2.1
Definisi Fraktur Gigi Fraktur gigi atau fraktur dentoalveolar merupakan hilangnya kontinuitas
jaringan gigi yang umumnya disebabkan oleh trauma mekanis. Secara umum biasanya terjadi pada anak-anak, remaja, dan dewasa (Miloro, et al., 2004). Sedangkan fraktur yang mengenai akar gigi diartikan sebagai fraktur yang melibatkan sementum, dentin dan pulpa gigi (Malhotra, et al., 2011). Kejadian fraktur akar gigi permanen dari keseluruhan trauma yang melibatkan gigi permanen mencapai persentase 0,5% hingga 7% (Kaur, et al., 2018).
2.2
Klasifikasi Fraktur Gigi
2.2.1 Klasifikasi Fraktur Menurut Ellis Klasifikasi fraktur dentoalveolar memiliki banyak klasifikasi, tetapi terdapat 2 sistem yang paling umum digunakan, yaitu klasifikasi yang dikembangkan oleh Andreasen yang kemudian diadopsi oleh WHO, dan klasifikasi yang dikembangkan oleh Ellis (Miloro, et al., 2004). Pada tahun 1950, dokter gigi anak G.E. Ellis adalah orang pertama yang memperkenalkan klasifikasi universal dental injures. Dental injures telah diklasifikasikan menurut berbagai faktor, seperti etiologi, anatomi, patologi atau pertimbangan terapeutik. Klasifikasi fraktur gigi menurut Ellis adalah sebagai berikut (Padagala and Tadikonda, 2015): 1.
Kelas I - Fraktur mahkota sederhana dengan sedikit atau tanpa mengenai dentin.
2.
Kelas II - Fraktur mahkota luas dengan kehilangan dentin yang cukup besar, tetapi tidak mengenai pulpa.
3.
Kelas III - Fraktur mahkota luas dengan kehilangan dentin dan pulpa yang cukup besar.
4.
Kelas IV - Gigi mengalami trauma sehingga gigi menjadi non vital dengan atau tanpa hilangnya struktur mahkota.
5.
Kelas V – Hilangnya gigi akibat trauma.
6.
Kelas VI - Fraktur akar dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota.
7.
Kelas VII - Pemindahan gigi tanpa fraktur akar maupun mahkota
8.
Kelas VIII - Fraktur mahkota sampai akar.
Kelas IX – traumatic injures pada gigi desidui.
2.2.2 Klasifikasi Fraktur Menurut WHO Klasifikasi yang direkomendasikan dari World Health Organization (WHO) diterapkan pada gigi sulung dan gigi tetap, yang meliputi jaringan keras gigi, jaringan pendukung gigi dan jaringan lunak rongga mulut yang didasarkan pada pertimbangan anatomis, terapeutik dan prognostic. Nomor kode sesuai dengan klasifikasi penyakit internasional untuk kedokteran gigi (Padagala and Tadikonda, 2015). 1.
Cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa (gambar 2.1) 1) Enamel infraction(N 502.50): jenis fraktur tidak sempurna dan hanya berupa retakan tanpa hilangnya substansi gigi. 2) Fraktur email (N 502,50): hilangnya substansi gigi berupa email saja.
3) Fraktur email-dentin (N 502,51): hilangnya substansi gigi terbatas pada email dan dentin tanpa melibatkan pulpa gigi. 4) Fraktur mahkota kompleks (complicated crown fracture) (N 502,52): fraktur email dan dentin dengan pulpa yang terpapar. 5) Fraktur mahkota-akar tidak kompleks (uncomplicated crown-root fracture) (N 502,54): fraktur email, dentin, sementum, tetapi tidak melibatkan pulpa. 6) Fraktur mahkota-akar kompleks (complicated crown-root fracture) (N 502,54) : fraktur email, dentin, dan sementum dengan pulpa yang terpapar. 7) Fraktur akar (N 502,53): fraktur yang melibatkan dentin, sementum, dan pulpa, dapat dapat diklasifikasikan lebih lanjut sesuai dengan perpindahan fragmen koronal, seperti Horizontal, Oblique, dan Vertikal (Padagala and Tadikonda, 2015).
Gambar 2.1 Cedera pada Jaringan Keras Gigi dan Jaringan Pulpa (Fonseca, 2005).
2.
Cedera pada jaringan periodontal (gambar 2.2) 1) Concussion (N 503.20): tidak ada perpindahan gigi, tetapi ada reaksi ketika diperkusi. 2) Subluksasi (N 503.20): kegoyangan abnormal tetapi tidak ada perpindahan gigi. 3) Luksasi ekstrusif (partial avulsion) (N 503.20): perpindahan gigi sebagian dari soket. 4) Luksasi lateral (N 503.20): perpindahan ke arah aksial disertai fraktur soket alveolar. 5) Luksasi intrusif (N 503.21): perpindahan ke arah tulang alveolar disertai fraktur soket alveolar. 6) Avulsi (N 503.22): gigi lepas dari soketnya (Padagala and Tadikonda, 2015).
Gambar 2.2 Cedera pada Jaringan Periodontal (Fonseca, 2005).
3.
Cedera pada tulang pendukung (gambar 2.3) 1) Pecah dinding soket alveolar mandibula (N 502.60) atau maksila (N 502.40): hancur dan tertekannya soket alveolar, ditemukan pada cedera intrusif dan lateral luksasi. 2) Fraktur dinding soket alveolar mandibula (N 502.60) atau maksila (N 502.40) : fraktur yang terbatas pada fasial atau lingual/palatal dinding soket. 3) Fraktur prosesus alveolar mandibula (N 502.60) atau maksila (N 502.40) : fraktur prosesus alveolar yang dapat melibatkan soket gigi. 4) Fraktur mandibula atau maksila : dapat atau tidak melibatkan soket alveolar (Padagala and Tadikonda, 2015).
Gambar 2.3 Cedera pada Tulang Pendukung (Fonseca, 2005).
4.
Cedera pada gingiva atau mukosa oral 1) Laserasi gingiva atau mukosa oral (S 01.50):luka dangkal atau dalam di mukosa akibat robekan, dan biasanya dihasilkan oleh benda tajam. 2) Kontusi gingiva atau mukosa oral (S00.50): sebuah memar biasanya dihasilkan oleh benda tumpul dan tidak disertai dengan kerusakan mukosa, biasanya menyebabkan perdarahan sub mukosa. 3) Abrasi gingiva atau mukosa oral (S 00.50):
luka superfisial yang
dihasilkan dengan menggesek atau mengikis mukosa meninggalkan mukosa yang berdarah (Padagala and Tadikonda, 2015).
Malhotra, et al (2011) membagi klasifikasi fraktur akar gigi menjadi fraktur akar horizontal dan fraktur akar vertikal. Klasifikasi fraktur akar horizontal dilakukan dengan memperhatikan: 1.
Lokasi garis fraktur (servikal, tengah, apikal).
2.
Derajat fraktur (parsial dan total).
3.
Jumlah garis fraktur (simpel dan multipel).
4.
Posisi fragmen koronal (bergeser atau tidak). Tergantung pada posisi garis fraktur, fraktur akar diklasifikasikan menjadi
tiga zona sebagai berikut (gambar 2.4): Zona 1 - memanjang dari tepi oklusal / insisal ke puncak tulang alveolar. Zona 2 - memanjang dari puncak tulang alveolar hingga 5 mm di bawah. Zona 3 - memanjang dari 5 mm di bawah puncak tulang alveolar ke puncak akar.
Zona-zona ini secara berurutan sama dengan fraktur mahkota, fraktur cervical-root, dan fraktur akar tengah / apikal. Fraktur akar vertikal dapat diklasifikasi menurut: 1.
Derajat separasi fragmen (komplit atau inkomplit).
2.
Posisi relatif fraktur pada puncak tulang alveolar: 1) Supraoseous: Fraktur yang tidak melibatkan tulang alveolar serta tidak menimbulkan kerusakan periodontal. 2) Intraoseous: Fraktur yang melibatkan tulang alveolar dan menyebabkan kerusakan periodontal.
Tabel 2.1 Klasifikasi Fraktur Akar Gigi HorizontaldanVertikal
Gambar 2.4 Klasifikasi fraktur akar transversal berdasarkan posisi garis fraktur
2.3
Etiologi Fraktur Akar Gigi Etiologi fraktur akar gigi adalah sebagai berikut (Malhotra, et al., 2011):
1.
Trauma fisik Alasan paling umum untuk fraktur akar di gigi permanen adalah trauma fisik yang disebabkan jatuh, perkelahian atau olahraga. Setiap benda yang memukul gigi juga bisa menyebabkan cedera yang sama.
2.
Trauma oklusi
3.
Perawatan restoratif Fraktur mahkota-akar dan fraktur akar, terutama fraktur akar vertikal, terlihat pada restorasi gigi yang besar, pemasangan mahkota secara paksa, restorasi intrakoronal (inlay) dan pemasangan pin dapat menyebabkan fraktur akar gigi vertikal disebabkan oleh aksi wedging.
4.
Perawatan endodontic Melemahnya struktur gigi terjadi selama akses preparasi kavitas, pembersihan dan pembentukan saluran akar meningkatkan kemungkinan
fraktur gigi. Fraktur akar vertikal umumnya terjadi pada gigi yang dirawat secara endodontik. Insiden fraktur akar meningkat ketika diameter mesialdistal akar menurun. 5.
Kebiasaan parafungsional Gigi posterior yang tidak karies, tidak sedang dirawat endodontik dan gigi posterior yang tidak diperbaiki kadang-kadang dapat mengalami fraktur karena gaya oklusal berulang yang berlebihan, yang menyebabkan ‘fatigue root fracture’. Hal ini dapat diamati pada individu dengan otot pengunyahan yang tebal, kebiasaan seperti mengunyah es dan konsumsi makanan kasar serta kebiasaan parafungsional. Hal ini akan meningkatkan kemungkinan dan risiko fraktur akar vertikal.
2.4
Patofisiologi Fraktur Akar Gigi Indikator hasil yang menguntungkan setelah pengobatan fraktur akar
meliputi (Malhotra, et al., 2011): 1.
Asimtomatik
2.
Respon positif terhadap tes pulpa;
3.
Melanjutkan perkembangan akar gigi yang immature;
4.
Tanda perbaikan di antara segmen yang retak; dan
5.
Tidak adanya periodontitis apikalis. Sekitar 80% dari fraktur akar yang dirawat dengan benar berhasil sembuh.
Vitalitas pulpa biasanya dipertahankan setelah terjadinya fraktur akar, menyebabkan penyembuhan spontan pada 70-80% kasus fraktur akar intra-
alveolar. Penyembuhan fraktur berikut dimulai pada tepi pulpa dan ligament periodontal, menciptakan dua jenis respon penyembuhan luka, terjadi baik secara independen atau bersaing satu sama lain (Malhotra, et al., 2011). Penyembuhan fraktur akar melintang melibatkan penyatuan segmen fraktur oleh jaringan keras, kalsifikasi (jarang terjadi), interposisi jaringan ikat (lebih sering terjadi), interposisi tulang dan jaringan ikat, atau interposisi jaringan granulasi (Gambar 5) . Andreasen et al., mengamati sebesar 30% dari kasus fraktur akar disembuhkan oleh penyatuan fragmen jaringan keras, 43% oleh interposisi jaringan ikat, 5% oleh interposisi jaringan ikat dan tulang dan 22% menunjukkan tanda-tanda peradangan dan nekrosis pulpa (Malhotra, et al., 2011).
Empat jenis penyembuhan dalam fraktur akar melintang: (a) penyembuhan oleh jaringan keras (jaringan kalsifikasi); (b) penyembuhan dengan interposisi dari jaringan ikat; (c) penyembuhan dengan interposisi tulang dan jaringan ikat; dan (d) penyembuhan dengan interposisi jaringan granulasi (Malhotra, et al., 2011).
2.5
Gambaran Klinis Fraktur Akar
2.5.1 Fraktur Akar Horizontal
Fraktur pada bagian sepertiga tengah akar terjadi dengan frekuensi yang lebih tinggi sementara fraktur pada bagian sepertiga apikal dan sepertiga servikal terjadi dengan frekuensi yang sama. Fraktur pada bagian sepertiga apikal akar tidak menunjukkan tanda-tanda pergeseran atau mobilitas pada fragmen mahkota. Gigi yang fraktur di bagian sepertiga tengah biasanya sedikit ekstrusi dengan luksasi lateral dari segmen koronal. Pada fraktur sepertiga servikal, mahkota gigi biasanya sedikit goyang karena ikatan ligamen periodontal pada akar telah fraktur bersama dengan mahkota. Pada gigi posterior, gambaran klinis adalah satu cusp yang rigid dan satu cusp yang mengalami mobilitas. Gigi tersebut mungkin sensitif pada perkusi dan/atau palpasi dan menunjukkan diskolorasi mahkota sementara (Malhotra, et al., 2011). 2.5.1 Fraktur Akar Vertikal Pasien biasanya mengeluh sakit pada pengunyahan. Gejala lain termasuk peradangan gingiva, mobilitas fragmen dan adanya saluran sinus atau fistula. Kadang-kadang fraktur akar vertikal dikaitkan dengan perpindahan bagian apikal dari akar gigi. Kadang-kadang garis fraktur mungkin tidak terlihat dan hanya dapat dideteksi oleh tooth sloth, disk burlew, uji transiluminasi, pewarnaan, eksplorasi bedah, atau dengan menghilangkan restorasi yang ada (Malhotra, et al., 2011).
2.7
Perawatan
2.7.1 Perawatan Fraktur Akar Horizontal
Perawatan fraktur akar horizontal dapat dibagi berdasarkan lokasi fraktur di bagian sepertiga apikal, sepertiga tengah dan sepertiga servikal, sebagai berikut (Malhotra, et al., 2011): 1.
Fraktur di bagian sepertiga apikal Biasanya tidak ada tanda-tanda mobilitas pada akar dan gigi. Dalam kebanyakan kasus, didapati segmen apikal tetap vital. Oleh karena itu, tidak ada perawatan yang diperlukan dan gigi tersebut diobservasi. Jika terdapat nekrosis pulpa pada fragmen apikal, pengeluaran fragmen apikal menjadi indikasi.
2.
Fraktur di bagian sepertiga tengah Perawatan yang dianjurkan adalah reposisi segera fragmen yang telah bergeser diikuti dengan perletakan splin pasif. Posisi segmen yang direduksi harus diperiksa secara radiografi. Setelah dilakukan reduksi, splin pasif diletakkan selama 4 minggu untuk menjamin konsolidasi jaringan keras yang mencukupi.
3.
Fraktur di bagian sepertiga servikal Perawatan dipilih berdasarkan posisi garis fraktur, panjang segmen akar yang tersisa dan kehadiran segmen koronal. Kemungkinan penyembuhan dengan jaringan terkalsifikasi adalah paling rendah pada fraktur di lokasi ini. Perawatan lain yang dapat dilakukan termasuk perletakan mahkota pasak,
pemanjangan mahkota, ekstrusi ortodontik, transplantasi intra alveolar dari gigi fraktur (surgical extrusion), dan ekstraksi (Malhotra, 2011).
2.7.2 Perawatan Fraktur Akar Vertikal Perawatan fraktur akar vertikal amat sulit dan bergantung pada lokasi, luas dan arah fraktur (Agarwal, 2017). Terdapat empat kategori dasar perawatan fraktur akar vertikal, yaitu (Malhotra, et al., 2011): 1.
Rencana perawatan untuk fraktur supraoseous inkomplit dengan pulpa vital dan tidak ada perubahan radiografik atau kerusakan periodontal: Gigi direstorasi dengan mahkota sementara full coverage dan dievaluasi setelah 3 bulan. Jika pasien asimtomatik, mahkota permanen disementasi dengan semen polikarboksilat atau semen ionomer kaca (GIC). Jika terdapat degenerasi pulpa, perawatan tambahan seperti yang dijelaskan di poin 2 atau 3 menjadi indikasi.
2.
Rencana perawatan untuk fraktur supraoseous inkomplit dengan pulpa nonvital namun tidak ada perubahan radiografik atau kerusakan periodontal: Gigi direstorasi dengan mahkota stainless steel berbentuk full coverage dan diawali terapi kalsium hidroksida. Pasien dirawat dengan interval 3 bulan. Jika tidak ada perubahan ketinggian tulang setelah 9-12 bulan menjalani terapi kalsium hidroksida, dilakukan terapi endodontik dan mahkota permanen diletakkan pada gigi tersebut. Jika timbul poket periodontal sepanjang garis fraktur, gunakan rencana perawatan yang dijelaskan di poin 3.
3.
Rencana perawatan untuk fraktur inkomplit intraoseous dengan pulpa nonvital dan poket periodontal sepanjang garis fraktur: Bedah eksploratori diindikasi untuk mendapat visualisasi garis fraktur dan kerusakan tulang.
Jika garis fraktur berhenti sebelum kerusakan tulang, prosedur bedah periodontal yang diperlukan dapat dijalankan untuk memulihkan kerusakan tersebut. Tergantung pada status pulpa, rencana perawatan seperti yang dijelaskan di poin 1 atau 2 didahulukan. Pada kasus dimana garis fraktur memanjang melebihi kerusakan tulang, Rencana perawatan yang dijelaskan di poin 4 dapat didahulukan. 4.
Rencana perawatan untuk fraktur intraoseous komplit dengan pulpa nonvital, kehilangan tulang dan poket periodontal: Universitas Sumatera Utara Pada gigi molar dimana fraktur berada di satu akar atau melewati furkasi, diindikasi melakukan amputasi akar, hemiseksi atau ekstraksi.