Kiat Sukses Menulis Opini Untuk Koran (2).docx

  • Uploaded by: Ddy Ddyan
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kiat Sukses Menulis Opini Untuk Koran (2).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,076
  • Pages: 16
CURRICULUM VITAE

1. 2. 3. 4.

Nama: Anselmus JE Toenlioe Tempat dan tanggal lahir: SoE, Timor, 24 Agustus 1954 Pekerjaan: PNS, dosen TEP FIP UM mulai tahun 1982 Riwayat Pendidikan Tinggi a. Sarjana Muda Bimbingan Konsenling UKSW Salatiga tahun 1975 b. Sarjana Pendidikan Dasar IKIP Malang tahun 1981 c. Magister Teknologi Pembelajaran UM tahun 2000 d.Doktor Sosiologi UB tahun 2008 5. Riwayat menulis artikel opini di koran a. Artikel pertama di koran regional, "Mempersiapkan Tenaga Kerja Terampil Melalui Pendidikan Sekolah", dimuat di Surabaya Post, 27 Februari 1981 b. Artikel mutahir di koran nasional, "Fungsionalisasi Sistem Persekolahan", dimuat di Kompas, 19 Juli 2011koran c. Artikel mutahir di koran regional, "Kurikulum Muatan Lokal dan Potensi Daerah", dimuat di Pos Kupang, 20 Juli 2016 d. Artikel pertama di tabloid, "Cara Mendidik Versi Behaviorisme", dimuat di tabloid Gloria, Edisi 18, September Minggu IV, 2016. Selama kurun waktu 1981-2016, sekitar 500-an artikel opini dimuat di koran lokal, regional, maupun nasional. 6. Riwayat menulis buku a. Pendekatan dan Tehnik Pengelolaan Kelas, Usaha Nasional, Surabaya, 1992. b. Sosiologi dan Antropologi Pendidikan, FIP UM, 2013 c. Teori dan Filsafat Pendidikan, FIP UM, 2014

KIAT SUKSES MENULIS ARTIKEL OPINI UNTUK KORAN Sebuah Pengalaman Pribadi Oleh Anselmus JE Toenlioe A. Pendahuluan Menulis tergolong salah satu keterampilan berbahasa. Keterampilan berbahasa lainnya adalah mendengarkan, berbicara, dan membaca. Menulis sendiri memiliki sejumlah bentuk. Salah satu di antaranya adalah menulis esai. Esai adalah tulisan uraian singkat tentang sesuatu, bisa tulisan ilmiah, bisa juga tulisan non ilmiah. Tulisan non ilmiah misalnya catatan harian, otobiografi, dan penjelasan tentang hal tertentu (Tarigan, 1982). Esai ilmiah adalah tulisan singkat tentang karya ilmu, teknologi, atau seni, yang dihasilkan melalui proses ilmiah. Dalam konteks perguruan tinggi, tulisan ilmiah meliputi skripsi, tesis, disertasi, makalah, tugas akhir, laporan penelitian. Di antara tulisan ilmiah tersebut, artikel dapat digolongkan sebagai esai, yakni tulisan singkat yang bersifat ilmiah. Esei sebagai artikel limiah hanya berisi bagian-bagian penting, yakni temuan penelitian, pembahasan temuan, dan kesimpulan. Selain itu, bagian-bagian esai sebagai artikel ilmiah tidak dibagi menjadi bab dan sub bab, melainkan hanya bagian dan sub bagian. Secara umum bagianbagian esai artikel terdiri atas pendahuluan, isi, dan penutup, (Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, 2010). Tulisan opini, khususnya di koran, tabloid, dan majalah, biasanya disebut artikel ilmiah populer. Maksudnya, bersifat ilmiah, namun disajikan dalam bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat umum, di luar bidang ilmu yang dikaji. Kajian ini akan difokuskan pada penulisan artikel opini untuk media massa, khususnya koran. Menulis opini untuk koran dan media massa sejenis lainnya, memiliki kemungkinan manfaat berikut. 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Meningkatkan kemamapuan berpikir logis dan sistematis Memperdalam dan memperluas penguasaan terhadap bidang keahlian Melatih ketekunan dan kesabaran Memperluas jaringan hubungan sosial Mendapatkan penghasilan tambahan yang bersih dari KKN Mendapatkan kepuasan batin

B. Kerangka isi artikel opini Secara garis besar, tulisan artikel opini terdiri atas pendahulaun, inti, dan penutup. Hal-hal yang dijawab melalui tulisan artikel opini berkisar pada pertananyaan-pertanyaan tentang apa, mengapa, dan bagaimana. Lebih rinci lagi, selain pertanyaan-pertanyaan di atas, dalam tulisan artikel opini akan dijelaskan hal-hal seperti siapa, di mana, dan bilamana, lengkap dengan argumentasinya. Pada dasarnya tulisan artikel opini adalah tulisan pandangan atau pendapat tentang kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Dalam ruang kesenjangan itulah penulis artikel opini bereksplorasi mengembangkan ide dan berargumentasi. Ruang kesenjangan yang diisi itulah inti dari artikel opini.

C. Menjaring ide Hal pertama yang mesti dilakukan dalam menulis artikel opini adalah menjaring ide. Konkritnya, mencari dan menemukan ide tentang apa yang hendak ditulis. Pada umumnya media massa, khususnya koran, memprioritaskan tulisan-tulisan aktual. Ketika muncul suatu fenomena yang "wah" dan nyatanyata menarik perhatian masyarakat, maka fenomena itu layak ditulis. Rentang waktu aktualitas suatu fenomena untuk disajikan di media massa sekitar satu minggu. Ada koran yang membatasi hanya lima hari. Oleh karena itu, sebagaimana telah dikemukakan di atas, sumber utama ide adalah masalah dalam peristiwa sehari-hari yang "wah", yang diasumsikan menjadi perhatian banyak orang, dan tentu saja memerlukan solusi. Umumnya hal yang layak ditulis amat tergantang pada fenomena di masyarakat. Fenomena itu bisa dijaring dari berita di media massa, seperti koran, tabloid, majalah, maupun televisi. Bahkan belakangan ini ada koran yang memuat artikel yang penulisananya berangkat dari akumulasi postingan di dunia maya seperti twitter dan face book. Hal lain yang juga dapat dijadikan rujukan menjaring ide adalah hari-hari penting nasional maupun internasional. Ini lebih terbatas, dibanding menjaring ide dari fenomena yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Kelebihannya, penulis dapat menyiapkan tulisannya jauh-jauh hari sebelum masa aktual lewat. Tentu saja seorang penulis, mau tdak mau harus juga seorang pembaca serius. Ada yang mengibaratkan membaca dan menulis seperti meminim air dan berkemih. Makin banyak air yang diminum, makin lancar berkemih. Makin banyak membaca, makin mudah menemukan dan menuangkan ide ke dalam tulisan.

C. Teknis menulis Ada dua hal utama yang perlu mendapatkan perhatian dalam menulis artikel opini. Dua hal tersebut adalah pendekatan dalam menulis, serta panjang kalimat dan paragraf. Tentang pendekatan dalam menulis, ibarat pria dan wanita, realitas sosial selalu menghadirkan dua kutup dikotomis. Pria dan wanita memang berbeda, namun perbedaan itu bukan untuk dipertentangkan, melainkan disinergikan.

Sinergi paling disukai adalah menikah. Membangun rumah tangga harmonis, tanpa perlu kehilangan jati diri. Demikian juga halnya pendekatan dalam menulis. Secara umum terdapat dua pendekatan, yakni pendekatan deduktif dan induktif. Penulisan artikel opini bisa dimulai secara induktif, bisa juga secara deduktif, tergantuang selera penulis. Ibarat pria dan wanita saat masih saling melirik, terserah siapa yang berinisiatif melakukan pendekatan terlebih dahulu. Mungkin pria, tapi tak tertutup kemungkinan juga wanita. Pendekatan deduktif adalah pendekatan dari umum ke khusus. Pendekatan ini bisa dilakukan dengan mengutip hasil penelitian tertentu, teori tertentu, paradigma tertentu, bahkan ayat kitab suci tertentu, bila tema tulisan terkait dengan agama. Sedangkan pendekatan induktif adalah pendekatan dari khusus ke umum. Hal khusus tersebut misalnya data tentang suatu fenomena, berita di media masa, bahkan peristiwa hasil pengamatan penulis dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, pendekatan induktif dan deduktif digunakan secara bergantian, dalam mengisi inti tulisan. Terutama dalam berargumentasi untuk meyakinakn pembaca. Tentu saja sesuai fungsi artikel opini, yakni untuk menghantar pembaca berpikir secara logis dan sistematis. Targetnya, pada akhirnya pembaca dapat paham duduk persoalan, serta menerima kesimpulan maupun saran yang dikemukakan penulis. Tetang panjang kalimat dan paragraf, oleh-oleh yang saya dapatkan dari kegiatan penulisan jurnal dapat dijadikan rujukan awal. Dalam suatu acara pelatihan pengelolaan jurnal yang saya ikuti, seorang guru besar bahasa Indonesia memberikan rumus berikut. Satu kalimat berkisar antara 8 sampai 16 kata. Konon bila lebih dari 16 kata, inti pesananya akan menjadi kabur. Sedangkan tentang paragraf, satu paragraf antara dua sampai lima kalimat. Dengan demikian, pesan makro akan tersampaikan secara relatif utuh. Dengan menata panjang kalimat dan paragraf sebagaimana saran di atas, pilihan kata akan menjadi lebih fokus, dan berdampak positif pada efisiensi dan efektifitas penyampaian pesan. Berikut ini beberapa trik untuk menembus kolom artikel opini koran. 1. Mulailah menulis untuk mengirim ke koran kecil, lokal, atau kolom khusus bagi penulis pemula. 2. Cermatilah basis dan kecenderungan media massa yang akan dijadikan obyek pengiriman artikel, misalnya berbasis agama, aliran agama, idiologi politik, disiplin ilmu, dan sebagainya. 3. Untuk majalah atau tabloid, biasanya telah memiliki rubrik tetap. Pelajarilah rubrik-rubrik itu. 4. Bila tulisan tidak dimuat, simpanlah, karena mungkin suatu saat akan kembali menjadi aktual. 5. Teruslah menulis, sekalipun temanya tidak cukup aktual, agar bila temanya menjadi aktual, telah tersedia tulisan yang siap dipoles untuk dikirim. 6. Editlah sendiri tulisan yang telah jadi. Saya biasanya membaca ulang 3 kali tulisan sebelum dikirim. 7. Bacalah, amatilah, pahamilah, laksanakanlah, bagikanlah secara lisan, sebarkanlah melalui tulisan, lalu tunggulah hasilnya. Karena segala sesuatu ada waktunya. Selamat berlatih menulis opini. Semoga suskes Buku bacaan:

1. Menulis Sebagai Suata Keterampilan Berbahasa, oleh Henry Guntur Tarigan Penerbit Angkasa, Bandung, 1982. 2. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, oleh Mulyadi Guntur Waseso dan Ali Saukah (Penyunting Akhir), Universitas Negeri Malang, 2010.

JEJAK ARTIKEL OPINI KORAN

KURIKULUM MUATAN LOKAL DAN POTENSI DAERAH POS KUPANG, Rabu, 20 Juli 2016 UNDANG-UNDANG RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional antara lain berisi pesan bahwa kurikulum memperhatikan keragaman potensi daerah dan lingkungan (Pasal 36, ayat 3d). Pada bagian lain terdapat pesan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat muatan lokal (Pasal 37, ayat 1 j). Bila diaplikasi secara tepat, sejumlah manfaat dapat diraih dari hadirnya kurikulum muatan lokal berbasis potensi daerah. Tak hanya bagi daerah, juga bagi siswa. Bagi daerah, dapat berfungsi sebagai pelestari potensi daerah sekaligus mendatangkan manfaat ekonomi. Sedangkan bagi siswa, dapat menjadi bekal untuk berkarya setelah menyelesaikan pendidikan. Sebagai contoh, daratan Timor khususnya, dan NTT umumnya, dengan potensi kayu cendana. Kayu cendana yang sempat mengharumkan nama pulau Timor sampai ke berbagai pelosok dunia berabad-abad yang lalu, kini nyaris punah. Melalui kurikulum muatan lokal, tanaman khas daerah ini dapat dilestarikan, bahkan dikembangkan menjadi produk bernilai ekonomi. Demikian juga dengan potensi pertanian, peternakan, pertambangan, bahkan potensi budaya, seperti kain tenun. Hal yang sering ditanyakan dalam diskusi-diskusi tentang kurikulum muatan lokal adalah pada jenjang apa muatan lokal tertentu layak diadakan? SD, SMP, atau SMA? Idealnya, kurikulum muatan lokal ditata sedemikian rupa, sehingga bersifat holistik, mulai dari hulu hingga

hilir. Dalam bahasa ekonomi, dimulai dari proses produksi sampai pemasaran. Meskipun demikian, karena pendidikan untuk siswa, dan bukan siswa untuk pendidikan, maka penerapannya mesti disesuaikan dengan kondisi psikologis-akademik siswa. Sesungguhnya kurikulum muatan lokal apapun dapat dimulai sejak SD. Tentu saja, sebagaimana dikemukakan di atas, isinya disesuaikan dengan tingkat akademik siswa. Ambil contoh kayu cendana. Untuk anak SD, sebaiknya pendidikan lebih difokuskan pada pengenalan potensi daerah kayu cendana, dan praktik menanam dan merawatnya. Hasil penelitian saya tentang kurikulum muatan lokal bertani apel di Kota Batu misalnya, menunjukkan bahwa siswa SD sudah dapat diajak bertani menanam dan memelihara apel. Mereka ternyata sukses bertani, dalam arti apel yang ditanam dapat tumbuh dan berbuah secara wajar, dalam pendampingan orangtua yang adalah petani apel. Singkatnya, dalam hal kayu cendana, sesungguhnya siswa SD sudah bisa diajak menanam cendana di lingkungan rumah dan kebunnya masing-masing, dalam kerja sama dengan orangtua mereka, sebagai wujud dari kurikulum muatan lokal. Tentu saja didahului pengenalan kepada mereka tentang jejak sejarah, potensi ekonomi, dan cara-cara sederhana menanam dan merawat kaya berharga ini. Hal yang relatif sama dapat diberlakukan untuk muatan lokal tanaman lain. Misalnya dalam menanam pohon jati, pohon kelor, dan tanaman bernilai ekonomi lainnya. Begitu pula dalam hal peternakan, misalnya memelihara ayam, sapi, kambing, dan babi. Andaikan banyak siswa SD yang tertarik menanam aneka pohon dan memelihara aneka hewan di rumah sebagai bagian dari kurikulum muatan lokal NTT, dapat dibayangkan pada gilirannya betapa makmurnya provinsi relatif kering itu. Ini baru siswa SD, belum siswa SMP dan SMA. Warga daerah ini tak harus mengadu nasib menjadi TKI, misalnya, dengan berbagai resiko sebagaimana terjadi selama ini. Sementara untuk potensi pertambangan, seperti mangan dan marmer, di SD pun sudah bisa diperkenalkan sebagai potensi yang juga menjanjikan, bila dikelola secara tepat. Paling tidak,

sejak dini warga daerah ini sudah paham akan potensi daerah mereka, dan apa yang kelak dapat mereka lakukan secara bertanggung jawab terhadap potensi anugerah Tuhan itu. Pada jenjang lebih tinggi, baik di SMP maupun SMA, prinsip pendidikan holistik dari hulu ke hilir sudah dapat diterapkan. Siswa sudah dapat diperkenalkan dengan hal-hal lebih spesifik dan rumit, seperti pembibitan, pemberantasan hama penyakit, bahkan pemasaran. Tentu saja, tetap harus disesuaikan dengan kondisi psikologis-akademik siswa. Tetang pengembangan kurikulum muatan lokal, secara teknis ada ilmunya. Di Program Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Malang, misalnya, terdapat matakuliah Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal. Saya termasuk salah satu pengampu matakuliah ini. Sejumlah mahasiswa bahkan menulis skripsi pengembangan, dengan mengambil tema pengembangan kurikulum muatan lokal. Boleh jadi, terdapat program pendidikan di perguruan tinggi di NTT yang juga menyajikan matakuliah ini. Pada prinsipnya, pengembangan kurikulum muatan lokal hendaknya melibatkan ahli disiplin ilmu yang relevan, praktisi di bidang yang relevan, dan tentu saja ahli kurikulum. Serahkanlah pada ahlinya, dan tunggulah hasilnya, atau kepada amatiran dan tuailah kehancurannya. Begitulah substansi pesan antropologi sebagai ilmu sosial, yang menjadi jargon pendidikan masa kini. Salam sukses pendidikan berbasis potensi daerah, lewat kurikulum muatan lokal. Tentu saja, kalau mau.

ANSELMUS J.E. TOENLIOE Dosen Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Malang

FUNGSIONALISASI SISTEM PERSEKOLAHAN KOMPAS, 19 Juli 2011 Satu SD alternatif yang cukup saya kenal tahun ini meluluskan semua siswanya. Namun, bukan kelulusan 100 persen itu yang menarik, melainkan bagaimana SD itu mengelola setiap komponen pendidikannya. Di sekolah itu, setiap lamaran menjadi guru, kapanpun diajukan dan dibutuhkan, akan diproses. Pada tahap pertama, pelamar akan mengikuti tes tertulis. Jika lulus tes tertulis, calon guru diwawancarai. Jika lolos, calon memasuki masa percobaan selama tiga bulan. Pada masa percobaan, calon guru ditempatkan sebagai guru bantu guru senior, dan diikutkan berbagai pelatihan pembelajaran yang diadakan sekolah. Biasanya lebih dari satu guru utama senior yang dibantu, dan pelatihan dilakukan pada hari-hari libur sekolah. Setelah tiga bulan, dilakukan evaluasi oleh sekolah berdasarkan masukan para guru senior ataupun masukan dari keikutsertaannya dalam pelatihan pembelajaran. Hal yang dievaluasi pun holistik, tidak hanya penguasaan materi pelajaran dan strategi pembelajaran, tetapi juga karakter yang diperlukan sebagai guru professional. Jika lolos pada tahap percobaan, ia akan diangkat menjadi guru kontrak selama satu tahun. Selama jadi guru kontrak tahun pertama, ia masih ditempatkan sebagai guru bantu, tetapi hanya berada di bawah pembinaan satu guru utama senior. Evaluasi pada masa kontrak satu tahun dilakukan sejak awal kontrak ditandatangani serta terus dibahas antara guru senior pembina dan manajemen sekolah. Jika lolos masa kontrak tahun pertama, ia akan memasuki masa kontrak tahun kedua. Pada tahap ini, mereka yang terbukti amat berbakat dan berminat menjadi guru profesional ada

yang diangkat menjadi guru utama, terutama jika kondisi lapangan memerlukan, misalnya ada guru utama mengundurkan diri. Proses evaluasi akan terus bergulir. Ada yang akhirnya diangkat menjadi guru tetap karena terbukti konsisten terus berinovasi dalam menjalankan profesi. Ada juga yang diberhentikan setelah tahun kedua atau ketiga karena tidak mengalami perubahan signifikan dalam menjalankan profesi. Kurikulum Holistik Prinsip pengutamaan bakat dan minat serta evaluasi proses yang holistik juga diberlakukan kepada siswa, melibatkan orangtua dan profesional terkait, khususnya psikolog. Sekedar contoh, sekolah ini amat menghargai bakat dan minat anak. Di sekolah tersebut terdapat kegiatan teater. Ketika pengelola kegiatan teater menemukan pengumuman audisi pemeran sebuah film yang ditangani seorang sutradara ternama, siswa teater diikutkan audisi dan ada yang lolos. Dalam hal pelajaran inti pun demikian. Siswa berbakat dan berminat terhadap pelajaran matematika, misalnya, difasilitasi mengikuti berbagai kegiatan lomba matematika di luar sekolah. Mungkin saja ada siswa bermasalah yang akhirnya dikeluarkan dari sekolah karena tak dapat ditangani oleh sekolah di satu pihak dan orangtua tak dapat diajak bekerja sama untuk mengatasi masalah anak di pihak lain. Ini terutama terkait dengan masalah moral anak. Kenyataan ini sekaligus menunjukan bahwa pendidikan karakter jadi bagian integral sistem pendidikan sekolah tanpa harus jadi pelajaran tersendiri. Pengutamaan bakat dan minat siswa dalam pendidikan berimplikasi pada kurikulum. Selain kurikulum inti yang bersumber dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), sekolah juga berusaha menyajikan aneka pelajaran untuk mengakomodasi bakat dan minat siswa di luar kurikulum inti. Olah raga dan seni, misalnya, banyak mewarnai kegiatan siswa di sekolah.

Dalam hal strategi pembelajaran, pengikutsertaan siswa peserta pelajaran teater pada audisi pemain film adalah contoh maksimalnya penerapan strategi pembelajaran di sekolah itu. Pelajaran apapun yang disajikan di sekolah diusahakan berlangsung tuntas sesuai dengan bakat dan minat siswa. Mereka yang berbakat dan berminat besar di bidang tertentu difasilitasi maksimal mengikuti lomba-lomba di luar sekolah. Ini semua bisa berjalan maksimal karena praktis setiap kelas ditangani tiga guru: guru utama dan guru bantu serta guru mata pelajaran untuk pelajaranpelajaran tertentu. Dengan guru yang profesional, siswa yang belajar sesuai dengan bakat dan minatnya, kurikulum yang holistik serta strategi pembelajaran yang tuntas, praktis tak terdapat masalah dalam evaluasi. Saat menjelang ujian nasional (UN), para guru dan siswa memang ikut terkena demam UN. Namun, seluruh komponen sistem yang dibangun kukuh dan fungsional menyebabkan kehadiran UN disambut bak pesta akhir pendidikan yang tak mungkin dan tak boleh bernoda. Apa yang dikemukakan di atas adalah contoh sekolah yang fungsional. Setiap komponen pendidikan-guru, siswa, kurikulum, strategi pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran-dikelola secara sistemik dan tuntas sehingga setiap komponen mendukung berfungsinya komponen lain demi fungsionalnya sistem pendidikan sekolah. Dengan sistem yang fungsional, masalah komponen evaluasi, seperti UN yang tak valid dan tak reliabel terpecahkan dengan sendirinya. Sangkil dan mangkus Yang dilakukan oleh sekolah ini sesungguhnya sesuai dengan standart teori sistem pendidikan. Kalau ingin pendidikan yang sangkil dan mangkus, alias efisien dan efektif, itulah standar bakunya: guru diseleksi secara tepat; siswa belajar sesuai dengan bakat dan minatnya;

kurikulum holistik dan bervariasi untuk mengakomodasi keanekaragaman bakat dan minat siswa; strategi pembelajaran tuntas; serta adanya konsistensi evaluasi proses pembelajaran. Pesan lainnya, sekolah ini dikelola oleh pengelola yang profesional. Pengurus yayasan dan kepala sekolah beserta perangkat pengelola lainnya adalah para profesional yang tidak tersentuh dan tergoda oleh kepentingan politik, sebagaimana dirisaukan berbagai pihak belakangan ini. Belajar dari kasus sekolah tersebut, kalau mau belajar, pemerintah pusat dapat menetapkan secara nasional kerangka normatif pengelolaan sistem pendidikan sekolah. Ini diikuti penyediaan tenaga ahli yang relevan dengan setiap komponen pendidikan – dari guru sampai evaluasi – dan ditempatkan di setiap kabupaten untuk memfasilitasi proses fungsionalisasi setiap komponen pendidikan sekolah berdasarkan kerangka normatif tersebut. Untuk itu, konsep desentralisasi pendidikan perlu direvisi, sebagaimana disarankan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef, (Kompas, 22/6/2011). Konkretnya, dalam hal administratif–termasuk pengadaan dan pembinaan personalia pendidikan–misalnya, digunakan sistem sentralisasi, sementara otonomi hanya dalam hal akademis, terutama dengan memaksimalkan pelaksanaan KTSP. Bukankah secara teoritis KTSP adalah wujud konkrit otonomi pendidikan?

ANSELMUS J.E. TOENLIOE Dosen Jurusan Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Malang

MEMPERSIAPKAN

TENAGA

KERJA

TERAMPIL

MELALUI

PENDIDIKAN

SEKOLAH SURABAYA POST, 27 Februari 1981 Cukup menggembirakan bahwa daya tampung sekolah kita semakin besar sehingga semakin banyak orang dapat mengenyam pendidikan, dari Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, bahkan sampai ke Perguruan Tinggi, serta mencakup semua lapisan masyarakat dari kota sampai ke desa. Walaupun tidak semua orang yang akan bersekolah dapat ditampung, kita masih dapat berlapang dada, karena daya tampung sekolah kita kian hari kian bertambah, dan usaha-usaha tentunya tidak akan dihentikan untuk semakin memperluas daya tampung sekolah tersebut. Hal lain yang patut disyukuri, adalah usaha-usaha yang terus dilakukan untuk semakin meningkatkan mutu pendidikan kita. Penataran-penataran terhadap guru-guru, pengadaan fasilitas untuk meningkatkan mutu interaksi belajar mengajar, serta penataan

kembali Lembaga

Pendidikan Tenaga Kependidikan merupakan bukti dari usaha keras yang telah dan sedang dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan di negara Indonesia tercinta ini. Harus diakui bahwa banyak usaha telah dilakukan dalam pendidikan kita, dan banyak kemajuan telah dicapai, tetapi perlu disadari pula bahwa tak kurang banyaknya kekurangan dan kejanggalan yang masih perlu dipersoalkan untuk dibenahi. Sebuah Persoalan Hasil sementara dari sensus penduduk yang dilakukan beberapa waktu yang lalu menunjukkan bahwa angkatan kerja yang ada di Indonesia pada tahun 1978 berjumlah 54,4 juta orang, dan diperkirakan pada tahun 1981 akan mencapai 59,5 juta orang. Suatu jumlah yang

cukup besar, yang oleh berbagai kalangan dinilai sebagai sebuah sumber kerawanan yang pada suatu waktu dapat mengganggu stabilitas nasional. Untuk memperkerjakan angkatan kerja tersebut pemerintah telah melakukan berbagai usaha, antara lain dengan membuka tempat-tempat latihan tenaga kerja dengan maksud untuk melatih tenaga-tenaga kerja agar menjadi terampil, agar kemudian mereka dapat mencari pekerjaan atau membuka lapangan pekerjaan sendiri, baik di dalam maupun di luar negeri. Hal yang menggelitik pikiran adalah bahwa angkatan kerja tersebut pada umumnya tidak buta huruf dan pernah mengenyam pendidikan di sekolah, walaupun mungkin hanya mencapai tingkat yang rendah. Yang menjadi persoalan: bagaimana menghasilkan tenaga kerja terampil melalui pendidikan di sekolah, agar tidak terjadi, bahwa setelah tamat mereka menjadi penganggur karena tidak memiliki keterampilan yang cukup untuk bekerja. Keadaan Kurikulum Dalam kurikulum sekolah dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas pada pokoknya terdapat tiga program pendidikan, yaitu Program Pendidikan Umum, Program Pendidikan Akademis, dan Program Pendidikan Keterampilan. Program pendidikan yang terakhir ini dimaksudkan untuk mempersiapkan anak dengan keterampilan khusus untuk bekerja seandainya anak tidak melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi. Di antara ketiga program pendidikan di atas, Program Pendidikan Keterampilan yang pada umumnya kurang atau tidak dilaksanakan. Alasannya cukup klasik, karena tak ada tenaga pengajar serta sarana dan prasarana. Alasan tersebut kemudian dikaitkan dengan prinsip fleksibilitas dalam kurikulum yang memperbolehkan peniadaan salah satu program pendidikan dalam kurikulum seandainya kondisi sekolah tidak memungkinkan. Dengan demikian makin kuatlah alasan tersebut, dan makin bertambah sempurnalah ketidaksempurnaan pelaksanaan kurikulum. Akibat Peniadaan

Peniadaan atau pembatasan Program Pendidikan Keterampilan dalam kurikulum sekolah pada dasarnya akan menghilangkan nilai fungsional dari pendidikan di sekolah itu sendiri. Sifat pendidikan di sekolah akan menjadi sangat intelek, dimana sekolah akan menghasilkan lulusan yang tahu banyak tetapi hanya dapat berbuat sedikit. Keadaan sekolah seperti ini akan mengakibatkan dua kenyataan sebagai berikut: Pertama, pendidikan di sekolah akan diorientasikan dan diarahkan pada suatu titik tujuan, yakni pendidikan di Perguruan Tinggi. Setiap orang yang bersekolah akan berusaha untuk mencapai pendidikan di Perguruan Tinggi, karena dalam kenyataannya keluaran Perguruan Tinggi relatif lebih mudah mendapatkan pekerjaan dengan imbalan gaji yang lebih besar dibanding keluaran Sekolah Lanjutan Tingkat Atas sampai Sekolah Dasar, walaupun sering terjadi bahwa pekerjaan yang diperoleh di bangku kuliah. Padahal tidak semua orang dapat masuk ke Perguruan Tinggi, entah karena kemampuan akademisnya rendah, entah karena keadaan ekonominya lemah, atau mungkin karena daya tampung Perguruan Tinggi sendiri yang terbatas. Kedua, urbanisasi akan semakin menjadi-jadi. Anak-anak dari desa yang telah mengenyam pendidikan sampai pada tingkat tertentu akan menjadi segan untuk kembali bekerja di desa sebagaimana keadaan sebelum mereka bersekolah, karena merasa telah bersekolah. Kalaupun mereka kembali bekerja di desa, pengetahuan yang telah mereka peroleh di sekolah tidak banyak berarti bagi mereka. Mereka bahkan mungkin harus belajar untuk mengusai pekerjaan-pekerjaan yang telah mereka tinggalkan selama bersekolah. Menguntungkan bagi anakanak yang tidak bersekolah, karena mereka tetap menguasai dan dapat mengikuti perkembanganperkembangan yang terjadi dalam pekerjaan mereka. Sebagian besar dari mereka yang pernah bersekolah akan berpindah ke kota-kota dan bekerja apa saja sekedar untuk dapat hidup, baik yang halal tetapi tidak jarang yang haram pun dikerjakan. Mereka-mereka yang tidak sampai masuk ke Perguruan Tinggi dan mereka-mereka yang meninggalkan desanya untuk bekerja di kota inilah yang antara lain tercatat sebagai angkatan

kerja, yang nota bene belum memiliki keterampilan khusus yang cukup untuk menjalankan sesuatu pekerjaan. Saran-Saran Nampaknya sudah agak terlambat, karena sekolah-sekolah kita telah terlanjur menelorkan sejumlah besar lulusan yang tidak memiliki keterampilan khusus untuk bekerja. Tetapi pemerintah tentunya sudah mempunyai program untuk mengatasi masalah tersebut. Agar keadaan seperti itu tidak berulang kembali, maka usaha-usaha perlu dilakukan untuk mendorong pelaksanaan Program Pendidikan Keterampilan yang ada dalam kurikulum, dari Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Dalam pusat-pusat latihan tenaga kerja, jenis latihan keterampilan yang disajikan biasanya sudah dikhususkan, dan waktu yang diperlukan oleh para peserta untuk meyelesaikan latihannya berkisar antara 2 sampai 6 bulan, tergantung dari jenis keterampilan yang dipilih oleh peserta. Mekanisme kerja seperti ini mungkin cocok untuk diterapkan di sekolah dalam rangka pelaksanaan Program Pendidikan Keterampilan. Mereka yang perlu mendapatkan latihan keterampilan terutama adalah mereka yang segera akan menamatkan pendidikannya atau mereka yang dapat dipastikan akan putus sekolah dan tidak dapat menamatkan pendidikannya. Dengan demikian setelah mereka keluar dari sekolah, diharapkan mereka dapat mencari pekerjaan atau menciptakan lapangan kerja sendiri sesuai dengan modal keterampilan khusus yang diperolehnya dari sekolah. Seperti telah dikatakan di atas, Program Pendidikan Keterampilan dalam kurikulum sekolah pda umumnya kurang atau tidak dilaksanakan karena tidak tersedianya tenaga guru serta sarana dan prasarana, yang sebenarnya berpangkal pada kurangnya biaya, hal mana memang ada benarnya. Seorang tenaga yang ahli dalam bidang keterampilan, akan memilih menjadi guru pada kursus-kursus keterampilan yang tersebar luas di mana-mana dengan imbalan gaji yang aduhai, daripada menjadi guru di sekolah dengan imbalan gaji yang biasanya jauh lebih kecil. Demikian

halnya dengan sarana dan prasarana, pengadaan sarana dan prasarana untuk pendidikan keterampilan memerlukan biaya yang tidak sedikit, yang selalu sulit dijangkau oleh sekolah. Kalau memang dapat diterima bahwa kurangnya biaya merupakan sebab utama tidak dilaksanakannya Program Pendidikan Keterampilan dalam kurikulum, maka pemerintah perlu menyediakan biaya tersebut. Dalam Rancangan Anggaran Belanja Negara periode ini, sektor pendidikan mendapat bagian yang cukup besar. Sudah seyogyanya dari anggaran tersebut disisihkan pula untuk mewujudkan pendidikan keterampilan di sekolah-sekolah. Untuk melaksanakan Program Pendidikan Keterampilan dalam kurikulum memang diperlukan biaya. Tetapi sambil menunggu biaya yang mungkin disediakan oleh pemerintah, bila sekolah mau sedikit berusaha dan bersusah-susah mungkin masalah biaya dapat diatasi. Caranya ialah dengan mengadakan kerjasama dengan pusat-pusat latihan tenaga kerja serta pusat-pusat penghasil barang-barang keterampilan. Dengan yang pertama, kerjasama dilakukan dengan mengirim anak-anak untuk belajar di sana sesuai dengan kurikulum yang berlaku di sana. Syukur kalau cuma-cuma, tetapi kalaupun perlu membayar, perlu diusahakan untuk membayar semurahmurahnya sesuai dengan kemampuan sekolah. Dengan yang kedua, sekolah mengirimkan anakanaknya untuk membantu pekerjaan-pekerjaan di sana, dengan imbalan kepada anak-anak diajarkan cara kerja untuk menghasilkan barang-barang keterampilan tersebut. Kerjasama seperti ini menuntut hubungan baik antara sekolah dengan pusat-pusat latihan tenaga kerja serta pusatpusat penghasil barang-barang keterampilan, di samping kesadaran yang tinggi dari pusat-pusat latihan tenaga kerja serta pusat-pusat penghasil barang-barang keterampilan untuk bekerja sama dengan sekolah. Kalau hanya dipikirkan nampaknya sulit untuk dilaksanakan, tetapi mungkin tidak sesulit yang dibayangkan bila mulai diusahakan. Mungkin saja!

Related Documents


More Documents from "Nuarrizki Candra Kusuma"