Pada keadaan normal, di daerah umbilical pada orang yang agak kurus dapat terlihat dan teraba pulsasi arteri iliaka. Beberapa organ dalam keadaan normal dapat teraba di daerah tertentu, misalnya kolon sigmoid teraba agak kaku di daerah kuadaran kiri bawah, kolon asendens dan saecum teraba lebih lunak di kuadran kanan bawah. Ginjal yang merupakan organ retroperitoneal dalam keadaan normal tidak teraba. Kandung kemih pada retensio urine dan uterus gravid teraba di daerah suprapubik.4
Gambar 2. Pembagian 9 regio abdomen4 Inspeksi Dilakukan pada pasien dengan posisi tidur terlentang dan diamati dengan seksama dinding abdomen. Yang perlu diperhatikan adalah:4 Keadaan kulit; warnanya (ikterus, pucat, coklat, kehitaman), elastisitasnya (menurun pada orang tua dan dehidrasi), kering (dehidrasi), lembab (asites), dan adanya bekasbekas garukan (penyakit ginjal kronik, ikterus obstruktif), jaringan parut (tentukan lokasinya), striae (gravidarum/ cushing syndrome), pelebaran pembuluh darah vena (obstruksi vena kava inferior & kolateral pada hipertensi portal). Besar dan bentuk abdomen; rata, menonjol, atau scaphoid (cekung). Simetrisitas; perhatikan adanya benjolan local (hernia, hepatomegali, splenomegali, kista ovarii, hidronefrosis). Gerakan dinding abdomen pada peritonitis terbatas.
Pembesaran organ atau tumor, dilihat lokasinya dapat diperkirakan organ apa atau tumor apa. Peristaltik; gerakan peristaltik usus meningkat pada obstruksi ileus, tampak pada dinding abdomen dan bentuk usus juga tampak (darm-contour). Pulsasi; pembesaran ventrikel kanan dan aneurisma aorta sering memberikan gambaran pulsasi di daerah epigastrium dan umbilical. Palpasi Beberapa pedoman untuk melakukan palpasi, ialah:4 Pasien diusahakan tenang dan santai dalam posisi berbaring terlentang. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan tidak buru-buru. Palpasi dilakukan dengan menggunakan palmar jari dan telapak tangan. Sedangkan untuk menentukan batas tepi organ, digunakan ujung jari. Diusahakan agar tidak melakukan penekanan yang mendadak, agar tidak timbul tahanan pada dinding abdomen. Palpasi dimulai dari daerah superficial, lalu ke bagian dalam. Bila ada daerah yang dikeluhkan nyeri, sebaiknya bagian ini diperiksa paling akhir. Bila dinding abdomen tegang, untuk mempermudah palpasi maka pasien diminta untuk menekuk lututnya. Bedakan spasme volunteer & spasme sejati; dengan menekan daerah muskulus rectus, minta pasien menarik napas dalam, jika muskulus rectus relaksasi, maka itu adalah spasme volunteer. Namun jika otot kaku tegang selama siklus pernapasan, itu adalah spasme sejati. Palpasi bimanual; palpasi dilakukan dengan kedua telapak tangan, dimana tangan kiri berada di bagian pinggang kanan atau kiri pasien sedangkan tangan kanan di bagian depan dinding abdomen. Pemeriksaan ballottement; cara palpasi organ abdomen dimana terdapat asites. Caranya dengan melakukan tekanan yang mendadak pada dinding abdomen & dengan cepat tangan ditarik kembali. Cairan asites akan berpindah untuk sementara, sehingga organ atau massa tumor yang membesar dalam rongga abdomen dapat teraba saat memantul. Teknik ballottement juga dipakai untuk memeriksa ginjal, dimana gerakan penekanan pada organ oleh satu tangan akan dirasakan pantulannya pada tangan lainnya.
Setiap ada perabaan massa, dicari ukuran/ besarnya, bentuknya, lokasinya, konsistensinya, tepinya, permukaannya, fiksasi/ mobilitasnya, nyeri spontan/ tekan, dan warna kulit di atasnya. Sebaiknya digambarkan skematisnya. Palpasi hati; dilakukan dengan satu tangan atau bimanual pada kuadran kanan atas. Dilakukan palpasi dari bawah ke atas pada garis pertengahan antara mid-line & SIAS. Bila perlu pasien diminta untuk menarik napas dalam, sehingga hati dapat teraba. Pembesaran hati dinyatakan dengan berapa sentimeter di bawah lengkung costa dan berapa sentimeter di bawah prosesus xiphoideus.
Perkusi Perkusi berguna untuk mendapatkan orientasi keadaan abdomen secara keseluruhan, menentukan besarnya hati, limpa, ada tidaknya asites, adanya massa padat atau massa berisi cairan (kista), adanya udara yang meningkat dalam lambung dan usus, serta adanya udara bebas dalam rongga abdomen. Suara perkusi abdomen yang normal adalah timpani (organ berongga yang berisi udara), kecuali di daerah hati (redup; organ yang padat).
Gambar 3. Perkusi pada abdomen4 Aukultasi Kegunaan auskultasi ialah untuk mendengarkan suara peristaltic usus dan bising pembuluh darah. Dilakukan selama 2-3 menit.4 Mendengarkan suara peristaltic usus. Diafragma stetoskop diletakkan pada dinding abdomen, lalu dipindahkan ke seluruh bagian abdomen. Suara peristaltic usus terjadi akibat adanya gerakan cairan dan udara dalam
usus. Frekuensi normal berkisar 5-34 kali/ menit.Bila terdapat obstruksi usus, peristaltic meningkat disertai rasa sakit (borborigmi). Bila obstruksi makin berat, abdomen tampak membesar dan tegang, peristaltic lebih tinggi seperti dentingan keeping uang logam (metallic-sound).Bila terjadi peritonitis, peristaltic usus akan melemah, frekuensinya lambat, bahkan sampai hilang. Mendengarkan suara pembuluh darah. Bising dapat terdengar pada fase sistolik dan diastolic, atau kedua fase. Misalnya pada aneurisma aorta, terdengar bising sistolik (systolic bruit). Pada hipertensi portal, terdengar adanya bising vena (venous hum) di daerah epigastrium. Pemeriksaan Penunjang Pemantauan pH Esofagus Pemantauan pH esophagus memegang peranan penting dalam diagnosis refluks gastroesofagus, terutama pada pasien yang sulit untuk diobati. Sampai saat ini pemantauan pH merupakan standar baku untuk mendiagnosis refluks gastroesofagus dan untuk menentukan hubungan episode refluks dengan gejala klinis. Dalam keadaan normal pH esophagus antara 6 sampai 7, dengan ditemukannya penurunan pH di bawah 4 merupakan petanda terjadinya episode refluks. Pemantauan pH esophagus yang paling baik dengan hasil yang dapat dipercaya adalah selama 24 jam. Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esophagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkan dengan menetapkan mikroelektroda pH pada bagian distal esophagus. Pengukuran pH pada esophagus bagian distal dapat memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH di bawah 4 pada jarak 5 cm diatas LES dianggap diagnostic untuk refluks gastroesofageal.5 Esofagografi dengan Barium Berfungsi untuk mencari perubahan bentuk kerongkongan dan mungkin melihat abnormalitas dalam lapisan dari kerongkongan. Bentuk perutnya juga dapat dilihat dengan menggunakan tes ini. Pasien meminum cairan yang mengandung mengandung barium. Dari pemeriksaan berikut dokter dapat melihat garis besar kerongkongan dan lambung di x-ray. 5
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan sering kali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus atau penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitive untuk diagnosis GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada 1). Stenosis esophagus derajat ringan akibat esofagitis peptic dengan gejala disfagia, 2). Hiatus hernia.5 Pemeriksaan Endoskopi Endoskopi merupakan alat yang digunakan untuk memeriksa organ di dalam tubuh manusia secara visual dengan cara mengintip melalui alat tersebut atau melalui layar monitor sehingga kelainan yang ada pada organ dapat terlihat dengan jelas. Pemeriksaan endoskopi adalah pemeriksaan penunjang yang memakai alat endoskopi untuk mendiagnosis kelainan-kelainan organ dalam tubuh antara lain saluran cerna, saluran kemih, rongga mulut, rongga abdomen, dll.
Gambar 4. Pemeriksaan Endoskopi (Sumber:http://www.medhelp.org/adam/graphics/images/en/15849.jpg) Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis refluks). Dengan endoskopi, dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa esofagus, serta dapat menyingkirkan kelainan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan mucosal break pada
endoskopi pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut sebagai Non-erosive Reflux Disease (NERD) (Makmun,2009).1 Terdapat beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi dari pasien GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan klasifikasi Savarry-Miller.5 Tabel 3. Klasifikasi Los Angeles (Makmun, 2009) Derajat Kerusakan A B C D
Gambaran Endoskopi Erosi kecil-kecil pada mukosa esofagus dengan diameter< 5 mm Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5 mm tanpa saling berhubungan Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh lumen Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial (mengelilingi seluruh lumen )
Tes Bernstein Tes penuangan asam (Bernstein) digunakan untuk menentukan apakah nyeri dada disebabkan oleh refluks asam. Untuk tes ini, tabung kecil dimasukan melalui satu lubang hidung, menuruni belakang tenggorokan, dan kedalam bagian tengah dari esofagus. Larutan asam yang diencerkan dan larutan garam normal dituangkan secara bergantian melalui kateter dan kedalam esofagus. Pasien tidak sadar larutan mana yang sedang di-infuskan. Jika penuangan dengan asam membangkitkan nyeri pasien yang biasa dan penuangan dari larutan garam tidak menghasilkan nyeri, kemungkinan adalah bahwa nyeri pasien disebabkan oleh refluks asam.5 Diagnosis Kerja Diagnosis GERD ditegakan melalui anmnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang. Pemeriksaan buku emas untuk mendiagnosis GERD berdasarkan konsensus Montreal di tahun 2006 adalah pemantauan pH esophagus selama 24 jam. Namun pemeriksaan ini tidak mudah dilakukan dibanyak pusat kesehatan, karena memerlukan alat dan keahlian khusus. Di Indonesia sendiri, konsesus nasional penatalaksanaan GERD (2004) menetapkan endoskopi SCBA sebagai standar buku untuk menegakkan diagnosis GERD pada endoskopi SCBA akan didapatkan mucosal
breaks diesophagus, dan pada biopsinya ditemukan esophagitis. Bila pada penderita dengan keluhan GERD ternyata tidak didapatkan kelainan pada endoskopi SCBAnya, maka diagnosisnya berubah menjadi NERD (Non Erosive Refluks Disease). Diagnosis Banding Non Erosive Reflux Disease (NERD) Non Erosive Reflux Disease (NERD) adalah gangguan yang berbeda dari penyakit Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Hal ini didefinisikan sebagai subkategori dari GERD yang ditandai dengan gejala refluks terkait tanpa adanya erosi mukosa esophagus, peradangan mikroskopis, hipersensitivitas viseral (stres dan tidur), dan kontraksi esofagus berkelanjutan. Gejala pada pasien NERD adalah heartburn dan regurgitasi. Heartburn umumnya digunakan untuk menunjukkan rasa terbakar di substernal. Heartburn diperburuk oleh produk makanan tertentu, posisi membungkuk, posisi terlentang saat tidur, dan lain sebagainya. Regurgitasi juga dapat mempengaruhi pasien dengan NERD dan dapat menyebabkan rasa pahit atau asam di mulut. Hal ini diperburuk ketika membungkuk atau posisi terlentang.6 Pilihan pengobatan untuk pasien NERD dapat menggunakan antasida, antagonis reseptor H2, atau proton pump inhibitors(PPI). Edukasi yang dapat dianjurkan pada pasien NERD yaitu dengan mengubah gaya hidup seperti berhenti merokok, menghindari makananpedas, menghindarimakandi malam hari, mengangkatkepalatempat tidur, menurunkan berat badan, makan dalam porsi kecil dan menghentikanpenggunaan alkohol.6
Dispepsia Fungsional Konsesus Roma III (2006) mendefinisikan kriteria diagnostic untuk dyspepsia fungsional yaitu setidaknya selama 3 bulan mulainya paling tidak sudah 6 bulan, dengan satu atau lebih seperti nyeri epigastric (epigastric pain), cepat kenyang (early satiation), rasa enuh (postprandial fullness) dan rasa terbakar di epigastrium (epigastrium burn) serta tidak ditemukan kelainan structuralbiokimiawi, termasuk setelah dilakukan esofagogastroduodenoskopi. Klasifikasi dyspepsia fungsional yang lebih banyak digunakan saat ini adalah:6 1. Bila nyeri ulu hati yang dominan dan disertai nyeri pada malam hari maka dikategorikan sebagai dispepsia tipe ulkus.
2. Bila kembung, mual, muntah, rasa penuh dan cepat kenyang lebih dominan maka dikategorikan sebagai dispepsia tipe dismotilitas. 3. Bila tidak ada keluhan yang dominan, maka dikategorikan sebagai dispepsia non spesifik. Klasifikasi lain dari dispepsia fungsional adalah pembagian menurut Rome III, yaitu diklasifikasikan dalam 2 subgrup yaitu dispepsia yang berhubungan dengan makan, disebut Postprandial Distress Syndrome (PDS), dimana simptom utama adalah rasa penuh dan cepat kenyang dan dispepsia yang tidak berhubungan dengan makan, disebut Epigastric Pain Syndrome (EPS), dimana simptom utama adalah nyeri epigastrium dan rasa terbakar di epigastrium.6
Manifestasi Klinis Gejala dan tanda klinis yang khas beberapa diantaranya yaitu :7
Ketika asam refluks (mengalir balik) kedalam esofagus pada pasien dengan PRGE/GERD, serat syaraf pada esofagus distimulasi. Stimulasi syaraf ini berakibat paling umum pada rasa panas/nyeri di dada (heartburn). Nyeri adalah karakteristik dari PRGE/GERD. Heartburn biasanya digambarkan sebagai nyeri yang membakar ditengah dada. Ia mungkin mulai tinggi diatas perut dan mungkin meluas naik kedalam leher. Pada beberapa pasien, nyerinya mungkin tajam atau seperti tekanan, daripada rasa terbakar. Nyeri jenis ini dapat meniru nyeri jantung (angina). Pada pasien lain, nyerinya mungkin meluas ke belakang (punggung). Karena refluks asam lebih umum setelah makan, heartburn adalah lebih umum setelah makan.3
Disfagia (kesulitan menelan makanan) mungkin terjadi karena striktura atau keganasan yang berkembang dari Barrett’s esophagus.
Odinorfagia (rasa sakit waktu menelan) bias timbul jika sudah terjadi ulserasi esophagus yang berat.`
Peradangan di kerongkongan (esophagitis) dapat menyebabkan perdarahan yang biasanya sedikit dapat menjadi besar.
Esophageal ulcers, luka pada lapisan dari kerongkongan. Ulcers dapat menimbulkan rasa sakit yang biasanya terletak di belakang tulang dada atau di bawahnya, mirip dengan lokasi mulas.
Narrowing (penyempitan) dari kerongkongan dari surutnya swallowing solid membuat makan semakin lebih sulit. Narrowing saluran udara yang dapat menyebabkan sesak nafas dan wheezing.
GERD juga dapat menimbulkan manifestasi gejala ekstra esophageal yang atipik dan sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest pain/NCCP), suara serak, mual, regurgitasi, rasa pahit dilidah, hoarseness, keluar air liur berlebihan, sebuah rasa benjol di tenggorokan (globus sensasi), laryngitis, batuk karena aspirasi sampai timbulnya bronkiektasis atau asma.7 Etiologi Penyakit gastroesofageal refluks bersifat multifaktorial. Hal ini dapat terjadi oleh karena perubahan yang sifatnya sementara ataupun permanen pada barrier diantara esophagus dan lambung. Selain itu juga, dapat disebabkan oleh karena sfingter esophagus bagian bawah yang inkompeten, relaksasi dari sfingter esophagus bagian bawah yang bersifat sementara, terganggunya ekspulsi dari refluks lambung dari esophagus, ataupun hernia hiatus.1 Asam lambung merupakan salah satu faktor utama etiologi penyakit refluks esofageal, kontak asam lambung yang lama dapat mengakibatkan kematian sel, nekrosis, dan kerusakan mukosa pada pasien GERD. Epidemiologi Prevalensi GERD di Asia, termasuk Indonesia, relative rendah disbanding Negara maju. Di Amerika, hamper 7% populasi mempunyai keluhan heart burn, dan 20-24% diantaranya diperkirakan menderita GERD. Prevalensi esophagitis di Negara barat berkisar antara 10-20%, sedangkan Asia hanya 3-5%, terkecuali Jepang dan Taiwan (13-15). Tidak ada predileksi gender pada GERD, laki-laki dan perempuan mempunyai resiko yang sama, namun insiden esophagitis pada laki-laki lebih tinggi (2:1-3:1), begitu pula Barrett’s esophagitis lebih banyak dijumpai pada laki-laki (10:1). GERD dapat terjadi di segala usia, namun prevalensinya meningkat pada usia diatas 40 tahun.1
Patogenesis Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah.8
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme : a. Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat b. Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan c. Meningkatnya tekanan intraabdominal Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif esophagus, adalah pemisah antirefluks (lini pertama), bersihan asam dari lumen esophagus (lini kedua), dan ketahanan epithelial esophagus (lini ketiga). Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah sekresi gastrik dan daya pilorik.8 Pemisah antirefluks Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya peningkatan tekanan intraabdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal. Faktorfaktor yang dapat menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus hernia, panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-obatan (misal antikolinergik, beta adrenergik, teofilin, opiate, dll), dan faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan tonus LES.8 Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih kontroversial. Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi ditemukan hiatus hernia, namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esophagus serta menurunkan tonus LES. Bersihan asam dari lumen esophagus Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari esophagus adalah gravitasi, peristaltik, ekskresi air liur, dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltic yang dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esophagus. Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara bahan refluksat dengan esophagus (waktu transit esophagus) makin besar kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki waktu transit esophagus yang normal sehingga kelainan yang timbul disebabkan karena peristaltic esophagus yang minimal.
Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi menimbulkan kerusakan esophagus karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esophagus tidak aktif. Daya perusak bahan refluks Asam pepsin dan mungkin juga empedu yang ada dalam cairan refluks mempunyai daya perusak terhadap mukosa esofagus. Beberapa jenis makanan tertentu seperti air jeruk nipis, tomat dan kopi menambah keluhan pada pasien GERD. Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung dari bahan yang dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esophagus makin meningkat pada pH < 2, atau adanya pepsin atau garam empedu. Namun dari kesemuanya itu yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah asam. Faktor-faktor lain yang berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung, atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying. Sedangkan peranan infeksi helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan kurang didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik antara infeksi H. pylori dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian esofagitis, Barrett’s esophagus dan adenokarsinoma esophagus.
Penatalaksanaan Non Medikamentosa Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang dapat memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan.9 Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup, yaitu :9
Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks asam dari lambung ke esophagus. Makan makanan terakhir 3-4 jam sebelum tidur.
Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat menurunkan tonus LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel epitel
Mengurangi konsumsi lemak serta Mengurangi jumlah makanan yang dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung
Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan
Menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intraabdomen
Menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi dan minuman bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam
Jika memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan tonus LES seperti antikolinergik, teofilin, diazepam, opiate, antagonis kalsium, agonis beta adrenergic, progesterone.
Medikamentosa Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (penghambat pompa proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antacid.9 Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi GERD :9
Antasid Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap HCl, obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus bagian bawah. Kelemahan obat golongan ini adalah rasanya kurang menyenangkan, dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid yang mengandung aluminium, penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Antagonis reseptor H2