Kelompok 5 Fikih Jinayah.docx

  • Uploaded by: Muhammad Arief Rahim
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kelompok 5 Fikih Jinayah.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,056
  • Pages: 16
TUGAS TERSTRUKTUR

DOSEN PEMBIMBING

FIKIH

Dra. Hj. Mashunah Hanafi, MA.

FIKIH JINAYAT

Oleh Kelompok 5 Ahmad Muzakki Junifaro

180102010164

Fathur Razaq

180102010159

Ahmad Hafizhian Noor

180102010221

FAKULTAS SYARIAH JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN 2019

A. Pengertian Pidana dalam Islam (Jinayah) a. Pengertian Secara Etismologis Pidana Islam dalam kosa kata bahasa Arab adalah ‘uqubah

(‫)االعقوبة‬.

‘Uqubah, menurut bahasa, berkedudukan sebagai ‘isim masdar yang berasal dari kata

‫ عقوب‬،‫ عقابا‬،‫ يعقب‬،‫ عقب‬, yang berarti

‫الجزاء بالشر‬,

yaitu pembalasan dengan keburukan (siksaan), hukuman, pidana, balasan dan menahan. b. Pengertian Secara Terminologi Pengertian pidana Islam secara terminologi, yaitu:

‫العقوبة هى الجزاءالمقرر لمصلحة الجماعة على عصيان امر الشارع‬ Artinya: Pidana adalah balasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan umat terhadap pelanggaran perintah Syari’ (Allah SWT dan Rasul-Nya) Dalam definisi lain, yaitu:

‫العقبة هى جزاء وضعه الشارع للرد عن ارتكاب ما نهى عنه و ترك‬ ‫ما أمربه‬ Artinya: ‘Uqubah adalah balasan yang dibuat oleh Syari’ (Allah SWT dan RasulNya) untuk menolak atau mencegah diri mengerjakan perbuatan yang dilarang, dan meninggalkan perbuatan yang diperintah. Berdasarkan definisi di atas, menurut penulis, pidana dalam Islam harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut: 1. Hukuman itu adalah produk Allah SWT.

1

2. Hukuman bertujuan Untuk kemaslahatan ummat. 3. Hukuman itu dibuat untuk orang yang melanggar perintah Allah SWT, atau larangannya.

B. Pengertian Tindak Pidana dalam Islam a. Pengertian secara Etimologis Tindak pidana dalam hukum Islam disebut

jarimah (‫ )الجريمة‬atau

jinayah (‫)الجنايه‬. Secara etimologi jarimah adalah:

‫الجريمة هي الجرم و الذنب والخطأ‬ Artinya: Jarimah yaitu melukai, berbuat dosa dan kesalahan. Menurut Ahmad Warson

Munawir, jarimah secara etimologis berarti

berbuat dosa atau kesalahan, berbuat kejahatan dan delik. b. Pengertian secara Terminologis Pengertian: Jarimah secara terminologi adalah: “Jarimah dalam syari’ah Islam yaitu larangan-larangan syara’ yang diancam oleh Allah SWT., dengan hukuman had atau ta’zir.” Larangan-larangan

tersebut adakalanya berupa mengerjakan

perbuatan yang dilarang, atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Dengan perkataan syara’ pada pengertian tersebut di atas, yang dimaksud bahwa sesuatu perbuatan baru dianggap jarimah, kecuali apabila diancam hukuman terhadapnya. Para fuqaha sering memakai kata jinayah untuk maksud jarimah. Menurut Abdul Qadir Audah, jinayah secara etimologis adalah:

‫ نسميه بالمصدر‬،‫الجناية اسم لمايجنه المرء من شروما اكتسبه‬ ‫من جنى عليه شرا‬

2

Artinya: Jinayah adalah nama (sebutan) orang yang berbuat tindak pidana(delik) atau orang yang berbuat kejahatan. Dalam definisi lain ia mengumukakan sebagai berikut.

‫سواء الفعل على نفس اومال‬،‫ اسم الفعل المحرم شرعا‬: ‫الجناية‬ ‫اوغير ذلك‬ Artinya: Jinayah adalah nama perbuatanyang diharamkan berdasarkan Syari’ah baik perbuatan yang mengenai jiwa orang, harta dan lainnya. Sayyid Sabiq memberikan definisi jinayah sebagai berikut.

‫والفعل المحرم كل فعل‬،‫الجناية فى عرف الشرع كل فعل محرم‬ ‫حظرالشارع و منع منه ما فيه من ضرر واقع على الدين أو النفس‬ ‫أو العقل أو العرض أو المال‬ Artinya: Jinayah dalam definisi Syara’ yaitu setiap perbuatan yang diharamkan, dan perbuatan yang diharamkan adalah setiap perbuatan yang dilarang oleh Allah (Syari’), karena ada bahaya yang menimpa agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta. Dengan memperhatikan definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa kata-kata jinayah dalam istilah fuqaha dianggap sama dengan kata jarimah. Sehingga definisi tindak pidana dalam Islam adalah setiap perbuatan yang diharamkan atau dilarang oleh Allah SWT dan RasulNya, yang membahayakan agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta, serta diancam oleh Allah SWT dengan hukuman Had atau ta’zir. Berdasarkan definisi di atas, menurut hemat penulis, bahwa perbuatan

seseorang

dianggap

sebagai

perbuatan

mempunyai kriteria-kriteria sebagai berikut: 1.

Perbuatan itu diharamkan atau dilarang oleh Syari’at

3

pidana

apabila

2.

Perbuatan itu berbahaya bagi agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta.1

C. Dasar Hukum Jinayat/Jarimah dalam Islam Dalam Islam menjelaskan berbagai Norma/aturan/rambu-rambu yang harus ditaati oleh setiap Mukalaf, hal itu telah termaktub dalam sumber fundamental Islam, termasuk juga perkara Jarimah atau tindak pidana dalam Islam berikut kami akan memaparkan beberapa dalil tentang HPI dan kewajiaban mentaati Hukum Allah SWT.

‫ب لَ َعل ُك ۡم تَتقُونَ ولكم في تشريع القصاص‬ ِ ‫ة ٰ َيَٰٓأ ُ ْو ِلي ۡٱۡل َ ۡل ٰ َب‬ٞ ‫اص َح َي ٰو‬ ِ ‫ص‬ َ ‫َولَ ُك ۡم ِفي ۡٱل ِق‬ ‫؛ رجاء تقوى هللا وخشيته بطاعته‬-‫يا أصحاب العقول السليمة‬- ‫وتنفيذه حياة آمنة‬ )١٧٩( .‫دائما‬

“Dan dalam Qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Al-Baqarah 179)

ۡ ‫ٱح ُكم َب ۡي َن ُهم بِ َما َٰٓ أَنزَ َل ٱَّللُ َو ََل تَتبِ ۡع أ َ ۡۡه َوآَٰ َء ُۡه ۡم َو‬ ۡ ‫َوأ َ ِن‬ ‫ض‬ َ ُ‫ٱحذَ ۡر ُۡه ۡم أَن يَ ۡفتِن‬ ِ ۡ‫عۢن بَع‬ َ ‫وَك‬ ۡ َ‫َما َٰٓ أَنزَ َل ٱَّللُ ِإلَ ۡي َۖ َك فَإِن ت َ َول ۡواْ ف‬ ‫ض ذُنُو ِب ِه ۡ ۗۡم َو ِإن‬ ِ ۡ‫ُصي َب ُهم ِب َبع‬ ِ ‫ٱعلَ ۡم أَن َما ي ُِريد ُ ٱَّللُ أَن ي‬ ‫ بيۢن اليهود بما أنزل هللا إليك‬-‫أيها الرسول‬- ‫اس لَ ٰفَ ِسقُونَ واحكم‬ ِ ‫َك ِثيرا ِمۢنَ ٱلن‬ ‫ واحذرۡهم أن يصدُّوَك عۢن‬،‫ وَل تتبع أۡهواء الذيۢن يحتكمون إليك‬،‫في القرآن‬ ‫ فإن أعرض ۡهؤَلء عما تحكم به فاعلم‬،‫بعض ما أنزل هللا إليك فتترَك العمل به‬ ‫ وإن كثيرا‬.‫ب اكتسبوۡها مۢن قبل‬ ٍ ‫أن هللا يريد أن يصرفهم عۢن الهدى بسبب ذنو‬ )٤٩( .‫مۢن الناس لَخارجون عۢن طاعة ربهم‬ “ Dan hendak lah kamu memutus perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingan 1

Dr. Mardani, Hukum Islam. (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR CELEBAN TIMUR). H. 109-112

4

kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kapadamu. Jika mereka berpaling (dari Hukuman ang telah di turunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka di sebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia orang-orang yang fasik”. (QS. AlMaidah 49)

‫ش َج َر بَ ۡينَ ُه ۡم ثُم ََل يَ ِجدُواْ فِ َٰٓي أَنفُ ِس ِه ۡم‬ َ ‫وَك فِي َما‬ َ ‫َف ََل َو َر ِب َك ََل ي ُۡؤ ِمنُونَ َحت ٰى يُ َح ِك ُم‬ ‫س ِل ُمواْ ت َ ۡس ِليما أقسم هللا تعالى بنفسه الكريمة أن ۡهؤَلء َل‬ َ ‫ض ۡي‬ َ َ‫َح َرجا ِمما ق‬ َ ُ‫ت َوي‬ ،‫يؤمنون حقيقة حتى يجعلوَك حكما فيما وقع بينهم مۢن نزاع في حياتك‬ ‫ ثم َل يجدوا في أنفسهم ضيقا مما انتهى إليه‬،‫ويتحاكموا إلى سنتك بعد مماتك‬ ‫ فالحكم بما جاء به رسول هللا صلى هللا‬،‫ وينقادوا مع ذلك انقيادا تاما‬،‫حكمك‬ ‫عليه وسلم مۢن الكتاب والسنة في كل شأن مۢن شؤون الحياة مۢن صميم اإليمان‬ )٦٥( .‫مع الرضا والتسليم‬ “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada Hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu Hakim terhdap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”, (QS.An-Nisa’ 65). D. Macam-Macam Hapusnya Hukum Mengenai

hapusnya

Hukuman,

berbeda

dengan

hapusnya

hukumandisini adalah tidak dapat dilaksnakannya hukuman-hukuman yang telah di jatuhkan atau diputuskan oleh Hakim. Dalam kaitan deanagn hapusnya hukuman karena keadaan pelaku, hukuman tidak di jatuhkan karena kondisi psikis dari pelaku sedang terganggu, misalnya karena gila, dipaksa, mabuk, atau masih dibawah umur. Asbab raf’al uqubah atau sebab hapusnya

hukuman, tidak

mengakibatkan perbuatan yang dilakukan itu diperbolehkan, melainkan tetap pada asalnya yaitu dilarang. Hanya saja oleh karena keadaan pelaku tidak

5

memungkinkan dilaksanannya hukuman, ia di bebaskan dari hukuman. Diantara macam-macam hapusnya hukuman ini ada empat macam: a. Paksaan (Al Ikrah) “paksaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan seseorang karena orang lain, dan oleh karna itu hilanglah kerelaannya atau tidak sempurna pilihannya. Atau paksaan adalah suatu perbuatan yang timbul dari orang yang memaksa dan menimbulkan pada diri orang yang dipaksa suatu keadaan yang mendorong dirinya untuk mengerjakan perbuatan yang dimintakan kepadanya. Atau paksaan adalah ancaman oleh seseorang atas orang lain dengan sesuatu yang tidak di senangi untuk mengerjakan sesuatu sehingga karenanya hilang karelaan”. b. Mabuk (Al Sukru) Mabuk, dalam pengertian umum, adalah keadaan keracunan karena konsumsi alcohol samapai kondisi di mana terjadi penurunan kemampuan mental dan fisik. Gejala umum anatara lain bicara tidak jelas, keseimbangan kacau, koordinasi buruk, muka semburat, mata merah dan kelakuankelakuan aneh lainnya. Seorang yang terbiasa mabuk kadang disebut sebagai sorang alkoholik, atau “pemabuk”.namun jika dikaji secara mendalam dalam ilmu filsafat dan Agama, mabuk berarti tidak mengerti apa yang dikerjakan namun dalam keadaan sadar. Pengertian lain yang dimaksud dengan mabuk adalah hialangnya akal sebagai akibat minum minuman keras atau khamar atau yang sejenisnya. c. Gila (Al Jununu) Secara umum dan luas, gila memiliki pengertian “hilangnya akal, rusak atau lemah”. Definisi tersebut merupakan definisi secara umum dan luas, sehingga mngcakup gila(junun), dungu (al-‘ithu), dan semua jenis penyakit kejiwaan yang sifatnya menghilangkan indrak (kemampuan berfikir). Beberapa jenis penyakit, baik yang menghilangkan seluruh

6

kekuatan berrfikir maupun sebagiannya. Gila dan keadaan-keadaan lain yang sejenis: 

Gila terus menerus Gila terus menerus adalah suatu keadaan seseorang tidak dapat berpikir sama sekali, baik hal itu diderita sejak lahir maupun yang datang kemudian. Dikalangan Fuqah, gila semacam ini disebut dengan AlJununu Al-Muthbaq.



Gila berselang Orang yang terkena penyakit gila berselang tidak dapat berfikir tetapi tidak terus- menerus.



Gila sebagian Gila sebagian menyebabkan seseoarang tidak dapat berfikir dalam perkara-perkara tertentu, sedangkan perkara-perkara yang lain ia masih dapat berfikir.

d. Dungu (Al-‘ithu) “Orang dungu adalah orang yang minim pemahamannya, pembicaraannya bercampur baur, tidak beres permikirannya, baik hal yang dibawa sejak kecil atau timbul kemudian karena suatu penyakit. e. Tuli dan Bisu Tuli addalah kondisi fisik yang di tandai dengan penurunan atau ketidak mampuan seseorang untuk memdengarkan suara. Bisu adalah ketidak mampuan seseorang untuk berbicara. f. Dibawah Umur (Shighar Assini) Menurut Syari’at Islam, pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dua perkara, yakni kekuatan berfikir dan pilihan atau iradah dan ikhtiar. Oleh karna itu, kedudukan anak kecil bebeda-beda mnurut perbedaan-perbedaan

7

masa yang dilalu hidupnya, mulai dari kelahiran sampai masa memiliki kedua perkara tersebut.2 E. Unsur atau Rukun Jinayah Sebagaimana di sebutkan sebelumnya, pengertian jinayah mengacu kepada perbuatan-perbuatan yang di larang oleh Syara’ dan di ancam dengan hukuman had atau ta’zir. Dalam kaitan ini, larangan tersebut dapat berupa larangan untuk tidak melakukan sesuatu atau larangan untuk melakukan sesuatu. Pengertaian di atas mengisyaratkan bahwa larangan-larangan atas perbuatan-perbuatan yang termasuk kategori jinayah berasal dari ketentuanketentuan (nash-nash)Syara’. Artinya, perbuatan-perbuatan manusia dapat di kategorikan sebagai jinayah jika perbuatan-perbuatan tersebut di ancam hukuman. Karena larangan-larangan tersebut berasal dari Syara’ maka laranganlarangan tadi hanya di tunjukan kepada orang-orang yang berakal sehat. Hanya orang-orang yang berakal sehat saja yang dapat menerima panggilan (khithab)_dan, oleh sebab itu, mampu memahami pembebanan (taklif) _ dari Syara’. Perbuatan-perbuatan merugikan yang di lakukan oleh orang gila atau anak kecil tidak dapat di kategorikan sebagai jinayah,karena mereka tidak dapat menerima khitahab atau memahami taklif. Dari penjelasan tersebut, dapat ditarik unsur atau rukun umum dari jinayah. Unsur atau rukuun jinayat tersebut adalah: a) Adanya nash, yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas perbuatan-perbuatan diatas. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur formal” (ar-Rukn al-Syar`i)

2

Daud Tarmizi, Sebab Terhapusnya Hukum Jinayah, di akses dari https://rifakh.blogspot.com/2016/12/ tanggal 24 Maret 2019 pukul 22:22

8

b) Adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah, baik berupa melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur material” (al-Rukn al-Madi) c) Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima khithab atau dapat memahami taklif, artinya pelaku kejahatan tadi adalah mukallaf, sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur moral” (al-Rukn al-Adabi) Perbuatan dikategorikan jinayah jika mempunyai unsur-unsur/ rukunrukun tadi. Tanpa ketiga unsur tersebut, sesuatu perbuatan tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan jinayah. Disamping unsur umum ini, ada unsur khusus yang hanya berlaku didalam satu jarimah dan tidak sama dengan unsur khusus jarimah lain; misalnya mengambil harta orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi adalah unsur khusus untuk pencurian. Hal ini berbeda dengan unsur khusus di dalam perampokan yaitu mengambil harta orang lain dengan terang-terangan.3 Pengklasifikasian Unsur-Unsur Tindak Pidana Islam 1. Unsur Formal Jarimah Suatu perbuatan baru dianggap sebagai jarimah (tindak pidana) apabila sebelumnya sudah ada nash (ketentuan) yang melarang perbuatan tersebut dan mengancamnya dengan hukuman. Unsur ini disebut unsur formal jarimah. Dalam membicarakan unsur formal ini, terdapat lima masalah pokok sebagai berikut : a) Asas legalitas dalam hukum pidana Islam Salah satu kaidah yang penting dalam syariat Islam adalah :

3

A. Jazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), H. 2-3

9

“Sebelum ada nash (ketentuan), tidak ada hukuman bagi perbuatan orangorang yang berakal sehat.” Kaidah di atas juga identik dengan kaidah lain yang berbunyi : “Pada dasarnya semua perkara dibolehkan, sehingga ada dalil yang menunjukan keharamannya.” Kesimpulan dari kaidah tersebut adalah sebagai berikut : “Suatu perbuatan atau sikap tidak berbuat tidak boleh dianggap sebagai jarimah, kecuali karena adanya nash (ketentuan) yang jelas yang melarang perbuatan dan sikap tidak berbuat tersebut. Apabila tidak ada nash yang demikian sifatnya, maka tidak ada tuntutan atau hukuman atas pelakunya.” Asas legalitas yang terkenal di dalam hukum positif telah ada sejak Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ayat-ayat yang menggambarkan adanya asas legalitas diantaranya adalah Surah Al-Isra ayat 15 dan Al-Qashash ayat 59. Dengan demikian maka syariat Islam telah mengenal lebih dahulu asas ini. b) Sumber-sumber aturan-aturan pidana Islam Jumhur ulama telah sepakat bahwa sumber hukum Islam pada umumnya ada empat, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’, dan qiyas. Untuk hukum pidana Islam formil, atau hukum acara pidana semua sumber hukum tersebut bisa terpakai. Akan tetapi, penggunaan qiyas dalam jarimah tertentu masih diperdebatkan oleh para fuqaha. c) Masa berlakunya aturan-aturan pidana Islam Menurut hukum pidana Islam ketentuan tentang masa berlakunya peraturan pidana ini, pada prinsipnya sama dengan hukum positif. Seperti halnya dalam hukum positif, peraturan pidana dalam hukum Islam berlaku sejak ditetapkannya dan tidak berlaku terhadap peristiwa yang terjadi

10

sebelum peraturan itu dikeluarkan. Dengan demikian peraturan pidana dalam hukum pidana Islam juga tidak berlaku surut.[7] Hal ini juga dijelaskan oleh Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 22-23, Al-Maidah ayat 38. d) Lingkungan berlakunya aturan-aturan pidana Islam Dalam hubungan dengan lingkungan berlakunya peraturan pidana Islam, secara teoritis para fuqaha membagi dunia ini kepada dua bagian, yaitu Negeri Islam dan Negeri Bukan Islam. Termasuk kelompok negeri Islam adalah negeri-negeri dimana hukum Islam tampak di dalamnya, karena penguasanya adalah penguasa Islam. Juga termasuk dalam kelompok ini, negeri dimana penduduknya yang beragama Islam dapat menjalankan hukum-hukum Islam. Termasuk dalam kelompok negeri bukan Islam adalah negeri-negeri yang tidak dikuasai oleh kaum muslimin atau negeri dimana hokum Islam tidak dijalankan walaupun di sana terdapat umat Islam. e) Asas pelaku atau terhadap siapa berlakunya aturan-aturan pidana Islam Hukum pidana syariat Islam khususnya dalam pelaksanaannya tidak membeda-bedakan tingkatan manusia. Sejak pertama kali diturunkan syariat Islam memandang bahwa semua orang di depan hukum itu sama tingkatannya. Tidak ada perbedaan antara orang kaya dan miskin, dan sebagainya. Dalam Islam perbedaan tingkatan itu hanya satu, yaitu yang paling takwa. Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surah Al-Hujurat : 13 “Wahai sekalian manusia, kami ciptakan engkau dari laki-laki dan perempuan dan kami jadikan engkau berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling takwa.” 2. Unsur Materiil Jarimah Unsur materiil adalah perbuatan atau ucapan yang menimbulkan kerugian kepada individu atau masyarakat. Misalnya dalan jarimah zina

11

unsur materiilnya adalah perbuatan yang merusak keturunan, jarimah qadzaf unsut materiilnya adalah perkataan yang berisi tuduhan zina, sedangkan jarimah pembunuhan unsur materiilnya adalah perbuatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Dengan kata lain pengertian unsur materiil dari suatu jarimah adalah sebagaimana yang dikemukakan Muhammad Abu Zahrah : “Melakukan perbuatan atau perkataan yang dilarang dan telah ditetapkan hukumannya yang dilaksanakan oleh pengadilan.” a) Percobaan melakukan jarimah Dalam pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Mesir, dijelaskan tentang pengertian percobaan sebagai berikut : “Percobaan adalah mulai melaksanakan suatu perbuatan dengan maksud melakukan (jinayah atau janhah), tetapi perbuatan tersebut tidak selesai atau berhenti karena ada sebab yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehendak pelaku.” Untuk mengetahui sampai dimana suatu perbuatan percobaan dapat dihukum maka terdapat tiga fase pelaksanaan jarimah, yaitu fase pemikiran dan perencanaan, fase persiapan, dan fase pelaksanaan. Pada fase pemikiran dan perencanaan, memikirkan dan merencanakan suatu jarimah tidak dianggap sebagai maksiat yang dijatuhi hukuman, karena menurut ketentuan yang berlaku dalam syariat Islam, seseorang tidak dapat dituntut atau dipersalahkan karena lintasan hatinya atau niat yang terkandung di dalam hatinya. Hal ini didasarkan kepada hadis Nabi SAW : Abu Hurairah ra. Berkata : Nabi SAW telah bersabda : “Sesungguhnya Allah mengampuni umatku karena aku atas apa yang terlintas dalam hatinya, selama belum dikerjakan atau diucapkan.”[9]

12

Fase persiapan juga tidak dianggap sebagai maksiat yang dapat dihukum, kecuali apabila perbuatan persiapan itu sendiri dipandang sebagai maksiat. Akan tetapi mazhab Hambali dan Maliki, perbuatan persiapan dipandang sebagai perantara kepada perbuatan yang haram dan hukumnya adalah haram. Sehingga dengan demikian pelakunya dikenakan hukuman. Fase pelaksanaan, pada fase inilah perbuatan pelaku dapat dianggap sebagai jarimah. Untuk dikenakan hukuman maka dalam hal ini cukup apabila perbuatan itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiat. b) Turut serta melakukan jarimah Turut serta melakukan jarimah itu ada dua macam yaitu turut serta secara langsung dan secara tidak langsung. Turut serta secara langsung terjadi apabila orang yang melakukan jarimah dengan nyata lebih dari satu orang. Turut berbuat tidak langsung adalah setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, menyuruh (menghasut) orang lain atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut disertai dengan kesengajaan. c) Unsur Pertanggungjawaban (Moral) Jarimah 1. Pertanggungjawaban pidana Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam syariat Islam adalah pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau adanya perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya itu. Orang yang harus bertanggung jawab atas suatu kejahatan adalah orang yang melakukan kejahatan itu sendiri, bukan orang lain. Faktor yang menyebabkan adanya 13

pertanggungjawaban pidana

adalah

perbuatan maksiat, yaitu mengerjakan perbuatan yang dilarang oleh syara’ atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan oleh syara’. 2. Hapusnya pertanggungjawaban pidana Pertanggungjawaban pidana dapat dihapus karena hal-hal yang bertalian dengan perbuatan atau karena bertalian dengan keadaan pelaku. Sebab-sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang disebut asbab alibahah. Sedangkan sebab-sebab yang berkaitan dengan keadaan pelaku disebut asbab raf’i al-uqubah atau sebab hapusnya hukuman. Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang itu ada enam macam, yaitu pembelaan yang sah, pendidikan dan pengajaran, pengobatan, permainan olahraga, hapusnya jaminan keselamatan, menggunakan wewenang dan melaksanakan kewajiban bagi pihak yang berwajib. Sedangkan sebab-sebab hapusnya hukuman itu ada empat macam, yaitu paksaan, mabuk, gila, dan di bawah umur.4

4

Detty Apriliani, Fikih Jinayah: Unsur-Unsur Jinayah, di akses dari https://makalahtugaskuliahku.blogspot.com/2014/10/7 pada tanggal 23 Maret 2019 pukul 22:45

14

DAFTAR PUSTAKA

Mardani, Hukum Islam. (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR CELEBAN TIMUR). Daud

Tarmizi,

Sebab

Terhapusnya

Hukum

Jinayah,

di

akses

dari

https://rifakh.blogspot.com/2016/12/ tanggal 24 Maret 2019 pukul 22:22 Jazuli, Ahmad, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997) Detty Apriliani,

Fikih

Jinayah:

Unsur-Unsur

Jinayah,

di

akses

dari

https://makalahtugaskuliahku.blogspot.com/2014/10/7 pada tanggal 23 Maret 2019 pukul 22:45

15

Related Documents

Fikih Pertanian
November 2019 37
Fikih-perempuan.pdf
June 2020 20
Kelompok 5
November 2019 49
Kelompok 5
June 2020 34
Kelompok 5
November 2019 49

More Documents from "Hanifa Nadhira"