Konsep Plural Dalam Bahasa Sunda

  • Uploaded by: Andalusia Neneng Permatasari
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Konsep Plural Dalam Bahasa Sunda as PDF for free.

More details

  • Words: 3,437
  • Pages: 21
1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Bahasa Sunda adalah salah satu dari tiga bahasa (Sunda, Jawa, MelayuBetawi) yang dituturkan oleh masyarakat Jawa Barat dan Banten. Sampai sekarang bahasa Sunda masih memiliki banyak penutur, yaitu lebih dari 20 juta penutur. Bahasa Sunda termasuk papan atas jika dibandingkan jumlah penutur bahasa lain di dunia. Dengan jumlah penutur yang demikian banyak, bahasa Sunda memiliki potensi menjadi bahasa dunia. Ditambah lagi bahasa Sunda memiliki area penyebaran yang cukup luas. Selain mencakup hampir semua daerah di Jawa Barat dan Banten, terdapat pula kantong-kantong bahasa Sunda (enclave) di luar wilayah Jawa Barat dan Banten, seperti di Brebes (Jawa Tengah) dan di beberapa pulau lain di Indonesia akibat perpindahan penduduk (transmigrasi). Sebaran geografis bahasa Sunda yang cukup luas melahirkan berbagai dialek, yaitu dialek Priangan, Banten, Pantura, Kuningan, Bogor, dan Pantai Selatan. Dialek-dialek tersebut menjadi fondasi sekaligus sebagai khazanah kekayaan bahasa Sunda. Dalam tataran alat komunikasi bahasa Sunda digunakan di hampir semua ruang tutur sosial baik resmi maupun tidak resmi. Seperti ranah pendidikan, keagamaan, pemerintahan, ketetanggaan, kekariban, dan sebagainya. Bahasa Sunda tidak hanya digunakan di ranah diglosia low atau biasa disebut ruang tutur tidak berprestise), tetapi juga mampu “bersaing” di ranah diglosia high, yaitu ruang tutur berprestise. Masih banyak ditemui penggunaan bahasa Sunda dalam pengajaran, ceramah keagamaan

dan

khutbah

jumat,

siaran

berita,

dilakukan

untuk

perdagangan,

dan

memelihara

dan

pelayanan publik. Banyak

upaya

yang

telah

mempertahankan bahasa Sunda agar bahasa ini tetap survive. Pertama, secara politik Pemprov Jabar mengeluarkan Perda nomor 5 Tahun 2003 tentang pemeliharaan bahasa, sastra dan aksara daerah. Peraturan

1

daerah tersebut menetapkan bahwa bahasa daerah digunakan sebagai bahasa pengantar pendidikan, sebagai bahasa resmi kedua setelah bahasa Indonesia, dan penggunaan aksara daerah untuk nama-nama tempat dan bangunan yang bersifat publik. Kedua, sekarang bahasa Sunda diajarkan hingga jenjang pendidikan menengah atas, bahkan ada wacana hingga perguruan tinggi. Kemudian, ada upaya lain untuk memperkokoh

bahasa

Sunda,

yaitu

berupa

penerbitan,

penelitian,

pertemuan ilmiah, dan sebagainya. Walaupun bahasa Sunda memiliki lingustic force yang demikian besar, namun fakta lain berbicara. Pertama, menurunnya jumlah penutur bahasa Sunda dalam etnik Sunda itu sendiri. Gejala ini banyak ditemui di daerah perkotaan. Kegagalan transmisi bahasa dalam keluarga menjadi sebab utamanya. Ada gejala terjadi pertukaran tempat antara bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Bahasa Sunda bergeser menjadi bahasa kedua dan bahasa Indonesia menjadi bahasa ibu. Bahasa Sunda dipelajari di sekolah, sedangkan bahasa Indonesia dipelajari di rumah. Akibatnya, terjadi degradasi kemampuan berbahasa Sunda di generasi kedua dan generasi selanjutnya (Khak, 2004). Kalangan remaja dan anak-anak lebih fasih dan lebih nyaman menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Sunda. Bahasa

Sunda

hanya

dipergunakan

apabila

situasi

sangat

menghendakinya. Kedua, kebocoran diglosia akibat ketidakstabilan diglosia. Wardaugh (dalam Alwasilah, 2006) menyebutkan bahwa keinginan yang besar untuk menciptakan bahasa persatuan (bahasa Indonesia) merupakan salah satu faktor yang paling dominan peranannya dalam melemahkan situasi diglosia. Ruang tutur yang selama ini ditempati bahasa Sunda sedikit demi sedikit digerogoti oleh bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang selama ini mengisi ruang tutur high atau ranah komunikasi berprestise merembes ke ruang tutur low yang seharusnya menjadi porsi bahasa Sunda, misalnya ranah keluarga, kekariban, dan ketetanggaan. Di ketiga ranah tersebut, bahasa Sunda mulai ditinggalkan.

2

Ketiga, rapuhnya pusat kegiatan bahasa (heartland). Pusat kegiatan bahasa Sunda di perkotaan semakin rapuh akibat asimilasi budaya yang memaksa penutur bahasa Sunda berkompromi dengan penutur bahasa lain. Migrasi luar tatar Sunda yang memungkinkan terjadinya kontak penutur bahasa Sunda dengan penutur bahasa lain memunculkan kebutuhan

bahasa

pengantar

lain

(bahasa

Indonesia).

Kompromi

kebudayaan ini menunjukkan lemahnya kesetiaan bahasa (language loyalty).

Khazanah Morfologis Bahasa Sunda Berbicara tentang khazanah morfologis bahasa Sunda dalam artian mendetail dan menyeluruh tentunya bukan kapasitas kami. Selain itu, kesempatan waktu dan ruang tulisan yang kami miliki amat terbatas. Jadi, bagian ini hanya mengupas secara umum dan pintas sehingga pembaca dalam kelas morfologi ini memiliki gambaran awal tentang morfologi bahasa Sunda.

Berapa kosa kata yang dimiliki bahasa Sunda? Tidak mudah untuk menjawab

pertanyaan

ini

karena

tidak

seorang

pun

yang

dapat

menghitung secara akurat berapa jumlah kosa kata yang dimilliki bahasa Sunda. Hal tersebut mengingat bahasa Sunda adalah bahasa yang amat dinamis. Selain karena dalam bahasa Sunda terdapat beberapa dialek yang tadi disebutkan, kosa kata bahasa Sunda pun banyak dipengaruhi oleh bahasa-bahasa lain yang hidup bertetangga dengan bahasa Sunda, misalnya bahasa Jawa dan Melayu Betawi. Di era kuno bahasa Sunda banyak menyerap kosa kata bahasa Sansekerta dan Kawi. Di era kemaritiman lama bahasa Arab dan Melayu banyak menambah kosa kata

3

bahasa Sunda. Di era penjajahan kosa kata bahasa Sunda bertambah dengan masuknya kosa kata bahasa yang dibawa para penjajah terutama Belanda. Di era kekinian kosa kata bahasa Sunda semakin bertambah banyak dimasuki kosa kata bahasa Indonesia dan bahasa Inggris akibat pengaruh politik-bahasa pemerintah dan globalisasi. Fakta-fakta adanya pengaruh bahasa luar terhadap bahasa Sunda dapat dicek dalam Kamus Umum Bahasa Sunda (2007) yang disusun oleh Lembaga Basa jeung Sastra Sunda (LBSS). Contoh kosa katanya adalah lawas (Jawa), juara (kawi),

mugia

(Sansekerta),

imsak

(Arab),

lantik

(Melayu),

jongos

(Belanda).

Perlu dicatat bahwa bahasa Sunda tidak sekadar sebagai bahasa yang secara pasif menerima kosa kata asing, tetapi bahasa Sunda pun secara aktif memperkaya kosa kata bahasa asing tersebut. Contoh yang sederhana

adalah

kata

ngabuburit

yang

sekarang

ini

sudah

mengindonesia. Kata ngabuburit dibentuk dari dasar burit ‘senja atau sore’ yang mendapat awalan nga(bu)-.

Perlu diketahui pula bahwa dalam b. Sunda terdapat tingkatan bahasa kasar, sedang, halus, halus sekali. Pemakaian tingkat bahasa ini bergantung hubungan sosial di antara interlocutor. Tingkat bahasa ini, secara historis, akibat pengaruh bahasa Jawa yang terlebih dahulu mengenal tingkatan bahasa. Menurut catatan sejarah sepeninggal Prabu Geusan Ulun, kekuasaan Sumedang Larang diwariskan kepada anak tirinya, Raden Aria Suriadiwangsa I (1608-1624). Tahun 1620, karena terjepit oleh tiga kekuasaan (Mataram di timur, Banten dan Kompeni di barat), Aria Suriadiwangsa I memilih menyerahkan diri ke Mataram (Lubis dkk, 2000). Diperkirakan sejak itulah b. Sunda mengenal tingkatan bahasa. Sebelum dipengaruhi bahasa Jawa, bahasa Sunda tidak mengenal tingkatan bahasa. Jejak tidak adanya tingkatan bahasa pada bahasa Sunda dapat dilihat di daerah Banten Selatan dan baduy. Di sana tidak 4

terdapat pemisahan kosa kata halus dan kasar. Bahasa Sunda yang tertulis dalam berbagai prasasti kerajaan Sunda kuno pun tidak mengenal tingkatan bahasa. Berikut adalah contoh tingkatan bahasa dalam bahasa Sunda. Kasar

Halus

dahar

emam/neda

‘makan’

cokot

candak

‘ambil’

indit

angkat

‘pergi’

1.2 Sumber data Sumber data yang kami gunakan dalam penelitian ini adalah sejumlah kata bahasa Sunda yang memiliki arti banyak (jamak). Kami bertiga yang merupakan penutur asli bahasa Sunda memilih semua kata tersebut secara acak sebagai sampel yang akan dianalisis dalam penelitian kecil morfologi.

1.3 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Kami mengambil sejumlah kata bahasa sunda yang memiliki arti banyak (jamak) secara acak. Kemudian, kami deskripsikan proses perubahan kata bahasa sunda dengan mengidentifikasi imbuhan dan proses pembentukan kata yang mencirikan penanda jamak dalam kata- kata tersebut.

1.4 Teknik Penelitian Teknik penelitian yang digunakan adalah klasifikasi dan deskripsi. Langkah- langkah yang digunakan adalah sebagai berikut: Pertama, kami mengumpulkan sejumlah kata berimbuhan dalam bahasa sunda yang

5

memiliki arti banyak (jamak). Kedua, kami

klasifikasikan kata-kata

tersebut berdasarkan kelas kata. Ketiga, kami deskripsikan proses pembentukan kata bahasa sunda tersebut dengan menganalisis penanda banyak (jamak) dalam semua kata tersebut berdasarkan beberapa buku referensi dan pengetahuan kami bertiga yang merupakan penutur asli bahasa sunda.

2. Teori Untuk membantu kami menganalisis proses pembentukan kata bahasa sunda yang memiliki arti banyak (jamak), kami menggunakan beberapa buku referensi mengenai morfologi secara umum dan buku referensi mengenai proses pembentukan kata bahasa sunda yang memiliki arti banyak (jamak). Untuk mengidentifikasi proses pembentukan kata yang memiliki arti banyak (jamak), kami menggunakan daftar istilah sebagai berikut yang bersumber dari Francis Katamba, Edward Finnegan dan lain- lain. 1).

Morphemes are

the smallest units of meaning and grammatical

functions. ( page 5: Katamba) 2). Creativity or productivity or open endedness is a human’s ability to produce aand understand a vast ( and indeed unlimited) number of utterances of that language that one may never have heard or produced. (Page 5: Katamba) 3). Lexemes are the vocabulary items that are listed in the dictionary. (Page 18: Katamba) 4). A root is the irreducible core of a word, with absolutely nothing else attached to it. (Page 41: Katamba) 5).

Free

morphemes

are

roots

which

independently. (Page 41: Katamba) Free morphemes are divided into 6

are

capable

of

standing

(1). lexical morphemes: morphemes that carry most of the ‘semantic content’ of utterances; (page 41: katamba) (2). function words: the function words mainly (but not exclusively)signal grammatical information or logical relations in a sentence; (Page 41- 42: katamba) 6). bound morphemes: roots which are incapable of occurring in isolation. Thus, they always occur with some other word-building element attached to them; ( Page 42: katamba) 7). an affix is a morpheme which only occurs when attached to some other morpheme or morphemes such as a root or stem or base. (Page 44: katamba). There are three types of affixes. (1). A prefix is an affix attached before a root or a stem or a base. (2). A suffix is an affix attached after a root ( or stem or base). (3). An infix is an affix inserted into the root itself. 8). The stem is the part of a word that is in existence before any inflectional affixes. (Page 47: Katamba) 9). A base is any unit whatsoever to which affixes of any kind can be added. (Page 47: Katamba) 10). Derivational morphemes are bound morphemes that can either change the meaning of a base to which they are attached or change the word-class that a base belongs to. (Page 47: Katamba) 11). Reduplication is the morphological process by which a morpheme is repeated, thereby creating a word with a different meaning or a different word class. There are two types of reduplications:

7

(1). Partial reduplication, which reduplicates only part of the morpheme. (2). Full reduplication, in which the entire morpheme is reduplicated. (Page 96: Finegan, Edward et.al. ) 12). allomorphs: different morphs represent the same morpheme -complementary distribution -the same gramatical function -they are never found in identical context

Sedangkan untuk mengidentifikasi proses pembentukan kata yang memiliki arti banyak (jamak) dalam bahasa Sunda, kami menggunakan teori sebagai berikut: Sebagai bahasa fleksi dan derivasi, kosa kata bahasa Sunda mengalami proses morfologis dalam tuturan agar memenuhi kaidah gramatika dan makna. Berikut ini adalah bentuk-bentuk afiks dalam bahasa Sunda. a. Prefiks Bentuk Prefiks

Dasar

Hasil Proses Morfologis

n-

teunggeul

neunggeul

ny-

cokot

nyokot

m-

bawa

ng-

keureut

nga-

goler

pa-

tani

patani

pi-

duit

piduit

mawa ngeureut ngagoler

8

pang-

gosok

sa-

sajalan

si-

beungeut

ti-

dagor

tidagor

ting-

kocepat

tingkocepat

di-

teunggeul

diteunggeul(pasif)

ka-

tenjo

katenjo(pasif)

mang-

pangosok sabapa sibeungeut

meuli

mangmeulikeun

ba-

gilir

bagilir

pada-

mere

padamere

para-

guru

paraguru

silih-

tincak

barang-

hakan

pri-(per-)

bumi

silihtincak baranghakan pribumi

b. Infiks Bentuk Infiks

Dasar

Hasil Proses Morfologis

-ar-

mandi

marandi

-al-

leumpang laleumpang

-um-

geulis

gumeulis

9

c. Sufiks Bentuk Infiks

Dasar

-an

cai

-eun

cacing

-keun

alung

-na

maneh

-ing/ning

wantun

Hasil Proses Morfologis

caian cacingeun alungkeun manehna wantuning

Dalam bahasa Sunda afiksasi dikenal dengan istilah kecap rundayan, yaitu kata jadian yang terwujud melalui kombinasi kata dasar dengan afiks, atau biasa juga disebut afiksasi. Afiksasi dalam bahasa Sunda selain dapat membentuk dan menunjukkan makna kategorial bentuk dasar, di samping dapat mengubah makna kelas bentuk dasar, juga menjadi penunjuk jamak. Di bawah ini adalah bentuk afiksasi sebagai penanda jamak.



Prefiks –ar

Prefiks –ar dapat bergabung dengan morfem dasar adjektiva. Untuk penanda jamak, prefiks

–ar hanya dapat bergabung dengan morfem

dasar adjektiva yang berawalan pada suku pertama dengan bunyi vokal. Contoh : Ateul menjadi arateul •

Infiks –ar10

Infiks –ar- dapat bergabung dengan morfem dasar nomina, verba, dan adjektiva. Infiks –ar- pun mendukung makna jamak. Contoh : Budak menjadi barudak •

Infiks –al-

Infiks –al- dapat bergabung dengan morfem dasar verba dan adjektiva. Infiks –al- biasanya bergabung dengan bentuk dasar dengan fonem /l/ dan bentuk dasar dengan fonem final /r/ pada silabe kedua. Infiks ini pun mendukung makna gramatikal jamak. Contoh : Lumpat menjadi lalumpat Selain dengan afiksasi, penanda jamak dalam bahasa Sunda ditunjukkan juga oleh sistem pengulangan, yang terbagi sebagai berikut: a. dwilingga (pengulangan penuh) b. dwipurna (pengulangan sebagian (silabel inisial) ) c. trilingga (pengulangan tiga kali dengan perubahan bunyi) d. pengulangan semu (accidental)

Untuk menunjukkan jamak hanya satu bentuk reduplikasi yaitu dwilingga atau disebut juga dwimurni. Di bawah ini kami sebutkan beserta contohnya. •

Dwilingga atau biasa disebut dwimurni

Dwilingga atau dwimurni adalah bentuk ulang penuh. Proses morfemis dwilingga atau dwimurni dapat terjadi pada nomina, verba, ataupun adjektiva. Contoh:

11

imah menjadi imah-imah

3. Analisis Sebagai penanda bentuk jamak dalam bahasa Sunda, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat terjadi dalam dua proses, yaitu proses afiksasi (kecap rundayan) dan reduplikasi (dwilingga atau dwimurni). •

Prefiks ar-

Prefiks ar- untuk penanda jamak hanya dapat bergabung dengan bentuk dasar adjektiva yang berawalan pada suku pertama dengan bunyi vokal. Misalnya dalam kata {ateul} ‘gatal’ yang berkelas kata ajektiva akan berubah menjadi {arateul} ‘gatal-gatal’ yang berkelas kata tetap ajektiva. Hal ini membuktikan bahwa penggunaan prefiks ar- untuk penanda jamak dalam bahasa Sunda tidak mengubah kelas kata. Berikut ini contoh-contoh bentuk jamak yang lain dalam penggunaan prefiks ar- : {asin} ‘asin’ akan berubah menjadi {arasin} ‘semua asin’ Adj

Adj

{enak} ‘lezat’ akan berubah menjadi {arenak} ‘lezat-lezat’ Adj

Adj

{untung} ‘beruntung’ berubah menjadi {aruntung} ‘semua beruntung’ Adj

Adj

{isin} ‘malu’ berubah menjadi {arisin} ‘’ Adj

Adj

{ompong} ‘ompong’ menjadi {arompong} ‘semua ompong’ Adj

Adj

12

Untuk beberapa dialek penggunaan prefiks –ar ini akan berubah menjadi – arar, terutama dalam ujaran. Sama halnya seperti prefiks –ar, prefiks – arar ini pun digunakan untuk bentuk dasar yang diawali dengan bunyi vokal dan berkelas kata ajektiva. Prefiks –arar pun tidak mengubah kelas kata. Contoh: {ateul} ‘gatal’ menjadi {ararateul} ‘gatal-gatal’ {ateul} yang merupakan ajektiva berubah menjadi {ararateul} yang ajektiva juga. Hal ini membuktikan bahwa prefiks –arar pun tidak mengubah kelas kata. Prefiks –arar ini bisa dikatakan merupakan alomorf dari prefiks –ar, karena prefiks –arar ini hanya biasa digunakan pada ujaran, bukan merupakan bahasa Sunda yang formal. Selain –arar, prefiks –ar memiliki alomorf –al yang bisa kita lihat misalnya dalam bentuk dasar seperti {ancur} ‘hancur’ dan {ambrug} ‘roboh’. {ancur} akan berubah menjadi {alancur}, seperti halnya prefiks –ar, untuk bisa disisipi –al pun bentuk dasar ini haruslah yang berawalan dengan bunyi vokal. Dalam {ancur} mengapa disisipi –al, karena pada silabel kedua dalam {ancur} terdapat bunyi /r/. Kedua hal tersebut Menurut Haspelmath ini termasuk pada phonological alomorphy. •

Infiks –ar-

Infiks –ar- dalam mendukung makna jamak dalam bahasa Sunda dapat bergabung dengan bentuk dasar nomina, verba, dan adjektiva. Contoh : Kelas kata Nomina {budak} ‘anak’ berubah menjadi {barudak} ‘anak-anak’ Kata {budak} yang berkelas kata nomina disisipi infiks –ar- berubah menjadi {barudak} dengan kelas yang sama yaitu nomina. Kelas kata Verba {nyumput}

‘sembunyi’

berubah 13

menjadi

{nyarumput}

‘semua

bersembunyi’ Kata {nyumput} yang berkelas kata verba disisipi infiks –ar- berubah menjadi {nyarumput} yang masih berkelas kata sama yaitu verba. Kelas kata Ajektiva {geulis} ‘cantik’ berubah menjadi {gareulis} ‘cantik-cantik’ Kata {geulis} yang berkelas kata ajektiva disisipi infiks –ar- berubah menjadi {gareulis} yang berkelas kata sama yaitu ajektiva. Dengan melihat tiga contoh di atas terlihat bahwa infiks –ar- jika masuk pada kelas kata apapun sebagai penanda jamak, entah itu nomina, verba, atau ajektiva tidak mengubah kelas kata. Di bawah ini contoh-contoh yang lainnya. Nomina {maneh} ‘kamu’ berubah menjadi {maraneh} ‘kamu semua’ N

N

{beungeut} ‘wajah’ berubah menjadi {bareungeut} ‘wajah-wajah’ N

N

{ceuli} ‘telinga’ berubah menjadi {careuli} ‘telinga-telinga’ N

N

{botol} ‘botol’ berubah menjadi {barotol} ‘botol-botol’ N

N

{gadis} ‘perawan’ berubah menjadi {garadis} ‘para perawan’ N

N

Verba {sare} ‘tidur’ berubah menjadi {sarare} ‘semua tidur’

14

V

V

{ngumpul}

‘berkumpul’

berubah

menjadi

{ngarumpul}

‘semua

berkumpul’ V

V

{nginum} ‘minum’ berubah menjadi {ngarinum} ‘semua minum” V

V

{maca} ‘membaca’ berubah menjadi {maraca} ‘semua membaca’ V

V

{nulis} ‘menulis’ berubah menjadi {narulis} ‘semua menulis’ V

V

Ajektiva {geulis} ‘cantik’ berubah menjadi {gareulis} ‘cantik-cantik/ semua cantik’ Adj

Adj

{sieun} ‘takut’ berubah menjadi {sarieun} ‘semua takut’ Adj

Adj

{kolot} ‘tua’ berubah menjadi {karolot} ‘tua-tua’ Adj

Adj

{haseum} ‘asam’ berubah menjadi {haraseum} ‘semua berasa asam’ Adj

Adj

{kasep} ‘tampan’ berubah menjadi {karasep} ‘semua tampan’ Adj



Adj

Infiks –al-

15

Infiks –al- untuk membentuk makna gramatikal jamak hanya dapat bergabung dengan bentuk dasar verba dan adjektiva. Contoh : {lumpat} ‘lari’ yang berkelas kata verba berubah menjadi {lalumpat} ‘semua berlari’ yang masih berkelas kata verba. Dengan ini menunjukkan bahwa infiks –al- tidak mengubah kelas kata. {luhur} ‘atas’ yang berkelas kata ajektiva berubah menjadi {laluhur} ‘atas-atas’ yang masih berkelas kata yang sama yaitu ajektiva. Ini pun menunjukkan bahwa infiks –al- jika disisipkan pada kelas kata verba dan ajektiva tidak mengubah kelas kata. Infiks –al- ini tidak bisa disisipkan pada nomina, misalnya {leupeut} ‘lontong’ tidak akan berubah menjadi {laleupeut} tapi biasanya akan menjadi {leupeut-leupeut}. Infiks –al- biasanya bergabung dengan bentuk dasar dengan fonem /l/ pada silabel pertama. Oleh karena itu, infiks –al- merupakan alomorf dari infiks –ar-, karena infiks –al- hanya bisa bergabung dengan bentuk dasar yg berawalan huruf lateral yaitu /l/. Contoh: {luhur} ‘atas’ menjadi {laluhur} ‘atas-atas’ Akan tetapi seringkali kita juga menemukan kata “palinter” yang di mana {pinter} tidak bersilabel awal dengan bunyi lateral yaitu /l/. Hal ini adalah pengecualian dari proses jamak dengan menggunakan infiks –al-. {pinter} dapat berubah menjadi {palinter} karena infiks –al- dapat digunakan pada bentuk dasar yang berawalan /l/ atau pada bentuk dasar yang tidak berawalan /l/ tetapi memiliki bunyi /r/ pada silabel kedua. Menurut Haspelmath ini termasuk pada phonological alomorphy.

Di bawah ini contoh-contoh yang lainnya. {leutik} ‘kecil’ berubah menjadi {laleutik} ‘kecil-kecil’

16

Adj

Adj

{leumpang} ‘berjalan’ berubah menjadi {laleumpang} ‘semua berjalan’ V

V

{lancar} ‘lancar/ tidak ada hambatan’ berubah menjadi {lalancar} ‘semua lancar’ Adj

Adj

{lila} ‘lama’ berubah menjadi {lalila} ‘semua lama’ Adj

Adj

{bunder} ‘bulat’ berubah menjadi {balunder} ‘semua berbentuk bulat’ Adj

Adj

{ngukur} ‘mengukur’ berubah menjadi {ngalukur} ‘semua mengukur’ V

V

{dahar} ‘makan’ berubah menjadi {dalahar} ‘semua makan’ V



V

Dwilingga atau biasa disebut dwimurni

Dwilingga atau dwimurni adalah bentuk ulang penuh. Proses morfemis dwilingga atau dwimurni sebenarnya dapat terjadi pada nomina, verba, ataupun adjektiva. Akan tetapi untuk pembentuk jamak, proses dengan bentuk dwilingga ini hanya berlaku untuk pada bentuk dasar dengan kelas kata nomina. Contoh: {imah} ‘rumah’ berubah menjadi {imah-imah} ‘rumah-rumah’ {imah} yang berkelas kata nomina berubah menjadi {imah-imah} yang

17

masih tetap berkelas kata nomina. Hal ini membuktikan bahwa bentuk jamak dengan proses dwilingga tidak mengubah kelas katanya. Di bawah ini contoh-contoh lainnya. {elmu} ‘ilmu’ berubah menjadi {elmu-elmu} ‘ilmu-ilmu’ N

N

{korsi} ‘kursi’ berubah menjadi {korsi-korsi} ‘kursi-kursi’ N

N

{kolot} ‘orangtua’ berubah menjadi {kolot-kolot} ‘orangtua-orangtua’ N

N

{jalma} ‘manusia’ berubah menjadi {jalma-jalma} ‘manusia-manusia’ N

N

{leupeut} ‘lontong’ berubah menjadi {leupeut-leupeut} ‘lontong-lontong’ N

N

{leunca} berubah menjadi {leunca-leunca} N

N

{mutu} ‘ulekan’ berubah menjadi {mutu-mutu} ‘ulekan-ulekan’ N

N

Kita juga seringkali menemukan bentuk dwilingga seperti ini dengan kelas kata yang tidak hanya nomina, seperti {nelek-nelek} ‘mengamati’ yang berkelas kata verba. Tentu saja hal ini pun memang menjadi bagian dari bentuk dwilingga tapi tidak membentuk kata jamak. Hal ini dikarenakan dwilingga memiliki memiliki berbagai fungsi selain sebagai pembentuk jamak.

18

 Membentuk dan menunjukkan verba Contoh: nelek menjadi nelek-nelek  Menunjukkan ajektiva Contoh: {cekas} ‘bersih’ berubah menjadi {cekas-cekas} ‘bersih-bersih’  Menunjukkan numeralia (urutan kesatuan)

Contoh: {hiji} ‘satu’ berubah menjadi {hiji-hiji} ‘satu-satu’  Menunjukkan modalitas (kemampuan)

Contoh: {bisa} ‘mampu’ berubah menjadi {bisa-bisa} ‘sebenarnya mampu’  Membentuk partikel dari interogativ (kata tanya)

Contoh: {saha} ‘siapa’ berubah menjadi {saha-saha} ‘barang siapa’



PSEUDOJAMAK

Ada beberapa bentuk dalam bahasa Sunda yang menyerupai jamak padahal bukan jamak. Oleh karena itu, kami menamainya “pseudojamak”. Misalnya saja {cacauan}, {kukuean}, {sasaliman}, atau {gogorowokan}. {cacauan} berasal dari {cau} ‘pisang’ yang berarti sesuatu yang menyerupai pisang, atau bisa disebut pisang-pisangan atau pisang mainan. {sasaliman} bukan berarti banyak orang yang melakukan {salim} ‘salam’ tapi merupakan kegiatan {salim} yang berulang-ulang. Dalam

bahasa

Sunda

gejala

seperti

ini

disebut

dwipurwa

yaitu

pengulangan yang terjadi bila sebagian bentuk dasar (silabel awal) diulang. Selain dwipurwa yang seolah menyerupai jamak, sering juga kita lihat atau dengar seperti {curat-coret} atau {tumpa-tempo}. {curat-coret} bukan berarti kegiatan mencoret yang dilakukan banyak orang, tapi

19

kegiatan mencoret yang berulang. Begitu juga dengan {tumpa-tempo} yang bukan berarti kegiatan {tempo} dilakukan banyak orang tapi menunjukkan kegiatan mencari yang biasanya dilakukan berulang-ulang. Dalam bahasa Sunda gejala seperti ini disebut dwireka yaitu dwilingga dengan perubahan bunyi. Bentuk yang diulang mengalami perubahan vokal, dan perubahan bunyi vokal ini bersistem.

DAFTAR PUSTAKA Alwasilah, A. Chaedar. 2006. Pokoknya Sunda; Interpelasi Untuk Aksi. Kiblat: Bandung. Djajasudarma, T. Fatimah. 1994. Tata Bahasa Acuan Bahasa Sunda. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Haspelmath, Martin. 2002. Understanding Morphology. New York: Oxford University Press. Khak, M. Abdul. 2004. Intergenerasi dalam Keluarga Sunda-Sunda; Jurnal Metalingua Vol 3: Balai Bahasa Bandung.

Lubis, Nina H. dkk,

(2000). Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat.

Bandung: Alqaprint.

Lembaga Basa jeung Sastra Sunda. 2007. Kamus Umum Basa Sunda. Geger Sunten: Bandung.

20

21

Related Documents

Talqin Mayyit Bahasa Sunda
August 2019 111
Plural
December 2019 33
Plural
December 2019 23

More Documents from ""