Kuliah 6 Ptp,perdagangan Global

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kuliah 6 Ptp,perdagangan Global as PDF for free.

More details

  • Words: 3,538
  • Pages: 23
Kuliah Pengantar Teknologi Pertanian 6

TEKNOLOGI PERTANIAN DAN PERSAINGAN GLOBAL

mir@print

Menuju Globalisasi dan Perdagangan bebas World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturanaturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya. Walaupun ditandatangani oleh pemerintah, tujuan utamanya adalah untuk membantu para produsen barang dan jasa, eksportir dan importer dalam kegiatan perdagangan.

Indonesia merupakan salah satu negara pendiri WTO dan telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui UU NO. 7/1994. WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995 tetapi sistem perdagangan itu sendiri telah ada setengah abad yang lalu. Sejak tahun 1948, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan telah membuat aturan-aturan untuk sistem ini. Sejak tahun 1948-1994 sistem GATT memuat peraturan-peraturan mengenai perdagangan dunia dan menghasilkan pertumbuhan perdagangan internasional tertinggi.

Pada awalnya GATT ditujukan untuk membentuk International Trade Organization (ITO), suatu badan khusus PBB yang merupakan bagian dari sistem Bretton Woods (IMF dan bank Dunia). Meskipun Piagam ITO akhirnya disetujui dalam UN Conference on Trade and Development di Havana pada bulan Maret 1948, proses ratifikasi oleh lembaga-lembaga legislatif negara tidak berjalan lancar. Tantangan paling serius berasal dari kongres Amerika Serikat, yang walaupun sebagai pencetus, AS tidak meratifikasi Piagam Havana sehingga ITO secara efektif tidak dapat dilaksanakan. Meskipun demikian, GATT tetap merupakan instrument multilateral yang mengatur perdagangan internasional. Masalah-masalah perdagangan diselesaikan melalui serangkaian perundingan multilateral yang dikenal dengan nama “Putaran Perdagangan” (trade round), sebagai upaya untuk mendorong liberalisasi perdagangan internasional.Putaran Perdagangan GATT mengkonsentrasikan negosiasi pada upaya pengurangan tariff. Pada Putaran Kennedy (pertengahan tahun 1960-an) dibahas mengenai tariff dan Persetujuan Anti Dumping (Anti Dumping Agreement). Putaran Tokyo (1973-1979) meneruskan upaya GATT mengurangi tariff secara progresif. Hasil yang diperoleh rata-rata mencakup sepertiga pemotongan dari bea impor/ekspor terhadap 9 negara industri utama, yang mengakibatkan tariff rata-rata atas produk industri turun menjadi 4,7%. Pengurangan tariff, yang berlangsung selama 8 tahun, mencakup unsur “harmonisasi” – yakni semakin tinggi tariff, semakin luas pemotongannya secara proporsional. Putaran Uruguay (1986-1994) yang mengarah kepada pembentukan WTO. Putaran Uruguay memakan waktu 7,5 tahun. Putaran tersebut hampir mencakup semua bidang perdagangan. Putaran Uruguay membawa perubahan besar bagi sistem perdagangan dunia sejak diciptakannya GATT pada akhir Perang Dunia II. Putaran Uruguay memberikan hasil yang nyata. Hanya dalam waktu 2 tahun, para peserta telah menyetujui suatu paket pemotongan atas bea masuk terhadap produk-produk tropis dari negara berkembang, penyelesaian sengketa, dan menyepakati agar para anggota memberikan laporan reguler mengenai kebijakan perdagangan. Hal ini merupakan langkah penting bagi peningkatan transparansi aturan perdagangan di seluruh dunia.

Persetujuan-persetujuan WTO Hasil dari Putaran Uruguay berupa the Legal Text terdiri dari sekitar 60 persetujuan, lampiran (annexes), keputusan dan kesepakatan. Persetujuan-persetujuan dalam WTO mencakup barang, jasa, dan kekayaaan intelektual yang mengandung prinsip-prinsip utama liberalisasi.

Struktur dasar persetujuan WTO, meliputi: • • • •

Barang/ goods (General Agreement on Tariff and Trade/ GATT) Jasa/ services (General Agreement on Trade and Services/ GATS) Kepemilikan intelektual (Trade-Related Aspects of Intellectual Properties/ TRIPs) Penyelesaian sengketa (Dispute Settlements)

Persetujuan-persetujuan di atas dan annexnya berhubungan antara lain dengan sektor-sektor di bawah ini: • Pertanian • Sanitary and Phytosanitary/ SPS • Badan Pemantau Tekstil (Textiles and Clothing) • Standar Produk • Tindakan investasi yang terkait dengan perdagangan (TRIMs) • Tindakan anti-dumping • Penilaian Pabean (Customs Valuation Methods) • Pemeriksaan sebelum pengapalan (Preshipment Inspection) • Ketentuan asal barang (Rules of Origin) • Lisensi Impor (Imports Licencing) • Subsidi dan Tindakan Imbalan (Subsidies and Countervailing Measures) • Tindakan Pengamanan (safeguards) Untuk jasa (dalam Annex GATS): • Pergerakan tenaga kerja (movement of natural persons) • Transportasi udara (air transport) • Jasa keuangan (financial services) • Perkapalan (shipping) • Telekomunikasi (telecommunication)

Prinsip-prinsip Sistem Perdagangan Multilateral MFN (Most-Favoured Nation): Perlakuan yang sama terhadap semua mitra dagang Dengan berdasarkan prinsip MFN, negara-negara anggota tidak dapat begitu saja mendiskriminasikan mitra-mitra dagangnya. Keinginan tarif impor yang diberikan pada produk suatu negara harus diberikan pula kepada produk impor dari mitra dagang negara anggota lainnya. Perlakuan Nasional (National Treatment) Negara anggota diwajibkan untuk memberikan perlakuan sama atas barang-barang impor dan lokal- paling tidak setelah barang impor memasuki pasar domestik. Transparansi (Transparency) Negara anggota diwajibkan untuk bersikap terbuka/transparan terhadap berbagai kebijakan perdagangannya sehingga memudahkan para pelaku usaha untuk melakukan kegiatan perdagangan.

World Food Summit PERTEMUAN Puncak Pangan Dunia dilangsungkan di Roma, Italia, dari tanggal 10 sampai 13 Juni 2002. Pertemuan ini dinamai World Food Summit: Five Years Later (WFS: fly) karena diselenggarakan lima tahun setelah WFS pertama yang menghasilkan Deklarasi Roma tentang Ketahanan Pangan Dunia pada tahun 1996 (Rome Declaration on World Food Security). Sesuai dengan namanya, WFS:fly dirancang untuk mengevaluasi pencapaian sasaran yang telah disepakati dalam Deklarasi Roma 1996, hambatan-hambatan yang dihadapi, dan cara untuk mengatasinya. Kesepakatan utama para kepala negara dan pemerintah dalam WFS tahun 1996 itu berupa komitmen bersama masyarakat dunia untuk mewujudkan ketahanan pangan bagi setiap orang, dan mengahapuskan penduduk yang kelaparan di seluruh negara. Sasaran kuantitatifnya adalah mengurangi jumlah penduduk rawan pangan yang menjadi setengahnya paling lambat tahun 2015. Karena jumlah penduduk rawan pangan di dunia tahun 1996 diperkirakan sekitar 800 juta jiwa, maka sasaran pengurangan sebesar 400 juta jiwa selama 20 tahun, atau rata-rata 20 juta jiwa per tahun.

Pada prinsipnya Deklarasi Roma 2002 ini berupa berbagai pernyataan sikap, kesepakatan, dan komitmen bersama dari para kepala negara dan pemerintahan dalam memperbarui, menegaskan, dan mengupayakan pencapaian sasaran yang telah ditetapkan dalam Deklarasi Roma 1996. Hal ini dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan serta kelaparan. Pernyataan kali ini dituangkan dalam Declaration of WFS: fly yang diberi judul International Alliance Against Hunger atau Aliansi Internasional Mengikis Kelaparan. Judul ini merupakan usul inisiatif dari kelompok G77. Komitmen politik dalam Deklarasi 2002 ini menegaskan pentingnya pembangunan pertanian dan pedesaan dalam mengikis kelaparan dan kemiskinan. Para deklarator menyadari pembangunan pertanian dan pedesaan mempunyai peran kunci dalam pemantapan ketahanan pangan, karena 70 persen penduduk miskin dunia hidup dipedesaan dan mengandalkan sumber penghidupannya dari sektor pertanian. Oleh sebab itu, upaya pencapaian sasaran mengatasi kelaparan dan kemiskinan harus melandaskan pula pada upaya peningkatan produktivitas pertanian dan perbaikan produksi, dan distribusi pangan

WTO dan Ketidakadilan Negara Maju DI Geneva pada 24-28 Februari 2003 berlangsung sidang formal World Trade Organization (WTO), Organisasi Perdagangan Dunia. Sidang yang dihadiri oleh juru runding dari negara berkembang dan negara maju anggota WTO itu akan mendikusikan mandat Deklarasi Doha November 2001, yang pelaksanaannya menemui banyak jalan buntu. Deklarasi Doha memandatkan agar persetujuan di bidang HAKI (hak kekayaan intelektual) selesai pada akhir Desember 2002, masalah pertanian dan jasa-jasa pada akhir Maret 2003. Namun, sampai batas waktu yang ditentukan, kesepakatan di bidang HAKI ternyata belum berhasil ditunaikan, sementara di bidang pertanian dan jasa-jasa, perundingannya juga berjalan sangat alot.

Di bidang pertanian, isu yang menonjol adalah negosiasi yang komprehensif dalam rangka meningkatkan akses pasar (market access), penurunan dan penghapusan semua bentuk subsidi ekspor (export subsidies) dan subsidi domestik (domestic supports) yang selama ini menyebabkan distorsi perdagangan. Perundingan sektor pertanian dalam WTO memang penuh kontroversi karena di dalamnya melibatkan pelaku-pelaku ekonomi besar seperti Amerika Serikat, Masyarakat Eropa, Jepang dan sektor pertanian tradisional di negara-negara berkembang. Sektor pertanian merupakan bidang yang multidimensional, tidak saja menyentuh masalah ekonomi dan perdagangan, tapi bagi negara-negara berkembang sektor ini terkait dengan masalah sosial-kultural. Upaya negara-negara maju untuk memperluas (extend) liberalisasi di sektor pertanian selalu mendapatkan hambatan dari negara-negara berkembang. Sejauh ini, kesepakatan bidang pertanian (Agreement on Agriculture /AOA) di WTO meliputi tiga elemen penting, yaitu market access, domestic supports dan export subsidies.

Kunci dari market access adalah untuk membangun perdagangan dengan rezim tarif (tariffcation), pengurangan tarif (tariff reduction) dan pengikatan besarnya tarif masing-masing produk pertanian (binding of all agricultural tariffs). Tarif bisa dinyatakan dalam ad valorem (persentase) atau dihitung tetap (harga per unit atau jumlah) yang disebut specific duty (specific tariff). Hambatan nontarif seperti penetapan kuota, tarif kuota coluntary export restraint, pelarangan import bans dan berbagai nontarif lainnya (others non-tariff measures) perlahan-lahan harus dihilangkan digantikan dengan hambatan yang sifatnya lebih price based measure karena dianggap lebih transparan, yaitu tarifikasi. Ini dimaksudkan untuk mengurangi distorsi yang dinilai menghambat perdagangan produk-produk pertanian. Berikutnya, hambatan nontarif yang digantikan tarifikasi tadi harus diturunkan rata-rata 36% dari tingkat sebelumnya dalam waktu enam tahun untuk negara maju, bagi negara berkembang berlaku 2/3 dari 36% (24%) dalam jangka 10 tahun. Demikian pula domestic supports akan dihilangkan atau dikurangi secara bertahap sehingga tidak mendistorsi perdagangan. Ada dua tipe domestic supports, yaitu green box dan amber box, Green box adala jenis support yang tidak berpengaruh, atau kalaupun ada pengaruhnya tidak terlalu besar dalam mendistorsi perdagangan. Antara lain pelayanan umum (seperti riset, penanggulangan hama dan penyakit) , stok penyangga pangan, bantuan pangan dalam negeri untuk masyarakat yang memerlukan dan pembayaran langsung kepada produsen. Sedangkan amber box adalah apa saja yang bisa mengurangi kelancaran perdagangan.Antara lain yang berpengaruh pada pembatasan produksi komoditas (Sawit dkk, 2003). Menurut AOA, disiplin dalam pengurangan domestic supports sebesar 20% dari tingkat semula untuk negara maju dan 13,33% untuk negara berkembang dari tahun dasar yang ditetapkan tahun 1986-1988. Penurunan tersebut harus dilaksanakan selama 6 tahun untuk negara maju dan 10 tahun bagi negara berkembang.

Lalu, pengurangan subsidi ekspor (Export subsidies) meliputi (1), subsidi ekspor untuk produk spesifik ( sesuai komitmen). (2) Setiap kelebihan pengeluaran pemerintah untuk subsidi ekspor harus dibatasi sesuai dengan yang disepakati. (3) Subsidi ekspor buat negara berkembang dianggap konsisten dengan special and differential treatment. (4) Subsidi ekspor selain yang harus dikurangi itu, bila dilakukan harus diberitahu terlebih dahulu. Sebab semua jenis subsidi ekspor komoditas pertanian sebenarnya dilarang. Ini bertujuan untuk mengurangi distorsi di pasar intenasional karena pemberian subsidi ekspor dinilai bisa menimbulkan persaingan tak sehat antara negara pemberi subsidi dan negara pengimpor.

Bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, ketentuan WTO itu sangat tidak menguntungkan. Dalih membuat perdagangan akan menjadi lebih kompetitif pun dipertanyakan. Karena pada saat yang sama, negara-negara maju memberikan subsidi kepada petaninya dalam jumlah sangat besar. Subsidi pemerintah Amerika dan Uni Eropa pada produsen jagung dan gandum di negerinya pada 1995 mencapai 15,7 juta dolar, bandingkan dengan subsidi pupuk (sebelum dihapus tahun 1998) pemerintah Indonesia yang cuma Rp 2,1 triliun/tahun. Sementara subsidi ekspor yang diberikan pemerintah AS kepada petani gandum jumlahnya sama dengan 25 kali lebih besar daripada pendapatan negara-negara miskin. Di Pulau Mindanau, Filipina, lebih dari setengah petani jagungnya berpendapat kurang dari 100 dolar per tahun (Watkins, 1999). Dengan pendapatan sekecil itu, bagaimana mungkin mereka akan mampu berkompetisi dengan petani jagung Amerika yang subsidinya mencapai 1000 kali lebih besar dari pendapatannya? Negara-negara maju juga terang-terangan melanggar doktrin pasar bebas yang disponsori WTO dengan melakukan berbagai manuver agar bisa menembus pasar negara-negara minus pangan, seperti strategi proteksi ketat, subsidi kepada petaninya dan bahkan dumping harga di pasar internasional.

Asosiasi negara-negara maju (OECD) memperkirakan, mereka membelanjakan subsidi untuk sektor pertanian sebesar US$ 362,4 miliar pada tahun 1998 (Sawit, dkk, 2002), ekuivalen 12 kali APBN Indonesia 2003. Pada tahun 2000 OECD menyubsidi petani besar sebesar 29 miliar dolar, ekuivalen dengan 15 kali lipat dari nilai beras yang diperdagangkan di pasar internasional pada waktu itu. Akibatnya, terjadilah surplus produksi dan rendahnya harga secara artificial, yang pada gilirannya akan menciptakan instabilitas harga di pasar pangan dunia. Proteksi yang dilakukan terhadap beras di Jepang, pisang di Eropa dan gula di Amerika Serikat merupakan bukti nyata bahwa negara-negara maju justru memberikan proteksi yang berlebihan dibandingkan dengan negara-negara berkembang. Selama ini, negara yang banyak melakukan subsidi ekspor adalah Uni Eropa. Sekitar 83% dari total subsidi ekspor dunia dilakukan oleh Uni Eropa, yang mencapai 60 kali lipat dari subsidi ekspor yang dilakukan Amerika Serikat (Baucus, Max, 1999). Negara-negara maju biasanya memberikan subsidi ekspor untuk beberapa barang sensitif di negaranya seperti gandum, daging sapi, produkproduk hasil unggas, susu dan gula pasir.

Subsidi memang krusial karena selain akan menciptakan struktur perdagangan dunia yang timpang dan tidak adil juga membuat hargaharga terdistorsi. Itulah sebabnya, negara-negara pengekspor hasil pertanian yang tergabung dalam Cairns Groups (Brasil, Argentina dan Australia) protes terhadap kebijakan Presiden George Bush yang pada Mei 2002 lalu mengeluarkan Undang-undang (UU) Pertanian untuk meningkatkan subsidi pertanian. UU tersebut memberikan subsidi sebesar 181,5 miliar dolar selama 10 tahun yang akan berimplikasi pada ekspor dan perdagangan pertanian global. Negeri Paman Sam itu dinilai telah melanggar ketentuanketentuan dalam WTO. Lagi pula, para petani AS, Kanada dan Australia luas usaha taninya antara 100-200 hektare/petani, produksinya cukup efisien dan diperkuat oleh infrastruktur pemasaran dan perdagangan yang cukup baik dan efisien. Ujung dari semua itu akan menghemat biaya pemasaran/ekspor. Bagi Korea Selatan, penghapusan subsidi domestik mengancam ribuan keluarga petani. Apalagi dengan keharusan setiap negara anggota WTO melaukan impor besar sebesar 2-4 % dari kebutuhan domestiknya. Enam juta warga Korea Selatan atau sekitar 14% dari seluruh penduduk hidup dari pertanian, 85% di antaranya adalah petani beras. Dibukanya pasar beras dalam negeri akan menyebabkan ribuan petani menganggur (Jhamtani dan Hanim, 1999). Implikasinya bagi Indonesia pun tidak kalah gawat.

Fakta obyektif menunjukkan, sebagian besar petani kita adalah net consumer. Menurut data BPS, sekitar 10 juta dari 21 juta rumah tangga (RT) tani Indonesia mengolah lahan rata-rata lebih kecil dari 0,25 ha. Ironisnya, mereka bukanlah pemilik lahan, tapi hanya sekadar penggarap murni. Meskipun usaha tani padi petani Indonesia tercatat terefisien di Asia Tenggara dan paling produktif seAsia, konsumen pasti akan memilih beras impor yang harganya hanya 1/6 dari harga beras domestik. Kehidupan mereka akan semakin terancam karena subsidi domestik kepada petani pun ikut dikurangi secara perlahan. Tidak heran, bila FAO dalam salah satu studinya (1994) memperkirakan, dalam jangka pendek, kesepakatan AoA akan menyebabkan harga impor pangan yang harus ditanggung negara-negara berkembang meningkat. Dari 40 miliar dolar pada 1987-1989 menjadi 65 miliar dolar tahun 2000, 15% (3,6 miliar dolar) disebabkan oleh kesepakatan ini. Untuk negara-negara berpendapatan rendah yang kekurangan pangan, kenaikan impor terjadi sebesar 10 miliar dolar, 14% di antaranya akibat kesepakatan AoA. Menyimak realitas tatanan politik-ekonomi pangan global demikian, tim perunding Indonesia di Geneva punya posisi strategis untuk memperjuangkan fairness dalam perdagangan bebas yang diagung-agungkan WTO. Sebagai negara penting tujuan ekspor pangan - karena jumlah penduduk yang besar, Indonesia bisa berperan besar untuk membongkar sikap mendua negara-negara maju, yang di satu sisi menuntut negara-negara berkembang meliberalisasi pasar pangan domestik dan mencabut segala bentuk subsidi dan proteksi, tapi di sisi lain negara-negara maju justru menyubsidi/memproteksi petaninya demikian ketat. Untuk tegaknya arsitektur perdagangan pangan dunia yang adil, free market harus dibarengi komitmen menegakkan fairness tanpa pandang bulu. WTO harus diajari, tegaknya perdagangan yang adil jauh lebih penting dari pasar bebas..

Perkembangan Perundingan WTO dalam Penyusunan Modalitas Pertanian tahun 2005 Dengan disepakatinya Framework dalam rangka penyusunan Modalitas bidang Pertanian seperti tertuang pada Agreement yang disebut juga sebagai Paket Juli pada bulan Agustus 2004, maka perundingan dilanjutkan secara intensif untuk membahas penyusunan modalitas tersebut. Proses perundingan yang berlangsung di Sekretariat WTO di Jenewa melakukan pendekatan yang disebut three-lock-system yaitu proses pembahasan setiap isu didahului dengan pendekatan First atau Initial Reading. Kemudian pembahasan berlanjut semakin rinci melalui pendekatan berturut-turut, Second Reading atau Room D approach dan Detailed technical Work atau Room F approach.

Konferensi Tingkat Menteri (KTM) G-20 di New Delhi

Pada tanggal 17-19 maret 2005, Konferensi Tingkat Menteri (KTM) G-20 diadakan di New Delhi, India dimana Delegasi Indonesia dipimpin oleh Menteri Pertanian. KTM G-20 tersebut berhasil menghasilkan suatu Deklarasi Menteri G-20 (Ministerial Declaration) yang merupakan “political guidance” atau pernyataan politik bagi penyusunan lebih lanjut text Modalita negosiasi bidang pertanian sebagai bentuk implementasi dari July Package. Dalam pilar akses pasar, Indonesia menyuarakan kepentingan G-33 untuk mendapatkan dukungan G-20 yang lebih besar terhadap proposal Special Product (SP) dan Special Safeguard Mechanism (SSM) dan usulan ini diadopsi dalam Deklarasi Menteri tersebut. Kemudian, perjuangan G-20 adalah penurunan secara substansial bantuan domestik negara maju yang mendistorsi pasar (amber box dan de minimis). G-20 juga menekankan perlunya pendisiplinan dalam penggunaan bantuan domestik negara maju yang “less-distorted” blue box dan non-distorted seperti green box. Sedangkan untuk negara berkembang agar diberikan fleksibilitas dalam menggunakan bantuan domestiknya (pada umumnya de minimis dan green box) dalam rangka mempromosikan petani dan sektor pertaniannya. Keterangan: Anggota G-20: Argentina, Brazil, Bolivia, Chile, China, Cuba, Egypt, Guatemala, India, Indonesia, Mexico, Nigeria, Pakistan, Paraguay, Philippines, South Africa, Tanzania, Thailand, Uruguay, Venezuela, dan Zimbabwe.

Subsidi domestik Negara maju harus memotong 20% dari total subsidi domestiknya pada tahun pertama implementasi perjanjian pertanian. Pemberian subsidi untuk kategori blue box akan dibatasi sebesar 5% dari total produksi pertanian pada tahun pertama implementasi. Negara berkembang dibebaskan dari keharusan untuk menurunkan subsidi dalam kategori de minimis asalkan subsidi tersebut ditujukan untuk membantu petani kecil dan miskin. Subsidi ekspor Semua subsidi ekspor akan dihapuskan dan dilakukan secara paralel dengan penghapusan elemen subsidi program seperti kredit ekspor, garansi kredit ekspor atau program asuransi yang mempunyai masa pembayaran melebihi 180 hari. Memperketat ketentuan kredit ekspor, garansi kredit ekspor atau program asuransi yang mempunyai masa pembayaran 180 hari atau kurang, yang mencakup pembayaran bunga, tingkat suku bunga minimum, dan ketentuan premi minimum. Implementasi penghapusan subsidi ekspor bagi negara berkembang yang lebih lama dibandingkan dengan negara maju. Hak monopoli perusahaan negara di negara berkembang yang berperan dalam menjamin stabilitas harga konsumen dan keamanan pangan, tidak harus dihapuskan. Aturan pemberian bantuan makanan (food aid) diperketat untuk menghindari penyalahgunaannya sebagai alat untuk mengalihkan kelebihan produksi negara maju. Beberapa aturan perlakuan khusus dan berbeda (S&D) untuk negara berkembang diperkuat. Akses Pasar Untuk alasan penyeragaman dan karena pertimbangan perbedaan dalam struktur tarif, penurunan tarif akan menggunakan tiered formula. Penurunan tarif akan dilakukan terhadap bound rate. Paragraf mengenai special products (SP) dibuat lebih umum dan tidak lagi menjamin jumlah produk yang dapat dikategorikan sebagai sensitive product. Negara berkembang dapat menentukan jumlah produk yang dikategorikan sebagai special products berdasarkan kriteria food security, livelihood security, dan rural development.

Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Cairns Group di Cartagena

KTM Cairns Group (CG) ke-27 diadakan pada tanggal 30 Maret sampai 1 April 2005 di Cartagena, Kolombia. Delegasi Indonesia yang semula direncanakan oleh dipimpin oleh Menteri Pertanian, digantikan oleh Direktur Jenderal BPPHP. Sidang yang didahului dengan Senior Official Meeting (SOM) menghasilkan Deklarasi Para Menteri yang dinamakan Ministerial Communiqué. Dalam proses penyusunan Communiqué tersebut, Indonesia menggarisbawahi pentingnya memperhitungkan isu-isu pembangunan yang dihadapi negara berkembang terutama yang menyangkut ketahanan pangan (food security), kesejahteraan petani (livelihood security), dan pembangunan pedesaan (rural development). Posisi Indonesia diadopsi dalam Communiqué tersebut pada pilar akses pasar (Market Access) menggarisbawahi S&D termasuk didalamnya Special Products (SP) dan Special safeguard Mechanism (SSM) untuk membantu negara-negara berkembang dalam menghadapi liberalisasi pasar. Pada pilar bantuan domestik (Domestic Support), isu de minimis yang diusulkan Indonesia pada akhirnya dapat diadopsi juga dalam CG Communiqué. KTM CG ke 27 di Cartagena berjalan dengan baik dan tampaknya CG mulai dapat mengakomodasikan kepentingan NB, yang saat ini merupakan mayoritas anggota CG. Hal ini terbukti dengan diakomodasikannya usulan NB yang disuarakan oleh Indonesia terutama yang terkait dengan pentingnya S&D dalam pilar market access termasuk konsep SP dan SSM dan dalam pilar domestic support untuk melakukan pengecualian penurunan de minimis. Anggota G-33: Antigua dan Barbuda, Barbados, Belize, Benin, Botswana, China, Congo, Coted’Ivore, Cuba, Dominican Republic, Grenada, Guyana, Haiti, Honduras, India, Indonesia, Jamaica, Kenya, Rep of Korea, Madagascar, Mauritius, Mongolia, Mozambique, Nicaragua, Nigeria, Pakistan, Panama, Peru, Philippines, Saint Kitts and Nevis, Saint Lucia, Saint Vincent and the Grenadines, Senegal, Sri Lanka, Suriname, Tanzania, Trinidad and Tobago, Turkey, Uganda, Venezuela, Zambia, and Zimbabwe

Pertemuan Informal G-33 di Jakarta Informal Breakfast Gathering of G-33* dilakukan pada tanggal 23 April 2005 pada kesempatan KTT Asia-Afrika ke-50 di Jakarta. Pertemuan tersebut dilaksanakan secara bersama-sama oleh Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian RI, sebagai Koordinator G-33 dan dihadiri oleh 28 negara anggota G-33. Dalam Pertemuan tersebut Menteri Perdagangan mengajak anggota G-33 untuk mengadakan Konferensi Tingkat Menteri G-33 dan mengusulkan rencana pelaksanaannya di Jakarta pada awal Juni 2005. Dalam pandangannya, Menteri Pertanian menyatakan bahwa pertanian di negara berkembang Asia, Afrika, dan Amerika Selatan sebagai agriculture: is a way of life. Perundingan pertanian akan berhasil jika WTO dapat menghasilkan kesepakatan yang mendukung upaya pengurangan kemiskinan dalam pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Demi tercapainya hal tersebut, G-33 harus memainkan peranan penting untuk memperjuangkan posisi negara berkembang. Selanjutnya Menteri Pertanian menganggap pertemuan ini merupakan langkah penting bagi negara berkembang untuk membangun kepercayaan dan keyakinan tidak hanya diantara negara G-33 tetapi juga dengan Kelompok negara berkembang lainnya. Dalam kesempatan tersebut para Menteri G-33 mendukung usaha yang dilakukan G-33 di perundingan WTO pertanian dan mendukung rencana pelaksanaaan KTM tersebut. Para Menteri juga menggarisbawahi pernyataan Menteri Pertanian tentang kepercayaan dan keyakinan di antara anggota.

Peran Teknologi Pertanian untuk Penegembangan Agroindustri di Pasar Global Selama ini kontribusi sektor pertanian terhadap penerimaan devisa lebih banyak diperoleh dari produk segar (primer) yang relatif memberi nilai tambah kecil dan belum mengandalkan produk olahan (hilir) yang dapat memberikan nilai tambah lebih besar, walaupun pada akhir-akhir ini ekspor produk olahan telah semakin besar. Dengan mengespor produk primer, maka nilai tambah yang besar akan berada di luar negeri, padahal sebaliknya bila Indonesia mampu mengekspor produk olahannya, maka dilai tambah terbesarnya akan berada di dalam negeri. Sebagian besar komoditas pertanian masih ekspor berupa bahan mentah, hanya 25-29 % yang dalam bentuk olahan.

Teknologi Proses berkaitan dengan Agroindustri Macam Teknologi ; Teknologi Sederhana :Pengeringan Teknologi Sedang : reaksi hidrolisis Teknologi Tinggi : bioteknologi Peran Teknologi Proses ; 7. Peningkatan dan perbaikan teknologi pengolahan, pengemasan, penyimpanan dan tranportasi 8. Peningkatan Mutu dan tatacara standarisasi mutu -- SNI 9. Penerapan sistim produk bersih – prinsip ; peningkatan efisiensi dan keuntungan/kinerja proses (produk rentan : ikan, tuna, udang, buahbuahan, minuman, kosmetik, produk karet, kulit&, kertas & produknya, kayu dan produknya) 10. Strategi Bisnis (unggul harga, unggul mutu, unggul segmen pasar, unggul citra, unggul waktu antar)

Related Documents

Bgi Kuliah 6
June 2020 8
Kuliah Sem4 2008-6
May 2020 15
Kuliah 5-6.pptx
May 2020 14
Kuliah 6-7
December 2019 22