PENDIDIKAN DAN DEMOKRATISASI: Peran Pendidikan Keluarga dalam Menciptakan Sikap Demokratis Oleh: Imam Fachruddin, M.Ag. Penulis adalah Dosen UIN Syarif Hidayatullah Dpk Institut PTIQ Jakarta pada Fakultas Syariah. Setelah menamatkan pendidikan di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, penulis menyelesaikan studi Program S1 pada Fakultas Tarbiyah di IAI Al-Aqidah dan Program S2 pada Konsentrasi Politik Islam di perguruan tinggi yang sama. ABSTRACT Ideally, the family's education have to be a spiritual purification process for children, so they could showed a responsive action to all problems that faced by their society and nations. Through these purification process they were expected to become spiritual's figures who had a high appreciation to the problem of humanities, sincerity, democratization, tolerance, and peacefulness of life. Our existence's problems was the moral's crisis which was disseminate to approximant all life's aspects with all the impacts. We require figures with spritual's intellegence and high appreciation to democracy's values; who created a peaceful life in the middle of the hateful life, offered a forgiveness for insultness, placed forward the reconciliation in overcoming the conflict, gave the certainty if happened the anxiety. uphold the truth if happened the immeasurable formed of deviation and perverting, and brought the lightness in the middle of the darkness. Forwards, the family's education have to anticipate the moral's crisis by giving a hard attention to effort of rooting the democracy's values and student's spirutual. It's not less important that parents who reside in most next line for the family's education's should become byword's figure before their children. The parent's attitude and behavior in daily life must be based on democracy's value, religion, and transcendental. Parent's attitude must be democratic, more concientious, more attentional, feel smoothly the resonance's soul of their children. The spirit of spritual's purification from parents would be catched by children's soul automatically. With own willingness, the children will follow the instruction of their parents, and not because of their fear, but because of love, respect, and their spiritual's tying with the parents. Keywords: Pendidikan keluarga dan sikap demokratis A. Pendahuluan Gagasan tentang masyarakat demokratis tidak hanya mengalami stagnasi tapi juga mengalami setback ketika konflik-konflik sosial bernuansa sara terus terjadi di tengah masyarakat. Konflik yang hingga saat ini masih terus terjadi adalah antara umat Islam dengan kelompok yang menganut paham yang dinyatakan "sesat". Terlepas dari banyaknya korban yang jatuh, konflik-konflik sosial tersebut sangat tidak kondusif bagi upaya pembentukan
1
masyarakat demokratis. Karena konflik-konflik yang berujung pada terjadinya kekerasan di tengah masyarakat sangatlah bertentangan dengan konsep masyarakat demokratis yang dapat diartikan sebagai masyarakat beradab.1 Walaupun demikian, di tengah kondisi yang sedemikian rupa, masih terdapat keyakinan, bahwa dalam pikiran dan hati setiap individu bangsa ini masih tertinggal hasrat dan cita-cita untuk dapat mewujudkan masyarakat demokratis di Indonesia. Hal ini, tentunya harus terus diupayakan secara konsisten dan berkesinambungan, tidak secara spontanitas apalagi hanya melalui gerakan-gerakan yang terkesan ingin mewujudkan masyarakat demokratis secara instant. Di antara upaya yang dipandang berpotensi untuk mengejewantahkan konsep-konsep masyarakat demokratis secara konsisten dan berkesinambungan adalah pendidikan. Sebab, pendidikan dan masyarakat merupakan dua variabel yang tidak dapat dipisahkan. Dalam hal ini, Adolphe E. Mayer, sebagaimana dikutip oleh Barnadib, menyatakan bahwa hubungan antara pendidikan dan masyarakat tidaklah bersifat linear, melainkan hubungan timbal balik (mutual simbiosis). Sementara Figerlind menyebut hubungan keduanya bersifat dialektis.2 Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa perubahan yang terjadi terhadap masyarakat akan mempengaruhi pendidikan, dan sebaliknya, perubahan yang terjadi dalam pendidikan akan mempengaruhi pola kehidupan masyarakat. Lain dari pada itu, tatanan masyarakat demokratis nampak jelas dinyatakan dalam tujuan pendidikan di Indonesia, sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan "bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab".3 Hanya saja, pencapaian masyarakat demokratis melalui pendidikan bukanlah perkara yang mudah, menimbang bahwa pendidikan adalah sebuah proses, maka pencapaian masyarakat demokratis amat bergantung pada proses pendidikan itu sendiri. Sementara kenyataan yang ada menunjukkan bahwa tidak sedikit lembaga pendidikan (termasuk di dalamnya keluarga) yang dalam proses kependidikannya terlalu menitikberatkan pada dimensi kognitif-intelektual dan kurang menyentuh aspek psikomotorik dan afektif serta wilayahwilayah transendental. Sehingga pendidikan hanya melahirkan generasi-generasi yang sangat pandai dalam ilmu pengetahuan, paham dan menguasainya tapi miskin pengamalan nilai-nilai moral. Walhasil, pengetahuan hanya bersemayam dalam benak dan otak tapi sama sekali tidak terapresiasikan dalam perilaku dan tindak tanduk keseharian mereka. Proses pendidikan
2
seperti ini tentu saja tidak kondusif bagi terbentuknya masyarakat demokratis, tapi hanya akan melahirkan masyarakat teknokrat. Berdasarkan pandangan bahwa demokratisasi adalah suatu gagasan yang sangat penting untuk diwujudkan oleh setiap komponen bangsa secara konsisten dan berkesinambungan, maka keluarga sebagai garda awal proses pendidikan generasi bangsa memiliki tanggung jawab yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya dalam menanamkan sikap-sikap demokratis pada peserta didik (anak). A. Kajian Teori 1. Keluarga sebagai Pendidik Dalam dunia pendidikan diakui bahwa orang tua merupakan pendidik yang pertama dan utama bagi anak-anak mereka. Di katakan pertama, karena memang orang tua yang pertama kali dikenal oleh anak sebelum anak mengenal orang lain. Sedangkan dikatakan utama, karena memang kesempatan yang terbaik, banyak dan utama untuk mendidik dimiliki orang tua dalam keluarga. Zainuddin, dkk., mengemukakan bahwa "dalam keluarga inilah anak pertama kali menyandarkan hidup dan membutuhkan sentuhan kasih sayang pertama, mendapatkan bimbingan, pengajaran dan pendidikan dari orang tuanya karena sebagian besar kehidupan anak adalah didalam keluarga sehingga pendidikan dan bimbingan yang paling banyak diterima oleh anak adalah dari kedua orang tuanya."4 Antara kedua orang tua terdapat kerja sama dalam mendidik anak, Ibu sifatnya menghangatkan atau memberikan kehangatan, menumbuhkan rasa terima dan menanamkan rasa aman. Sedangkan ayah sifatnya mengembangkan kepribadian, menanamkan disiplin, memberikan arah dan dorongan serta bimbingan agar anak bertambah berani dalam menghadapi kehidupan. Untuk lebih jelasnya marilah kita melihat peran masing-masing dari dua orang tua terhadap pendidikan anak : a. Peran Ibu Pada kebanyakan keluarga, ibulah yang banyak memegang peranan penting terhadap anak-anaknya. Ibulah yang melahirkan, ibulah yang selalu berada disamping anak, ibulah yang memberi makan dan minum, memelihara dan bercampur gaul dengan anak-anaknya itulah sebabnya kebanyakan anak lebih cinta kepada ibunya dari pada kepada anggota keluarga lainnya.
3
M Ngalim Purwanto, menyimpulkan bahwa peran ibu dalam mendidik anak-anak adalah: 1). Sumber pemberi kasih sayang, 2). Pengasuh dan pemelihara, 3). Tempat mencurahkan isi hati pengatur kehidupan dalam rumah tangga, 4). Pembimbing hubungan pribadi, 5). Pendidik dalam segi-segi emosional.5 b. Peran Ayah Disamping ibu, seorang ayah juga memegang peranan penting pula. Anak memandang ayah sebagai orang yang tertinggi gengsinya atau prestisenya. Kegiatan seorang ayah terhadap pekerjaannya sehari-hari sungguh besar pengaruhnya terhadap anaknya. Ditinjau dari fungsi dan tugasnya sebagai ayah, dapat dikemukakan bahwa peran ayah dalam pendidikan anak-anaknya yang lebih dominan adalah sebagai berikut : 1). Sumber kekuasaan dalam keluarga yang memberikan pendidikan anaknya tentang manajemen dan kepemimpinan. 2). Sebagai penghubung antara keluarga dan masyarakat yang memberikan pendidikan anaknya komunikasi terhadap sesamanya. 3). Pemberi perasaan aman bagi seluruh anggota keluarga yang memberikan pendidikan berupa sikap yang bertanggung jawab dan waspada. 4). Sebagai hakim atau yang mengadili jika terjadi perselisihan yang memberikan pendidikan anaknya berupa sikap tegas, menjunjung keadilan tanpa memihak yang salah. 5). Pendidik yang rasional yang memberikan pendidikan anaknya dasar-dasar pengembangan daya nalar dan daya intelek.6 Memang kalau dibandingkan antara ibu dan ayah, kedekatan diantara kedua orang ini dengan anak jelas lebih dekat ibu dari pada ayah. Hal ini dapat kita maklumi karena memang ibu, pada umumnya, lebih banyak di rumah serta lebih dekat dengan anak-anak. Namun demikian hal ini bukan berarti peran dan keberadaan ayah tidak penting bagi diri anak dan keluarga. Di satu sisi memang ayah kurang dekat dengan anak, akan tetapi disisi lain ia adalah soko guru bagi kehidupan sebuah keluarga. Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa pada hakekatnya tanggung jawab pendidikan mesti disadari dan dibina oleh kedua orang tua terhadap anak adalah sebagai berikut : 1). Memelihara dan membesarkan, tanggung jawab ini merupakan dorongan alami untuk dilaksanakan, karena anak memerlukan makan, minum dan perawatan, agar ia dapat hidup secara berkelanjutan.
4
2). Melindungi dan menjamin kesehatannya, baik secara jasmani, maupun rohaniah dan berbagai gangguan penyakit atau bahaya lingkungan yang dapat membahayakan dirinya. 3). Mendidik berbagai ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki yang berguna bagi kehidupan anak kelak, sehingga ia telah dewasa nanti mampu berdiri sendiri dan membantu orang lain. 4). Memberikan pendidikan agama pada anak secara baik sehingga dapat menunjukan jalan bagi kebahagian mereka didunia dan diakhirat. Seiring dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat serta perkembangan ilmu pengetahuan, orang tua selaku pendidik bagi anak-anak mereka semakin dituntut untuk memberikan bekal kepada anak-anak mereka agar kelak mampu menghadapi perubahan serta tuntutan-tuntutan masyarakat tersebut, termasuk di dalamnya membina sikap demokratis dalam diri anak-anak mereka. 2. Sikap Demokratis Sikap pada hakikatnya adalah kesiapan untuk bereaksi terhadap sesuatu obyek dengan cara-cara tertentu. Kesiapan yang dimaksudkan merupakan kecenderungan potensial untuk bereaksi apabila dihadapkan pada stimulus yang menghendaki adanya respon, yakni respons kognitif, afektif, dan konatif. Respons kognitif merupakan respons pernyataan sikap mengenai apa yang diyakini. Respons afektif merupakan respons pernyataan sikap mengenai perasaan (apa yang dirasakan). Respon konatif merupakan respons tindakan, perilaku atau pernyataan sikap berupa perilaku. Sikap tersebut dapat muncul tidak saja ditentukan oleh rangsangan keadaan obyek yang sedang dihadapi, tetapi juga berkaitan dengan pengalaman masa lalu, atau oleh situasi sekarang, atau juga oleh harapan-harapan untuk masa datang.7 Pengertian serupa juga dikemukakan oleh Slameto, bahwa sikap mengandung tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen tingkah laku. Sikap selalu berkenaan dengan suatu objek, dan sikap terhadap objek ini disertai dengan perasaan positif atau negatif. Orang mempunyai sikap positif terhadap suatu objek yang bernilai dalam pandangannya, dan ia akan bersikap negatif terhadap objek yang dianggapnya tidak bernilai dan atau juga merugikan. Sikap ini kemudian mendasari dan mendorong ke arah sejumlah perbuatan yang satu sama lainnya berhubungan. Banyak hal yang dapat menjadi objek sikap, namun seseorang hanya dapat mempunyai sikap terhadap hal-hal diketahuinya. Jadi, harus ada sekedar informasi pada seseorang untuk dapat bersikap terhadap suatu objek. Informasi merupakan kondisi pertama untuk suatu sikap. Bila berdasarkan informasi itu timbul perasaan
5
positif atau negatif terhadap objek dan menimbulkan kecenderungan untuk bertingkah laku tertentu, terjadilah sikap.8 Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa sikap bila dilihat dari respons konatif, mewujud dalam respons berupa perbuatan atau pernyataan sikap. Sedangkan bila dilihat dari respon kognitif dan afektif hanya dalam bentuk pernyataan sikap. Sikap itu muncul didasari oleh proses evaluasi dari diri yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik-buruk, positif-negatif, senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, dan sebagainya. Jadi, sikap merupakan satu respon evaluatif terhadap satu obyek yang memberi stimulus tertentu dan menghendaki adanya respons. Sebelum respons itu diberikan, dalam diri seseorang terjadi atau ada interaksi antara motivasi, nilai-nilai keyakinan, pengetahuan dan lingkungan. Interaksi tersebut menghasilkan sikap-sikap tertentu dalam bentuk pernyataan sikap atau dalam perbuatan. Perbuatan tersebut sebagai wujud dari sebuah perilaku. Maka perilaku merupakan ekspresi konkret yang tampak dalam sikap, perbuatan, dan kata-kata sebagai reaksi seseorang yang muncul karena adanya pengalaman proses pembelajaran atau rangsangan lingkungannya. Di antara sikap manusia adalah sikap demokratis. Kata demokratis berarti “bersifat demokrasi ; berciri demokrasi”.9 Sedangkan kata demokrasi merupakan kata yang kerap digunakan dalam bidang politik yang berarti “(1) bentuk atau sistem pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya ; pemerintahan rakyat, (2) gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara”.10 Demokrasi sering dipahami sebagai sistem politik yang memelihara keseimbangan antara konflik dan konsensus. Artinya, demokrasi memungkinkan adanya perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan, baik antar individu dan individu yang lain, individu dan kelompok, kelompok dan kelompok, individu dan pemerintah, kelompok dan pemerintah, atau bahkan antar lembaga-lembaga pemerintahan. Meskipun demikian, demokrasi hanya mentolelir konflik yang tidak menghancurkan sistem. Untuk itu, sistem politik demokrasi menyediakan mekanisme dan prosedur yang mengatur dan menyalurkan mekanisme dan prosedur yang mengatur dan menyalurkan konflik sampai pada penyelesaian dalam bentuk kesepakatan (konsensus).11 Oleh kareana eratnya keterkaitan istilah demokrasi dan politik, maka para ahli pun cenderung mendefinisikan demokrasi dalam konteks tersebut. Seperti pendapat Robert A. Dahl, yang menjelaskan, bahwa pemerintahan demokratis adalah pemerintahan yang : (1)
6
menyelenggarakan pemilihan yang terbuka dan bebas ; (2) mengembangkan pola kehidupan politik yang kompetitif ; (3) dan memberi perlindungan terhadap kebebasan masyarakat (civil liberties).12 Sejalan dengan pemikiran Robert A. Dahl, Juan Linz menyatakan bahwa sebuah pemerintahan demokratis adalah yang : (1) memberi kebebasan bagi masyarakatnya untuk untuk merumuskan prefensi-prefensi politik mereka, melalui jalur-jalur perserikatan, informasi, dan komunikasi ; (2) memberikan kesempatan bagi warganya untuk bersaing secara teratur, melalui cara-cara damai ; dan (3) tidak melarang siapapun untuk memperebutkan jabatan-jabatan politik yang ada.13 Terlepas dari konotasi demokrasi dengan bidang politik, Paul Suparno menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sikap demokratis adalah sikap non diskriminatif dan non represif. Sikap non diskriminatif dan non represif adalah wujud dari demokrasi. Dalam negara yang demokratis orang tidak boleh didiskriminasikan berdasarkan suku, agama, tingkat sosial, maupun level pendidikan. Orang mendapatkan perlakuan sama dalam mendapatkan pelayanan masyarakat dan negara seperti dalam hal pendidikan dan hukum. Orang juga tidak boleh ditindas oleh orang atau kelompok lain, tetapi perlu dihargai. Penindasan dalam bentuk apapun dianggap melanggar nilai kemanusiaan. Sikap ini perlu ditanamkan pada peserta didik sehingga mereka tidak mendiskriminasikan dan menindas orang lain atau teman lain.14 Lebih lanjut Paul Suparno dan kawan-kawan menyatakan bahwa sikap menghargai adanya perbedaan pendapat secara wajar, jujur, dan terbuka merupakan dasar sikap demokratis. Perbedaan pendapat tersebut bukanlah sekedar berbeda lalu berhenti namun untuk membuat kesepahaman bersama secara terbuka dan saling menghormati. Sikap demokratis berarti juga keterbukaan seseorang untuk berani menerima dan mengakui bahwa pendapatnya belum atau tidak digunakan pada saat itu. Kesepakatan bukan berarti jumlah yang besar yang menang atau yang kuat bersuara yang menang, tetapi lebih pada kebenaran dan kebaikan.15 Dari pendapat-pendapat di atas, dapat dipahami bahwa sikap demokratis, dalam konteks sosial, mencakup dua hal, yaitu : (1) Menghargai dan menerima perbedaan dalam hidup bersama secara saling menghormati, dan (2) Berani menerima realita kemenangan maupun kekalahan. Kedua nilai demokrasi tersebut dapat diimplementasikan dalam beberapa sikap, yaitu : (1) Sikap menjunjung tinggi nilai-nilai Kesejajaran. (2) Sikap toleransi. (3) Sikap adil. (4) Sikap menghargai hukum atau peraturan. (5) Sikap menghargai perbedaan.16 Berdasarkan uraian di atas, maka konsep penanaman sikap demokratis diartikan sebagai tatanan konseptual yang menggambarkan keseluruhan upaya sistematis dan sistemik
7
untuk mengembangkan cita-cita, nilai, prinsip, dan pola prilaku demokrasi dalam diri individu, dalam tatanan iklim yang demokratis, sehingga pada giliranya kelak secara bersamasama dapat memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya masyarakat Indonesia yang demokratis. Paradigma ini dijiwai oleh ethos baru pendidikan demokrasi “eduction about democracy, through democracy, and for democracy”.17 C. Pembahasan Uraian-uraian di atas, jika dikaitkan dengan pembahasan pembinaan sikap demokratis, tidak dapat disangsikan lagi, bahwa asas-asas pendidikan dalam keluarga, baik mengenai peran kedua orang tua, bentuk tanggung jawab kedua orang tua, maupun bentuk pendidikan yang dilakukan, benar-benar merupakan embrio bagi kerangka pembinaan sikap demokratis. Setidaknya, jika peran kedua orang tua terhadap pendidikan anaknya dapat dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan, maka anak telah memiliki bekal untuk hidup secara demokratis di tengah masyarakat bila dewasa kelak. Hal tersebut dapat dipahami berdasarkan analisa penulis terhadap peran kedua orang tua sebagai berikut : 1. Peran ibu yang memberikan kasih sayang dalam setiap berinteraksi dengan anak-anaknya, adalah bekal bagi anak untuk dapat hidup berdampingan dengan sesamanya dengan bingkai kasih sayang. Jika hal ini telah mengakar dalam dirinya, sudah pasti budaya kekerasan bukanlah pilihannya dalam menyelesaikan berbagai masalah yang kelak ia temui di tengah-tengah masyarakat. 2. Tipe kepemimpinan seorang ayah dalam keluarga akan menjadi contoh kepemimpinan anaknya kelak. Sikap otoriter, mau menang sendiri, acuh tak acuh, tidak akomodatif terhadap keinginan anak, hanya akan membentuk sikap kepemimpinan yang negatif dalam diri anak. 3. Sikap adil seorang ayah dalam memutuskan perselisihan yang terjadi dalam keluarga serta tidak membeda-bedakan antara anak yang satu dengan yang lain akan menamkan sifat keadilan dan persamaan dalam diri anak. Sikap ini menjadi semakin penting, ketika orang tua bersifat adil tanpa membedakan jenis kelamin anak-anaknya, karena hal itu akan menanamkan sifat pengakuan terhadap persamaan dan kesetaraan gender. 4. Cara berpikir yang rasional dalam diri seorang ayah akan mengarahkan anak kepada sikap mengambil tindakan berdasarkan pemikiran yang matang bukan secara emosional bila kelak ia dewasa. Di antara bentuk-bentuk pendidikan yang menjadi tanggung jawab orang tua, penulis melihat pembudayaan nilai-nilai agama adalah satu-satunya bentuk pendidikan yang akan
8
selalu menjadi tanggung jawab orang tua. Sebab, bisa jadi orang tua memiliki keterbatasan untuk mendidik anak-anaknya ilmu pengetahuan atau teknologi, sehingga mewakilkan pendidikan tersebut kepada sekolah, tapi orang tua tidak mungkin dan tidak boleh terbatas dalam melakukan pembudayaan nilai-nilai agama pada anak-anaknya. Di era informasi ini, pembudayaan nilai-nilai agama kian dibutuhkan. Karena telah terjadi perubahan-perubahan mendasar dalam pola asuh anak dan keluarga yang penuh dengan kebisingan lalu lintas informasi dewasa ini. Pada masa dulu, sumber pewaris nilai cenderung berdimensi tunggal, yaitu berpusat pada keluarga. Keluarga begitu rajin menawarkan nilai kepada anak-anaknya melalui menghafal dan melafalkan teks-teks wahyu secara verbal. Namun, tatkala acuan nilai menjadi majemuk seperti di saat sekarang ini, maka cara pem-budayaan nilai-nilai agama dengan cara di atas akan sulit untuk dipertahankan. Karena, selain keluarga, kini ada juga sekolah dan kelompok pengajian, dan termasuk penetrasi media massa dengan acuan global amat gencar memasuki dinding-dinding rumah dan menemani anggota keluarga sepanjang hari. Nilai-nilai agama yang harus dibudayakan dalam keluarga memiliki dimensi yang cukup luas, termasuk di dalamnya dimensi ibadah yang bersifat vertikal, yaitu suatu upaya membuka komunikasi langsung dengan Allah melalui shalat, puasa, zakat, maupun haji, dan dimensi ibadah horizontal, yaitu upaya manusia untuk mengembangkan komunikasi dengan sesamanya berdasarkan semangat persamaan hak dan persaudaraan sejati yang diajarkan oleh Allah s.w.t. Peran keluarga dalam mensosialisasikan nilai agama dan seluruh jenis ibadah sangatlah penting dan strategis. Dalam keluargalah pendidikan dan pembudayaan nilai-nilai agama dapat tertanam dengan baik sejak usia anak masih sangat dini. Sebagaimana penulis telah nyatakan bahwa para ahli pendidikan berpendapat bahwa karakter dasar manusia amat bergantung pada bangunan awal orang tua mengolah dan membimbing anak-anak mereka. Karena pada usia itulah anak mendapat bimbingan langsung dari kedua orang tuanya. Sehingga, apa saja yang dipraktekkan orang tua sangat mungkin ditelan mentah-mentah dan akan menjadi bagian yang tak terlupakan oleh sang anak. Pada masa ini orang tua benar-benar dituntut untuk berhati-hati dalam mensosialisasikan nilai-nilai, baik nilai-nilai sosial, budaya, maupun nilai agama itu sendiri. Terlebih lagi pada perilaku sosialnya sehari-hari.18 Hal tersebut menjadi semakin urgen pada era globalisasi dan informasi ini, di mana nilai-nilai yang beragama sifat, jenis, dan asalnya masuk ke dalam rumah tanpa permisi. Tentu peranan keluarga amat dituntut untuk pengawal dan memagari lingkungan agar tidak
9
tercemari oleh sistem hegemoni informasi yang kian mendunia, memudahkan manusia, tapi sekaligus menakutkan dan membuat gelisah para orang tua.19 Keluarga akhirnya dituntut sekali lagi untuk tetap melakukan peran strategis yang tidak bisa dilakukan oleh media massa atau institusi sosial lain secara maksimal. Ini berarti bahwa beberapa penajaman fungsi keluarga perlu dilakukan demi menyelamatkan generasi bangsa di masa depan. Peran-peran strategis yang bisa dilakukan oleh keluarga dalam pembudayaan nilai-nilai agama, menurut Marwah Daud Ibrahim, antara lain adalah :20 1. Orang tua seyogyanya bisa tampil sebagai pendidik dan suri tauladan. Di sini, orang tua menjadi pendidik inti dari anak-anak. Metode yang paling efektif dalam lingkungan keluarga adalah melalui contoh dan pembiasaan. Karena anak akan terbiasa melakukan shalat atau puasa, sebagai contoh, dengan melihat orang tua melakukannya secara rutin. Kenyataannya, keluargalah yang paling efektif melakukan pembiasaan seperti ini. 2. Orang tua sebagai pemberi motivasi bagi anak untuk mempertajam kepekaan mereka terhadap nilai-nilai agama. Karena ibadah-ibadah yang telah biasa dilakukan baik oleh orang tua ataupun anak, tidak hanya berdimensi tunggal, hanya bersifat transendental, tapi berdimensi banyak dan bersifat sosial. Motivasi yang diberikan orang tua akan memicu anak untuk selalu mencari nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama yang ia yakini. 3. Orang tua merupakan fasilitator bagi anak untuk tidak hanya memandang mereka sebagai satu-satunya sumber nilai yang ia ketahui. Dalam hal ini orang tua harus memperkenalkan kepada anak-anak mereka sumber-sumber nilai lain, seperti sekolah, kegiatan-kegiatan keagamaan, buku, majalah, dan lain sebagainya. Dari sini, anak akan semakin kaya akan nilai-nilai, khususnya nilai-nilai keagamaan. 4. Orang tua bertindak sebagai penyaring informasi bagi anak-anaknya. Hal ini merupakan kelanjutan dari peran orang tua di atas. Karena ketika orang tua memperkenalkan kepada anak-anak sumber-sumber nilai yang lain, tidak mustahil anak akan mendapatkan nilainilai yang negatif dari sumber-sumber tersebut. Maka di sinilah orang tua berperan untuk menyaring informasi-informasi yang diperoleh anaknya. Dalam hal ini, sikap keterbukaan orang tua sangat menentukan untuk membantu anak dari kebuntuan dan kesalahan mencerna informasi. Jika orang tua berhasil membangun dialog terbuka dengan anakanaknya, otomatis kebuntuan dan kesalahan mencerna informasi dapat terkurangi. Lain dari pada itu, dalam era pluralisme budaya orang tua sebagai pendidik dalam keluarga yang mengemban tugas untuk mensosialisasikan nilai-nilai agama yang konstruktif, dihadapkan pada dua sisi tuntutan yang berlawanan, yaitu tuntutan untuk beradaptasi dengan
10
lingkungan dan budaya yang terus berkembang dan tuntutan untuk mempertahankan nilainilai lama sebagai panutan. Sehubungan dengan permasalahan di atas, ada hal yang perlu disadari oleh orang tua sebagai pendidik dalam keluarga, bahwa nilai-nilai agama apapun yang mereka budayakan kepada anak-anak tidak akan lepas dari peran teoligi yang merupakan inti dari agama. Maka di tengah dua tuntutan di atas, hendaknya orang tua memberi perhatian yang optimal dalam permasalahan teoligi. Jangan sampai pembudayaan nilai-nilai teologi pada anak hanya berkutat pada klaim kebenaran ajaran Islam dan klaim kesalahan ajaran agama lain. Jika pembahasan klaim kebenaran Islam dalam teologi ketuhanan, maka hal itu adalah suatu keharusan yang semestinya dipenuhi dan merupakan kebutuhan anak untuk mengetahui kebenaran Allah s.w.t. sebagai Dzat Maha Agung yang harus mereka sembah. Akan tetapi, apabila klaim kebenaran ini memasuki wilayah sosial politik yang bersifat praktis-empiris, maka orang tua dalam hal ini menanamkan permusuhan dalam diri anaknya terhadap penganut agama lain. Lambat laun pembudayaan nilai seperti ini akan memberi kesan pada anak, bahwa agama, termasuk Islam, adalah momok yang menakutkan ketimbang sebagai agama yang perlu dihormati karena konsepsi-konsepsinya yang luhur dalam memecahkan kesulitan-kesulitan manusia. Ini adalah sikap kontra produktif bagi pluralisme yang juga merupakan prasyarat bangunan masyarakat demokratis. Ada hal yang juga penting yang harus diperhatikan dalam pembudayaan nilai-nilai agama dalam diri anak, yaitu dimensi spiritual yang dimiliki oleh agama yang terefleksikan dalam bentuk nilai-nilai moral yang mengikat semua orang baik yang seagama maupun di luarnya, misalnya persamaan hak, kebebasan, kasih sayang, saling membantu dalam kebaikan, dan menghormati martabat orang lain.21 Hal inilah yang seyogyanya ditekankan oleh orang tua dalam menanamkan nilai-nilai agama dalam diri anak, sehingga akhirnya klaim kebenaran tidak mengganggu hubungan antar individu atau kelompok yang tidak segaris pemikiran. Jadi ketika kelak anak beriteraksi dengan orang lain yang harus dikedepankan adalah nilai-nilai moral tadi agar tidak terjadi perseteruan dengan orang lain yang tidak seagama. D. Kesimpulan Peran yang dapat dilakukan orang tua dalam rangka membina sikap demokratis pada diri anak, antara lain adalah sebagai berikut: 1. Sebagai pendidik inti dalam lingkungan keluarga, orang tua harus tampil sebagai pendidik dan suri tauladan ; sosok yang penuh kasih sayang, adil, dan saling menghormati.
11
. Memberi motivasi bagi anak untuk mempertajam kepekaan mereka terhadap nilai-nilai agama, sehingga mereka tidak hanya memandang ajaran Islam (ibadah) hanya berdimensi transendental tapi juga berdimensi sosial. 2. Orang tua bertindak sebagai penyaring informasi bagi anak-anaknya, karena tidak mustahil anak akan mendapatkan nilai-nilai yang negatif dari sumber-sumber nilai selain orang tua. Hal ini harus didukung oleh sikap keterbukaan orang tua dalam membantu anak dari kebuntuan dan kesalahan mencerna informasi. 3. Memberi perhatian yang optimal dalam permasalahan teoligi. Jangan sampai pembudayaan nilai-nilai teologi pada anak hanya berkutat pada klaim kebenaran ajaran Islam dan klaim kesalahan ajaran agama lain. Jika pembahasan klaim kebenaran Islam dalam teologi ketuhanan, maka hal itu adalah suatu keharusan yang semestinya dipenuhi dan merupakan kebutuhan anak untuk mengetahui kebenaran Allah s.w.t. sebagai Dzat Maha Agung yang harus mereka sembah. Akan tetapi, apabila klaim kebenaran ini memasuki wilayah sosial politik yang bersifat praktis-empiris, maka orang tua dalam hal ini menanamkan permusuhan dalam diri anaknya terhadap penganut agama lain. Sehingga hal tersebut memberi kesan pada anak, bahwa agama, termasuk Islam, adalah momok yang menakutkan ketimbang sebagai agama yang perlu dihormati karena konsepsi-konsepsinya yang luhur dalam memecahkan kesulitan-kesulitan manusia. Ini adalah sikap kontra produktif bagi pluralisme yang juga merupakan prasyarat bangunan masyarakat demokratis. 4. Pembudayaan dimensi spiritual yang dimiliki oleh agama yang terefleksikan dalam bentuk nilai-nilai moral kategorikal yang mengikat semua orang baik yang seagama maupun di luarnya, misalnya persamaan hak, kebebasan, kasih sayang, saling membantu dalam kebaikan, dan menghormati martabat orang lain. Sehingga akhirnya klaim kebenaran tidak mengganggu hubungan antar individu atau kelompok yang tidak segaris pemikiran. Jadi ketika kelak anak beriteraksi dengan orang lain yang harus dikedepankan adalah nilai-nilai moral yang kategorikal tadi agar tidak terjadi perseteruan dengan orang lain yang tidak seagama.
12
CATATAN :
13
Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani : Gagasan, Fakta, dan Tantangan, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2000), Cet. ke-2, h. 5 2 Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta : Andi Offset, 1986), h. 7677 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, Bab II Pasal III 4 Zainudin, el al., Seluk Beluk pendidikan dari Al-Gazali, (Jakarta : Bumi Aksara, 1991), Cet. Ke-1, h. 90 5 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teori Dan Praktis, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 1988), Cet. Ke-4, h. 82 6 Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam : Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, (Bandung : Trigenda Karya, 1993), Cet. Ke-1, h. 293 7 Tulus Tu’u, Peran Disiplin pada Perilaku dan Prestasi Siswa, (Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Informatika, 2004), h. 67 8 Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003), h. 189 9 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 221 10 Ibid. 11 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta : PT Gramedia Wicaksarana Indonesia, 1999), Cet. Ke-4, h. 228 12 Robert A. Dahl, Polyarchy : Participation and Opposition, (London : London University Press and New Haven, 1971), h. 1-16 13 Juan J. Linz, “Mendefinisikan dan Membangun Demokrasi”, dalam Ikrar Nusa Bhakti, et. al., Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat : Belajar dari Kekeliruan Negara-Negara Lain, (Bandung : Mizan, 2001), h. 26-27 14 Paul Suparno, et. al., Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah : Suatu Tinjauan Umum, (Yogyakarta : Kanisius, 2002), h. 32 15 Ibid., h. 73 16 Ibid. 17 Center for Indonesian Civic Education, Democratic Citizen in a Civil Society: Report of the Conference on Civic Education for Civil Society, (Bandung : CICED, 1999), h. 18 18 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta : CV. Ruhama, 1994), Cet. Ke-1, h. 67 19 Ibid., h. 66-67 20 Marwah Daud Ibrahim, "Pembudayaan Nilai-Nilai Islam di dalam Era Informasi", dalam M. Amin Akkas dan Hassan M. Noer (ed.), Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, (Jakarta : Paramadina, 2000), Cet. ke-1, h.371-372 21 Ahmad Muthahar, "Pendidikan dan Demokrasi dalam Arus Reformasi", dalam Ismail SM dan Abdul Mukti (ed.), Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar dan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2000), h. 65 1