HERPES SIMPLEX VIRUS, INFEKSI JAMUR PADA KULIT DAN KUKU, DAN COMBUSTIO (LUKA BAKAR) Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Klinik Medikal Bedah I”
Dosen Pengampu : Agus Wiwit S,S.Kep, Ns., M.Kep
Disusun Oleh :
Galih Ekky Sapta Pertiwi
(201701021)
Riko Priyandana
(201701029)
Siti Latifah
(201701031)
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN AKADEMI KEPERAWATAN PEMERINTAH KABUPATEN PONOROGO TAHUN 2018/2019
KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmad dan karunianya kepada kelompok kami sehingga dapat menyelesaikan masalah ini yang berjudul“Herpes Simplex Virus, Infeksi Jamur Pada Kulit Dan Kuku, Dan Combustio (Luka Bakar)” .Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Klinik Medikal Bedah I”. Kami menyadari bahwa didalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, kami telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karena itu dengan rendah hati kami berharap kepada pembaca untuk memberikan masukan, saran dan kritik yang sifatnya membangun guna penyempurnaan makalah ini.
Ponorogo, 03 Juli 2018
Kelompok 12
i
DAFTAR ISI Halaman Cover
.............................................................................................
i
Kata Pengantar
............................................................................................. ii
Daftar Isi
............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1 Latar Belakang .......................................................................................... 1 Rumusan Masalah ..................................................................................... 1 Tujuan
............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 2 Anatomi dan Fisiologi Kulit ..................................................................... 2 Herpes Simpleks Virus.............................................................................. 3 Penyakit Jamur Kulit................................................................................. 8 Luka bakar
............................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 18
ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penyakit herpes tidak termasuk dalam penyakit yang harus dilaporkan secara rutin, sehingga data prevalensi virus herpes di dunia sangat terbatas. Penyakit herpes disebabkan oleh virus herpes yang disebut dengan human herpes virus (HHV). World Health Organization (WHO) melaporkan prevalensi herpes di negara-negara berkembang lebih tinggi dibandingkan dengan di negara maju (Looker et al., 2008). Dari 8 macam HHV, HHV tipe 1 atau herpes simplex virus(HSV) tipe 1 dan HHV tipe 2 atau HSV tipe 2 yang paling sering diteliti. Kedua virus ini menimbulkan manifestasi klinis serta dampak epidemiologi yang berbeda. Kasus herpes yang paling mendapat perhatian adalah kasus herpes simpleks genital (HSV-2) yang mengancam kehidupan janin dan neonatus. Virus ini dapat ditularkan ibu kepada janin, baik melalui plasenta maupun pada saat proses persalinan. HSV-1 disebut juga herpes simpleks labialis, tertular melalui udara dan sebagian kecil melalui kontak langsung. Infeksi ditemukan pada bibir, rongga mulut, tenggorokan, jari tangan dan dapat juga ditemukan di daerah genital yang penularannya melalui oro-genital (Hartadi dan Sumaryo, 1998). Luka bakar suhu pada tubuh terjadi baik karena kondisi panas langsung atau radiasi elektromagnetik. Sel-sel dapat menahan temperatur sampai 440C tanpa kerusakan bermakna, kecepatan kerusakan jaringan berlipat ganda untuk tiap drajat kenaikan temperatur. Saraf dan pembuluh darah merupakan struktur yang kurang tahan dengan konduksi panas. Kerusakan pembuluh darah ini mengakibatkan cairan intravaskuler keluar dari lumen pembuluh darah, dalam hal ini bukan hanya cairan tetapi protein plasma dan elektrolit. Pada luka bakar ekstensif dengan perubahan.
1
2
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah anatomi dan fisiologi kulit? 2. Bagaimanakah penjelasan tentang herpes simplex virus? 3. Bagaimanakah penjelasan tentang infeksi jamur pada kulit dan kuku? 4. Bagaimanakah penjelasan tentang combustion (luka bakar)?
C. Tujuan 1. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi kulit 2. Untuk mengetahui penjelasan tentang herpes simplex virus 3. Untuk mengetahui penjelasan tentang infeksi jamur pada kulit dan kuku 4. Untuk mengetahui penjelasan tentang combustion (luka bakar)
BAB II PEMBAHASAN
A. Anatomi dan Fisiologi Kulit Kulit merupakan barier protektif yang memiliki fungsi vital seperti perlindungan terhadap kondisi luar lingkungan baik dari pengaruh fisik maupun pengaruh kimia, serta mencegah kelebihan kehilangan air dari tubuh dan berperan sebagai termoregulasi. Kulit bersifat lentur dan elastis yang menutupi seluruh permukaan tubuh dan merupakan 15% dari total berat badan orang dewasa (Paul et al., 2011). Fungsi proteksi kulit adalah melindungi tubuh dari kehilangan cairan elektrolit, trauma mekanik dan radiasi ultraviolet, sebagai barier dari invasi mikroorganisme patogen, merespon rangsangan sentuhan, rasa sakit dan panas karena terdapat banyak ujung saraf, tempat penyimpanan nutrisi dan air yang dapat digunakan apabila terjadi penurunan volume darah dan tempat terjadinya metabolisme vitamin D (Richardson, 2003; Perdanakusuma, 2007). Kulit terdiri dari dua lapisan yang berbeda, lapisan luar adalah epidermis yang merupakan lapisan epitel dan lapisan dalam yaitu dermis yang merupakan penyembuhan lapisan jaringan ikat. a. Epidermis Epidermis merupakan lapisan terluar kulit yang terdiri dari epitel berlapis bertanduk, mengandung sel malonosit, Langerhans dan merkel. Tebal epidermis berbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal terdapat pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5% dari seluruh ketebalan kulit.Epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam) yaitu stratum korneum, stratum lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum dan stratum basale (stratum Germinatum) (Perdanakusuma, 2007).
3
4
b. Dermis Dermis tersusun oleh sel-sel dalam berbagai bentuk dan keadaan, dermis terutama terdiri dari serabut kolagen dan elastin. Serabut-serabut kolagen menebal dan sintesa kolagen akan berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Sedangkan serabut elastin terus meningkat dan menebal, kandungan elastin kulit manusia meningkat kira-kira 5 kali dari fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut kolagen akan saling bersilang dalam jumlah yang besar dan serabut elastin akan berkurang mengakibatkan kulit terjadi
kehilangan
kelenturanannya
dan
tampak
berkeriput
(Perdanakusuma, 2007). Di dalam dermis terdapat folikel rambut, papilla rambut, kelenjar keringat, saluran keringat, kelenjar sebasea, otot penegak rambut, ujung pembuluh darah dan ujung saraf dan sebagian serabut lemak yang terdapat pada lapisan lemak bawah kulit (Tranggono dan Latifah, 2007). c. Lapisan Subkutan Lapisan subkutan merupakan lapisan dibawah dermis yang terdiri dari lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut daerah tubuh dan keadaan nutrisi individu. Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi (Perdanakusuma, 2007). B. HERPES SIMPLEX VIRUS
5
1. Definisi Infeksi HSV disebabkan oleh HSV-1 dan HSV-2. Sekitar 80% infeksi HSV asimptomatik, dan 20% sisanya simptomatik dengan tingkat morbiditas dan rekurensi yang bermakna. Penyakit ini ditularkan melalui kontak personal erat. Pada umumnya, infeksi HSV1 akan menimbulkan penyakit orofasial, sedangkan infeksi HSV-2 penyakit genital. Pada orang dengan imunokompromais, infeksi HSV dapat menimbulkan komplikasi berbahaya. Penatalaksanaan utama adalah pemberian antiviral. Pencegahan sulit karena umumnya ditularkan oleh pasien asimptomatik melalui sekresi virus dalam saliva atau cairan vagina.(Bonita & Murtiastutik, 2017)
2. Patofisiologi HSV merupakan virus DNA untai ganda dari famili Herpesviridae dan subfamili Alphaherpesvirinae dengan kemampuan biologis
berupa
neurovirulensi,
latensi,
dan
reaktivasi.1,2
Neurovirulensi adalah kemampuan menginvasi dan bereplikasi dalam sistem
saraf.
Latensi
adalah
kemampuan
membentuk
dan
mempertahankan infeksi laten pada sel saraf ganglia proksimal sampai ke lokasi infeksi. Infeksi orofasial paling sering melibatkan ganglia trigeminal, sedangkan infeksi genital akan melibatkan akar saraf ganglia sacral (S2-S5). Reaktivasi adalah kemampuan HSV laten untuk aktif kembali dan bereplikasi di daerah yang dipersarafi oleh ganglia tempat pembentukan infeksi latennya. Berbagai stimulus, seperti demam, trauma, stres emosional, sinar matahari, dan menstruasi dapat memicu reaktivasi. Pada HSV-1, reaktivasi lebih sering pada area orolabial, sedangkan pada HSV-2 lebih sering pada area genital. Reaktivasi
akan
lebih
sering
dan
lebih
berat
pada
pasien
imunokompromais dibandingkan pasien imunokompeten.(Bonita & Murtiastutik,
2017)
6
3. Klinis Manifestasi klinis infeksi HSV tergantung usia, status imun pasien, lokasi anatomik yang terlibat, serta jenis antigen virus. Dari perjalanan klinisnya, infeksi HSV dapat dibagi menjadi infeksi primer dan rekuren. Infeksi primer umumnya disertai dengan tanda sistemik, gejala lebih berat, dan tingkat komplikasi lebih tinggi. Episode rekuren biasanya lebih ringan dan lebih singkat.(Eppy, 2017) a. Gingivostomatitis Herpetik Akut Merupakan manifestasi utama infeksi HSV-1 pada anak usia 6 bulan-5 tahun. Pada orang dewasa bisa terjadi, umumnya ringan. Onset nya mendadak, disertai suhu tinggi (39-40°C), anoreksia, dan rasa lesu. Gusi membengkak dan kemerahan. Lesi vesikuler timbul di mukosa mulut, lidah dan bibir, kemudian akan pecah dan menyatu, meninggalkan plak ulserasi. Terjadi juga limfadenopati regional yang nyeri tekan. Kulit sekitar mulut juga bisa ikut terkena akibat kontaminasi dari saliva yang terinfeksi.1,4
b. Faringotonsilitis Herpetik Akut Pada orang dewasa. Gambaran klinisnya berupa demam, malaise, nyeri kepala, dan nyeri tenggorokan. Vesikel yang pecah akan membentuk lesi ulseratif dengan eksudat keabu-abuan di tonsil dan faring posterior. Lesi oral dan labial terjadi pada kurang dari 10% pasien. Infeksi HSV-2 gejalanya mirip, timbul akibat kontak orogenital, atau terjadi bersamaan dengan herpes genitalis.1 c. Herpes Labialis Merupakan manifestasi tersering infeksi HSV-1 rekuren. Nyeri prodromal, rasa terbakar, dan kesemutan sering terjadi, diikuti timbulnya papul eritematosa yang berkembang cepat
7
menjadi vesikel intraepidermal kecil berdinding tipis, yang akhirnya
menjadi
8
pustular dan berulserasi. Umumnya, rekurensi terjadi kurang dari 2 kali setahun, tetapi bisa terjadi setiap bulan.1 d. Herpes Genitalis Tingkat keparahan, frekuensi penyakit, dan rekurensi tergantung berbagai faktor, yakni jenis virus, imunitas sebelumnya terhadap virus autolog atau heterolog, jenis kelamin, serta status imun pejamu. (Eppy, 2017)
1) Herpes Genitalis Primer Dapat disebabkan oleh HSV-1 ataupun HSV-2, dan bisa bersifat asimptomatik. Gambaran klinis herpes genitalis primer yang disebabkan oleh HSV-1 dan HSV-2 dapat dibedakan, serta rekurensi lebih sering pada HSV-2. Herpes genitalis primer ditandai oleh gejala sistemik dan lokal yang parah serta berkepanjangan. Gejala episode pertama infeksi HSV-2 sekunder biasanya ringan dan durasinya lebih singkat. Gejala dan komplikasi herpes genitalis primer lebih parah pada wanita (Tabel 1). Gejala konstitusi berupa demam, sakit kepala, malaise, dan nyeri otot dominan pada 3-4 hari pertama. Gejala lokal berupa rasa nyeri, gatal, disuria, keputihan, uretritis, dan limfadenopati dengan nyeri tekan.1,2Pada pria dan wanita, lesi ulseratif menetap selama 4-15 hari hingga terjadi pelepasan krusta dan re-epitelisasi. Pada 75% pasien terbentuk kembali lesi baru selama berlangsungnya penyakit, biasanya dalam 4-10 hari.1,2 2) Herpes Genitalis Rekuren Morbiditas utama herpes genitalis disebabkan oleh tingginya tingkat reaktivasi. Reaktivasi subklinis ataupun
9
simptomatik lebih sering terjadi pada HSV-2 dibandingkan HSV-1. Sebanyak 60% pasien infeksi HSV-2 genital primer rekuren pada tahun pertama. Pasien herpes genitalis primer berat cenderung lebih sering rekuren dalam durasi lebih lama. Herpes genitalis rekuren biasanya didahului oleh gejala prodromal, berupa rasa nyeri dalam serta rasa terbakar pada lokasi lesi yang berlangsung selama 2 jam sampai 2 hari. Gejala pada wanita umumnya lebih berat (Tabel 2). Pada beberapa orang, terjadi neuralgia sakral ipsilateral yang berat. (Bonita & Murtiastutik, 2017) 3) Herpes Genitalis Subklinis1,2 Infeksi genital HSV paling sering asimptomatik. Sebanyak 70-80% individu yang seropositif tidak mempunyai riwayat herpes genitalis simptomatik sebelumnya. Shedding virus asimptomatik terjadi pada 1-2% individu imunokompeten yang terinfeksi dan 6%-nya terjadi dalam beberapa bulan pertama sesudah infeksi.1,3 Hal terpenting adalah mencegah penularan seksual atau perinatal.(Eppy, 2017) 4. Tanda Gejala Gejala umum Herpes simplek adalah bentol berisi cairan yang terasa perih dan panas. Bentolan ini akan berlangsung beberapa hari. Bintil kecil ini bisa meluas tidak hanya di wajah tapi bisa di seluruh tubuh. Bisa juga terlihat seperti jerawat, dan pada wanita timbul keputihan. Rasa sakit dan panas di seluruh tubuh yang membuat tidak nyaman ini bisa berlangsung sampai beberapa hari disertai sakit saat menelan makanan, karena kelenjar getah bening sudah terganggu. Gejala ini datang dan pergi untuk beberapa waktu. Bisa saja setelah sembuh, gejala ini “tidur” untuk sementara waktu sampai satu tahun lamanya. Namun akan tiba-tiba kambuh dalam beberapa minggu. Sering terasa gatal yang tidak jelas di sebelah mana, kulit seperti
10
terbakar di bagian tubuh tertentu disertai nyeri di daerah selangkangan atau
sampai
11
menjalar ke kaki bagian bawah.Gejala herpes dapat melukai daerah penis, buah pelir, anus, paha, pantat- vagina, dan saluran kandung kemih.(Eppy, 2017)
5. Pemeriksaan Laboratorium Konfirmasi diagnosis infeksi HSV yang terbaik adalah dengan isolasi virus dalam kultur jaringan (kriteria standar untuk diagnosis). Efek sitopatiknya yang khas, berupa adanya sel balon dan kematian sel, serta kematian seluruh sel monolayer yang berlangsung cepat. HSV-1 dan HSV-2 juga bisa dibedakan dengan melakukan pewarnaan direct fluorescence antibody (DFA) terhadap sel kultur jaringan. Perubahan sitologi khas akibat HSV juga didapatkan pada apusan Tzank. Namun, prosedur ini tidak dapat membedakan antara HSV-1 dan HSV-2. Adanya sel raksasa berinti banyak dan sel epitel mengandung badan inklusi intranuklear eosinofilik merupakan tanda lesi HSV.(Eppy, 2017) Bila lesi terinfeksi oleh bakteri atau jamur maka punch biopsy lebih dapat diandalkan untuk memperoleh bahan pemeriksaan histopatologis.1,15Deteksi DNA HSV dalam spesimen klinis dapat dengan teknik PCR. Pada ensefalitis HSV, pemeriksaan PCR dari cairan serebrospinal sama sensitifnya dengan teknik diagnosis invasif, seperti biopsi otak.1 PCR telah digunakan untuk mendeteksi HSV-2 sebagai penyebab meningitis berulang (Mollaret) dan menunjukkan adanya hubungan kuat antara HSV-1 dan Bell’s palsy. PCR juga dapat digunakan
untuk
mendeteksi
adanya
sheddingvirus
asimptomatik.(Eppy, 2017)
6. Masalah Keperawatan Yang Muncul a) Nyeri berhubungan dengan kerusakan integritas kulit dan inflamasi jaringan
12
7. Intervensi Kriteria hasil :
Klien mengungkapkan nyeri berkurang
Menunjukan mekanisme koping spesifik untuk nyeri dan metode untuk ngontrol nyeri secara benar
Rencana Keperawatan : 1. Pantau bintik-bintik kemerahan pada pasien 2. Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman 3. Kolaborasi pemberian analgestik (asam mefenamat) 4. Kolaborasi pemberian asiklovir
C. INFEKSI JAMUR PADA KULIT DAN KUKU
1. Definisi Jamur termasuk tumbuh-tumbuhan filum talofita yang tidak mempunyai akar, batang, dan daun. Jamur tidak dapat mengisap makanan dari tanah dan tidak mempunyai klorofil sehingga tidak bisa mencerna makanan sendiri oleh karenanya hidup sebagai parasit atau saprofit pada organisme yang lain(Siregar, 2004). Sampai saat ini dikenal kurang lebih 200.000 spesies jamur, tetapi hanya 50 spesies yang patogen pada manusia, yaitu a. 20
spesies
menyerang
: kulit
13
b. 12 spesies menyerang subkutis c. 18 spesies menyerang alat dalam atau sistemik. Elemen yang terkecil dari jamur disebut hifa, yaitu berupa benang-benang filamen yang terdiri dari sel-sel yang mempunyai dinding, protoplasma, inti dan biasanya mempunyai sekat. Hifa yang tidak mempunyai sekat disebut hifa sunositik. Benang-benang hifa ini bercabang-cabang dan bila dan bila membentuk anyaman disebut miselium(Siregar, 2004). Hifa berkembang baik atau tumbuh menurut arag panjangnya dengan membentuk spora. Spora adalah suatu alat reproduksi yang bisa dibentuk dalam hifa sendiri atau alat-alat khusus dari jamur sebagai alat reprodiuksi. Besarnya antara 1-3µ, dengan bentuknya bisa bulat, segi empat, kerucut, atau lonjong. Spora-spora ini dalam pertumbuhannya makin lama makin besar dan memanjang sehingga membentuk satu hifa(Siregar, 2004). Hifa umumnya mempunyai sekat, tetapi ada kalanya dari sati spora, dapat terbentuk suatu hifa semu. Hifa semu dibentuk dari sel ragi. Pada salah satu sisinya membentuk tonjolan yang lebih besar sehingga tampak menyerupai hifa dan tidak mempunyai sekat. Anyaman dari hifa semu ini disebut miselium semu(Siregar, 2004). Dermatofitosis adalah penyakit yang disebabkan oleh kolonisasi jamur dermatofit yang menyerang jaringan yang mengandung keratin seperti stratum korneum kulit, rambut dan kuku pada manusia dan hewan(Siregar, 2004). Dermatofit adalah sekelompok jamur yang memiliki kemampuan membentuk molekul yang berikatan dengan keratin dan menggunakannya sebagai sumber nutrisi untuk membentuk
kolonisasi
(Siregar,
2004).
14
2. Etiologi Menurut (Siregar, 2004) Terdapat tiga genus penyebab dermatofitosis,
yaitu
Epidermophyton,
yang
Trichophyton,
Microsporum,dan
dikelompokkan
dalam
kelas
Deuteromycetes. Dari ketiga genus tersebut telah ditemukan 41 spesies, terdiri dari 17 spesies Microsporum, 22 spesies Trichophyton, 2 spesies Epidermophyton. Dari 41 spesies yang telah dikenal, 17 spesies diisolasi dari infeksi jamur pada manusia, 5spesiesMicrosporummenginfeksi kulit dan rambut, 11spesies Trichophyton menginfeksi kulit,rambut dan kuku, 1 spesies Epidermophyton menginfeksinya pada kulit dan jarang pada kuku. Spesies dermatofitosis
terbanyak di
yang
Indonesia
menjadi
adalah:
penyebab Trichophyton
rubrum(T.rubrum),berdasarkan penelitian di RS Dr.CiptoMangun Kusumo Jakarta tahun1980. 3. Patofisiologi Infeksi jamur dapat dialami orang yang terpajan pada keadaan apapun dalam hidupnya. Faktor predisposisi infeksi ini dapat terjadi tanpa alasan yang jelas. Tetapi seringkali orang terpajan akibat lingkungan atau perilakunya. Sebagai contoh, seorang atlit dapat terinfeksi jamur yang tumbuh diloker dari keringat dan mandi yang sering. Selain itu juga terjadi pada orang yang mengalami penurunan fungsi imun, misalnya pasien diabetes, wanita hamil, dan bayi. Mereka yang menderita imunodefisiensi berat, termasuk pengidap AIDS, beresiko mengalami infeksi jamur yang kronik dan berat . pada kenyataannya, infeksi ragzi pada vagina atau mulut
seringkali
ditemukan
merupakan
infeksi
pada
oportunistik
yang
pengidap
15
HIV. Pasien dengan infeksi jamur kronik harus dievaluasi untuk mencari diabet melitus dan AIDS(Gholib, 2009). Pengobatan dengan antibiotik untuk infeksi bakteri dapat membunuh bakteri vagina normal yang biasanya berada dalam keseimbangan dengan ragi vagina. Hal ini dapat menimbulkan infeksi ragi pada vagina wanita atau perempuan muda.
4. Manifestasi Klinis Gejala klinis infeksi jamur pada susunan saraf pusat tidak spesifik seperti akibat infeksi bakteri.Pasien paling sering mengalami gejala sindroma meningitis atau sebagai meningitis yang tidak ada perbaikan atau semakin progresif selama observasi (paling kurang empat minggu).Manifestasi klinis lainnya berupa kombinasi beberapa gejala seperti demam, nyeri kepala, letargi,confise,mual,muntah, kaku kuduk atau defisit neurologik.Sering kali hanya satu atau dua gejala utama yang dapat ditemukan pada gejala awal(Hermawan & Widyanto, 2000). Waktu terjadinya penyakit
sangat vital dan penting dalam
mempertimbangkan diagnosis meningitis jamur.Beberapa kasus sebagai
meningitis
akut,
kebanyakan
subakut
dan
beberapa
kronis.Gambaran klinis selain meningitis yang sering ditemukan yaitu gambaran ensefalitis. 5. Cara menegakkan diagnosis Menurut (Siregar, 2004),Selain dari gejala-gejala khas setiap jamur, diagnosis suatu penyakit jamur harus dibantu dengann pemeriksaan laboratorium, yaitu : a. Pemeriksaan preparat langsung b. Pembiakan c. Reaksi imunologis d. Biopsi atau pemeriksaan gambaran histopatologi
16
e. Pemeriksaan dengan sinar Wood
17
1) Pemeriksaan langsung Untuk melihat apakah ada infeksi jamur perlu dibuat preparat langsung dari kerokan kulit, rambut, atau kuku. Sediaan dituangi larutan KOH 10-40% dengan maksud melarutkan keratin kulit aatau kuku sehingga akan tinggal kelompok hifa. Sesudah 15 menit atau sesudah dipanasi diatas api kecil, jangan sampai menguap, dilihat dibawah mikroskop, dimulai dengan pembesaran 10 kali. Adanya elemen jamur tampak berupa benang-benang bersifat kontur ganda. Selain itu, tampak juga bintik spora berupa bola kecil sebesar 1-3µ 2) Reaksi imunologis (alergi) Dengan
menyuntikan
secara
intrakutan
semacam
antigen yang dibuat dari koloni jamur, reaksi (+) berati infeksi oleh jamur (+) 3) Biopsi atau pemeriksaan histopatologi Khusus dilakukan untuk pemeriksaan penyakit jamur golongan mikosis dalam. Dengan penawaran khusus dari suatu jaringan biopsi, dapat dicari elemen jamur dalam jaringan tersebut. Penawaran khusus seperti penawaran Gram, HE, dan PAS dapat mewarnai elemen jamur dalam jaringan sehingga tampak lebih jelas. Selain itu, pemeriksaan histopatologi sangat penting untuk melihat reaksi jaringan akibat infeksi jamur.
4) Pemeriksaan dengan sinar Wood Sinar Wood adalah sinar ultraviolet yang setelah melewati suatu “saringan wood”, sinar yang tadinya polokromatis menjadi monokromatis dengan panjang gelombang 3600 A. Sinar ini tidak dapat dilihat.
18
Bila sinar ini diarahkan ke kulit atau rambut yang mengalami infeksi oleh jamur-jamur tertentu, sinar ini akan berubah menjadi dapat dilihat dengan memberi warna yang kehijauan atau fluoresensi. 6. Masalah keperawatan yang mungkin muncul a. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit. 7. Intervensi keperawatan a. Lindungi kulit yang sehat dari kemungkinan maserasi (hidrasi
stratum
korneum
yang
berlebihan)
ketika
memasang balutan basah b. Hilangkan kelembaban dari kulit dengan penutupan dan menghindari friksi c. Jaga agar terhindar dari cidera termal akibat penggunaan kompres hangat dengan suhu yang terlalu tinggi dan cedera pans yang tidak terasa (bantalan pemanas, radiator). d. Nasehati px untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya. D. LUKABAKAR
19
1. Definisi Luka bakar adalah rusak atau hilangnya jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti kobaran api di tubuh (flame), jilatan api ketubuh (flash), terkena air panas (scald), tersentuh benda panas (kontak panas), akibat sengatan listrik, akibat bahanbahan kimia, serta sengatan matahari (sunburn).(Purwanto, 2016) Luka bakar didefinisikan sebagai cedera pada kulit atau jaringan yang disebabkan oleh trauma akut termal atau lainnya. Luka bakar terjadi ketika sebagian atau semua sel di kulit atau jaringan rusak akibat kontak dengan cairan panas, padatan panas atau api. Luka bakar juga dapat disebabkan oleh radiasi, radioaktif, listrik gesekan atau kontak dengan bahan kimia.(Purwanto, 2016) Manifestasi klinis dari luka bakar yaitu takikardia, tekanan darah menurun, ekstrimitas dingin, perfusi buruk, perubahan tingkat kesadaran, dehidrasi dan peningkatan frekuensi nafas. Keparahan luka bakar dapat dikaji dengan menentukan kedalaman cedera luka bakar, persentase area permukaan tubuh yang terpapar dan keterlibatan bagian khusus (Betz and Sowden, 2009).Luka bakar terjadi karena kulit mengalami cedera. Cedera ini disebabkan oleh adanya paparan terhadap kulit. Paparan tersebut dapat bersumber dari panas, suhu dingin yang ekstrim, senyawa kimia dan sengatan listrik.(Purwanto, 2016) 2. Patofisiologi Luka bakar (combustio) pada tubuh dapat terjadi karena konduksi panas langsung atau radiasi elektromagnetik. Setelah terjadi luka
bakar
yang
parah,
dapat
mengakibatkan
gangguan
hemodinamika, jantung, paru, ginjal serta metabolik akan berkembang lebih cepat. Dalam beberapa detik saja setelah terjadi jejas yang bersangkutan, isi curah jantung akan menurun, mungkin sebagai akibat dari refleks yang berlebihan serta pengembalian vena yang
20
menurun.
Kontaktibilitas
gangguan.(Purwanto,
miokardium
tidak
mengalami 2016)
21
Segera setelah terjadi jejas, permeabilitas seluruh pembuluh darah meningkat, sebagai akibatnya air, elektrolit, serta protein akan hilang dari ruang pembuluh darah masuk ke dalam jarigan interstisial, baik dalam tempat yang luka maupun yang tidak mengalami luka. Kehilangan ini terjadi secara berlebihan dalam 12 jam pertama setelah terjadinya luka dan dapat mencapai sepertiga dari volume darah. Selama 4 hari yang pertama sebanyak 2 pool albumin dalam plasma dapat hilang, dengan demikian kekurangan albumin serta beberapa macam protein plasma lainnya merupakan masalah yang sering didapatkan.(Suzan & Andayani, 2017) Dalam jangka waktu beberapa menit setelah luka bakar besar, pengaliran plasma dan laju filtrasi glomerulus mengalami penurunan, sehingga timbul oliguria. Sekresi hormon antideuretika dan aldosteron meningkat. Lebih lanjut lagi mengakibatkan penurunan pembentukan kemih, penyerapan natrium oleh tubulus dirangsang, ekskresi kalium diperbesar
dan
kemih
dikonsentrasikan
secara
maksimal.(Rahayuningsih, 2012) Albumin dalam plasma dapat hilang, dengan demikian kekurangan albumin serta beberapa macam protein plasma lainnya merupakan masalah yang sering didapatkan.Dalam jangka waktu beberapa menit setelah luka bakar besar, pengaliran plasma dan laju filtrasi glomerulus mengalami penurunan, sehingga timbul oliguria. Sekresi hormon antideuretika dan aldosteron meningkat. Lebih lanjut lagi mengakibatkan penurunan pembentukan kemih, penyerapan natrium oleh tubulus dirangsang, ekskresi kalium diperbesar dan kemih dikonsentrasikan secara maksimal.(Awan, Astuti, Bukhari, Mahendradatta,
&
Tawali,
2014)
22
3. Klasifikasi Combustio a) Berdasarkan penyebab: 1) Luka bakar karena api 2) Luka bakar karena air panas 3) Luka bakar karena bahan kimia 4) Luka bakar karena listrik 5) Luka bakar karena radiasi 6) Luka bakar karena suhu rendah (frost bite)
b) Berdasarkan kedalaman luka bakar : 1) Grade I Kerusakan pada epidermis (kulit bagian luar), kulit kering kemerahan, nyeri sekali, sembuh dalam 3 - 7 hari dan tidak ada jaringan parut. 2) Grade II Kerusakan pada epidermis (kulit bagian luar) dan dermis (kulit bagian dalam), terdapat vesikel (benjolan berupa cairan atau nanah) dan oedem sub kutan (adanya penimbunan dibawah
23
kulit), luka merah dan basah, mengkilap, sangat nyeri, sembuh dalam 21 - 28 hari tergantung komplikasi infeksi. 3) Grade III Kerusakan pada semua lapisan kulit, nyeri tidak ada, luka merah keputih-putihan (seperti merah yang terdapat serat putih dan
24
merupakan jaringan mati) atau hitam keabu-abuan (seperti luka yang kering dan gosong juga termasuk jaringan mati), tampak kering, lapisan
yang
rusak
tidak
sembuh
sendiri
(perlu
skin
graf).(Purwaningsih & Rosa, 2012)
4. PemeriksaanPenunjang Menurut Doenges, 2000, diperlukan pemeriksaan penunjang pada luka bakar yaitu : 1) Laboratorium
Hitung
darah
lengkap:
Hb
(Hemoglobin)
turun
menunjukkan adanya pengeluaran darah yang banyak sedangkan peningkatan lebih dari 15% mengindikasikan adanya cedera, pada Ht (Hematokrit) yang meningkat menunjukkan adanya kehilangan cairan sedangkan Ht turun dapat terjadi sehubungan dengan kerusakan yang diakibatkan oleh panas terhadap pembuluh darah.
Leukosit : Leukositosis dapat terjadi sehubungan dengan adanya infeksi atau inflamasi.
GDA (Gas Darah Arteri) : Untuk mengetahui adanya kecurigaaan cedera inhalasi. Penurunan tekanan oksigen (PaO2) atau peningkatan tekanan karbon dioksida (PaCO2) mungkin terlihat pada retensi karbon monoksida.
Elektrolit Serum : Kalium dapat meningkat pada awal sehubungan dengan cedera jaringan dan penurunan fungsi ginjal, natrium pada awal mungkin menurun karena kehilangan cairan, hipertermi dapat terjadi saat konservasi ginjal dan hipokalemi dapat terjadi bila mulai diuresis.
25
Natrium
Urin
:
Lebih
besar
dari
20
mEq/L
mengindikasikan kelebihan cairan , kurang dari 10 mEqAL menduga ketidakadekuatan cairan.
Alkali Fosfat : Peningkatan Alkali Fosfat sehubungan dengan perpindahan cairan interstisial atau gangguan pompa, natrium.
Glukosa Serum : Peninggian Glukosa Serum menunjukkan respon stress.
Albumin Serum : Untuk mengetahui adanya kehilangan protein pada edema cairan.
BUN atau Kreatinin : Peninggian menunjukkan penurunan perfusi atau fungsi ginjal, tetapi kreatinin dapat meningkat karena cedera jaringan.
Loop aliran volume : Memberikan pengkajian non-invasif terhadap efek atau luasnya cedera.
EKG : Untuk mengetahui adanya tanda iskemia miokardial atau distritmia.
Fotografi luka bakar : Memberikan catatan untuk penyembuhan luka bakar.
(Purwanto, 2016).
5. Masalah yang Mungkin Muncul a) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan barier kulit, kerusakan respon imun, prosedur invasif. (Effendi. C, 1999). Tujuan : Menunjukkan tidak ada infeksi
26
6. Intervensi Keperawatan
Laksanakan dan pertahankan kontrol infeksi sesuai kebijakan ruang
Pertahankan tehnik cuci tangan yang hati-hati bagi perawatan dan pengunjung
Pakai sarung tangan ketika merawat luka untuk meminimalkan terhadap agen infeksi.
Ambil eksudat, krusta untuk mengurangi sumber infeksi
Cegah kontak pasien dengan orang yang mengalami ISPA / infeksi kulit
Berikan obat antimikrobial dan penggantian. balutan pada luka
Monitor vital sign untuk mengetahui tanda infeksi.(Purwanto, 2016)
27
PERTANYAAN
1. Di bawah ini benar tentang Luka Bakar, kecuali …. A. Merupakan luka akibat paparan bahan panas B. Luka bakar bisa mengenai lapisan epidermis, dermis C. Luka bakar bisa disembuhkan dengan pasta gigi D. Untuk menentukan luas luka bakar menggunakan rumus rule of nine E. Dapat disebabkan karena paparan sinar matahari
2. Diagnosis keperawatan yang mungkin terjadi pada pasien Luka Bakar adalah …. A. Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan kulit atau jaringan B. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan interupsi aliran darah. C. Gangguan citra tubuh berhubungan krisis situasi kecacatan. D. Resti perubahan sensori perseptual berhubungan dengan perubahan kimia endogen (ketidak seimbangan glukosa/insulin dan elektrolit. E. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan status hipermetabolik
3. Di bawah ini benar tentang Herpes, kecuali…. A. Merupakan penyakit yang disebabkan virus B. Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh reaktivasi virus Varicella –Zoster C. Herpes simpleks adalah infeksi akut yg disebabkan oleh virus herpes simpleks (virus herpes hominis) D. Merupakan penyakit menular E. Dapat disebabkan karena paparan sinar matahari 4. Gejala penyakit Herpes Simplek adalah …… A. Rasa panas
28
B. Rasa gatal C. Timbul vesikula D. Demam E. Semua benar 5. Dibawah ini termasuk etiologi dermatitis, kecuali…. A. Kimia B. Fisik C. luka D. Mikroorganisme E. endogen
DAFTAR PUSTAKA
Awan, S. A., Astuti, N., Bukhari, A., Mahendradatta, M., & Tawali, A. B. (2014). Manfaat Suplementasi Ekstrak Ikan Gabus Terhadap Kadar Albumin, MDA Pada luka Bakar Derajat II. JST Kesehatan, 385-393. Bonita, L., & Murtiastutik, D. (2017). Penelitian Retrospektif : Gambaran Klinis Herpes Simpleks Genitalis . Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan kelamin, 30-35. Eppy. (2017). Infeksi Virus Herpes Simpleks dan Komplikasinya. CDK253/Vol.44 no 6, 386-390. Gholib, D. (2009). DAYA HAMBAT EKSTRAK KENCUR (Kaempferia galanga L.) Terhadap Trichophyton mentagrophytes DAN Cryptococcus JAMUR PENYEBAB PENYAKIT KURAP PADA KULIT DAN PENYAKIT PARU. Bul. Littro, 59-67. Hermawan, D. A., & Widyanto. (2000). Mengenal Penyakit Jamur Kulit Yang Sering Ditemukan di Indonesia . Meditek, 46-59. Purwaningsih, L. A., & Rosa, E. M. (2012). Respon Adaptasi Fisiologis dan Psikologis Pasien Luka Bakar yang Diberikan Kombinasi Alternative Moisture Balance Dressing dan Seft Terapi di RSUD Dr. Sardjito Yogyakarta. Muhammadiyah journal of nursing, 41-49. Purwanto, H. (2016). Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Rahayuningsih, T. (2012). Penatalaksanaan Luka Bakar (Combustio). Profesi Volume 8, 1-13. Siregar, R. S. (2004). Penyakit Jamur Kulit Episode 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Suzan, R., & Andayani, D. E. (2017). Tata Laksana Nutrisi Pada Pasien Luka Bakar Listrik. JMJ, Volume 5, Nomor 1, 1-13.