Ksfk Ggk Kelas A.docx

  • Uploaded by: Lee Auliea
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ksfk Ggk Kelas A.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,351
  • Pages: 43
GAGAL GINJAL KRONIK Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kapita Selekta Farmasi Klinik

Disusun oleh : Almira Aqmarina F.

1061811004

Ayuk Tri Afni

1061811022

Dian Fajar R.

1061811032

Fatimatuz Zahroh

1061811042

Fikriyah Melinda Sari

1061811044

Herlina Alfiany F.

1061811050

Kelas : A

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI “YAYASAN PHARMASI” SEMARANG 2018

BAB I PENDAHULUAN Ginjal adalah salah satu organ utama sistem kemih atau uriner (tractus urinarius) yang berfungsi menyaring serta ultrafiltrasi yaitu proses ginjal dalam menghasilkan urine, keseimbangan elektrolit, pemeliharaan keseimbangan asam basa, eritropoiesis yaitu fungsi ginjal dalam produksi eritrosit, regulasi kalsium dan fosfor atau mengatur kalsium serum dan fosfor, regulasi tekanan darah, ekskresi sisa metabolik dan toksin (Baradewo,Wilfriad & Yakobus, 2009). Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronik (PGK) atau yang sering disebut juga dengan gagal ginjal kronis (GGK) adalah kerusakan pada ginjal yang menyebabkan ginjal tidak dapat membuang racun dan produk sisa dari darah, dengan ditandai adanya protein dalam urin serta penurunan laju filtrasi glomerulus yang berlangsung selama lebih dari 3 bulan (Black & Hawks, 2009). Sebanyak 10% dari populasi dunia terkena PGK, dan jutaan diantaranya meninggal setiap tahun karena pengobatan yang tidak terjangkau (World Kidney Day, 2015). Penyakit ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak mampu mempertahankan lingkungan dalam yang cocok untuk kelangsungan hidup. Kerusakan pada kedua ginjal bersifat ireversibel. Oleh karena itu, upaya yang harus dilaksanakan adalah diagnosis dini, pencegahan, dan pengobatan yang efektif terhadap penyakit ginjal kronik, dan hal ini dimungkinkan karena berbagai faktor risiko untuk penyakit ginjal kronik dapat dikendalikan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Ginjal 2.1.1 Anatomi Fisiologi Ginjal Ginjal merupakan sepasang organ berbentuk kacang yang terletak di bagian ventral dinding perut bagian dorsal, di bawah diafragma dan masingmasing terletak pada kedua sisi kolom tulang belakang (Ganiswara dkk., 2005). Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan ginjal kiri karena tertekan ke bawah oleh hati. Ginjal terletak diluar rongga peritonium di bagian posterior, sebelah atas abdomen, masing-masing satu disetiap sisi. Kutub atasnya terletak setinggi iga kedua belas. Sedangkan kutub atas ginjal kiri terletak setinggi iga kesebelas (Price& Wilson, 2005). Setiap ginjal terdiri dari sekitar satu juta unit fungsional yang disebut nefron. Ukuran ginjal berbagai spesies ditentukan oleh jumlah nefron yang membentuknya. Panjang ginjal yaitu sekitar 12-13 cm, dengan lebar 5-7 cm, tebalnya 2,5 dan beratnya sekiar 150 gram kira-kira sebesar kepalan tangan manusia dewasa (Ganiswara dkk, 2005). Ginjal dibungkus oleh kapsul yang terbuka kebawah. Diantara ginjal dan kapsul terdapat jaringan lemak yang membantu melindungi ginjal dari goncangan.Ukurannya tidak berbeda menurut bentuk dan ukuran tubuh. Perbedaan panjang dari kutub ke kutub kedua ginjal (dibandingkan dengan pasangannya) yang lebih dari 1,5 cm (0,6 inci) atau perubahan bentuk merupakan tanda yang penting karena sebagian besar manifestasi penyakit ginjal adalah perubahan struktur (Price & Wilson, 2005).

Gambar 1. Anatomi Ginjal Secara umum ginjal terdiri dari bagian korteks, medulla, columna renalis, pepcesus renalis, hilus renalis, papilla renalis, calyx minor, calyx major dan pelvis renalis.Pada bagian korteks dan medulla terdapat nefron yang merupakan unit kerja fungsional ginjal. Dalam setiap ginjal terdapat sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi sama. Dengan demikian, kerja di ginjal dapat dianggap sebagai jumlah total dari fungsi semua nefron tersebut. Setiap nefron terdiri dari kapsula Bowman, yang mengitari rumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, dan tubulus kontortus distal, yang mengosongkan diri ke duktus pengumpul. Orang yang normal masih dapat bertahan (walaupun dengan susah payah) dengan jumlah nefron total. Dengan demikian, masih mungkin untuk menyumbangkan satu ginjal untuk transplatasi tanpa membahayakan kehidupan. Kapsula Bowman merupakan suatu invaginasi dari tubulus proksimal. Terdapat ruang yang mengandung urine antara rumbai kapiler dan kapsula Bowman, dan ruang yang mengandung urine ini dikenal dengan nama ruang Bowman atau ruang kapsular (Price & Wilson, 2005).

2.1.2 Fungsi Ginjal a. Ekskresi bahan yang tidak diperlukan

Ekskresi produk buangan yang meliputi produk sampingan dari metabolisme karbohidrat misal: air, asam) dan metabolisme protein (misal: urea, asam urat, kreatinin), bersama dengan bahan yang jumlahnya melebihi kebutuhan tubuh (misal: air). b. Pengaturan homeostatis Misal keseimbangan cairan dan elektrolit dan keseimbangan asam-basa. Ginjal berperan penting dan secara aktif mempertahankan keseimbangan ionik, osmotik, pH, dan keseimbangan cairan yang paling tepat di seluruh bagian tubuh. c. Biosintesis dan metabolisme hormon Meliputi biosintesa (misal : renin, aldosteron, erythopoetin dan 1,25 dihidroksi vitamin D). Serta metabolisme hormon (misal : insulin, steroid, dan hormon-hormon tiroid). Oleh karena itu, ginjal terlibat dalam pengaturan tekanan darah, metabolisme kalsium, dan tulang serta eritopoesis d. Pengaturan kebutuhan air dan elektrolit serta kesetimbangan asam – basa. e. Berperan dalam pengaturan (hormonal) volume cairan ekstrasel dan tekanan darah arteri f. Sintesis eritropoietin dan dengan demikian mempengaruhi pembentukan eritrosit. g. Berperan dalam metabolisme kalsium dan fosfat (Mutschler, 1991).

2.2 Tinjauan Tentang Gagal Ginjal 2.2.1 Definisi Penyakit Gagal Ginjal Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) mendefinisikan penyakit Gagal Ginjal Kronik/GGK (Chronic Kidney Disease/CKD) atau juga disebut insufisiensi ginjal kronik (Chronic Renal Insufficiency) sebagai ketidaknormalan struktur atau fungsi ginjal selama lebih dari 3 bulan yang progresif ke arah gagal ginjal terminal. KDIGO juga menjelaskan kriteria lain dari GGK ialah sebagai berikut (KDIGO, 2012) : 1) Kerusakan ginjal yang ditandai satu atau lebih dari penanda berikut: (a) albuminuria (AER ≥ 30 mg/24 jam; ACR ≥ 30 mg/g);

(b) adanya sedimen urin; (c) abnormalitas elektrolit yang disebabkan oleh penyakit tubular; (d) riwayat transplantasi ginjal. 2) Penurunan nilai GFR hingga kurang dari 60 ml/menit/1,73m2. Klasifikasi : Menurut Joy et al., 2008. Berdasarkan jenisnya, penurunan fungsi ginjal dibagi menjadi 2 kategori besar yaitu : 1) Gagal Ginjal Akut (GGA) yaitu gangguan ginjal yang disebabkan oleh menurunnya fungsi ginjal secara cepat dalam beberapa hari atau minggu. 2) Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan yang progresif dari fungsi ginjal yang terjadi setelah beberapa bulan atau tahun dan ditandai oleh penggantian arsitektur ginjal (bentuk-bentuk sel ginjal) yang normal secara perlahan-lahan dengan jaringan fibrosis intertisial. Penyakit ginjal yang progresif atau nefropati secara umum disebut GGK atau kedua fase tersebut sering digunakan secara bergantian. Gagal ginjal kronik didefinisikan sebagai kondisi yang ditandai dengan uremia, anemia, asidosis, osteodistrofi, neuropati dan penurunan kondisi secara keseluruhan yang diikuti oleh hipertensi, udema dan lebih rentan terkena infeksi. Hal ini disebabkan oleh penurunan yang bermakna sistem ekskresi, homeostatik, metabolik dan sistem endokrin ginjal yang berlangsung dalam beberapa bulan atau tahun. Tanda dan gejala gagal ginjal kronik secara umum terlihat ketika laju filtrasi glomerulus telah menurun dibawah 15mL/menit. Penyebab gagal ginjal kronik yang paling umum adalah diabetes dan hipertensi, disamping penyebab lainnya seperti progresifitas penyakit infeksi saluran kemih, glomerulonefritis, penyakit ginjal polikistik, makanan, penyakit batu ginjal konginetal (bawaan sejak lahir) dan juga karena obat-obatan dan toksin (Anonim, 2006). Menurut Anonim, 2006. Deteksi awal dan pengobatan secepat mungkin penyakit gagal ginjal kronik adalah kunci mencegah penyakit ini berkembang menjadi gagal ginjal terminal. Beberapa tes yang dapat dilakukan untuk deteksi awal penyakit ginjal adalah : 1) Pengukuran tekanan darah

2) Tes proteinuria, bila terdapat protein dalam urin kemungkinan telah terjadi kerusakan pada sistem ginjal. Hasil positif juga bisa terjadi pada seseorang yang demam atau seseorang yang baru saja melakukan pekerjaan berat. 3) Uji kreatinin, untuk uji ini diperlukan juga data mengenai umur, ras, jenis kelamin dan faktor lain untuk menghitung laju filtrasi glomerulus (Glomerulus Filtration Rate/GFR) yang akan menunjukan fungsi ginjal seseorang. Perhitungan kliren kreatinin dari konsentrasi kreatinin serum 1) Menurut Traub SL dan Johnson CE, untuk anak 1 – 18 tahun

Keterangan; Clcr

= kreatinin klirens dalam mL/min/1,73 m2

Scr

= serum kreatinin dalam mg/dL (Kementrian Kesehatan RI, 2011)

2) Metode Jelliffe Memperhitungkan umur pasien, pada umumnya dapat dipakai untuk pasien dewasa yang berumur 20-80 tahun. Dengan metode ini makin tua pasien makin kecil klirens kreatinin untuk konsentrasi kreatinin serum yang sama.  Pria :

 Wanita:

Keterangan; Serum kreatinin dalam mg/dL; Umur dalam tahun (Kementrian Kesehatan RI, 2011) 3) Rumus Cockroft Gault Rumus ini merupakan cara yang sangat berguna untuk memperkirakan kadar kreatinin serum dan mencatat faktor yang mempengaruhi massa otot penderita (usia, jenis kelamin dan berat badan) dan memungkinkan perkiraan kliren kreatinin dari rata-rata populasi.

Estimasi Clearance Creatinin  Pria :

 Wanita:

Keterangan : Umur dalam tahun Berat badan dalam kg Serum Creatinin dalam mg/dL (Kementrian Kesehatan RI, 2011) 

Estimasi Clearance Creatinin

Keterangan : Umur dalam tahun Berat badan dalam kg Serum Creatinin dalam μmol/liter Konstan : untuk pria = 1,23; untuk wanita = 1,04 (Royal Pharmaceutical Society, 2015) Penyakit gagal ginjal kronis merupakan suatu penyakit dengan gangguan fungsi dan struktur ginjal. Gagal ginjal kronis jarang langsung dikenali, biasanya penyakit ini terjadi bersamaan dengan penyakit kardiovaskular dan diabetes. Klasifikasi gagal ginjal kronik menurut National Kidney Foundation Kidney Disesase 2002, dibagi menjadi 5 kategori dengan melihat indeks fungsi ginjal melalui laju filtrasi glomerulus (NICE, 2014). Laju filtrasi glomerulus adalah indeks fungsi ginjal yang mencerminkan volume filtrat yang masuk ke dalam kapsula Bowman per satuan waktu.

Tabel 1. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik Berdasarkan Laju Filtrasi Glomerulus

(Di Piro dkk, 2015) 2.2.2 Etiologi Penyakit jaringan ginjal kronis seperti glomerulonefritis. Glomerulonefritis atau yang biasa disebut radang pada glomerulus (unit penyaring ginjal) dapat merusak ginjal, sehingga ginjal tidak bisa lagi menyaring zat-zat sisa metabolisme tubuh dan menjadi penyebab gagal ginjal. Faktor – faktor yang dapat menjadi penyebab penyakit gagal ginjal kronik sebagai berikut : (Dipiro et al., 2008) 1. Suspectibility Factor Faktor ini belum dibuktikan secara langsung dapat menjadi penyebab gagal ginjal kronik, Suspectibility factor

terdiri dari umur, derajat

pendidikan, penurunan berat ginjal dan riwayat keluarga pernah menderita gagal ginjal kronik. 2. Initiation Factor Faktor ini menyebabkan kerusakan ginjal secara langsung akibat dari modifikasi terapi farmakologi dari suatu penyakit. Penyakit yang biasanya menjadi penyebab antara lain diabetes mellitus, hipertensi, penyakit autoimun seperti lupus, Lupus ini terjadi ketika antibodi dan komplemen terbentuk di ginjal yang menyebabkan terjadinya proses peradangan yang

biasanya menyebabkan sindrom nefrotik (pengeluaran protein yang besar) dan dapat cepat menjadi penyebab gagal ginjal, infeksi saluran kemih, obstruksi saluran kemih, dan batu ginjal. Menurut penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, tiga penyakit utama yang menyebabkan gagal ginjal kronik adalah diabetes mellitus, hipertensi dan penyakit glomerular. 3. Progression Factor Faktor ini merupakan faktor penunjang kegagalan ginjal pada pasien yang telah mengalami kerusakan ginjal sebelumnya. Faktor penunjang terdiri dari proteinurea, kenaikan tekanan darah, diabetes mellitus, obesitas, hiperlipidemia dan merokok. Semua faktor tersebut akan merusak jaringan ginjal secara bertahap dan menyebabkan gagalnya ginjal. Apabila seseorang menderita gagal ginjal akut yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan, maka akan terbentuk gagal ginjal kronik. 2.2.3 Patofisiologi Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Ginjal mempunyai kemampuan untuk beradaptasi, pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang di perantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, kemudian terjadi proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, gejala klinis yang serius belum muncul, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan dimana basal LGF masih normal atau malah meningkat. Kemudian

secara perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum (Daryani, 2011). 2.2.4 Pengaruh Gangguan Fungsi Ginjal Ada beberapa kelainan yg umum terjadi pada beberapa penyakit ginjal. Sering kali pada beberapa jenis penyakit ginjal ditemukan adanya protein dalam urine, leukosit, sel darah merah dan silinder (potongan – potongan protein yang mengendap di tubulus dan di dorong oleh urine ke dalam vesika urineria. Akibat penyakit ginjal lainnya yang juga penting ialah hilangnya kemampuan pemekatan atau pengenceran urine, uremia, asidosis, dan retensi Na+ abnormal (Ganong, 2003). 2.2.5 Tanda dan Gejala Gejala klinis yang terjadi pada penderita Gagal Ginjal Kronik, yaitu : 1) Penderita tampak sangat menderita dan letargi disertai mual, muntah, diare, pucat (anemia), dan hipertensi. 2) Nokturia (buang air kecil di malam hari). Pembengkakan tungkai, kaki atau pergelangan kaki. Pembengkakan yang menyeluruh (karena terjadi penimbunan cairan). 3) Berkurangnya rasa, terutama di tangan atau kaki. 4) Tremor tangan. 5) Kulit dari membran mukosa kering akibat dehidrasi. 6) Nafas mungkin berbau urin (foto uremik), dan kadang-kadang dapat dijumpai adanya pneumonia uremik. 7) Perubahan pengeluaran produksi urine (sedikit, dapat mengandung darah, berat jenis sedikit rendah, yaitu 1.010 gr/ml) 8) Peningkatan konsentrasi serum urea (tetap), kadar kreatinin, dan laju endap darah (LED) tergantung katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal, serta asupan protein, serum kreatinin meningkat pada kerusakan glomerulus.

9) Pada kasus yang datang terlambat gejala komplikasi GGA ditemukan lebih menonjol yaitu gejala kelebihan cairan berupa gagal jantung kongestif, edema paru, perdarahan gastrointestinal berupa hematemesis, kejangkejang dan kesadaran menurun sampai koma. 2.2.6 Diagnosa Klinis Diagnosis penyakit gagal ginjal kronik umumnya dilakukan melalui pemerikasaan rutin urin dan darah. Melalui pemeriksaan rutin, terutama pada orang-orang beresiko tinggi, akan mudah untuk mendeteksi jika ada penurunan fungsi ginjal. Jika memang dicurigai positif, maka tes tersebut dapat diulang untuk memastikan diagnosis. Macam-macam tes untuk mendeteksi kadar kerusakan ginjal : a. Tes urin Salah satu gejala penyakit ginjal adalah terdapat protein atau darah dalam urin. Perubahan pada urin ini dapat muncul 6-10 bulan atau lebih lama sebelum gejala timbul. b. Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) Laju filtrasi gromerulus / LFG (Gromerular Filtration Rate / GFR) adalah pengukuran terhadap seberapa baik ginjal bekerja berdasarkan jumlah kotoran yang berhasil disaring ginjal dari darah. Hasil perkiraan laju filtrasi glomerulus normal adalah 90 ml cairan per menit. c. Pemindaian Dalam kasus gagal ginjal stadium lanjut, ginjal dapat mengkerut dan berbentuk tidak utuh. Sebelum perubahan bentuk ginjal tersebut terjadi, pemindaian digunakan untuk mengetahui apakah terjadi penymbatan tidak normal dalam aliran urin pasien. Proses ini dilakukan dengan alat seperti Computerised Tomography (CT) Scan atau pemindaian Resonance Imaging (MRI).

Magnetic

d. Biopsi ginjal Biopsi dilakukan dengan mengambil sampel kecil dari jaringan ginjal. Deteksi kerusakan ginjal kemudian dilakukan dengan memeriksa sel-sel ini dengan mikroskop. Penting untuk melakukan deteksi dini PGK yang dapat dilihat dalam diagram di bawah ini: Siapa yang berisiko tinggi menderita penyakit

Apa yang perlu dilakukan?

Seberapa sering?

ginjal? Umur >50 tahun • Diabetes

Tiap 12 bulan

• Tekanan darah

• Hipertensi

• Urine dipstick

• Perokok

(microalbuminuria jika

• Obesitas • Riwayat keluarga menderita penyakit ginjal Keterangan

Periksa

diabetes) • CCT atau eGFR

: CCT = Creatinin Clearens Test eGFR = Perkiraan laju filtrasi glomerulus

2.2.7 Tujuan, Strategi dan Penatalaksanaan Terapi 2.2.7.1 Tujuan Terapi a) Memperlambat kerusakan nefron lebih lanjut, terutama dengan restriksi protein dan obat-obat antihipertensi. b) Mencegah atau membatasi komplikasi. c) Meningkatkan kelangsungan hidup. d) Menurunkan morbiditas dan mortalitas. e) Meningkatkan kualitas hidup. f) Meminimalkan komplikasi. g) Memperlambat perkembangan penyakit. h) Mengobati penyebab utama gagal ginjal.

2.2.7.2 Strategi Terapi a) Menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit. b) Menghilangkan metabolit. c) Meningkatkan output urine dan GFR. 2.2.7.3 Tata Laksana Terapi Tujuan

utama

penatalaksanaan

terapi

adalah

untuk

menunda

perkembangan PGK dan meminimalkan perkembangan atau tingkat keparahan komplikasi yang ada (Wells dkk., 2015). Terapi untuk PGK dapat dilakukan secara non farmakologi dan farmakologi. Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi (Suwitra, 2009): a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya. Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Bila LFG sudah menurun sampai 20 – 30 % dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat. b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi kormobid. Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien gagal ginjal kronik dimana hal ini untuk mengetahui kondisi kormobid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Kondisi kormobid antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya. c. Menghambat perburukan fungsi ginjal. Faktor utama terjadinya perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus dan ini dapat dikurangi melalui dua cara yaitu: 1) Pembatasan asupan protein yang mulai dilakukan pada LFG ≤ 60 % ml/mnt, sedangkan diatas nilai tersebut pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan.

2) Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Selain itu sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. d. Pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskuler dan komplikasi. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskuler adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian

displipidemia,pengendalian

anemia,

pengendalian

hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. e. Terapi Pengganti ginjal. Terapi pengganti ginjal meliputi dialisis (hemodialisis dan peritoneal dialisis) dan trasplantasi ginjal. Terapi pengganti ginjal yang paling banyak dilakukan pada saat ini adalah hemodialisis dimana jumlahnya dari tahun ke tahun terus bertambah. 2.2.7.4 Terapi Non Farmakologi a. Membatasi kadar protein sampai 0,8 g / kg BB / hari, jika GFR kurang dari 30 mL/menit /1,73m2. b. Berhenti merokok untuk memperlambat perkembangan PGK dan mengurangi resiko penyakit kardiovaskuler. c. Berolahraga minimal lima kali per minggu selama 5 menit dan mengusahakan Body Mass Index (BMI) = 20 - 25 kg / m2. d. Melakukan diet sehat, diantaranya: Mengkonsumsi roti dan sereal gandum whole grain, buah segar dan sayur sayuran, pilih asupan rendah kolesterol dan lemak, batasi asupan makanan olahan yang banyak mengandung kadar gula dan tinggi sodium, batasi penggunaan garam dan racikan yang mengandung tinggi sodium saat memasak makanan, pertahankan kecukupan kalori, pertahankan berat tubuh yang ideal, asupan kalium dan fosfor biasanya tidak dibatasi kecuali bagi yang kadar di dalam darah diatas normal dan pertahankan tekanan

darah pada level normal, yaitu 125/75 bagi penderita diabetes, 130/85 bagi penderita non diabetes dan non proteinurea, serta 125/75 bagi penderita diabetes dengan proteinurea. 2.2.7.5 Terapi Farmakologi A. Diabetes dan Hipertensi dengan PGK 1) Keparahan PGK dapat dibatasi dengan mengontrol hiperglikemia dan hipertensi. 2) Dilakukan terapi diabetes. 3) Mengontrol tekanan darah dapat mengurangi nilai penurunan GFR dan albuminuria pada pasien tanpa diabetes. The Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) merekomendasikan tekanan darah ≤ 140/90 mmHg, jika ekskresi albumin urin ≤ 30 mg / 24 jam. 4) Jika ekskresi albumin pada urin ≥ 30 mg / 24 jam, maka target tekanan darahnya ≤ 130/80 mmHg dan digunakan terapi lini pertama dengan antihipertensi golongan Angiotensin Converting Enzim Inhibitor (ACEI) atau penghambat reseptor angiotensin II (ARB). Bila terjadi tambahan reduksi proteinuria, maka ditambahkan diuretik thiazide yang dikombinasikan dengan ARB. 5) Calcium Chanel Blocker (CCB), seperti Nondihydropyridine umumnya digunakan sebagai antiproteinurik lini kedua ketika ACEI atau ARB dikontraindikasikan atau tidak ditoleransi. 6) Klirens ACEI berkurang pada penderita PGK; Oleh karena itu, pengobatan harus dimulai dengan dosis terendah, dan kemudain disesuaikan secara bertahap untuk mencapai target tekanan darah.

Hypertension Guideline Management Algorithm (James dkk, 2014)

Diabetes with Chronic Kidney Disease (CKD) Algorithm. Strategy for Screening and Treatment of Diabetes with CKD Based on Urine Albumin Excretion, Target Blood Pressure, And Estimated GFR (eGFR). (Di Piro dkk, 2015)

Algorithm for Management of Anemia Using Iron and Erythropoiesis-Stimulating Agent (ESA) Therapy (Di Piro dkk, 2015)

B.

Terapi Anemia pada PGK 1) KDIGO mendefinisikan Anemia sebagai kondisi dimana Hb < 13 g/dL (130 g/dL; 8.07 mmol/L) untuk laki-laki dewasa dan < 12 g/dL (120 g/L; 7.45 mmol/L) untuk wanita dewasa. 2) Terapi diawali dengan Erythropoetic-Stimulating Agent (ESA) pada semua pasien PGK dengan Hb 9-10 g/dL (90-100 g/L; 5.59-6.21 mmol/L). Target Hb masih bersfiat kontroversial. 3) Kekurangan zat besi adalah penyebab utama resistensi terapi anemia menggunakan ESA. Penambahan zat besi dibutuhkan pada kebanyakan pasien PGK untuk memenuhi penyimpanan zat besi akibat kehilangan darah yang terus berlanjut dan adanya peningkatan kebutuhan zat besi. 4) Terapi zat besi secara parenteral dapat meningkatkan respon terhadap terapi ESA dan pengurangan dosis diperlukan untuk mencapai dan mempertahanakan

indeks

target.

Sebaliknya

terapi

secara

oral

penyerapannya kurang baik dan sering terjadi ketidakpatuhan pasien, karena efek samping yang muncul. (gambar 3) 5) Preparasi zat besi secara IV memiliki profil farmakokinetik yang berbeda, dan tidak berkorelasi dengan efek farmakodinamik. 6) Efek samping zat besi secara IV meliputi; reaksi alergi, hipotensi, pusing, dyspnea, sakit kepala, sakit punggung bagian bawah, artralgia, sinkop, dan artritis. Beberapa reaksi ini dapat diminimalkan dengan menurunkan dosis atau laju infus. Sodium ferri glukonat, sukrosa besi, dan ferumoxytol dilaporkan lebih baik daripada dekstran besi. 7) Pemberian epoetin alfa secara subkutan (SC) lebih disukai, karena jalur IV tidak diperlukan, dan dosis SC dapat mempertahankan indeks target antara 15% sampai 30% lebih rendah dari dosis IV. 8) Darbepoetin alfa memiliki waktu paruh lebih lama daripada epoetin alfa dan aktivitas biologis berkepanjangan. Dosis diberikan lebih jarang, mulai dari seminggu sekali bila diberikan IV atau SC. 9) ESA dapat ditoleransi dengan baik. Hipertensi adalah efek samping yang paling umum.

C. Terapi Hipertensi pada PGK 1)

Pada populasi berusia 18 tahun atau lebih dengan CKD, inisiasi perawatan farmakologis untuk menurunkan tekanan darah dengan sasaran terapi pada tekanan darah sistolik 140mmHg atau lebih rendah dan tekanan darah diastol 90mmHg atau lebih rendah.

2)

Pada populasi yang berusia 18 tahun ke atas dengan CKD dan hipertensi, pengobatan antihipertensi awal (atau tambahan) harus termasuk ACEI atau ARB untuk meningkatkan hasil ginjal. Ini berlaku untuk semua pasien CKD dengan hipertensi tanpa memandang ras atau status diabetes.

3)

Pada orang dewasa diabetes dan non-diabetes dengan CKD dan ekskresi urine albumin <30 mg /24 jam (atau setara) yang memiliki tekanan darah secara konsisten >140mm Hg sistolik atau >90mm Hg diastolik dapat diobati dengan obat penurun tekanan darah untuk mempertahankan tekanan darah yang secara konsisten ≤140mm Hg sistolik dan ≤90mm Hg diastolik.

4)

Pada orang dewasa diabetes dan non-diabetes dengan CKD dan ekskresi urine albumin ≥30 mg /24 jam (atau setara) yang memiliki tekanan darah secara konsisten >130mm Hg sistolik atau >80mm Hg diastolik dapat diobati dengan obat penurun tekanan darah untuk mempertahankan tekanan darah yang secara konsisten ≤130mm Hg sistolik dan ≤80mm Hg diastolik.

D. Terapi Pengganti Ginjal Penyakit ginjal kronis yang telah memasuki stadium 5 atau penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) memerlukan terapi pengganti ginjal (TPG). Ada tiga modalitas TPG yaitu hemodialisis, dialisis peritoneal dan transplantasi ginjal. Dialisis peritoneal merupakan terapi pengganti ginjal dengan mempergunakan peritoneum pasien sebagai membran semipermeabel, antara lain Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) dan Ambulatory Peritoneal Dialysis (APD). Sedangkan hemodialisis adalah terapi pengganti fungsi ginjal yang menggunakan alat khusus dengan tujuan mengeluarkan toksis uremik dan

mengatur cairan elektrolit tubuh. Berdasarkan IRR tahun 2014 mayoritas layanan yang diberikan pada fasilitas pelayanan dialisis adalah hemodialisis (82%). Sisanya berupa layanan CAPD (12,8%), transplantasi (2,6%) dan CRRT (2,3%). 1. Hemodialisis Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal selain dialisis peritoneal dan transplantasi ginjal. Indikasi hemodialisis pada pasien penyakit ginjal kronik adalah bila laju filtrasi glomerulus kurang dari 15 ml/menit/1,73 m2 atau memenuhi salah satu dari kriteria berupa keadaan umum buruk dengan gejala klinis uremia yang nyata, kalium serum < 6 mEq/L, ureum darah > 200 mg/dL, pH darah <7,1, anuria berkepanjangan (> 5 hari), dan kelebihan cairan (Raharjo, 2009). Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk terapi pengganti ginjal (Renal Replacement Therapy/ RRT) dan hanya menggantikan sebagian dari ungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis dilakukan pada penderita PGK stadium V dan pada pasien dengan Gagal Ginjal Akut yang memerlukan terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan hemodialisis dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: hemodialisis darurat (emergency), hemodialisis persiapan/ (preparative), dan hemodialisis kronik (regular) (Daurgirdas et al., 2007). Pengaturan Cairan pada Pasien yang Menjalani Hemodialisis : Pada populasi hemodialisis, penambahan berat akibat cairan interdialisis (interdialytic weight gain) merupakan suatu tantangan yang besar bagi pasien dan petugas kesehatan. Pembatasan asupan air merupakan satu dari sejumlah pembatasan diet yang dihadapi oleh orang yang menjalani dialisis. Kelebihan berat akibat cairan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap angka morbiditas dan mortalitas pada orang-orang yang menjalani hemodialisis. Kelebihan cairan berhubungan dengan berbagai macam komplikasi seperti hipertensi, ascites, edema perifer. Hal ini tentunya mempengaruhi kualitas hidup pasien.

Ada berbagai pendekatan yang digunakan untuk merumuskan asupan cairan pada pasien yang menjalani dialisis. Kopple dan Massry (2004) merekomendasikan sebagai berikut: Asupan cairan (mL/hari) = 600 mL + urin output + kehilangan cairan ekstrarenal dimana 600 mL mewakili kehilangan cairan bersih per hari (900 mL insensible water loss dikurangi 300 mL cairan yang diproduksi melalui proses metabolisme). Kehilangan cairan ekstrarenal meliputi diare, muntah dan sekresi nasogastrik. 2. Indikasi Indikasi hemodialisis dibedakan menjadi hemodialisis emergency atau hemodialisis segera dan hemodialisis kronik. Hemodialis segera adalah hemodialisis yang harus segera dilakukan. Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al., 2007): a. Kegawatan ginjal 

Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi



Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)



Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)



Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya Kalium > 6,5 mmol/l )



Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)



Uremia ( BUN >150 mg/dL)



Ensefalopati uremikum



Neuropati atau miopati uremikum



Perikarditis uremikum



Disnatremia berat (Natrium >160 atau <115 mmol/L)



Hipertermia

b. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.

Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis. Menurut K/DOQI dialisis dimulai jika LFG <15 ml/mnt. Keadaan pasien yang mempunyai LFG <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah ini (Daurgirdas et al., 2007) : 

LFG <15 ml/menit, tergantung gejala klinis



Gejala uremia meliputi; lethargis, anoreksia, nausea, mual dan muntah.



Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.



Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.



Komplikasi metabolik yang refrakter.

c. Proses Fungsi ekskresi ginjal digantikan oleh tabung ginjal buatan (dialiser) pada hemodialisis. Darah pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dilapisi oleh selaput semipermeabel buatan dengan kompartemen cairan dialisis (dialisat). Kompartemen dialisat dialiri cairan yang bebas pirogen, memiliki komposisi seperti elektrolit dalam serum normal, dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. Pada hemodialisis terjadi proses difusi dan ultrafiltrasi (Raharjo, 2009). Proses difusi adalah proses pergerakan spontan dan pasif dari zat terlarut. Molekul zat terlarut dari kompartemen darah akan berpindah ke dalam kompartemen dialisat melewati membran semipermiabel demikian juga sebaliknya sampai konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen. Dalam proses difusi, antikoagulan digunakan untuk mencegah aktivasi sistem koagulasi darah yang dapat menimbulkan bekuan darah (Raharjo, 2009). Proses ultrafiltrasi terdiri dari ultrafiltrasi hidrostatik dan osmotik. Ultrafiltrasi hidrostatik adalah pergerakan air yang terjadi dari kompartemen bertekanan hidrostatik tinggi ke kompartemen yang bertekanan hidrosatik rendah. Ultrafiltrasi hidrostatik tergantung pada tekanan transmembran dan koefisien ultrafiltrasi.

Ultrafiltasi

osmotik

adalah

perpindahan

air

yang

terjadi

dari

kompartemen yang bertekanan osmotik rendah ke kompartemen yang bertekanan osmotik tinggi sampai tercapai keadaan seimbang antara tekanan osmotik di dalam kedua kompartemen (Ficheux, 2011). Perpindahan air (fluid removal) pada proses ultrafiltrasi sangat penting untuk mencapai keseimbangan cairan pada tubuh pasien sehingga mengurangi komplikasi intradialitik yang dapat timbul (Jaeger, 1999). Preskripsi untuk fluid removal ditentukan berdasarkan target berat badan kering pasien. Berat badan kering adalah berat badan terendah dari pasien yang dapat menoleransi gejala hipotensi, definisi berat badan kering yang lebih tepat adalah berat badan pascadialisis imana pasien tetap dalam kondisi normotensi hingga sesi dialisis berikutnya tanpa obat anti hipertensi (Charra, 2011).

Gambar 4. Proses Hemodialisis Pasien hemodialisis dirawat di rumah sakit atau unit hemodialisis dimana mereka menjadi pasien rawat jalan. Pasien membutuhkan waktu 12- 15 jam hemodialisis setiap minggunya yang terbagi dalam dua atau tiga sesi dimana setiap sesi berlangsung selama 3-6 jam. Hemodialisis akan berlangsung terus menerus seumur hidup kecuali pasien tersebut melakukan transplantasi ginjal (Raharjo, 2009).

d. Komplikasi Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita PGK stadium V atau gagal ginjal kronik. Walaupun tindakan hemodialisis saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis saat menjalani hemodialisis. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani hemodialisis adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya ultrafiltrasi atau penarikan cairan saat hemodialisis. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani hemodialisis reguler. Namun, sekitar 5-15% dari pasien hemodialisis tekanan darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi

intradialitik

(Agarwal

dan

Light,

2010).

Komplikasi

hemodialisis dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan komplikasi kronik (Daurgirdas et al., 2007). 1) Komplikasi akut Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram otot, mual muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil (Daurgirdas et al., 2007). Komplikasi yang cukup sering terjadi adalah gangguan hemodinamik, baik hipotensi maupun hipertensi saat hemodialisis atau hipertensi intradialisis. Komplikasi yang jarang terjadi adalah sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, aktivasi komplemen, hipoksemia (Daurgirdas et al., 2007).

Tabel 4. Komplikasi PGK dan Penyebabnya

2) Komplikasi kronik Komplikasi kronik adalah komplikasi yang terjadi pada pasien dengan hemodialisis kronik. Komplikasi kronik yang sering terjadi yaitu (Bieber dan Himmelfarb, 2013) : a) Penyakit jantung b) Malnutrisi c) Hipertensi (karena kelebihan cairan) d) Anemia e) Renal osteodystrophy f) Neuropati g) Disfungsi reproduksi

h) Komplikasi pada akses i) Gangguan perdarahan j) Infeksi k) Amiloidosis l) Acquired cystic kidney diseases 2). Transplantasi Ginjal. Transplantasi (cangkok) ginjal adalah proses pencangkokan ginjal ke dalam tubuh seseorang melalui tindakan pembedahan. Ginjal baru bersama ginjal lama yang fungsinya sudah memburuk akan bekerja bersama-sama untuk mengeluarkan sampah metabolisme dari dalam tubuh. Proses Transplantasi Ginjal Dokter bedah akan meletakkan ginjal di dalam perut sebelah bawah, kemudian menghubungkan pembuluh darah dan saluran kencing (ureter) ginjal baru tersebut ke pembuluh darah dan ureter penderita. Setelah terhubung, ginjal akan dialiri darah yang akan dibersihkan. Air kencing (urine) biasanya langsung diproduksi. Tetapi beberapa keadaan, urine diproduksi bahkan setelah beberapa minggu. Ginjal lama kita yang dua buah akan dibiarkan di tempatnya. Tetapi jika ginjal tersebut menyebabkan infeksi atau menimbulkan penyakit darah tinggi, maka harus diangkat. Persiapan Transplantasi Bicarakan dengan dokter anda mengenai transplantasi yang akan dijalani, karena tidak semua orang cocok untuk transplantasi. Beberapa kondisi dapat membuat proses transplantasi berbahaya atau tidak mungkin berhasil. Ginjal baru dapat diperoleh dari donor yang baru saja meninggal dunia, atau dari donor hidup. Donor hidup bisa keluarga, bisa juga bukan biasanya pasangan atau teman. Jika anda tidak memiliki donor hidup, anda akan dimasukkan ke dalam daftar tunggu untuk memperoleh ginjal dari

donor meninggal. Masa tunggu tersebut dapat berlangsung bertahun-tahun. Petugas transplantasi akan mempertimbangkan tiga faktor untuk menentukan kesesuaian ginjal dengan penerima (resipien). Faktor tersebut akan menjadi tolak ukur untuk memperkirakan apakah sistim imun tubuh penerima akan menerima atau menolak ginjal baru tersebut. 1. Golongan darah. Golongan darah penerima (A,B, AB, atau O) harus sesuai dengan golongan darah donor. Faktor golongan darah merupakan faktor penentu kesesuaian yang paling penting. 2. Human leukocyte antigens (HLAs). Sel tubuh membawa 6 jenis HLAs utama, 3 dari ibu dan 3 dari ayah. Sesama anggota keluarga biasanya mempunyai HLAs yang sesuai. Resipien masih dapat menerima ginjal dari donor walaupun HLAs mereka tidak sepenuhnya sesuai, asal golongan darah mereka cocok, dan tes lain tidak menunjukkan adanya gangguan kesesuaian. 3. Uji silang antigen. Tes terakhir sebelum dilakukan pencangkokan adalah uji silang organ. Sejumlah kecil darah resipien dicampur dengan sejumlah kecil darah donor. Jika tidak terjadi reaksi, maka hasil uji disebut uji silang negatif, dan transplantasi dapat dilakukan. Pembedahan untuk cangkok ginjal biasanya memakan waktu 3 sampai 4 jam. Lama rawat di rumah sakit biasanya adalah satu minggu. Setelah keluar dari rumah sakit, resipien masih harus melakukan kunjungan secara teratur untuk memfollow-up hasil pencangkokan. Sedangkan bagi pendonor hidup, waktu yang dibutuhkan hampir sama dengan resipien. Walaupun demikian, karena teknik operasi untuk mengangkat ginjal donor semakin maju, maka waktu rawat menjadi lebih pendek, mungkin 2 sampai 3 hari. Komplikasi Setelah transplantasi, dokter akan memberikan penderita obat imunosupresan, yang berguna untuk mencegah reaksi penolakan, yaitu

reaksi dimana sistem tubuh menyerang ginjal baru yang dicangkokkan. Obat imunosupresan harus diminum setiap hari selama ginjal baru terus berfungsi. Kadang-kadang, reaksi penolakan tetap terjadi walaupun penderita sudah minum obat imunosupresan. Jika hal ini terjadi, penderita harus kembali menjalani dialisis, atau melakukan transplantasi dengan ginjal lain. Obat imunosupresan akan melemahkan daya tahan tubuh, sehingga dapat mempermudah timbulnya infeksi. Beberapa jenis obat imunosupresan juga dapat merubah penampilan. Wajah akan tampak lebih gemuk, berat badan bertambah, timbul jerawat, atau bulu di wajah. Tetapi tidak semua resipien mengalami gejala tersebut. Selain itu, imunosupresan juga dapat menyebabkan katarak, diabetes, asam lambung berlebihan, tekanan darah tinggi, dan penyakit tulang. Keuntungan Transplantasi Ginjal 

Ginjal baru akan bekerja seperti halnya ginjal normal.



Penderita akan merasa lebih sehat dan "lebih nomal".



Penderita tidak perlu melakukan dialisis



Penderita yang mempunyai usia harapan hidup yang lebih besar. Kekurangan Transplantasi Ginjal



Butuh proses pembedahan besar.



Proses untuk mendapatkan ginjal lebih sulit atau lebih lama.



Tubuh menolak ginjal yang dicangkokkan.



Penderita harus rutin minum obat imunosupresan, yang mempunyai banyak efek samping.

BAB III KASUS DAN PENYELESAIAN

2.2 KASUS Tuan RMI, berusia 60 tahun, berat badan 65 kg datang ke rumah sakit pada tanggal 22 Agustus 2017, mengeluhkan sesak nafas sudah satu minggu dan tubuh terasa lemas. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan TD : 170/100 mmHg, nadi 88x/menit, suhu 36,20C. Riwayat penyakit tuan RMI adalah hipertensi, riwayat pemakaian obat yaitu amlodipin. A. Tanda-Tanda Vital Tanda-Tanda Vital TD (mmHg) Suhu (0C) Nadi (x/menit) RR

22/8 160/90 36,2 80 24

23/8 160/90 36,5 80 22

B. Kondisi Klinik Kondisi Klinik 22/8 Sesak Napas Lemas

23/8  

 

Tanggal 24/8 150/90 36,5 88 20

25/8 150/90 36,5 88 20

Tanggal 24/8 25/8  -

26/8 140/90 36,2 88 20

26/8 -

Keluhan :  = Keluhan masih terasa - = Sudah tidak mengalami kondisi tersebut C. Data-data Laboratorium No Parameter 1 2 3 4 5 6

Hemoglobin Leukosit Hematokrit GDS Ureum Kreatinin

22/8/17 8,20 10,21 22,8 74 144,8 7,30

23/8/17

24,8 61,7 4,20

Tanggal 26/8/17

38 140 115,4 5,80

Satuan g/dL /µL mg/dL mmol/L mmol/L mg/dL

Ref. Range 13,5-17,5 4,1-10,9x103 41-53 70-140 10-50 0,8-1,4

D. Profil Pengobatan No

Nama Obat

Rute

Aturan Pakai

1

Norvask

p.o

1x sehari 10 mg

2 3 4 5

CaCO3 Folavit Lasix Cernevit

p.o p.o i.v i.v

3x sehari 2 tablet 3x sehari 400 mcg 20 mg/2mL 1 amp 750 mg 1 amp

22/8 1x 1x IGD

Tanggal 24/8 25/8 26/8         1x 2x    

23/8

Analisis SOAP SUBJECT Nama

: Tn. RMI

Usia

: 60 Tahun

berat badan

: 65kg

Diagnosis

: CKD, Hipertensi grade II, Anemia

Keluhan utama

: Sesak napas sudah satu minggu, lemas

Riwayat penyakit sekarang

: Sesak napas, lemas

Riwayat Penyakit dahulu

: Hipertensi

Riwayat Obat

: Amlodipin

Riwayat penyakit keluarga

:-

Alergi obat

:-

OBJECT Data Klinik dan Laboratorium A. Tanda-Tanda Vital Tanda-Tanda Vital 22/8 TD (mmHg) 160/90 0 Suhu ( C) 36,2 Nadi (x/menit) 80 RR 24

23/8 160/90 36,5 80 22

Tanggal 24/8 150/90 36,5 88 20

25/8 150/90 36,5 88 20

26/8 140/90 36 88 20

B. Kondisi Klinik Kondisi Klinik 22/8 Sesak Napas Lemas

23/8  

 

Tanggal 24/8 25/8  -

26/8 -

Keluhan :  = Keluhan masih terasa - = Sudah tidak mengalami kondisi tersebut C. Data-data Laboratorium No Parameter 22/8/17 1 Hemoglobin 8,20 2 Leukosit 10,21 3 Hematokrit 22,8 4 GDS 74 5 Ureum 144,8 6 Kreatinin 7,30

23/8/17 24,8 61,7 4,20

Tanggal 26/8/17 38 140 115,4 5,80

Satuan g/dL /µL mg/dL mmol/L mmol/L mg/dL

Perhitungan CrCl (Cockroft Gault) Tanggal 22, 23, dan 26 Agustus 2017 Rumus :



Nilai ClCr pada tanggal 22 Agustus 2017 Clcr (ml/menit) = 9,893



Nilai ClCr pada tanggal 23 Agustus 2017 Clcr (ml/menit) = 17,195



Nilai ClCr pada tanggal 26 Agustus 2017 Clcr (ml/menit) = 12,452

Ref. Range 13,5-17,5 4,1-10,9x103 41-53 70-140 10-50 0,8-1,4

ASSESSMENT C.1.

Analisis Penggunaan Obat

Pasien mendapatkan obat-obat : 1. Norvask Komposisi

: Amlodipine

Indikasi

: hipertensi

Dosis

: 5mg/ hari maksimal 10mg/hari

Mekanisme

: melemaskan dinding dan melebarkan pembuluh darah dengan cara menghalangi kadar kalsium yang masuk ke sel otot halus di dinding pembuluh darah jantung.

2. CaCo3 Komposisi

: Kalsium karbonat

Indikasi

: pada pasien gagal ginjal kronis untuk mengikat fosfor, mengurangi

retensi

fosfor,

dan

untuk

mencegah

ketidakkeseimbangan kalsium (Hill dkk, 2015). Dosis

: 500mg-1gram/hari maksimal 8gram/hari

Mekanisme

: menurunkan kadar serum fosfat dan meningkatkan kadar serum kalsium pada pasien dengan gangguan ginjal kronis.

3. Lasix Komposisi

: Furosemid

Indikasi

: mengatasi udema dan tekanan darah tinggi pada pasien gagal ginjal kronis

Dosis

: dosis awal 40mg pada pagi hari, penunjang 20mg-40mg/ hari dapat ditingkatkan hingga 80mg/hari pada udema yang persisten

Mekanisme

: bekerja mengurangi cairan tubuh dan elektrolit.

4. Folavit Komposisi

: Asam Folat

Indikasi

: membantu mengurangi anemia karena pada CKD terjadi kekurangan hormon eritropoetin yang berfungsi untuk memicu pembentukan sel darah merah atau eritrosit.

Dosis

: Suplemen asam folat direkomendasikan secara global pada tingkat asupan setidaknya 400 μg/hari, dan hingga 5 mg/hari (Field dan Patric, 2017). Pada Megaloblastik anemia asam folat dosis asam folat dapat digunakan sebesar 1,5 mg/hari hingga anemia membaik (SantoyoSánchez dkk, 2015).

Mekanisme

: folat eksogen dibutuhkan untuk sintesis nucleoprotein dan pemeliharaan eritropoiesis normal. Asam folat menstimulasi produksi sel darah merah, sel darah putih dan platelet.

5. Cernevit Komposisi

: Vit A 3.500 IU, vit D3 220 IU, vit E 11,2 IU, vit C 125 mg, vit B1 3,51 mg, vit B2 4,14 mg, vit B5 17,25 mg, vit B6 4.53 mg, vit B12 6 mcg, folic acid 414 mcg, biotin 69 mcg, nicotinamide 46 mcg, glycine 250 mg, glycocholic acid 140 mg, soybean lecithin 112.5 mg.

Indikasi

: Suplemen multivitamin harian untuk pasien di mana administrasi melalui rute IV diperlukan.

Dosis

: Dewasa & anak> 11 tahun 1 vial setiap hari.

C2. Evaluasi Penggunaan Obat 1) DRP ada obat tidak ada indikasi : 2) DRP ada indikasi tidak ada obat : 3) DRP dosis obat berlebih

:-

4) DRP dosis obat kurang

:-

5) DRP salah obat 

:

Amlodipin Menurut James dkk (2014) obat pilihan pertama untuk terapi hipertensi disertai penyakit gagal ginjal kronik adalah antihipertensi golongan ACEI atau ARB.



Cernevit Cernevit mengandung vitamin A sebesar 3.500 IU, Recommended Dietary Allowances (RDA) pada dosis vitamin A untuk pria sebesar 900mcg/hari atau 3000IU/hari (medscape) dan batas maksimum/hari penggunaan vitamin A sebesar 1500mcg atau 5000IU (BPOM RI). Pada pasien CKD, perlu dilakukan pengawasan terhadap suplemen nutrisi yang digunakan pasien untuk memastikan bahwa pasien CKD tidak melakukan praktik berbahaya, seperti menggunakan suplemen vitamin A dosis tinggi (Jankowska dkk, 2017). Konsentrasi serum vitamin A dapat meningkat dengan peningkatan kreatinin serum sehingga tidak perlu menyediakan suplemen vitamin A untuk pasien dengan CKD. Hal ini sesuai dengan rekomendasi yang menolak pemberian suplemen vitamin A pada pasien CKD kecuali pasien terbukti mengalami kekurangan vitamin A (Steiber dan Joel, 2011). Banyak peneliti telah secara konstan mengkonfirmasi peningkatan konsentrasi plasma terhadap vitamin A pada pasien CKD tanpa dialisa maupun pasien perawatan dialisa, termasuk anak-anak dapat meningkatan risiko toksisitas vitamin A (Chazot dan Joel, 2013).

6) DRP interaksi obat

:



CaCo3 dan amlodipin dapat menurunkan efek amlodipin.



Asam folat dan furosemid menurunkan efek asam folat (minor).



Furosemidan dan kalsium karbonat, furosemid dapat menurunkan efek dari CaCo3 (minor).

7) DRP efek samping 

:

Norvask (Amlodipine) dapat menyebabkan nyeri perut, pusing, dispepsia, sakit kepala, kram otot, mual, ruam, pusing, leukopenia, trombositopenia, hiperglikemia, insomnia, dan hipotensi.



CaCo3 (Kalsium karbonat) dapat menyebabkan anoreksia, konstipasi, perut kembung, nausea, muntah, dan hiperkalsemia.



Lasix (Furosemid) dapat menyebabkan dehidrasi, peningkatan trigliserida, hipotensi peningkatan kreatinin darah, dan hipokalemia.



Folavit (Asam Folat) dapat menyebabkan bronkospasme, eritema, dan ruam.

PLAN 1. Memonitoring/cek kesehatan ginjal pasien. 2. Monitoring tekanan darah pasien karena interaksi antara CaCo3 dan amlodipin dapat menurunkan efek amlodipin. 3. Memonitoring kondisi klinis pasien agar dapat diketahui perkembangan kondisi pasien seperti Respiration Rate (Nilai RR normal 12-20). 4. Monitoring keluhan pasien yang mungkin muncul terkait potensi efek samping obat. 5. Memonitoring efek terapi obat seperti tekanan darah pasien dan kadar serum creatinin pasien. 6. Pasien dijelaskan waktu penggunaan obat yang dikonsumsi: Folavit, amlodipin, dapat diminum tanpa makanan atau dengan makanan. CaCo3 lebih baik dikonsumsi dengan makanan. 7. Mengkonsultasikan permasalahan yang ditemukan dalam terapi pasien baik ke apoteker penanggungjawab dan dokter yang bersangkutan.

KIE

a. Membatasi asupan kadar protein sampai 0,6gram-0,8gram/kg BB/hari. Pasien memiliki berat badan 65 kg maka asupan protein dibatasi dalam kisaran 39g-52g.

b. Membatasi asupan natrium atau garam < 2,3gram/hari dapat dilakukan dengan menghindari asupan kaldu instan, ikan asin, telur asin dan makanan yang diawetkan.

c. Perbanyak istirahat dan mengurangi stres. d. Setelah pasien selesai rawat inap di rumah sakit direkomendasikan untuk mengecek kadar Hb darah minimal setiap 3 bulan sekali untuk menghindari terjadinya anemia yang berat. e. Pasien direkomendasikan untuk mengurangi asupan air yang diminum <2 liter sehari.

DAFTAR PUSTAKA

Agarwal, R., and Light, R.P. 2010. Intadialytic Hypertension is A Marker of Volume Excess. Nephrol Dial Translpant. 25 (10): 3355-6 Baradero, M., Wilfrid Dayrit, Yakobus Siswadi. 2009.

Klien Gangguan

Kardiovaskular . Jakarta : EGC. Beiber, S.D., dan Himmelfarb, J. 2013. Hemodialysis. In: Schrier’s Disease of the Kidney. 9th Ed. Coffman, T.M., Falk, R.J., Molitoris, B.A., Neilson, E.C., Schrier, R.W. Editors. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia: 2473505. Black, M. J. & Hawks, H.J., 2009.Medical surgical nursing : clinical management for continuity of care, 8th ed. Philadephia : W.B. Saunders Company BPOM RI.2008. Informatorium Obat Nasional.Jakarta : BPOM RI Chazot, C. dan Joel, D.K, 2013.Vitamin Metabolism and Requirements in Renal Disease and Renal Failure. Nutritional Management of Renal Disease, http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-12-391934-2.00024-2 Corrigan, R.M. 2011. The Experience of The Older Adult With End-Stage Renal Disease on Hemodialysis. Thesis. Queen;s University Canada. Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofiologi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Daryani. 2011. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Inisiasi Dialisis Pasien Gagal Ginjal Tahap Akhir di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Tesis.Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia., Daugirdas, J.T.,Blake, P.G., Ing. T.S. 2007. Handbook of Dialisis. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Dipiro, J.T., Chotsciisholm, M.A., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Malone, Patrick, M., Kolesar, Jill, M., and Rotschafer, John, C., 2008. Pharmacoterapy Principlus and Practice, New York: The Mc Graw Hill. Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M. 2015. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach 7th Ed., New York: McGraw-Hill. Field, M.S. dan Patrick, J.S.2015.Safety of Folic Acid.Annals of The New York Academy of Sciences. 1414 (2018) 59–71. Ganiswara, S. G., Setiabudy R., Suyatna D. F., Purwantyastuti, Nafrialdi. 2005. Farmakologi dan TerapiEdisi IV. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ganong, 2013.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Jakarta : EGC http://www.medscape.com.,Medscape Drug Interaction Checker. Ikatan Apoteker Indonesia. 2010. Informasi Spesialite Obat volume 46. Jakarta: Indonesian Renal Registry (IRR). 2014. 7th Report of Indonesian Renal Registry: 1-36. James, P.A., Suzanne O., Barry L.C.,dkk.2014.2014 Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood Pressure in Adults Report From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8). The Journal of the American Medical Association. Volume 311 No. 5. Jankowska, M., Bolesław R. dan Alicja D.2017. Vitamins and Microelement Bioavailability in Different Stages of Chronic Kidney Disease. Nutrients, 9, 282; doi:10.3390/nu9030282. Joy, M.S., Kshiragar, A., & Franceschini, N. 2008. Crhonic Kidney Disease :Pregression – Modifying Therapies. Dalam Di Piro, J. T., Talbert, R.L., Yee., G. C., Matezke, G. R., Wells, B. G., & posey, M. L., Pharmacotherapy: a Pathophysiologic approach, 7th Ed. 745-764. McGrowHill. New York. Kemenkes RI. 2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik.Jakarta : Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian.

Kidney Disease Improving Global Outcome. Official Journal Of The International Society Of Nephrology KDIGO Clinical Practice Guideline for Anemia in Chronic Kidney Disease. kidney Int Suppl. 2012;2(4):279–335. Koni. A. U. 2010. Hubungan Antara Gagal Ginjal Kronik Dengan Gambaran Sedimen

Urin

Ultrasonografi.Skripsi.

Dikandung Surakarta:

Kemih Fakultas

pada

Pemeriksaan

Kedokteran

Universitas

Sebelas Maret. Kopple J.D., dan Massry, S.G., 2004. Nutritional Management of Renal Disease. 2nd Ed. Mutschler.1991. Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi.Jakarta : EGC. National Institute for Health and Care Excellence. 2014. Anaemia Management in People with Chronic Kidney Disiease. NICE clinical guideline. Price, S.A., dan Wilson, L.M., 2005. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6 Vol. 2. Diterjemahkan Oleh Pendit, B.U., Hartanto, H., Wulansari, P., Mahanani, D.A. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. PT.ISFI Penerbitan. Rahardjo, P., Susalit, E., Suhardjono. 2009. Hemodialisis. Dalam : Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadribata, M.K., Setiati, S., Penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th Ed. Jakarta: Interna Publishing: 1050-2. Royal Pharmaceutical Society.2015.BNF 70. England: Pharmaceutical Press. Santoyo-Sánchez A., J.A. Aponte-Castillo, R.I. Parra-Pe˜na, dan C.O. RamosPe˜nafiel. 2015. Dietary Recommendations in Patients with Deficiency Anaemia. Revista Médica del Hospital General de México, 78(3):144-150. Steiber, A.L. dan Joel, D.K.2011.Vitamin Status and Needs for People with Stages 3-5 Chronic Kidney Disease.The Journal of Renal, 21(5):355-68. Suwitra, K. 2009. Penyakit Ginjal Kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al., 3rd Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing 2009: 1035-1040. Tomiyama, H. dan Yamashina, A. 2014. Beta-Blockers in the Management of Hypertension and/or Chronic Kidney Disease. Second Department of Internal Medicine, Tokyo Medical University.

Wilson, M. L dan Price, A. S. 2005.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. World

Kidney

Day:

Chronic

Kidney

Disease.

http://www.worldkidneyday.org/faqs/chronic-kidney-disease

2015;

Related Documents

Ksfk Ggk Kelas A.docx
July 2020 34
Askep Ggk
June 2020 19
Ggk (autosaved).docx
April 2020 12
Askep Ggk Riadh
July 2020 18
Ggk Kelompok 5.docx
November 2019 22
Lp Ckd-ggk
August 2019 41

More Documents from "Viere A. Siauta"