Ketikan.docx

  • Uploaded by: Dalton Fidel tabeo'Lawadang
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ketikan.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,137
  • Pages: 11
BAB I PENDAHULUAN A.

LATAR BELAKANG Dalam kehudipan sehari-hari sering kita jumpai berbagai macam penyakit yang membahayakan kehidupan manusia

BAB II TIJAUAN PUSTAKA

1.

Tuberkulosis Paru (Tb Paru) a. Defenisi Penyakit Tuberkulosis paru (Tb paru) adalah nama penyakit infeksius, yang terutama menyerang penyakit parenkim paru. Nama tuberkulosis berasal dari tuberkel yang berarti tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu sistem kekebalan membangun tembok mengelilingi bakteri dalam paru. Tb paru ini bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. Tb paru dapat menular melalui udara, waktu seseorang dengan Tb aktif pad paru batuk, bersin atau bicara. Gejala utama dari pasien Tb adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala, gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain Tb, seperti bronkiektasis, bronchitis kronis, asthma, kanker paru dan lain-lain (Suradi,2013). b. Etiologi Penyebab dari penyakit ini adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis termasuk dalam genus mycrobacteria. Mycobacterium adalah kamuan aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang non motil, habitatnya di tanah, linkungan akuatik air, binatang dan manusia. Mycobacterium sekeluarga denganCorynebacterium dan Actimomycetes (Nester,2001). Bakteri ini beurkuran lebar 0,3-0,6 mm dan panjang 1-4 mm. Dinding M. Tuberculosis sangat kompleks dan teridri dari lapisan lemak yang cuckup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M. Tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut card factor dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60-C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. Tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam alkohol. Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. Tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi monoklonal (PDPI,2002)

2.

human immunodeficiency virus (HIV) a. Defenisi Penyakit Human immunodeficiency virus (HIV) adalah virus golongan Rubonucleat Acid (RNA) yang spesifik menyerang sistem kekebalan tubuh/imunitas manusia dan menyebabkan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) (Titiek Nuraeni,2011).

Acquired immunodeficiency syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV (Sudikno,2011). Menurut Deokes RI (2003), defenisi HIV yaitu virus yang menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Gejala-gejala timbul tergantung dari infeksi oportunistik yang menyertainya. Infeksi oportunistik terjadi karena menurunnya sistem imun tubuh akibat infeksi HIV tersebut. b. Etiologi Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) disebabkan oleh virus yang disebut HIV. Virus ini ditemukan oleh Montagnier, seorang ilmuwan Perancis (Institute Pasteur, Paris 83)........................ Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab AIDS. Virus ini termasuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Ciri khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk silinder dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit. Suatu protein replikasi fase awal yaitu protein tat berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk menentukan virulensi dar infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkip virus yang terlepas dari nukleus. Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang lain (Brooks,2005) B. MANIFESTASI ATAU GEJALA KLINIK PENYAKIT 1. Tuberkulosis Paru (Tb Paru) Gejala utama pasien TB paru adalah bauk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Betuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala, gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain Tb, seperti bronkiektasis, bronchitis kronis, asthma, kanker paru dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Depkes,2007) Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori. 1. Gejala respiratori sangat bervariasi dari mulai tidak bergejala sampai gejala yang cukup berat bergantung dengan luas lesi. Gejala respiratorik terdiri dari : a. Batuk produktif lebih dari 2 minggu b. Batuk darah

2.

2.

c. Sesak nafas d. Nyeri dada Gejala siskemik, yang timbul dapat berupa: a. Demam b. Keringat malam c. Anoreksia d. Berat badan menurun (PDPI, 2011)

Human Immunodeficiency Virus (HIV) Menurut KPA (2007) gejala klinis teridir dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum terjdi) dan gejala minor (tidak umum terjadi).  Gejala mayor: a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan b. Diare kronis yang berlangsung lenih dari 1 bulan c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan d. Penuruna kesadaran dan gangguan neurologis e. Demensia/HIV ensefalopati  Gejala minor: a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan b. Dermatitis generalisata c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang d. Kandidas orofaringeal e. Herpes simpleks kronis progresif f. Limfadenopati generalisata g. Virus retinit sitomegalo Menurut Mayor Foundation for Medical Education and Research (MFMER) (2008), gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.  Fase awal Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi. Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu sama demam, sakit kepala, sakit ternggorokan, ruam dan pembengkakkan kelenjar getah bening. Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang lain.  Fase lanjut Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala kronis seperti perbesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan penurun, demam, batuk dan pernafasan pendek.  Fase akhir Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.

C. PATOGENENSIS 1. Tuberkulosis Paru (Tb Paru) Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet saluran nafas yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil. Setelah berada dalam ruang alveolus, biasanya dibagian bawah lobus atas paru atau bagian atas lobus bawah, basil tuberkel membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfo nuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri tersebut. Namun tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari-hari pertama, leukosit di ganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalamai konsolidasi. Bakteri terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan Utara sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang di kelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari. (Price, dan Standrige,2006) Kuman yang bersarang di jaringan paru akan membentuk sarang tuberkulosisi pneumoni kecil dan disebut sarang primer atau fokus Ghon. Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus. Semua proses ini memalakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menajdi: a. Sembuh sama sekali tanpa cacat b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant. c. Berkomplikasi dan menyebar Kuman yang dormant akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen yang menjadi tuberkulosisi dewasa. TB sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di region atas paru. Sarang dini mula-mula juga berbentuk turbekel yakni suatu granuloma yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma mengalami nekrosis menjadi lembek. Bila jaringan ini mengalami kontraksi (batuk), akan menimbulkan kavitas (Amin dan Bahar, 2009)

2.

Human Immunodeficiency Virus (HIV) virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah, semen dan sekret vagina. Sebagian besar penularan terjadi melalui hubungan seksual. Jika virus masuk ke dalam tubuh penderita (sel hospes), maka RNA virus diubah menjadi DNA oleh enzim reverse transcriptase yang dimiliki oleh HIV. DNA pro-virus tersebut kemudian iintegrasikan ke dalam sel hospes dan

selanjutnya di programkan untuk membentuk gen virus (Daili,2009). HIV menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen permukaan CD4, terutama sekali limposit T4 yang memegang peranan penting yang berperan dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Selain limfosit T4, virus juga dapat menginfeksi sel monosit dan makrofag, sel langerhas pada kulit, sel dendrit folikuler pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri dan sel-sel mikroglia otak. Virus yang masuk ke dalam limfosit T4 selanjutnya mengadakan replikasi sehingga menjadi banyak dan akhirnya menghancurkan sel limfosit itu sendiri (Daili,2009). Dalam tubuh ODHA, pertikel virus bergabung dnegan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakkan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun (Djoerban,2008). D. ALGORITMA PENYAKIT ATAU PENATALAKSANAAN PENGOBATAN Pengobatan TB bertujuan untuk: a. Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas. b. Mencegah kekambuhan c. Mengurangi penularan d. Mencegah terjadinya resistensi pengobatan (PDPI,2011) Pengobatan tuberkulosisi dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:  OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalamjumlah cukup dan dosis yang tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.  Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan Pengawasan Menelan Obat (Depkse, 2007) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan.  Tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari. Bila pengobatan tahap intensif tersebut di berikan secara tepat, biasanyapasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan (Depkes,2007)  Tahap lanjutan. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lama. Tahap lanjutan paling penting untuk membunuh kuman persistent sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Depkes,2007)

Paduan OAT yang digunkan di Indonesia yaitu: a. Kategori H-TB paru kasus kambuh BTA positif atau pada foto toraks terdapat lesi luas. Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZE/4 RH atau 2 RHZE/6HE atau 2 RHZE/4R3H3. b. Kategori H-TB paru kasus kambuh Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZES/1 RHZE sebelum ada hasil uji resistensi. Bila uji resistensi telah ada, berikan obat sesuai dengan hasil uji resistensi. 1. TB paru kasus gagal pengobatan  Paduan obat yang dianjurkan adalah obat lini 2 sebelum ada hasil uji retensi (contoh: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, et ionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin)  Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat diberikan 2RHZES/1RHZE  Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi  Bila tidak terdapat hasil uji resistensi, dapat diberikan 5RHE. 2. TB paru kasus putus berobat  Berobat lebih dari 4 bulan  BTA saat ini negatif. Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinana penyakit paru lain. Bila terbukti TB, maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2RHZES/1 RHZE/ 5R3H3E3).  BTA saat ini positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.  Berobat kurang dari 4 bulan – bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pwngobatan yang lebih lama (2 RHZES/ 1 RHZE/ 5 R3H3E3)  Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif, pengobatan diteruskan. c. Kategori III  TB paru (kasus baru), BTA negatif atau pada foto toraks terdapat lesi minimal.  Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE/ 4R3H3. d. Kategori IV  Kasus paru kronik. Paduan obat yang dianjurkan bila belumada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Bila telah ada hasil uji resistemsi, berkan sesuai hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif ditambah obat lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan) e. Kategori V  MDR TB, paduan obat yang dianjurkan sesuai dengan uji resistensi ditambah OAT lini 2 atau H seumur hidup (PDPI, 2006)

Obat-obat TB memiliki efek samping diantaranya: 1. Isoniazid dapat menyebabkan kerusakan hepar yang akan mengakibatkan mual, muntah, dan jaundice. Kadang dapat menyebabkan kebas pada tungkai. 2. Rifampisin dapat menyebabkan kerusakan hepar, perubahan air mata, keringat, dan urin menjadi orange. 3. Piranizamid dapat menyebabkan kerusakan hepar dan gout. 4. Etambutol dapat menyebabkan pandangan kabur dan gangguan penglihatan warna karena obat ini mempengaruhi Nervus optikus. 5. Streptomisin dapat menyebabkan pusing dan gangguna pendengaran akibat kerusakan saraf telinga dalam (Nardell,2008).

2. Human Immunodeficiency Virus (HIV) Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengadilan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2011. a. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK) Beberapa infeksi oportunistik-(IO) pada ODHA dapat dicegah pemberian pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang dewasa 11 pengobatan pencegahan, yaitu profilaksis primer dan profilaksis sekunder.  Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan utuk mencegah suatu infeksi yang belum pernah di derita.  Profilasis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang ditujukan untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya. Berbagai penelitian telah membuktikan ekeftifitas pengobatan pencegahan kotrimoksazol dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV. Hal tersebut dikaitkan dengan penurunan insidensi infeksi bakterial, parasit (toxoplasma) dan pneumocystis cariniipneumonia (sekarang disebut P. Jiroveci, disingkat sebagai PCP). Pemberian kotrimoksasol untuk mencegah (secara primer maupun sekunder) terjadinya PCP dan Toxoplasmosis disebut sebagai Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK). PPK dianjurkan bagi: 1.

2.

ODHA yang bergejala (stadiu klinis 2,3, atau 4) termasuk perempuan hamil dan menyusui. Walaupun secara teori kotrimoksasol dapat menimbulkan kelainan kongenital, tetapi karena resiko yang mengancam jiwa pada ibu hamil dengan jumlah CD4 yang rendaah (<200) atau gejala klinis supresi imun (stadium klinis 2,3 atau 4), maka perempuan yang memerlukan kotrimoksasol dan kemudia hamil harus melanjutkan profilaksis kotrimoksasol. ODHA dengan jumlah CD4 dibawah 200 sel/mm3 (apabila tersedia pemeriksaan dan hasil CD4). Tabel 3. .......................................

Kotrimoksasol untuk pecegahan sekunder di berikan setelah terapi PCP atau Toxoplasmosis selesai dan diberikan selama 1 tahun. ODHA yang akan memulai terapi ARV dengan CD4 dibawah 200 sel/mm3; dianjurkan untuk memberikan kotrimoksasol 2 minggu sebelum ARV. Hal tersebut berguna untuk 1) Mengkaji kkepatuhan pasien dalam minum obat dan 2) Menyingkirkan efek samping yang tumpang tindih antara kotrimoksasol dengan obat ARV, mengingat bahwa banyaknya obat ARV mempunyai efek samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol. 1. Desensitisasi Kotrimoksasol Dalam. Keadaan terjadi reaksi hipersensitivitas terhadap kotrimoksasol dan kemudian akan memulai lagi maka perlu dilakukan desentralisasi obat. Angka keberhasilan desensitisasi kotrimoksasol cukup tinggi yaitu 70% dari ODHA yang pernah mengalami reaksi alergi yang ringan hingga sedang. 2. Desensitisasi jangan dicobakan pada ODHA dengan riwayat mengalami reaksi alergi yang berat (derajat hipersensitivitas 3 atau 4), berarti ODHA tidak memperoleh terapi prfilaksis. Untuk itu perlu pengawasan ketat sebelum timbulinfeksi oportunistik terkait dan mulai pemberian ARV untuk mencegah pasien masuk dalam fase lanjut. Tabel 4. Protokol desensitisasi kotrimoksasol

Langkah Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5 Hari 6

Dosis 80mg SMX + 16mg TMP (2ml sirup) 160mg SMX + 32mg TMP (4ml sirup) 240mg SMX + 48mg TMP (6ml sirup) 320mg SMX + 48mg TMP (8 ml sirup) 1 tablet dewasa SMX - TMP (400mg SMX + 80mg TMP) 2 tablet dewasa SMX-TMP atau 1 tablet forte (800mg SMX + 160mg TMP)

Keterangan: Setiap 5 ml sirup kotrimoksasol mengandung 200mg SMX + 40 mg TMP Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA dewasa. a. b.

Tidak tersedia pemeriksaan CD4. Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV adalah didasarkan pada penilaian kilinis. Tersedia pemeriksaan CD4 Rekomendasi:  Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4<350 sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya.  Terapi ARV dianjurkan pada semua pasiean dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4. Memulai terapi ARV pada keadaan Infeksi Oportunistik (IO) yang aktif infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu pengobatan atau diredakan sebelum terapi ARV dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

B.

Paduan ARV Lini Pertama yang dianjurkan pemerintah menetapkan paduan yang digunakan dalam pengobatan ARV berdasarkan pada 5 aspek yaitu :  Efektifitas  Efek samping/toksisitas  Interaksi obat  Kepatuhan  Harga obat prinsip dalam pemberian ARV adalah 1. Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat. Yang terserap dan berada falam dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas penggunaan obat. 2. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan akses pelayanan ARV 3. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan manajemen logistik yang baik. Anjuran pemilihan obat ARV lini pertama paduan yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah: 2 NRTI + 1 NNRTI

Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di bawah Tabel 8. Paduan lini pertama yang direkomendasikan pada orang deawa yang belum pernah mendapat terapi ARV (treatment-naive)

Berbagai pertimbangan dalam penggunaan dan pemilihan paduan terapiARV1. Memulai dan menghentikan Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI) Nevirapine dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama 14 hari pertama dalam paduan ARV lini pertama bersama AZT atau TDF + 3TC. Bila tidak ditemukan tanda toksisitas hati, dosis dinaikkan menjadi 200 mg setiap 12 jam pada hari ke-15 dan selanjutnya. Mengawali terapi dengan dosis rendah tersebut diperlukan karena selama 2 minggu pertama terapi NVP menginduksi metabolismenya sendiri. Dosis awal tersebut juga mengurangi resiko rerjadinya ruam dan hepatitis oleh karena NVP yang muncul dini. Bila NVP perlu dimulai lagi setelah pengobatan dihentikan selama lebih dari 14 hari, maka

diperlukan kembali pemberian dosis awal yang rendah tersebut. Cara menghentikan paduan yang mengandung NNRTI Hentikan NVP dan EFV Teruskan NRTI (2 obat saja) selama 7 hari setelah penghentian Nevirapine atau Efavirenz) kemudian hentikan semua obat. Hal tersebut guna mengisi waktu paruh NNRTI yang panjang dan menurunkan risiko resistensi NNRTI.

A. Penggunaan NVP dan EFV 1. NVP dan EFV mempunyai efikasi klinis yang setara 2. Adanya perbedaan dalam profil toksisitas, potensi interaksi dengan obat lain, dan harga 3. NVP berhubungan dengan insidensi ruam kulit, sindrom Steven-Johnson dan hepatotoksisitas yang lebih tinggi dibanding EFV.

More Documents from "Dalton Fidel tabeo'Lawadang"