BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Angka kematian bayi merupakan salah satu indikator dalam menentukan derajat kesehatan anak. Setiap tahun kematian bayi baru lahir atau neonatal mencapai 37% dari semua kematian pada anak balita. Setiap hari 8.000 bayi baru lahir di dunia meninggal dari penyebab yang tidak dapat dicegah. Mayoritas dari semua kematian bayi, sekitar 75% terjadi pada minggu pertama kehidupan dan antara 25% sampai 45% kematian tersebut terjadi dalam 24 jam pertama kehidupan seorang bayi. Penyebab utama kematian bayi baru lahir atau neonatal di dunia antara lain bayi lahir prematur 29%, sepsis dan pneumonia 25% dan 23% merupakan bayi lahir dengan Asfiksia dan trauma. Asfiksia lahir menempati penyebab kematian bayi ke 3 di dunia dalam periode awal kehidupan (WHO, 2012). Asfiksia Neonatorum merupakan kondisi atau keadaan di mana bayi tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan tersebut akan disertai dengan keadaan hipoksia, hiperkapnea, dan berakhir dengan asidosis (Ilyas, 1994). Asfiksia merupakan masalah yang terjadi pada bayi baru lahir, suatu kelahiran erat kaitannya dengan proses persalinan, dalam persalinan terdapat 4 tahapan yaitu kala I (pembukaan 0 sampai lengkap), kala II (persalinan janin), kala III (persalinan plasenta), kala IV (2 jam setelah plasenta lahir).
1.2 Rumusan masalah 1. Apakah konsep dasar dari asfiksia ? 2. Bagaimana asuhan keperawatan pada bayi dengan asfiksia ?
1.3 Tujuan 1. Mampu memahami konsep dasar dari asfiksia. 2. Mampu menerapkan asuhan keperawatan pada bayi dengan asfiksia
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Asfiksia neonatrum merupakan suatu kondisi di mana bayi tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir (Betz dan Sowden,). Keadaan tersebut dapat disertai dengan adanya hipoksia, hiperkapnea, sampai asidosis. Asfiksia ini dapat terjadi karena kuangnya kemampuan organ bayi dalam menjalankan fungsinya, seperti pengembangan paru (Hidayat, Aziz Alimul. 2013). 2.2 Klasifikasi 1. Asfiksia Livida, ciri-cirinya : warna kulit kebiru-biruan, tonus otot masih baik, reaksi rangsangan positif, bunyi jantung reguler, prognosi lebih baik. 2. Asfiksia Pallida, ciri-cirinya : warna kulit pucat, tonus otot sudah kurang, tidak ada reaksi rangsangan, bunyi jantung irreguler, prognosis jelek (Respatiningrum, dkk. 2013). 2.3 Tanda dan Gejala Asfiksia 1. Bayi tidak bernafas atau bernafas megap-megap 2. Denyut jantung kurang dari 100 kali permenit 3. Warna kulit sianosis, (pucat atau kebiruan) 4. Tonus otot menurun 5. Kejang 6. Untuk diagnosis asfiksia tidak perlu menunggu nilai / APGAR Skor (Respatiningrum, dkk. 2013).
2.4 Etiologi Asfiksia neonatorum dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah: 1. Adanya penyakit pada ibu hamil seperti hipertensi, gangguan dan penyakit paru, dan gangguan kontraksi uterus. 2. Pada ibu yang kehamilannya berisiko 3. Faktor plasenta, seperti janin dengan solusio plasenta 4. Faktor janin itu sendiri, seperti terjadi kelainan pada tali pusat, seperti tali pusat menumbung atau melilit pada leher atau juga kompresi pada tali pusat antara janin dan jalan lahir 5. Faktor persalinan seperti partus lama dan partus dengan tindakan tertentu (Hidayat, Aziz Alimul. 2013). 2.5 Patofisiologi Sebagian besar pengetahuan mengenai respons terhadap asfiksia akut pada janin dan bayi baru lahir berasal dari penelitian pada hewan (Dawes). Dengan pembatasan tertentu, hal ini memberi gambaran yang jelas tentang proses asfiksia pada manusia dan juga dasar logis untuk resusitasi neonates. Gangguan suplai darah teroksigenasi melalui vena umbilical dapat terjadi pada saat antepartum, intrapartum, dan tentunya, pasca partum saat tali pusat dipotong. Hal ini diikuti oleh serangkaian kejadian berikut yang dapat diperkirakan ketika asfiksia bertambah berat. 1. Awalnya hanya ada sedikit napas. Sedikit napas ini maksudnya untuk mengembangkan paru, tetapi bila paru mengembang saat kepala masih di janin lahir, atau bila paru tidak mengembang karena suatu hal, aktifitas singkat ini akan diikuti oleh henti napas komplet. Kejadian ini disebut apnea primer.
2. Setelah waktu singkat –lama asfiksia tidak dikaji dalam situasi klinis karena dilakukan tindakan resusitasi yang sesuai-usaha bernapas otomatis dimulai. Hal ini hanya akan membantu dalam waktu singkat, kemudian jika paru tidak mengembang, secara bertahap terjadi penurunan kekuatan dan frekuensi prnapasan. Selanjutnya, bayi akan memasuki periode apnea terminal. Kecuali dilakukan resusitasi yang tepat, pemulihan dalam keadaan terminal ini tidak akan terjadi. 3. Frekuensi jantung menurun selama apneas primer dan akhirnya turun di bawah 100 kali/menit, yang dikenal secara internasional sebagai titik aksi resusitasi. Frekuensi jantung mungkin sedikit meningkat pada saat bayi bernapas terengahengah, tetapi bersama dengan menurun dan berhentinya napas terengah-engah bayi, frekuensi jantung terus berkurang. Keadaan asam-basa semakin memburuk, metabolisme selular gagal, dan jantung pun berhenti. Keadaan ini akan terjadi dalam waktu yang cukup lama. 4. Selama apnea primer, tekanan darah meningkat bersama dengan pelepasan katekolamin dan zat kimia stress lainnya. Walaupun demikian, tekanan darah yang terkait erat dengan frekuensi jantung, mengalami penurunan tajam selama apnea terminal. Volume sekuncup pada neonates tetap dan curah jantung ditentukan hampir sepenuhnya oleh frekuensi jantung. 5. Terjadi penurunan pH yang hampir linier sejak awitan asfiksia. Hal ini disebabkan leh penumpukan asam laktat dan asam lainnya yang diprodksi oleh glikosis anaerob pada jaringan yang mengalami hipoksia. Meskipun demikian, sayangnya, keadaan bayi klinis saat itu dan prognosis jangka panjang. Pada satu penelitian terbaru, tidak ada bayi dengan pH > 7,00 mengalami komplikasi asfiksia. Dari 23 bayi dengan pH > 7,00 hanya dua yang mengalami komplikasi
asfiksia dan keduanya dapat di kenali secara klinis karena skor Apgarnya terusmenerus rendah (Winkler et al). Apnea primer dan apnea terminal mungkin tidak selalu dapat dibedakan. Pada umumnya, bradikardia berat dan kondisi syok memperburuk apnea terminal. Dilihat dari panduan resusitasi, pembedahan antara apnea primer dan terminal tidak perlu dilakukan karena tindakan resusitasi ditentukan oleh kondisi dan tingkat keparahan bradikardia (Drew, dkk. 2008). 2.6 Dampak Asfiksia Bagi Bayi Baru Lahir Dampak Asfiksia menurut Kosim (2010) 1.
Otak : Ensepalo hipoksis iskemik (EHI).
2.
Ginjal : Gagal ginjal akut.
3.
Jantung : Gagal jantung.
4.
Saluran
cerna
:
EKN=
Entero
colitis
Nekrotikans
atau
NEC=
Nekrotizingentero (Respatiningrum, dkk. 2013). 2.7 Penatalaksanaan Penatalaksanaan pada bayi Asfiksia neonatorum adalah sebagai berikut. 1. Pemantauan gas darah, denyut nadi, fungsi system jantung, dan paru dengan melakukan resusitasi, memberikan oksigen yang cukup, serta memantau perfusi jaringan tiap 2-4 jam. 2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap baik, sehingga proses oksigenasi cukup agar sirkulasi darah tetap baik. Cara mengatasi Asfiksia neonatorum adalah sebagai berikut: a. Asfiksia Ringan APGAR Skor (7-10) Cara mengatasinya adalah sebagai berikut: 1.
Bayi dibungkus dengan kain hangat
2.
Bersihkan jalan nafas dengan menghisap lendir pada hidung kemudian mulut
3.
Bersihkan badan dan tali pusat
4.
Lakukan observasi tanda vital, pantau APGAR skor, dan masukkan ke dalam incubator a. Asfiksia Sedang APGAR Skor (4-6) Cara mengatasinya adalah sebagai berikut: 1. Bersihkan jalan nafas 2. Berikan oksigen 2 liter per menit 3. Rangsang pernafasan dengan menepuk telapak kaki. Apabila belum ada reaksi, bantu pernafasan dengan masker (ambubag) 4. Bila bayi sudah bernafas tetapi masih sianosis, berikan natrium bikarbonat 7,5% sebanyak 6 cc. Dekstrosa 40% sebanyak 4 cc disuntikkan melalui vena umbilicus secara perlahan-lahan
untuk
mencegak
tekanan
intracranial
meningkat. b. Asfiksia Berat APGAR Skor (0-3) Cara mengatasinya adalah sebagai berikut: 1. Bersihkan jalan nafas sambil pompa melalui ambubag 2. Berikan oksigen 4-5 liter per menit 3. Bila tidak berhasil, lakukan pemasangan ETT (endotracheal tube) 4. Bersihkan jalan nafas melalui ETT
5. Apabila bayi mulai bernafas tetapi masih sianosis berikan natrium bikarbonat 7,5% sebanyak 6 cc. Selanjutnya berikan dekstrosa 40% sebanyak 4 cc tertentu (Hidayat, Aziz Alimul. 2013).
2.8 Komplikasi Adapun komplikasi yang muncul pada asfiksia neonatus antara lain : 1. Edema otak dan Perdarahan otak Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah berlarut sehingga terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran darah ke otak pun akan menurun, keadaan ini akan menyebabkan hipoksia dan iskemik otak yang berakibat terjadinya edema otak, hal ini juga dapat menimbulkan perdarahan otak. 2. Anuria atau Oliguria Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita asfiksia, keadaan ini dikenal istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya, yang di sertai dengan perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah jantung akan lebih banyak mengalir ke organ seperti mesentrium dan ginjal. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya hipoksemia pada pembuluh darah mesentrium dan ginjal yang menyebabkan pengeluaran urin sedikit. 3. Kejang Pada bayi yang mengalami asfiksia akan mengalami gangguan pertukaran gas dan transport O2 sehingga penderita kekurangan persediaan O2 dan kesulitan pengeluaran CO2 hal ini dapat menyebabkan kejang pada anak tersebut karena perfusi jaringan tidak efektif.
4. Koma Apabila pada pasien asfiksia berat tidak segera di tangani akan menyebabkan koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan perdarahan pada otak (Respatiningrum, dkk. 2013).
2.9 Konsep Hospitalisasi Pada Usia Neonatus (0-28 Hari) Hospitalisasi adalah suatu proses yang karena suatu alasan berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah. Berbagai perasaan yang sering dialami anak, yaitu cemas, marah, sedih, takut, dan rasa bersalah yang dapat timbul karena menghadapi sesuatu yang baru dan belum pernah dijumpai sebelumnya, rasa tidak aman dan tidak nyaman, perasaan kehilangan sesuatu yang biasa dialaminya dan sesuatu yang dirasakan menyakitkan. Orang tua juga mengalami hal yang sama. 1. Reaksi anak terhadap Hospitalisasi Pada masa bayi (0-4 bulan) reaksi yangg akan ditimbulkan oleh bayi adalah menangis keras, terus apabila adanya luka, bayi biasanya menangis keras,banyak grakan tubuh atau meolak tindakan dan ekspresi wajah yang tidak menyenangkan. 2. Reaksi orang tua terhadap hospitalisasi anak a. Perasaan cemas dan takut Reaksi ini biasanya orang tua sering bertanya-tanya pada orang lain, terus terlihat gelisah, ekspresi wajah tegang. b. Perasaan Sedih
Perasaan ini muncul terutama pada saat anak dalam kondisi terminal dan orang tua mengetahui bahwa tidak ada harapan anaknya untuk sembuh. c. Perasaan Frustasi Perasaan ini akan muncul apabila orang tua merasa putus asa karena perawatan anaknya karena tidak ada perubahan.