Kena lara ra’ kena pati Oleh : Roni Basa
Grage, 24 Rabiul Akhir 1430 H
Di akhir tahun 2007 lalu, saat hidup saya mengalami peristiwa sulit. Kepanikan untuk menentukan jalan hidup menemani hari demi hari kehidupan. Di kantor, saat semua orang, teman-teman satu tim kerja saya memiliki orientasi untuk berkarya, entah itu demi keluarga, anaknya tercinta atau pacar barunya, saya mengujung di sudut ruangan. Saat teman-teman satu profesi membangun rencana dan instrumen monitoring-evaluasi di lapangan, saya merasa tidak lagi menjadi seorang insinyur dengan kemampuan manajemen proyek. Peristiwa pelik ini menghantarkan saya untuk pulang ke rumah. Saya fikir rumah merupakan wahana terbaik untuk healing therapy. Kehangatannya saya yakini akan memberikan energi untuk memulai detik baru bagi kehidupan. Ini harus segera diakhiri , sekaligus dimulai kembali dari rumah. Mendekap kembali tubuh hangat mamah, mendengarkan kembali petuah maskulin bapak dan menyimak baik-baik kegundahan hati seorang adik perempuan terhadap saudara lakilakinya adalah nilai yang saya coba bangun selama itu. Sampai dengan suatu malam bapak mengajak saya untuk sekedar menghabiskan waktu menyaksikan pagelaran tari. Menurut beliau tarian ini belum tentu ada pada setiap momen pagelaran sendratari. Tari Panji namanya, maskulin terdengarnya, tertarik dengan penuh misteri untuk melihatnya. *** Bangunannya beratap joglo, material atap terbuat dari anyaman rapat pelepah daun kelapa. Kolom kekar menopang kayu balok dudukan kuda-kuda rangka atap. Termasuk balok yang membentang sepanjang delapan meter, semuanya batang jati. Aroma narwastu, semacam kemenyan dari saripati batang kesturi menebal, memenuhi ruang terbuka. Saya duduk bersila di barisan kedua dari belakang, berteman temaram obor tertancap di saka (tiang kayu dalam bahasa Indonesia). Malam hening. Semakin membuat saya penasaran dengan apa yang akan ditampilkan. Bapak bilang, tidak semua orang berhak hadir melihat tarian panji. Nyatanya memang sedikit saja orang-orang yang hadir malam ini. Saya baru menyadari, sepanjang jalan masuk tadi tidak satupun lampu menyala. Jalan masuk hanya diterangi repihan sinar obor. Didalam bangunan beratap joglo-abdi dalem menyebutnya bale panca kaki- kami menunggu sang Pangeran Raja Adipati, pewaris sah tahta kesultanan Cirebon. Bale panca kaki terletak di utara bangunan utama keraton. Untuk masuk kedalam keraton, perlu beberapa kali melewati pintu gerbang. Meskipun bangunan ini difungsikan untuk umum, tetap saja sangat terbatas untuk kali ini.
http://www.bagaskarakawuryan.wordpress.com
cakra bagaskara manjer kawuryan
Pangeran Raja Adipati memasuki halaman bale. Tidak ada penghormatan apapun dari hadirin. Semua senyap. Menunggu dan menunggu. Khidmat. Sampai dengan sang pangeran duduk bersila di barisan terdepan. Gamelan Sekaten mengalun lambat mendayu, menghantarkan alunan seruling. Sekaten sendiri diambil dari pengucapan syahadatain atau dua kalimat syahadat. Entah darimana datangnya penari itu, bagaikan tercipta dari kepulan asap narwastu ia hadir. Penari memasang kuda-kuda. Badannya tegak dengan kaki sedikit terbuka namun tidak sejajar satu sama lain. Sekaten terus mengalun. Kadang tenang, kadang dengan tiba-tiba bergemuruh bak laskar ponggawa kesultanan menderu. Dan penari itu, tidak bergeming. Hampir setengah jam waktu berlalu. Sekaten terus mengalun. Dan penari itupun, tidak bergeming. Saya semakin tidak memahami apa yang tengah terjadi. Saya cukup memahami momen ini penting bagi semua orang yang hadir, namun apa fungsi saya berada ditengah-tengahnya. Bapak menepuk halus pundak saya, meminta semua tanya disimpan terlebih dahulu untuk kelak diajukan pulang nanti. Tari Panji merupakan tarian pertama dalam rangkaian Topeng Cirebon, adalah sebuah misterium. Sampai sekarang belum ada koreografer Indonesia yang mampu menciptakan tarian serupa untuk menandinginya. Tarian Panji seolah-olah "tidak menari". Begitu bapak mengawali penjelasannya. Justru karena tariannya tidak spektakuler, maka ia merupakan sejatinya tarian, yakni perpaduan antara hakiki gerak dan hakiki diam. Bagi mereka yang kurang peka dalam pengalaman seni, tarian ini akan membosankan. Topeng Cirebon menyimbolkan bagaimana asal mula Sang Hyang Tunggal yang memecahkan diriNya dalam pasanganpasangan kembar saling bertentangan itu, seperti terang dan gelap, lelaki dan perempuan, daratan dan laut. Dalam tarian ini digambarkan lewat tari Panji, yakni tarian yang pertama. Tarian Panji ini merupakan masterpiece rangkaian lima tarian topeng Cirebon. Tarian Panji justru merupakan klimaks pertunjukan. Itulah peristiwa transformasi Sang Hyang Tunggal menjadi semesta. Dari yang tunggal belah menjadi yang aneka dalam pasanganpasangan. Inilah sebabnya kedok Panji tak dapat kita kenali secara pasti apakah itu perwujudan lelaki atau perempuan. Apakah gerak-geriknya lelaki atau perempuan. Kedoknya sama sekali putih bersih tanpa hiasan, itulah Kosong. Gerak-gerak tariannya amat minim, namun iringan gamelannya gemuruh. Itulah wujud paradoks antara gerak dan diam. Tarian Panji sepenuhnya sebuah paradoks. Empat tarian sisanya adalah perwujudan emanasi dari Hyang Tunggal tadi. Sang Hyang Tunggal membagi diriNya ke dalam dua pasangan yang saling bertentangan, yakni "Pamindo-Rumyang", dan "Patih-Klana". Inilah sebabnya kedok "Pamindo-Rumyang" berwarna cerah, sedangkan "Patih-Klana" berwarna gelap (merah tua). Gerak tari "Pamindo-Rumyang" halus keperempuan-perempuanan, sedangkan Patih-Klana gagah kelaki-lakian. Pamindo-Rumyang menggambarkan pihak "dalam" (istri dan adik ipar Panji) dan Patih-Klana menggambarkan pihak "luar". Terang dapat berarti siang, gelap dapat berarti malam. Matahari dan bulan. http://www.bagaskarakawuryan.wordpress.com
cakra bagaskara manjer kawuryan
Tetapi harus diingat bahwa semuanya itu adalah Panji sendiri, yang membelah dirinya menjadi dua pasangan saling bertentangan sifat-sifatnya. Inilah sebabnya keempat tarian setelah Panji mengandung unsur-unsur tarian Panji. Penjelasan panjang dari Bapak cukup memberikan pemahaman yang jelas untuk saya. Dari sekian banyak penjelasan, masih ada satu pertanyaan tersisa. Diakhir penari menuntaskan pagelarannya, pararaton ( penerima tamu) mengakhiri pagelaran dengan membacakan petuah “kena lara ra’ kena pati”. Untuk yang satu ini Bapak sangat serius memberi penjelasan. Cukup singkat beliau berkata “ betapapun kamu merasakan sakit, sebab disakiti oleh seseorang dan atau lainnya, maka kamu tidak akan mati karena rasa sakit itu. Tetaplah berdiri tegak menghadapi rasa sakit itu. Yakinlah kamu mampu menghadapinya”. Saya terdiam, hati dan jiwa menjadi sunyi. Saya beranikan diri mencuri tatap wajah Bapak dari sudut mata. Beliau terdiam, berharap anaknya memahamkan semua yang diucapkannya jauh di lubuk nurani.
http://www.bagaskarakawuryan.wordpress.com
cakra bagaskara manjer kawuryan