Co-Assistensi Bidang Diagnostik Lab “KONJUNGTIVITIS”
Oleh : TRINI PURNAMASARI S. C024181015
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS HASANUDDIN 2019
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Kucing adalah salah satu hewan yang popular di kalangan masyarakat, bentuk fisik yang lucu dan tingkah yang menggemaskan merupakan salah satu alasan yang membuat banyak orang menyukai hewan peliharaan yang satu ini. Kepopulerannya membuat jumlah peminat kucing di Indonesia sangatlah besar, namun hal ini tidak diimbangi dengan ketersediaan dokter hewan yang mencukupi dan pengetahuan pemeliharan yang baik yang akan berdampak terhadap kesehatan kucing tersebut (Rahman, 2008). Pada kucing berbagai penyakit dapat terjadi baik itu penyakit infeksius maupun non infeksius yang memerlukan penanganan dengan pemeriksaan fisik maupun penanganan dengan tindakan pembedahan. Salah satu penyakit yang dapat terjadi pada kucing ialah penyakit yang menyerang pada mata. Mata merah yang disertai adanya ocular discharge sering kali menjadi keluhan yang paling umum dikeluhakan oleh klien. Terkadang juga dijumpai adanya peradangan pada konjungtiva yang biasa disebut juga dengan konjungtivitis. Berbeda dengan anjing, hampir semua kasus konjungtivitis merupakan penyakit lanjutan dari kelainan kelopak mata, konjungtiva maupun kelenjar air mata (Glaze, 2014). 1.2 Tujuan Adapun tujuan penulisan laporan ini yaitu: a. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan konjungtivitis b. Untuk mengetahui bakteri yang tumbuh pada kasus infeksi sekunder konjungtivitis 1.3 Rumusan Masalah Adapun masalah yang dibahas dalam laporan ini yaitu : a. Apa yang dimkasud dengan konjungtivitis? b. Apa bakteri yang tumbuh pada kasus infeksi sekunder konjungtivitis?
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konjungtivitis Konjungtivitis merupakan peradangan pada membran mukosa yag menutupi bagian anterior bola mata dan terletak pada kelopak mata. Pada keadaan normal, konjungtiva berwarna pink rose. Namun jika terjadi peradangan pada konjungtiva akan ditemukan perubahan warna, dimana konjungtiva akan berwarna lebih kemerahan dan sering ditemukan keluarnya leleran pada mata secara berlebih baik unilateral maupun bilateral (Ramadhanisa, 2014 ; Sitompul 2017). Konjungtivitis dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti virus, bakteri jamur, parasit, trauma, bahan kimia ataupun alergi. Benda asing, debu, bilah kaca, asap, bahan kimia yang secara tidak sengaja terkena mata dapat menyebabkan iritasi seperti sabun dan zat korosif. Pada kasus konjungtivitis akan terjadi peningkatan air mata/mata berair secara berlebihan yang diikuti dengan adanya mukopurulen, kemudian diikuti dengan ocular discharge yang purulen jika lesi berlanjut pada bagian yang lebih dalam dari konjungtiva (Kumar et al., 2016).
Gambar 1. Letak konjungtiva pada mata. 2.2. Gejala klinis Gejala klinis yang dapat ditemukan pada saat pemeriksaan kasus konjungtivitis ialah blepharitis, hiperemi pada konjungtiva, adanya ocular discharge (serous, mukoid, mukopurulen), chemosis, maupun infeksi saluran pernafasan yang dapat menjadi penyebab utama terjadinya konjungtivitis (Tilley and Smith, 2016).
2.3. Diagnosa Untuk mendiagnosa penyakit konjungtivitis ini perlu dilakukan pemeriksaan menyeluruh pada kelopak mata, pemeriksaan lengkap pada mata, pengujian dengan menggunakan uji fluorecien jika ada lesi pada kornea, biakan bakteri jika pengobatan awal tidak berhasil, Schirmer tear test dilakukan jika permukaan okular tampak kering, pemeriksaan darah dapat dilakukan (eosinofil mendiagnosis konjungtivitis eosinofilik dan neutrofil mengindikasikan infeksi bakteri) (Tilley and Smith, 2016).
Pemeriksaan mata secara menyeluruh memungkinkan untuk mendiagnosa penyakit dengan lebih jelas dan mengurangi kesalahan-kesalahan mendiagnosa yang dikarenakan oleh penyakit potensial lainnya (mis., Bisul, uveitis, glaukoma, penyakit orbital). Konjungtivitis juga sering dikelirukan dengan neoplasia, sehingga harus dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan dilakukan biopsi massa konjungtiva (Tilley and Smith, 2016). 2.4. Penanganan dan pengobatan Penanganan pertama pada kasus konjungtivitis yang dapat dilakukan ialah membersihkan mata dengan kain bersih dan air dingin. Mata dapat diirigasi menggunakan saline normal yang mengandung gentamisin 2 – 3 kali untuk mengatasi mucous discharge dan menjaga mata untuk tetap besih. Pemberian obat tetes ini diberikan selama 5 hari. Pemberian antibiotik spektrum luas juga dapat diberikan untuk mengatasi masalah infeksi sekunder. Penggunaan antihistamin dapat digunakan pada kasus konjungtivitis yang disebabkan alergi ((Kumar et al., 2016).
BAB III MATERI DAN METODE
3. 1 Media natrium agar (NA) Alat dan bahan : Bubuk natrium agar, kertas perkamen, timbangan digital, sendok tanduk, aquades, batang pengaduk, gelas ukur, tabung erlenmeyer, Bunsen, penjepit leher tabung, korek api, cawan petri, aluminium foil, waterbath, autoklaf. Prosedur pembuatan media natrium agar : Siapkan alat dan bahan yang sudah steril. Timbang bubuk natrium agar sebanyak 2,8 gram. Masukkan ke dalam tabung erlenmeyer dan campurkan aquades sebanyak 100 ml. Dihomogenkan dengan cara diaduk. Mulut
tabung
ditutup
menggunakan
aluminium
foil
selanjutnya
dimasukkan ke dalam autoklaf dengan suhu 121ºC selama 15 menit. Setelah dikeluarkan media didinginkan dan tuang kedalam cawan petri dan biarkan hingga memadat. 3. 2 Pewarnaan Gram Alat dan bahan : Objek glass, cover glass, lampu spiritus, ose, alkohol 70%, alkohol 95%, crystal violet, lugol, safranin/fusin karbolat, spesimen, minyak emersi, mikroskop. Prosedur pewarnaan gram : Pewarnaan gram dilakukan dengan membersihkan objek glass dengan alkohol 70% kemudian difiksasi di atas lampu spiritus dan memberi label pada bagian bawah preparat glass. Panaskan ujung ose (sengkelit) sampai berwarna merah terang, letakkan ose di atas api. Tunggu hingga dingin sebentar. Ambil sedikit spesimen yang akan diperiksa dengan menaruh ose rata terhadap permukaan spesimen. Dengan tetap memegang ose rata
terhadap permukaan kaca objek, putar sengkelit dengan arah menjauhi pusat atau berbentuk spiral oval. Sisakan ruangan antara specimen dan keempat sudut kaca. Diamkan apusan sampai benar-benar kering atau dengan memfiksasi bagian bawah dari objek gelas.Teteskan larutan zat warna crystal violet sebanyak 1-2 tetes kemudian tunggu selama 3-5 menit. Cuci dengan air mengalir dan keringkan preparat dengan dianginkan. Tetesi dengan lugol pada keseluruhan objek selama 60 detik, cuci dengan air mengalir. Kemudian teteskan alkohol 95% dan diamkan sampai kering. Tambahkan fusin karbolat/safranin pada keseluruhan kaca objek selama 2 menit. Bilas dengan air bersih dan keringkan. Amati preparat dengan objektif 40x untuk melihat distribusi ulasan, lalu pakai objek 100x (dengan minyak emersi) (Mahode, 2004).
Gambar 2. Langkah-langkah pewarnaan gram 3. 3 Pembuatan Mannitol Salt Agar (MSA) Alat dan bahan : Bubuk MSA, kertas perkamen, timbangan digital, sendok tanduk, aquades, batang pengaduk, gelas ukur, tabung erlenmeyer, Bunsen, penjepit leher tabung, korek api, cawan petri, aluminium foil, waterbath, autoklaf. Prosedur pewarnaan gram : Siapkan alat dan bahan yang sudah steril. Timbang bubuk MSA sebanyak 11,1 g . Masukkan bubuk MSA ke dalam labu erlemeyer yang berisi 100 ml aquades.
Tutup erlenmeyer dengan aluminium foil dan masukkan kedalam autoclave dengan suhu 121º C selama ±45 menit. Media didinginkan dan tuang kedalam cawan petri dan biarkan hingga memadat dan bewarna merah. 3. 4 Ulas Darah Alat dan bahan : Objek glass, cover glass, sampel darah pada tabung EDTA (Ethylen Diamine Tetra Asetat), methanol, giemsa 10%, mikroskop. Prosedur ulas darah: 1. Pembuatan preparat apus darah pada tabung vakum EDTA harus dihomogenkan, plasma darah dan sel-sel darah. 2. Darah diambil menggunakan pipet tetes dan diteteskan pada preparat (obyek glass). 3. Selanjutnya obyek glass diletakkan pada sudut 25° -30° pada tetesan darah, kemudian ditarik lurus sampai ujung preparat. 4. Apus darah pada objek glass yang sudah kering diteteskan metanol dan tunggu hingga kering. 5. Teteskan larutan giemsa 10% (sampai semua apusan tergenangi) dan dibiarkan selama 15 menit. Lalu bilas dengan air mengalir. 6. Kering anginkan dan siap untuk diamati di Mikroskop. 3. 5 Pemeriksaan White Blood Cell (WBC) Alat dan Bahan : Pipet lekosit, kamar hitung improved neubauer, cover glass, larutan Turk, mikroskop. Prosedur kerja pemeriksaan WBC : 1. Tahap pertama a. Dengan pipet lekosit darah diisap sampai tanda 0,5. b.
Ujung pipet dibersihkan dari noda-noda darah yang menempel dengan menggunakan tisu.
c. Ujung pipet dicelupkan ke dalam cairan pengencer dan cairan tersebut dihisap sampai batas 11.
d. Pipet diangkat, lalu ditutup ujungnya dengan jempol dan pangkalnya ditutup dengan jari tengah. Homogenkan. e. Setelah homogen, sebagian larutan enceran dibuang kira-kita 3-5 tetes. f. Kamar hitung maupun penutup harus bersih dan kering. g. Untuk mengisi kamar hitung buanglah 4 tetes pertama dan letakkan ujung pipet pada KH tepat batas kaca penutup. h. Kamar hitung setelah diisi dibiarkan selama 3 menit, lalu siap untuk diamati di bawah mikroskop. 2. Tahap kedua a. Mikroskop yang baik disiapkan dan dibersihkan bagian-bagian optiknya. b. Kamar hitung yang telah disiapkan diletakkan di meja mikroskop. Bagian dataran yang terisi diposisikan tepat di bawah lensa obyektif c. Penyebaran sel diperhatikan dengan pembesaran rendah, dilihat apakah merata atau berkelompok. Jika tidak merata, harus membuat lagi preparat yang baru. d. Jika sudah merata, lensa obyektif diganti dengan pembesaran lebih tinggi. Sel leukosit dihitung berdasarkan jumlah sel yang terlihat dalam empat kotak besar di pojok. e. Hasil perhitungan akhir (jumlah total leukosit) Total leukosit
= n x 50 (n = jumlah dari ke-empat kotak yang
dihitung) Kamar Hitung Leukosit
BAB IV PEMBAHASAN
4.1. Anamnesis
Belum diberi obat cacing.
Belum vaksin.
Mata terus berair.
Banyak kotoran pada mata dan bengkak.
Mata dibersihkan dengan air hangat.
4.2. Sinyalemen Nama hewan : Bolong Jenis hewan
: Kucing
Ras
: domestik
Umur
: ±3 tahun
Jenis kelamin : Jantan Berat badan
: 0.6 kg
Warna rambut : black Tanda khusus : 4.3. Temuan Klinis Saat pemeriksaan suhu pasien sedikit tinggi dengan hasil pengukuran suhu perektal 39,8oC sedangkan suhu normal kucing ialah 38,0 oC -39,3 oC (Widodo, 2012). Pemeriksaan inspeksi pada daerah mata adanya banyak ocular discharge dan adanya radang pada konjungtiva.
Gambar 3. Ocular discharge pada mata pasien Bolong.
4.4. Diagnosa Berdasarkan dari anamnesa dan pemeriksaan fisik kucing di diagnosa menderita konjungtivitis dan dilakukan pengambilan swab ocular discharge untuk dilakukan kultur bakteri. 4.5. Kultur Bakteri Kultur bakteri ocular discharge pasien Bolong pada media nutrien agar (NA) dilakukan dengan metode swab langsung menggunakan cottonbud. Hasil dari kultur adanya koloni bakteri yang tumbuh sesuai arah swab. Nutrien agar merupakan media yang umum digunakan karena bakteri gram positif maupun gram negarif dapat tumbuh pada media ini. Aftab et al. (2016) menyatakan bahwa bakteri gram positif merupakan bakteri isolat yang paling umum dari hasil swab corneoconjunctival. Bakteri gram positif adalah mikroorganisme dominan dari permukaan okular pada kucing normal. Organisme bakteri yang paling sering diisolasi ialah Staphylococcus epidermidis, Streptococcus sp., Staphylococcus aureus, dan Escherichia coli.
Gambar 4. Koloni bakteri pada media NA Hasil dari bakteri yang dikultur pada media NA dilakuakan pewarnaan gram untuk mengetahui bakteri apa yang tumbuh pada media. Pada pewarnaan gram yang dilakukan, diperoleh hasil pengamatan yaitu bakteri berbentuk coccus (bulat), bergerombol seperti buah anggur dan berwarna ungu dan diduga adalah bakteri Staphylococcus aureus. Dewi (2013) menyatakan bahwa Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif dan berbentuk kokus yang menghasilkan warna ungu pada pewarnaan gram, tersusun dalam kelompok-kelompok tidak teratur (menyerupai buah anggur). Warna ungu pada pewarnaan gram disebabkan
karena bakteri mempertahankan warna pertama, yaitu kristal violet. Perbedaan sifat gram dipengaruhi oleh kandungan pada dinding sel, dimana bakteri gram positif
memiliki
kandungan
peptidoglikan
yang
tebal
sehingga
dapat
mempertahankan warna saat dilakukan pembilasan dengan alkohol 95% (Dewi, 2013).
Gambar 5. Tampakan bakteri hasil pewarnaan gram Dari hasil kultur bakteri pada media NA dan pewarnaan gram dengan hasil uji yang diduga adalah bakteri Staphylococcus sp., namun juga sering kali dikelirukan dengan bakteri Streptococcus sp. Media selektif yang dipilih untuk kultur bakteri lanjutan ialah media mannitol salt agar (MSA). Uji mannitol salt agar (MSA), merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan memfermentasi mannitol pada Staphylococcus sp. Hasil positif ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan koloni berwarna putih kekuningan dan perubahan warna pada medium dari warna merah menjadi kuning karena adanya fenol acid, hasil negatif tidak terjadi perubahan warna (Toelle and Lenda, 2014).
Gambar 6. Koloni bakteri pada media MSA
Pada pemeriksaan darah dengan metode ulas darah, ada banyak gambaran neutrofil. Gambaran neutrofil yang terlihat jelas pada hasil
ulas darah
menggindikasikan adanya infeksi bakteri dan peneguhan diagnosa di perkuat dengan adanya hasil positif pada kultur bakteri di media nutrien agar dan manitol salt agar (Tilley and Smith, 2016)..
Gambar 7. Adanya neutrophil pada hasil ulas darah Hasil pemeriksaan WBC yang dilakukan dengan metode tiup pada sampel darah kucing ialah 18.550 leukosit/ μL, sedangkan jumlah leukosit normal pada kucing adalah 6.000–18.000 sel/μL (Rebar, 2004). Perubahan jumlah leukosit dalam sirkulasi darah dapat diartikan sebagai timbulnya agen penyakit, peradangan, penyakit autoimun atau reaksi alergi (Lestari et al., 2013). Kebengkakan yang terjadi pada konjungtiva dan adanya ocular discharge pada kedua bagian mata dapat menjadi indikasi tingginya leukosit.
Gambar 8. Hasil pemeriksaan white blood cells
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Konjungtivitis merupakan peradangan pada membran mukosa yag menutupi bagian anterior bola mata dan terletak pada kelopak mata (konjungtiva). Konjungtivitis dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti virus, bakteri jamur, parasit, trauma, bahan kimia ataupun alergi. Hasil kultur bakteri dari swab ocular discharge pada media nutrien agar, mannitol salt agar dan pewarnaan gram menunjukkan adanya bakteri Staphillococcus aureus. Ulas darah dan tingginya white blood cells menunjukkan adanya infeksi bakteri dan radang pada pasien bernama Bolong. 5.2 Saran Pengarahan mengenai penangan pertama pada klien mengenai kasus konjungtivitis sebaiknya diberikan dan pemeriksaan pada hewan sakit sedini mungkin harus dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA Dewi., A.K. 2013. Isolasi, Identifikasi dan Uji Sensitivitas Staphylococcus aureus terhadap Amoxicillin dari Sampel Susu Kambing Peranakan Ettawa (PE) Penderita Mastitis Di Wilayah Girimulyo, Kulonprogo, Yogyakarta. Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Glaze, M. B. 2014. Eye Rounds: Feline Keratoconjunctivitis. http://vetfolio.s3.amazonaws.com/ eye-rounds-feline-keratoconjuctivitispdf.pdf (20 Maret 2019) Kumar, K., Kumari, K., Praveen, P. K., and Ganguly, S. 2016. Clinical Management of Conjunctivitis In Dog : A Case Study. Indian J. Anim. Hlth. 55(2) : 167-168. Lestari, S.H.A., Ismoyowati, dan M. Indradji. 2013. Kajian jumlah leukosit dan diferensial leukosit pada berbagai jenis itik lokal betina yang pakannya di suplementasi probiotik. J. Ilmiah Peternakan 1 (2): 699-709. Rahman, A., 2008. Morfogenetika Kucing Rumah (Felis domesticus) Di Desa Jagobayo Kecamatan Lais Bengkulu Utara. Jurnal Exacta. pp. 30 Ramadhanisa A . 2014. Conjunctivitis Bakterial Treatment in Kota Karang Village. Faculty of Medicine, Universitas Lampung. Rebar, A. 2004. Hemogram Interpretation for Dog and Cat. Wilmington, Delaware: The Gloyd Group, Inc. Sitompul R. 2017. Konjungtivis Viral. Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK Universitas Indonesia- RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Tilley, L.P. and Smith, F.W.K. 2016. Blackwell’s Five Minutes Veterinary Consult: Feline and Canine, 6 th Edition. UK: Wiley Blackwell. Toelle, N. N., and Lenda, V., 2014. Identifikasi dan Karakteristik Staphylococcus Sp. dan Streptococcus Sp. dari Infeksi Ovarium Pada Ayam Petelur Komersial (Identification and Characteristics of Staphylococcus Sp. and Streptococcus sp. Infection of Ovary in Commercial Layers). Jurnal Ilmu Ternak. Vol. 1( 7): 32 – 37. Widodo, S. 2012. Diagnostik Hewan Kecil. Bogor: IPB Press.