Konflik Agraria.docx

  • Uploaded by: osi
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Konflik Agraria.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,931
  • Pages: 11
Berkenaan urusan keagrariaan, konflik sudah pasti dan akan terus terjadi karena banyaknya kepentingan dalam menyikapi sumber-sumber agraria. Pada dasarnya, semua konflik agraria timbul sebagai akibat dari adanya ketidakserasian/kesenjangan terkait sumber-sumber agraria, khususnya kesenjangan dalam penguasaan, peruntukan, persepsi dan konsepsi, serta hukum dan kebijakan yang saling beretentangan. Dengan demikian, konflik agraria secara sederhana dapat diartikan sebagai pertentangan kepentingan yang berbeda terhadap sumber-sumber agraria– seringnya dan akan selalu melibatkan tanah secara umum–yang terjadi antar individu, antar kelompok, maupun individu dengan kelompok, di mana setiap pihak yang berkonflik harus berupaya untuk mendapatkan kekuatan, membuktikan, dan menunjukan kepentingannya sebagai yang paling baik. Pada upaya mempertahankan kepentingan suatu pihak maka akan ada kepentingan pihak lain yang dikorbankan karena kedua kepentingan tersebut tidak dapat diwujudkan bersama terhadap satu objek agraria yang sama. Sebagai akibatnya, masyarakat lebih sering menjadi pihak yang dikorbankan demi kepentingan pihak lain yang lebih memiliki kekuatan. Konsorsium Performa Agraria (KPA) telah merekam ribuan kasus konflik agraria yang pernah terjadi di Indonesia berupa konflik agraria struktural, yaitu konflik yang melibatkan masyarakat berhadapan dengan kekuatan modal,dan/atau instrument negara. Dengan menggunakan pengelompokan masyarakat dalam tiga sektor, seperti dikemukakan Alexis Tocqueville (1805-1859), konflik agraria struktural dapat dinyatakan sebagai konflik kelompok masyarakat sipil “melawan” dua kekuatan lain di masyarakat, yakni sektor bisnis dan/atau negara. Akar masalah dari konflik agraria ini adalah berawal dari penyalahgunaan kewenangan dan tumpang tindih pengaturan agararia. Sedikitnya ada empat ketidakserasian atau ketimpangan agraria yang dapat diidentifikasi, yaitu:    

Ketimpangan dalam hal penguasaan sumber-sumber agraria; Ketidakserasian dalam hal “peruntukan” sumber-sumber agraria, khususnya tanah; Ketidakserasian antara persepsi dan konsepsi mengenai agraria; dan Ketimpangan antara berbagai produk hukum, sebagai akibat dari pragmatisme dan kebijakan sektoral.

Baca Juga   

Asas-asas Hukum Kehutanan Sumber-sumber Hukum Tanah Nasional Pengertian Hak Kebendaan

Persoalan agraria ini pada intinya menyangkut kekuasaan atas seluruh elemen yang terkandung di dalam kehidupan agraris oleh masing-masing pihak yang terdapat di dalamnya.Pada tataran ini dapat dikatakan bahwa masalah agraria adalah produk dari relasi dan intrerelasi antara masyarakat, negara, dan lingkungan dengan menempatkan tanah dan kekuasaan sebagai inti persoalan.

Berdasarkan Pasal 6 UUPA telah ditegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.Namun kenyataan yang terjadi jauh dari semangat UUPA.Amanat undangundang yang mengutamakan kepentingan rakyat akhirnya harus terkikis dengan kepentingan-kepentingan investasi dan komersial yang menguntungkan segelintir kelompok sehingga kepentingan rakyat banyak yang seharusnya memperoleh prioritas utama akhirnya terabaikan. Terdapat aktor-aktor utama yang kerap kali berhadaphadapan secara langsung dalam persoalan konflik agraria di berbagai sektor. Aktor-aktor tersebut adalah pertama, petani dan masyarakat/komunitas adat, dua kelompok besar masyarakat yang selama ini menjadi korban dalam konflik agraria, baik pada level mempertahankan tanah dari upaya penguasaan oleh kelompok lain di luar mereka, yang umumnya adalah kelompok dunia usaha guna kepentingan profit atau pun pemerintah guna kepentingan umum. Kedua, Badan Usaha Milik Negara dan Swasta, kelompok jamak sebagai pihak yang telah mendapatkan izin, hak dan konsesi dari pemerintah atas sebidang tanah yang mengakibatkan timbulnya konflik dengan masyarakat adat, petani, pemerintah maupun sesama badan usaha itu sendiri. Pada situasi konflik tersebut, posisi negara (yang direpresentasikan lembaga pemerintah, badan-badan usaha milik negara/daerah, maupun institusi militer) kerap muncul sebagai “lawan” rakyat. Tampilnya pemerintah sebagai lawan sengketa rakyat, sering terjadi pada berbagai jenis sengketa, antara lain pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan, perkebunan besar, perumahan dan kota baru, bendungan dan sarana pengairan, sarana wisata, areal kehutanan produksi, dan sarana milliter. Dikarenakan berbagai kegiatan pembangunan tersebut merupakan tanggung jawab dari pemerintah sebagai penyelenggara negara yang diamanati oleh rakyat untuk mengelola pembangunan, tentunya kegiatan-kegiatan itu harus ditujukan untuk kepentingan masyarakat.Sebagai pihak yang diberi mandat, pemerintah memiliki keterbatasan dalam menguasai sumber-sumber agraria di Indonesia.Pelaksanaan penguasaan itu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan yang ada di masyarakat.Setiap warga negara Indonesia memiliki hak atas segalah hal yang ada di bumi Indonesia ini, termasuk hak agraria (hak atas tanah serta yang ada di atas dan terkandung di dalamnya). Tanah bukan sekedar aset, tetapi juga merupakan basis bagi teraihnya kuasa-kuasa ekonomi, sosial dan politik. Maka ketimpangan dalam hal akses terhadap tanah ini akan sangat menentukan corak masyarakat dan dinamika antar lapisan di dalam masyarakat tersebut. Kepentingan antara ekonomi, sosial, dan politik berperan besar dalam setiap konflik agraria yang terjadi.Rencana pembangunan yang sedang ramai disusung oleh pemerintah seringnya hanya menatap ke atas untuk menuju perindustrian dengan laba besar, tetapi tidak menatap ke bawah lagi untuk melihat kondisi masyarakat yang ada.Industrialisasi menjadi sistem yang sekarang sedang ramai dibangun di negaranegara berkembang, termasuk di Indonesia sebagai dasar peningkatan pembangunan dan perekonomian negara.Tapi pembangunan yang hanya mengedepankan perindustrian belum tentu sesuai dengan kondisi sosial di masyarakat.Para pengusaha yang berdatangan dengan menawarkan investasi dan keuntungan besar justru bisa membawa masyarakat pada krisis besar. Selanjutnya, perusahaan swasta yang kerap menjadi lawan masyarakat pada kasus perkebunan besar, perumahan dan kota-kota baru, kawasan kehutanan (untuk tujuan produksi maupun konservasi), pengembangan kawasan industri dan pabrik (seperti pertambangan). Menurut data Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) hingga saat ini

terdapat lebih dari 1.700 kasus konflik agraria yang belum terselesaikan baik pada tingkat pengadilan tinggi hingga Mahkamah Agung.BPN mencatat terdapat 8000 konflik agraria di Indonesia.Dilain pihak, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan lebih dari 90% (Sembilan puluh) persen kasus pelanggaran HAM berkait erat dengan konflik Agraria. Dari konflik itu, sedikitnya ada 731.342 KK petani penggarap yang kehilangan tanahnya sepanjang 2004-2012 yang mencapai lebih dari 2.399.314,49 hektar. Data konflik yang lain didapat dari hasil pantauan DPD RI terhadap konflik pertanahan atau agraria yang paling parah terjadi pada periode Januari-Desember 2012 yang mencapai 198 kasus. Jika dihitung rata-rata setidaknya terjadi 1 kali konflik agraria dalam 2 hari dan 1 orang petani ditahan dalam 2 hari. Sementara Sawit Watch mencatat konflik tanah di perkebunan kelapa sawit mencapai 663 diseluruh Indonesia.Konflik agraria ini melibatkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta dan BUMN, perusahaan pertambangan, Taman Nasional, dan Perhutani.HuMa juga mengamati bahwa hampir disetiap konflik, terdapat keterlibatan aparat keamanan seperti kepolisian dan militer. Sepanjang 2013, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terdapat 369 konflik agraria dengan luasan mencapai 1.281.660.09 hektar, dan melibatkan 139.874 kepala keluarga. Dari konflik tersebut tercatat 21 orang tewas, 30 tertembak, 130 dianiaya serta 239 orang ditahan oleh aparat keamanan. Dibandingkan tahun 2012, terdapat peningkatan luas areal konflik sejumlah 318.248,89 hektar, atau naik 33,03 persen. Dari jumlah konflik dibandingkan 2012 juga mengalami kenaikan, dari 198 konflik agraria di tahun 2012 naik menjadi 369 konflik pada tahun 2013, atau meningkat 86,36 persen. Bedasarkan sektor, konflik tersebut terjadi di perkebunan sebanyak 108 konflik (48,78 persen), infrastruktur 105 konflik (28,46 persen), pertambangan 38 konflik (10,3 persen), kejutanan 31 konflik (8,4 persen), pesisir 9 konflik (2,44 persen dan sisanya 6 konflik (1,63 persen). Sepuluh provinsi yang mengalami konflik agraria adalah: Sumatera Utara (10,48 persen), Jawa Timur (10,57 persen), Jawa Barat (8,94 persen), Riau (8,67 persen), Sulawesi Tengah (3,52 persen), dan lampung (2,98 persen). Jatuhnya korban jiwa akibat konflik agraria tahun ini juga meningkat drastis, sebanyak 525 persen.Tahun lalu korban jiwa dalam konflikagraria sebanyak tiga orang, sementara tahun ini konflik agraria telah menimbulkan korban jiwa sebanyak 21 orang. Konflik ini bukan saja terjadi antara rakyat dengan instansi pemerintah, atau antara rakyat dengan perusahaan swasta atau BUMN/BUMD, akan tetapi juga antar instansiinstansi pemerintah sendiri, antar departemen sektoral. Bagaimanapun juga, pengakuan dari pemegang kekuasaan, terutama pemerintahan itu sangat diperlukan agar hak itu terlindungi, maka dari itu pada hakekatnya konflik agraria ini adalah masalah kekuasaan, masalah politik. Oleh karena itu, konflik agraria ini adalah masalah bagi sebuah negara dan seluruh masyarakatnya. Bukan hal mudah untuk mencari pemecahan dari konflik ini karena terlalu banyak kepentingan yang dibela.Untuk mencapai sebuah keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia, penyelesaian konflik agraria ini merupakan bagian penting yang harus selalu diperjuangkan. Sering dikemukakan, pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga.103Pihak ketiga yang dapat membantu penyelesaian konflik dalam sebuah negara hukum adalah hakim dalam sebuah pengadilan. Melalui sebuah proses peradilan, hakim akan menjadi pihak yang netral dan memberikan sebuah putusan terhadap konflik yang terjadi. Konflik yang sudah masuk ke ranah pengadilan kelak akan memiliki kekuatan

hukum berdasarkan putusan yang mengikat dan memaksa kedua pihak yang berkonflik untuk mematuhinya. Putusan hakim itu tergantung pada proses peradilan yang dijalani. Indonesia sendiri memiliki pengaturan tentang tata cara untuk menyelesaikan konflik melalui pengadilan. Tugas hakim didukung oleh tenaga-tenaga terdidik di bidang hukum serta pranatapranata khusus yang bertalian dengan hukum yang memiliki personal yang mengurusi semua jenis bahan yang dibutuhkan di bidang hukum, sehingga para hakim dapat memenuhi tugasnya untuk menghasilkan putusan hukum. Tenaga terdidik yang dapat membantu para hakim untuk melakukan penegakan hukum melalui peradilan adalah jaksa, polisi, dan advokat. Profesi-profesi tersebut merupakan pemeran utama dalam proses penegakan hukum di pengadilan. Tugas utama dari mereka adalah untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.Di dalam penyelesaian konflik lewat pengadilan, terdapat kesenjangan antara persepsi para hakim dan persepsi para pihak yang berkonflik sendiri tentang kasusnya. Para aparat penegak hukum terutama para hakim yang menjadi sasaran dari para pencari keadilan harus memiliki kemampuan interpretation, yakni untuk menggali, menemukan, dan memahami nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, untuk dijadikan dasar dalam mempertimbangkan dan menetapkan suatu putusan dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Maka keneteralan, independensi, dan kebijaksanaan hakim harus selalu dijunjung tinggi dalam menentukan putusan terhadap konflik yang terjadi.

KPA Launching Catatan Akhir Tahun 2017 Jakarta (kpa.or.id) – Pada penghujung akhir tahun 2017 ini, KPA meluncurkan Catatan Akhir Tahun 2017. Berlangsung di Resto Tjikini Lima di daerah Cikini tadi pagi, Rabu, (27/12), pukul 10.00 WIB. Hadir dalam acara ini Sekjend KPA, Dewi Kartika, Ketua Harian PBNU, M. Maksum Machfoedz, dan anggota DPR RI, Budiman Sudjatmiko. Agenda tahunan ini dibuka langsung oleh Dewi Kartika yang langsung dilanjutkan dengan pemaparan hasil catatan akhir tahun KPA, yang berisi mengenai (1). Laporan Konflik Agraria 2017, (2). Laporan Kemajuan Reforma Agraria 2017 (3). Monitoring Kebijakan Agraria 2017. Setiap tahun KPA mendata jumlah konflik agraria strukutural yang terjadi di Indonesia dari berbagai sektor. Pendataan ini merupakan bagian dari kerja-kerja KPA untuk mendukung upaya advokasi dan penyelesaian konflik. Melalui Catatan Akhir Tahun 2017 ini KPA akan memaparkan rekaman situasi agraria nasional sekaligus menunjukan analisa terhadap berbagai dinamika kebijakan agraria satu tahun terakhir. Program reforma agraria yang dijalankan oleh pemerintah banyak sekali kekurangannya, selain konsep yang melenceng dari cita-cita UUPA 1960 juga kendala-kendala teknis antar lembaga pemerintah yang menaungi bidang agraria. Janji politik reforma agraria yang dibelokkan dan ditambah kebijakankebijakan pembangunan infrastruktur yang abai terhadap hak-hak rakyat makin melanggengkan ketimpangan penguasaan tanah dan menambah daftar panjang konflik agraria. Selama tiga tahun ini, KPA melihat di beberapa kesempatan presiden Jokowi sering menyampaikan pentingnya pelaksanaan reform agraria dalam pidatonya, apalagi reforma agraria merupakan janji politik Jokowi. Ringkasnya, pemerintah saat ini sudah memiliki keinginan politik untuk menjalankan reforma agraria, namun belum kuat. Hal ini bisa dilihat dengan masih maraknya konflik agraria, perampasan tanah, dan penyingkiran rakyat dengan menggunakan kekerasan oleh pemerintah yang tengah menjanjikan reforma agraria tentu membuat titik-titik harapan dan kepercayaan bisa menipis. Apalagi pekerjaan mengurai ketimpangan struktur agraria belum juga berjalan. Dalam konteks kebijakan, Perpres RA belum ditandatangani sejauh ini. Justru kebijakan parsial yang sering diterbitkan sehingga tidak juga menyasar persoalan yang mendasar. Dewi Kartika mengatakan “Pemerintahan Jokowi ini tidak mempunyai kehendak politik yang kuat untuk melaksanakan reforma agraria. Terlihat dari jumlah konflik agraria selalu meningkat dari waktu ke waktu. Tahun ini terdapat 659 kejadian konflik agraria dengan luasan 520.491,87 ha lahan dan melibatkan sebanyak 652.738 KK.” Dari semua sektor yang dimonitor, perkebunan masih menempati posisi pertama. Sebanyak 208 konflik agraria telah terjadi di sektor ini sepanjang tahun 2017, atau 32 persen dari seluruh jumlah kejadian konflik. Sektor properti menempati posisi kedua dengan 199 (30%) jumlah kejadian konflik. Posisi ketiga ditempati sektor infrastruktur dengan 94 konflik (14%), disusul sektor pertanian dengan 78 (12%) kejadian konflik. Seterusnya sektor kehutanan dengan jumlah 30 (5%) konflik, sektor pesisir dan kelautan sebanyak 28 (4%) konflik, dan terakhir sektor pertambangan dengan jumlah 22 (3%) kejadian konflik yang terjadi sepanjang tahun 2017. Dengan begitu, selama tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK (2015-2017), telah terjadi sebanyak 1.361 letusan konflik agraria.

“Jika dirata-rata, hampir dua konflik agraria terjadi dalam satu hari di Indonesia sepanjang tahun ini.” Lebih lanjut Dewi menambahkan. Di akhir pemaparannya Dewi mengusulkan agar pemerintah segera melakukan pelurusan dan percepatan program reforma agraria, membuat perpres reforma agraria, membuat Badan Otoritas Reforma Agraria yang berada langsung di bawah presiden, segera menyelesaikan konflik agraria, stop Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan menjalankan lokasi Priorotas Reforma Agraria (LPRA), menghentikan kriminalisasi thd petani, RUU Pertanahan harus bervisi kerakyatan, stop RUU Perkelapasawitan, pengakuan dan pemenuhan hak dasar petani, nelayan dan masyarakat adat. Budiman Sudjatmiko menanggapi pemaparan catatan akhir tahun KPA ini dengan beberapa catatan, bahwa konflik agraria struktural ini memang sudah berlangsung lama dan program reforma agraria yang dijalankan pemerintah juga mengalami banyak kendala. Namun ada beberapa peluang yang bisa dimanfaatkan, seperti kalau di tingkat desa ada UU Desa yang mampu mengangkat perekonomian lokal melalu badan usaha milik rakyat atau milik desa. Prof Maksum Makfoedz menambahkan bahwa korban konflik agraria banyak yang merupakan kaum nahdliyin dan kaum marhaen. “Apa yang terjadi di Kulon Progo dan di Kendeng itu yang jadi korbannya kan banyak dari Nahdliyin dan kaum Marhaen”. NU pada pra Munas alim ulama dan pra Konferensi Nasional Lampung pada november yang lalu telah meneguhkan diri untuk memperjuangkan reforma agraria karena angka ketimpangan pemilikan lahan ini sangat tinggi. “Ketidakadilan agraria di Indonesia sudah sedemikian parah, perusahaan memonopoli lahan jutaan hektar sementara rakyat digusur dari tanahnya”. Ujar Prof Maksum. Dalam sesi diskusi, para penanggap dan narasumber banyak dihujani pertanyaan. Salah satunya menanyakan program reforma agraria yang tidak mampu menyelesaikan konflik agraria dan beberapa kejadian penggusuran dalam pembangunan infrastruktur seperti di Kulon Progo.

Konsorsium Pembaruan Agraria (disingkat KPA) adalah organisasi non-pemerintah (Non Government Organization) tingkat nasional yang beranggotakan organisasi petani, organisasi masyarakat adat, organisasi nelayan, organisasi perempuan, NGO, individu, dan akademisi yang memperjuangkan perwujudan Pembaruan Agraria Sejati (Genuine Agrarian Reform) di Indonesia. KPA didirikan pada tanggal 24 September 1994 di Bandung, ditengah kondisi penuh represi dari rezim otoritarian Orde Baru. Meski melalui banyak tantangan, ancaman dan hambatan, KPA konsisten melancarkan kritik terhadap berbagai kebijakan agraria di Indonesia. Bahkan, di penghujung kekuasaan Orde Baru, pemerintah sempat melabeli KPA sebagai organisasi berhaluan "komunis" [1].

KPA didirikan dan didukung oleh individu-individu dan organisasi yang berpengaruh di Indonesia dalam membicarakan topik pembaruan agraria, seperti Prof. Sediono M.P. Tjondronegoro, Gunawan Wiradi, Noer Fauzi Rachman, Dianto Bachriadi, Agustiana, Maria Roewiastuti, Serikat Petani Pasundan (SPP), Barisan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) Sumatera Utara dan berbagai individu serta organisasi lain. Saat didirikan, KPA bertujuan untuk memperjuangkan terciptanya sistem agraria yang adil, dan menjamin pemerataan pengalokasian sumber-sumber agraria bagi seluruh rakyat Indonesia; jaminan kepemilikan, penguasaan dan pemakaian sumber-sumber agraria bagi petani, nelayan, dan masyarakat adat; serta jaminan kesejahteraan bagi rakyat miskin. Setelah reformasi bergulir, perjuangan KPA tak surut, hal tersebut dibuktikan dengan peran penting KPA dalam membidani kelahiran TAP MPR No. IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, hingga isu seputar pembaruan agraria kembali mendapatkan panggung politik di Indonesia. Kini, setelah melampaui dua dekade usianya, KPA beranggotakan 173 organisasi, yang terdiri dari 96 organisasi rakyat dan 77 organisasi non-pemerintah. Di tingkat daerah, KPA tersebar di 11 Wilayah, yang terdiri dari KPA Wilayah Sumatera Utara, KPA Wilayah Bengkulu, KPA Wilayah Jambi, KPA Wilayah Lamung, KPA Wilayah Jawa Barat, KPA Wilayah Jawa Timur, KPA Wilayah Jawa Tengah, KPA Wilayah Sulawesi Selatan dan KPA Wilayah Sulawesi Tengah, KPA Wilayah Kalimantan Barat dan KPA Wilayah Bali. Masing-masing KPA wilayah dipimpin oleh Koordinator Wilayah atau Presidium

Daftar isi 



  

1 Organisasi o 1.1 Kegiatan Utama o 1.2 Struktur Organisasi o 1.3 Kelembagaan 2 Aktivitas o 2.1 Pengorganisasian dan Penguatan Organisasi Rakyat o 2.2 Advokasi kebijakan o 2.3 Kajian dan Kampanye 3 Jaringan Kerja 4 Referensi 5 Pranala luar

Organisasi Kegiatan Utama

KPA memiliki beberapa kegiatan utama, antara lain: (1) Memperjuangkan pemenuhan hakhak rakyat terutama petani/buruh tani, nelayan, masyarakat adat, dan rakyat miskin; (2) Advokasi yang berupa upaya perubahan kesadaran rakyat (publik) melalui penyebaran informasi, pembentukan opini publik, pembelaan kolektif di satu pihak, dan perubahan kebijakan dan strategi pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak rakyat di lain pihak; (3) Menyelenggarakan pendidikan alternatif; (4) Pengembangan jaringan informasi, kajian, dan publikasi yang bersifat internal maupun eksternal; (5) Pengembangan

kerja sama kegiatan, program, dan kelembagaan yang mengabdi pada pemenuhan tujuantujuan gerakan Pembaruan Agraria; dan (6) Secara aktif terlibat dalam perjuangan penggalangan solidaritas nasional dan front/aliansi perjuangan internasional untuk Reforma Agraria Sejati. Struktur Organisasi

Melalui bentuk Konsorsium, struktur organisasi KPA terdiri dari Musyawarah Nasional, Dewan Nasional, Sekretariat Nasional, KPA Wilayah (di tingkat provinsi), Anggota KPA, dan Dewan Pakar. Kemudian, kepengurusan KPA Terdiri dari Dewan Nasional, Sekretariat Nasional dan KPA Wilayah dengan mekanisme Musyawarah Nasional sebagai pengambil keputusan tertinggi dalam organisasi. Sekretariat Nasional berperan sebagai lembaga eksekutif yang mengerjakan tugas harian organisasi, sementara dewan nasional yang berisikan representasi wilayah-wilayah bertugas untuk mengawasi sekaligus mendukung kinerja sekretariat nasional. Adapun, Dewan Pakar diisi oleh individu-individu yang memiliki kepakaran dalam persoalan agraria di Indonesia, dengan fungsi sebagai pemberi masukan dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan organisasi. Kelembagaan

KPA berasaskan Kedaulatan Rakyat. Nilai-nilai yang dianut dalam KPA: Hak asasi manusia; kelestarian lingkungan; kearifan nilai-nilai adat; demokrasi; keadilan sosial; keadilan dan kesetaraan gender; non-sektarian; non-partisan; perdamaian dan anti kekerasan; anti diskriminasi pada ras, suku, agama dan aliran kepercayaan; dan solidaritas

Aktivitas Pengorganisasian dan Penguatan Organisasi Rakyat

Secara umum, KPA terus melakukan kerja-kerja untuk penguatan organisasi rakyat melalui banyak cara dan media, baik itu pengkaderan, pendidikan dan pelatihan. Berbagai tema terkait reforma agraria digunakan sebagai landasan untuk terus menguatkan ikatan dan solidaritas petani dan organisasi tani. Tak hanya itu, advokasi kasus-kasus agraria, mulai dari perampasan tanah, kekerasan terhadap petani hingga praktik kriminalisasi terus dilaksanakan hingga saat ini. Advokasi kebijakan

Praktik advokasi kebijakan dilakukan KPA saat pemerintah menetapkan kebijakan agraria yang bertentangan dengan semangat reforma agraria sejati di banyak sektor. Kemudian, di tingkat implementasi kebijakan, KPA juga secara aktif melakukan advokasi terhadap berbagai langkah yang diambil pemerintah dalam konteks agraria. Terdapat beberapa contoh kerja advokasi yang telah dilakukan KPA dalam beberapa tahun terakhir, 

Tahun 2014, KPA menginisiasi dan berperan aktif menyelenggarakan Konferensi Nasional Reforma Agraria (KNRA) yang melibatkan 36 organisasi dan menghasilkan "buku putih reforma agraria di Indonesia" sebagai sebuah roadmap dan strategi pelaksanaan reforma







agraria di Indonesia. Tak hanya itu, KNRA juga mendorong kelahiran Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) sebagai bentuk aliansi berbagai organisasi tersebut guna mendesak pemerintah mewujudkan reforma agraria sejati. Sekretariat nasional KPA pun didaulat menjadi sekretariat bersama dari KNPA. Tahun 2014, Koalisi Anti Mafia Hutan dibentuk oleh KPA dan berbagai lembaga lain sebagai respon atas diberlakukannya UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) yang terbukti menjadi landasan untuk melakukan tindak kriminalisasi terhadap petani di banyak daerah. Tahun 2013, KPA menginsiasi dan terlibat dalam Koalisi Rakyat Anti Perampasan Tanah (KARAM Tanah), satu koalisi nasional 35 organisasi masyarakat sipil yang secara khusus mengadvokasi RUU Pengadaan Tanah dan UU No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum. KPA dipercaya sebagai koordinator koalisi dan sekretariat bersama. Tahun 2012, Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-Hak Rakyat (SekBer PHR) dibentuk sebagai koalisi nasional yang terdiri dari 77 organisasi masyarakat sipil guna merespon konflik-konflik agraria yang menguat di tanah air. KPA merupakan salah satu inisiator dan menjadi juru bicara.

Kajian dan Kampanye

Setiap tahun, KPA memiliki laporan tahunan yang merupakan sebuah bentuk evaluasi terhadap pemerintah atas kondisi agraria di Indonesia. Selain memuat terkait konflik agraria di Indonesia, laporan tersebut juga memberikan penilaian terhadap kinerja pemerintah dalam konteks usaha-usaha yang telah dilakukan dalam kerangka reforma agraria. KPA sendiri memiliki rekaman konflik agraria di Indonesia sejak tahun 1970 hingga saat ini serta berbagai data dan dokumen terkait monopoli dan ketimpangan struktur agraria di Indonesia.

Jaringan Kerja Di tingkat nasional, KPA berjejaring dengan berbagai individu dan organisasi yang tergabung sebagai anggota KPA, maupun di luar anggota KPA. Dalam berbagai kesempatan, KPA juga bekerja sama dengan pemerintah dalam beberapa program, seperti Kelompok Kerja Khusus Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian RI hingga Tim Kerja Tenurial di Departemen Kehutanan RI. Di tingkat internasional, KPA tergabung dalam ILC (International Land Coalition) sebagai dewan anggota (council member) dan koordinator ILC Regional Asia. KPA juga bermitra dengan Freres des’ Hommes (FdH), Paris, Perancis. Hingga di bulan agustus 2014, KPA berkesempatan memberi pidato dalam "65th UN DPI/NGO Conference" dengan tema "2015 and Beyond: Our Action Agenda".

KELEMBAGAAN KONFLIK AGRARIA DAN LINGKUNGAN HIDUP DI KALIMANTAN TIMUR

By Muhammad Fadli Pemerintah telah menerbitkan ragam perijinan perkebunan, kehutanan dan pertambangan, yang melingkupi hampir keseluruhan wilayah Kalimantan Timur. Setelahnya, terjadilah konflik baik diantara perijinan maupun antara perijinan dengan masyarakat. Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kaltim mencatat setidaknya terdapat 742 kasus tumpang tindih lahan yang tercatat . Sementara AMAN Kaltim mencatat 12 kasus konflik agraria (2017), JATAM Kaltim telah merilis ada 26 kasus konflik pertambangan yang telah di monitoring dan di advokasi sepanjang Desember 2015 hingga saat ini Upaya untuk menyelesaikan konflik agraria dan lingkungan hidup di Kaltim hingga saat ini masih berlangsung dengan menyelesaikan satu per satu kasus dan berdasarkan pengaduan dari pihak yang berkonflik. Belum ada satu mekanisme yang terbuka dan akuntabel, serta menyelesaikan sengketa hingga tuntas, yang dibangun oleh pemerintah provinsi, maupun ditawarkan masyarakat sipil, dalam upaya mengurangi konflik yang terjadi, utamanya berkaitan dengan konflik perizinan dengan warga. Pemprov Kaltim sendiri telah melakukan kesepakatan dengan BPN Kaltim, Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah IV (BPKH IV) KLHK dan Kepolisian Daerah Kaltim untuk Pencegahan, Penanganan dan Penyelesaian Tumpang Tindih Perizinan Penggunaan Lahan dan atau Hak Atas Tanah di wilayah Provinsi Kaltim, pada 25 Januari 2013, melalui Kesepakatan Bersama Nomor 110/1317/BPPWK.A/I/2013, B/02/I/2013, B6/Memo-64/I/2013, dan PKS.45/BPKH/IV/2013. Kesepakatan bersama yang akan berakhir pada awal tahun 2018 ini belum menghasilkan hal-hal yang lebih konkrit di dalam penyelesaian konflik lahan di Kaltim. Dalam kurun yang tersisa ini, maka sudah selayaknya Pemprov Kaltim, sebagai pihak yang memimpin kesepakatan bersama ini untuk dapat mewujudkan kelembagaan penyelesaian konflik, yang akan lebih baik bila melibatkan para pihak, utamanya akademisi dan organisasi masyarakat adat, di dalam tim yang dibentuk. Penyelesaian konflik agraria tidak bisa terlepas dari keharusan pemerintah melakukan penataan ulang pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan atas tanah (reforma agraria). Reforma Agraria bertujuan pula untuk mencegah konflik agraria tidak terjadi lagi. Mekanisme resolusi penyelesaian konflik dapat diklasifikasikan ke dalam tahapan, yaitu: identifikasi dan pencegahan, penanganan dan penyelesaian, pemulihan dan pemantauan pasca konflik. Dalam upaya penyelesaikan konflik agraria di Kaltim, maka perlu dilakukan langkah oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur berupa: 1. Segera menindaklanjuti Kesepakatan Bersama Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dengan Kepolisian Daerah Kalimantan Timur, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Kalimantan Timur dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah IV Nomor 110/1317/BPPWK.A/I/2013, B/02/I/2013, B6/Memo-64/I/2013, dan PKS.45/BPKH/IV/2013 tanggal 25 Januari 2013, melalui pembentukan Tim Penyelesaian Konflik, yang setidaknya dipimpin oleh Sekretaris Daerah, dengan beranggotakan para pihak, termasuk di dalamnya organisasi masyarakat adat. 2. Melaksanakan proses identifikasi dan inventarisasi konflik dengan disertai disediakannya pos pelaporan konflik pada masing-masing Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait, setidaknya Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral. 3. Melakukan koordinasi dan memberikan arahan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk membentuk Tim Penyelesaian Konflik Agraria dan Lingkungan HIdup di tingkat Kabupaten/Kota, untuk penyelesaian konflik yang sesuai dengan kewenangannya. 4. Menyiapkan pedoman umum dan petunjuk teknis penyelesaian konflik agraria dan lingkungan hidup, yang dibangun bersama-sama dengan para pihak, dengan

memperhatikan peraturan perundang-undangan dan referensi penyelesaian konflik yang telah ada. 5. Melakukan upaya penyelesaian konflik secara terbuka dan melibatkan para ahli dengan menghormati hak masyarakat adat dan hak asasi manusia, disertai dengan pemberitahuan kepada publik hasil kesepakatan penyelesaian konflik. Selain itu, bagi kelompok masyarakat sipil dan organisasi masyarakat adat, direkomendasikan untuk melakukan: 1. Melakukan identifikasi konflik agraria dan lingkungan hidup, yang disertai dengan usulan mekanisme penyelesaian yang ditawarkan dan informasi spasial. 2. Menguatkan pengetahuan, keahlian dan kelembagaan warga dalam upaya penyelesaian konflik. 3. Mendukung masyarakat adat dalam melengkapi kebutuhan pengusulan pengakuan wilayah masyarakat adat kepada negara berdasarlan peraturan perundangundangan yang ada saat ini dan sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. 4. Menempatkan upaya perhutanan sosial sebagai salah satu opsi penyelesaian konflik kehutanan. 5. Membangun pos pengaduan kasus yang terpadu dan terintegrasi antar organisasi masyarakat sipil.

Related Documents

Konflik
June 2020 35
Konflik
November 2019 38
Konflik
November 2019 35
Konflik
May 2020 28
Konflik
June 2020 28
Konflik Sosial.docx
May 2020 23

More Documents from "Ikhsan Rizaldi"

Konflik Agraria.docx
June 2020 15
Scrib.docx
June 2020 12
Scrib.docx
June 2020 14
Bi Tugas 1.docx
June 2020 12