NO WAKTU
1
2
3
April 2003
20052006
2006
PIHAK TERLIBAT
SUMBER KONFLIK
Nelayan Ujung Pangkah,Gresik Perbedaan vs Nelayan Tangkap Paciran, Lamongan
Konflik antara Perbedaan nelayan modern Tangkap Juwana Jawa Tengah dengan nelayan tradisional Balikpapan
Nelayan Tradisional Rawai dengan Perbedaan Nelayan Jaring Tangkap Batu Kabupaten Bengkalis, Riau.
PERATURAN
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Alat Republik Indonesia Nomor 2/PERMEN KP/2015
AKIBAT
Adanya pengaturan pemakaian alat tangkap ikan beserta dengan konsekwensi nya jika melakukan pelanggaran.
Alat Peraturan Pembakara Menteri n kapal, Kelautan dan Wakil Perikanan Nahkoda Republik Cedera Indonesia KM Nomor Mutiara 2/PERMEN Sakti karam KP/2015 di Markoni Peraturan Gubernur No. 17 Tahun 2006 tentang Penghentian Sementara Penggunaan Alat Tangkap Ikan Jenis Alat Jaring Batu (Bottom Gill Net)/Jaring Dasar di Wilayah Perairan Tanjung Jati sampai dengan Tanjung Sekodi di
Penangkapan 1 unit kapal pengusaha jarring batu
SUMBER Muzni, A Irfan dkk, 2008. Model Pengembang an Partisipasi Gender Dalam Resolusi Konflik Nelayan Ujung Pangkah. Jurnal Psikosains, Vol. 2 Kinseng, A Rilus. 2007.Konflik -Konflik Sumberdaya Alam di Kalangan Nelayan di Indonesia.Vo l1 https://www.s lideshare.net/ Bembenk/kro nologiskasusnelayantradisionalbengkalispresentation
Kabupaten Bengkalis.
4
2008
Nelayan Bangkalan Dengan Nelayan Pasuruan
Nelayan Pasuruan sering melakukan penangkapan ikan satu kilometer dari lepas Pantai Kwanyar, Bangkalan
Warga Bangkalan melakukan pengepungan perahu milik Pasal 7 Ayat 2 Nelayan UndangPasurwan, undang Nomor 3kapal 45 Tahun 2009 berawak 20 Tentang Nelayan Perikanan Pasurwan yang berhasil di tangkap polisi dikenai denda
5
6
2010
19832010
Pasal 7 Ayat 2 Undangundang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan dan Wilayah Nelayan Madura Peraturan penangkapan ikan dengan Nelayan Menteri dan perbedaan alat Wates, Pasuruan Kelautan dan tangkap Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/PERMEN KP/2015
Konflik terjadi
yang Konflik antara nelayan
dengan rawai
Tiga unit jaring batu
Ramadansya h, Ridha (2008) Peran Pemerintah Dalam Penyelesaian Konflik Antara Nelayan Bangkalan Dengan Nelayan Pasuruan. Ot her thesis, University of Muhammadi yah Malang. Triadiyatma, Arizal.2016, “Model Penyelesaian Konflik Berbasis Kearifan Lokal Sebagai Modal Sosial di Kecamatan Lekok Pasuruan”. Fakultas Psikologi, Universitas Surabaya. Surabaya.
32 rumah terbakar, 27 rumah rusak berat, 5 rusak ringan, 29 rumah dibakar,19 rumah dibakar 59 perahu dibakar, 10 perahu rusak berat, 3 sepeda motor dibakar 1 ekor sapi dan 4 ekor kambing dibunuh Sari, T Esti Terjadi Yustika dkk. pembakaran
nelayan rawai, nelayan jaring batu dan nelayan trawl di perairan bengkalis provinsi Riau
7
2015
8
2017
9
2017
disebabkan pengusaha perikanan jaring batu dan trawl menangkap ikan pada jalur penangkapan nelayan rawai, yaitu dibawah 3 mil laut dari garis pantai sehingga Nelayan rawai mengalami penurunan hasil tangkapan
dibakar di pantai Satu orang nelayan rawai cedera terkena panah nelayan jaring batu (2003) 10 orang nelayan rawai terluka (2006)
dan penyanderaan terhadap beberapa kapal jaring batu dan trawl.
2010. KONFLIK PERIKANA N TANGKAP DI PERAIRAN KABUPATE N BENGKALI S PROVINSI RIAU. Vol. 1, No. 1
Dua polisi terluka dan 24 nelayan yang bertindak anarkistis diamankan, kerusakan fasilitas umum 136 nelayan a sal Jawa Tengah tertahan di Peraturan Nelayan Jawa kamp Penggunaan cantrang Menteri tengah dengan pengungsian oleh nelayan Jawa Kelautan dan Nelayan Mimika di Tengah Perikanan Papua Mimika Papu Nomor 2/2015 a
https://nasion al.sindonews. com/read/971 928/149/nela yan-bentrokdenganpolisi-dibatang1425443754
Nelayan batang Pelarangan Peraturan bentrok dengan penggunaan alat Menteri polisi tangkap centrang Kelautan dan Perikanan Nomor 2/2015
Konflik antar nelayan tradisional bengkulu denga Perbedaan n nelayan yang Tangkap menggunakan pukat di Bengkulu
Peraturan Menteri Alat Kelautan dan Perikanan Nomor 2/2015
10
11
12
2018
Nelayan Kabupaten Bulukuma dan Nelayan Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan
Para nelayan asal Kabupaten Bantaeng masuk mencari ikan di perairan Bulukumba
2018
Nelayan dari wilayah perairan sumut dan Wilayah Nelayan di penangkapan ikan sekitar daerah Rokan Hilir Riau
2018
Konflik antara warga Desa Pajjukukang,Bo ntoa, Maros dan Pulau Kodingareng Makassar serta Pulau Sarappo, Pangkep
Konflik terjadi lantaran nelayan yan g bermunkim di Pajjukukang dan Sarappo tidak dizinkan untuk menangkap ikan di laut yang berada di Kodingareng, Makassar.
Pasal 7 Ayat 2 Undangundang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan
3 nelayan Bulukumba mengalami cidera akibat penganiaayaa n oleh nelayan Bantaeng
Adanya penahanan sampan milik nelayan sumut, Pasal 7 Ayat 2 ditembaknya Undangnelayan undang Nomor sumut oleh 45 Tahun 2009 polisi air Tentang yang Perikanan menyebab 1 orang meninggal dan 2 orang terluka
https://www.s uaralidik.com /dinaskelauatandanperikananjanji-akanselesaikankompliknelayanbantaengdanbulukumba/ https://www. merdeka.com /peristiwa/cur i-ikan-danhasil-laut-diperairanrokan-hilirnelayanditembakmati.html
Terjadi pertikaian antara nelayan berupa pembakaran kapal milik nelayan lain
Dari berbagai tabel diatas dapat disimpulkan bahwa konflik antar nelayan di Indonesia sangat rentan terjadi dengan akibat yang juga tidak sedikit. Konflik antar nelayan biasanya disebabkan oleh perbedaan alat tangkap yang dimiliki oleh para nelayan dan juga perbatasan wilayah tangkap yang masih belum jelas.
Dalam pemanfaatan sumber daya perikananan laut terjadi kompetisi baik antara nelayan lokal maupun dengan nelayan pendatang. Kompetisi terjadi dalam penggunaan teknologi alat tangkap juga perebutan sumberdaya lokasi wilayah penangkapan (fishing ground). Hal ini kemudian menjadi potensi konflik yang suatu saat akan mengakibatkan terjadinya konflik terbuka. Pemanfaatan teknologi penangkapan sangat tergantung pada kemampuan modal dan ketrampilan nelayan dalam menggunakaannya. Tidak semua lapisan masyarakat dapat memanfaatkan teknologi penangkapan modern. Sementara laut sebagai common property resources (sumberdaya milik bersama) tidak memiliki batasan wilayah yang jelas. Dalam kondisi demikian, sering terjadi benturan atau konflik diantara para nelayan yang sangat tergantung secara ekonomis terhadap laut. Konflik nelayan terjadi diantara kelompok nelayan yang menggunakan sumberdaya alam yang sama dengan penggunaan alat tangkap yang sama pula atau dinatara para nelayan yang menggunakan peralatan tangkap yang berbeda pada daerah penangkapan yang sama. Dalam hal ini, aktor-aktor yang terlibat adalah nelayan tradisional, nelayan modern (aktor bisnis), dan pemerintah. Nelayan tradisional merupakan aktor yang paling menderita kerugian dalam konflik ini. Mereka menjadi kelompok yang ditundukkan dan didominasi oleh nelayan modern dan pemerintah. Kepentingan mereka untuk memperoleh pendapatan yang cukup dikalahkan oleh tindakan-tindakan pemerintah yang cenderung mendukung over-eksploitasi melalui kebijakan revolusi biru yang lebih berideologi produktivitas. Nelayan yang menggunakan mini trawl pun cenderung dibiarkan oleh pemerintah. Ketika kepentingan tersebut tidak disadari maka tidak akan memunculkan konflik, namun ternyata nelayan tradisional ini menyadarinya dan akhirnya memunculkan konflik terbuka. Dengan demikian nelayan tradisional lebih merupakan sebagai subordinat dan pemerintah sebagai superordinat. Sedangkan nelayan modern berperan sebagai subordinat terhadap Negara namun berperan sebagai superordinat terhadap nelayan tradisional. Seperti yang dikatakan oleh Dahrendorf bahwa seseorang yang berwenang dalam lingkungan tertentu tak harus memegang posisi otoritas dalam lingkungan lain. Nelayan modern bertindak sebagai superordinat terhadap nelayan tradisional karena ia tidak dapat dijatuhkan oleh nelayan tradisional. Superordinat yang seharusnya mengaturnya, yakni negara, malah seakan-akan tidak peduli dengan kondisi tersebut padahal negara adalah
pemegang otoritas tertinggi. Bahkan disebutkan bahwa terdapat indikasi adanya perlindungan aparat keamanan setempat terhadap pengguna mini trawl tertentu. Asumsi Ralf tentang masyarakat ialah bahwa setiap masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan, dan pertikaian serta konflik ada dalam sistem sosial juga berbagai elemen kemasyarakatan memberikan kontribusi bagi disintegrasi dan perubahan. Suatu bentuk keteraturan dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang memiliki
kekuasaan,
sehingga
ia
menekankan
tentang peran
kekuasaan
dalam
mempertahankan ketertiban dalam masyarakat. Bagi Dahrendorf, masyarakat memiliki dua wajah, yakni konflik dan konsesus yang dikenal dengan teori konflik dialektika. Dengan demikian diusulkan agar teori sosiologi dibagi menjadi dua bagian yakni teori konflik dan teori konsesus. Teori konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat sedangkan teori konsesus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat. Bagi Ralf, masyarakat tidak akan ada tanpa konsesus dan konflik. Masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Fakta kehidupan sosial ini yang mengarahkan Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi ‘otoritas” selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis. Hubungan Otoritas dan Konflik Sosial Ralf Dahrendorf berpendapat bahwa posisi yang ada dalam masyarakat memiliki otoritas atau kekuasaan dengan intensitas yang berbedabeda. Otoritas tidak terletak dalam diri individu, tetapi dalam posisi, sehingga tidak bersifat statis. Jadi, seseorang bisa saja berkuasa atau memiliki otoritas dalam lingkungan tertentu dan tidak mempunyai kuasa atau otoritas tertentu pada lingkungan lainnya. Sehingga seseorang yang berada dalam posisi subordinat dalam kelompok tertentu, mungkin saja menempati posisi superordinat pada kelompok yang lain.