Khitosan

  • Uploaded by: donny saputra
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Khitosan as PDF for free.

More details

  • Words: 3,496
  • Pages: 22
1

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kayu telah menjadi bagian dari kehidupan manusia, karena kayu telah banyak digunakan sebagai alat perlengkapan sehari-hari. Kayu sebagai bahan bangunan mempunyai kelebihan dibanding bahan bangunan lainnya, tersedia hampir di seluruh dunia yang mudah diperoleh dalam berbagai bentuk dan ukuran, secara alami mempunyai penampilan yang sangat dekoratif, serta beratnya relatif ringan (Batubara, 2006). Sekitar 4000 jenis kayu di Indonesia hanya sekitar 15-20 % saja kayu yang termasuk kelas awet tinggi (kelas awet I dan II) sedangkan sisanya sekitar 80-85 % termasuk kelas awet rendah (kelas awet III, IV dan V). Maka dari itu perlu dilakukan langkah untuk pengawetan pada kayu yang tergolong kelas awet rendah tersebut yang jumlahnya cukup besar. Melalui usaha ini diharapkan dapat memperpanjang umur dan masa pakai kayu untuk keperluan konstruksi dan keperluan lainnya menjadi meningkat (Batubara, 2006). Kayu merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui dan tersedia dalam berbagi macam spesies. Namun, salah satu sifat kayu yang tidak menguntungkan adalah kepekaan terhadap faktor perusak kayu, baik faktor biotik maupun non biotik. Faktor biotik perusak kayu antara lain adalah jamur, bakteri, serangga dan cacing laut. Faktor perusak kayu non biotik meliputi pengaruh mekanis, kimia dan fisis pada kayu. Keawetan kayu diartikan sebagai daya tahan kayu terhadap serangan faktor perusak kayu dari golongan biotik (Batubara, 2006). Tingkat keawetan 1

2

kayu merupakan suatu nilai yang pasti yang berlaku untuk membuat pembagian Kelas Awet kayu. Pengawetan kayu merupakan suatu cara untuk meningkatkan keawetan kayu terhadap serangan faktor biologis penyebab kerusakan kayu. Caranya adalah dengan memasukan bahan kimia beracun dengan dosis tertentu ke dalam kayu, sehingga mengganggu kehidupan biotis faktor perusak kayu. Penerapan pengawetan kayu secara modern di Indonesia masih dianggap

belum

memasyarakat

karena

pada

umumnya

masyarakat

berpendapat mengawetan kayu berarti menambah biaya dan kurang ramah lingkungan. Salah satu cara untuk menekan biaya pengawetan kayu adalah mengganti bahan pengawet yang mahal dengan bahan pengawet yang murah dan ramah lingkungan, yaitu dengan memanfaatkan limbah cangkang udang yang dapat dijadikan sebagai bahan pengawet kayu. Pertimbangan memakai limbah cangkang udang sebagai bahan pengawet kayu adalah karena harga lebih murah, mudah didapat dan tersedia cukup banyak. Udang merupakan komoditas andalan dari sektor perikanan yang umumnya diekspor dalam bentuk beku. Produksi udang dari tahun ketahun mengalami peningkatan khususnya di Negara Indonesia. Dari data yang didapatkan pada tahun 2004 banyaknya limbah cangkang udang yang dibuang 633,681 ton dan pada tahun 2006 sebanyak 743,486 ton sedangkan pada tahun 2007 sebanyak 895,675 ton (Prasetiyo, 2000). Peningkatan produksi udang tersebut berdampak terhadap peningkatan limbah (bagian kulit dan kepala).

3

Jika limbah tersebut tidak ditangani secara baik maka akan dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan karena selama ini pemanfaatan limbah cangkang udang hanya sebatas untuk pakan ternak sebagai bahan pelengkap makanan seperti itik, bahkan sering dibiarkan terbuang. Cangkang udang mengandung zat khitin sekitar 99,1 %, jika cangkang udang diproses lebih lanjut dengan melalui beberapa tahap yaitu demineralisasi, deproteinisasi dan deasetilisasi maka akan menghasilkan khitosan. Khitosan memiliki sifat larut dalam larutan asam organik tetapi tidak larut dalam pelarut organik lainnya seperti dimetil sulfoksida dan juga tidak larut pada pH 6,5. Sedangkan pelarut khitosan yang baik adalah Asam Asetat, (Prasetiyo, 2000). Aplikasi khitosan sebagai bahan pengawet kayu terbukti efektif untuk menghambat pertumbuhan jamur pelapuk kayu dan beberapa jenis jamur lainnya,

serta

meningkatkan

derajat

proteksi

kayu

terhadap

rayap

(Prasetiyo, 2000). Dari sisi kualitas kayu karet cukup baik digunakan sebagai bahan konstruksi. Ditambahkan lagi potensinya yang cukup besar melalui peremajaan tanaman karet pada perkebunan. Dengan memanfaatkan kayu karet sebagai bahan konstruksi, maka pemanfaatan kayu karet sisa peremajaan bisa ditingkatkan. Hal ini sekaligus bisa mengurangi pemakaian kayu yang sudah dikenal untuk berbagai keperluan bangunan. Dengan demikian dapat dikurangi jumlah dari eksploitasi kayu di hutan alam.

4

Untuk meningkatkan keawetan kayu, sudah dilakukan sejak dulu dengan bermacam-macam cara dan teknologi pengawetan serta berbagai macam bahan pengawet dengan harapan dapat memperoleh hasil yang semakin baik. Sebelum

dilakukan pengawetan kayu, hal pokok yang perlu

diperhatikan adalah keterawetan kayu dengan menggunakan pengawet khitosan, dimana keterawetan kayu dapat diketahui dengan cara mengukur penetrasi, absorbsi dan retensinya. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka dalam penelitian ini diajukan alternatif baru yaitu untuk mengetahui pengaruh konsentrasi larutan khitosan terhadap retensi, penetrasi dan keawetan kayu karet (Hevea brasiliensis Muel Arg) yang diawetkan secara rendaman dingin.

B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pengaruh konsetrasi larutan khitosan terhadap penetrasi dan retensi larutan pada kayu karet (H. brasiliensis). 2. Untuk mendapatkan konsentrasi larutan khitosan yang sesuai untuk pengawetan kayu karet (H. brasiliensis). 3. Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi larutan khitosan terhadap keawetan kayu karet (H. brasiliensis).

5

C. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat para pengguna maupun perusahaan yang mengunakan produk kayu karet (H. brasiliensis), juga sebagai bahan acuan dalam memilih dan memakai bahan pengawet kayu.

6

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengawetan Kayu 1. Pengertian dan Tinjauan Umum Pengawetan Kayu Keterawetan kayu adalah kemampuan kayu untuk ditembus oleh bahan pengawet, sampai mencapai retensi dan penetrasi tertentu untuk mencegah faktor perusak kayu. Pengawetan kayu adalah proses pemasukan bahan kimia atau perlakuan fisik terhadap kayu untuk meningkatkan keawetannya dan memperpanjang masa pakai (service life) kayu (Rudi, 2002). Keawetan alami kayu ditentukan oleh zat ekstraktif yang bersifat racun terhadap organisme perusak. Dalam hal ini tiap jenis kayu mempunyai zat ekstraktif yang berlainan. Salah satu kekurangan kayu adalah dapat dirusak oleh organisme hidup seperti jamur, serangga dan binatang laut yang hidup merombak komponen utama pembentuk kayu seperti lignin dan selulosa, serta menurunkan kekuatan kayu. Mereka menggerek kayu sebagai makanan maupun tempat tinggal. Usia pakai kayu tergantung kepada kelas awet kayu terhadap faktor perusak (Batubara, 2006). Tabel 1. Pembagian kelas awet kayu Kelas Awet I II III IV V

Kategori Sangat awet Awet Kurang awet Tidak awet Sangat tidak awet

Kehilngan berat (%) <1,0 1,0-5,0 5,1-10,0 10,1-30,0 >30.0

Umur pakai kayu ( Th ) >10 5-10 5-10 2-5 <2

Sumber : Cartwright dan findlay (1958) dalam Wistara dan Sayekti (2001)

6

7

Padlinurjaji dalam Permadi (2004), mengatakan secara garis besar tujuan pengawetan kayu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: a. Tindakan pengawetan yang bertujuan untuk mempertahankan kayu sebagai bahan baku. b. Tindakan pengawetan yang bertujuan untuk mempertinggi hasil produksi, dalam hal ini meningkatkan daya tahan kayu terhadap kemungkinan kerusakan kayu, sehingga kayu dapat dipergunakan lebih lama atau bahkan dapat memenuhi persyaratan untuk pengunaaan. Menurut Martawijaya (1972), Manfaat pengawetan kayu adalah: a. Jenis kayu yang kurang awet, yang tadinya kurang dipakai dapat digunakan dengan baik, dalam hal ini berarti memanfaatkan sumber daya alam secara efisien. b. Memperpanjang masa pakai kayu yang berarti menghemat. c. Kayu yang diawetkan dapat menggantikan kayu yang benilai ekspor. d. Dengan

adanya

industri

pengawetan

kayu

memungkinkan

bertambahnya kesempatan kerja sehingga dapat membantu masalah pengangguran. Beberapa cara mengawetkan kayu sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1950-an, diantaranya pelaburan, pencelepun, rendaman dingin dan rendaman panas-dingin (Rudi, 2002).

8

2. Pengawetan Kayu Secara Rendaman Dingin Pengawetan dengan metode rendaman dingin termasuk metode tanpa tekanan, pengawetan dengan metode rendaman merupakan metode yang sederhana. Kelebihan dari metode rendaman dingin antara lain alat-alat yang digunakan sederhana, dan mudah mengerjakannya (Duljapar, 1996). Pada metode rendaman ini absorbsi paling cepat terjadi pada dua atau tiga hari pertama, tetapi akan berlangsung terus dengan lambat selama waktu yang tidak terbatas Hunt dan Garrat, (1986). Oleh sebab itu mungkin lama kayu dapat tetap dalam larutan, makin baik hasil pengawetan yang diperoleh. 3. Bahan Pengawet Kayu Bahan pengawet adalah senyawa kimia yang dimasukkan ke dalam kayu sehingga meningkatkan ketahanan kayu dari serangan organisme perusak (SNI 03-5010.1-1999). Keawetan kayu akan meningkat bila bahan pengawet yang digunakan bersifat racun atau menolak terhadap organisme perusak kayu. Bahan pengawet kayu harus mempunyai sifat seperti berikut: a. Mempunyai daya racun yang tinggi terhadap organisme perusak kayu. b. Bahan kimia yang digunakan harus mempunyai persenyawaan yang mantap dan tidak boleh kehilangan daya racun.

9

c. Tidak boleh bereaksi dengan bahan yang berhubungan dengannya yang menyebabkan karat atau noda serta mengurangi daya racun bahan pengawet tersebut. d. Harus aman dipakai dan tidak boleh membahayakan manusia dan hewan peliharaan. e. Bersih dalam pemakaian dan tidak boleh mencemarkan makanan dan lingkungan. f. Kayu yang telah diawetkan harus tetap dapat diwarnai atau divernis seperti halnya kayu yang tidak diawetkan. Duljapar (1996) menyatakan, secara garis besar bahan pengawet kayu dapat menjadi tiga golongan besar pengelompokan yang didasarkan cara pemakaian, yaitu: 1) Bahan pengawet berupa minyak (oil perservatives) seperti creosote, carbolineum dan sebagainya. 2) Bahan pengawet larut minyak (organic solvent type/oil born perservatives) seperti penthachlrophenol dan coppernaphenenate, dieldrin dan sebagainya. 3) Bahan pengawet kayu larut air (water-born perservatives) seperti garam-garam wolman, Asam borat, tanalith dan lain-lain. 4. Retensi dan Penetrasi Retensi adalah banyaknya bahan pengawet yang masuk kedalam kayu, yang dinyatakan dalam kg/m3. Penetapan retensi dapat dilakukan

10

dengan cara penimbangan, pembacaan skala, analisa kimia atau pendugaan secara teoritis (Barly dan Abdurrohim,1982). Penetrasi adalah dalamnya penembusan bahan pengawet dalam kayu dinyatakan dalam mm (SNI 03-5010.1-1999). Persyaratan retensi dan penetrasi bahan pengawet yang dicapai dipengaruhi oleh tipe bahan pengawet, jenis kayu yang diawetkan, cara pengawetan dan keadaan kayu yang diawetkan. Retensi standar sesuai dengan

tujuan

pemakaian

dan

kebutuhan

(Martawijaya,

1972),

sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Standar Retensi Bahan Pengawet Sesuai dengan Kebutuhan No. Tujuan 1. Konstruksi dibawah atap 2.

Kebutuhan 5 – 6 kg/m3

Konstruksi diluar atap dan tidak kontak langsung

8 kg/m3

dengan tanah 3.

Konstruksi kontak dengan tanah

12 kg/m3

4.

Konstruksi diluar, kontak dengan tanah dan air

16 kg/m3

5.

Konstruksi diluar dan kontak langsung dengan air

24 kg/m3

Sumber : (Martawijaya, 1972)

Pada

prinsipnya

umur

pemakaian

kayu

yang

diawetkan

dipengaruhi oleh jumlah bahan pengawet yang masuk kedalam kayu (retensi) dan dalamnya bahan pengawet yang masuk kedalam kayu (penetrasi) (Martawijaya, 1972).

Tabel 3. Klasifikasi penembusan (penetrasi) bahan pengawet pada suatu

11

jenis kayu No. 1. 2. 3. 4.

Kelas A (Baik) B (Sedang) C (Kurang) D (Sangat Kurang)

Dalam Penembusan (mm) >15,7 10,4 – 15,7 4,9 - 10 <4,9

Sumber : (Martawijaya, 1972)

B. Keterangan Tentang Khitosan Khitosan didapat dari kitin melalui proses deasetilisasi, sedangkan kitin diperoleh melalui proses demineralisasi dan deproteinasi. Demineralisasi yaitu proses penghilangan mineral yang terkandung oleh kulit udang. Setelah melalui proses dimineralisasi yaitu selanjutnya dengan tahap deproteinasi yaitu proses penghilangan protein yang dikandung oleh udang. Protein yang didapat dalam kulit udang akan terekstrak. Setelah khitin didapat maka akan dilakukan tahap akhir yaitu, deasetilisasi yaitu tahap penghilangan gugus asetil (COCH3) terhadap produk khitin dengan menambahkan larutan sodium hidroksida pekat (NaOH) 50% pada suhu tertentu selama satu jam (Arlius, 1991). Setelah proses deasetilisasi dilalui maka baru didapatkan khitosan. Khitosan dapat larut dalam pelarut organik lainnya seperti dimetil, sulfoksida dan tidak larut dalam air pada PH 6,5. Pelarut yang baik untuk khitosan adalah asam asetat dengan konsentrasi 1-2 % (Arlius, 1991).

Tabel 4. Standar Khitosan Menurut Protan Laboratories

12

No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Sifat Ukuran Partikel KA (% Berat Kering) Kadar Abu (% Berat Kering) Derajat Disterilisasi Warna Larutan Visikositas - Rendah - Medium - Tinggi - Ekstrak Kering

Parameter Butiran/ bubuk ≤ 10 % ≤2% ≥ 70 % Jernih < 200 200 – 799 800 - 2000 > 2000

Sumber : Chandrkrachang et al (1991)

C. Aplikasi Khitosan Sebagai Bahan Pengawet Kayu Aplikasi khitosan sebagai bahan pengawet kayu terbukti efektif untuk menghambat pertumbuhan jamur pelapuk kayu dan beberapa jenis jamur lain, seperti Fusarium oxysporum dan Rhizoctania solani, serta meningkatkan derajat proteksi kayu terhadap rayap kayu kering dan rayap tanah. Bahkan, kayu yang diawetkan dengan khitosan dengan metode perendaman teksturnya menjadi lebih halus (Prasetiyo, 2000). Ini sesuai dengan sifat khitosan yang dapat membentuk lapisan film yang licin dan transparan. Hal tersebut menunjukkan bahwa khitosan memiliki potensi sebagah bahan finishing yang mampu meningkatkan tekstur permukaan kayu. Untuk kayu-kayu berwarna terang, seperti, sengon, ramin, dan pinus, pengawetan dengan khitosan dapat meningkatkan penampilan kayu dalam hal warna kayu menjadi lebih terang. Perubahan warna tersebut disebabkan oleh zat warna (Prasetiyo, 2000).

karotenoid yang

terdapat pada udang

13

Dari segi lingkungan penggunaan khitosan sebagai bahan pengawet kayu relatif aman karena sifatnya yang non toxic dan biodegradable. Sebab selama ini bahan pengawet yang sering digunakan merupakan bahan kimia beracun yang kurang ramah lingkungan. Dari sisi ekonomi pemanfaatan khitosan dari limbah cangkang udang untuk bahan pengawet kayu sangat menguntungkan, karena bahan bakunya berupa limbah dan berasal dari sumber daya lokal (Prasetyo, 2000).

D. Risalah Kayu Karet (Hevea brasiliensis Muel Arg) Kayu karet (H. brasiliensis) termasuk famili Euphorbiaceae, dan sering juga disebut para atau balam perak (Martawijaya, 1972). Tanaman ini banyak ditemukan pada perkebunan-perkebunan besar dan perkebunan rakyat di Sumatera, Jawa dan Kalimantan untuk diambil getahnya. Potensi kayu karet untuk diolah sebagai bahan baku industri cukup besar. Luas tanaman karet pada tahun 1997 sekitar 3.4 juta hektar. Jika setiap tahunnya dapat diremajakan 3 persen saja dari perkebunan besar dan 2 persen dari perkebunan rakyat, maka akan diperoleh sekitar 2.7 juta m3/tahun, (Boerhendhy et al, 2003). Menurut klasifikasi lembaga penelitian hasil hutan, kayu karet termasuk kelas II – III, dan berat jenis antara 0,55 – 0,70. Sifat-sifat kayu karet antara lain mempunyai bau amis yang karakteristik, mudah digergaji dan mempunyai karakteristik pelekatan yang baik dengan semua jenis perekat. Sifat yang khas dari kayu karet adalah warnanya yang putih kekuningan ketika

14

baru dipotong, dan akan menjadi kuning pucat seperti warna jerami setelah dikeringkan. Selain warna yang menarik dan tekstur yang mirip dengan kayu ramin dan perupuk yaitu halus dan rata, kayu karet sangat mudah diwarnai (Boerhendhy et al, 2003).

E. Pengujian Keawetan Alami Kayu Pengujian keawetan alami kayu terhadap faktor perusak kayu golongan biologis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu cara laboratorium dan cara dikubur (grave yard test), (Duljapar, 1996). Pengujian dengan metode penguburan dilapangan merupakan cara pengujian keawetan terbaik. Jasad-jasad perusak kayu seperti rayap dan cendawan tidak terikat pada suatu kerusakan menyerang jenis kayu yang ada. Dengan cara ini maka jasad perusak kayu diberi kebebasan untuk memilih, sehingga terhadap faktor perusak kayu (Martawijaya dan Kartasudjana, 1986). Pengujian dengan cara penguburan contoh uji dipengaruhi oleh faktor kesukaan rayap tempat pengujian, sehingga ada kemungkinan kayu yang tidak disukai tidak diserang oleh rayap. Bila makan kesukaan rayap ditempat pengujian tersedia dalam jumlah banyak, maka kemungkinan rayap tidak akan menyerang selama persediaannya masih ada (Hunt dan Garratt, 1986).

15

A. Cara

pembuatan

khitosan

melalui

beberapa

tahap

menurut

(Prasetiyo, 2000): 1. Demineralisasi Limbah cangkang udang dicuci dengan air mengalir, dikeringkan dibawah sinar matahari sampai kering, lalu digiling sampai menjadi serbuk ukuran 40-60 mesh. Kemudian dicampur asam klorida (HCl) 1,25 N dengan perbandingan 10:1 untuk pelarut dibanding kulit udang, lalu dipanaskan pada suhu 90°C selama satu jam. Residu berupa padatan dicuci dengan air sampai pH netral dan selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 80°C selama 24 jam. 2. Deproteinisasi Limbah udang yang telah dimineralisasi kemudian dicampur dengan larutan sodium hidroksida (NaOH) 3,5 % dengan perbandingan antara pelarut dan cangkang udang 6:1. Selanjutnya dipanaskan pada suhu 90°C selama satu jam. Larutan lalu disaring dan didinginkan sehingga diperoleh residu padatan yang kemudian dicuci dengan air sampai pH netral dan dikeringkan pada suhu 80°C selama 24 jam. 3. Deasetilisasi kitin menjadi kitosan Khitosan dibuat dengan menambahkan sodium hidroksida (NaOH) 60 % dengan perbandingan 20:1 (pelarut dibanding khitin), lalu dipanaskan selama 90 menit dengan suhu 140°C. Larutan kemudian disaring untuk mendapatkan residu berupa padatan, lalu dilakukan

16

pencucian dengan air sampai pH netral, kemudian dikeringkan dengan oven suhu 70°C selama 24 jam. Untuk mendapatkan larutan, padatan khitosan dimasukkan ke dalam larutan asam asetat (CH3COOH) 50 % dengan perbandingan 1:2 (khitosan : larutan), lalu dipanaskan dalam suhu 80 - 120°C selama 1 jam untuk melepaskan gugus asetil. 1. Penentuan Kadar Air Prosedur untuk menentukan kadar air contoh uji dilakukan sebagai berikut: 1. Contoh uji ditimbang untuk menentukan berat awal. 2. Dikeringkan dalam oven pada suhu 103o C. 3. Contoh uji dimasukkan ke dalam desikator selama 10 menit (sampai berat stabil). 4. Setelah dikeringkan contoh uji ditimbang. 5. Kadar air dihitung dengan rumus:

Dimana: KA

= Kadar air (%)

B0

= Berat awal contoh uji (gram)

B1

= Berat kering tanur (gram)

17

2. Persiapan Larutan Bahan Pengawet Bahan pengawet khitosan berbentuk butiran-butiran kecil berwarna kemerah-merahan dan larut dalan asam asetat. Kemudian disiapkan larutan dengan kosentrasi A1 : 0 %, A2 : 2 %, A3 : 4 %, A4 : 6 %, A5 : 8 %,

A6

: 10 %. Wadah perendaman terbuat dari seng plat dengan ukuran panjang 32 cm, lebar 13 cm dan tinggi 22 cm, digunakan untuk merendam 4 buah contoh uji, total volume rendaman yang diinginkan dengan tinggi 15 cm adalah 6.240 cm dan volume kayu yang diawetkan adalah 5x5x30 sebanyak 4 (empat) buah sampel adalah 2.250 cm3. Larutan pengawetan yang dibutuhkan adalah 6.240 cm - 2.250 cm = 3.990cm3 Jumlah bahan pengawet yang dibutuhkan dihitung berdasarkan rumus: Jumlah Bahan Pengawet (gr) = C x 3.990 (cm) x ( 1 % bahan aktif) Dimana C = kosentrasi (%) % bahan aktif pengawet khitosan adalah 2%

Proses atau cara perendaman sampel kayu pada masing-masing perlakuan adalah sebagai berikut: a. Kayu terlebih dahulu dipotong sesuai dengan ukuran sampel uji, setelah itu bagian ujung kayu dilumuri dengan cat. b. Kayu dimasukan kedalam bak pengawetan c. Kedalam bak pengawet ditambahkan atau dimasukan larutan khitosan Gambar 3.

18

Gambar 3. Bak pengawetan contoh uji dengan rendaman dingin.

B. Pengamatan 1. Penentuan Kadar Air dan Kerapatan Kayu Karet Penentuan sifat dasar kayu (kadar air dan kerapatan) dilakukan dengan menggunakan contoh uji, urutan kerjanya adalah sebagai berikut: a. Contoh uji dikeringkan sampai mencapai kering udara, kemudian ditimbang beratnya sampai mendapat berat yang tetap (BB). b. Contoh uji dimasukan ke oven dengan temperatur 103o C ± 2o C, lalu contoh uji ditimbang berulang-ulang sehingga diperoleh berat yang tetap(Bkt) setelah dimasukkan dalam desikator, kemudian diukur tebal, lebar dan panjangnya sehingga didapat volume kering tanur contoh uji (Vkt). Nilai kadar air dan kerapatan contoh uji diperoleh dengan rumus berikut :

Keterangan:

19

BB

: Berat basah

Bkt

: Berat kering tanur

Vkt

: Volume kering tanur

2. Penentuan Kehilangan Berat dan Kehilangan Volume Untuk mengetahui jumlah kehilangan berat dan kehilangan volume dari hasil penilaian secara kuantitatif dengan menggunakan rumus:

3. Penentuan Nilai Absorbsi, Retensi dan Penetrasi A. Pengukuran Absorbsi Absorbsi adalah suatu ukuran yang mengambarkan banyaknya cairan pengawet yang dapat dikandung oleh kayu setelah diawetkan. Sebelum proses pengawet, contoh uji disimpan pada suhu kamar sampai kering udara. Kemudian dihitung volume contoh uji (Vk) yang merupakan hasil perkalian antara panjang, lebar dan tebalnya. Lalu diukur volume cairan pengawet sebelum proses pengawetan (Vo) dilakukan dan mengukurnya kembali setelah proses pengawetan selesai dilakukan (Va). Selisih antara volume larutan pengawet itulah yang merupakan banyaknya larutan pengawet yang masuk kedalam

20

kayu. Banyaknya cairan yang diserap oleh kayu tersebut kemudian dihitung sehingga didapat nilai absorbsi.

B. Penentuan Penetrasi Untuk menentukan dalamnya penetrasi bahan pengawet, sebelumnya contoh uji tersebut dipotong menjadi 4 bagian dengan masing-masing ukuran 5 cm x 5 cm x 5 cm. Cara pemotongan sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 4 berikut.

Gambar 4. Pembagian contoh uji penetrasi Bidang-bidang pemotongan pada gambar diatas disimbolkan dengan huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i dan j. Sedangkan bagian-bagian pemotongan disimbolkan dengan I. II, III, IV, V dan VI. Bagian bidang penembusan yang akan diukur adalah a, b, c, d, e, f, g, h, i dan j. Pola pengukuran penetrasi bahan pengawet dapat dilihat pada Gambar 5 :

21

Gambar 5. Pola pengukuran penetrasi Keterangan: a. Bagian kayu yang dimasuki bahan pengawet. b. Bagian kayu yang tidak dimasuki bahan pengawet. Uji

penetrasi khitosan dilakukan dengan menyemprotkan

larutan pereaksi 2 gr ekstrak curcuma dalam 100 ml alkohol pada salah satu bidang potong, kemudian didiamkan beberapa saat disemprotkan larutan pereaksi 80 ml ditambah 20 ml HCl yang dijenuhkan dengan Asam silsilat. Adanya penembusan bahan pengawet ditunjukkan dengan adanya warna coklat yang menunjukan kedalaman bahan pengawet tersebut masuk kedalam kayu. Setiap sisi kayu diukur dalamnya penembusan dan nilai penembusannya merupakan rata-rata dari empat kali pengukuran bagian tengah sisinya. Selanjutnya penetrasi (P) dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :

C. Penentuan Retensi Contoh uji diangkat dari bak yang berisi khitosan, kemudian ditimbang beratnya sehingga diperoleh berat akhir (Ba) dan nilai retensinya dapat diketahui dengan mengunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan :

22

R C V W1 W0

: Retensi bahan pengawet (g/cm3) : Kosentrasi bahan pengawet yang diawetkan (%) : Volume Contoh uji (m3) : Berat contoh uji sesudah diawetkan (g) : Berat contoh uji sebelum diawetkan (g)

C. Pengujian Keawetan Contoh uji ditanam sedalam 20 cm ke dalam tanah dan menonjol diatas permukaan tanah sepanjang 10 cm dengan jarak 30 cm antara contoh uji satu dengan yang lainya. Sebelum dikubur ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui berat awalnya. Setelah penguburan mencapai ± 1 bulan contoh uji dibongkar kemudian dibersihkan selanjutnya ditimbang untuk mengetahui kehilangan beratnya berdasarkan Berat Kering Tanur. Dengan membandingkan nilai kehilangan berat dengan berat awal dan dinyatakan dalam persen, diperoleh persentase kehilangan beratnya. Tingkat ketahanan contoh uji terhadap rayap (Tabel 6) mengacu kepada klasifikasi Sornnuwat (1996), untuk uji memilih (Choice test).

Tabel 6. Klasifikasi Ketahanan Contoh Uji Terhadap Rayap No. 1. 2. 3. 4. 5.

Kehilangan Berat Contoh Uji

Tingkat Ketahanan

0 1 - 15 16 - 40 41 - 75 > 75

Sangat Tahan Tahan Cukup Tahan Rentan Sangat Rentan

Selisih antara berat sebelum dan sesudah dikubur dicatat, kemudian dibagi dengan kerapatan kayu untuk mengetahui nilai kehilangan volumenya.

Related Documents


More Documents from "donny saputra"