al-Jauzy. 18. Ziyaratul Qubur Wa Hukmul Istinjad bil Maqbur / Syaikh Islam Ibnu Taimiyah. http://www.an-nashihah.com/isi_berita.php?id=43

BID'AHNYA ANGGAPAN SIAL MENIKAH DI BULAN SYAWWAL Penulis: Abdullah bin Abdul Aziz At tuwaijiry Ibnu Mandzur berkata, "Syawwal adalah termasuk nama bulan yang telah dikenal, yaitu nama bulan setelah bulan Ramadhan, dan merupakan awal bulanbulan haji." Jika dikatakan Tasywiil (syawwalnya) susu onta berarti susu onta yang tinggal sedikit atau berkurang. Begitu juga onta yang berada dalam keadaan panas dan kehausan. Orang Arab menganggap bakal sial/malang bila melangsungkan aqad pernikahan pada bulan ini dan mereka berkata : "Wanita yang hendak dikawini itu akan menolak lelaki yang ingin mengawininya seperti onta betina yang menolak onta jantan jika sudah kawin/bunting dan mengangkat ekornya." Maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam membatalkan anggapan sial mereka tersebut, dan Aisyah berkata, "Rasulullah menikahiku pa¬da bulan Syawwal dan berkumpul denganku pada bulan Syawwal, maka siapa di antara isteri-isteri beliau yang lebih beruntung dariku?" (HR. Ahmad dalam Musnad-nya, VI/54, Muslim dalam shahihnya II/1039, kitab An-Nikah, hadits nomor 1423, At-Tirmidzi dalam Sunan-nya II/277, Abwab Annikah, hadits nomor 1099. Beliau berkata: Ini hadits hasan shahih. An-Nasai dalam Sunan-nya, VI/70, kitab An-Nikah, bab "Pernikahan pada Bulan Syawal. Ibnu ¬Majah dalam Sunan-nya, I/641, kitab AnNikah, hadits nomor 1990.) Maka yang menyebabkan orang Arab pada jaman jahiliyah dulu menganggap sial menikah pada bulan syawwal adalah keyakinan mereka bahwa wanita akan menolak suaminya seperti penolakan onta betina yang mengangkat ¬ekornya, setelah kawin/bunting. Berkata Ibnu Katsir – rahimahullah - : "Berkumpulnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam dengan Aisyah Radhiyallahu 'Anha pada bulan syawwal merupakan bantahan terhadap keraguan sebagian orang yang membenci untuk berkumpul/ menikah dengan isteri mereka di antara dua hari raya, karena kawatir bakal terjadi perceraian antara suami-isteri tersebut, yang hal ini sebenarnya tidak ada sesuatupun padanya." (Al Bidayah Wan Nihayah III/253) Anggapan sial menikah pada bulan Syawwal adalah perkara batil, karena anggapan sial itu secara umum termasuk ramalan/undi nasib yang dilarang oleh Nabi Shallallahu Alaihi wassallam pada sabda beliau : ‫ةريط ال و ىودع ال‬ "Tidak ada penyakit menular dan tidak ada ramalan/nasib sial". (HR. Al Bukhari dalam shahihnya cetakan bersama Fathul Bari (X/215) kitab At Thib. Hadits

nomor : 5757. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al jami' No. 7530) Dan sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wassallam : ‫كرش ةريطلا‬ "Ramalan nasib adalah syirik." " (HR. Ahmad dalam musnadnya (I/440). Abu Daud dalam sunannya (IV/230) kitab at Thib Hadits nomor : 3910. At Tirmidzi dalam sunannya (III/74,75) Abwab As Sair, hadits nomor : 1663. beliau berkata : hadits hasan shahih. Ibnu Majah dalam sunannya (II/1170) Kitab At Thib nomor hadits : 3537. Al Hakim dalam Mustadzraknya (I/17,18) kitab Al Iman beliau berkata : hadits yang shahih sanadnya, stiqah rawi-rawinya dan bukhari dan muslim tidak mengeluarkan dalam shahih keduanya. Dan disepakati Ad Dzahabi dalam talkhishnya. Dishahihkan pula Al Albani di Shahih Al Jami' No : 3960) Begitu juga sama halnya dengan itu adalah anggapan sial di bulan Shafar. Berkata Al Imam An-Nawawi –rahimahullah- dalam menjelaskan hadits Aisyah Radhiyallahu'anha, di atas : "Hadits itu menunjukkan bahwa disunnahkan menikahi, memperistri wanita dan berkumpul/menggauli pada bulan Syawwal dan shahabat-shahabat kami juga menyebutkan sunnahnya hal itu dan mereka berdalil dengan hadits tersebut." Aisyah sengaja berkata seperti tersebut diatas untuk membantah tradisi orangorang jahiliyyah dan apa yang dihayalkan sebagian orang awam pada saat ini, berupa ketidak sukaan mereka menikah dan berkumpul pada bulan Syawwal. Dan hal ini adalah batil dan tidak ada dasarnya, dan termasuk peninggalan jahiliyyah dimana mereka meramalkan hal tersebut dari kata syawwala yang artinya mengangkat ekor ( tidak mau dikawin)." (Syarah shahih Muslim karya Imam an Nawawi (IX/209). Wallaahu a'lam Bishawab. (Kitab Al Bida' Al Hauliyyah karya : Abdullah bin Abdul Aziz At tuwaijiry. Cet. I Darul Fadhilah Riyadh, Hal. 348-349. Penterjemah : Muhammad Ar Rifa'i)

Related Documents