Konsep Pendidikan Inklusif.docx

  • Uploaded by: M. Zainul Arifin
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Konsep Pendidikan Inklusif.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,589
  • Pages: 19
MAKALAH KONSEP PENDIDIKAN INKLUSIF Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Inklusi

Dosen Pengampu: Mirnawati, S.Pd, M.Pd. Disusun Oleh: Helmi Yahya (1710118210013)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARMASIN 2018

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas segala limpahan Rahmat, Taufik dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah “Konsep Pendidikan Inklusif “ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Penyusunan makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Inklusi yang dibimbing oleh Mirnawati, M.Pd. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, saya yakin masih banyak terdapat kekurangan pada makalah ini. Oleh sebab itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Banjarmasin, 20 September 2018

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................................iii DAFTAR ISI ......................................................................................................................................iv BAB I .................................................................................................................................................. 1 PENDAHULUAN .............................................................................................................................. 1 A.

Latar Belakang ...................................................................................................................... 1

B.

Rumusan Masalah ................................................................................................................. 1

C.

Tujuan .................................................................................................................................... 2

BAB II ................................................................................................................................................ 3 ISI ....................................................................................................................................................... 3 1.

Filosofi Pendidikan Inklusif ................................................................................................. 3

2.

Definisi Pendidikan Inklusif ................................................................................................. 4

3.

Konsep Dasar Pendidikan Inklusif ...................................................................................... 5

4.

Sejarah Pendidikan Inklusif ................................................................................................. 6

5.

Perkembangan Pendidikan Inklusif di Dunia .................................................................... 6

6.

Perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia .............................................................. 7

7.

Landasan Pendidikan Inklusif ............................................................................................. 8

BAB III ............................................................................................................................................. 15 PENUTUP ........................................................................................................................................ 15

iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan Inklusif merupakan sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar disekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama temanteman seusianya. Ini menandakan bahwa pendidikan tidak mengenal perbedaan fisik, suku dan agama. Namun tidak semua sekolah regular di Indonesia termasuk kedalam sekolah inklusif karena kurangnya sumber daya manusia yang mempuni dalam bidang pendidikan inklusif. Pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem pendidikan dengan meninggalkan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Hambatan yang ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender, status sosial, kemiskinan, dll. Salah satu kelompok yang paling tereksklusi dalam memperoleh pendidikan adalah siswa penyandang cacat. Sekolah dan layanan pendidikan lainnya harus fleksibel dalam memenuhi keberagaman kebutuhan siswa untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Dengan adanya pendidikan Inklusif sekolah dituntut melakukan berbagai perubahan, mulai cara pandang, sikap, sampai pada proses pendidikan yan berorientasi pada kebutuhan individual tanpa deskriminasi dengan begitu anak yang memiliki kebutuhan khusus

dapat

terpenuhi

pendidikannya

sesuai

dengan

potensi

masing-

masing. Pemahaman mengenai pendidikan inklusi juga merupakan suatu hal yang sangat penting bagi seorang guru. Oleh karena itu, di dalam makalah ini akan dibahas mengenai latar belakang Pendidikan Inklusi, konsep Pendidikan Inklusi, kelebihan pendidikan inklusi, dan sejarah pendidikan inklusi. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana filosofi Pendidikan Inklusif? 2. Apa definisi Pendidikan Inklusif? 3. Bagaimana konsep Pendidikan Inklusif?

1

4. Bagaimana sejarah Pendidikan Inklusif? 5. Bagaimana perkembangan Pendidikan Inklusif di dunia? 6. Bagaimana perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia? 7. Apa saja landasan-landasan dalam Pendidikan Inklusif? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui filosofi Pendidikan Inklusif. 2. Untuk mengetahui definisi Pendidikan Inklusif. 3. Untuk mengetahui konsep dari Pendidikan Inklusif. 4. Untuk mengetahui sejarah Pendidikan Inklusif 5. Untuk mengetahui perkembangan Pendidikan Inklusif di dunia. 6. Untuk mengetahui perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia 7. Untuk mengetahui landasan apa saja yang terdapat dalam Pendidikan Inklusif.

2

BAB II ISI 1. Filosofi Pendidikan Inklusif Filosopis pendidikan inklusif mencerminkan paham tentang nilai-nilai filosofis yang termanifestasi dalam bingkai keberagaman dan kesetaraan antarsesama. Pada praktiknya, filosopis pendidikan inklusif berupa memperjuangkan anak-anak berkebutuhan khusus agas mereka mendapatkan akses yang lebih besar dan mempunyai kesempatan yang sama dalam mendapatkan pelayanan pendidikan secara optimal. Menurut Vaughn, bos dan schum (2000), mengemukakan bahwa dalam praktik, pendidikan inklusif sebaiknya dipakai bergantian dengan istilah mainstreaming yang secara teori diartikan sebagai penyediaan layanan pendidikan yang layak bagi anak berkelainan sesuai dengan kebutuhan individunya. Filosopis pendidikan inklusif sangat terkait dengan kebutuhan dasar manusia untuk memperoleh pengalaman belajar bersama anak normal umumnya. Tidak heran bila pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu Negara berkewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1). Konsep inklusif adalah sebuah filosofi pendidikan yang berkaitan langsung dengan relasi sosial antar sesama dalam upaya membangun kebersamaan tanpa memandang latar belakang kehidupan maupun status sosialnya. Mereka yang percaya proses inklusif meyakini bahwa semua orang adalah bagian yang berharga dalam kebersamaan masyarakat, apapun berbedaan mereka. Dalam pendidikan ini bahwa semua anak, terlepas dari kemampuan maou ketidak mampuan mereka, latar belakang sosial-ekonomi, suku latar belakng budaya atau bahasa menyatu dalam komunikasi sekolah yang sama. Sebagai cermin iklusifitas dalam menghargai perbedaan dan keterbatasan, pendidikan dIndonesia harus mampu menciptakan kesetaran dan keadilan bagi siapa saja yang

3

dianggap tidak normal atau berkeainan. Maka kehadiran pendidikan inklusif merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak yang memiliki kelainan seperti tunanetra, tunadaksa, tunagrahita, tunarungu, maupun tunalaras.secara formal kemudian ditegaskan dalam pernyataan salamaca pada komperesi dunia tentang pendidikan berkelainan bulan juni1994 bahwa prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah selama memungkinkan semua anak siogianya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. 2. Definisi Pendidikan Inklusif Inklusif merupakan sebuah kata yang berasal dari terminologi Inggris yakni inclusion yang berarti: termasuknya atau pemasukan. Sementara Olsen&Fuller (2003:167), inklusif merupakan sebuah terminologi yang secara umum digunakan untuk mendidik siswa baik yang memiliki maupun tidak memiliki ketidakmampuan tertentu di dalam sebuah kelas reguler. Dewasa ini, terminologi inklusif digunakan untuk mengagas hak anak-anak yang memiliki ketidakmampuan tertentu untuk dididik dalam sebuah lingkungan pendidikan (sekolah) yang tidak tersepisah dari anak-anak lain yang tidak memiliki ketidakmampuan tertentu. Florida State University Center for Prevention & Early Intervention Policy (2002) mendefinisikan pendidikan inklusif sebagai sebuah usaha untuk membuat para siswa yang memiliki ketidakmampuan tertentu pergi ke sekolah bersama teman-teman dan sesamanya serta menerima apa pun dari sekolah seperti teman-teman yang lainnya terutama dukungan dan pengajaran yang didesain secara khusus yang mereka butuhkan untuk mencapai standar yang tinggi dan sukses sebagai pembelajar. Dari definisi tentang inklusif di atas, kita dapat mengatakan bahwa sekolah inklusif adalah lembaga pendidikan formal yang menyediakan layanan belajar bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak normal dalam komunitas sekolah reguler di mana setiap anak diterima menjadi bagian dari kelas, diakomodir, dan direspon kebutuhannya sehingga setiap anak mendapat peluang dan kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensinya.

4

Dengan demikian, perlu diingat bahwa pendidikan atau sekolah inklusif bukan sebuah sekolah bagi siswa yang memiliki kebutuhan khusus melainkan sekolah yang memberikan layanan efektif bagi semua (education fol all). Dengan kata lain, pendidikan inklusif adalah pendidikan di mana semua anak dapat memasukinya, kebutuhan setiap anak diakomodir atau dirangkul dan dipenuhi bukan hanya sekedar ditolerir (Watterdal, 2002). 3. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif Konsep-konsep Utama yang terkait dengan Pendidikan Inklusif a. Konsep-konsep tentang anak 1. Semua anak berhak memperoleh pendidikan di dalam komunitasnya sendiri. 2. Semua anak dapat belajar, dan siapapun dapat mengalami kesulitan dalam belajar. 3. Semua anak membutuhkan dukungan untuk belajar. 4. Pengajaran yang terfokus pada anak bermanfaat bagi semua anak. b. Konsep-konsep tentang sistem pendidikan dan persekolahan 1. Pendidikan lebih luas dari pada persekolahan formal 2. Sistem pendidikan yang fleksibel dan responsive 3. Lingkungan pendidikan yang memupuk kemampuan dan ramah 4. Peningkatan mutu sekolah – sekolah yang efektif 5. Pendekatan sekolah yang menyeluruh dan kolaborasi antarmitra. c. Konsep-konsep tentang keberagaman dan diskriminasi 1. Memberantas diskriminasi dan tekanan untuk mempraktekkan eksklusi 2. Merespon/merangkul keberagaman sebagai sumber kekuatan, bukan masalah 3. Pendidikan inklusif mempersiapkan siswa untuk masyarakat yang menghargai dan menghormati perbedaan d. Konsep-konsep tentang proses untuk mempromosikan inklusi 1. Mengidentifikasi dan mengatasi hambatan inklusi 2. Meningkatkan partisipasi nyata bagi semua orang 3. Kolaborasi, kemitraan 4. Metodologi partisipatori, Penelitian tindakan, penelitian kolaboratif

5

e. Konsep-konsep tentang sumber daya 1. Membuka jalan ke sumber daya setempat 2. Redistribusi sumber daya yang ada 3. Memandang orang (anak, orangtua, guru, anggota kelompok termarjinalisasi dll) sebagai sumber daya utama. Sumber daya yang tepat yang terdapat di dalam sekolah dan pada tingkat lokal dibutuhkan untuk berbagai anak, misalnya Braille, alat asistif.

4. Sejarah Pendidikan Inklusif Lahirnya pendidikan inklusif berawal dari sebuah pengamatan terhadap sekolah luar biasa yang memiliki asrama dan institusi berasrama lainnya yang menunjukkan bahwa anak maupun orang dewasa yang tinggal di sana mengembangkan pola perilaku-perilaku yang biasanya ditunjukan oleh orang-orang yang berkekurangan. Perilaku-perilaku ini mencakup kepasifan, stimulasi diri, perilaku repetitif stereotif, dan kadang prilaku perusakan diri. Anak penyandang cacat yang meninggalkan sekolah luar biasa berasrama sering kali tidak merasa betah tinggal dengan keluarganya di komunitas rumahnya. Ini karena setelah bertahun-tahun disegregasikan/ dipisahkan, ia dan keluarga serta komunitasnya akan tumbuh menjadi orang asing satu sama lainnya. Banyak orang yang kemudian benar-benar merasa situasi tersebut tidak benar. Orang tua, guru, dan orang-orang yang mempunyai kesadaran politik pun mulai memperjuangkan hak-hak semua anak pada umumnya dan hak anak dan orang dewasa penyandang cacat pada khususnya. Salah satu tujuan utamanya adalah untuk memperoleh hak untuk berkembang dalam sebuah lingkungan yang sama dengan orang lain. Mereka menyadari akan pentingnya interaksi dan komunikasi sebagai dasar bagi semua pembelajaran. 5. Perkembangan Pendidikan Inklusif di Dunia Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun1960-an oleh Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan 6

Luar Biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed. Act. 1991 mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke integratif. Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi ’education for all’. Implikasi dari statemen ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan layanan pendidikan secara memadai. Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal dengan ’the Salamanca statement on inclusive education”. 6. Perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia Di Indonesia pendidikan Inklusi sebenarnya telah dirintis sejak tahun 1986 namun, dalam bentuk yang sedikit berbeda. Sistem pendidikan tersebut awalnya dinamakan pendidikan terpadu dan disahkan dengan surat keputusan mentri pendidikan dan kebudayaan No. 002/U/1986 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu di Indonesia. Pada pendidikan terpadu anak penyandang cacat juga ditempatkan di sekolah umum namun, mereka harus menyesuaikan diri pada sistem sekolah umum. Sehingga, mereka harus dibuat ‘Siap’ untuk diintegrasikan kedalam sekolah umum. Apabila ada kegagalan pada anak maka anak dipandang yang bermasalah. Sedangkan, yang dilakukan oleh pendidikan Inklusi adalah sebaliknya, sekolah dibuat siap dan menyesuaikan diri terhadap kebutuhan anak penyandang cacat. Apabila ada kegagalan pada anak maka sistem

dipandang

yang

bermasalah.

Sehingga

pada

tahun

2004

Indonesia

menyelenggarakan konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusif. Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan simposium internasional di Bukit 7

tinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukit tinggi yang isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak. Jumlah sekolah pelaksana pendidikan terpadu hingga tahun 2001 adalah 163 untuk tingkat SD/MI dengan jumlah murid 875, 15 untuk tingkat SLTP/MTS dengan jumlah murid 40 orang, dan 28 untuk tingkat SMU/MA dengan jumlah 59 orang. Seiring dengan perkembangan dunia pendidikan, maka konsep pendidikan terpadu pun berubah menjadi pendidikan inklusi.

7. Landasan Pendidikan Inklusif Ada empat landasan yang harus dijadikan acuan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Keempat landasan tersebut antara lain landasan filosofis, landasan religi, landasan historis, dan landasan yuridis. 1. Landasan Filosofis

Setiap bangsa memiliki pandangan hidup atau filosofi sendiri, begitu pula halnya dengan bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang memiliki pandangan atau filosofi sendiri, maka dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif harus diletakkan atas dasar pandangan hidup atau filosofi bangsa Indonesia sendiri. Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertikal maupun horisontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dan sebagainya. Sedangkan kebinekaan horisontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan sebagainya. Karena berbagai keberagaman

8

namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, misi, menjadi kewajiban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan. Filosofi Bhinneka Tunggal Ika meyakini bahwa di dalam diri manusia bersemayam potensi yang bila dikembangkan melalui pendidikan yang baik dan benar dapat berkembang hingga hampir tak terbatas. Bertolak dari perbedaan antar manusia, filosofi ini meyakini adanya potensi unggul yang tersembunyi dalam diri individu apabila dikembangkan secara optimal dan terintegrasi dengan semua potensi kemanusiaan lainnya dapat menghasilkan suatu kinerja profesional. Tugas pendidikan adalah menemukan dan mengenali potensi unggul yang tersembunyi yang terdapat dalam diri setiap individu peserta didik untuk dikembangkan hingga derajat yang optimal sebagai bekal manusia beribadah kepada Tuhan. Dengan demikian pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar untuk memberdayakan semua potensi kemanusiaan yang mencakup potensi fisik, kognitif, afektif, dan intuitif secara optimal dan terintegrasi. Keunggulan dan kekurangan adalah suatu bentuk kebhinnekaan seperti halnya ras, suku, agama, latar budaya, dan sebagainya. Di dalam individu dengan segala keterbatasan dan kelebihan, di mana yang memiliki keterbatasan sering bersemayam keunggulan, dan di dalam diri individu yang memiliki keunggulan sering bersemayam keterbatasan. Dengan demikian keunggulan dan keterbatasan tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk memisahkan peserta didik yang memiliki keterbatasan atau keunggulan dari pergaulannya dengan peserta didik lainnya, karena pergaulan antara mereka akan memungkinkan terjadi saling belajar tentang perilaku dan pengalaman. 2. Landasan Religi

Sebagai bangsa yang beragama, penyelenggaraan pendidikan tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan agama. Di dalam Al-Qur‟an disebutkan bahwa hakikat manusia adalah makhluk yang satu sama lain berbeda (individual differences). Tuhan menciptakan manusia berbeda satu sama lain dengan maksud agar dapat saling berhubungan dalam rangka saling membutuhkan (QS. Al-Hujurat 49:13). Adanya

9

siswa yang membutuhkan layanan pendidikan khusus pada hakikatnya adalah manifestasi dari hakikat manusia sebagai individual differences tersebut. Interaksi manusia harus dikaitkan dengan upaya pembuatan kebajikan. Ada dua jenis interaksi antar manusia, yaitu kooperatif dan kompetitif (QS. Al-Maidah, 5:2&48). Begitu pula dengan Pendidikan, yang juga harus menggunakan keduanya dalam rangka mencapai tujuan Pendidikan dan pembelajaran. Bertolak dari ayat-ayat Al-Qur‟an yang telah diuraikan, menunjukkan bahwa ada kesamaan antara pandangan filosofis dengan religi tentang hakikat manusia. Keduanya merupakan upaya menemukan kebenaran hakiki; filsafat menggunakan nalar belaka sedangkan agama menggunakan wahyu. Keduanya akan bertemu karena sumber kebenaran hakiki hanya satu yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Landasan filosofis dan religi akan bertemu untuk selanjutnya dapat menjadi landasan dalam pemanfaatan hasil-hasil penelitian sebagai produk kegiatan keilmuan, termasuk di dalamnya untuk penyelenggaran pendidikan. 3. Landasan Historis

Masa-masa awal. Pada awalnya, masyarakat bersikap acuh tak acuh bahkan menganggap

sebagai

sampah

dan

menolak,

orang-orang

yang

memiliki

ketidakmampuan (disability) tertentu (Olsen&Fuller, 2003:161). Di satu sisi, hal ini terjadi karena rasa takut akan takhayul bahwa ibu melahirkan anak cacat merupakan hukuman baginya atas dosa-dosa nenek moyangnya. Oleh sebab itu, harus dihindari, penolakan itu juga terjadi karena takut tertular. Namun dilain sisi penolakan itu terjadi karena perjuangan untuk bertahan hidup. Anggota kelompok yang terlalu lemah dan tidak berkontribusi terhadap kelangsungan hidup kelompoknya dikeluarkan dari keanggotaannya. Mereka sering kali tidak diberi makanan yang cukup dan tidak memperoleh kasih saying dan kontak sosial yang bermakna. Mereka kesepian, terasing dari kelompok sosialnya dan merasa tidak berguna. Mereka yang berbeda karena kecacatannya akan dikurung atau dibiarkan mati (Skjorten, 2001).

10

Zaman purbakala dan pada zaman pertengahan. Pada masa ini, muncul seorang fisikawan yakni Hippokrates (460-377 SM) yang mulai mendobrak paradigma lama dengan menggagas bahwa berbagai permasalahan emosional lebih merupakan kekuatan natural daripada kekuatan supra natural sebagaimana yang selama ini diyakini. Lebih tegas lagi pada tahun 427-347 SM, Plato, seorang filosof besar Yunani, yang merupakan murid Socrates, mengatakan bahwa mereka yang tidak stabil secara mental tidak bertanggungjawab atas perilaku mereka. Gagasan kedua tokoh besar ini membawa perubahan. Hal ini terbukti dalam abad pertengahan. Dimana dalam abad itu, muncul berbagai kelompok religious yang memberikan pelayanan dan tempat tinggal bagi mereka yang diabaikan oleh keluarganya (Olsen&Fuller, 2003:161). Abad Sembilan belas dan abad dua puluh (masa transisi). Dalam abad ini, masyarakat semakin terbuka bagi mereka yang mengalami ketidakmampuan tertentu. Hal ini bertolak dari keyakinan bahwa setiap orang dapat belajar jika diberi stimulus secara tepat. Dengan demikian, sejak abad sembilan belas di Amerika Serikat telah berdiri sekolah bagi mereka yang buta dan tuli (Olsen&Fuller, 2003:162). Dalam abad keduapuluhan, muncul berbagai pernyataan dan kesepakatan internasional berkaitan dengan hak manusia. Misalnya saja pada tahun 1948 ada Deklarasi Hak Asasi Manusia, termasuk hak atas pendidikan dan partisipasi penuh di masyarakat untuk semua orang; pada tahun 1989 ada Konvensi PBB tentang Hak Anak; pada tahun 1990 ada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua di Jomtien, Thailand, yang menghasilkan tujuan utama untuk membawa semua anak masuk sekolah dan memberikan semua anak pendidikan yang sesuai; tahun 1993dicetuskan Peraturan Standar tentang Kesamaan Kesempatan bagi Penyandang Cacat, oleh PBB, yang diumumkan tahun 1994 (Skjorten, 2001). Pencetusan pendidikan inklusif ini terjadi karena selama jangka waktu yang cukup lama, para siswa penyandang cacat dididik secara ekslusif (Watterdal, 2002). Dengan kata lain, mereka tetap diperlakukan sebagai orang-orang yang bukan

11

merupakan bagian dari masyarakat. Akibatnya, masyarakat umum masih merasa aneh dengan kehadiran mereka. Tidak hanya itu, penggunaan sistem integrasi yang telah diterapkan dulu juga meninggalkan berbagai persoalan. Sistem integrasi mengandung makna bahwa siswa penyandang cacat diikutkan ke dalam sekolah reguler setelah anak tersebut mengikuti kelas khusus dan dianggap siap untuk mengikuti suatu kelas di sekolah reguler. Sayangnya, di sana mereka sering ditempatkan dalam suatu kelas berdasarkan tingkat keberfungsiannya dan pengetahuannya bukan menurut usianya. Misalnya kita dapat menemukan anak berusia 12 tahun berada di kelas satu. Karena situasi tersebut dan semakin munculnya kesadaran akan kesamaan hak dan martabat sebagai manusia maka disuarakanlah hak anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan hak dan pelayanan yang sama. Di mana semua anak (atau orang dewasa) adalah anggota kelompok yang sama, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain, membantu satu sama lain untuk belajar dan berfungsi, saling mempertimbangkan satu sama lain, menerima kenyataan bahwa anak (atau orang dewasa) tertentu mempunyai kebutuhan yang berbeda dengan mayoritas dan kadangkadang akan melakukan hal yang berbeda. Dan hal itu dikukuhkan dengan adanya Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusif oleh UNESCO pada 1994. 4. Landasan Yuridis

Landasan yuridis memiliki hirarki dari undang-undang dasar, undang-undang, peraturan pemerintah, kebijakan direktur jendral, peraturan daerah, kebijakan direktur, hingga peraturan sekolah. Juga melibatkan kesepakatan-kesepakatan internasional yang berkenaan dengan pendidikan. Dalam kesepakatan UNESCO di Salamanca, Spanyol pada tahun 1994 telah ditetapkan agar pendidikan di seluruh dunia dilaksanakan secara inklusif. Dalam kesepakatan tersebut juga dinyatakan bahwa pendidikan adalah hak untuk semua (educational for all), tidak peduli orang itu memiliki hambatan atau tidak, kaya atau miskin, pendidikan juga tidak membedakan ras, warna kulit, suku, dan agama. Pendidikan bagi anak berkebutuhan

12

khusus sedapat mungkin dintegrasikan dengan pendidikan reguler, pemisahan dalam bentuk segregrasi hanya untuk keperluan pembelajaran (instruction), bukan untuk keperluan pendidikan (education). Untuk keperluan pendidikan, anak-anak berkebutuhan khusus harus disosialisasikan dalam lingkungan yang nyata dengan anak-anak lain pada umumnya. Adapun landasan yuridis pendidikan inklusif sebagai berikut: Instrumen Internasional a. 1948: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia b. 1989: Konvensi PBB tentang Hak Anak c. 1990: Deklarasi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua (Jomtien). d.

1993: Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para Penyandang Cacat

e.

1994: Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus

f.

1999: Tinjauan 5 tahun Salamanca

g.

2000: Kerangka Aksi Forum Pendidikan Dunia (Dakar)

h.

2000: Tujuan Pembangunan Millenium yang berfokus pada Penurunan Angka Kemiskinan dan Pembangunan

i.

2001: Flagship PUS tentang Pendidikan dan Kecacatan

Instrumen Nasional a. UUD 1945 (amandemen) pasal 31 b.

UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3, 5, 32, 36 ayat (3), 45 ayat (1), 51, 52, 53.

c.

UU No 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pasal 5

d.

Deklarasi Bandung (Nasional)” Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif” 8-14 Agustus 2004

e.

Deklarasi Bukit Tinggi (Internasional) Tahun 2005

13

f. Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Nomor 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 tentang pendidikan inklusif. g.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.

14

BAB III PENUTUP 1. Kesimpulan Pendidikan Inklusif merupakan sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar disekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama temanteman seusianya. Ini menandakan bahwa pendidikan tidak mengenal perbedaan fisik, suku dan agama. Namun tidak semua sekolah regular di Indonesia termasuk kedalam sekolah inklusif karena kurangnya sumber daya manusia yang mempuni dalam bidang pendidikan inklusif. Pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem pendidikan dengan meninggalkan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Hambatan yang ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender, status sosial, kemiskinan, dll. Salah satu kelompok yang paling tereksklusi dalam memperoleh pendidikan adalah siswa penyandang cacat. Sekolah dan layanan pendidikan lainnya harus fleksibel dalam memenuhi keberagaman kebutuhan siswa untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

2. Saran Pendidikan inklusif sangat bagus untuk diterapkan di Indonesia dan sangat perlu untuk terus dikembangkan agar tidak ada diskriminasi terhadap perbedaan terutama pada peserta didik berkebutuhan khusus. Dengan ini, pemerintah harus memperhatikan apa saja kebutuhan mereka, baik dari sarana maupun prasarana dan guru pembimbing untuk mereka. Harapan saya agar pemerintah untuk lebih memperhatikan pendidikan dan terus memberikan yang terbaik bagi dunia pendidikan tanpa membeda-bedakan anak inklusi dengan anak normal lainnya.

15

DAFTAR PUSTAKA 2018. Makalah Sejarah Pendidikan Inklusif. https://www.pengetahuanku13.com/2018/05/makalah-sejarah-pendidikan-inklusif.html (diakses pada 18 September 2018) 2013. Sejarah Pendidikan Inklusif. https://ycaitasikmalaya46111.wordpress.com/2013/01/11/sejarah-pendidikan-inklusif/ (diakses pada 18 September 2018) Stubbs, Sue. 2002. Pendidikan Inklusif Ketika hanya ada sedikit sumber. Bandung: Ilahi, Mohammad Takdir. 2013. Pendidikan Inklusif Konsep dan Aplikasi. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media

16

Related Documents


More Documents from "egahmulia"