Kmb 2.docx

  • Uploaded by: pon widiastuti
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kmb 2.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,048
  • Pages: 19
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apendisitis adalah peradangan dari apendik periformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering (Dermawan & Rahayuningsih, 2010) Istilah usus buntu yang dikenal di masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus yang buntu sebenarnya adalah sekum. Apendiks diperkirakan ikut serta dalm system imun sektorik di saluran pencernaan. Namun, pengangkatan apendiks tidak menimbulkan efek fungsi system imun yang jelas (syamsyuhidayat, 2005). Insiden apendisitis di Negara maju lebih tinggi daripada di Negara berkembang. Namun, dalm tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini di duga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat pada diit harian (Santacroce,2009).

Kanker kolorektal merupakan kanker ketiga yang paling umum di dunia, dengan hampir 1,4 juta kasus baru didiagnosa pada tahun 2012 (World Cancer Research and International, 2013). Di Asia, insiden kanker kolorektal pada pria dan wanita tertinggi di Jepang dan Taiwan, dengan nilai sebanding dengan Amerika Serikat. Tingkat insiden laki-laki lebih tinggi daripada perempuan di semua negara (Mc Donald, 2008). Di Amerika Serikat pada tahun 2011 dijumpai sekitar 141.210 kasus baru dan 49.380 kematian (American Cancer Society, 2011). Kanker kolorektal adalah istilah yang diberikan kepada kanker yang berkembang pada kolon atau rektum. Kolon dan rektum merupakan bagian dari saluran pencernaan atau saluran gastrointestinal dimana proses pencernaan makanan untuk menghasilkan energi bagi tubuh dilakukan dan bahan-bahan yang tidak berguna lagi (fecal matter/stol) dibuang (Williams, 2013). Kanker kolorektal merupakan tumor ganas terbanyak di antara tumor ganas saluran cerna. Lebih dari 60% kanker kolorektal berasal dari rektum. Salah satu pemicu kanker kolorektal adalah masalah nutrisi dan kurang berolah raga. Kanker kolorektal merupakan salah satu jenis kanker yang tercatat sebagai penyakit yang paling mematikan di dunia. Namun penyakit ini bukannya tidak dapat 1

disembuhkan. Jika penderita telah terdeteksi secara dini, maka kemungkinan untuk sembuh bisa mencapai 50 %.

1.2 Rumusan masalah 1.2.1

Bagaimanakah diagnostic dan terapi untuk pasien dengan penyakit Apendisitis?

1.2.2

Bagaimanakah diagnostic dan terapi untuk pasien dengan penyakit CA Kolorektal?

1.3 Tujuan penulisan 1.3.1

Untuk mengetahui diagnostic dan terapi yang diberikan untuk penderita Apendisitis

1.3.2

Untuk mengetahui diagnostic dan terapi yang diberikan untuk penderita CA Kolorektal

2

BAB II PEMBAHASAN 2.1 APENDISITIS 2.1.1

Definisi Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab

nyeri abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000). Menurut Smeltzer C. Suzanne (2001), apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat. Berdasarkan defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa apendisitis adalah kondisi dimana terjadi infeksi pada umbai apendiks dan merupakan penyakit bedah abdomen yang paling sering terjadi. Menurut Sjamsuhidayat (2004), apendisitis terdiri dari lima bagian antara lain : 1. Apendisitis akut Adalah peradangan apendiks yang timbul meluas dan mengenai peritoneum pariental setempat sehingga menimbulkan rasa sakit di abdomen kanan bawah. 2. Apendisitis infiltrat (Masa periapendikuler) Apendisitis infiltrat atau masa periapendikuler terjadi bila apendisitis ganggrenosa di tutupi pendinginan oleh omentum. 3. Apendisitis perforata Ada fekalit didalam lumen, Umur (orang tua atau anak muda) dan keterlambatan diagnosa merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya perforasi apendiks. 4. Apendisitis rekuren Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh spontan, namun apendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan jaringan parut. Resikonya untuk terjadinya serangan lagi sekitar 50%. 5. Apendisitis kronis Fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan infiltrasi sel inflamasi kronik

3

2.1.2

Etiologi Penyebab penyakit apendisitis secara pasti belum diketahui. Tetapi,

terjadinya apendisitis ini umumnya karena bakteri. Selain itu, terdapat banyak faktor pencetus terjadinya penyakit ini diantaranya sumbatan lumen apendiks, hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris yang dapat menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan

rendah

serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis juga merupakan faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Konstipasi akan menaikkan intrasekal yang berakibat meningkatnya

pertumbuhan

tekanan

timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan kuman

flora

kolon

biasa.

Semuanya

ini

mempermudah timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidayat, 2004).

2.1.3

Diagnostic

1. Laboratorium Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.00018.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%. 2. Radiologi Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography Scanning(CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan

4

spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90100% dan 96-97%. 3. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah. 4. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas. 5. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa adanya kemungkinan kehamilan. 6. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan Barium

enema

dan Colonoscopy merupakan

pemeriksaan

awal

untuk

kemungkinan karsinoma colon. 7. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti Apendisitis, tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan Apendisitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.

2.1.4

Terapi Terapi apendisitis adalah apendektomi yaitu operasi bedah yang dilakukan

untuk memindahkan apendiks yang terinfeksi (Santacroce et al.,2006). Penatalaksanaan apendisitis meliputi tiga tahap: 1. Persiapan sebelum operasi Setelah timbulnnya keluhan, dilakukan observasi apendisitis dalam waktu 8 hingga 12 jam, apabila tanda dan gejala apendisitis yang dialami masih belum jelas (Anonim, 2000). Jika diagnosis masih belum pasti, maka pasien harus diamati dan diperiksa abdomen serta pelvis pada interval waktu tertentu karena tidak ada gunanya memperpanjang waktu observasi dan tidak ada yang boleh diberikan lewat mulut. Jika diperkirakan ada perforasi atau plebilitis maka diberikan antibiotik intravena. Demam tinggi, terutama yang terjadi pada anak-

5

anak, harus diturunkan terlebih dahulu sebelum anak tersebut diberi anestesi. Selang nasogastrik dimasukkan jika abdomen kembung atau pasien mengalami keracunan (Theodore, 1993). 2. Apendektomi (Operasi Apendisitis) Apendektomi merupakan satu-satunya pengobatan apendisitis sederhana atau apendisitis perforasi yang disertai peritonis kalau tersedia fasilitas serta personalitas yang adekuat. Kalau tidak sebagai gantinya diberikan antibiotic intravena dosis tinggi. Abses pada apendiks diobati dengan antibiotic intravena (Theodore, 1993). Apendektomi terbagi kepada dua tipe (Santacroseet al., 2006): 1) Apendektomi terbuka (Open Appendectomy) Satu sayatan akan dibuat (sekitar 5 cm) di bagian bawah kanan perut, melewati kulit, dinding usus, dan peitonium. Setelah ditemukan, apendikscdipisahkan dari organ-organ dengan hati-hati dan dikeluarkan. Sayatan akanclebih besar, sebesar 7 sampai 8 cm (Sabiston, 2001) jika usus buntu telah mengalami perforasi (Santacrose et al., 2006). 2) Apendektomi Laparoskopi Apendektomi laparoskopi telah menjadi prosedur standar yang secara selektif digunakan untuk mengalihkan apendiks. Rongga peritonium akan dipompa dengan gas karbon dioksida untuk menggelembungkan dinding perut supaya kelihatan. Laparoskop dilewatkan melalui sayatan kecil pada dinding perut anterolateral (misalkan, yang berdekatan dengan umbilikus) (John et al.,2011). 3.

Pasca Operasi

Observasi tanda-tanda vital dilakukan untuk mengetahui perdarahan di dalam abdomen, syok, hipertemia atau gangguan pernafasan. Sekiranya setelah 12 jam tidak terjadi gangguan, maka pasien dikatakan baik dan selama waktu itu, pasien 6

dipuasakan. Selama 4 sampai dengan 5 jam, pasien diberikan minum mulai 15ml/jam, lalu baru dinaikkan menjadi 30ml/jam (Anonim, 2000a). Apabila tidak terdapat komplikasi pada apendisitis, maka pemberian diet harus segera disarankan untuk pasien setelah operasi dan pasien dapat keluar dari rumah sakit setelah dietnya dapat ditoleransi (Santacrose et al., 2006). 4. Obat-obat apendisitis Apendisitis yang sering digunakan pada pasien yang menderita apendisitis adalah golongan penisilin, sefalosporin, aminoglikosida dan metronidazol. Juga turut diberikan obat antiemetik. Antibiotika adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman (Tjay et al., 2002). Klasifikasi antibiotika antara lain: 1) Penisilin Penisilin bersifat bakterisid dan bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding sel. Obat ini berdifusi dengan baik di jaringan dan cairan tubuh, tapi penetrasi ke dalam cairan otak kurang kecuali jika selaput otak mengalami infeksi. Obat ini disekresi ke urin dalam kadar terapetik. Probenesid menghambat ekskresi penisilin dalam tubulus ginjal sehingga kadar dalam darah lebih tinggi dan masa kerjanya lebih panjang (Anonim, 2000). 2) Sefalosporin Sefalosporin termasuk antibiotik betalaktam yang bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding sel mikroba. Sefalosporin aktif terhadap kuman gram positif dan gram negatif tapi spektrum antimikroba masing-masing derivate bervariasi. Farmakologi sefaloposrin mirip dengan penisilin, ekskresi terutama melalui ginjal dan dapat dihambat oleh probenesid (Anonim, 2000). Dari sifat farmakokinetik, sefalosporin dibedakan menjadi dua golongan. Sefaleksin, sefradin, sefaklor dan sefadroksil dapat diberikan per oral karena

7

diabsorpsi melalui saluran cerna. Sefalosporin lainnya hanya dapat diberikan parenteral. Sefalotin dan sefapirin umumnya diberikan secara i.v karena menimbulkan iritasi pada pemberian i.m. Kebanyakan sefalosporin diekskresi dalam bentuk utuh ke urin, kecuali sefoperazon yang sebagian besar diekskresi melalui empedu. Oleh karena itu, dosisnya harus disesuaikan pada pasien gangguan fungsi ginjal (Anonim, 2000). 3) Aminoglikosida Aminoglikosida bersifat bakterisidal dan aktif terhadap bakteria gram positif dan gram negatif. Aminoglikosida tidak diserap melalui saluran cerna, sehingga harus diberikan secara parenteral. Ekskresi terutam melalui ginjal. Pada gangguan fungsi ginjal dapat terjadi akumulasi. Sebagian besar efek samping tergantung dari besarnya dosis, oleh karena itu dosis perlu diperhatikan dengan cermat dan pengobatan sebaiknya jangan melebihi 7 hari (Anonim, 2000). Aminoglikosida dapat mengganggu transmisi saraf dan pemberiannya harus dihindari dari pada miastenia gravis. Dosis besar yang diberikan dapat menimbulkan sindrom miastenia, walaupun sebelumnya tidak ada gangguan neurologis. Efek samping yang paling sering adalah ototoksisitas, nefrotoksisitas yang biasanya terjadi pada orang tua atau pasien gangguan fungsi ginjal (Anonim, 2000). 4) Metronidazol Metronidazol merupakan antimikroba dengan aktivitas yang sangat baik terhadap bakteri anaerob dengan protozoa. Spektrum antiprotozoanya mencakup Trikomonas vaginalis, vaginosis bakterialis (terutama Gardrenella vaginalis). Aktivitas antibakteri anaerobnya sangat bermanfaat untuk sepsis pada kasus bedah (Anonim, 2000). Antiemetik atau obat mual adalah obat yang digunakan untuk mengatasi rasa mual dan muntah. Antiemetik secara khusus digunakan untuk mengatasi mabuk perjalanan dan efek sampai dari analgesik golongan opiat, anestesi umum, dan kemoterapi yang digunakan untuk melawan kanker,juga untuk mengatasi vertigo (pusing) atau migren (Mutschler et al., 1991). Tujuan keseluruhan dari terapi anti-emetik adalah

8

untuk mencegah atau menghilangkan mual dan muntah, seharusnya tanpa menimbulkan efek samping. Terapi antiemetik untuk pasien dengan gangguan elektrolit akibat sekunder dari muntah, anoreksia berat, memburuknya status gizi atau kehilangan berat badan. 2.2 CA KOLOREKTAL 2.2.1 Definisi Kanker kolorektal adalah suatu tumor malignan yang muncul dari jaringan epitel dari kolon atau rectum (Harahap, 2004). Kanker kolorektal ditujukan pada tumor ganas yang ditemukan di kolon dan rektum. Kolon dan rektum adalah bagian dari usus besar pada sistem pencernaan yang disebut juga traktus gastrointestinal. Lebih jelasnya kolon berada di bagian proksimal usus besar dan rektum di bagian distal sekitar 5-7 cm di atas anus. Kolon dan rektum berfungsi untuk menghasilkan energi bagi tubuh dan membuang zat-zat yang tidak berguna. Rektum adalah bagian 15 cm terakhir dari usus besar dan terletak di dalam rongga panggul ditengah tulang pinggul. Ini merupakan daerah yang sangat kecil sehingga jarak antara kanker dan organ normal sekitarnya sangat pendek. Oleh karena itu, kemungkinan kanker menyebar ke organ sekitarnya dalam di panggul cukup siknifikan. Bagian lain dari usus besar yang posisinya terletak di atas pinggul, disebut Kolon. Kolon dikelilingi oleh jaringan lemak, yang disebut omentum, dan dilekatkan pada dinding rongga perut oleh jaringan lemak yang lebih banyak lagi, disebut mesenterium. Dalam mesenterium terdapat kelenjar getah bening. Kanker merupakan suatu proses pembelahan sel-sel (proliferasi) yang tidak mengikuti aturan baku proliferasi yang terdapat dalam tubuh (proliferasi abnormal). Proliferasi ini dibagi atas non-neoplastik dan neoplastik. Kanker dapat berkembang dari sel-sel lapisan usus besar. Kanker dapat menyebabkan penyumbatan usus, atau perdarahan dalam tinja. Kanker kolon adalah polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak 9

jaringan normal dan meluas ke dalam struktur sekitar. Kanker dapat terlepas dari struktur primer dan menyebar ke bagian tubuh lain terutama hati. Pertumbuhan tumor dapat menyebabkan obstruksi usus parsial atau lengkap. Pertumbuhan dan ulserasi dapat juga menyerang pembuluh darah sekitar kolon yang menyebabkan hemoragi. Perforasi dapat terjadi dan mengakibatkan pembentukan abses. Peritonitis dan/atau sepsis dapat menimbulkan syok. 2.2.2 Etiologi Walaupun penyebab kanker kolorektal tidak diketahui, studi menunjukkan insiden yang lebih besar dalam bidang pembangunan ekonomi yang lebih tinggi, menunjukkan hubungan antara diet (kelebihan lemak hewan, khususnya sapi, dan rendah serat). Faktor risiko lain untuk kanker kolorektal yaitu: 1.

Penyakit pada saluran pencernaan, riwayat kolitis ulserativa, poliposis familial (kanker hampir selalu berkembang pada usia 50), dan riwayat keluarga kerabat (tingkat pertama) penyakit tumor ganas dari usus besar atau rektum hampir selalu adenokarsinoma. Sekitar setengah dari ini lesi sessile dari daerah rektosigmoid; sisanya, lesi polupoid.

2. Asupan berlebihan lemak hewani jenuh 3. Riwayat penyakit : kanker, usus inflamasi kronis, kolitis ulseratif Kolitis ulseratif merupakan merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker kolon sekitar 1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik kolitis ulseratif. Risiko perkembangan kanker pada pasien ini berbanding terbalik dengan usia terkena colitis dan berbanding lurus dengan keterlibatan dan keaktifan dari colitis ulseratif. 4. Diet. Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan penelitian (Bolin et al., 2008). meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukan

adanya

hubungan

antara

10

serat

dan

kanker

kolorektal

(Casciato,2011). Sejumlah penelitian nutrisi dan epidemiologi telah mengidentifikasi diet tinggi serat sebagai faktor protektif terhadap kanker kolorektal 5. Obesitas. 6. Bekerja sambil duduk seharian . 2.2.3 Diagnostic 1. Fecal occult blood test, pemeriksaan darah samar feses di bawah mikroskop 2. Colok dubur (rectal toucher) ditemukan darah dan lendir, tonus sfingter ani keras/lembek, mukosa kasar, kaku biasanya dapat digeser, ampula rectum kolaps/kembung terisi feses atau tumor yang dapat teraba atau tidak. 3. Barium enema, pemeriksaan serial sinar x pada saluran cerna bagian bawah, sebelumnya pasien diberikan cairan barium ke dalam rektum 4. Endoskopi

(protoskopi,

sigmoidoscopy

atau

colonoscopy),

dengan

menggunakan teropong, melihat gambaran rektum dan sigmoid adanya polip atau daerah abnormal lainnya dalam layar monitor. Protoskopi untuk mendeteksi kelainan 8-10 cm dari anus (polip rekti, hemoroid, karsinoma rektum).Sigmoidoskopi atau kolonoskopi adalah test diagnostik utama digunakan untuk mendeteksi dan melihat tumor dan biopsy jaringan. Sigmoidoskopi fleksibel dapat mendeteksi 50 % sampai 65 % (20-25 cm dari anus) dari kanker kolorektal. Pemeriksaan enndoskopi dari kolonoskopi direkomendasikan untuk mengetahui lokasi dan biopsy lesi pada klien dengan perdarahan rektum. Bila kolonoskopi dilakukan dan visualisasi sekum, barium enema mungkin tidak dibutuhkan. Tumor dapat tampak membesar, merah, ulseratif sentral, seperti penyakit divertikula, ulseratif kolitis 5. Biopsi, tindakan pengambilan sel atau jaringan abnormal dan dilakukan pemeriksaan di bawah mikroskop untuk mengidentifikasi matastase dan menilai reseklabilitas.

11

6. Jumlah sel-sel darah untuk evaluasi anemia. Anemia mikrositik, ditandai dengan sel-sel darah merah yang kecil, tanpa terlihat penyebab adalah indikasi umum untuk test diagnostik selanjutnya untuk menemukan kepastian kanker kolorektal. 7. Test Guaiac pada feces untuk mendeteksi bekuan darah di dalam feces, karena semua kanker kolorektal mengalami perdarahan intermitten. 8. CEA (carcinoembryogenic antigen) adalah ditemukannya glikoprotein di membran sel pada banyak jaringan, termasuk kanker kolorektal. Antigen ini dapat dideteksi oleh radioimmunoassay dari serum atau cairan tubuh lainnya dan sekresi. Test ini tidak spesifik bagi kanker kolorektal dan positif pada lebih dari separuh klien dengan lokalisasi penyakit, ini tidak termasuk dalam skreening atau test diagnostik dalam pengobatan penyakit. CEA digunakan sebagai prediktor pada prognsis postoperative dan untuk deteksi kekambuhan mengikuti pemotongan pembedahan. 9. Digital rectal examination (DRE) Dapat digunakan sebagai pemeriksaan skrining awal .Kurang lebih 75% karsinoma rektum dapat dipalpasi pada pemeriksaan rectal. Pemeriksaan digital akan mengenali tumor yang terletak sekitar 10 cm dari rektum, tumor akan teraba keras dan menggaung. 10. Pemeriksaan kimia darah alkaline phosphatase dan kadar bilirubin dapat meninggi, indikasi telah mengenai hepar. Test laboratorium lainnya meliputi serum protein, kalsium, dan kreatinin. 11. Barium enema sering digunakan untuk deteksi atau konfirmasi ada tidaknya dan lokasi tumor. Bila medium kontras seperti barium dimasukkan kedalam usus bagian bawah, kanker tampak sebagai massa mengisi lumen usus, konstriksi, atau gangguan pengisian. Dinding usus terfiksir oleh tumor, dan pola mukosa normal hilang. Meskipun pemeriksaan ini berguna untuk tumor kolon, sinar-X tidak nyata dalam mendeteksi rektum 12. X-ray dada untuk deteksi metastase tumor ke paru-paru

12

13. CT (computed tomography) scan, magnetic resonance imaging (MRI), atau pemeriksaan ultrasonic dapat digunakan untuk mengkaji apakah sudah mengenai organ lain melalui perluasan langsung atau dari metastase tumor. 14. Whole-body PET Scan Imaging. Sementara ini adalah pemeriksaan diagnostik yang paling akurat untuk mendeteksi kanker kolorektal rekuren (yang timbul kembali). 15. Pemeriksaan DNA Tinja.

2.2.4 Terapi Operasi merupakan terapi utama untuk kuratif, namun bila sudah dijumpai penyebaran tumor maka pengobatan hanya bersifat operasi paliatif untuk mencegah obstruksi, perforasi dan perdarahan. Tujuan ideal penanganan kanker adalah eradikasi keganasan dengan preservasi fungsi anatomi dan fisologi. Kriteria untuk menetukan jenis tindakan adalah letak tumor, jenis kelamin dan kondisi penderita. Tindakan untuk kanker rektum : 1. Tumor yang berjarak < 5 cm dari anal verge dilakukan eksisi abdomino perineal. 2. Tumor yang berjarak 5-10 cm dari anal verge dilakukan low anterior reseksi. 3. Tumor yang berjarak > 5 cm dari anal verge dilakukan reseksi anterior standar. Pada tumor yang kecil dan masih terlokalisir, reseksi sudah mencukupi untuk kuratif. Pertimbangan untuk melakukan reseksi atau tidak pada kanker rektum tidak hanya kuratif tetapi juga paliatif seperti elektrokoagulasi dan eksisi lokal, fulgurasi, endokaviti irradiasi atau braki terapi. Beberapa pilihan pada penderita berisiko tinggi dapat dilakukan laparoskopi, eksternal beam radiation, elektrokoagulasi, ablasi laser, eksisi lokal dan stent endoskopi. Sebelum melakukan tindakan operasi harus terlebih dahulu dinilai keadaan umum dan toleransi operasi serta ekstensi dan penyebaran tumor. Pada eksisi radikal rektum

13

harus diusahakan pengangkatan mesorektum dan kelenjar limfa sekitarnya. Berbagai jenis terapi tersedia untuk pasien kanker kolorektal. Satu-satunya kemungkinan terapi kuratif adalah tindakan bedah. Tujuan utama tindakan bedah adalah memperlancar saluran cerna, baik bersifat kuratif maupun non kuratif. Beberapa adalah terapi standar dan beberapa lagi masih diuji dalam penelitian klinis. Terapi standar untuk kanker rektum yang digunakan antara lain adalah : 1. Pembedahan Pembedahan pada tumor kolon yang berdekatan dan kelenjar getah bening yang berdekatan adalah penanganan pilihan untuk kanker kolorektal. Penanganan pembedahan bervariasi dari pengrusakan tumor oleh laser photokoagulasi selama endoskopi sampai pemotongan abdominoperineal (APR = abdominoperineal resection) dengan kolostomi permanen. Bila memungkinkan spingter ani dipertahankan dan hindari kolostomi (Way, 1994). Laser photokoagulasi digunakan sangat kecil, usus diberi sorotan sinar untuk pemanasan langsung jaringan didalamnya. Panas oleh laser umumnya dapat digunakan untuk merusak tumor kecil. Juga digunakan untuk bedah paliatif atau tumor lanjut untuk mengangkat sumbatan. Laser photokoagulasi dapat dibentuk berupa endoskopik dan digunakan untuk pasien yang tidak mampu / tidak toleransi untuk dilakukan bedah mayor. Tujuan pembedahan dalam situasi ini adalah paliatif. Apabila tumor sudah menyebar dan mencakup struktur vital sekitar, operasi tidak dapat dilakukan. Tipe pembedahan tergantung dari lokasi dan ukuran tumor. Prosedur pembedahan pilihan adalah sebagai berikut. (1)Reseksi segmental dengan anastomosis (pengangkatan tumor dan porsi usus pada sisi pertumbuhan, pembuluh darah dan nodus limfatik) (2)Reseksi abominoperineal dengan kolostomi sigmoid permanen (pengangkatan tumor dan porsi sigmoid dan semua rektum serta sfingter anal) (3)Kolostomi sementara diikuti dengan reseksi segmental dan anastomosis serta reanastomosis lanjut dari kolostomi

14

(4)Kolostomi permanen atau iliostomy (untuk menyembuhkan lesi obstruksi yang tidak dapat direseksi) Penanganan bedah lain untuk yang kecil termasuk pemotongan lokal dan fulguration. Prosedur ini juga dapat dilakukan selama endoskopi, dengan mengeluarkan jarum untuk bedah abdomen. Eksisi lokal dapat digunakan untuk mengangkat pengerasan di rektum berisi tumor kecil, yang differensiasi baik, lesi polipoid yang mobile / bergerak bebas. Fulguration atau elektrokoagulasi digunakan untuk mengurangi ukuran tumor yang besar bagi pasien yang risiko pembedahan jelek. Prosedur ini umumnya dilakukan anestesi umum dan dapat dilakukan bertahap (Way, 1994). Kolostomi adalah membuat ostomi di kolon. Dibuat bila usus tersumbat oleh tumor sebagai penatalaksanaan sementara untuk mendukung penyembuhan dari anastomosis atau sebagai pengeluaran feses permanen bila kolon bagian distal dan rektum diangkat /dibuang. Kolostomi diberi nama berdasarkan: asenden kolostomi, transversum kolostomi, desenden kolostomi dan sigmoid kolostomi. Kolostomi sigmoid sering permanen, sebagian dilakukan untuk kanker rektum. Biasanya dilakukan selama reseksi/pemotongan abdominoperineal. Prosedur ini meliputi pengangkatan kolon sigmoid, rektum, dan anus melalui insisi perineal dan abdominal. Saluran anal ditutup dan stoma dibentuk dari kolon sigmoid proksimal. Stoma berlokasi di bagian bawah kuandran kiri abdomen. Bila kolostomi double barrel, dibentuk dua stoma yang terpisah. Kolon bagian distal tidak diangkat tetapi dibuat saluran bebas/bypass. Stoma proksimal yang fungsional mengalirkan feses ke dinding abdomen. Stoma distal berlokasi dekat dengan stoma proksimal atau di akhir dari bagian tengah insisi. Disebut juga mukus fistula, stoma distal mengeluarkan mukus dari kolon distal. Kolostomi double barrel dapat diindikasikan untuk kasus trauma, tumor atau peradangan, dan dapat sementara atau permanen. Dalam prosedur emergensi digunakan untuk mengatasi sumbatan usus atau perforasi. Pada prosedur Hartmann, prosedur kolostomi sementara. Bagian distal dari kolon ditempatkan di kiri dan dirawat untuk ditutup kembali. Kolostomi

15

sementara dapat dibentuk bila usus istirahat atau dibutuhkan penyembuhan, seperti pemotongan tumor atau peradangan pada usus. Juga dibentuk akibati traumatik injuri pada kolon, seperti luka tembak. Penyambungan kembali atau anastomosis dari bagian kolon tidak dilakukan segera karena kolonisasi bakteri berat dari luka kolon tidak diikuti penyembuhan sempurna dari anastomosis. Berkisar 3 –6 bulan kolostomi ditutup dan dibentuk anastomosis kolon (Harahap, 2004). 2. Radioterapi Terapi radiasi sering digunakan sebagai tambahan dari pengangkatan bedah dari tumor usus. Bagi kanker rektum yang kecil, intrakavitari, eksternal atau implantasi radiasi dapat dengan atau tanpa eksisi bedah dari tumor. Radiasi preoperatif diberikan bagi pasien dengan tumor besar sampai lengkap pengangkatan. Bila terapi radiasi megavoltase digunakan, kemungkinan dalam kombinasi dengan kemoterapi, kanker rektum berkurang ukurannya, sel-sel jaringan limpatik regional dibunuh dan kekambuhan lamban atau tidak kambuh sama sekali (Berkow & Fletcher, 1992; way, 1994). Terapi radiasi megavoltase juga dapat digunakan postoperatif untuk mengurangi risiko kekambuhan dan untuk mengurangi nyeri. Lesi yang terfiksir luas tidak diangkat, dapat ditangani dengan mengurangi pemisah / hambatan dan memperlambat berkembangnya kanker. 3. Kemoterap Agenagen kemoterapi seperti levamisole oral dan intravenous fluorouracil (5FU), juga digunakan postoperatif sebagai terapi adjuvan untuk kanker kolorektal. Bila dikombinasi dengan terapi radiasi, kontrol pemberian kemoterapi lokal dan survive bagi pasien dengan stadium II dan III dengan kanker rektum. Keunggulan bagi kanker kolon adalah bersih, tetapi kemoterapi dapat digunakan untuk menolong

mengurangi

penyebaran

ke

hepar

dan

mencegah

kekambuhan.Leucoverin dapat juga diberikan dengan 5-FU untuk meningkatkan efek anti tumor (Harahap, 2004). 4. Terapi Terkini

16

Metode pengobatan yang sedang dikembangkan pada dekade terakhir ini adalah: Target Terapi: memblokade pertumbuhan pembuluh darah ke daerah tumor, terapi Gen, modifikasi biologi dan kemoterapi : thymidy-late synthase dan 5 fluoro urasil, extra corporal transcutaneus application : ultrasonografi intensitas tinggi, imunoterapi: Interleukin Limfokin-2 dan Alpa Interferon 5. Penatalaksanaan Diet (1) Cukup mengkonsumsi serat, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Serat dapat melancarkan pencemaan dan buang air besar sehingga berfungsi menghilangkan kotoran dan zat yang tidak berguna di usus, karena kotoran yang terlalu lama mengendap di usus akan menjadi racun yang memicu sel kanker. (2) Kacang-kacangan (lima porsi setiap hari) (3) Menghindari makanan yang mengandung lemak jenuh dan kolesterol tinggi terutama yang terdapat pada daging hewan. (4) Menghindari makanan yang diawetkan dan pewarna sintetik, karena hal tersebut dapat memicu sel karsinogen / sel kanker. (5) Menghindari minuman beralkohol dan rokok yang berlebihan. (6) Melaksanakan aktivitas fisik atau olahraga secara teratur.

17

BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000).

Kanker kolorektal merupakan tumor ganas terbanyak di antara tumor ganas saluran cerna. Lebih dari 60% kanker kolorektal berasal dari rektum. Salah satu pemicu kanker kolorektal adalah masalah nutrisi dan kurang berolah raga. Kanker kolorektal merupakan salah satu jenis kanker yang tercatat sebagai penyakit yang paling mematikan di dunia. Namun penyakit ini bukannya tidak dapat disembuhkan. Jika penderita telah terdeteksi secara dini, maka kemungkinan untuk sembuh bisa mencapai 50 %. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa prognosis pada penderita kanker kolorektal yang menjalani operasi emergensi lebih buruk dibandingkan dengan penderita yang menjalani operasi elektif. Penderita kanker kolorektal yang menjalani operasi emergensi memiliki stadium yang lebih tinggi (Galeazi. 2013). Sekitar 15-30% penderita kanker kolorektal menjalani operasi emergensi (Wong, 2008).

3.2 Saran Demikianlah malakalah ini kami buat untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan kita tentang diagnostic dan terapi dengan penyakit Ca colorectal dan apendisitis. Kami selaku penulis sadar bahhwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca agar makalah selanjutnya dapat lebih baik lagi terima kasih.

18

19

Related Documents

Kmb
November 2019 48
Kmb 2bulan.docx
April 2020 31
Kmb Ggk.docx
October 2019 44
Kmb Smp.docx
May 2020 31
Kmb Ensefalitis.docx
November 2019 35
Kmb Fix.docx
December 2019 42

More Documents from "RisnaAyhu"

Kmb 2.docx
November 2019 13
Absensi Bides.xlsx
November 2019 12
Buku Saku Ks.pdf
December 2019 33
Mars.docx
June 2020 4