Kelompok3_mata Merah Visus Turun.docx

  • Uploaded by: adin
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kelompok3_mata Merah Visus Turun.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 10,454
  • Pages: 39
REFERAT SEMESTER PENDEK BLOK MATA MATA MERAH VISUS TURUN

oleh : AGHNIA LUTFI I AGUNG BUDI L ARINA ALKHAQQ AZKIA RACHMAH BINTANG ADITYA FACHIRA RACHEL A HAIKAL FAIQ A IVAN MAULANA LUTHFI HAFIZH MUHAMMAD IQBAL NAJMA NUSAIBAH NURUL ASYROFAH H SHA LISA INDRIYANI SHINTA FATIMAH S ZAHRAZULFA D A MARIA MARGARETHA V P

G0016008 G0016009 G0016028 G0016034 G0016045 G0016071 G0016099 G0016117 G0016137 G0016149 G0016163 G0016170 G0016201 G0016203 G0016237 G0016241

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA TAHUN 2019

KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa sebab atas segala rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya, referat mengenai “Mata Merah Visus Turun” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Kami sangat berharap dengan adanya tugas referat ini dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang membaca. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pembuatan tugas referat ini masih terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk kemudian tugas referat kami ini dapat diperbaiki dan menjadi lebih baik lagi.

Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi siapapun.

Surakarta, 10 Februari 2019

Tim Penyusun

ii

DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL ................................................................................................ i KATA PENGANTAR ............................................................................................... ii DAFTAR ISI ............................................................................................................. .iii PENDAHULUAN ..................................................................................................... .iv BAB I. PEMBAHASAN ............................................................................................. .1 A. Ulserasi Kornea ...................................................................................................... .1 B. Anterior Uveitis ...................................................................................................... .3 C. Glaukoma Akut ....................................................................................................... 6 D. Endoftalmitis ........................................................................................................ .10 E. Keratitis.............................................................................................................. .21 BAB II. PENUTUP .................................................................................................. .34 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... .33

iii

PENDAHULUAN Mata merah umumnya terjadi karena pelebaran pembuluh darah di mata. Mata yang merah mengindikasikan adanya masalah pada mata, bisa masalah ringan ataupun serius yang memerlukan penanganan lebih lanjut. Adapun penyebab mata merah yang paling sering adalah karena pelebaran pembuluh darah pada permukaan mata. Hal ini biasanya disebabkan oleh: 1. Udara yang panas/kering 2. Paparan sinar matahari 3. Debu 4. Reaksi alergi 5. Influenza 6. Infeksi Bakteri atau virus Visus merupakan sebuah ukuran kuantitatif atau suatu kemampuan untuk mengidentifikasi simbol simbol berwarna hitam dengan latar belakang putih dengan jarak yang telah distandarisasikan serta ukuran symbol yang bervariasi. Visus 20/20 adalah suatu bilangan yang menyatakan jarak dalam satuan kaki yang mana seseorang dapat membedakan sepasang benda (satuan lain dapat dinyatakan sebagai visus 6/6). 20 kaki dianggap sebagai tak terhingga dalam perspektif optikal. Untuk alasan tersebut maka visus 20/20 dapat dianggap sebagai performa nominal untuk jarak pengelihatan manusia. Penurunan visus adalah apabila tajam pengelihatan seseorang kurang dari 20/20 atau 6/6. Penurunan tajam pengelihatan dapat disebabkan oleh organik maupun anorganik. Kelainan anorganik disebabkan oleh kelainan refraksi seperti: 1. Miopia (rabun jauh) 2. Hipermetropia (rabun dekat) 3. Presbiopia 4. Astigmatisme Sementara kelainan organik dapat disebabkan oleh : 1. Katarak 2. Glaukoma 3. Kelainan pada saraf mata 4. Kelainan pada media refraksi

iv

BAB I PEMBAHASAN A. ULSERASI KORNEA 1. Patofisiologi Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya, dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel dan seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama terjadi di permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea, segera mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya kelainan sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat terutama bila letaknya di daerah pupil. Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak segera datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Maka badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea, segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat di limbus dan tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbullah ulkus kornea. Penyakit ini bersifat progresif, regresif atau membentuk jaringan parut. Infiltrat sel leukosit dan limfosit dapat dilihat pada proses progresif. Ulkus ini menyebar kedua arah yaitu melebar dan mendalam. Jika ulkus yang timbul kecil dan superficial maka akan lebih cepat sembuh dan daerah infiltrasi ini menjadi bersih kembali, tetapi jika lesi sampai ke membran Bowman dan sebagian stroma maka akan terbentuk jaringan ikat baru yang akan menyebabkan terjadinya sikatrik. 2.

Epidemiologi Di Amerika insiden ulkus kornea bergantung pada penyebabnya. Insidensi ulkus kornea tahun 1993 adalah 5,3 per 100.000 penduduk di Indonesia, sedangkan predisposisi terjadinya ulkus kornea antara lain terjadi karena trauma, pemakaian lensa kontak, dan kadang-kadang tidak diketahui penyebabnya. Walaupun infeksi jamur pada kornea sudah dilaporkan pada tahun 1879 tetapi baru mulai periode 1950 keratomikosis diperhatikan. Banyak laporan menyebutkan peningkatan angka kejadian ini sejalan dengan peningkatan penggunaan kortikosteroid topikal, penggunaan obat imunosupresif dan lensa kontak. Singapura melaporkan selama 2.5 tahun dari 112 kasus ulkus kornea 22 beretiologi jamur. Mortalitas atau morbiditas tergantung dari komplikasi dari ulkus kornea seperti parut kornea, kelainan refraksi, neovaskularisasi dan kebutaan. Berdasarkan 1

kepustakaan di USA, laki-laki lebih banyak menderita ulkus kornea, yaitu sebanyak 71%, begitu juga dengan penelitian yang dilakukan di India Utara ditemukan 61% laki-laki. Hal ini mungkin disebabkan karena banyaknya kegiatan kaum laki-laki sehari-hari sehingga meningkatkan resiko terjadinya trauma termasuk trauma kornea. 3.

Pemeriksaan fisik dan penunjang Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan klinis dengan menggunakan slit lamp dan pemeriksaan laboratorium. Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea, sering dapat diungkapkan adanya riwayat trauma, benda asing, abrasi, adanya riwayat penyakit kornea yang bermanfaat, misalnya keratitis akibat infeksi virus herpes simplek yang sering kambuh. Hendaknya pula ditanyakan riwayat pemakaian obat topikal oleh pasien seperti kortikosteroid yang merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, virus terutama keratitis herpes simplek. Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit sistemik seperti diabetes, AIDS, keganasan, selain oleh terapi imunosupresi khusus. Pada pemeriksaan fisik didapatkan gejala objektif berupa adanya injeksi siliar, kornea edema, terdapat infiltrat, hilangnya jaringan kornea. Pada kasus berat dapat terjadi iritis yang disertai dengan hipopion. Disamping itu perlu juga dilakukan pemeriksaan diagnostik seperti: 1) Ketajaman penglihatan 2) Tes refraksi 3) Tes air mata 4) Pemeriksaan slit-lamp 5) Keratometri (pengukuran kornea) 6) Respon reflek pupil 7) Pewarnaan kornea dengan zat fluoresensi 8) Pemeriksaan kultur dengan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India

4.

Tatalaksana Ulkus kornea sembuh dengan dua cara : migrasi sel-sel epitel sekeliling ulkus disertai dengan mitosis dan masuknya vaskularisasi dari konjungtiva. Ulkus superfisial yang kecil akan sembuh dengan cara yang pertama, ulkus yang lebih besar dan dalam biasanya akan mengakibatkan munculnya pembuluh darah untuk mensuplai sel-sel radang. Leukosit dan fibroblas menghasilkan jaringan granulasi dan sikatrik sebagai hasil penyembuhan. Pengobatan umumnya untuk ulkus kornea adalah dengan sikloplegik, antibiotika yang sesuai dengan topikal dan subkonjungtiva, dan pasien dirawat bila mengancam perforasi, pasien tidak dapat memberi obat sendiri, tidak terdapat reaksi obat, dan perlunya obat sistemik. Pengobatan pada ulkus kornea bertujuan menghalangi hidupnya bakteri dengan antibiotika, dan mengurangi reaksi radang dengan steroid. Secara umum ulkus diobati 2

sebagai berikut: Tidak boleh dibebat, karena akan menaikkan suhu sehingga akan berfungsi sebagai inkubator. Sekret yang terbentuk dibersihkan 4 kali sehari. Diperhatikan kemungkinan terjadinya glaukoma sekunder. Debridemen sangat membantu penyembuhan. Diberi antibiotika yang sesuai dengan kausa. Biasanya diberi lokal kecuali bila keadaan berat. Pengobatan dihentikan bila sudah terjadi epitelisasi dan mata terlihat terang, kecuali bila penyebabnya pseudomonas yang memerlukan pengobatan ditambah 1-2 minggu. Pada ulkus kornea dilakukan pembedahan atau keratoplasti apabila dengan pengobatan tidak sembuh dan terjadi jaringan parut yang mengganggu penglihatan 5.

Pencegahan Pencegahan terhadap ulkus dapat dilakukan dengan segera berkonsultasi kepada ahli mata setiap ada keluhan pada mata. Sering kali luka yang tampak kecil pada kornea dapat mengawali timbulnya ulkus dan mempunyai efek sangat buruk bagi mata. i. Lindungi mata dari segala benda yang mungkin bisa masuk kedalam mata ii. Jika mata sering kering atau pada keadaan kelopak mata tidak bisa menutup sempurna, gunakan tetes mata agar mata selalu dalam keadaan basah iii. Jika memakai lensa kontak harus sangat diperhatikan cara memakai dan merawat lensa tersebut.

B. ANTERIOR UVEITIS

Gambar 1. Anterior Uveitis (Cafasso, J., 2017) 3

1.

Patofisiologi Uveitis anterior dapat terjadi mendadak atau akut berupa mata merah dan sakit, ataupun datang perlahan dengan mata merah dan sakit ringan dan penglihatan turun perlahan-lahan. Sulit melihat dekat pada pasien uveitis anterior akibat ikut meradangnya otot-otot akomodasi. Pupil kecil akibat rangsangan proses peradangan pada otot sfingter dan terdapat edema iris. Pada proses radang akut dapat terjadi miopisasi akibat rangsangan badan siliar dan edema lensa. Terdapat flare atau efek tyndal di dalam bilik mata depan dan bila peradangan sangat akut, maka akan terlihat hifema atau hipopion. Pada non-granulomatosa terdapat presipitan halus pada dataran belakang kornea. Pada iridosiklitis granulomatosa terdapat presipitan besar atau ‘muton fat deposit’, benjolan koeppe (penimbunan sel pada tepi pupil) atau benjolan Busacca (penimbunan sel pada permukaan iris). Terbentuk sinekia posterior, miosis pupil, tekanan bola mata yang turun akibat hipofungsi bagian siliar, tekanan bola mata dapat meningkat, melebarnya pembuluh siliar dan perilimbus. Pada yang akut dapat terbentuk hipopion di bilik depan, sedang pada yang kronis terlihat edema makula dan kadangkadang katarak. Tekanan bola mata dapat rendah akibat gangguan fungsi pembentukan cairan mata oleh badan siliar. Bila tekanan bola mata tinggi hal ini menunjukan terjadinya gangguan pengaliran keluar cairan mata oleh sel radang atau perlengketan yang terjadi pada sudut bilik mata (Sasongko, 2006).

2.

Epidemiologi Penyakit peradangan traktus uvealis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada orang dewasa dan usia pertengahan. Penyebab uveitis hipopion yang tersering di Amerika Utara dan Eropa adalah uveitis yang berkaitan dengan HLA-B27; di Asia, penyakit Behcet; pada komunitas agrikultural- di daerah-daerah yang lebih lembab di Negara-negara berkembang, leptospirosis. Iris harus diperiksa secara teliti untuk mencari tanda-tanda atrofi atau transiluminasi, yang bisa mengenai sebagian daerah (sektoral) atau membentuk pola bercak (patchy) pada infeksi virus herpes simpleks atau herpes zoster, atau membentuk pola difus pada iridosiklitis heterokromik Fuch. Adanya sinekia anterior atau posterior juga harus diperhatikan karena keduanya menimbulkan predisposisi terhadap glaukoma (Agrawal dkk, 2010).

3.

Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Pemeriksaan Fisik

4

Sumber :Agrawal RV, Murty S, Sangwan V,Biswas J. Current approach in diagnosis and management of anterior uveitis. Indian J OPhtalmol.2010 JanFeb; 58(1):11-19 Pemeriksaan Penunjang i. Radiologi ii. Radiografi toraks dapat dilakukan untuk menilai sarkoidosis atau tuberkulosis sebagai penyebab uveitis (Muchachuta, 2019). iii. Slit-lamp Examination iv. Diagnosis Anterior Uveitis dapat dilakukan dengan melihat adanya gambaran sel dan flare pada pemeriksaan Slit-lamp (LaMatinna, C., 2017). 4.

Tatalaksana Pemberian tatalaksana pada pasien dengan anterior uveitis perlu memperhatikan etiologi dari inflamasi yang terjadi. Langkah pertama yaitu dengan melakukan anamnesia secara teliti dengan pasien. Kemudian, menentukan apakah anterior uveitis yang di derita pasien adalah akut, rekuren, atau kronis. Terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat menunjukkan bahwa pasien memiliki episode iritis sebelumnya, termasuk sisa-sisa endapan keratic (keratic precipitates), gumpalan pigmen pada kapsul lensa anterior, synechiae posterior, dan synechiae anterior. Langkah selanjutnya adalah dengan menentukan apakah uveitis terjadi bilateral atau unilateral, yang dapat ditentukan melalui pemeriksaan fisik pada mata. Selanjutnya adalah menentukan apakah uveitis pada pasien adalah tipe granulomatosa atau nongranulomatosa. Terlihatnya presipitat keratik atau nodul iris mengindikasikan uveitis granulomatous. Ketika etiologi dari inflamasi pada uveitis dilah ditemukan, maka dapat diberikan terapi yang sesuai (Harthan, J et al, 2015). Terapi awal yang diberikan berupa kortikosteroid topikal. Kortikosteroid topikal yang paling sering diberikan pada kasus anterior uveitis adalah prednisolone asetat 1%, dexamethasone 0,1%, dan prednisolone sodium 5

fosfat 1%. Ketika pasien mengalami anterior uveitis akut, maka kortikosteroid diberikan setiap jam selama pasien terjaga untuk durasi satu minggu. Dapat juga diberikan emulsi difluprednate 0,05% empat kali sehari yang setara dengan pemberian prednisolone asetat 1% delapan kali sehari. Setelah penggunaan kortikosteroid selama satu minggu, pasien kemudia di evaluasi ulang dengan melihat jumlah sel pada kamera okuli anterior. Normalnya jumlah sel sudah berkurang minial menjadi separuh jumlah sebelumnya. Jika tidak didapatka penurunan jumlah sel yang signifikan, maka terdapat kemungkinan penggunaan obat yang tidak teratur atau adanya etiologi infeksi seperti herpes. Setelah jumlah sel pada kamera okuli anterior berjumlah 5 atau lebih sedikit, maka penggunaan steroid dilakukan setiap 2 jam. Kemudian dilakukan evaluasi setelah lebih kurang 2 minggu (Harthan, J et al, 2015). C. GLAUKOMA AKUT 1. Patofisologi Glaukoma akut adalah suatu penyakit glaukoma yang terjadi diakibatkan oleh peninggiian tekanan intraokular secara mendadak. Glaukoma akut dapat bersifat primer atau sekunder. Glaukoma akut primer biasanya terjadi karena penderita memiliki faktor risiko bawaan sehingga dapat terkena, sedangkan glalukoma akut sekunder diakibatkan oleh penyakit lainnya. Glaukoma akut biasanya lebih banyak yang berusia lanjut dan memiliki faktor risiko.. Penanganan dari tekanan intraokular yang mendadak menjadi tinggi harus secara cepat dan segera karena dapat mengakibatkan kebutaan permanen (IDI.2014). 2.

Epidemiologi Diseluruh dunia, glaukoma dianggap sebagai penyebab kebutaan yang tertinggi, 2% penduduk berusia lebih dari 40 tahun menderita glaukoma. Glaukoma dapat juga didapatkan pada usia 20 tahun, meskipun jarang. Pria lebih banyak diserang daripada wanita. Glaukoma adalah penyebab kebutaan nomor 2 di Indonesia setelah katarak, biasanya terjadi pada usia lanjut. Dibeberapa negara 2% penduduk usia diatas 40 tahun menderita Glaukoma, dan di Indonesia Glaukoma sebagai penyebab kebutaan yang tidak dapat dipulihkan. Menurut WHO, katarak adalah penyebab kebutaan dan gangguan penglihatan yang paling sering ditemukan. Pada tahun 2002, WHO memperkirakan bahwa angka kebutaan yang reversible akibat katarak terjadi pada lebih dari 17 juta (47,8%) dari 37 juta populasi yang menderita kebutaan, dan diperkirakan akan mencapai angka 40 juta pada tahun 2020.

3.

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Penunjang tidak dilakukan pada pelayanan primer. Karena glaukoma akut adalah kasus kegawatdaruratan (IDI,2014). 6

Pemeriksaan yang dapat dilakukan di layanan primer : 1) Gonioskopi: pemeriksaan ini menggunakan lensa dengan mikroskop sederhana yang disebut slit lamp untuk melihat ke mata. Sinar cahaya memeriksa sudut antara iris dan kornea dan melihat seberapa baik cairan mengalir. 2) Tonometri: Pemeriksaan ini menggunakan alat untuk mengukur tekanan di dalam mata Anda. 3) Oftalmoskop: Pemeriksaan ini digunakan untuk melihat kerusakan pada saraf optik Anda dengan perangkat kecil yang menyala Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) 1) Visus turun 2) Tekanan intra okular meningkat 3) Konjungtiva bulbi: hiperemia kongesti, kemosis dengan injeksi silier, injeksi konjungtiva 4) Edema kornea 5) Bilik mata depan dangkal 6) Pupil mid-dilatasi, refleks pupil negatif Pada sumber lain mengatakan bahwa untuk kasus glaukoma akut dapat menggunakan pemeriksaan penunjang yaitu pencitraan untuk memperlihatkan struktur mata. Contohnya adalah Ultrasound Biomicroscopy yang memungkinkan untuk mendapatkan gambar secara real-time dengan resolusi 25 μm - 50 μm. Dengan alat ini akan dapat menggambarkan dengan jelas struktur badan siliaris, zonula lensa, dan anterior choroid (Sakata,2008). 4.

Tatalaksana Glaukoma adalah penyakit yang ditandai oleh peningkatan tekanan intraokuler. Untuk mengurangi tekanan intraokuler tersebut, dapat digunakan stimulan muskarinik dan inhibitor kolinesterase. Cara kerja dari kedua obat tersebut adalah dengan menyebabkan kontraksi badan siliaris sehingga aliran keluar aqueous humor lebih lancar dan mungkin juga dengan mengurangi laju sekresi dari aqueous humor. (Katzung, 2012) Glaukoma sudut tertutup akut merupakan kedaruratan medis yang pada awalnya sering diobati dengan obat, tetapi biasanya memerlukan pembedahan untuk koreksi permanen. Terapi awal sering terdiri dari kombinasi agonis muskarinik langsung dan inhibitor kolinesterase (mis., pilokarpin plus fisostigmin) serta obat lain. Jika tekanan intraokuler telah terkontrol dan bahaya kehilangan penglihatan telah lewat, pasien dapat dipersiapkan untuk bedah korektif (iridektomi) untuk koreksi permanen. Terapi medikamentosa yang dapat diberikan pada penderita glaukoma akut ada berbagai macam pilihan, yaitu: 7

1) Agen Osmotik Agen Osmotik berperan dalam penurunan Tekanan Intra Okuler dan dianjurkan diberikan kepada penderita glaukoma tanpa emesis. Apabila terdapat emetis dapat juga diberikan anti emetik. Agen osmotik oral tidak boleh diencerkan dengan cairan atau es dalam penggunaannya supaya osmolaritas dan efisiensinya terjaga. i. Gliserin, dosis efektif 1 -1,5 gr/kgBB dalan 50% cairan, efek menurunkan TIO terjadi dalam waktu 30-90 menit setelah pemberian dan akan bertahan selama 5-6 jam. Efek samping obat ini adalah dapat menyebabkan hiperglikemia dan dehidrasi sehingga pada penderita dengan diabetes dan lansia dengan gagal ginjal serta penyakit kardiovaskular perlu pengawasan lebih lanjut karena gliserin sendiri dapat menyebabkan mual dan muntah ii. Mannitol, merupakan oral osmotik diuretik yang banyak digunakan oleh penderita diabetes karena aman dan tidak dimetabolisme oleh tubuh. Dosis yang dianjurkan adalah 1-2 gram/kgBB dalam 50% cairan. Efeknya terlihat dalam 1 - 3 jam dan akan berakhir dalam 3-5 jam. Apabila terjadi intoleransi gastrik dari agen oral, maka bisa diberikan secara intravena dalam 20% cairan dengan dosis 2 gr/kgBB selama 3 menit. Efek terjadi paling lama 1 jam setelah pemberian mannitol. Semakin tinggi berat molekul mannitol, maka akan semakin lambat penetrasinya pada mata, sehingga akan lebih efektif dalam penurunan TIO. iii. Ureum intravena, adalah agen osmotik yang dahulu sering digunakan. Karena mempunyai berat molekul rendah, urea tidak seefektif mannitol. Urea juga memerlukan pengawasan ketat untuk menghindari adanya komplikasi kardiovaskuler. 2) Karbonik Anhidrase Inhibitor Berperan dalam menurunkan TIO yang tinggi dengan menggunakan dosis maksimal yang bisa diberikan dalam bentuk intravena, oral dan topikal. Obat karbonik anhidrase inhibitor oral diketahui tidak mempunyai efek samping sistemik. Asetazolamid, yang digunakan secara oral dan intravena, merupakan obat pilihan dalam keadaan darurat pada glaukoma akut. Efeknya dapat menurunkan TIO dan menghambat produksi humor akuos, sehingga penurunan TIO terjadi dalam waktu singkat. Dosis inisal 2x250mg oral dapat diberikan kepada pasien tanpa komplikasi lambung, dosis alternatif 500 mg bolus, efektif terhadap pasien 8

nausea. Penambahan dosis maksimal dapat diberikan setelah 4-6 jam untuk menurunkan TIO yang lebih rendah. 3) Miotik Kuat Pilokarpin 2% atau 4% setiap 15 menit hingga tercapai 4 kali pemberian, merupakan insial terapi yang diindikasikan untuk mencoba menghambat serangan awal glaukoma akut. Namun ternyata, pemberian pilokarpin tidak efektif pada serangan yang sudah lebih dari 1-2 jam. Hal ini terjadi karena musculus sphincter pupil sudah iskemik dan tidak memberikan respon pada pilokarpin. 4) Beta Bloker Berfungsi menurunkan TIO dengan cara mengurangi produksi humor akuos. Timolol merupakan beta bloker nonselektif dengan aktivitas dan konsentrasi tertinggi di bilik mata belakang dapat dicapai dalam 30 - 60 menit setelah pemberian. Beta bloker tetes mata nonselektif sebagai insial terapi dapat diberikan 2 kali dengan interval setiap 20 menit dan dapat diulang dalam 4, 8, dan 12 jam kemudian. 5) Apraklonidin Merupakan agen alfa2-agonis yang efektif menurunkan produksi humor akuos dan tidak memberikan efek pada outflow dari humor akuos. Apraklonidin 0,5% dan 1%, keduanya telah menunjukkan efektifitas yang sama dan rata-rata dapat menurunkan TIO 34% setelah 5 jam pemakaian topikal. Setelah TIO turun dan miosis pupil telah tercapai, terapi topikal dengan obat-obat diatas dapat diteruskan sampai tindakan operasi atau reopening sudut bilik mata. Setelah tatalaksana medikamentosa dilakukan perlu terus dilakukan observasi respon terapi yang berfungsi untuk menyelamatkan visus penderita. Observasi yang dilakukan meliputi 1) Monitor ketajaman visus, edema kornea dan ukuran pupil 2) Ukur TIO tiap 15 menit 3) Periksa sudut dengan gonioskopi terutama ketika TIO sudah turun dan kornea sudah mulai jernih. Bila respon baik maka akan terjadi perbaikan visus, kornea jernih, pupil konstruksi, TIO turun, dan sudut terbuka kembali. Tindakan selanjutnya bisa dilakukan laser iridektomi, yang apabila gagal dapat dilakukan iridektomi insisi. Apabila respon terapi nya jelek maka tindakan selanjutnya adalah laser idioplasti.

9

Apabila pemakaian terapi medikamentosa secara intensif dianggap masih belum menurunkan TIO ke tingkat aman secara cepat, maka bisa dilakukan parasintesis.

D.

5.

Pencegahan Cara terbaik untuk mencegah serangan glaukoma sudut tertutup akut adalah memeriksakan mata secara teratur, terutama jika berisiko tinggi. Dokter dapat mengawasi tingkat tekanan dan seberapa baik cairan mengalir. Jika dokter menganggap risiko sangat tinggi, dokter mungkin menyarankan perawatan laser untuk menahan serangan (Wachler,2017).

6.

Prognosis Prognosis akan baik apabila glaukoma akut cepat terdeteksi dan mendapat terapi sesegera mungkin.

ENDOFTALMITIS 1. Definisi Endoftalmitis adalah peradangan intraokular yang jarang terjadi namun mengancam penglihatan, yang dapat muncul setelah operasi okular ataupun trauma, atau manifestasi dai infeksi sistemik (Kernt dan Kampik, 2010). Ini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan peradangan intraokular yang melibatkan rongga vitreous dan ruang anterior mata dan dapat melibatkan jaringan mata yang berdekatan lainnya seperti koroid atau retina, sklera atau kornea. Endoftalmitis dibagi menjadi dua berdasarkan penyebabnya yaitu endoftalmitis endogen dan eksogen (Sheu, 2017). Disebut endolftamitis endogen jika infeksi yang terjadi mencapai mata dengan cara menginfeksi tubuh lainnya. Endoftalmitis endogen terjadi akibat dari penyebaran hematogen bakteri atau jamur ke dalam mata. Sedangkan, endoftalmitis eksogen disebabkan oleh patogen melalui mekanisme seperti operasi mata, trauma terbuka, dan suntikan intravitreal. Endoftalmitis memiliki faktor risiko yang berbeda serta patogen penyebabnya, sehingga membutuhkan strategi diagnostik, pencegahan, dan pengobatan yang berbeda. 2. Epidemiologi Endoftalmitis endogen merupakan kasus yang jarang terjadi, biasanya kasus endoftalmitis endogen terjadi pada 2-15% dari semua jenis kasus endoftalmitis. Beberapa kasus yang telah terjadi, mata kanan 2 kali lebih berpotensi terinfeksi daripada mata kiri. Hal ini terjadi karena lokasinya yang lebih proksimal untuk arah aliran darah arteri dari arteri anonima dextra ke arteri carotis dextra. Endoftalmitis eksogen juga jarang terjadi, sebagai komplikasi pasien yang menjalani operasi intraokular. Pada pasien yang menjalani ekstraksi katarak di Bascom Palmer Eye Institute (BPEI) pada tahun 1995-2001, mengalami komplikasi endoftalmitis dan memiliki 10

prevalensi sebesar 0.04%. Dalam waktu yang sama di BPEI insiden endoftalmitis pada pasien yang menjalami Secondary Intraocular Lens (IOL) Implantations memiliki insiden sebesar 0.2%, 0.03% setelah menjalani pars plana vitrectomy, 0.08% setelah menjalani keratoplastik penetrasi, dan 0.2% setelah menjalani operasi filtrasi glaukoma. Di Negara Amerika Serikat sendiri, endoftalmitis pasca operasi katarak merupakan kasus yang paling sering terjadi dan memiliki prevalensi sebesar 0.1%-0.3% dari operasi lain yang dapat menimbulkan komplikasi seperti ini. Selain itu, endoftalmitis juga dapat terjadi pada injeksi intravitreal yang diperkirakan memiliki prevalensi sekitar 0,029% dari 10.000 suntikan. 3. Etiologi Penyebab endoftalmitis dapat dibagi menjadi dua yaitu endoftalmitis yang disebabkan oleh infeksi dan endoftalmitis yang disebabkan oleh imunologis atau autoimun (non infeksi). Endoftalmitis yang disebabkan oleh infeksi dapat bersifat: 1) Endogen Endoftalmitis endogen terjadi akibat penyebaran bakteri, jamur ataupun parasit dari fokus infeksi dalam tubuh, yang menyebar secara hematogen ataupun akibat penyakit sistemik lainnya, misalnya endokarditis (Sheu, 2017). 2) Eksogen Pada endoftalmitis eksogen organisme yang menginfeksi mata berasal dari lingkungan luar. Endoftalmitis eksogen dapat terjadi akibat trauma tembus atau infeksi sekunder /komplikasi yang terjadi pada tindakan pembedahan yang membuka bola mata,reaksi terhadap benda asing dan trauma tembus bola mata. Endoftalmitis eksogen dibagi menjadi :

i. Endoftalmitis Kronis Pasca Operasi Endoftalmitis terjadi 6 minggu - 2 tahun setelah operasi. Penyebab endoftalmitis kronis pasca operasi dibagi atas bakteri dan jamur. Endoftalmitis kronis pasca operasi akibat jamur disebabkan oleh candida dan aspergilus namun haruslah di bedakan dari endoftalmitis endogen. Jamur lainnya seperti Volutella, Fusarium dan Neurospora juga dapat menyebabkan infeksi kronik. Endoftalmitis kronis pasca operasi akibat bakteri paling sering disebabkan oleh Propionibacterium acnes. Bakteri lain seperti Staphylococcus epidermidis dan spesies Corynebacterium, juga bisa bisa menyebabkan infeksi kronik yang mirip. P acnes, bakteri gram-positif anaerob kommensal, ditemukan di kulit kelopak mata atau konjungtiva orang normal. 11

ii. Endoftalmitis Akut Pasca Operasi Endoftalmitis ini terjadi 1 - 42 hari setelah operasi. Biasanya disebabkan oleh bakteri Gram positif (Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, Streptococcus sp), dan bakteri Gram negatif (Pseudomonas, Proteus, Escherichia coli, dan Miscellaneous. iii. Endoftalmitis Pasca Trauma Hampir sama dengan endoftalmitis pasca operasi, dua pertiga dari bakteri penyebab endoftalmitis pasca trauma adalah gram positif dan 1015% adalah gram negatif. Bacillus cereus, dimana sangat jarang menyebabkan endoftalmitis pada kasus lain, menyebabkan hampir 25% dari semua kasus endoftalmitis pasca trauma. Endoftalmitis pasca trauma yang disebabkan oleh jamur biasanya Fusarium dan Aspergilus. iv. Endoftalmitis fakoanafilaktik Endoftalmitis fakoanafilaktik merupakan endoftalmitis unilateral ataupun bilateral yang merupakan reaksi uvea granulomatosa pada lensa yang mengalami ruptur. Endofalmitis fakoanafilaktik merupakan suatu penyakit autoimun terhadap jaringan tubuh (lensa) sendiri, akibat jaringan tubuh tidak mengenali jaringan lensa yang tidak terletak di dalam kapsul. Pada tubuh terbentuk antibodi yang akan menimbulkan gejal emdoftalmitis fakoanafilaktik 4. Patofisiologi 1) Endoftalmitis Eksogen i. Endoftalmitis Pasca Operasi Setiap prosedur operasi yang mengganggu integritas bola mata dapat menyebabkan endoftalmitis eksogen. Permukaan mata, adneksanya serta peralatan bedah yang terkontaminasi dianggap sebagai sumber infeksi primer pada endoftalmitis pasca operasi. Tingkat keparahan serta klinis dari endoftalmitis pasca operasi berkaitan dengan virulensi, inokulum bakteri, waktu diagnosis, dan status imun pasien. Proses infeksi diawali dengan fase inkubasi. Pada fase inkubasi belum menampakkan gejala klinis dan terjadi 16-18 jam. Selama fase ini bakteri berproliferasi dan inokulasi bakteri intraokular selanjutnya menembus barrier aqueous, hal ini diikuti dengan eksudasi fibrin dan infiltrasi seluler oleh granulosit neutrofil. Fase inkubasi bervariasi tergantung dari jenis bakteri patogen (contoh, Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa selama 10 menit, Propionibacterium sp. >5 jam) dan faktor lain seperti toksin yang diproduksi oleh bakteri. Setelah terjadinya infeksi primer pada bagian posterior kemudian akan diikuti inflamasi pada ruang anterior dan respon imun yaitu makrofag dan limfosit akan menginfiltrasi ke dalam rongga vitreous 12

dalam waktu sekitar 7 hari. Dalam waktu 3 hari setelah infeksi intraokular, antibodi spesifik patogen dapat terdeteksi. Antibodi spesifik patogen membantu eliminasi mikroba melalui opsonisasi dan fagositosis dalam waktu 10 hari. Mediator inflamasi, terutama sitokin merekrut leukosit yang menambah efek destruktif, cedera retina dan proliferasi vitreoretinal. a) Endoftalmitis Pasca Operasi Katarak Operasi katarak adalah salah satu operasi mata yang paling umum dilakukan di seluruh dunia, dan endoftalmitis akut pasca operasi katarak menjadi salah satu komplikasinya. Bakteri permukaan mata mencemari aqueous humor sebanyak 7-43% operasi katarak, tetapi jarang terjadi endoftalmitis. Hal ini mungkin karena aqueous humor memiliki waktu regenerasi yang cepat (100 menit). Vitreous humor tidak beregenerasi, sehingga lebih rentan terhadap infeksi. Selama operasi katarak, kabut lensa dihapus tetapi kapsul lensa posterior yang tersisa utuh. Putusnya kapsul ini secara tidak sengaja akan meningkatkan risiko endoftalmitis 14 kali lipat. Faktor risiko endoftalmitis lainnya termasuk sayatan bersih kornea dan silikon daripada akrilik lensa intra-okular (IOLs). Sebuah penelitian menyebutkan teknik yang dilakukan pada sayatan bersih kornea diduga menyebabkan terjadinya luka yang kurang stabil, sehingga memungkinkan fluktuasi tekanan intraokular dan berpotensi lebih mudahnya bakteri masuk melalui luka yang ditutup kurang benar. Bahan intraokular lensa yang berbeda berpotensi bertindak sebagai vektor untuk bakteri menyebar ke mata, selain itu viskoelastik zat seperti natrium hialuronat atau hidroksipropil metil selulosa diduga memfasilitasi penularan bakteri ke mata. b)

Endoftalmitis Pasca Injeksi Suntikan anti-vascular endothelial growth factor agents intravitreal (misalnya bevacizumab, ranibizumab, dan pegaptanib) diberikan untuk mengobati degenerasi makula neovaskular. Suntikan dapat diulang setiap bulan selama beberapa bulan, dan setiap suntikan membawa risiko kecil untuk terkena endoftalmitis. Sebuah studi menggunakan database Medicare dan didapatkan dari 40.903 suntikan, ditemukan tingkat endoftalmitis adalah 0,09% per injeksi.

c) Endoftalmitis terkait Bleb Bleb adalah cacat skleral yang sengaja dibuat saat operasi, hanya ditutupi dengan konjungtiva, yang memungkinkan kelebihan aqueous humor diserap ke dalam sirkulasi sistemik. 13

Konjungtiva merupakan pemisah antara flora permukaan okular dari aqueous humor di bleb itu, sehingga endoftalmitis dapat terjadi setiap saat. Bleb penyaring adalah penanganan untuk glaukoma. Risiko endoftalmitis adalah 1,3% per pasien tiap tahun. ii.

Endoftalmitis Pasca Trauma Peningkatan resiko endoftalmitis pasca trauma terjadi pada mata dimana terdapat luka-luka yang kotor, pecahnya kapsul lensa, usia yang lebih tua. Bacillus sp. dan Streptococcus sp. merupakan spesies yang sering ditemukan berpenetrasi dalam trauma dengan disertai badan asing dengan komposisi organik intraokular. Hal ini penting karena Bacillus sp. berhubungan dengan terjadinya infeksi yang lebih agresif. Bakteri basil sering berada dimana-mana seperti tanah, air, dan debu. Virulensi dapat disebabkan oleh racun bakteri seperti hemolisin, lipase, enterotoksin dan protease yang bekerja bersama-sama. Spesies lain yang menjadi penyebab endoftalmitis pasca trauma diantaranya S.epidermidis, Propionibacterium acnes, Pseudomonas dan Streptococcus sp., organisme Gram negatif, fungi, dan sebagainya. Endoftalmitis pasca trauma juga bisa diakibatkan karena penyebaran dari kornea, sklera yang terinfeksi, atau luka disekitarnya. Tergantung dari virulensi patogen, endoftalmitis pasca trauma dapat terjadi dalam beberapa jam setelah trauma sampai beberapa minggu setelah trauma. Penelitian lain menunjukkan bahwa penurunan fungsi retina dan infiltrasi neutrofil pada vitreous dapat terjadi dalam waktu 4 jam pasca infeksi.

2) Endoftalmitis Endogen Berbeda dengan endoftalmitis eksogen, dimana patogen masuk dari luar tubuh menuju ke mata, pada endoftalmitis endogen terjadi infeksi sekunder yang menyebar secara hematogen dari sumber yang berjauhan didalam tubuh. Hal tersebut terjadi ketika mikroorganisme dalam aliran darah masuk ke mata, melewati blood ocular barrier dan menginfeksi jaringan okular. Karena aliran darah yang lebih tinggi, koroid dan korpus siliari merupakan fokus infeksi primer di mata dan secara sekunder melibatkan retina dan vitreous. Sebagian besar organisme mencapai mata melalui jaringan vaskuler pada bagian posterior mata. Mata kanan lebih sering terkena karena lokasinya yang lebih proksimal untuk arah aliran darah arteri dari arteri anonima dextra ke arteri carotis dextra. Penyebaran langsung dari fokus infeksi juga dapat terjadi pada kasus infeksi sistem saraf pusat melalui nervus optikus. Tidak seperti endoftalmitis akibat pasca operasi dan pasca trauma, dimana kerusakan jaringan secara primer disebabkan oleh produksi toksin dari organisme, pada endoftalmitis endogen, kerusakan jaringan 14

terjadi karena septik embolus yang memasuki jaringan vaskuler pada bagian posterior mata dan bertindak sebagai sebuah nidus untuk diseminasi dari organisme kedalam jaringan sekitarnya setelah melewati blood-ocular barrier. Hal ini menyebabkan proliferasi mikroba dan reaksi inflamasi pada jaringan yang terkena. Infeksi meluas dari retina dan koroid kedalam ruang vitreus dan kemudian menuju ke ruang anterior dari mata. Faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya endoftalmitis endogen terutama berkaitan dengan terjadinya imunosupresi atau peningkatan faktor resiko terhadap infeksi yang bekaitan dengan darah. Faktor resiko yang paling sering terjadi berkaitan dengan penyakit imunosupresi seperti diabetes melitus, infeksi HIV, kanker, gagal ginjal yang memerlukan dialisis, penyakit jantung, penggunaan antibiotik spektrum luas jangka panjang, steroid dan obat imunosupresi lainnya, operasi seperti operasi intra abdominal, penyalahgunaan obat intravena. Asal infeksi yang paling sering dilaporkan adalah abses pada hati, diikuti oleh pneumonia, endokarditis, infeksi jaringan ikat, infeksi saluran urin, meningitis, septik artritis, dan selulitis orbital. 5.

Manifestasi Klinis Manifestasi klinis dari endoftalmitis dapat diketahui dari gejala subjektif dan objektif yang didapatkan dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Gejala Subjektif: 1) Secara umum gejala subjektif antara lain : 2) Fotofobia (rasa takut pada cahaya) 3) Nyeri pada bola mata 4) Penurunan tajam penglihatan 5) Nyeri kepala 6) Mata terasa bengkak 7) Kelopak mata bengkak, merah, kadang sulit untuk dibuka Ada riwayat tindakan bedah, trauma tembus bola mata disertai dengan atau tanpa adanya penetrasi benda asing perlu diperhatikan karena adanya kemungkinan penyebab eksogen. Mengenai penyebab endogen maka penderita perlu dianamnesis mengenai ada atau tidaknya riwayat penyakit sistemik yang dideritanya. Penyakit yang merupakan predisposisi terjadinya endoftalmitis diantaranya adalah diabetes melitus, AIDS dan SLE yang dapat dihubungkan dengan imunitas yang rendah. Sedangkan beberapa penyakit infeksi yang menyebabkan endoftalmitis endogen akibat penyebarannya secara hematogen adalah meningitis , endorkaditis, infeksi saluran kemih, infeksi paru-paru dan pielonefritis. Untuk endoftalmitis fakoanafilaktik, dapat ditanyakan tentang adanya riwayat segala subjektif katarak yang diderita pasien sebelumnya. 15

Gejala Objektif: Kelainan fisik yang ditemukan berhubungan dengan struktur bola mata yang terkena dan derajat infeksi/peradangan. Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan luar, slit lamp dan funduskopi kelainan fisik yang dapat ditemukan yaitu berupa : 1) Udem Palpebra Superior 2) Reaksi konjungtiva berupa hiperemis dan kemosis 3) Injeksi siliar dan injeksi konjungtiva 4) Udem Kornea 5) Kornea keruh 6) Keratik presipitat 7) Bilik mata depan keruh 8) Hipopion 9) Kekeruhan vitreus 10) Penurunan reflek fundus dengan gambaran warna yang agak pucat ataupun hilang sama sekali Endoftalmitis yang disebabkan jamur, di dalam corpus vitreous ditemukan masa putih abu-abu, hipopion ringan, bentuk abses satelit di dalam badan kaca, dengan proyeksi sinar yang baik. 6.

Pemeriksaan Penunjang 1)Metode kultur merupakan langkah yang sangat diperlukan karena bersifat spesifik untuk mendeteksi mikroorganisme penyebab. Teknik kultur memerlukan waktu 48 jam – 14 hati. Bahan-bahan yang dikultur diambil dari cairan dari COA dan corpus vitreous. Pada endoftalmitis, biasanya terjadi kekeruhan pada corpus vitreous. Oleh sebab itu, bila dengan pemeriksaan oftalmoskop, fundus tidak terlihat, maka dapat dilakukan pemeriksaan USG mata. Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan apakah ada benda asing dalam bola mata, menilai densitas dari vitreitis yang terjadi dan mengetahui apakah infeksi telah mencapai retina 2)Pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan untuk mengetahui dengan pasti kuman penyebab endoftalmitis, terutama bila ada penyakit sistemik yang dapat menimbulkan endoftalmitis, melalui penyebaran secara hematogen. Pemeriksaan penunjang tersebut dapat berupa : a) Pemeriksaan darah lengkap, LED, kadar nitrogen, urea darah, kreatinin b) Foto rontgen thoraks c) USG Jantung d) Kultur darah, urin, LCS, sputum, tinja

7. Diagnosis 16

Mengenai penyebab endogen maupun eksogennya maka penderita perlu di anamnesis mengenai ada atau tidaknya riwayat penyakit sistemik yang dideritanya yang merupakan faktor resiko dari endoftalmitis. Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan dengan melihat gejala klinisnya serta pemeriksaan penunjang bisa dilakukan tes laboratorium yang paling penting dalam kasus endoftalmitis adalah Gram stain dan kultur vitreous humor. Hal ini dilakukan untuk mengetahui jenis mikroorganisme yang menginfeksi lebih spesifik. Pada kasus endoftalmitis, cairan di korpus vitreous keruh akibat adanya infeksi. Hal ini dapat dilihat dengan menggunakan oftalmoskop untuk melihat apakah terdapat benda asing dalam bola mata dan mengetahui perkembangan infeksi sudah mencapai retina atau belum. Untuk kasus endoftalmitis endogen, pemeriksaan laboratorium lain dapat dilakukan. Complete Blood Count (CBC) untuk mengetahui tanda-tanda infeksi dengan menghitung jumlah leukosit. Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR) untuk mengevaluasi penyebab rematik, infeksi kronik atau keganasan. Biasanya ESR normal pada kasus endoftalmitis. Lalu pemeriksaan kadar urea darah dan kreatinin untuk mengevaluasi pasien dengan gagal ginjal yang dimana meningkatkan resiko. Pemeriksaan imaging juga dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis. Jika dengan oftalmoskop tidak terlihat dapat menggunakan USG (Ultrasonografi) yang bermanfaat untuk melihat adanya penebalan retina, koroid dan benda asing di okular. Lalu rontgen dada untuk mengevaluasi sumber infeksi dan USG jantung dimana bertujuan mengevaluasi endokarditis sebagai sumber infeksi 8.

Diagnosis Banding 1) Panoftalmitis Panoftalmitis adalah peradangan supuratif intraokular yang melibatkan rongga mata hingga lapisan luar bola mata, kapsul tenon dan jaringan bola mata. Panoftalmitis biasanya disebabkan oleh masuknya organisme piogenik ke dalam mata melalui luka pada kornea yang terjadi secara kebetulan atau akibat operasi atau mengikuti perforasi suatu ulkus kornea. Sebagian kecil, kemungkinan akibat metastasis alamiah dan terjadi dalam kondisi seperti pyaemia, meningitis atau septikemia purpural. Panoftalmitis menimbulkan beberapa gejala yaitu, kemunduran penglihatan disertai rasa sakit, mata menonjol, edema kelopak, konjungtiva kemotik, kornea keruh, bilik mata dengan hipopion dan refleks putih di dalam fundus dan okuli. Panoftalmitis memerlukan penanganan yang tepat dan cepat karena merupakan infeksi mata yang paling serius mengancam penglihatan. Panoftalmitis dapat terjadi didahului dengan endoftalmitis disertai dengan proses peradangan yang mengenai ketiga lapisan mata (retina, koroid, dan sklera) dan badan kaca. Disamping itu dapat pula karena suatu uveitis septik yang lebih 17

hebat dan akibat tukak kornea perforasi. Karena ini suatu keadaan septis maka ada gejala-gejala seperti: demam, menggigil, muntah-muntah, dan sebagainya. 2) TASS (Toxic Anterior Segment Syndrome) Toxic anterior segment syndrome (TASS) juga termasuk dalam diagnosis banding endoftalmitis. TASS disebabkan karena zat non infeksi yang masuk ke dalam mata, seperti toksin bakteri, pengawet, senyawa pembersih atau solusi intraokular. Selain itu, TASS biasanya dialami pasca operasi akibat substansi zat beracun seperti instrumen, cairan, atau lensa intraokular. Hal-hal yang membedakan antara TASS dan endoftalmitis adalah onset dari TASS yang cepat (12-24 jam setelah operasi atau injeksi intravitreal), kurangnya rasa sakit atau kemerahan, edema kornea difus dan kurangnya organisme terisolasi dengan pewarnaan atau kultur. 3) Uveitis Uveitis adalah inflamasi traktus uvea (iris, korpus siliaris,dan koroid) dengan Uveitis menunjukkan suatu peradangan pada iris (iritis, iridosiklitis), corpus siliare (uveitis intermediet, siklitis, uveitis perifer, atau pars planitis), atau koroid (koroiditis). Namun dalam praktiknya, istilah ini turut mencakup peradangan pada retina (retinitis), pembuluhpembuluh retina (vaskulitis retinal), dan nervus opticus intraocular (papilitis). Uveitis bisa juga terjadi sekunder akibat radang kornea (keratitis), radang sklera (skleritis), atau keduanya (sklerokeratitis). Uveitis biasanya terjadi pada usia 20-50 tahun dan berpengaruh pada 10-20% kasus kebutaan yang tercatat di negara-negara maju. Uveitis lebih banyak ditemukan di negara-negara berkembang dibandingkan negara-negara maju karena lebih tinggi prevalensi infeksi yang bisa mempengaruhi mata, seperti toksoplasmosis dan tuberkulosis di negara-negara berkembang. 4) Ulkus Kornea Ulkus biasanya disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: a) Infeksi bakteri (misalnya Staphylococcus sp., Pseudomonas sp. atau Strepococcus pneumoniae), jamur, virus (misalnya herpes) atau protozoa Acanthamoeba. b) Kekurangan vitamin A atau protein c) Mata kering (karena kelopak mata tidak menutup secara sempurna dan melembabkan kornea). Gejala yang muncul akibat ulkus kornea misalnya, rasa nyeri, peka terhadap cahaya (fotofobia) dan peningkatan pembentukan air mata, 18

gangguan penglihatan, mata terasa gatal, kornea akan tampak bintik nanah yang berwarna kuning dan lain sebagainnya. 5) Ruptur bola mata Trauma dapat menyebabkan ruptur pada bola mata dan pembuluh darah iris, akar iris dan badan siliar sehingga mengakibatkan pendarahan dalam bilik mata depan. Trauma pada mata dapat terjadi dalam bentuk-bentuk antara lain trauma tumpul, trauma tembus bola mata, trauma kimia, dan trauma radiasi. Trauma kimia basa mengakibatkan suatu kegawatdaruratan. Basa akan menembus kornea, camera oculi anterior, dan sampai retina dengan cepat, sehingga berakhir dengan kebutaan. 6) Perdarahan Vitreous Perdarahan vitreous adalah ekstravasasi darah ke salah satu dari beberapa ruang potensial yang terbentuk di dalam dan di sekitar korpus vitreous. Kondisi ini dapat diakibatkan langsung oleh robekan retina atau neovaskularisasi retina, atau dapat berhubungan dengan perdarahan dari pembuluh darah yang sudah ada sebelumnya. Perdarahan vitreous dapat terjadi akibat dari retinitis proliferans, oklusi vena sentral, oklusi vena cabang, ablasio retina, kolaps posterior vitreus akut tanpa harus ada robekan. Pasien dengan perdarahan vitreus sering datang dengan keluhan mata kabur atau berasap, ada helai rambut atau garis (floaters), fotopsia, seperti ada bayangan dan jaring laba- laba. Gejala subyektif yang paling sering ialah fotopsia, floaters. Fotopsia ialah keluhan berupa kilatan cahaya yang dilihat penderita seperti kedipan lampu neon di lapangan. Kilatan cahaya tersebut jarang lebih dari satu detik, tetapi sering kembali dalam waktu beberapa menit. Kilatan cahaya tersebut dilihat dalam suasana redup atau dalam suasana gelap. Fotopsia diduga oleh karena rangsangan abnormal vitreus terhadap retina. Floaters adalah kekeruhan vitreus yang sangat halus, dilihat penderita sebagai bayangan kecil yang berwarna gelap dan turut bergerak bila mata digerakkan. 9.

Penatalaksanaan 1) Antibiotik yang sesuai dengan organisme penyebab 2) Steroid secara topikal, konjungtiva, intravitreal, atau secara sistematik, yang digunakan untuk pengobatan semua jenis endoftalmitis. 3) Sikloplegia tetes dapat diberikan untuk mengurangi rasa nyeri, stabilisasi aliran darah pada mata. 4) Tindakan Vitrektomi. Keadaan visus yang buruk pada endoftalmitis, dikarenakan virulensi mikroorganisme penyebab yang memiliki enzim proteolitik dan produk toksin yang dapat merusak retina, serta kemampuan multiplikasi yang cepat, juga jarak antara ditegakkannya diagnosis sampai pada saat terapi diberikan. Oleh karena itu pengobatan ditujukan bukan untuk memperbaiki visus, tapi untuk mengatasi proses 19

inflamasi yang terjadi, serta membatasi infeksi agar tidak terjadi penyulit dan keadaan yang lebih berat. 5) Teknik pengobatan pada endoftalmitis adalah dengan secepatnya memulai pemberian antibiotik empiris yang sudah terbukti efektif terhadap organisme spesifik yang diduga secara intravitreal dengan dosis dan toksisitas yang diketahui. 6) Pada endoftalmitis yang disebabkan oleh bakteri, terapi obat-obatan secara intraviteral merupakan langkah pertama yang diambil. Pemberian antibiotik dilakukan secepatnya bila dugaan endoftalmitis sudah ada, dan antibiotik yang sesuai segera diberikan, bila hasil kultur sudah ada. Antibiotik yang dapat diberikan dapat berupa antibiotik yang bekerja terhadap membran set, seperti golongan Penicilin, Cephalosporin dengan antibiotik yang dapat menghambat sintesa protein dengan reseptor ribosomal, seperti golongan Chloramphenicol, Aminoglycosida. 7) Antibiotik tersebut dapat diberikan secara dosis tunggal ataupun kombinasi. Kombinasi yang dianjurkan adalah gabungan antara golongan aminoglikosida. Pilihan kombinasi tersebut merupakan yang terbaik, karena: 8) Toksisitas minimal terhadap retina dan jaringan okular 9) Kombinasi tersebut lebih memiliki arti klinis dibandingkan pemberian antibiotik tunggal maupun kombinasi lainnya. 10) Sebagai terapi awal yang agresif untuk mencegah kerusakan jaringan intraokular yang luas, karena kadang mikroorganisme sulit di identifikasi dari endoftalmitis. Biasanya endoftalmitis fungal terdiagnosis bila pasien setelah pemberian antibiotik dosis tunggal atau kombinasi tidak berespon. Ataupun ditemukan faktor-faktor predisposisi seperti, pasien sedang dalam pengobatan antibiotik spektrum luas dalam jangka waktu lama, pasien menderita keganasan ataupun dalam keadaan imunitas yang buruk. 11) Terapi steroid pada penyakit mata adalah untuk mengurangi inflamasi yang disertai eksudat dan untuk mengurangi granulasi jaringan. Kedua efek ini penting untuk endoftalmitis, karena dasar dari endoftalmitis adalah inflamasi, dimana prognosis visusnya dipengaruhi oleh inflamasi yang terus berlanjut. Sampai saat ini pemberian kortikosteroid pada endoftalmitis masih kontroversi walaupun sudah banyak penelitian menunjukkan hasil yang memuaskan dari pemberian Deksametason dalam menghambat reaksi inflamasi dan reaksi imun abnormal yang dapat menimbulkan kerusakan luas pada mata. Deksametason dapat diberikan secara intravitreal dengan dosis 400ug dan 1 mg secara intraokular sebagai profilaksis. 12) Pemberian Sikloplegik dapat diberikan untuk mengurangi rasa nyeri, stabilisasi aliran darah pada mata, mencegah dan melepas sineksia serta mengistirahatkan iris dan benda siliar yang sedang mengalami infeksi. Pada kasus yang berat dapat dilakukan Vitrektomi Pars Plana (PPV). 20

Virektomi Pars Plana adalah prosedur vitreoretina yang umum digunakan dalam penanganan beberapa kondisi termasuk ablasi retina , PPV sendiri bertujuan untuk mengeluarkan organisme beserta produk toksin dan enzim proteolitiknya yang berada dalam vitreous, meningkatkan distribusi antibiotik dan mengeluarkan membran siklitik yang terbentuk, yang potensial menimbulkan ablasi, serta mengembalikan kejernihan vitreous. 10.

Prognosis 1) Secara umum endoftalmitis memiliki prognosis yang buruk, dan dapat mengakibatkan hilangnya pengelihatan secara total, terutama jika diagnosis tidak dapat ditegakkan sejak awal dan pasien tidak segera diberikan pengobatan yang tepat. Diagnosis awal dan pengobatan yang tepat sangat diperlukan untuk pasien endoftalmitis. Semakin cepat dan tepat diagnosis dan pengobatan endoftalmitis maka prognosisnya menjadi semakin baik. Hasil penelitian menunjukan pengobatan awal yang diberikan dengan tepat dapat menyebabkan 64% dari total pasien dengan endoftalmitis memiliki ketajaman visual menghitung jari yang lebih baik. Terkait pengobatan secara operasi, vitrectomy yang dilakukan segera dalam waktu 2 minggu dari gejala, terutama pada kasus yang berat yang dicurigai disebabkan oleh organisme virulen, dapat memberikan hasil yang lebih baik. 2) Walaupun prognosis endoftalmitis menjadi lebih baik dengan kemajuan antibiotik dan operasi vitreoretinal, akan tetapi jumlah pasien yang memerlukan enukleasi atau pengeluaran isi masih signifikan. Enukleasi adalah suatu tindakan pembedahan mengeluarkan bola mata dengan melepas dan memotong jaringan yang mengikatnya didalam rongga orbita. 3) Dilihat dari mikroorganisme penyebab endoftalmitis, perbedaan agen infeksi memberikan prognosis yang berbeda-beda. Hasil penelitian menunjukan endoftalmitis yang disebabkan oleh bakteri memiliki prognosis yang lebih buruk jika dibandingkan dengan endoftalmitis yang disebabkan oleh jamur. Hal ini dikarenakan endoftalmitis akibat infeksi bakteri membutuhkan enukleasi atau pengeluaran isi, sedangkan pada infeksi oleh jamur tidak memerlukan adanya enukleasi. Pada infeksi bakteri, endoftalmitis yang disebabkan oleh MRSA dilaporkan berkaitan dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Sedangkan pada infeksi jamur, hasil penelitian menunjukan aspergillus menyebabkan penyakit yang lebih agresif dibandingkan dengan yeast sehingga prognosis aspergillus lebih buruk dibandingkan yeast.

E. KERATITIS 1. Definisi 21

Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh. Akibat terjadinya kekeruhan pada media kornea ini, maka tajam penglihatan akan menurun. Mata merah pada keratitis terjadi akibat injeksi pembuluh darah perikorneal yang dalam atau injeksi siliar.Keratitis biasanya diklasifikasikan dalam lapis yang terkena seperti keratitis superfisial dan profunda atau interstisial (Ilyas, 2004) 2.

Etiologi Keratitis dapat disebabkan oleh banyak faktor (Ilyas, 2004), diantaranya: 1) Virus 2) Bakteri 3) Jamur 4) Paparan sinar ultraviolet seperti sinar matahari. 5) Iritasi dari penggunaan berlebihan lensa kontak. 6) Mata kering yang disebabkan oleh kelopak mata robek atau tidak cukupnya pembentukan air mata. 7) Adanya benda asing di mata. 8) Reaksi terhadap obat seperti neomisin, tobramisin, polusi, atau partikel udara seperti debu, serbuk sari (Wijaya, 2012)

3.

Klasifikasi Menurut Biswell (2010), keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal. Berdasarkan lapisan yang terkena Keratitis dibagi menjadi: Keratitis Pungtata (Keratitis Pungtata Superfisial dan Keratitis Pungtata Subepitel). Keratitis pungtata adalah keratitis dengan infiltrat halus pada kornea yang dapat terletak superfisial dan subepitel (Ilyas, 2004)

4.

Diagnostik Diagnosis keratitis yang tepat sangat penting untuk menentukan pengobatan dan mencapai resolusi infeksi. Andalan dalam diagnosis masih noda Gram dan kultur sampel kornea meskipun sensitivitas tidak sempurna. pewarnaan Gram dan Giemsa menguntungkan karena mereka memberikan hasil instan, dengan pewarnaan Gram secara akurat mendeteksi organisme penyebab 60% hingga 75% dari waktu. dalam kasus bakteri dan 35% hingga 90% dalam kasus jamur. Giemsa memiliki sensitivitas 40% hingga 85% untuk mendiagnosis kasus jamur. Agar darah dan cokelat paling sering digunakan untuk membiakkan bakteri, sedangkan agar Sabouraud atau kentang dekstrosa yang terbaik untuk mengisolasi jamur, dan agar nonnutrisi dengan Hamparan Escherichia coli dapat digunakan untuk membudidayakan Acanthamoeba. Thioglycollate broth adalah pilihan lain untuk mengidentifikasi bakteri aerob atau anaerob fakultatif, tetapi kontaminasi adalah masalah, dan seringkali sulit untuk menentukan apakah organisme terisolasi merupakan penyebab infeksi. Keratitis virus sebagian 22

besar didiagnosis pada pemeriksaan klinis karena ciri khas penampilan dendritiknya, tetapi reaksi berantai polimerase kadang-kadang digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis dengan sensitivitas tinggi. Masih ada ruang besar untuk eksplorasi metode baru untuk mendiagnosis keratitis infeksi. Mikroskopi confocal in vivo telah meningkat popularitasnya dalam beberapa tahun terakhir karena kecepatannya dan sensitivitasnya yang tinggi dalam mendeteksi organisme yang lebih besar, seperti jamur berfilamen, acanthamoeba, dan bakteri Nocardia. Anterior segment optical tomografi koherensi telah digunakan baru-baru ini untuk memberikan ukuran objektif infiltrasi kornea atau ukuran bekas luka atau untuk memantau penipisan kornea selama perawatan.( Lietman, 2017) 5.

Tatalaksana A. Keratitis bakteri Di Amerika Serikat, keratitis bakteri paling terkait dengan penggunaan lensa kontak. Kasus yang parah dapat berkembang dengan cepat dan menyebabkan kehilangan penglihatan permanen yang membutuhkan transplantasi kornea.( Ariana, 2017) 1) Antibiotik Antibiotik topikal tetap menjadi pengobatan lini pertama untuk keratitis bakteri. Dokter menimbang banyak faktor ketika memilih rejimen antibiotik, termasuk cakupan spektrum luas, toksisitas, ketersediaan dan biaya, dan epidemiologi spesifik patogen dan pola resistensi. Memang, survei internasional baru-baru ini tentang spesialis kornea menemukan bahwa kekhawatiran terhadap beberapa faktor ini merupakan prediksi pilihan antibiotik. Sebuah tinjauan gaya Cochrane baru-baru ini dari uji klinis berkualitas tinggi, acak, terkontrol pada pengelolaan keratitis bakteri dengan antibiotik topikal mengidentifikasi 16 uji coba yang membandingkan 2 atau lebih antibiotik topikal selama setidaknya 7 hari. McDonald et al30 tidak menemukan perbedaan yang signifikan dalam risiko relatif dari keberhasilan pengobatan yang didefinisikan sebagai epitelisasi lengkap kornea atau pada waktu penyembuhan. Meskipun ada peningkatan risiko relatif dari efek samping minor, seperti ketidaknyamanan mata atau konjungtivitis kimia dengan aminoglikosida-sefalosporin dibandingkan dengan fluoroquinolon, tidak ada perbedaan dalam komplikasi serius. Ulkus bakteri biasanya responsif terhadap pengobatan dengan tetes antibiotik topikal yang tersedia, peningkatan tingkat infeksi yang resisten antibiotik seperti Staphylococcus aureus yang resisten methicillin di Amerika Utara telah menimbulkan kekhawatiran. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS memperkirakan bahwa 2 juta orang terinfeksi mikroba yang resistan terhadap obat setiap tahun.35 Kira-kira 80% isolat okuler 23

Staphylococcus aureus yang resisten methicillin di Amerika Serikat telah dilaporkan resisten terhadap yang paling umum. kelas antibiotik yang ditentukan, fluoroquinolones. Dalam Steroid untuk Percobaan Ulkus Kornea (SCUT), kerentanan in vitro berkorelasi dengan hasil klinis. Oleh karena itu, kultur kornea dan uji sensitivitas direkomendasikan untuk semua ulkus kornea. . Menilai respons terhadap pengobatan sangat penting, dan jika pasien tampak memburuk pada pengobatan, orang dapat mempertimbangkan beralih ke antibiotik spektrum luas yang diperkaya jika terapi awal adalah monoterapi fluoroquinolone. Namun, jika terapi awal dengan antibiotik spektrum luas yang diperkaya, toksisitas dari tetes dapat menjadi faktor paling penting yang mempengaruhi penyembuhan, dan mengurangi terapi sering disarankan. Bahkan ketika patogen ulkus bakteri rentan terhadap antibiotik topikal yang tersedia, hasil klinis dapat menjadi buruk karena astigmatisme tidak teratur dan opacity kornea. Oleh karena itu, faktor-faktor investigasi yang mengurangi respon inflamasi terhadap infeksi, yang mengakibatkan pencairan kornea dan jaringan parut selanjutnya, mungkin merupakan cara untuk memiliki dampak terbesar pada hasil klinis pada keratitis bakteri. 2) Antikolagenase Selama infeksi akut fibroblas, keratosit dan sel-sel inflamasi lainnya mengeluarkan enzim, seperti kolagenase dan matriks metalloproteinase, yang terlibat dalam degradasi protein dan keratolisis. Mengarahkan terapi ke arah stabilisasi pencairan kornea dapat mengurangi timbulnya komplikasi parah keratitis infeksius, seperti perforasi kornea dan perlunya terapi penetrasi keratoplasty. Tetrasiklin telah terbukti menghambat kolagenase dan telah menunjukkan aktivitas antimetalloproteinase in vitro. Dalam satu penelitian laboratorium, ulserasi kornea yang diinduksi alkali pada kelinci berkurang secara dramatis dari 85% menjadi 9% pada mereka yang secara acak menjadi tetrasiklin sistemik dosis tinggi administrasi.45 Dalam penelitian kelinci lainnya, doksisiklin sistemik mengurangi tingkat perforasi kornea pada ulkus pseudomonas sekitar 50% . Sayangnya, tidak ada uji coba terkontrol acak berkualitas tinggi pada manusia untuk memandu dokter dalam menggunakan adjuvan doksisiklin untuk pengobatan. ulserasi kornea meskipun digunakan secara luas di kalangan spesialis kornea. 3) Steroid 24

Penggunaan kortikosteroid ajuvan telah lama diperdebatkan dalam pengobatan keratitis bakteri. Para pendukung penggunaan kortikosteroid berpendapat bahwa mereka meningkatkan hasil dengan mengurangi peradangan, sehingga mengurangi jaringan parut, neovaskularisasi, dan pencairan stroma. Namun, yang lain berpendapat bahwa kortikosteroid menunda penyembuhan epitel dan bahkan dapat memperburuk infeksi. Ulasan Cochrane baru-baru ini dari steroid topikal adjuvant untuk keratitis bakteri mengidentifikasi 4 uji coba terkontrol secara acak yang membandingkan steroid ajuvan dengan antibiotik topikal saja. Tiga uji coba terkontrol acak kecil yang memeriksa manfaat steroid topikal ajuvan untuk pengobatan ulkus kornea tidak menemukan perbedaan dalam hasil ketajaman visual. atau waktu penyembuhan antara mereka yang secara acak menggunakan antibiotik topikal saja dan yang secara acak dengan antibiotik topikal ditambah steroid topikal B.

Keratitis jamur Ulkus jamur sering memiliki hasil yang lebih buruk daripada ulkus bakteri, dan ada sedikit bukti untuk memandu pengobatan. Keratitis jamur mewakili persentase yang relatif kecil dari kasus keratitis menular di daerah dengan iklim sedang; Namun, di daerah beriklim tropis dapat menyebabkan hingga 50% tukak infeksi. Pemakaian lensa kontak telah diidentifikasi sebagai faktor risiko keratitis jamur di Amerika Serikat, dan pecahnya keratitis Fusarium di antara pemakai lensa kontak adalah. terkait dengan solusi lensa kontak ReNu MoistureLoc (Bausch & Lomb, Rochester, NY). Belum ada perawatan yang disetujui oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan sejak natamycin, polena topikal, diperkenalkan pada 1960-an. (Jennifer, 2017) 1) Pengobatan yang efektif dengan natamisin topikal 5% dibatasi oleh penetrasi yang buruk ke dalam stroma kornea. Amfoterisin B topikal 0,3% hingga 0,5% merupakan alternatif, tetapi penggunaannya memerlukan akses ke apotek peracikan dan dibatasi oleh toksisitas. Vorikonazol, triazol generasi baru, telah mendapatkan popularitas dalam pengobatan keratitis jamur karena penetrasi okularnya yang sangat baik. Selain itu, dalam studi in vitro oleh Walsh et al, vorikonazol adalah satu-satunya obat yang diuji di mana 100% dari isolat jamur yang biasanya terlibat dalam keratitis rentan. 2) The MUTT I 25

adalah percobaan klinis terkontrol ganda, bertopeng acak yang membandingkan natamycin topikal dan vorikonazol topikal dalam pengobatan ulkus jamur berfilamen.Ulkus jamur moderat smear-positif didaftar dan diacak untuk menerima 1% vorikonazol topikal atau 5% natrium siklikal. Setelah pendaftaran 323 pasien, Komite Keamanan dan Pemantauan Data merekomendasikan menghentikan uji coba karena mereka yang diacak ke vorikonazol topikal memiliki peningkatan yang signifikan secara statistik dalam tingkat perforasi kornea atau keratoplasti penetrasi terapeutik daripada yang diacak dengan natamycin (P = 0,009). acak untuk natamycin topikal juga memiliki BSCVA 1,8 baris rata-rata lebih baik pada 3 bulan dibandingkan dengan kelompok vorikonazol (P = 0,006) . Perbedaan ini terutama terlihat di antara ulkus Fusarium, yang memiliki 4-baris BSCVA lebih baik jika diacak dengan natamisin daripada vorikonazol (P <0,001) (Gbr 4) . Ukuran bekas luka tiga bulan lebih kecil untuk borok Fusarium yang diobati dengan natamycin dibandingkan yang dirawat dengan vorikonazol (koefisien = -1,02 mm; P <0,001), tetapi tidak untuk borok non-Fusarium (koefisien = −0.17 mm; P = 0.42). Namun, persentase yang lebih tinggi dari pasien kultur positif untuk jamur pada hari ke 6 pengobatan dalam kelompok vorikonazol daripada di natamy kelompok cin terlepas dari organisme, menunjukkan bahwa vorikonazol lebih rendah daripada natamycin dalam pengobatan semua jamur (P <0,001). 3) Vorikonazol oral Meskipun vorikonazol topikal gagal menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan natamisin, ada beberapa alasan bahwa vorikonazol oral mungkin memiliki kemanjuran dalam pengobatan keratitis jamur. Pertama, pemberian obat topikal dosis intermiten dapat menyebabkan interval tingkat obat subterapeutik, dan obat oral dapat memberikan tingkat obat yang lebih mantap di lokasi infeksi. Satu studi membandingkan sampel air setelah vorikonazol topikal dan oral menemukan bahwa pemberian vorikonazol topikal menghasilkan konsentrasi air yang sangat bervariasi dengan palung jauh di bawah konsentrasi penghambatan minimum di mana 90% isolat jamur dihambat (MIC90). Sebaliknya, vorikonazol oral memberikan tingkat obat terapeutik yang tetap relatif konstan. Dari catatan, dalam banyak kasus laporan pengobatan yang berhasil dengan 26

vorikonazol topikal, vorikonazol oral digunakan bersama dengan obat topikal.

atau

intravena

4) The Mycotic Ulcer Treatment Trial II adalah percobaan klinis bertopeng ganda, acak, terkontrol plasebo yang menyelidiki efek vorikonazol oral adjuvant versus plasebo oral untuk keratitis jamur filamen positifsmear. Tidak ada perbedaan dalam hasil primer, tingkat perforasi , atau kebutuhan untuk terapi penetrasi keratoplasti antara 2 lengan pada 3 bulan (rasio bahaya, 0,82; P = 0,29) .82 Juga tidak ada perbedaan dalam hasil sekunder, seperti ketajaman visual (P = 0,77), ukuran parut (P = 0,35), dan laju epitelisasi ulang (P = 0,65). Ada secara signifikan lebih banyak efek samping pada kelompok vorikonazol oral, termasuk peningkatan aspartat aminotransferase atau alanin aminotransferase (P = 0,003) dan gangguan penglihatan (P = 0,03), daripada pada kelompok plasebo. 5) Analisis subkelompok berikutnya memang menemukan manfaat yang mungkin untuk vorikonazol oral dalam ulkus Fusarium. Potensi perawatan tambahan lainnya untuk keratitis jamur termasuk injeksi intracameral dari amfoterisin dengan atau tanpa drainase hypopyon atau injeksi intrastromal vorikonazol. Namun, studi lebih lanjut dari teknik ini dengan uji coba terkontrol acak yang dirancang dengan baik diperlukan untuk menentukan manfaatnya. Oleh karena itu, pada saat ini, natamycin topikal tetap menjadi pengobatan berbasis bukti untuk keratitis jamur berfilamen, dan vorikonazol oral tambahan harus dipertimbangkan jika organisme tersebut adalah Fusarium. C.

Keratitis virus Keratitis virus herpes simpleks (HSV) mempengaruhi sekitar 500.000 orang di Amerika Serikat dan diperkirakan 1,5 juta di seluruh dunia. Ini adalah penyebab paling umum kebutaan kornea infeksius unilateral di banyak negara maju. Keratitis virus berbeda dari bakteri dan keratitis jamur yang dapat menjadi kronis dan berulang. Selain infeksi yang menyakitkan dan mengancam penglihatan, keratitis HSV telah terbukti secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup bahkan ketika pasien tidak mengalami infeksi aktif. Bentuk keratitis virus yang kurang umum termasuk keratitis virus varicella-zoster (VZV) keratitis dan cytomegalovirus ( CMV) keratitis. (Nussbaumer, 2017)

27

1) Perawatan topikal Perawatan topikal untuk keratitis virus termasuk obat antivirus dan kortikosteroid topikal tambahan. Antiviral trifluridine topikal adalah obat antivirus topikal yang paling sering diresepkan untuk keratitis HSV di Amerika Serikat. Meskipun trifluridine efektif dalam mengobati keratitis HSV, trifluridine ini memiliki bioavailabilitas yang rendah dan menyebabkan toksisitas permukaan okular, sehingga penggunaannya menjadi lebih terbatas seperti obat topikal baru. antivirus dikembangkan. Asiklovir topikal adalah pengobatan lini pertama untuk keratitis HSV di Eropa karena telah terbukti sama efektifnya dengan trifluridin dengan toksisitas permukaan okular yang lebih sedikit. Sayangnya, itu tidak tersedia di Amerika Serikat. Ganciclovir adalah obat sintetis yang lebih baru dengan cakupan antivirus spektrum luas. Selain mengobati keratitis HSV dan VZV, gansiklovir topikal juga efektif dalam mengobati keratitis yang disebabkan oleh CMV.Ganciclovir telah terbukti sama efektifnya dengan asiklovir, sementara menyebabkan toksisitas okular yang lebih sedikit. Ini juga lebih kecil kemungkinannya untuk mempromosikan resistansi terhadap obat. Northwestern University saat ini sedang melakukan uji coba terkontrol secara acak besar yang menyelidiki ganciclovir untuk pengobatan keratitis VZV. 2) Kortikosteroid topikal kadang-kadang digunakan sebagai terapi tambahan untuk antivirus topikal. The Herpetic Eye Disease Study (HEDS) I mengevaluasi efektivitas kortikosteroid dalam mengobati keratitis stroma HSV. Dalam uji coba terkontrol secara acak ini, 106 pasien dengan keratitis stroma HSV aktif diacak untuk menerima prednisolon fosfat atau plasebo topikal, meruncing selama periode 10 minggu. Semua pasien menerima trifluridine topikal. HEDS Saya menemukan bahwa waktu ratarata untuk kegagalan pengobatan secara drastis lebih pendek pada kelompok plasebo: 17 hari pada kelompok plasebo dan 98 hari pada kelompok steroid topikal (P <0,001) . Waktu untuk penyelesaian infeksi secara signifikan lebih pendek pada kelompok tersebut. menerima kortikosteroid topikal, dengan median 26 hari untuk mereka yang menggunakan kortikosteroid dan 72 hari untuk mereka yang menggunakan plasebo (P <0,001). Ketajaman visual pada 6 bulan adalah serupa di seluruh kelompok. 3) Perawatan Oral 28

HEDS I juga meneliti adjuvant oral acyclovir sebagai pengobatan untuk keratitis stroma HSV. Sebanyak 104 pasien yang menerima trifluridine topikal dan kortikosteroid secara acak menerima 200 mg asiklovir oral atau plasebo, yang harus diminum 5 kali sehari selama 10 minggu. Walaupun para peneliti menemukan bahwa asiklovir oral menunda kegagalan pengobatan (dari 62 hari dalam plasebo). kelompok hingga 84 hari dalam kelompok asiklovir), hasil ini tidak signifikan secara statistik (P = 0,46). Asiklovir oral memang menghasilkan peningkatan yang signifikan secara statistik pada BSCVA pada 6 bulan (P = 0,04), tetapi pentingnya hasil ini sulit untuk ditentukan mengingat bahwa ada perbedaan yang relatif besar dalam BSCVA awal antara kelompok. Asiklovir oral terbukti manjur melawan keratitis VZV, dan hasil dari HEDS I sering diterapkan dengan cara yang sama pada pengobatannya. 4) Valacyclovir, antivirus yang lebih baru, dapat ditoleransi dengan baik, dan ada beberapa bukti bahwa itu mungkin memiliki penetrasi okular yang lebih baik. Selain itu, dosis pengobatan untuk valasiklovir adalah 1 g 3 kali sehari, dibandingkan dengan asiklovir, yaitu 400 mg 5 kali sehari (800 mg 5 kali sehari untuk VZV), yang membantu kepatuhan pasien. Valgansiklovir oral adalah pengobatan yang lebih disukai untuk keratitis stroma CMV, tetapi memiliki efek samping yang signifikan, termasuk anemia aplastik, yang harus dipantau secara ketat. Dalam praktik kami, kami biasanya menggunakan antivirus oral untuk menghindari toksisitas okular yang dapat memperumit terapi topikal dan mengaburkan gambaran klinis. Kami memesan obat topikal untuk perawatan ajuvan ketika obat oral tidak memadai atau pada pasien yang bukan kandidat yang baik untuk terapi sistemik. 5) Profilaksis HEDS II memeriksa penggunaan asiklovir oral yang berkepanjangan untuk HSV okular berulang. Percobaan besar, multisenter, acak, terkontrol plasebo ini menemukan bahwa kekambuhan HSV okular adalah 45% lebih rendah pada kelompok asiklovir, dengan 19% pada kelompok asiklovir mengalami kekambuhan dan 32% pada kelompok plasebo mengalami kekambuhan 12 bulan (P <0,001 ) . 6) Herpes zoster ophthalmicus (HZO) disebabkan oleh reaktivasi VZV setelah infeksi primer. Sejak diperkenalkannya vaksinasi varicella rutin pada anak-anak, telah terjadi peningkatan insiden 29

HZO yang dikaitkan dengan kurangnya dorongan kekebalan alami pasif terhadap virus.Pada saat ini, rekomendasinya adalah untuk memvaksinasi semua orang dewasa yang lebih tua dengan zoster. vaksin untuk mencegah HZO dan infeksi zoster lainnya. Zoster Eye Disease Study akan menyelidiki penggunaan valacyclovir oral untuk profilaksis keratitis VZV yang diperpanjang. 7) Keratitis kultur-negatif tetap menjadi masalah yang signifikan bagi dokter. Di Aravind Eye Hospital di India, misalnya, 38% kerokan kornea dari mata dengan dugaan keratitis infeksius diuji negatif pada kedua kultur dan apusan antara 2002 dan 2012. Pengurutan generasi selanjutnya dapat meningkatkan akurasi diagnostik keratitis infeksi, terutama untuk organisme sulit untuk dikultur dengan metode konvensional, seperti bakteri atipikal atau anaerob. Pengurutan generasi selanjutnya dapat mendeteksi lebih banyak organisme daripada teknik kultur tradisional dan memberi kami banyak informasi tentang mikrobioma permukaan okular. Namun, tidak jelas apakah pendekatan ini dapat digunakan untuk secara efektif menentukan penyebab infeksi atau data sensitivitas antibiotik. 8) Collagen Cross-Linking untuk Keratitis Bakteri dan Jamur Collagen cross-linking (CXL) adalah perawatan di mana riboflavin yang diaktifkan secara fotokimia mempromosikan pembentukan ikatan kovalen antara molekul-molekul kolagen dalam kornea. Pengikatan silang kolagen membantu memperkuat jaringan kornea dan saat ini digunakan untuk mengobati keratoconus dan gangguan ektatik kornea lainnya. Pengikatan silang kolagen mungkin bermanfaat dalam pengobatan borok infeksius karena efek antimikroba langsung dan potensinya. untuk meningkatkan ketahanan kornea terhadap degradasi enzimatik. 9) Studi in vitro menunjukkan sinar ultraviolet-A plus riboflavin efektif melawan banyak patogen bakteri yang menyebabkan borok kornea. Sejumlah laporan kasus menunjukkan CXL berpotensi bermanfaat dalam pengobatan keratitis bakteri dan jamur yang bandel, dengan efek termasuk peningkatan gejala, penghentian peleburan progresif, dan resolusi infeksi yang resisten terhadap pengobatan. Satu seri kasus kecil mengobati 16 pasien dengan keratitis bakteri secara eksklusif dengan CXL. Empat belas pasien bisul sembuh tanpa perawatan lebih lanjut; hanya 2 yang membutuhkan antibiotik topikal untuk membersihkan infeksi. Jika CXL dapat digunakan sebagai 30

pengganti pengobatan antibiotik, ini dapat membantu mengobati infeksi yang resistan terhadap obat dan menghindari toksisitas permukaan okular yang saat ini dapat mempersulit perawatan ulkus bakteri. 10) Ada bukti yang kurang kuat untuk mendukung penggunaan CXL dalam mengobati keratitis jamur berfilamen. In vitro CXL sendiri belum terbukti menonaktifkan jamur, meskipun satu studi in vitro menemukan CXL plus amfoterisin untuk meningkatkan penghambatan patogen jamur daripada amfoterisin saja. Meskipun tidak ada banyak bukti pendukung untuk menggunakan CXL untuk mengobati keratitis jamur , sudah digunakan bersama dengan antijamur oleh beberapa dokter berharap bahwa itu dapat menambah manfaat mengingat prognosis buruk untuk borok jamur. 11) Sampai saat ini, 3 uji klinis prospektif telah dilakukan untuk menilai efek CXL dalam pengobatan keratitis infeksi. Bamdad et all secara acak 32 pasien dengan keratitis bakteri moderat untuk menerima CXL ditambah terapi standar atau terapi standar saja. Dua minggu setelah pengobatan, mereka yang menerima CXL memiliki tingkat radang rata-rata yang lebih rendah (0,69 vs 1,70; P = 0,001), lebih kecil area cacat epitel (P = 0,001), dan area infiltrat yang lebih kecil (P <0,001) daripada yang menerima terapi standar saja. Durasi pengobatan rata-rata lebih pendek pada kelompok CXL (P <0,001). 12) Percobaan lain secara acak pasien dengan bakteri, jamur, Acanthamoeba, atau keratitis asal campuran untuk pengobatan CXL dibandingkan pengobatan antimikroba saja. Meskipun percobaan ini tidak menemukan perbedaan antara kelompok, itu memiliki beberapa masalah, termasuk pengacakan yang tidak tepat, dimasukkannya pasien dengan segala jenis keratitis, dan daya yang tidak mencukupi. Percobaan klinis acak kecil ketiga yang menyelidiki hubungan silang sebagai terapi adjuvant untuk tukak jamur dalam di Rumah Sakit Mata Aravind di Madurai, India, menyarankan bahwa CXL dapat meningkatkan laju perforasi pada ulkus jamur. 13) Mengingat keterbatasan uji klinis dan hasil yang beragam ini, tidak diketahui apakah CXL adalah terapi tambahan yang bermanfaat untuk keratitis infeksi. Sampai saat ini, kasus terkuat saat ini dapat dibuat untuk penggunaan CXL dalam mengobati keratitis bakteri. Diperlukan uji klinis acak skala 31

besar yang dirancang dengan baik untuk menilai sepenuhnya manfaat CXL untuk pengobatan keratitis infeksius.

32

BAB II PENUTUP A.

Simpulan Mata merah adalah salah satu gangguan pada mata yang sering ditemukan di masyarakat. Mata merah dapat mengganggu aktivitas keseharian penderita. Ditinjau dari ilmu mata, mata merah dapat berlangsung kronis maupun akut. Apabila berlangsung kronis, maka kemungkinan akan terjadi penurunan kualitas hidup dari penderita karena gangguan berlangsung lama dan tak kunjung sembuh. Mata merah merupakan keluhan yang timbul akibat terjadinya perubahan warna bola mata yang sebelumnya berwarna putih menjadi merah. Mata terlihat merah akibat melebarnya pembuluh darah konjungtiva yang terjadi pada peradangan mata akut. Klasifikasi mata merah dapat dibagi menjadi dua yakni mata merah dengan visus normal dan mata merah dengan visus menurun. Diagnosis banding untuk mata merah dengan visus menurun antara lain ulserasi kornea, anterior uveitis, keratitis, glaukoma akut, dan endoftalmitis. Penatalaksanaan kasus mata merah dengan visus normal dan mata merah dengan visus menurun tidak sama. Penatalaksanaan kasus mata merah dengan visus menurun yang melibatkan media refrakta seperti kornea, maka anti inflamasi steroid tidak diberikan.

B. Saran Hambatan yang terjadi pada penulisan tugas referat ini adalah kami dari tim penyusun kesulitan untuk membagi tugas dikarenakan kami sedang dalam posisi yang berbeda. Kami berharap dengan adanya tugas referat ini dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang membaca. Dalam pembuatan tugas referat ini masih terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk kemudian tugas referat kami ini dapat diperbaiki dan menjadi lebih baik lagi.

33

DAFTAR PUSTAKA

Agrawal, R.V., Murty, S., Sangwan, V., Biswas, J. 2010. Current approach in diagnosis and management of anterior uveitis. Indian Journal OPhtalmol. Jan-Feb; 58(1):11-19 Cafasso, J. 2017. Uveitis, https://www.healthline.com/health/uveitis#outlook, diakses pada 12 Februari 2019. Douglas J Coster. 2002. Foundation of Keratology. Fundamental of Clinical Ophthalmology: London. Harthan, J et al. 2015. Diagnosis and treatment of anterior uveitis: optometric management, https://www.dovepress.com/diagnosis-and-treatment-of-anterioruveitis-optometric-management-peer-reviewed-fulltext-article-OPTO, diakses pada 7 Februari 2019. Ikatan Dokter Indonesia (IDI).(2014). Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.Jakarta:Ikatan Dokter Indonesia. Ilyas, Sidarta. 2004. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga FKUI: Jakarta. Infectious Diseases of External Eye : Clinical Aspects chapter 7, p185-7. 2008. American Academy of Ophtalmology: San Fransisco. Katzung, Bertram G., Masters, Susan B., Trevor, Anthony J. 2012. Farmakologi dasar dan Klinik Edisi 12. The McGraw-Hill Companies, Inc. Kernt, M., & Kampik, A. (2010). Endophthalmitis: Pathogenesis, clinical presentation, management, and perspectives. Clinical ophthalmology (Auckland, N.Z.), 4, 12135. LaMattina, C. Kara. 2017. Overview of Uveitis, https://www.msdmanuals.com/professional/eye-disorders/uveitis-and-relateddisorders/overview-of-uveitis, diakses pada 7 Februari 2019. Muchatuta, N. M. 2019. Iritis and Uveitis, https://emedicine.medscape.com/article/798323-overview, diakses pada 7 Februari 2019. Sakata LM, Lavanya R, Friedman DS, et al. 2008. Comparison of gonioscopy and anterior segment ocular coherence tomography in detecting angle closure in different quadrants of the anterior chamber angle. Ophthalmology. ; 115(5):769– 774. [PubMed: 17916377] Sasongko, B. 2006. Tinjauan Penyakit : Uveitis Anterior. Universitas Katolik Soegijapranata Sheu S. J. (2017). Endophthalmitis. Korean journal of ophthalmology : KJO, 31(4), 283-289. Wachler, B. S.2017. Acute Angle Closure Glaucoma, https://www.webmd.com/eyehealth/acute-angle-closure-glaucoma#3, diakses pada 7 Februari 2019 WHO. 2004. Guidelines for the Management of at Corneal Ulcer in Primary, Secondary & Tertiary Care health facilities in the South-East Asia Region. World Health Organization Regional Office for South-East Asia.

34

Austin A, Lietman T & Rose J-Nussbaumer 2017, ‘Update on the Management of Infectious Keratitis’, American Academy of ophthalmology Journal, Volume 124, Issue 11, Pages 1678–1689

35

Related Documents


More Documents from "Anonymous CxTBhLoE8F"

Dokumen (4).docx
April 2020 20
Langsat
June 2020 18
Borang Cuti
November 2019 29
Tutor 2 Pediatri.docx
April 2020 19