Resensi Buku Puisi: “Iaku” Karya Ari Kpin BERBAGAI CARA MERINDU Judul
: “Iaku”
ISBN
: 978-602-60309-3-1
Penulis
: Ari Kpin
Penerbit
: Rumput Merah
Tahun Terbit : 2018 Cetakan
: Pertama, September 2018
Tebal Buku
: 112 + iv halaman
“Iaku” adalah sebuah puisi yang dijadikan judul utama dalam buku puisi karya Ari Kpin. Ia, meninggalkanku begitu saja beserta kenangan yang tersisa. Aku, hidup bersama memori yang ditinggalkannya. Begitu kiranya kisah dalam puisi yang berjudul “iaku” ini. Di dalam buku puisi ini, terdapat 99 puisi. Jika menilik isi puisi secara keseluruhan, temanya beragam, seperti rasa cinta, rasa rindu, dan kehilangan. Namun, yang membuat buku puisi ini menarik adalah adanya ciri khas bahasa daerah yang hampir terdapat pada setiap puisi. Lalu, bahasa yang digunakan relatif mudah dimengerti, sehingga pembaca tidak perlu bersusah payah memahami puisi tersebut. Sementara itu, berbagai judul dalam puisi sangat unik, sehingga membuat pembaca tertarik untuk membaca. Ari Kpin merupakan seorang penggiat seni. Ia pernah menjadi seorang komposer, instruktrur musik, penulis buku musikalisasi puisi (Tuntunan dan Pembelajaran), pemain & anggota Indonesian Philharmonic Orchestra [1999-2004], pencipta lagu Mars & Hymne Politeknik Negeri Bandung [Polban ITB], dan konsultan ahli KGF [2007-sekarang]. Artinya, Ari Kpin memang sudah lama bergelut dalam dunia seni yang dekat dengan sastra. Tak heran ia dapat membuat buku puisi yang berjudul Iaku. Ari Kpin juga bergabung dalam sanggar seni yang mengikrarkan diri sebagai kelompok musik independen. Awalnya, kelompok terbentuk dari hobi yang sekadar nongkrong bersama. Lalu, obrolan dalam secangkir kopi yang selalu ada, kemudian menjadi ide untuk membentuk sebuah kelompok musik nyentrik, tapi konsisten dengan kekaryaannya. Kelompok musik ini selalu melantunkan puisi dengan melodi yang mengalun indah, membuat keindahan puisi yang dibawakan semakin bertambah.
Beberapa puisi dalam buku ini menyampaikan rasa rindu yang disajikan dalam berbagai cara, seperti pada puisi yang berjudul “Berbulir Rindu Menghujani.”
tak ada musim salju di sini namun sekejapkan tengok ini ya! Ini berbulir rindu paling kini menghujani : bentuknya serupa kapas, namun berwarna merah darah (“Berbulir Rindu Menghujani”, hlm. 62) Ari Kpin menyampaikan rasa rindu dengan cara yang berbeda dalam setiap puisinya. Dalam puisi ini, terdapat kata menghujani setelah frasa berbulir rindu. Hujan sebenarnya hanya butiran air, tetapi butiran air tersebut turun secara serempak dan banyak, sehingga semakin lama semakin terasa besar. Seperti itulah rindu yang digambarkan dalam puisi ini, perlahan-lahan semakin besar dan mendalam. Selain itu, puisi ini mengibaratkan rindu seperti kapas, terasa lembut, tapi menyakitkan yang diibaratkan dengan warna merah darah. Sementara itu, rasa rindu lain terdapat dalam puisi yang berjudul “Adakah Kau Tahu?”
sejak garis-garis namamu
resah
menorehkan
aku lantas menjadi perindu
adakah kau tahu? bumi yang kemarau
ya senyatanya demikian
tak peduli rindunya pada air
rindu paling purba dari cinta
bisa serupa hujan, belaian samudra, elusan sungai, atau kecup embun
sekian warsa suram bersama angan
apapun bentuknya
kini pendar menujumu
bumi basah karenanya
begitupun rinduku padamu
(“Adakah Kau Tahu?”, hlm. 69)
Berbeda dengan puisi sebelumnya, puisi “Adakah Kau Tahu?” yang juga berkisah mengenai rindu, diibaratkan dengan bumi kemarau yang merindukan air. Selanjutnya, bumi yang merindukan air bisa serupa hujan, belaian samudra, elusan sungai, atau kecup embun. Artinya, rasa rindu itu dapat berbentuk apa saja dan dapat dilatarbelakangi oleh peristiwa apa saja. Apapun bentuk dan peristiwanya, rasa rindu pastilah membuat seseorang terus mengingatnya. Selain itu, rasa rindu selanjutnya disajikan dengan menarik dalam puisi berjudul “Fragmen Nyamuk.”
kemarin malam
sebab nadimu tak lagi mengandung cinta
tepat sebelum aku reup peureum
hingga darahmu henteu matak uruy deui.”
seekor nyamuk berbisik padaku:
lalu ngiung-ngiung-ngiung…
“Malam ini
sang reungit pergi tanpa sempat kukepruk
tak ada lagi seseorang yang merindukanmu
menghilang seperti tentang rumah
apalagi mencintai. Maka akan kubiarkan kau tibra
mimpi
tentangmu,
tentang kanak-kanak berwajah kukau. (“Fragmen Nyamuk”, hlm.5)
Puisi “Fragmen Nyamuk” berbeda dengan puisi lain yang juga mengungkapkan rasa rindu. Puisi ini disampaikan dengan cara yang berbeda. Perbedaan ini justru membuat puisi “Fragmen Nyamuk” sangat menarik. Rasa rindu dalam puisi ini disampaikan menggunakan bahasa Sunda sehingga akan terasa lebih dekat dengan pembaca, khususnya pembaca yang berasal dari Sunda. Selain itu, penggambaran rasa rindu ini dianalogikan dengan peristiwa yang melekat dengan suasana di Desa, yaitu ketika datangnya nyamuk. Beberapa puisi dalam buku ini juga menggunakan bahasa Sunda dan ada yang mencerminkan suasana seperti berada di pedesaan. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh daerah asal penulis, yaitu dari Garut, salah satunya terdapat pada puisi yang berjudul “Fragmen Nyamuk.”
Buku puisi karya Ari Kpin ini tentu saja turut berpengaruh terhadap perkembangan kesusastraan Indonesia. Ari Kpin menambah sejarah dalam perkembangan kesusastraan Indonesia dengan menyumbangkan karya puisinya yang memiliki ciri khas bahasa daerah. Karya puisi yang memiliki ciri khas bahasa daerah belum banyak dalam kesusastraan Indonesia. Oleh karena itu, buku karya Ari Kpin dapat memiliki posisi tersendiri dalam upaya membantu perkembangan kesusastraan Indonesia. Tiga dari 99 puisi di dalam buku ini mengungkapkan berbagai rasa rindu dengan cara yang berbeda. Setiap cara memiliki nilai rasa romantisnya tersendiri. Selain itu, buku ini didominasi oleh tema yang mengungkapkan ekspresi perasaan seseorang. Sementara itu, ada puisi lain yang temanya tidak hanya sekadar mengenai perasaan. Berbagai tema dalam puisi ini disajikan dengan penyusunan yang acak, tidak didasarkan pada kesamaan tema. Oleh karena itu, jika membaca secara berurutan, pembaca harus terus menyesuaikan dengan tema puisi yang berbeda setiap urutannya. Meskipun demikian, puisi ini enak dibaca, apalagi berbicara tentang rindu yang tak berkesudahan. ***(Yunita Fauziyah).