Kpm

  • Uploaded by: bagas sujiwo
  • 0
  • 0
  • August 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kpm as PDF for free.

More details

  • Words: 4,305
  • Pages: 12
Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Penelitian Tindakan Kelas Parlindungan Pardede [email protected] Universitas Kristen Indonesia

Abstrak Classroom Action Research (CAR) is the terminology used to describe the cyclical process of identifying problems in the classroom, planning actions to tackle the problem, collecting data, and interpreting the data through reflection. Ideas obtained through the reflection are then implemented to improve the second cycle of process. The process could be repeated (by iconducting the third, forth, and even fifth cycle until the targeted results achieved. Since the process is conducted right in the teaching and learning practice in the classroom, it is very effective to analyze the existing practice and make necessary changes for improving the practice. Realizing this, it is obvious that CAR is very potential to develop any teacher’s professional development through the fostering of his/her capability as professional knowledge makers—not merely as professional knowledge users. Kata kunci: PTK, refleksi, tindakan, siklus

Pendahuluan Saat ini para guru di seluruh dunia dituntut untuk melakukan perbaikan berkelanjutan. Lembaga pendidikan dan asosiasi guru terus-menerus ditekan untuk meningkatkan kinerja dalam rangka mencapai hasil pendidikan yang lebih baik. Di satu sisi, dengan waktu dan sumber daya yang relatif terbatas, guru (sebagai pelaku utama aktivitas pendidikan) dituntut untuk memampukan siswa mengerjakan ujian standar dengan baik; di sisi lain, guru juga dituntut memampukan siswa menguasai seluruh materi pelajaran secara komprehensif. Tantangan lain datang dari penggantian dan pembaharuan kurikulum yang akseleratif. Tuntutan agar para guru menguasai dan sekaligus menggunakan teknologi informasi dan komunikasi hingga mereka dapat mempersiapkan siswa memasuki masyarakat berorientasi teknologi juga merupakan tantangan besar. Tantangan berikutnya berasal dari harapan bahwa semua siswa di kelas, dengan karakter yang beragam, harus difasilitasi agar sukses dalam pembelajaran. Selain itu, berbeda dengan pembelajaran di masa lampau, di masa kini guru tidak lagi berperan hanya sebagai penceramah, tetapi pemandu; siswa tidak lagi berperan hanya sebagai pendengar, tapi mitra guru dalam menjelajah pengetahuan. Pendidikan saat ini telah menjadi lebih interaktif dan kolaboratif bagi guru dan siswa. Dengan demikian, guru juga harus mengembangkan dan

menyesuaikan kompetensinya agar dapat memfasilitasi setiap siswa menjadi pelajar yang sukses. Untuk menjawab tantangan-tantangan itu, para guru dan pemangku kepentingan lain di sektor pendidikan terus berupaya meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan. Upaya-upaya yang lazim dilakukan mencakup pelatihan dalam jabatan (in-service training), seminar, lokakarya, atau kursus penyegaran. Tanpa bermaksud mengabaikan berbagai manfaat yang diperoleh, praktik di berbagai penjuru dunia menunjukkan upaya-upaya tersebut tidak memberikan hasil yang optimal. Kemungkinan besar, penyebabnya adalah kenyataan bahwa upaya-upaya itu merupakan inisiatif ekternal, tidak muncul dari dalam diri para guru. Dalam kondisi seperti saat ini, para guru akan memperoleh lebih banyak manfaat baik bila inisiatif untuk melakukan perbaikan tersebut datang dari dalam diri mereka sendiri. Mereka harus berupaya, secara mandiri atau bersama-sama, menemukan cara-cara yang tepat untuk meningkatkan berbagai aspek pendidikan, seperti proses belajar mengajar , kurikulum dan penilaian. Guru perlu terus menerus melakukan perubahan-perubahan yang tepat untuk meningkatkan praktik profesional mereka, dan alat yang paling sesuai untuk hal ini adalah PTK. Menurut Mills (2011), PTK merupakan pilihan yang menarik bagi para guru, staf administrasi sekolah, dan pemangku kepentingan pendidikan lainnya untuk meningkatkan kinerja sector pendidikan. Sedangkan Sagor (2004) menyatakan bahwa PTK merupakan alat yang efektif untuk membantu guru dan pendidik lainnya mengungkap strategi yang pas untuk meningkatkan praktik mengajar. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa pelaksanaan PTK mendorong berbagai perubahan positif berupa peningkatan kompetensi guru, refleksi diri, dan perbaikan pembelajaran secara keseluruhan yang meningkatkan proses dan hasil praktik pembelajaran di kelas (Ferrance, 2000; Johnson & Button, 2000). Senada dengan itu, Vialle, Hall dan Booth (1997) yang menggambarkan bahwa PTK dapat memberikan kontribusi besar dalam pengembangan profesi pendidik dan pada gilirannya secara konsisten membuat perbedaan berbentuk perbaikan dalam kualitas dan manajemen sektor pendidikan. Levin dan Merrit (2006) menegaskan: “Increasingly, action research is being seen as a vehicle for professional growth, personal transformation, and improved student learning.” Artikel ini merupakan sintesis berbagai pandangan dan hasil penelitian terkini yang tersedia dalam literatur tentang PTK yang diarahkan untuk membahas landasan konseptual karakteristik PTK, dan implikasinya terhadap peningkatan pembelajaran. Peran Penelitian dalam Pengembangan Kompetensi Guru Esensi pelaksanaan penelitian di kalangan guru merupakan gagasan yang sudah berkembang sejak awal Abad ke-19. Penelitian yang dilaksanakan para pendidik terhadap praktik pembelajaran yang mereka lakukan diyakini sangat bermanfaat untuk meningkatkan kualitas praktik tersebut (Ponte, 2005). Setiap disiplin ilmu dan profesi berkembang karena adanya penelitian. Sehubungan dengan itu, penelitian dan praktik pembelajaran seharusnya saling menopang. Hasil penelitian seorang guru bahkan tidak hanya bermanfaat bagi pengembangan kompetensi si guru

itu sendiri tetapi juga guru-guru lain yang mempelajari hasil penelitian tersebut melalui publikasi tertulis maupun konferensi atau seminar. Menurut Alwasilah (2012), keberhasilan penerapan jugyou kenkyuu, yang secara harfiah berarti penelitian pembelajaran, di Jepang merupakan sebuah contoh nyata. Penerapan jugyou kenkyuu, yang dikenal sebagai "lesson study" membuat penelitian menjadi bagian tak terpisahkan dari tugas guru. Dengan kata lain, guru sekaligus merupakan peneliti. Efektivitas dan keberhasilan guru-guru matematika dan sains di SMP melalui penerapan jugyou kenkyuu telah mendorong pemerintah Jepang merekomendasikan penerapannya dalam pembelajaran semua mata pelajaran sekolah. Meskipun penelitian diyakini berperan sentral dalam pengembangan praktik pembelajaran, kebanyakan guru, khususnya yang mengajar di jenjang pendidikan dasar dan menengah, memandang penelitian sebagai aktivitas yang berada di luar wilayah pekerjaan rutin mereka. Mayoritas guru hanya terfokus pada kesibukan mengajar dan menganggap bahkan ide pengikutsertaan penelitian ke dalam tugas professional guru sekalipun merupakan hal yang tidak realistis. Survai sederhana yang penulis lakukan terhadap 45 guru sebuah mata pelajaran di tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas di DKI Jakarta yang mengikuti sebuah pelatihan penelitian pada bulan Oktober 2012 mengungkapkan bahwa 89.46 % guru-guru dengan masa kerja bervariasi antara 5 hingga 25 tahun tersebut belum pernah melaksanakan penelitian; 5.27% menyatakan pernah melakukan 1 penelitian; dan 5,27% lainnya tidak merespon. Meskipun ke 45 guru tersebut tidak dapat mewakili guru-guru di Indonesia, paling tidak, temuan ini mengisyaratkan betapa dalam dan lebarnya jurang pemisah antara aktivitas penelitian dan pembelajaran dalam kehidupan sebagian besar guru di Indonesia. Mengapa guru tidak meneliti? Dalam konteks Indonesia, jawaban pertama yang sering diajukan oleh kebanyakan guru untuk pertanyaan ini adalah minimnya fasilitas dan dukungan dari pemangku kepentingan lainnya. Tidak sedikit sekolah atau yayasan yang memandang penelitian sebagai pemborosan waktu dan dana. Faktor kedua adalah keterbatasan waktu yang dimiliki guru. Sebagian guru mengajar di lebih dari satu sekolah. Akibatnya, seluruh waktu mereka habis hanya untuk mengajar. Sebagian lagi masih memiliki cukup waktu di luar tugas mengajar. Tapi, setelah menyelesaikan tugasnya di sekolah, mereka harus terlibat dalam satu atau beberapa kegiatan kemasyarakatan. Kedua jawaban di atas secara umum merupakan alasan klise dan tidak relevan, karena guru justru didorong untuk melakukan penelitian setelah pemerintah melakukan sertifikasi guru. Oleh karena itu, jawaban paling logis terhadap pertanyaan mengapa guru tidak meneliti adalah kedua alasan berikut. Pertama, kebanyakan guru menganggap pelaksanaan penelitian memerlukan dana dan tenaga yang banyak serta waktu yang lama. Alasan ini dapat diterima jika penelitian yang dilaksanakan merupakan tipe penelitian tradisional yang mengharuskan analisis data kuantitatif dan kualitatif yang ekstensif. Penelitian-penelitian seperti itu umumnya bersifat akademis, formal, dan dilakukan dengan jadual yang ketat serta mengikat. Untuk menyelesaikannya dibutuhkan waktu berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun.

Kemudian, khusus untuk penelitian berdesain kuantitatif, diperlukan sampel yang besar. Selain itu, hasil penelitian biasanya dilaporkan dalam bentuk publikasi ilmiah melalui jurnal dengan saringan cukup ketat oleh peer-reviewer atau dalam seminar dan konferensi profesional. Hal ini dipertegas oleh Kaplan (1998) dengan mengatakan bahwa bagi guru, penelitian akademis adalah sesuatu yang asing, yang dilakukan oleh orang misterius dengan cara aneh di lokasi yang misterius. Alasan ke dua berhubungan dengan aspek relevansi. Masih banyak guru yang belum dapat melihat manfaat langsung hasil penelitian bagi tugas profesionalnya. Seringkali hasil-hasil penelitian eksperimental atau korelasional kurang praktis sehingga para guru tidak dapat menggunakannya untuk memecahkan masalahmasalah yang dihadapi di kelas. Mackey dan Gass (2005) mengatakan bahwa para guru sering melihat temuan-temuan penelitian tidak relevan dan tidak aplikatif untuk pengajaran mereka di kelas. Sehubungan dengan itu, Zeuli (1994) menegaskan bahwa para guru hanya akan mengakui kredibilitas sebuah penelitian jika temuan-temuan penelitian itu relevan dengan praktik pengajaran yang mereka alami di kelas. Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk memberdayakan para guru melakukan penelitian, mereka harus difasilitasi dengan metode penelitian yang memungkinkan mereka mengkaji masalah-masalah yang berhubungan langsung serta menghasilkan solusi bagi masalah-masalah yang mereka temukan dalam pengajaran di kelas. Oleh karena itu, lokasi penelitian terbaik bagi mereka adalah sekolah, khususnya kelas mata pelajaran yang mereka ampu. Penelitian itu juga sebaiknya tidak mengganggu jadual mengajar. Selain itu, analisis data hendaknya dapat disesuaikan dengan teknik analisis yang telah dimiliki atau dapat dipelajari dalam waktu yang tidak terlalu lama. Hasil-hasil penelitian, praktik dan pengalaman di seluruh dunia menunjukkan bahwa hingga saat ini PTK merupakan metode penelitian paling sesuai bagi guru dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran yang mereka lakukan karena dibandingkan dengan penelitian-penelitian akademik tradisional, PTK lebih mudah (user-friendly) dan praktis untuk dilakukan. Dengan menggunakan PTK, guru dapat meneliti untuk meningkatkan pembelajaran. PTK juga lebih fleksibel karena dapat dilakukan secara individual oleh seorang guru, atau secara kolaboratif oleh tim yang terdiri dari dua atau lebih guru. PTK juga dapat dilakukan dalam ruang lingkup yang kecil—sebuah kelas—atau yang lebih besar—dengan melibatkan semua guru dalam tingkat kelas tertentu, atau seluruh sekolah. Durasi waktu yang dibutuhkan dapat mencakup beberapa minggu, beberapa bulan, atau satu tahun. Selain itu, meskipun hasil PTK dapat dipublikasikan secara resmi melalui jurnal atau presentasi dalam seminar, hal itu juga dapat dilakukan melalui seminar tingkat sekolah, pertemuan musyawarah guru mata pelajaran lokal, atau publikasi di situs Web sekolah. Landasan Konseptual PTK Menyadari kekurangpraktisan penelitian-penelitian akademik tradisional (yang dilandaskan pada pandangan positivistik hingga cenderung mengabaikan subjektivitas manusia) bagi kalangan guru, pada tahun 1960 dan 1970-an, para

ilmuwan bidang pendidikan menggagas dan memulai penelitian dengan pendekatan yang lebih humanistik. Elliott (2002) menjelaskan bahwa sebagai bagian dari penekanan pada pendidikan ‘manusia secara utuh,’ cakupan penelitian pendidikan diperluas hingga meliputi PTK, etnografi, penelitian naratif, teori kritis, kajian feminis, dan postmodernisme (h. 87). Selama periode tersebut, muncul gerakan yang menganjurkan pengakuan otoritas guru sebagai orang yang paling memahami aktivitas pengajaran, bukan hanya sebagai penerima hasil-hasil kajian akademis (Doyle 1990), dan mendorong para pendidik untuk menggunakan PTK. Dorongan kepada kalangan pendidik untuk menggunakan PTK juga terinspirasi oleh keberhasilan action research (AR), yang merupakan cikal bakal PTK, sebagai metode penelitian yang digunakan untuk memecahkan masalahmasalah sosial nyata di masyarakat (seperti kesehatan, manajemen, dan sumber daya manusia). Menurut Mills (dalam Creswell, 2008: 597) istilah AR dicetuskan oleh Kurt Lewin (seorang ahli psikologi sosial) Amerika Serikat (AS) yang merasa bahwa masalah-masalah sosial yang timbul dalam masyarakat Amerika Serikat pada tahun 1940an—seperti hubungan interkultural antar kelompok-kelompok masyarakat— dapat diperbaiki melalui proses diskusi kelompok yang dilakukan dalam empat tahapan: perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Metode diskusi yang melibatkan proses bertahap, partisipasi semua pihak, dan keterlibatan yang demokratis tersebut terbukti efektif menghasilkan perubahan sosial. Dengan asumsi bahwa jika AR berhasil digunakan untuk melakukan perbaikan dan peningkatan berbagai hal di dunia nyata, pastilah metode itu cocok juga untuk sektor pendidikan (sebagai salah satu bagian dunia nyata). Berbagai peneliti, praktisi, dan pihak-pihak lain di sektor pendidikan kemudian menerapkan metode ini untuk meneliti isu-isu pendidikan. AR yang khusus diterapkan untuk mengkaji isu-isu pendidikan inilah yang kemudian dikenal sebagai PTK. Pada bagian berikut, pembahasan tentang konsep-konsep yang mendasari PTK dilakukan dengan menyajikan beberapa definisi terkini yang relevan dengan tujuan penulisan makalah ini sebagai titik tolak. PTK pada hakikatnya merupakan metode kajian yang dilakukan oleh guru sebagai praktisi utama di bidang pendidikan untuk memahami dan rnemecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan pembelajaran di kelas atau sekolah. Hopkins (dalam Gabel, 1995) membatasi PTK sebagai sebuah proses penelitian yang didisain untuk memberdayakan seluruh partisipan (siswa, guru, dan pihak-pihak lain) dalam suatu proses pembelajaran, untuk memperbaiki praktik pembelajaran. Dengan demikian, seluruh partisipan sama-sama berperan aktif dalam proses penelitian tersebut. Sedangkan Gwyn (2002) mendefinisikan PTK sebagai metode penelitian yang dilakukan pendidik untuk menemukan apa yang terbaik bagi pembelajaran dalam sebuah kelas agar pembelajaran di kelas itu memberikan hasil terbaik. Pengertian yang relatif senada dirumuskan oleh Best and Kahn (1986), yang membatasi PTK sebagai pengkajian terhadap sebuah praktik agar perubahanperubahan dapat dilakukan oleh para guru untuk menghasilkan capaian yang lebih baik.

Senada dengan beberapa definisi di atas, Creswell (2008, h. 597) menegaskan bahwa PTK adalah sebuah prosedur sistematis yang digunakan guru (atau individu lain dalam konteks pendidikan) untuk menjaring data kuantitatif dan kualitatif dalam rangka memperbaiki komponen-komponen pendidikan, seperti teknik pengajaran, guru, atau proses pembelajaran siswa. Definisi Kemmis & McTaggart (2000, h. 596) mungkin merupakan rumusan paling komprehensif dan aplikatif untuk sektor pendidikan. Menurut mereka, PTK merupakan suatu proses belajar yang menghasilkan perubahan nyata dalam hal (a) apa yang dilakukan orang, (b) bagaimana mereka berinteraksi dengan lingkungan dan orang lain, (c) apa yang mereka maksudkan dan nilai, dan (d) wacana pemahaman dan penafsiran mereka tentang dunia mereka. Dalam semua definisi tersebut, terdapat benang merah yang mengungkapkan bahwa PTK merupakan kajian berbasis praktisi yang dilakukan untuk meningkatkan aspek-aspek tertentu yang mereka soroti dalam konteks pekerjaan mereka. Karakteristik PTK Creswell (2008, hh. 605-609) mengidentifikasi enam karaktaristik PTK. Pertama, PTK terfokus pada tujuan praktis, dalam pengertian diarahkan untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah aktual yang spesifik dalam konteks pendidikan. Cochran-Smith dan Lytle (1999) menggambarkan PTK sebagai practical inquiry atau kajian praktis untuk menekankan fungsinya sebagai cara untuk menghasilkan atau meningkatkan pengetahuan praktis. Berbeda dengan penelitian eksperimental yang sering diarahkan untuk menguji hipotesis dan membangun teori, maupun dengan penelitian naturalistik yang bertujuan untuk memahami dan menjelaskan fenomena yang diteliti, PTK terfokus pada tujuan praktis. Hasilnya dapat menyebabkan teori yang muncul, dan untuk memahami fenomena, tetapi tidak perlu harus theori-driven. Hasil PTK bisa saja berkontribusi kepada pemunculan teori maupun kepada pemahaman fenomena, namun PTK tidak harus diarahkan pada pembentukan teori. Hal ini dapat dilihat pada fakta bahwa laporan dan paparan hasilhasil PTK dalam berbagai jurnal dan konferensi didominasi oleh deskripsi dari tindakan-tindakan yang dilakukan guru-peneliti untuk memecahkan masalah atau meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas. Secara umum laporan dan paparan tersebut menunjukkan kecenderungan pelaksanaan PTK untuk memperolah manfaat langsung bagi diri guru-peneliti dan pihak lain yang tarlibat dalam penelitian tersebut. Untuk menekankan PTK sebagai practical inquiry, Conway and Jeffers (2004) mengatakan bahwa PTK merupakan cara yang dilakukan guru-peneliti untuk menjawab masalah-masalah yang dihadapi dalam pembelajaran. Karena yang diteliti adalah praktik pembelajaran yang dilakukan oleh guru-peneliti itu sendiri, untuk melaksanakan PTK guru tidak perlu meninggalkan tugas utamanya—mengajar. Pembelajaran di kelas tetap berlangsung seperti biasa. Yang berbeda adalah dilakukannya tindakan tertentu untuk memperbaiki aspek yang ingin diubah atau ditingkatkan dalam proses pembelajaran.

Karakteristik PTK ke dua adalah hakikatnya sebagai penelitian yang reflektifmandiri (self-reflective). Dalam konteks ini, peneliti (atau kelompok peneliti) mengkaji dan merenungkan praktik yang dia/mereka lakukan—bukan praktik orang lain—untuk melihat apa yang harus dilakukan dalam rangka memperbaiki praktik tarsebut. Hakikat PTK sebagai kajian yang reflektif-mandiri merupakan faktor pembeda utama terhadap penelitian tradisional yang bersifat empiris. Berbeda dengan penelitian empiris yang dilakukan untuk melakukan penelitian terhadap orang lain. PTK dilakukan oleh guru-peneliti untuk mengkaji diri sendiri. Dengan kata lain, peneliti empiris menyelidiki kehidupan orang lain, sedangkan peneliti PTK menyelidiki diri sendiri. Oleh karena itu, McNiff (2002, h.8) menegaskan bahwa PTK merupakan penelitian yang dilakukan oleh diri ke dalam diri. Si peneliti, seorang praktisi, berpikir tentang kehidupan dan pekerjaannya sendiri, yang kemudian dilanjutkan dengan merenung atau bertanya pada diri sendiri mengapa dia melakukan hal-hal yang dilakukannya, dan mengapa dia adalah dirinya sebagaimana dirinya saat ini. Dalam laporkan penelitiannya akan tergambar proses yang dilaluinya untuk mencapai pemahaman yang lebih baik tentang dirinya sendiri, dan pemahaman yang lebih baik tersebut kemudian digunakan untuk mengembangkan diri dan pekerjaannya. Hakikatnya sebagai sarana melakukan reflektif-mandiri ini adalah faktor terpenting yang membuat PTK bermanfaat meningkatkan kualitas pembelajaran. Mengajar adalah aktivitas yang sangat kompleks, yang menurut Schulman (1987, h. 15) mencakup pemahaman, transformasi, instruksi, evaluasi, refleksi, dan pemahaman baru. Refleksi memampukan setiap guru mendiagnosis dan memahami konteks kelas dan siswanya secara lebih utuh dan mendalam, menempatkan siswa pada pusat proses pembelajaran, mengembangkan landasan pengajarannya, menemukan tindakan khusus, serta mengambil keputusan paling sesuai di dalam kelas (Al-Issa, 2002). Semua aktivitas yang difasilitasi oleh tindakan refleksi ini diyakini akan memberikan pemahaman baru tentang tujuan, materi, siswa, teknik mengajar, dan diri sendiri (Schulman, 1987). Ciri khas PTK yang ketiga adalah sifat PTK yang kolaboratif, karena dilaksanakan oleh seorang guru dan siswa di kelasnya, oleh seorang guru dengan bantuan satu atau lebih kolega, atau oleh sebuah tim yang terdiri dari sekelompok praktisi (guru), kepala sekolah, dan akademisi. Sebagai contoh, seorang guru bahasa Inggris yang ingin meningkatkan kemampuan pelafalan (pronunciation) para siswanya setiap minggu memberikan satu set teks (sebuah alinea pendek) dan rekaman audio (file MP3 berupa suara seorang penutur asli bahasa Inggris membaca aline tersebut) kepada seluruh siswa. Mereka diminta mendengarkan rekaman sambil melihat teks. Setelah itu, mereka membaca teks tersebut, merekam suara masingmasing dan meng-e-mail rekaman tersebut kepada sang guru. Setelah mendengar dan menganalisis seluruh rekaman tersebut, sang guru menjelaskan dan mengajak siswa melatih bagian tertentu (misalnya bunyi, intonasi, atau jeda) yang perlu diperbaiki siswa pada penugasan alinea selanjutnya. Dalam skenario ini, sang guru berkolaborasi dengan siswanya.

Ruang lingkup kolaborasi tersebut bisa ditingkatkan dengan mengajak satu atau lebih guru bahasa Inggris pada jenjang pendidikan yang sama (misalnya kelas sepuluh beberapa sekolah menengah atas) untuk melakukan program peningkatan kemampuan pelafalan (pronunciation) siswa tersebut. Dalam konteks ini, Setelah mendengarkan seluruh rekaman siswa, para guru menganalisis dan mendiskusikan bagian pelafalan yang perlu diperbaiki dan apa yang harus dilakukan untuk memperbaikinya. Jika kolaborasi dilakukan oleh sebuah tim dengan komposisi anggota yang lebih beragam (guru, kepala sekolah, dan akademisi), peran setiap anggota bisa disesuaikan dan dinegoisasikan. Anggota tertentu mungkin hanya berperan melakukan observasi. Satu atau dua anggota berperan melakukan tindakan. Anggota lain membantu dalam analisis data, sedangkan yang lain membantu dalam penulisan laporan akhir. Walau peran para anggota bervariasi, yang penting adalah kerjasama tersebut bermanfaat bagi semua pihak. Kehadiran si akademisi akan mendorong peningkatan keterampilan guru melaksanakan penelitian. Sedangkan si akademisi akan mengalami pengayaan pemahaman tentang masalah yang diteliti. Kehadiran si kepala sekolah akan membuat kegiatan lebih terfasilitasi. Sedangkan si kepala sekolah, paling tidak, akan memperoleh ide baru dalam menentukan kebijakankebijakan untuk meningkatkan keberhasilan sekolahnya dan secara langsung pengetahuan baru dan praktis. Karakteristik PTK ke empat adalah hakikatnya sebagai sebuah proses yang dinamis dan fleksibel yang melibatkan pengulangan-pengulangan aktivitas (sehingga membentuk pola spiral) yang majuplanning mundur diantara perencanaan, tindakan, panjaringan data, dan refleksi. Pada saat ini terdapat reflecting acting berbagai model PTK. Namun semua model itu dikembangkan dari pemikiran Lewin yang menggambarkan penelitian tindakan observing sebagai serangkaian langkah yang membentuk spiral. Setiap langkah Gambar 1. Model Dasar Penelitian Tindakan memiliki empat tahap, yaitu Kurt Lewin (McNiff, 1992: 22). perencanaan (planning), tindakan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting) (McNiff, 1992, h. 19). Secara visual, tahap-tahap tersebut diungkapkan pada gambar 1.

Karena didasarkan pada pemikiran Lewin, berbagai model proses pelaksanaan PTK yang ada mengandung unsur-unsur yang sama, yakni: (1) setiap model diawali pembuatan rencana tindakan untuk mengatasi masalah yang telah diidentifikasi, (2) melakukan tindakan untuk perbaikan atau peningkatan, (3) pelaksanaan observasi terhadap praktik yang berlangsung untuk menjaring dan mensintesiskan informasi; dan (4) melakukan refleksi (evaluasi) pada tindakan tersebut, yang hasilnya kemudian digunakan sebagai basis perencanaan bagi siklus berikutnya, seperti terungkap dalam Gambar 2. Penerapan langkah-langkah ini pada contoh tentang rencana guru bahasa Inggris meningkatkan kemampuan pelafalan (pronunciation) para siswanya di atas dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2: Model Siklus PTK Kemmis and Taggart (1988)

Perencanaan

Bagaimana saya dapat meningkatkan kemampuan pelafalan (pronunciation) para siswa? Apakah kemampuan pelafalan mereka akan meningkat jika masing-masing secara rutin ditugaskan mendengar rekaman suara penutur asli bahasa Inggris sambil melihat teks dan kemudian merekam suara masing-masing ketika membaca teks yang sama untuk dianalisis?

Tindakan

Setiap minggu saya menugaskan setiap siswa mendengar rekaman suara penutur asli bahasa Inggris sambil melihat sebuah alinea dan kemudian merekam suara masing-masing ketika membaca alinea tersebut untuk dianalisis.

Observasi

Saya menganalisis setiap rekaman suara siswa untuk melihat perkembangan kemampuan pelafalan mereka. Data yang diperoleh dikumpulkan dan di organisasikan.

Refleksi

Setelah tindakan berlangsung 6 minggu, analisis data yang terkumpul mengungkapkan bahwa mayoritas siswa menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam melafalkan fonem-fonem dan intonasi. Namun mereka masih menunjukkan kemajuan berarti dalam hal mempproduksi ritme dan ‘linking’. Untuk mengatasi hal itu, dilakukan perencanaan untuk melasanakan siklus ke dua.

Tahap-tahap di atas memperlihatkan bahwa satu siklus PTK dapat dilanjutkan ke siklus berikutnya dengan rencana, tindakan, pengamatan, dan refleksi ulang berdasarkan hasil yang dicapai pada siklus sebelumnya. Siklus ke dua, ke tiga, dan seterusnya direncanakan dan dilakukan apabila masih ditemukan adanya masalah yang belum terpecahkan pada akhir sebuah siklus. Ciri khas PTK yang ke lima adalah hakikatnya sebagai suatu rencana tindakan. Meskipun merupakan proses yang dinamis dan fleksibel, sebagai sebuah metode penelitian, PTK harus dirancang secara sistematis yang memenuhi pola umum prosedur PTK. Sebagian guru kadang-kadang merasa cemas, bahkan ‘takut’, melaksanakan PTK karena adanya tuntutan untuk merancang PTK secara sistematis. Padahal tahapan-tahapan tersebut, tanpa disadari, merupakan metode yang lazim digunakan tiap individu untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Yang membedakan metode pemecahan masalah sehari-hari itu dengan prosedur PTK hanyalah kesistematisan pengidentifikasian masalah, rencana untuk memecahkan masalah, implementasikan rencana, pengumpulan informasi, dan pelaksanaan refleksi kritis bertujuan untuk meningkatkan bidang yang telah dipilih. Berdasarkan buktibukti yang diperoleh, para guru kemudian dapat membuat penilaian profesional atas praktik yang berlangsung di sekolah. Dengan cara ini guru turut berkontribusi pada pengembangan sekolah dan sekaligur meningkatkan profesionalisme mereka. Ciri khas PTK yang ke enam adalah hakikatnya sebagai penelitian kebersamaan (sharing research). Berbeda dengan hasil penelitian tradisional yang biasanya langsung dipublikasikan dengan format yang sangat formal dalam jurnal atau buku, peneliti PTK biasanya mendistribusikan laporan panelitiannya kapada teman-teman sajawat yang mungkin dapat memakai temuan tersebut di kelas masingmasing. Biasanya, karena sifatnya yang praktis hingga dapat langsung diterapkan dalam aktivitas pembelajaran, hasil PTK lebih memberikan manfaat langsung dibandingkan dengan hasil penelitian tradisional. Reeves (2008) menegaskan bahwa para pendidik lebih cenderung dipengaruhi oleh praktik-praktik profesional dan PTK rekan-rekan mereka daripada membaca artikel jurnal atau studi lanjut di program pascasarjana. Oleh karena itu, meskipun saat ini laporan PTK juga sudah dipublikasikan malalui jurnal, biasanya para peneliti PTK lebih cenderung untuk membagikan informasi tarsebut, dalam format yang relatif fleksibel kepada berbagai rekan sejawat untuk dipraktikkan dalam rangka meningkatkan proses pembelajaran di kelas masing-masing atau dikaji ulang di sekolah/kelas masing-masing. Format laporan PTK yang tidak begitu formal ini tentu saja memberikan berbagai kemudahan bagi para guru sebagai peneliti. Berdasarkan paparan di atas, terlihat bahwa berbagai fitur atau karakteristik khusus PTK membuatnya sangat sesuai digunakan oleh para guru untuk meningkatkan praktik pembelajaran mereka. Hal ini dudukung oleh Gilles, Wilson, dan Elias (2010) dengan mengatakan bahwa PTK memberdayakan para guru untuk memeriksa keyakinan mereka sendiri, mengeksplorasi pemahaman mereka mengenai praktik sendiri, meningkatkan refleksi kritis, dan mengembangkan kemampuan

mengambil keputusan" yang meningkatkan pengajaran mereka dan memungkinkan mereka untuk mengendalikan situasi kelas masing-masing (h. 93). Selain itu, PTK juga memperkuat komunitas belajar profesional karena menekankan aspek pembelajaran siswa belajar dan kolaborasi serta refleksi atas praktik pedagogis di kalangan guru. Warren, Doorn, dan Green (2008) menemukan bahwa guru yang terlibat dalam PTK memiliki tingkat kepuasan yang tinggi, yang mendorong motivasi lebih besar untuk mencari solusi terhadap berbagai masalah kelas yang dinamis dan selalu berubah" (h.261). Kesimpulan PTK pada hakikatnya merupakan metode kajian yang dilakukan oleh guru sebagai praktisi utama di bidang pendidikan untuk memahami dan rnemecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan pembelajaran di kelas atau sekolah. Karena secara langsung menyentuh masalah-masalah yang dihadapi oleh guru dan siswa, PTK sangat bermanfaat bagi guru dan siswa. Sifatnya yang sangat praktis dan reflektif membuat PTK dapat langsung diterapkan untuk mengatasi masalah atau meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas dimaksud atau kelas-kelas lain yang mirip. Selain itu, tahapan-tahapan PTK pada dasarnya merupakan metode yang lazim digunakan tiap individu untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, sehingga relatif mudah dilaksanakan. Sehubungan dengan itu, PTK sangat direkomendasikan sebagai alat praktis bagi setiap guru yang ingin meningkatkan proses dan hasil pembelajaran para siswa yang dibimbingnya.

Alwasilah, A.C. (2012) Teachers as researchers; is it possible in Indonesia? The Jakarta Post, Saturday, September 1, 2012. Retrieved July 5, 2013 from: http://www.thejakartapost.com/news/2012/09/01/teachers-researchers-it-possible-indonesia.html Al-Issa, A. (2002). An ideological and discursive analysis of English language teaching in the Sultanate of Oman. Unpublished doctoral dissertation. University of Queensland. Conway, C.M., and T. Jeffers. (2004) The teacher as researcher in beginning instrumental music. Update: Applications of Research in Music Education 22 (2): 35–45. Cochran-Smith, M., and S. Lytle. (1993). Inside outside: Teacher research and knowledge. New York: Teachers College Press. Creswell, J. W. (2008). Educational research: Planning, conducting, and evaluating quantitative and qualitative research. New Jersey: Pearson. Doyle, W. (1990). Themes in teacher education research. In Handbook of research on teacher education, ed. W. R. Houston, M. Haberman, and J. Sikula, 3–24. New York: Macmillan. Ferrance, E. (2000). Themes in education: Action research. Brown University: Educational Alliance, 1-34.

Johnson, M., & Button, K. (2000). Connecting graduate education in language arts with teaching contexts: The power of action research. English Education, 32, 107-126. Kaplan, R. (1998). On TESOL and research. TESOL Matters, 8(3). Kemmis, S., & McTaggart, R. (2000). Participatory action research. In N.Denzin & Y. Lincoln (Eds).,Handbook of Qualitative Research. (2nd ed. Pp 557-605). Thousand Oaks: Sage. Levin, B. B., and S. P. Merritt. 2006. Guest editors’ introduction: Action research for teacher empowerment and transformation. TeacherEducation Quarterly 33 (3): 3–6. Mackey, A., & Gass, S. M. (2005). Second language research: Methodology and design. Mahwah: Lawrence Erlbaum Associates Publishers McNiff, J. Action research for professional development: Concise advice for new action researchers. Dorset: September Books. Mills, G. E. (2011). Action research: A guide for the teacher researcher (4th ed.). Boston: Pearson. Ponte, P. (2002) How Teachers Become Action Researchers and How Teacher Educators Become their Facilitators, Educational Action Research, 10(3), pp. 399-422. Reeves, D. B. (2008). Reframing teacher leadership to improve your school. Association for Supervision and Curriculum Development. Robbins, J., M. K. Burbank, and H. Dunkle. 2007. Teacher research: Tales from the field. Journal of Music Teacher Education 17:42–55. Sagor, R. (2004). The action research guidebook: A four-step process for educators and school teams. Thousand Oaks, CA: Sage. Schulman, L. (1987). Knowledge and teaching: foundations of the new reform. Harvard Educational Review, 57 (1), 1-21. Vialle, W., Hall, N. & Booth, T. (1997). Teaching research and inquiry in undergraduate teacher-education programmes. Asia-Pacific Journal of Teacher Education, 25(2), 129–140. Zeuli, J. (1994). How do teachers understand research when they read it? Teaching and Teaching Education, 10(1), 39-55

Related Documents

Kpm
October 2019 35
Kpm
August 2019 31
Dasar Keselamatan Ict Kpm
November 2019 22
Amanat Kpm 2019.docx
December 2019 22

More Documents from "Ooi Ban Aik"

1401409382.pdf
August 2019 5
Kpm
August 2019 31
Kondisi Pasang Surut.docx
December 2019 46
Syiar.docx
October 2019 44