TUGAS MK MANAJEMEN BENCANA S-07 TA. 2017-2018 BM KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
MAKALAH PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN KETIKA BENCANA OLEH : KELOMPOK 4 1. Jessica Jennifer Rantung
14111101076
9. Eka Gloria Guit
14111101246
2. Ulean Hosea Bagas
14111101083
10. Leyda Paninggiran
14111101283
3. Susianti A. Tadete
14111101084
11. Nurfitriany
14111101286
4. Davis M. Iroth
14111101142
12. Seilatuw E. Rani
14111101295
5. Beatrix L. T. Tinggogoy
14111101166
13. Loritma Lasarus
14111101346
6. Oldy Dumanauw
14111101203
14. Ria Avilia Oley
14111101350
7. Ika Putri Andiani
14111101219
15. Jeisie C. Umboh
14111101386
8. Mega Eka Putri Masengi 14111101244
16. Jeferson Bawang
14111101413
Dosen Pembimbing : dr. Woodford Baren S. Joseph, M.Sc
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO 2017
KATA PENGANTAR Dengan mengucap syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang karena Kasih Karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Perumahan dan Permukiman Ketika Bencana”. Adapun penyusunan makalah ini untuk menyelesaikan salah satu tugas Mata Kuliah Bidang Minat Kesehatan Dan Keselamatan Kerja yakni Manajemen Bencana. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, khususnya tim dosen pembimbing dan pengajar mata kuliah Manajemen Bencana yang telah banyak membantu dan memberikan dorongan semangat kepada kami selama proses penyusunan makalah ini. Dengan kerendahan hati, kami juga mengharapkan para pembaca untuk memberikan saran dan kritik yang bersifat membangun dalam penyempurnaan makalah kami. Harapan kami makalah ini dapat bermanfaat bagi keluarga besar Fakultas Kesehatan Masyarakat khususnya Bidang Minat Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).
Manado, 13 Oktober 2017 Penyusun,
Kelompok 4
i
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................
i
DAFTAR ISI ...........................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................
1
1.1
Latar Belakang .....................................................................
1
1.2
Rumusan Masalah ................................................................
2
1.3
Tujuan Penulisan ..................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................
3
2.1
Kualitas Permukiman dan Kesehatan...................................
3
2.2
Tempat Bernaung Jangka Pendek ........................................
5
2.3
Beberapa Faktor Risiko Kesehatan Tempat Bernaung ........
6
2.4
Kualitas Udara dalam Bangunan ..........................................
7
2.4.1 Kondisi Fisik Tempat Bernaung .................................
8
2.4.2 Kegiatan Rumah Tangga .............................................
9
2.4.3 Pemilihan dan Pengaturan Tempat Bernaung Darurat
19
Permukiman Pengungsian Jangka Panjang ..........................
23
BAB III PENUTUP ................................................................................
26
2.5
3.1
Kesimpulan ..........................................................................
26
3.2
Saran .....................................................................................
27
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
28
ii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tempat menetap atau permukiman merupakan kondisi fisik lingkungan yang dihadapi oleh para korban bencana setelah selamat dari bencana. Di tempat inilah kondisi kesehatan lingkungan akan berperan nyata menentukan derajat kesehatan mereka. Pemilihan lokasi bagi para pengungsi ini sangat menentukan karena mungkin mereka harus menetap berhari-hari sampai tahunan. Keamanan, yaitu bebas dari dampak bencana, harus dilengkapi dengan kebutuhan dasar hidup yang saniter. Tersedianya air bersih merupakan faktor utama lain yang perlu didahulukan baru kemudian kebutuhan fisiologis lain, seperti pangan dan pembuangan ekskreta yang harus tersedia juga di lokasi bencana. Semua itu menjadi kelengkapan bagi tempat bernaung atau permukiman para pengungsi korban bencana. Disamping
itu,
penentuan
lokasi
bagi
para
pengungsi
perlu
mempertimbangkan adanya jaminan bahwa standar kehidupan para pengungsi tidak jauh berbeda dengan penduduk setempat. Pada tempat-tempat pengungsian sementara sering kali fasilitas yang diberikan melampaui kebutuhan yang biasa para pengungsi kenal sebelum terjadi bencana. Pelayanan, makanan, dan permukiman yang mereka peroleh jauh lebih tinggi standarnya daripada yang mereka punyai dan sering melampaui standar populasi di sekitar tempat pengungsian. Hal ini dapat menimbulkan friksi dan kecemburuan sosial antarpopulasi. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah masalah pendanaan. Setelah menginvestasikan sejumlah dana sebagai modal awal pembangunan sarana lingkungan dan lain-lain di tempat pengungsian, hendaknya diperhitungkan pula biaya yang harus terus dikeluarkan selama tempat pengungsian masih dipakai. Kelalaian memperhitungkan pendanaan ini akan menimbulkan masalah baru dalam penanggulangan bencana. Dengan mempertimbangkan semua faktor di atas, tak kurang pentingnya adalah mempertimbangkan kelayakan huni tempat permukiman di pengungsian. Kelayakan huni tempat permukiman dipengaruhi besarnya dampak bencana
1
bersama kedaruratan yang ditimbulkan. Tempat permukiman dapat direncanakan untuk tempat tinggal sementara selama pengungsian, tempat tinggal semula jika masih dapat dihuni, di bangunan tempat-tempat umum, di kantor, tempat ibadah, dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam pembahasan makalah ini akan dibahas mengenai perumahan dan permukiman ketika bencana. 1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dari penulisan makalah ini yaitu: 1. Bagaimana kualitas permukiman dan kesehatan saat bencana? 2. Apa yang dimaksud dengan tempat bernaung jangka pendek? 3. Apa saja faktor risiko kesehatan di tempat bernaung saat bencana? 4. Bagaimana kualitas udara dalam bangunan? 5. Apa yang dimaksud dengan permukiman pengungsian jangka panjang? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penulisan dari makalah ini yaitu: 1. Untuk mengetahui kualitas permukiman dan kesehatan saat bencana. 2. Untuk mengetahui dan memahami tempat bernaung jangka pendek. 3. Untuk mengetahui faktor risiko kesehatan di tempat bernaung saat bencana. 4. Untuk mengetahui kualitas udara dalam bangunan. 5. Untuk mengetahui dan memahami permukiman pengungsian jangka panjang
2
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Kualitas Permukiman dan Kesehatan Kualitas permukiman bagi para pengungsi memberikan dampak kesehatan yang besar pada kesehatan dan kesejahteraan. Sebuah tempat bernaung bagi para pengungsi hendaknya memenuhi persyaratan: 1. Faali: istirahat, kebebasan pribadi (privacy); 2. Psikologi: membina hubungan antar penghuni; 3. Kesehatan: tidak menjadi tempat menimbulkan penyakit; 4. Tidak menimbulkan kecelakaan. Setelah bencana mereda, sejumlah orang akan mencari sendiri tempat tinggal permukimannya. Mereka mencari akomodasi di rumah keluarga, tetangga atau membuat tempat bernaung di tengah-tengah sisa perumahan mereka. Sering kali, ketika bantuan datang, korban bencana sudah mempunyai tempat-tempat berteduh. Biasanya mereka segan untuk beralih tempat ke tenda-tenda yang disediakan oleh tim bantuan bencana. Kadang-kadang situasi ini boleh dibiarkan begitu saja, tetapi perlu juga diperhatikan apakah tempat bernaung pilihan mereka aman bagi kesehatan. Bangunan-bangunan yang menjadi pilihan mereka mungkin adalah bangunan setengah rusak. Sehabis bencana gempa bangunan seperti ini sewaktu-waktu dapat roboh dan menimpa mereka. Kemungkinan lain adalah jika mereka berada di tempat yang cuacanya ekstrim (terlalu panas, terlalu dingin) tempat yang mereka pilih belum tentu layak memenuhi syarat kesehatan. Banyak contoh lain misalnya ancaman ledakan atau keracunan karena gas bocor, kemungkinan banjir susulan atau adanya terjangan materi-materi bawaan banjir. Rumah bekas dilanda banjir, walaupun air sudah surut masih mempunyai potensi mengganggu kesehatan penghuninya. Rumah yang lembab bekas kebanjiran akan memberi peluang berkembangnya aneka ragam jamur kapang diantaranya Stachybotrys atra (nama lain: S. chartarum, S. alternanas) yang memiliki risiko mengganggu kesehatan.
3
Pada dasarnya, para pengungsi yang ingin mencari tempat bernaung sendiri harus disokong dengan (WHO, 2002): -
Nasihat harus memakai rumah sendiri atau bagian rumah asal yang masih utuh dan aman.
-
Mencegah agar jangan tinggal di dalam rumah yang tidak aman (misalnya, ada tanda-tanda akan roboh bekas gempa bumi), menjelaskan bahayanya dan pindah ke tempat yang lebih aman.
-
Membantu sedapat mungkin jika bangunan masih dapat diperkuat dengan perbaikan-perbaikan ringan (berikan bahan-bahan bangunan sementara).
-
Memberikan informasi kepada masyarakat yang tidak mau mengungsi dari tempat bencana tentang sumber air bersih terdekat dan aman atau langkahlangkah yang dapat diambil untuk mengolah air (menyaring, mendidihkan, desinfeksi, menyimpan dalam wadah tertutup rapat dan lain-lain). Disampaikan juga pembuangan air limbah secara saniter, tempat yang benar untuk defekasi, pentingnya terapi oralit untuk anak diare walaupun air agak terkontaminasi.
-
Memberikan informasi kemungkinan pencemaran sumber air. Air permukaan berpotensi terkontaminasi air limbah dan sisa-sisa banjir. Air dari atap berpotensi terkontaminasi abu dan debu yang dapat disaring (berikan pengetahuan sederhana tingkat rumah tangga tentang metode filtrasi, sedimentasi, penyimpanan, dan desinfeksi air).
-
Distribusikan larutan pemutih atau tablet klor (natrium hipoklorit) di tempat pembagian pada tiap kelompok rumah untuk desinfeksi air di rumah. Instruksi pemakaian klor (larutan dan tablet) harus dijelaskan sebaik-baiknya
melalui
pengorganisasian
masyarakat
yang
telah
mempunyai hubungan baik dengan petugas kesehatan. -
Sediakan ember untuk mengambil air dari sumber dan wadah berpenutup untuk menyimpan air. Berikan pula selimut dan lampu minyak tanah.
-
Berikan petunjuk kepada masyarakat tentang status sistem sanitasi dan memberikan fasilitas sementara sanitasi jika fasilitas yang ada tidak dapat dipakai.
4
2.2 Tempat Bernaung Jangka Pendek Tempat bernaung jangka pendek adalah fasilitas yang ada, seperti sekolah, pusat komunitas, convention center, atau gereja yang untuk sementara diubah untuk menyediakan perumahan jangka pendek yang aman, mudah diakses, dan aman untuk korban bencana. Fungsi-fungsi tempat bernaung jangka pendek adalah: a. Tempat bernaung jangka pendek menyediakan kebutuhan-kebutuhan jangka pendek untuk korban bencana, khususnya untuk sampai dua minggu. b. Menyediakan lokasi yang aman dan mudah diakses untuk mendukung kehidupan, seperti makanan, penyediaan air, perawatan medis dasar, sanitasi. c. Menyediakan berbagai layanan penting, tergantung pada kebutuhan korban bencana dan sumber yang tersedia:
Dukungan untuk orang-orang dengan kebutuhan akses dan fungsional
Pelayanan kesehatan dan kesehatan mental perilaku
Bantuan reunifikasi keluarga
Pelayanan anak
Pelayanan dan perawatan hewan peliharaan
Distribusi
dari
mempertahankan
hidup,
kenyamanan,
dan
persediaan penting lainnya
Cucian (lasundry)
Akses transportasi
Pelayanan dan informasi berhubungan pemulihan bencana
Untuk jangka pendek, bangunan-bangunan yang masih berdiri dan aman seperti sekolah, bangunan umum, kantor, ruang olahraga, tempat ibadah, dan tempat-tempat umum lain dapat dijadikan tempat bernaung. Tempat evakuasi ini harus sedekat-dekatnya dengan komunitas yang terkena bencana, tetapi cukup jauh dari tempat bencana. Hal ini perlu diperhatikan karena dikhawatirkan akan terjadi marabahaya ulangan seperti pada banjir dan gempa susulan. Di samping itu, perjalanan jauh dari tempat asal merupakan stres tersendiri bagi para
5
pengungsi. Untuk kepuasan psikologis, mereka pun ingin agar tetap dapat menghubungi tempat asal mereka. Gedung-gedung yang akan dipakai sebagai tempat bernaung sementara ini harus diperiksa oleh petugas yang berwenang untuk melihat ada tidaknya kerusakan struktur atau berada di dekat tempat yang potensial terkena marabahaya susulan. Gedung tempat bernaung juga diharapkan mempunyai sumber air bersih, jamban, dan dapur. Jika jumlah korban pengungsi besar, fasilitas-fasilitas yang ada mungkin tidak mencukupi sehingga harus dibantu dari luar. Tempat bernaung di barak militer biasanya dapat menampung banyak, tetapi sering terlalu jauh dari tempat asal bencana. Kebersihan dan pemeliharaan bangunan-bangunan tempat bernaung sementara ini hendaknya dirawat dan dijaga agar jangan cepat menurun kondisi lingkungannya. 2.3 Beberapa Faktor Risiko Kesehatan Tempat Bernaung Seperti halnya dengan rumah, bangunan tempat bernaung adalah lingkungan berskala mikro (micro-scale environment) yang berpotensi memengaruhi kesehatan para penghuni. Kondisi-kondisi dalam rumah atau tempat bernaung sebagai faktor-faktor lingkungan lebih menentukan terjadinya keseluruhan pemajanan langsung (overall human exposures) kepada pengungsi daripada kondisi di udara terbuka. Hal ini terjadi terutama karena dalam sehari, waktu yang dilalui penghuni di dalam bangunan lebih lama dari pada di luar bangunan. Terkait dengan ini beberapa karakteristik tempat bernaung yaitu konstruksi, bahan bangunan, dan kegiatan rumah tangga baik dalam bangunan kecil maupun dalam bangunan besar berkontribusi terhadap tingkat kesehatan penghuninya. Faktor kondisi fisik tempat bernaung bersama kepadatan hunian dan kegiatan sehari-hari rumah tangga merupakan tiga faktor yang sering dikaitkan dengan dampak kesehatan. Ketiga faktor ini tidak berfluktuasi secara berarti dalam rentang waktu yang singkat. Sering dijumpai adanya beberapa orang dalam suatu bangunan memberikan keluhan akut yang sama misalnya iritasi mata, hidung, kerongkongan, batuk, mual, kurang kosentrasi, nyeri kepala, dan berbagai keluhan subjektif lainnya. Semua itu merupakan pertanda bahwa mereka menunjukkan sekumpulan gejala
6
(syndrome) tidak spesifik yang terkait dengan sick building atau menunjukkan sick building syndrome (SBS). Gejala-gejala itu akan hilang sendiri jika mereka keluar dari bangunan itu. Berarti ada kesalahan di dalam bangunan itu, sehingga orang yang sehat bersamasama akan bereaksi menunjukkan gejala gangguan. Jika ada orang yang tidak menunjukkan gejala/reaksi apa-apa di dalam sick building itu, kemungkinannya adalah orang itu tidak atau kurang memiliki mekanisme fisiologis untuk menanggapi
adanya
ancaman
kesehatan
bagi
dirinya
dengan
segala
konsekuensinya (pada orang yang sedang lemah sekali, kelainan endokrin, di bawah pengaruh obat-obatan). Di samping itu, ada pula bangunan yang menimbulkan penyakit bagi penghuninya. Ini terjadi pada beberapa orang yang peka terhadap kontaminan penyebab penyakit yang berasal dari bangunan itu (Building Related Illnesses atau BRI). Gejala-gejala yang ditunjukkan spesifik untuk penyakit tertentu dan gejala itu tidak serta-merta menghilang walaupun kemudian dia keluar dari bangunan itu. Letupan penyakit yang terjadi dapat ditelusuri menuju penyakit tertentu misalnya Legionella Disease (Legionellosis). Penyakit Legionellosis disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif Legionella pneumophila. Bakteri ini dapat berkembang-biak di menara-menara pendingin, AC, sistem air panas gedung, dan kran air. Karena itu, penting sekali memahami karakteristik tempat bernaung yang terkait dengan ketiga faktor tersebut (konstruksi, bahan bangunan, dan kegiatan rumah tangga). Dalam kaitan dengan kesehatan penghuni, karakteristik terpenting kondisi bangunan yang berkaitan erat dengan ketiga faktor itu adalah kualitas udara di dalam bangunan (indoor-air quality). 2.4 Kualitas Udara dalam Bangunan Udara dalam bangunan tempat bernaung merupakan faktor utama yang menentukan aman tidaknya suatu bangunan bagi kesehatan penghuninya. Udara di dalam rumah berpotensi dicemari oleh zat-zat pencemar yang berasal dari berbagai sumber. Sumbernya bisa berasal dari alam (biogenic dan chemicals) atau hasil kegiatan manusia (anthropogenic). Zat pencemar udara dalam bangunan
7
dapat berasal dari bahan bakar padat, asap rokok, material bahan bangunan, perabotan, debu dan kontaminasi lain. Bentuk fisik pencemar udara adalah gas dan partikulat. Partikulat merupakan aerosol yang terdiri dari partikel-partikel kecil zat cair atau zat padat yang melayang-melayang di udara. Bentuk gas dan partikulat ini sering bercampur baur di udara, diantaranya adalah NO2, SO2, dan CO (berasal dari cat ber-Pb), benzene, asbestos, mycotoxins, phtalates, dan polybrominated diphenyl ether fire retardants (PBDes). Bentuk fisik dan komposisi kimia pencemar udara menentukan potensi penetrasi ke dalam sistem pernapasan. Demikian pula, konsentrasi zat pencemar di udara dan laju ventilasi paru-paru perseorangan turut menetukan penetrasi itu. Zat pencemar gas yang mudah larut dalam air (misalnya, SO2) sebagian besar terhambat di saluran pernapasan bagian atas, sedangkan yang sukar larut dalam air (misalnya, O3) dan partikulat akan masuk jauh ke dalam paru-paru. Gas, CO2, dan CO, volatile organic compounds (VOC, a.l 4-phenyl cyclohexene, toulene, dan styrene) dapat juga memenuhi ruangan tertutup dan bersama bioaerosols (bakteri, tungau debu dan alergen dari kecoa) mencemari udara dalam ruangan sehingga menimbulkan ancaman jangka pendek dan jangka panjang bagi penghuni, dan dapat diterjemahkan sebagai peningkatan biaya kesehatan yang seharusnya dapat dihindari. Seperti diketahui karpet berpotensi melepaskan VOC yang dapat mengiritasi mata dan saluran pernapasan, sakit kepala, dan pusing. Pada beberapa tempat terdapat risiko masuknya gas radon dari dalam tanah ke dalam bangunan. Radon adalah gas alam radioaktif yang tidak berwarna dan tidak berbau. Gas radon terdapat di tanah dan di batu karang. Jika dasar bangunan bergeser (horizontal atau vertikal), jika sumbernya ada, dari tanah dapat terlepas gas radon dan menyusup masuk ke dalam bangunan. Radon berpotensi menjadi faktor risiko kanker paru-paru dan kanker lain. Untuk menghilangkannya dapat diaplikasikan ventilasi sampai gas radon tidak bermakna konsentrasinya. 2.4.1 Kondisi Fisik Tempat Bernaung Untuk memberikan gambaran keadaan fisik bangunan tempat bernaung, variabelvariabel konstruksi rumah, jumlah kamar, dan ventilasi sudah dapat memberikan
8
karakteristik fisik sebuah bangunan tempat bernaung. Jika dijabarkan lebih lanjut, karakteristik itu dapat diuraikan menurut variabel-variabel kelembaban, luas rumah, jenis lantai, jumlah lantai, luas jendela, luas kamar tidur, jenis dinding, dan jenis tempat tidur. Pada tahap awal bencana, penentuan variabel-variabel ini tidak semuanya relevan, karena bangunan tempat bernaung pada fase awal itu biasanya berupa bangunan sederhana. Akan tetapi, jika akan dibuatkan bangunan tempat bernaung yang hendak dipakai lama, beberapa variabel tersebut akan amat menentukan derajat kesehatan para penghuni bangunan. Keadaan fisik rumah amat berpengaruh terhadap kualitas udara dalam bangunan. Keadaan fisik bangunan menentukan pola sirkulasi dan pertukaran udara di dalam bangunan atau ventilasi. Ventilasi rumah diatur dengan adanya jendela dan lubang angin yang dapat memelihara pertukaran efektif udara. Pertukaran efektif udara dimungkinkan oleh jendela atau lubang angin jika memenuhi beberapa syarat, misalnya antara lain terbentuknya ‘efek cerobong’ (stack effect) atau pergerakan udara karena perbedaan suhu. Namun, mekanisme stack effect untuk pertukaran efektif udara akan terganggu oleh adanya bangunan di hadapan jendela yang menghambat aliran bebas udara (misalnya permukiman yang padat dengan bangunan). Faktor lain yang menentukan adalah perbandingan antara luas jendela dengan volume ruang. Di samping bentuk fisik bangunan tempat bernaung, udara dalam bangunan juga dapat dicemari oleh gas-gas yang dilepas oleh perabot rumah tangga. 2.4.2 Kegiatan Rumah Tangga Yang dimaksud dengan kegiatan rumah tangga adalah kegiatan sehari-hari anggota rumah tangga di rumah. Kegiatan-kegiatan itu berpotensi menimbulkan pencemaran udara di dalam bangunan tempat bernaung. Kegiatan dimaksud adalah memasak, merokok, memakai obat nyamuk asap atau aerosol (obat nyamuk semprot). Kecuali aerosol, kegiatan-kegiatan itu menimbulkan asap yang merupakan pencemar udara hasil pembakaran. Asap adalah sistem koloid pertikulat padat atau cair berukuran antara 0,01 mikron sampai 1 mikron di dalam medium udara (gas). Asap terbentuk dari pembakaran tidak sempurna bahan-bahan yang mengandung karbon misalnya
9
batubara, minyak, tembakau, atau kayu. Dari hasil pembakaran itu bahan organik yang terkandung di dalam bahan bakar akan melepaskan 3 macam zat pencemar yaitu beberapa jenis gas, zat hasil proses pirolisis, dan partikulat. Kandungan partikulat di dalam bangunan dapat dipakai menjadi parameter tingkat pencemaran udara di dalam bangunan (Purwana, 1999). Karena proses kimia yang predominan dalam pembakaran adalah proses oksidasi, jenis gas apa yang dihasilkan oleh proses oksidasi itu ditentukan oleh derajat pemasokan oksigen. Pembakaran yang dilakukan sehari-hari dalam kegiatan rumah tangga pada umumnya tidak mengalami oksidasi yang lengkap karena jumlah oksigen tidak optimal. Inilah sebabnya mengapa gas hasil bakaran itu berisi oksida karbon, oksida nitrogen, dan oksida sulfur dalam bentuk hasil oksidasi tak lengkap. Proses pembakaran pirolisis (pembakaran tanpa oksigen) juga turut serta dalam proses oksidasi yang tidak lengkap itu. Proses ini mengakibatkan susunan molekul zat organik dalam bahan bakar akan berubah dan membentuk senyawa yang berbeda dari asalnya. Senyawa baru ini akan melayang diudara sebagai partikulat kecil zat organik bersama asap. Partikulat-partikulat yang dihasilkan ini bervariasi ukurannya. Di udara, partikulat-partikulat ini akan mendingin lalu mengalami perubahan bentuk dan luas permukaan. 1) Merokok Asap rokok merupakan masalah besar kesehatan yang terkait dengan kandungan zat kimia dalam rokok. Asap rokok mengandung partikulat cari dengan komponen-komponen uap dan gas di dalamnya serta terdiri dari kirakira 4000 jenis senyawa kimia yang dapat mencapai alveoli paru-paru. Beberapa senyawa itu berpotensi sebagai iritan, asfiksian kimiawi, pelumpuh silia, karsinogen, ko-karsinogen, dan senyawa yang aktif secara farmakologik. Pada penelitian-penelitian, penyakit pernapasan pada anak dan tingginya kadar partikulat dalam ruangan terkait dengan kebiasaan orang tua merokok. Rokok juga menambah beratnya gejala eksaserbasi asma dan penyakitpenyakit saluran pernapasan lainnya. 2) Bahan Bakar untuk Memasak
10
Memasak juga merupakan sumber penting meningkatnya kadar partikulat di dalam ruangan. Beberapa penelitian membuktikan keterkaitan antara penyakit saluran pernapasan dengan pemakaian kayu bakar, bahan bakar biomasa lain (misalnya sabut kelapa, kotoran hewan), dan beberapa jenis batu bara di dalam ruangan. Dari kompor minyak tanah dalam sekali memasak dihasilkan sebanyak 4,2 mg respirable suspended particulate, sedangkan pemakaian dapur gas di dalam ruangan berkaitan dengan penurunan fungsi paru pada ana berumur antara 6 tahun sampai 10 tahun antara lain karena dapur gas menghasilkan gas nitrogendioksida. 3) Obat Nyamuk Pemakaian obat nyamuk baik obat nyamuk semprot maupun obat nyamuk asap di dalam ruang berpotensi menimbulkan gangguan pernapasan, obat nyamuk asap cukup populer di Asia Tenggara. Sebuah pengkajian epidemiologi menunjukkan bahwa obat nyamuk asap terbukti menimbulkan gangguan saluran pernapasan dan asap obat nyamuk merupakan salah satu sumber partikulat. Kandungan asap obat nyamuk merupakan bahan karsinogen benzanthracene yang berada dalam pertikulat seperti hasil bakaran dupa yang bahan dasarnya sama dengan obat nyamuk. 4) Kepadatan Hunian dan Faktor Psikologis Secara objektif, kepadatan hunian diukur menurut jumlah orang dalam satu unit area atau ruangan. Berapa jumlah orangnya untuk dinyatakan sebagai ruangan atau area yang padat sulit ditentukan secara akurat. Akan tetapi, secara subjektif dapat dinyatakan bahwa kepadatan hunian ditandai oleh perasaan ketidakmampuan mengatur interaksi dengan orang lain atau terganggunya kegiatan-kegiatan berinteraksi antar anggota keluarga seperti bercakap-cakap, bercengkerama, atau kegiatan pribadi seperti membaca, belajar, dan lain-lain. Yang mendasari ketidakmampuan itu pada dasarnya adalah kehilangan kebebasan pribadi dan stimulasi berlebih dari lingkungan. Dari sudut kesehatan, kepadatan hunian dapat menjadi faktor risiko terjadinya infeksi akut saluran pernapasan jika terdapat anggota keluarga yang menderita penyakit itu. Kepadatan hunian memfasilitasikan keefektifan penularan droplet infection akibat dekatnya penghuni yang satu dari yang lain.
11
Tidak hanya infeksi akut pernapasan, dengan kondisi yang padat ini, potensi rumah sebagai tempat penularan penyakit menjadi lebih tinggi, misalnya penyakit kulit dan penyakit-penyakit parasit. Jadi bangunan tempat bernaung berpengaruh pada kesehatan psikologis. Bangunan seharusnya menjadi tempat dan pusat hubungan antar anggota keluarga. Bangunan tempat bernaung bukan hanya sekedar sosok benda mati ‘rumah’ (house) melainkan merupakan ‘tempat tinggal’(home) yang memfasilitasi kelanjutan dan keseharian hidup rumah tangga bagi anggota keluarga. Dalam tempat tinggal, kegiatan hari-hari sudah dapat diantisipasi oleh semua anggota keluarga dan memberikan kesenangan, tempat untuk membantu dan mendukung antar generasi, tempat untuk merasakan kendali diri, dan mewujudkan identitas pribadi. Rumah tangga yang padat penghuni menimbulkan tekanan dan disfungsi psikologis bagi anggota keluarga yang menghuni. Hubungan orang tua dan anak dapat terganggu. Orang tua kurang responsif terhadap masalah-masalah anak sehingga menimbulkan tekanan batik bagi anak serta kemunduran pengembangan kepribadiannya. Beberapa aspek yang berperan menentukan fungsi psikologis tempat tinggal adalah: -
Kebersihan dan kerapian;
-
Kebebasan pribadi (privacy);
-
Ada tidaknya bahaya;
-
Kualitas struktur bangunan;
-
Tempat-tempat untuk anak bermain.
5) PM10 sebagai Indikator Pencemaran Udara di dalam Ruangan Ruang tertutup berpotensi meningkatkan kadar pertikulat terutama jika di dalam ruang terdapat sumber-sumber pembakaran seperti merokok, memasak, dan obat nyamuk. Udara yang terkurung dalam ruang (indoor air) berpotensi mengumpulkan partikulat sampai lebih besar dari kadar di udara luar jika pertukaran udara kurang efektif menyingkirkan partikulat dari dalam. Partikulat di ruangan itu terdiri dari partikulat yang masuk dari luar dan partikulat yang dihasilkan oleh sumber-sumber potensial dalam ruangan.
12
Untuk kepentingan pengadaan tempat bernaung ketika bencana, hal-hal ini perlu diperhatikan. -
Tempat tidur di atas ranjang atau tikar minimum terletak di lantai seluas 3,5 m2 atau ruang 10 m3. Jika atap cukup tinggi dapat dipakai ranjang susun. Jarak antar ranjang atau tikar minimum 0,75 m.
-
Ventilasi cukup. Udara yang dibutuhkan kira-kira 20-30 m3 untuk setiap orang, dapat dengan bantuan ventilasi buatan.
-
Memasak dengan dapur berasap dan merokok dilarang.
-
Suhu ruangan dijaga agar tetap nyaman (untuk Indonesia: 25-26oC).
-
Bangunan harus dilengkapi dengan pintu darurat.
-
Penerangan sedapatnya dengan cahaya alam atau lampu listrik, jika memakai lampu pelita sebaiknya ditaruh tergantung agar tidak membahayakan, bahan bakar cair harus disimpan di luar ruangan. Petunjuk jelas mengenai bahaya kebakaran dan keselamatan dipasang di tempat-tempat yang mudah terlihat; alat pemadam api dan cara pemakaiannya tersedia (ada sekelompok orang dari para korban bencana yang sudah dilatih menangani pemadaman kebakaran).
-
Cukup akses ke air minum, air untuk memasak, dan higiene perseorangan dan domestik.
-
Setiap 10 orang mendapat sebuah bak untuk mencuci, atau bak besar sepanjang 4-5 meter untuk tiap 100 orang. Bak untuk laki-laki terpisah dari bak untuk perempuan, pada setiap bak ada tempat membuang air limbah. Sebuah pancuran (shower) untuk setiap 30 orang (di daerah panas) atau 50 orang (di daerah sejuk). Lantai didesinfeksi tiap hari.
-
Dibuat pengaturan untuk pembuangan eksreta manusia. Toilet siram mungkin sudah ada di dalam bangunan yang dipakai asal saja airnya tersedia atau tetap mengalir. Tersedia jamban di luar bangunan dalam jarak 50 meter dari bangunan, paling sedikit 20 meter dari dapur, ruang makan, dan sumber air bersih.
-
Tersedia tong sampah sebesar 50-100 liter untuk tiap 12-15 orang. Tong sampah harus mempunyai penutup yang rapat. Dibuatkan jadwal
13
pembuangan sampah yang ditangani para pengungsi (jika sistem biasa tidak jalan). 6) Penerangan Di tempat permukiman untuk para korban bencana harus tersedia alat penerangan. Penerangan yang baik merupakan bagian penting bagi kesehatan penghuni. Penerangan yang optimal akan memberikan dukungan bagi kesehatan, kesejahteraan, dan kinerja penghuni. Optimal berarti tidak berlebih dan tidak kekurangan cahaya. Jika penerangan menyilaukan mata, dapat menimbulkan nyeri kepala dan mata, sedangkan cahaya yang suram melelahkan mata dan cahaya berkedap-kedip akan terasa tidak nyaman dan menimbulkan nyeri kepala. Cahaya yang cukup dimaksudkan agar tempat atau ruangan itu aman, mudah melihat arah jalan dan tahu arah untuk menyingkir jika terjadi kedaruratan. Sumber penerangan berasal dari sumber alami dan sumber buatan. Sumber alami berasal dari matahari. Cahaya matahari (sun-light) merupakan sinar langsung dan amat terang dan menimbulkan bayangan tegas. Cahaya matahari langsung ini mengandung sinar ultraviolet yang dapat mematikan bakteri. Cahaya matahari dapat diredupkan dengan pohon-pohon peneduh. Cahaya alami kedua cahaya siang (day-light) berasal dari pantulan yang dipendarkan oleh awan, atmosfer, pantulan permukaan (misalnya permukaan tanah, dinding, danau, sungai, dan lain-lain). Cahaya alam ini dapat diperoleh dengan membuat bangunan berjendela. Sumber cahaya buatan dapat diperoleh dari lampu pijar, fluoresen, bola lampu high-intensity discharge, dan light-emitting diodes (LEDs). Demi pencegehan keracunan merkuri, bola lampu yang mengandung merkuri dan sudah tidak terpakai hendaknya tidak dipecahkan, karena uap merkuri dari bola lampu itu akan berpotensi mengontaminasikan manusia. 7) Kontaminan Biologi dalam Bangunan Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu hidup bersama makhluk biologi lain, misalnya insekta (kecoa, lalat, pinjal, kutu, rayap, tungau debu rumah), tikus, dan jamur. Semua berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan. Kecoa sering melepas bagian-bagian tubuhnya ketika dalam fase perkembangan dan
14
merupakan sumber alergi dan asma dalam bangunan bagi orang-orang yang sensitif.
Lalat
menyebarkan
penyakit
melalui
makanan
(misalnya
salmonellosis). Tikus menyebarkan penyakit secara langsung (rat-bite fever, leptospirosis, hantavirus) dan tak langsung (pes, memperberat alergi). Disamping itu, jamur dan kapang juga merupakan sumber potensial kontaminan biologi di dalam bangunan. Kapang tumbuh dalam bentuk filamen-filamen multiseluler yang dinamakan hifa (hyphae). Dari bermacam jenis kapang beberapa spesies banyak ditemukan di dalam bangunan, antara lain, Alternaria, Aspergillus, Cladosporium, Fusarium, Penicillium, Rhizopus, Stachybotrys, dan Trichoderma. Kapang berkembang dengan pertolongan spora yang sering kali tahan hidup lama. Agar dapat hidup dan berkembangbiak kapang harus berada di tempat yang lembab serta memerlukan energi dari zat-zat organik (misalnya zat pati/ amylum/ tepung-tepungan, dan selulosa) tanpa memerlukan proses fotosintesis. Rumah yang lembab bekas kebanjiran memacu pertumbuhan kapang yang berbahaya bagi kesehatan penghuni. Spora kapang berada di mana-mana juga di dalam bangunan. Umumnya spora ini tidak menimbulkan masalah kesehatan secara langsung. Dalam bangunan, penunjang untuk berkembang-biaknya kapang tersedia yaitu, kelembaban, suhu yang optimal, dan sumber energi. Sumber energi diperoleh dari dinding, karpet, dan material-material lain sehingga dengan kelembaban serta suhu yang optimal kapang akan bertumbuh subur (misalnya di kamar mandi, perkakas air conditioning/AC, atau ruang-ruang yang tidak terkena sinar matahari). Bagian-bagian bangunan yang lembab (misalnya atap bocor, karpet yang basah, seteleh banjir surut) menjadi tempat yang baik untuk beraneka ragam jenis kapang berkembang-biak dan menimbulkan masalah kesehatan. Jamur kapang berpotensi menghasilkan zat kimia yang membahayakan kesehatan diantaranya VOC (Volatile Organic Compounds) misalnya bermacam jenis alkohol, keton, dan eter. Senyawa-senyawa VOC ini menimbulkan bau lapuk (musty door), menimbulkan iritasi membran mukosa, dan nyeri kepala. Di samping itu, jamur kapang juga menghasilkan mikotoksin yang beracun bagi manusia. Mikotoksin tidak mudah menguap tetapi melekat
15
pada spora, fragmen-fragmen hifa, dan debu sehingga mudah terbawa terbang dan terhirup melalui pernapasan. Terindikasikan berbagai jenis kapang ini, diantaranya Stachbotrys atra (nama lain: S. chartarum, S. alternans) menjadi penyebab penyakit idiopathic pulmonary hemorrhage (pernah dilaporkan menyerang bayi dan anak-anak, namun belum ada kepastian ilmiah yang jelas) oleh mikotoksinnya. Di samping itu, Stachbotrys atra diduga juga memicu timbulnya sick building syndrome, intensifikasi serangan asma, efek toxic inflammatory, dan extreme chronic fatigue syndrome pada para pegawai rumah sakit. Jamur kapang juga mampu mencetuskan respons imun. Seperti alergi dengan gejala bersin, batuk, hidung meleleh, mata merah, atau ruam pada kulit. Demikian juga asma yang menunjukkan komponen imun. Ada pula beberapa jenis respons imun yang jarang muncul di antaranya adalah hypersensitivity
pneumonitis.
Pada
orang-orang
yang
sedang
turun
imunitasnya, dapat terjadi infeksi jamur kapang, misalnya pasien transplantasi, pasien kemoterapi, penderita HIV. Orang-orang ini mudah terserang infeksi jamur (candidiasis, aspergillosis). Rumah yang terserang pertumbuhan jamur kapang mudah dikenal. Mulamula akan terlihat bercak perubahan warna pada dinding atau permukaan lain pada bangunan misalnya pada dinding. Kadang-kadang terlihat samar-samar seperti bercak dengan bulu-bulu halus atau hanya bau lapuk saja. Untuk menghilangkan jamur kapang dari dalam bangunan dapat dilakukan pembersihan dan perbaikan kelembaban. Kalau tanda-tanda bercak jamur pada dinding tidak besar, dapat dibersihkan dengan deterjen atau cairan pemutih, kalau infiltrasinya sudah meluas (sesudah banjir misalnya) seluruh bagian dinding itu harus dibongkar dan diganti baru. Langkah yang lebih penting adalah mencegah terbentuknya jamur kapang di dalam bangunan dengan jalan: -
Menjaga kelembaban antara 40-60%;
-
Segera memperbaiki sumber-sumber kelembaban (jendela, pipa, atau atap bocor);
16
-
Segera membersihkan bangunan setelah kebanjiran dan memberikan ventilasi optimal;
-
Memberikan ventilasi optimal untuk kamar mandi, tempat mencuci, dan tempat masak. Di tempat yang lembab dalam rumah, bakteri endotoksinnya juga tumbuh
subur misalnya Legionella. Endotoksin adalah komponen lipopolisakarida dari membran luar bakteri gram negatif. Meningkatnya bakteri gram negatif dan endotoksin terkait dengan kontaminasi alat pelembab udara (humidifier), laju ventilasi yang rendah, adanya kucing atau anjing di rumah, penyimpanan sisasisa makanan, dan bertambahnya pengendapan debu. 8) Timah Hitam (Pb) Di dalam bangunan yang menjadi masalah adalah pemakaian cat yang mengandung Pb. Pada rumah yang sudah lama, cat sering mengelupas. Cat yang mengelupas berubah menjadi debu cat, sebagian jatuh ke tanah. Pada umumnya cat kayu dan cat tembok mengandung Pb. Timah hitam yang tertelan menimbulkan keracunan pada sistem gastrointestinal, ginjal, dan saraf. Biasanya yang banyak terkena keracunan Pb dengan cara ini adalah anak-anak. Efek yang ditimbulkan pada anak-anak adalah gangguan perilaku dan kognitif. 9) Keperluan Rumah Tangga Untuk kegiatan domestik sehari-hari banyak dipakai alat dan bahan keperluan rumah tangga. Beberapa bahan keperluan rumah tangga ini berpotensi menimbulkan risiko kesehatan. Di antara risiko kesehatan yang mungkin ditimbulkan adalah: -
Wajan tak melekat (teflon): adalah wajan yang mencegah melekatnya makanan pada wajan ketika dimasak karena wajan dilapisi Teflon (polytetrafluoroethylene,
PTEE).
Oleh
pemanasan
tinggi,
PTEE
melepaskan gas-gas toksik yang terkait dengan kanker, kegagalan organ, kerusakan produktif, dan lain-lain. -
Bahan-bahan pembersih: beberapa bahan pembersih mengandung bahan kimia yang dapat membahayakan kesehatan. Di antaranya adalah yang
17
mengandung amoniak (berpotensi merusak ginjal), klor (iritan), pembersih oven (gangguan saluran pernapasan), dan lain-lain. -
Pengharum ruangan: biasanya mengandung phthalate ysng berpotensi menimbulkan kelainan hormonal, gangguan reproduksi, dan cacat lahir.
-
Pembungkus (wrapper, terbuat dari plastik) makanan: pembungkus makanan
yang
terbuat
dari
plastik
banyak
yang
mengandung
polyfluoralkylphosphoric acid diesters (diPAPs) yaitu bahan kimia karsinogen. Bahan diPAPs cepat terurai menjadi Perfluorooctanoic acid (PFOASs, atau C8, atau bahan yang dipakai pada Teflon) yang terkait dengan kanker pankreas, testis, dan hati, serta kematian neonatal, rusaknya hormon, infertil, dan mutasi genetik. -
Perabot rumah tangga: perabot rumah tangga yang terbuat dari kayu lapis (plywood) atau papan press (hardboard) secara perlahan melepas gas aldehyde (termasuk kelompok VOC) yang berpotensi memberatkan penderita asma, sinusitis, dan penyakit saluran pernapasan bagian atas lainnya dengan kemungkinan kanker.
-
Kamper (month-ball): kamper untuk mencegah pakaian dimakan ngengat mengandung naphthalane dan paradichlorobenzena (PDCB). Walaupun kurang beracun dibandingkan dengan naphthalane, PDBC tetap berpotensi meracuni manusia dengan tanda-tanda nyeri abdomen, stimulasi susunan saraf pusat, dan kejang-kejang. Dalam pembuluh darah, zat-zat ini menyebabkan hemolisis (anemia hemolitik) terutama pada mereka yang menderita defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD).
-
Styrofoam: dipakai untuk wadah makanan dan minuman. Styrofoam melepas zat-zat berbahaya Benzene dan Styrene ke udara dan makanan minuman (terutama jika panas) yang kontak dengan styrofoam. Pemajanan jangka panjang (365 hari atau lebih) kepada benzene berefek pada darah dan merupakan karsinogen. Styrene berpotensi karsinogen juga bila tertelan, pada percobaan binatang styrene menimbulkan kerusakan hati, ginjal, otak dan paru-paru.
-
Wadah plastik: wadah plastik (botol, tempat makanan, kantong plastik) yang beredar di pasar terbuat dari polycarbonate (PC) dan mengandung
18
Bisphenol-A (BPA). Karakteristik BPA adalah seperti estrogen dan masuk ke dalam makanan dan minuman sehingga berpotensi mengontaminasi manusia. Pembuangan kantong plastik sudah menjadi masalah karena plastik itu tidak dapat didegradasikan secara biologis. Beberapa kota besar di negara maju sudah membatasi atau melarang pemakaian kantong plastik karena menimbulkan masalah sampah plastik. 2.4.3
Pemilihan dan Pengaturan Tempat Bernaung Darurat
Jika bangunan kosong tidak ada, salah satu pilihan lain adalah membuat tenda atau tempat bernaung sementara terbuat dari lembar plastik, terpal, atau bahan lokal misalnya atap rumbia. Di tempat ini juga harus tersedia air bersih, makanan dan fasilitas sanitasi. Tempat permukiman dan bangunan tempat bernaung untuk para korban bencana harus segera didirikan. Berapa lama tempat ini akan dipakai tidak diketahui, mungkin bulanan mungkin pula tahunan. Baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang, tempat permukiman darurat harus menyediakan lingkungan untuk menjamin berjalannya hidup sehat seperti berikut (Assar, 1971; United Nations High Commissioner for Refugees, 1999; Sphere Project, 2000, diadapatasi dari WHO, 2002): -
Tempat yang dipilih harus bebas dari bahaya penularan penyakit yang terkait dengan air, misalnya malaria, demam berdarah dengue, onchocerciasis
(river-blindness),
schistosomiasis
(bilharzia)
dan
trypanosomiasis (penyakit tidur). Jika penyakit-penyakit ini endemik, harus dilakukan tindakan-tindakan pencegahan atau pengendalian habitat vektor dan memberikan perlindungan perseorangan terhadap nyamuk, blackflies, lalat tsetse, dan lain-lain. -
Topografi lahan harus memungkinkan penyaluran air limbah yang mudah dan terletak lebih tinggi dari permukaan banjir. Lahan berbatu dan tidak tembus air harus dihindarkan. Lahan berumput akan mengurangi debu, tetapi semak-semak dan belukar dapat menjadi tempa bersarang serangga, hewan pengerat, reptil, dan lain-lain sehingga harus dihindarkan dan dibersihkan dulu sebelum dipakai. Jika mungkin, lereng curam, lembah sempit, dan lembah curam dihindarkan. Sebaiknya dipilih tempat dengan kemiringan lereng 2% sampai dengan 4% agar dapat menyalurkan air yang 19
efektif, dan tidak lebih dari 10% untuk menghindarkan erosi dan longsor serta biaya tinggi pemindahan tanah ketika membuat jalan dan bangunan. -
Jika ada, tempat itu terlindungi secara alami dari kondisi-kondisi cuaca yang tidak bersahabat.
-
Hindarkan tempat-tempat yang berdekatan dengan zona industri atau perdagangan, bising, bau, pencemaran udara, dan gangguan lain.
-
Terdapat lahan untuk manajemen sanitasi dan sampah yang cukup dekat dengan tempat permukiman. Area permukiman harus menghadap berlawanan dengan arah angin agar terhindar dari bau yang berasal dari jamban.
-
Tersedia cukup ruang untuk jumlah korban bencana agar dapat bernaung dan semua keperluan fasilitas publik seperti, jalan, area penangkal kebakaran (area tanpa bangunan dan sedikit atau tanpa tanaman yang mudah terbakar) dan area pelayanan (30 m2 untuk setiap orang, atau 45 m2 untuk setiap orang termasuk untuk taman yang kecil bukan untuk usaha pertanian penuh). Area untuk ruang umum, pasar, dan lain-lain harus ditentukan dulu sejak semula.
-
Tempat distribusi makanan harus diatur agar menciptakan kondisi aman untuk orang-orang yang mengambil dan membagikan makanan.
-
Agar dapat memfasilitasikan manajemen dan pengendalian penyakit menular, kamp pengungsian jangan menampung lebih dari 10.000 orang sampai dengan 12.000 orang atau dipecah menjadi unit-unit independen yang menampung orang tidak lebih dari 1000 orang tiap unit.
-
Saluran-saluran air limbah digali sekeliling tenda atau tempat bernaung lain dan sepanjang tepi jalan terurama jika diantisipasikan adanya banjir. Perhatikan untuk mengalirkan air limbah menjauh dari tempat bernaung, jamban, pusat kesehatan, dan gudang. Area yang menggenangkan air dan sukar dikeringkan harus diuruk atau ditutupi dengan bola-bola polystyrene atau lapisan tipis oli untuk mengendalikan perindukan insekta. Tempattempat pengambilan air harus mempunyai saluran pembuangan air limbah untuk mencegah terbentuknya endapan lumpur.
20
-
Tempat itu paling sedikit harus dilengkapi dengan dua jalan akses demi keamanan dan mengurangi kemungkinan terputusnya jalan karena banjir atau kesulitan lain.
-
Permukaan jalan boleh diperciki air untuk mengurangi debu. Air limbah sekali-sekali boleh dipakai untuk membasahi jalan berkerikil. Membatasi kepadatan lalu-lintas dan mengurangi kecepatan kendaraan dapat mengurangi debu.
-
Tempat bernaung diatur berbaris atau berkelompok sebanyak 10-12 unit di kedua tepi jalan (yang lebarnya minimal 10 meter supaya lalu-lintas lancar dan dapat dilalui mobil ambulans dan pemadam kebakaran). Untuk permukiman dengan tenda, jarak pelatok tenda ke jalan minimal 2 meter.
-
Area tempat bernaung harus dikelompokkan dan terpisah oleh ruang penangkal kebakaran selebar 30 meter pada tiap jarak 300 meter. Ruang penangkal kebakaran itu dapat dipakai sebagai jalan tempat lalu-lintas atau tempat rekreasi.
-
Tiap tempat bernaung terpisah satu dengan lainnya pada jarak 8 meter sehingga dapat dilalui orang dengan bebas tanpa tersandung pelatok dan tali tenda, jeda jarak ini juga berfungsi sebagai penghadang merembetnya kebakaran. Jika ruang tidak cukup, dapat diatur agar jarak itu dibuat selebar tinggi tempat bernaung dan tidak kurang dari pada 2 meter. Jarak lebih dari 8 meter hendaknya dihindarkan karena mendorong defekasi di tempat terbuka.
-
Di dalam tempat bernaung tersedia ruang seluas minimum 3,5 m2 untuk setiap orang (untuk iklim panas dan memasak di luar tempat bernaung) atau 4,5 – 5,5 m2 untuk setiap orang (untuk iklim dingin dan memasak di dalam tempat bernaung).
-
Tempat bernaung boleh terbuat dari tenda atau unit berteduh yang sudah jadi, boleh terbuat dari plastik, kayu, batu, atau ranting-ranting. Untuk pemakaian lembar plastik biasanya luas selembar adalah 4 X 6 – 7 meter untuk tiap rumah tangga.
-
Tempat bernaung yang kecil dan dihuni oleh jumlah sedikit penghuni lebih baik dari pada yang besar dan dihuni banyak orang.
21
-
Pada daerah cuaca dingin, sediakan kompor penghangat (minyak tanah atau yang lain), ajarkan para pemakai untuk mencegah kebakaran, pencemaran udara dalam ruangan, dan meledak.
-
Jika tidak ada tenaga listrik sediakan lampu angin (minyak tanah), atau lampu penerangan baterai untuk menerangi tempat bernaung, jamban, dan jalan.
-
Sediakan ventilasi alami untuk tempat bernaung sementara (misalnya: tenda).
-
Tempat terletak tidak jauh dari sumber air bersih, sebaiknya berada di tempat di mana air bersih dapat dialirkan dengan gravitasi. Secara bertahap sumber air harus diperbaiki dan dilindungi setelah kebutuhankebutuhan dasar terpenuhi. Jaraknya tidak lebih dari 500 meter dari tempat bernaung, tiap tempat pengambilan air maksimal melayani tidak lebih dari 250 orang.
-
Jika tidak ada ledeng, harus dipasang tangki-tangki air di kedua tepi jalan.
-
Sediakan tong sampah.
-
Sediakan jamban atau sarana pembuangan ekskreta lain (minimal 1 jamban untuk tiap 20 orang) dan secara bertahap ditingkatkan setelah waktu dan dana memungkinkan. Bahaya buang air besar sembarangan, pemeliharaan jamban harus ditekankan dalam pendidikan kesehatan dan pengorganisasian permukiman.
-
Tempat pemgungsian harus dibersihakn secara reguler sesuai dengan jadwal. Anjurkan partisipasi penghuni tempat pengungsian. Para pemuda sebaiknya dianjurkan membentuk tim yang bertugas membersihkan dan melaporkan masalah-masalah kesehatan dan lingkungan.
-
Sediakan tempat terpisah dan minimal seorang pengasuh (suka rela atau dari bantuan kemanusiaan) untuk tiap kamar/ruang bagi anak-anak terlantar. Mungkin anak-anak dalam keadaan kebingungan, takut, atau memerlukan makanan bergizi khusus. Tempat untuk anak-anak ini harus berdekatan dengan pusat perbaikan gizi dan rumah sakit. Sedapat mungkin mereka berada jauh dari tempat-tempat bahaya sekunder, bising dan kontaminasi.
22
-
Dalam bencana kelaparan dan perang, banyak orang yang baru datang dengan menderita kurang gizi dan lemah. Untuk mereka diperlukan pelayanan khusus misalnya pemberian makan intensif atau sebagai terapi oleh unit rehabilitasi gizi.
-
Unit-unit rehabilitasi gizi dan pemberian makan yang intensif harus dilengkapi dengan air minum sebanyak 15 liter sampai 30 liter air minum setuap hari untuk setiap tempat tidur.
-
Secara khusus harus disediakan jamban dan fasilitas pembuangan sampah lain untuk para orang tua, anak-anak dan staf.
-
Penting juga tersedia sarana pencuci tangan untuk staf dan orang tua yang memberikan makan kepada anak.
2.5 Permukiman Pengungsian Jangka Panjang Tujuan dari disediakannya solusi tempat penampungan kemanusian setelah terjadinya bencana adalah menjadi menyelamatkan nyawa tapi juga menetapkan langkah untuk rekonstruksi berkelanjutan. Untuk mencapai ini, kebutuhan dan pilihan masyarakat menggerakkan prosesnya, sebagai tujuan utama adalah membangun komunitas yang lebih aman dan kuat. Permukiman jangka panjang adalah lokasi aman dan mudah diakses untuk menyediakan layanan pendukung yang berkelanjutan untuk korban bencana lebih dari dua minggu. Fungsi-fungsi dari permukiman jangka panjang adalah: a. Menyediakan kebutuhan jangka panjang untuk korban bencana, secara khusus untuk lebih dari dua minggu b. Transisi dari layanan sementara dan portabel (mudah dipindahkan/dibawa) hingga layanan yang lebih tahan lama, tetap atau permanen, seperti penyedia utilitas, kamar mandi, toilet, dan bak cuci c. Menyediakan lokasi yang aman dan mudah diakses untuk mendukung kehidupan, seperti makanan, penyediaan air, perawatan medis dasar, sanitasi. d. Menyediakan berbagai layanan penting, tergantung pada kebutuhan korban bencana dan sumber yang tersedia: a. Dukungan untuk orang-orang dengan kebutuhan akses dan fungsional 23
b. Pelayanan kesehatan dan kesehatan mental perilaku c. Bantuan reunifikasi keluarga d. Pelayanan anak e. Pelayanan dan perawatan hewan peliharaan f. Distribusi
dari
mempertahankan
hidup,
kenyamanan,
dan
persediaan penting lainnya g. Cucian (laundry) h. Akses transportasi i. Pelayanan dan informasi berhubungan pemulihan bencana j. Aktivitas edukasi dan rekreasi Jika permukiman akan ditempati lebih dari beberapa minggu, beberapa pergeseran masalah sosial, lingkungan, dan kesehatan harus diantisipasikan agar kesehatan dan kesejahteraan para pengungsi terjamin dan biaya jangka panjang untuk pelayanan dan perawatan infrastruktur tetap terkendali. Tak kalah pentingnya adalah dampak sosial kepada penduduk setempat dan kemungkinan gesekan-gesekan sosial yang terjadi antara masyarakat pendatang dan masyarakat setempat. Selama fase darurat masalah-masalah risiko kesehatan mungkin sudah teratasi, tetapi jika sampai para pengungsi harus menetap lama di tempat pengungsian, sejumlah masalah psikososial dan masalah kesehatan lain yang berhubung dengan pengucilan, kesesakan penghuni, dan ketidaktentuan masa depan memerlukan penanganan yang tetap. Permukiman jangka panjang memerlukan sarana penyediaan air bersih, sistem pembuangan air limbah, sarana mencuci, sarana pembuangan sampah yang lebih baik dari pada permukiman sementara. Gunung Agung di Bali yang berstatus awas oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mendistribusikan perlengkapan untuk menunjang kebutuhan air bersih dan sanitasi bagi pengungsi di Bali. Perlengkapan air bersih dan sanitasi tersebut disebar di lima lokasi pengungsian di sekitar Gunung Agung. Mereka menerima 1 unit mobil toilet dan 2 tenda hunian darurat (THD), 6 hidran umum (HU), 20 unit toilet bongkar pasang atau knockdown, 10 THD, 1 unit container untuk sampah. Adapula yang menerima 5 HU, 10 toilet knockdown, 1
24
mobil tangki air (MTA), 10 THD. Lokasi seperti di Ulakan dilengkapi dengan satu sumur bor. Melalui koordinasi dengan masyarakat dan pejabat setempat, sarana-sarana itu harus dirancang dan dibangun sedemikian sehingga para pejabat dan masyarakat setempat dapat merawatnya dengan dana yang minimal. Harus pula disusun jadwal pengelolaan, pemantauan, dan perbaikan reguler. Tempat-tempat menyimpan bahan-bahan berbahaya (pestisida, bahan bakar) harus diberi pembatas (atau metode pengaman lain), terutama jangan sampai terjangkau oleh yang tidak berwenang (anak-anak dan lain-lain). Tempat-tempat beribadah, sekolah, bengkel, tempat membuat makanan jadi, dan lain-lain harus dirancang dan dibangun dengan benar. Jika ada inisiatif para pengungsi untuk membangun tempat mereka, hendaknya diawasi pula agar tidak ada ancaman kesehatan bagi mereka misalnya asap ada api dari tungku pembakaran, buangan cair, atau lalat dari tempat pemotongan hewan. Tempat pengungsian sebaiknya dipilah-pilah ke dalam zona permukiman dan zona-zona kegiatan lain.
25
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Kesimpulan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
Kualitas permukiman bagi para pengungsi memberikan dampak kesehatan yang besar pada kesehatan dan kesejahteraan. Sebuah tempat bernaung bagi para pengungsi hendaknya memenuhi persyaratan: 1) Faali: istirahat, kebebasan pribadi (privacy); 2) Psikologi: membina hubungan antar penghuni; 3) Kesehatan: tidak menjadi tempat menimbulkan penyakit; 4) Tidak menimbulkan kecelakaan.
Tempat bernaung jangka pendek adalah fasilitas yang ada, seperti sekolah, pusat komunitas, convention center, atau gereja yang untuk sementara diubah untuk menyediakan perumahan jangka pendek yang aman, mudah diakses, dan aman untuk korban bencana.
Tiga faktor tempat bernaung yang mempengaruhi kesehatan korban bencana yaitu: 1) Konstruksi atau kondisi fisik bangunan; 2) Bahan bangunan; dan 3) Kegiatan rumah tangga.
Udara dalam bangunan tempat bernaung merupakan faktor utama yang menentukan aman tidaknya suatu bangunan bagi kesehatan penghuninya. Udara di dalam rumah berpotensi dicemari oleh zat-zat pencemar yang berasal dari berbagai sumber. Sumbernya bisa berasal dari alam (biogenic dan chemicals) atau hasil kegiatan manusia (anthropogenic).
Tujuan dari disediakannya solusi tempat penampungan kemanusian setelah terjadinya bencana adalah menjadi menyelamatkan nyawa tapi juga menetapkan langkah untuk rekonstruksi berkelanjutan. Untuk mencapai ini, kebutuhan dan pilihan masyarakat menggerakkan prosesnya, sebagai tujuan utama adalah membangun komunitas yang lebih aman dan kuat. Permukiman jangka panjang adalah lokasi aman dan mudah diakses untuk menyediakan layanan pendukung yang berkelanjutan untuk korban bencana lebih dari dua minggu.
26
3.2 Saran Tempat menetap atau permukiman merupakan kondisi fisik lingkungan yang dihadapi oleh para korban bencana setelah selamat dari bencana. Pemilihan lokasi bagi para pengungsi ini sangat menentukan derajat kesehatan mereka karena mungkin mereka harus menetap berhari-hari sampai tahunan. Oleh karena itu, diperlukannya koordinasi dengan masyarakat dan pejabat setempat agar saranasarana pengungsian yang tersedia atau dirancang dan dibangun sedemikian sehingga para pejabat dan masyarakat setempat dapat merawatnya baik. Harus pula disusun jadwal pengelolaan, pemantauan, dan perbaikan reguler.
27
DAFTAR PUSTAKA FEMA. 2017. Short-Term Shelter, (online) (www.fema.gov%2Fmedia-librarydata%2F1494264802106ba1fb3179987a4a68241d0b66c68f748%2FNIMS_ 508_Short_Term_Shelter_MAR212017.pdf&usg=AOvVaw2DPBQQCX0p rJYzypA9PePl diakses pada tanggal 13 Oktober 2017) FEMA. 2017. Long-Term Shelter, (online) (www.fema.gov%2Fmedia-librarydata%2F149426588178941aa5309742d3fbc91faa5b06dd05064%2FNIMS_508_Long_Term_Shelter _MAR202017.pdf&usg=AOvVaw0wTlpUAZaAiAiyvulJWARD
diakses
pada tanggal 14 Oktober 2017) Paskalis, Y. 2017. “Perlengkapan Air Bersih Disiapkan untuk Pengungsi Gunung Agung”. Tempo.Co, 26 September 2017 Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2014 Tentang Pedoman Mitigasi Bencana Alam Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Purwana, R. 2013. Manajemen Kedaruratan Kesehatan Lingkungan Dalam Kejadian Bencana. Jakarta: Rajawali Pers.
28