TUGAS PENULISAN ILMIAH “SYSTEMATIC REVIEW”
Disusun Oleh : Angela Norisa Hutami
1711216055
Nahdiati Marwi
1711216062
Rosidah Zahra
1711216063
Dosen Pengampu : Ade Suzana Eka Putri, SKM, M.Comm Health Sc, PhD
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS ANDALAS 2018
THE ASSOSIATION OF EARTHQUAKE TO THE LEVEL OF MENTAL DISORDERS IN THE ASIAN REGION IN THE LAST FIVE YEARS
ABSTRAK Pendahuluan bencana merupakan suatu gangguan serius terhadap kehidupan suatu masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia. Jurnal ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan antara gempa dengan kesehatan mental di Asia. Metode dalam studi ini digunakan metode telaah sistematik dan meta-analisis dengan penelusuran pustaka. Situs database jurnal yang digunakan yaitu PUBMED. Hasil dan diskusi setelah dianalisis menggunakan aplikasi RevMan, didapatkan hasil gabungan sebanyak 198 yang terpapar dampak gempa dari total 1564 kasus dan dipatkan 7 dari 203 kasus yang tidak terpapar gempa dengan OR 6.90 [2.99, 15.91] dimana dapat diinterpretasikan bahwa kejadian gempa beresiko 6,9 kali untuk kejadian gangguan kesehatan mental di Asia. Kesimpulan berdasarkan hasil didapatkan bahwa, kejadian gempa memiliki dampak terhadap gangguan kesehatan mental. Kata Kunci
: Gempa bumi,gangguan jiwa dan ASIA
A. PENDAHULUAN Bencana merupakan suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi , ekonomi atau lingkungan dan melampaui kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri.Bencana dapat disebabkan oleh faktor alam maupun non alam. Contoh faktor alam misalnya gempa bumi. Setelah terjadinya bencana alam beberapa faktor seperti pemindahan skala besar (dilakukan pengungsian), kekurangan bahan makanan, meningkatnya wabah penyakit serta dapat menganggu kesehatan mental seseorang. Dilihat dari aspek psikologis pasca bencana sebagian orang yang memiliki psikologis yang normal, sekitar 15-20% mengalami depresi ringan hingga sedang dan sekitar 3-4% mengalami depresi berat. Dari kejadian gempa besar yang terjadi di Jepang Timur tahun 2011 bahwa ditemukan prevalensi reaksi stres pasca-trauma dilaporkan sebesar 10% hingga 53,5%,sedangkan untuk depresi sebesar 3 % hingga 43,7%. Sedangkan di Thailand yang terjadi pada tahun 2004 , besar prevalensi stres pasca-trauma yakni 33,6% dan depresi sebesar
14,3%. Dan gempa Wechaun di Cina tahun 2008 ,besar prevalensi stres pasca-trauma saat 2 bulan sesudah kejadian sebesar 58,2% dan setelah 8 bulan kejadian mengalami penurunan menjadi 22,1%. Di Kyoto, tingkat kecemasan dan depresi setelah 2,5 tahun secara signifikan lebih tinggi daripada segera setelah bencana. Penderitaan manusia yang dihasilkan dari situasi darurat alam atau buatan manusia tidak hanya mencakup pemindahan skala besar, kekurangan makanan dan wabah penyakit tetapi juga masalah kesehatan mental. Setelah bencana, sementara sebagian besar populasi yang terkena dampak memiliki reaksi psikologis yang normal, diperkirakan 15-20% akan mengalami gangguan mental ringan atau sedang, seperti bentuk depresi ringan dan sedang, kecemasan atau gangguan stres pasca-trauma (PTSD) , sementara 3-4% akan menderita gangguan berat seperti psikosis, depresi berat dan sangat melumpuhkan bentuk gangguan kecemasan. Tinjauan sistematis masalah kesehatan mental setelah Gempa Besar Jepang Timur pada 2011 menemukan bahwa prevalensi reaksi stres pasca-trauma yang dilaporkan berkisar antara 10% hingga 53,5%, sedangkan untuk depresi adalah 3,0% hingga 43,7%. Demikian pula, di Thailand, prevalensi PTSD dan depresi adalah 33,6% dan 14,3%, masing-masing, 3 bulan setelah tsunami 2004, sementara di Cina, prevalensi PTSD setelah gempa Wenchaun 2008 adalah 58,2% pada 2 bulan dan 22,1% pada 8 bulan setelah acara. Dalam analisis longitudinal 20-24 bulan setelah gempa Selandia Baru pada tahun 2010, risiko mengembangkan gangguan mental ditemukan menjadi 1,4 (95% interval kepercayaan [CI]: 1,1-1,7) kali lebih tinggi di antara kelompok dengan tingkat paparan yang tinggi terhadap gempa bumi daripada di antara mereka yang tidak terpapar, karena peningkatan tingkat depresi berat, PTSD, gangguan kecemasan lainnya dan ketergantungan nikotin, dengan 10,8-13,3% dari keseluruhan tingkat gangguan mental yang disebabkan paparan gempa bumi. Penelitian longitudinal setelah Gempa Besar Jepang Timur 2011 menunjukkan bahwa gejala stres pasca-trauma menurun seiring waktu di daerah yang terkena, sedangkan depresi tidak terjadi. Posttraumatic stress disorder (PTSD) adalah gejala sisa psikologis yang paling umum pada orang dewasa yang selamat setelah gempa bumi. Sebagai contoh, 6 bulan setelah gempa Wenchuan, prevalensi PTSD adalah 15,6% di antara 14.207 individu dari Dujiangyan, Daerah Beichuan, dan Qingchuan County. Selain itu, prevalensi PTSD adalah 19,2% dalam sampel yang dipilih secara acak yang terdiri dari 683 orang yang selamat 3 tahun setelah gempa Marmara. Prevalensi PTSD pada siswa juga telah mendapat perhatian yang besar. Ketika datang ke kesehatan mental siswa setelah bencana, guru bertanggung jawab untuk kebutuhan emosional, fisik, dan informasi yang akut dari siswa setelah mereka memahami perannya.
sebagai pendidik. Agar efektif baik sebagai pengasuh dan pendidik bagi siswa, kondisi kesehatan mental guru sendiri harus diatasi. Meskipun siswa dan guru mungkin menderita dari bencana yang sama, ada data terbatas yang berkaitan dengan prevalensi PTSD di guru. Penyesuaian anak-anak yang saling bergantung dan orang tua mereka setelah bencana telah didokumentasikan dengan baik. Kami menggunakan Model Interdependensi AktorMitra (APIM) untuk memberikan kerangka analisis yang tepat untuk memeriksa bagaimana anggota keluarga dapat berkontribusi terhadap kesehatan mental pasca bencana masingmasing. Laporan diri independen dikumpulkan dari orang tua-anak (n = 397) yang tinggal di komunitas pedesaan di Indonesia yang hancur oleh gempa bumi besar. Anak-anak sekolah dasar (M = 10 tahun; 51% perempuan) dan salah satu orang tua mereka (M = 41 tahun; 73% perempuan) masing-masing melaporkan tentang paparan bencana, gejala stres pasca trauma (PTS), dan distres umum. APIM digunakan untuk memeriksa kesehatan mental dalam pasangan dan moderasi berdasarkan gender di seluruh pasangan. Anak-anak melaporkan paparan bencana yang lebih rendah dan gejala PTS yang lebih sedikit, tetapi tingkat kesulitan umum yang sama, seperti orang tua mereka. Gejala PTS khusus anak-anak dan orang tua adalah prediktor terkuat dari kesusahan mereka sendiri. Gejala PTS orang tua dikaitkan dengan penderitaan umum anak-anak (b = 0,14, p <0,001), tetapi gejala PTS anak-anak tidak terkait dengan tekanan umum orang tua (b = -0,02, p> 0,05). Temuan tidak dimoderasi oleh jenis kelamin orang tua atau anak-anak. Meskipun anak-anak dan orang tua dapat merespon secara berbeda terhadap bencana alam, mereka mungkin paling baik dipahami sebagai angka dua. Analisis APIM memberikan bukti baru yang menunjukkan jalur pengaruh searah dari gejala-gejala terkait bencana orang tua kepada kesehatan mental umum anak-anak. Pendekatan Dyadic untuk memahami kesehatan mental dan mengobati gejala kesusahan di antara korban bencana dan keluarga mereka setelah trauma didorong. Dalam upaya untuk menilai situasi dan untuk menginformasikan respon kesehatan mental terhadap bencana, dua survei populasi penilaian cepat dikembangkan dan dilakukan oleh Departemen Psikiatri, Universitas Indonesia, memeriksa prevalensi gangguan psikologis pada orang dewasa dan anak sampel dalam dua bulan bencana. Di sini kami melaporkan temuan dari sampel orang dewasa, yang terdiri dari dua kelompok. Yang pertama terdiri dari orang-orang yang mengungsi dari rumah mereka oleh peristiwa (pengungsi internal, IDP), mayoritas dari mereka sekarang tinggal di kamp-kamp sementara. Ini dianggap sebagai paparan tinggi dan perubahan negatif pasca bencana yang tinggi dalam kelompok dampak keadaan kehidupan. Kelompok kedua terdiri dari mereka yang tinggal di pinggiran kamp di tempat tinggal mereka yang biasa dan, meskipun tidak mengungsi dan memiliki paparan
langsung yang lebih rendah terhadap tsunami, mereka tidak selalu tidak terpengaruh secara pribadi dan sosial oleh bencana. Suatu usaha dibuat untuk umumnya cocok dengan kelompok yang terakhir untuk yang pertama pada usia dan jenis kelamin.
Metode Adapun metode yang digunakan dalam jurnal ini adalah menggunakan sistematik review dan meta-analisis. Ide dari jurnal ini yaitu tentang gempa bumi dan gangguan jiwa, kami melihat seberapa kuat hubungan antara gempa bumi dengan gangguan jiwa. Pencarian sumber data yang akan dijadikan referensi dalam membuat penulisan sistematika review dan meta-analisis dilakukan dengan penulusuran pustaka dengan mesin pencarian (search engine) yaitu google. Situs database jurnal yang dipilih di dalam penulisan jurnal ini adalah situs terpercaya di dalam publikasi jurnal ilmiah yaitu NCBI yang dapat di akses secara online melalui situs https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ dengan free full text dan publikasi jurnal lima tahun terkahir (2013-2018). Untuk mempermudah pencarian data, digunakan beberapa keyword yaitu earthquake,mental disorders,cohort study,cross sectional dan case control serta penambahan kata AND. Kemudian jurnal yang sesuai dengan kriteria ide, objektif dan keyword di download dan di simpan untuk di skrining terhadap jurnal-jurnal yang dapat di gunakan sebagai sumber referensi jurnal. Terdapat 14 artikel untuk dilakukan sistematik review, karena 11 artikel sulit dilakukan meta analisis maka didapatkan 3 artikel untuk dilakukan meta analisis yaitu jurnal 1, 3 dan jurnal 13.
Study Flow Diagram
Hasil dan Pembahasan
Gambar 1
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa variasi antar-penelitian adalah homogen. Hal ini dibuktikan oleh nilai p pada uji heterogeneity lebih besar dari 0,05 yaitu p=0,09 dan nilai I2 yaitu 58%. Jadi dari hasil tersebut dapat disimpulkan ada hubungan signifikan antara kejadian gempa terhadap gangguan mental. Berdasarkan studi Hidekazu et al tahun 2014, dari 633 yang terpapar gempa 135 diantaranya menderita gangguan jiwa, dan 44 yang tidak terpapar gempa tidak ada peneliti menjelaskan penderita gangguan jiwa. Dengan OR 24,19 . Berdasarkan Ikki et al tahun 2017, dari 819 yang terpapar gempa 40 diantaranya menderita gangguan jiwa, dan 3 yang tidak terpapar gempa tidak ada peneliti menjelaskan penderita gangguan jiwa. Dengan OR 0,36. Berdasarkan Xiayo et al tahun 2015, dari 112 yang terpapar gempa 23 diantaranya menderita gangguan jiwa, dan 156 yang tidak terpapar gempa 7 diantaranya menderita gangguan jiwa. Dengan OR 5,50. Setelah dianalisis menggunakan aplikasi RevMan, didapatkan hasil gabungan. Sebanyak 198 yang terpapar gempa dari total kasus 1564 dan sebanyak 7 dari yang tidak terpapar gempa sebanyak 203, dengan OR 6,90 dimana dapat diinterpretasikan bahwa kejadian gempa meningkatkan sebesar 6,9 kali untuk terkena gangguan jiwa di wilayah ASIA.
Kesimpulan Jadi dari hasil tersebut dapat disimpulkan ada hubungan signifikan antara kejadian gempa terhadap gangguan mental dan kejadian gempa meningkatkan sebesar 6, 9 kali untuk terkena gangguan jiwa di wilayah ASIA. Dalam penelitian ini, peneliti tidak membedakan mana kelompok yang terpapar dengan yang tidak terpapar gempa, dan peneliti tidak menspesifikan jenis gangguan jiwa yang ingin diteliti. Saran untuk penelitian selanjutnya, lebih membedakan mana kelompok yang terpapar gempa dengan yang tidak terpapar gempa untuk melihat hubungan gempa dengan gangguan jiwa, dan lebih menspesifikkan jenis gangguan jiwa yang ingin diteliti.
No
Tujuan Penelitian
Tahun Publik asi 2014
Judul
Penulis
1
Surveys of postpartu m depressio n in Miyagi, Japan, after the Great East Japan Earthqua ke
Hidekazu Nishigori, Junichi Sugawara, Taku Obara, Toshie Nishigori, Kineko Sato, Takashi Sugiyama, Kunihiro Okamura & Nobuo Yaegashi
Untuk mengeksplor asi korelasi antara gempa bumi besar jepang timur dan kejadian depresi pasca melahirkan di prefektur miyagi, jepang
2
Drinking Behavior and Mental Illness Among Evacuees
Yuka Ueda, Hirooki Yabe, Masaharu Maeda, Tetsuya
Untuk 2016 mengetahui hubungan antara perilaku minum dan resiko
Tahun dan Tempat Penelitian 2011 Miyagi, Jepang
Metode Desain yang digunakan yaitu studi crosssectional dengan pengambilan data menggunaka n kuesioner
2012 di Desain Fukhusima Penelitian : Jepang crosssectional Pengambila n sampel dengan
Populasi dan Sampel
Variabel
Hasil
Pembahasan
Dependen : Kejadian depresi pasca melahirkan Independen : Gempa bumi
Prevalensi wanita postpartum dengan skor EPDS ≥9 adalah 21,3%. Analisis univariat menunjukkan bahwa usia di bawah 25 tahun (P = 0,0153), komplikasi obstetri selama kehamilan (P = 0,03), berat lahir bayi di bawah 2500 g (P = 0,0117), penghancuran rumah (P = 0,0335), dan paparan untuk tsunami (P = 0,0016) secara signifikan berbeda antara perempuan dengan skor EPDS
- Dalam penelitian ini, prevalensi wanita pasca melahirkan dengan skor EPDS ≥9 adalah 21,3%. Penelitian populasi besar sebelumnya pada wanita Jepang dengan depresi pascanatal melaporkan bahwa 13,9% wanita memiliki skor EPDS ≥9 (Suzumiya et al. 2004). Hasil kami menunjukkan bahwa wanita pascanatal di daerah pesisir prefektur Miyagi memiliki prevalensi skor EPDS yang sangat tinggi ≥9 setelah bencana. Seperti yang ditunjukkan -Dari tabel penelitian didapatkan, prevalensi kelompok berisiko tinggi untuk depresi postpartum tidak menunjukkan korelasi dengan interval waktu setelah melahirkan. Hasil ini mungkin menunjukkan bahwa wanita postpartum telah berada dalam kondisi stres kronis bahkan 6 bulan setelah bencana. Investigasi lebih lanjut diperlukan untuk memperjelas faktor-faktor yang tepat yang terkait dengan situasi mereka.
: Dependen : Perilaku : minum dan penyakit mental Independen : Gempa
-Dari tabel 1 didapatkan distribusi karakteristik dasar peserta, faktor sosial ekonomi, faktor terkait
Dalam penelitian ini, baik pria maupun wanita yang baru meminum berat memiliki risiko terbesar untuk penyakit mental yang serius; dimulainya minum berat meningkatkan risiko pascabencana penyakit mental yang serius. Studi
Populasi :12000 Orang Sampel : 633 Orang
Populasi 174.028 Sampel 71.100
in Fukushi ma Followin g the Great East Japan Earthqua ke: The Fukushi ma Health Manage ment Survey
Ohira, Senta Fujii, Shin-ichi Niwa, Akira Ohtsuru, Hirobumi Mashiko, Mayumi Harigane and Seiji Yasumura
penyakit mental setelah bencana gabungan
menggunak an kuesioner
bumi
bencana, dan skor K6. Proporsi orang-orang dengan "penyakit mental serius yang mungkin" berbeda secara signifikan dari mereka yang tanpa penyakit seperti itu sehubungan dengan jender, pencapaian pendidikan, riwayat penyakit mental, perubahan dalam pekerjaan, kehilangan pekerjaan, penurunan pendapatan, kerusakan rumah, pengalaman dari tsunami, pengalaman kecelakaan pembangkit listrik tenaga nuklir, dan kehilangan keluarga atau kerabat. -Dari tabel 2 baik pria dan wanita predisaster nonpeminum (15,8%) memiliki risiko proporsional lebih tinggi dari penyakit mental
prospektif telah menunjukkan bahwa minum berat memiliki risiko gangguan mental yang serius. Kami mempresentasikan data kunci tentang bagaimana peminum berat yang baru mulai setelah bencana gabungan menderita penyakit mental yang serius. Hasilnya menunjukkan bahwa peminum pemula yang mengikuti bencana gabungan ini perlu mempertimbangkan risiko terhadap kesehatan mental mereka, dan bahwa kebutuhan kesehatan mental mereka harus diatasi.
yang serius dari pada peminum predisaster (12,6%; p <0,01). -Dari tabel 3 didapatkan Pria dan wanita yang baru saja memulai peminum berat (Grup C) memiliki risiko tertinggi penyakit mental yang serius di antara kelompok yang tidak merokok. Risiko proporsional penyakit mental yang serius di antara peminum ringan yang baru mulai (Grup B) lebih tinggi dari pada peminum non-peminum (Grup A). Namun, abstain (Kelompok D) memiliki risiko proporsional tertinggi untuk penyakit mental serius di antara kelompok peminum predisaster.
3
Criticism by communi ty people and poor workplac e communi cation as risk factors for the mental health of local welfare workers after the Great East Japan Earthqua ke: A crosssectional study
Ikki Ueda, Atsushi Sakuma, Yoko Takahashi, Wataru Shoji, Ayami Nagao, Mikika Abe, Yuriko Suzuki5, Hiroo Matsuoka, Kazunori Matsumot o.
Mengetahui 2017 strees sosial terkait pekerjaan, termasuk kritik oleh masyarakat, dan komunikasi ditempat kerja yang buruk, dikaitkan dengan peningkatan resiko PTSD, depresi/tekan an psikologis 20-22 bulan setelah gempa jepang di pekerja kesejahteraan sosial setempat
2011, Miyagi Jepang
Desain Populasi : Penelitian : 1008 crossSampel : 822 sectional Pengambila n sampel dengan menggunak an kuesioner
Dependen : Faktor risiko untuk kesehatan mental pekerja
-Sebanyak 733 (89,5%) peserta menyelesaikan semua 3 langkah, 78 (9,5%) menyelesaikan 2 langkah, dan 8 Independen (1,0%) : Gempa menyelesaikan bumi hanya 1 ukuran. Karakteristik demografi dan pengalaman faktor-faktor risiko tidak berbeda sesuai dengan jumlah tindakan yang diselesaikan. Karena sebagian besar peserta adalah penduduk di daerah yang terkena bencana, banyak dari mereka memiliki pengalaman yang sangat terkait dengan bencana. - Faktor yang terkait dengan kemungkinan PTSD. Analisis multivariat mengungkapkan bahwa di antara faktor-faktor yang terkait bencana, "pemindahan" secara signifikan
-Dalam studi ini, kami menyelidiki masalah kesehatan mental dan faktor terkait pekerja kesejahteraan lokal (yaitu, pekerja SHAKYO), yang telah memainkan peran sentral dalam mendukung domain kesejahteraan sosial setelah GEJE, 20-22 bulan setelah bencana. - Seperti yang kita hipotesa, mengalami kritik oleh masyarakat lokal dikaitkan dengan risiko PTSD dan tekanan psikologis umum yang tinggi pada pekerja SHAKYO. Temuan ini sejalan dengan penelitian Shigemura et al. [18], yang melaporkan bahwa pengalaman diskriminasi terkait dengan tekanan psikologis umum dan respons pascatrauma pada pekerja di pembangkit listrik tenaga nuklir setelah bencana nuklir Fukushima Daiichi. - Kurangnya komunikasi di tempat kerja juga merupakan faktor risiko untuk PTSD, depresi, dan tekanan psikologis umum yang tinggi pada peserta saat ini. - Dalam sampel ini, banyak pekerja lokal mengalami kedua faktor risiko pribadi dan tempat kerja, dan stres sekunder setelah bencana itu dampak yang kuat padamental mereka.
4
LongTerm Effects of Acute Stress on the Prefronta l-Limbic System in the Healthy Adult
Yu Li, Xin Hou, Dongtao Wei, Xue Du, Qinglin Zhang, Guangyua n Liu, Jiang Qiu.
Efek paparan 2017 trauma pada struktur dan konektivitas fungsional dari otak orang sehat terpapar trauma dibandingkan dengan kontrol sehat yang cocok untuk usia, jenis kelamin dan pendidikan
2012, Wenchuan, Sichuan, RRT
terkait dengan PTSD yang mungkin terjadi. Di antara faktorfaktor tempat kerja, "kritik oleh masyarakat" dan "kurangnya komunikasi" secara signifikan terkait dengan kemungkinan PTSD. Dilakukan Populasi : Dependen : -Analisis analisis Sekumpulan Stress akut perbandingan VBM,uji mahasiswa Independen kelompok sample t Sampel : 42 : Gempa mengungkapkan test dengan bumi bahwa tidak ada SPSS,studi perbedaan yang longitudina signifikan dalam l koneksi fungsional amigdala dengan mPFC antara kedua kelompok (t = -1,56; p = 0,126). Namun, peningkatan kekuatan koneksi dari amigdala dengan kampus hippo ditemukan pada survivor trauma dibandingkan dengan kontrol yang sehat (t = 2.86; p = 0,007, Gambar 3A). Selain itu, ada
Dalam penelitian ini, kami menyelidiki efek jangka panjang dari peristiwa traumatis (Gempa Bumi Wenchuan) pada struktur otak manusia dan konektivitas fungsional. Kami menemukan bahwa korban yang selamat dari trauma yang terekspos menunjukkan kepadatan materi abu-abu yang lebih besar pada sistem otak prefrontal-limbik dan kepadatan materi abu-abu yang lebih rendah pada korteks asosiasi frontoparietal dibandingkan dengan kontrol. Analisis konektivitas fungsional keadaan istirahat menemukan bahwa survivor yang terpapar pada trauma yang tangguh menunjukkan konektivitas fungsional yang diperkuat antara amigdala dan hippocampus dibandingkan dengan kontrol.
korelasi positif yang signifikan antara kekuatan koneksi dan skor IES-R pada survivor trauma (r = 0,45; p = 0,04, Gambar 3B). 5
The effects of living environ ment on disaster workers: a one– year longitudi nal study
6
Associtia tion between shelter crowding and incidenc e of sleep
Masanori Nagamine, Nahoko Harada, Jun Shigemura , Kosuke Dobashi, Makiko Yoshiga, Naoki Esaki, Miyuki Tanaka, Masaaki Tanichi, Aihide Yoshino and Kunio Shimizu Takahisa Kawano, Kei Nishiyama , Hiroshi Morita, Osamu Yamamur a, Atsuchi
Mengeevalua 2016 si bagaimana lingkungan hidup, lingkungan kerja dan faktor lingkungan hidup secara psikologis mempengaru hi mereka yang terlibat dalam kegiatan bantuan bencana
2011,Miya gi, Jepang
Desain studi : studi longitudina l Pengambila n sampel : Kuisioner
Populasi 100000 Sampel 2400
: Dependen : Lingkunga : n hidup pada pekerja bencana Independen : Gempa bumi
menentukan 2015 apakah kerumunan di tempat penampunga n darurat berkaitan dengan insiden
Tempat penelitian: Ishinomaki, Jepang Timur
Desain: Tinjauan retrospektif dari grafik medis. melakukan penelitian retrospektif meninjau
Populasi: Korban Gempa Bumi Besar dan Tsunami Jepang Timur Korban pada 11 Maret
Variabel Independen : kerumunan di tempat penampung an darurat setelah Gempa
Dampak dari lingkungan hidup pada pekerja bencana Hasil kami menunjukkan bahwa lingkungan hidup adalah faktor risiko yang paling signifikan bagi kesehatan mental pascabencana peserta khususnya dalam penelitian ini.
Efek psikologi terdapat dari efek lingkungan hidup, faktor individu pekerja saat bencana gempa itu terjadi
30 tempat penampungan dikategorikan sebagai padat (ruang rata-rata per evacuee <5,0 m2, 9 tempat penampungan) atau non-ramai
Dalam grafik ini tinjauan studi 9031 pengungsi berlindung setelah Great Eastern Jepang Gempa dan Tsunami, kami menemukan bahwa berkerumun di tempat penampungan dikaitkan dengan kejadian sehari-hari gangguan tidur antara pengungsi. spesifik fi Cally, dibandingkan dengan tempat penampungan non-
disturban ce among disaster evacuees :a tertrospe ctive medical chart review study
Hiraide, Kohei Hasegawa
gangguan tidur yang lebih tinggi di antara pengungsi bencana dan mengidentifi kasi ruang pribadi minimum yang diperlukan di tempat penampunga n.
grafik medis yang tercatat di klinik penampung an darurat di kota Ishinomaki dari 15 Maret hingga 30 April 2011 Metode Pengumpul an data: mengumpul kan data tingkat hunian yang dianggap sebagai faktor risiko gangguan tidur di antara pengungsi bencana yaitu, ruang per evakuasi, status gizi, mortalitas daerah, banjir, dan pemulihan suplai air.
2011 Sampel: 9031 pasien.
(≥5,0 m2, 21 tempat penampungan). Penelitian ini melibatkan 9031 Variabel pasien. Di antara Dependen:i pasien yang nsiden memenuhi syarat, gangguan 1079 pasien tidur yang (11,9%) lebih tinggi didiagnosis dengan gangguan tidur. Rata-rata ruang per evakuasi selama masa studi adalah 3,3 m2 (SD, 0,8 m2) di tempat penampungan yang ramai dan 8,6 m2 (SD, 4,3 m2) di tempat penampungan yang tidak ramai. Insiden kumulatif median gangguan tidur tidak berbeda antara tempat penampungan yang ramai (2.3 / 1000 orang-hari (IQR, 1.6b5.4)) dan tempat penampungan yang tidak ramai (1.9 / 1000 oranghari (IQR, 1.0b2.8) ; p = 0,20). Sebaliknya, Bumi dan Tsunami Jepang Timur
ramai, tempat penampungan dengan <5.0 m 2 ruang per pengungsi selama fase akut dari bencana memiliki peningkatan insiden gangguan tidur.
Analisis statistik : Untuk mengklasifi kasikan tempat penampung an darurat menjadi dua kelompok (tempat penampung an yang padat dan tidak ramai), kami mengevalu asi hubungan antara ruang ratarata per evakuasi di setiap tempat penampung an dan kumulatif insidensi gangguan tidur mortalitas, tempat penampung an yang banjir dan pemulihan persediaan
setelah disesuaikan untuk pembaur potensial, tempat penampungan yang padat memiliki peningkatan insiden gangguan tidur harian (2,6 per 1.000 oranghari; 95% CI 0,25,0 / 1000 oranghari, p = 0,03) dibandingkan dengan yang tidak ramai tempat perlindungan.
air. Kami mengangga p nilai ap kurang dari 0,05 sebagai signifikan secara statistik. Semua analisis dilakukan menggunak an STATA V.12.1 (STATA Corp, College Station, Texas, USA).
7
The relations hip between Starting to Drink and Spycholo gical Distress, Sleep Disturba nce after the Great East Japan Earthqua ke adn Nuclear Disaster: The Fukushi ma Health Manage ment Survey
Masatsugu Orui, Yuka Ueda, Yuriko Suzuki, Masaharu Maeda , Tetsuya Ohira, Hirooki Yabe dan Seiji Yasumura
untuk menyelidiki prevalensi peminum yang baru dimulai dan perilaku minum mereka yang berkelanjutan setelah gempa bumi Timur Besar Jepang. Selain itu, hubungan antara faktor minum yang baru dimulai dan faktor psikologis, pengalaman terkait bencana, dan risiko radiasi yang dirasakan diperiksa.
2017
2012 sampai 2013
Kami menggunak an data dari survei Kesehatan Mental dan Gaya Hidup (dilakukan pada tahun 2012 dan 2013), yang merupakan bagian dari Survei Manajemen Kesehatan Fukushima. Penelitian ini disetujui oleh Komite Etika di Fukushima Medical University (No. 13020). Para peserta Survei Kesehatan Mental dan Gaya Hidup berusia minimal 15 tahun dan telah tinggal di
Untuk studi saat ini, kami menggunaka n data dari responden dalam survei 2012 dan 2013 yang berusia setidaknya 20 tahun pada 11 Maret 2011, dan yang melaporkan pada survei 2012 bahwa mereka adalah nonpeminum sebelum bencana. Di antara 66.501 responden dalam survei 2012, 37.687 pra-bencana nonpeminum dianalisis untuk mengevaluas i faktorfaktor yang terkait dengan minum alkohol yang baru dimulai.
Variabel Independen : Gempa Besar Jepang Timur
Prevalensi Perilaku Minum yang Baru Dimulai dan Minuman Lanjutan Setelah Bencana:
Variabel Dependen: prevalensi peminum
Di antara responden survei 2012, prevalensi non-peminum pra-bencana adalah 9,6% (95% CI: 9,3-9,9%). Dari kelompok ini, peminum berat yang mulai minum pasca bencana adalah 18,4% (95% CI: 17,1-19,7%), dan peminum ringan 81,6% (95% CI: 80,4-82,9%). Di antara peminum baru ini, 53,8% (95% CI: 51,5556,1%) dari mereka terus minum. Selain itu, prevalensi peminum berat dan ringan dalam kelompok ini adalah 28,8% (95% CI: 21,126,5%), 72,2% (95% CI: 73,578,9%), masingmasing, dalam
Faktor-Faktor yang Terkait dengan Perilaku Minum yang Baru Dimulai dan Minuman Lanjutan di antara Peminum yang Baru Dimulai menunjukkan bahwa minum yang baru dimulai secara signifikan terkait dengan ketidakpuasan tidur dan tekanan psikologis. Selain itu, tekanan psikologis dan peminum berat merupakan faktor risiko yang signifikan untuk terus minum di kalangan peminum yang baru mulai. Ini mungkin menunjukkan bahwa beberapa pengungsi menggunakan alkohol untuk mengobati sendiri masalah tidur dan tekanan psikologis mereka. tekanan psikologis secara signifikan terkait dengan minum terus, sedangkan ketidakpuasan tidur dan pengalaman yang berhubungan dengan bencana tidak secara signifikan terkait. perilaku minum berat (empat minuman per hari dan lebih) di kalangan peminum yang baru dimulai pada tahun 2012 merupakan faktor risiko yang signifikan untuk perilaku minum terus menerus di 2013. Oleh karena itu, mereka yang mulai minum pasca-bencana, terutama mereka yang minum berat, harus menjadi subyek prioritas tinggi untuk layanan kesehatan mental yang terkait dengan bencana.
zona evakuasi yang ditentukan oleh pemerintah nasional: Kota Tamura, Kota Minamisoma, Kota Kawamata, Kota Hirono, Kota Naraha, Kota Tomioka, Kawauchi Desa, Kota Okuma, Kota Futaba, Kota Namie, Desa Katsurao, dan Desa Iitate. Ukuran kohort target asli adalah 180.604 pada 31 Maret 2011. Warga yang
survei 2013. Di antara 180.604 penduduk dalam kelompok sasaran, 66.501 menanggapi survei 2012. Setelah mengecualik an subjek yang tidak memiliki jenis kelamin, usia dan perilaku minum, 37.687 responden nonpeminum pra-bencana dianalisis. Dari kelompok ini, 3569 pengungsi mulai minum pascabencana, termasuk 2.913 peminum ringan dan 656 peminum berat. Di antara
Faktor Terkait Perilaku Minum yang Baru Dimulai: Proporsi peminum yang baru saja memulai dengan pengalaman yang berhubungan dengan bencana, pengangguran karena bencana, tekanan psikologis, dan persepsi risiko radiasi jauh lebih tinggi daripada populasi referensi. Di antara peminum yang baru mulai, peminum berat dikaitkan dengan laki-laki, lebih muda (usia 20–39 dan 40–64 tahun), pendidikan tinggi, ketidakpuasan dengan tidur, dan tekanan psikologis. Ketidakpuasan dengan tidur (Odds ratio [OR]: 1,08, 95% CI: 1,05-1,11, p <0,01) dan tekanan
tinggal di daerah evakuasi pada 11 Maret 2011 dan telah mengalami evakuasi ke daerah nonberbahaya, menerima kuesioner survei. Untuk mengatasi bias nonresponden, dan untuk meningkatk an tingkat respons, mengirimk an pengingat atau melakukan kegiatan hubungan publik dilaksanaka n. Jumlah responden adalah 70.193 (Nilai: 38,9%) dalam survei pertama yang
peminum baru ini, 953 pengungsi terus minum, termasuk 227 peminum berat, dalam survei 2013.
psikologis (OR: 1,12, 95% CI: 1,09-1,15, p <0,01) secara signifikan terkait dengan yang baru- mulai minum. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Minuman Lanjutan di antara Peminum yang Baru Dimulai: disesuaikan dengan pengalaman yang terkait dengan bencana, dampak bencana pada status sosial ekonomi, persepsi risiko radiasi, dan perilaku minum sebelumnya), tekanan psikologis (OR: 1,10, 95% CI: 1,00-1,20, p = 0,04) dan perilaku minum berat pada tahun 2012 (OR: 1,21, 95% CI: 1,12-1,31, p <0,01) secara signifikan terkait dengan terus minum pada
dilakukan pada tahun 2012, dan 54.890 (Nilai: 30,4%) dalam survei kedua yang dilakukan pada tahun 2013. Analisis Statistik: Pertama, kami mengeluark an subjek yang tidak memiliki usia, jenis kelamin, perilaku minum dalam prabencana dan saat ini sebelum analisis (Gambar 1). Untuk menilai faktorfaktor yang terkait dengan minum yang baru
tahun 2013
dimulai pada survei 2012, dan dengan terus atau berhenti minum di antara peminum yang baru mulai dalam survei 2013, kami melakukan tes chisquare dan analisis logistik multivariat dengan pengalama n psikologis, sosioekono mi, yang berhubunga n dengan bencana, dan risiko radiasi yang dirasakan sebagai variabel independen . Selain itu, kami juga melakukan analisis
regresi logistik multivariat pada minum terusmenerus dalam survei 2013, disesuaikan dengan perilaku minum berat / nonberat pada survei 2012 (perilaku minum berat sebelumnya dianggap menjadi faktor risiko penting untuk terus minum). Signifi kansi statistik dievaluasi menggunak an dua-sisi, tes berbasis desain dengan tingkat signifikansi <0,05.
Semua analisis statistik dilakukan menggunak an IBM SPSS Statistics versi 23.0 (IBM Corp, Armonk, NY, USA).
8
Resilienc e, posttraumatic growth and work engange ment among
Daisuke Nishi, Yuzuru Kawashim a, Hiroko Noguch, Masato Usuki,
untuk 2016 menguji apakah bencana yang terkait dengan ketahanan, dan
11 Desember 2014 sampai 31 Maret 2015
Desain: follow-up retrospectif dengan analisis regresi digunakan untuk
Populasi: Tim bantuan medis bencana (DMAT) yang terdiri dari dokter, perawat, dan
Variabel Independen : ketahanan, dan pertumbuha n pascatrauma
Kami memperoleh data dasar dari 254 peserta pada bulan April 2011, dan 191 (75,2%) menyelesaikan penilaian tindak
Sejauh pengetahuan kami, ini adalah pekerjaan pertama yang menunjukkan bahwa ketahanan pada awal dan PTG setelah kegiatan penyelamatan dapat meningkatkan keterlibatan kerja, yang ditandai oleh kekuatan, dedikasi, dan penyerapan, di antara para profesional perawatan
9
health care proffesio nals after great east Japan Eartquak e: A 4years prospecti ve followup study
Akihiro Yamashita , Yuichi Koido dan Yutaka J Matsuoka
Effect of having a subseque nt child on the mental health of women who lost a child in the 2008 Sichuan earthqua ke: a cross sectional study
Yao Xu, Helen Herrman, b Rebecca Bentley, Atsuro Tsutsumic & Jane Fisherd
pertumbuhan pasca-trauma (PTG) mempengaru hi keterlibatan kerja antara profesional perawatan kesehatan yang telah dikerahkan ke daerahdaerah yang terkena dampak Gempa Besar Jepang Timur yang terjadi di 11 Maret 2011
Untuk 2014 menilai apakah anak berikutnya memiliki efek pada kesehatan mental ibuibu Cina yang kehilangan anak saat gempa bumi.
menguji hubungan UWES dengan RS14, PDI, dan SFPTGI.
staf koordinasi operasional termasuk apoteker, pekerja sosial, psikolog, dan pekerja kantor.
Sampel: 172 berpartisipasi dalam uji klinis APOP awal, 254 dilibatkan dalam penelitian observasiona l longitudinal ini 30 hingga Desain Populasi: 34 bulan penelitian : Wanita setelah survei dewasa usia gempa crossreproduktif bumi sectional yang tinggal Sichuan di 2008 Pengumpul Dujiangyan an data: yang terkena wawancara langsung terstruktur gempa bumi individu dan untuk kehilangan menilai seorang anak karakteristi berusia 18 k tahun atau sosiodemog lebih muda rafi, pada gempa
(PTG) Gempa Besar Jepang Timur
lanjut antara Desember 2014 dan Maret 2015. Hasilnya menunjukkan bahwa RS-14 Variabel memprediksi Dependen: kekuatan, keterlibatan dedikasi, dan kerja antara penyerapan; profesional Selain itu, SFperawatan PTGI secara kesehatan positif terkait dengan ketiga parameter ini (p <0,01 untuk semua).
Variabel Independen : gempa bumi Sichuan 2008
Temuan Prevalensi gejala psikologis lebih tinggi pada ibu yang tidak memiliki anak setelah Variabel kehilangan yang Dependen: pertama. Dalam Kesehatan model yang mental ibu disesuaikan, kehilangan gejala kecemasan anak (rasio odds, OR: 3,37; interval kepercayaan 95%, CI: 1,51-7,50), depresi (OR:
kesehatan. Ketangguhan dianggap sebagai sumber daya pribadi utama pada individu. Oleh karena itu, tidak mengherankan, ketahanan pada awal memprediksikan keterlibatan kerja. Namun, perlu dicatat bahwa PTG berhubungan positif dengan keterlibatan kerja. Temuan menunjukkan bahwa orang-orang yang dunia assumptive-nya terguncang serta orang-orang yang cukup kuat dan tidak dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa stres dapat memperkaya sumber daya psikologis dan sosial dan bahkan meningkatkan keterlibatan kerja.
Sepengetahuan kami, ini adalah investigasi sistematis berbasis populasi pertama dari efek memiliki atau tidak memiliki anak berikutnya pada kesehatan psikologis jangka panjang wanita yang telah kehilangan seorang anak dalam bencana alam. penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa tujuh sampai delapan bulan setelah gempa bumi Sichuan 2008, 80% orang tua yang berduka memiliki gejala PTSD yang secara klinis signifikan dan 81,8% memiliki gejala depresi.3 Data ini konsisten dengan temuan kami.
pengalama n pascabencana dan kesehatan mental. Wawancara wawancara tersebut memasukka n langkahlangkah psikometri standar kecemasan, depresi, gangguan stres pascatrauma (PTSD) dan kesedihan yang rumit (CG). Dukungan sosial juga dinilai. Sebuah model yang disesuaikan yang memperhit ungkan pembaur potensial digunakan untuk mengekspl orasi setiap hubungan
bumi Sichuan 2008 memenuhi syarat untuk berpartisipasi . Sampel: 186 wanita
9,47; 95% CI: 2,58-34,80), PTSD (OR: 5,11; 95 % CI: 2.3111.34) dan CG (OR: 10.73; 95% CI: 1.88-61.39) secara signifikan lebih tinggi di antara 116 wanita tanpa anak berikutnya daripada di antara 110 ibu yang memiliki anak lain setelah berkabung. Lebih dari dua pertiga ibu dengan bayi baru memiliki gejala psikologis yang penting secara klinis.
Anehnya, wanita tanpa anak di bawah rata-rata memiliki masalah psikologis yang lebih parah, rata-rata, dibandingkan wanita yang kemudian memiliki anak lagi, meskipun lebih banyak wanita di kelompok sebelumnya telah menerima perawatan psikologis. Temuan ini bertentangan dengan hasil penelitian oleh Li et al., Dimana orang tua yang berduka yang telah terkena intervensi psikologis profesional ditemukan memiliki status kesehatan mental yang lebih baik daripada mereka yang belum.12 Satu penjelasan yang mungkin terletak pada jenis intervensi yang diterima, yang tidak dapat kami pastikan. Mungkin tidak efektif karena isinya atau karena tidak cukup panjang. Namun, ada kemungkinan bahwa wanita yang ingin hamil anak lain terlalu tertekan untuk mendapatkan bantuan dalam intervensi kesehatan mental.
10
Asscocia tion between sleep disturba nce and newonset subjectiv e shoulder pain in survivor s of the greast east japan earthqua ke: a prospecti ve cohort study in miyagi prefectur e
Yoshihiro Hagiwara, Takuya Sekiguchi, Yumi Sugawara, Yutaka Yabe,Mas ashi Koide,No buyuki Haya,Shin ichiro Yoshida,Y asuhito Sogi,Masa hiro Tsuchiya,I chiro Tsuji and Eiji Itoi
Untuk menentukan apakah faktor sosiopsikologis seperti gangguan tidur dan tekanan psikologis mempengaru hi nyeri bahu baru onset subjektif pada fase kronis GEJE.
antara gejala psikologis dan kelahiran anak berikutnya. 17 Mei Mulai Juni Dengan Populasi= 2017 2011 kuesioner.S Korban GEJE. tudi Panel. Sampel= Variabel kontinu disajikan sebagai median dengan rentang antarkuartil (IQR); variabel kategori disajikan sebagai angka dan persentase (%). Untuk membandin gkan karakteristi k peserta, kami menggunak an tes U MannWhitney untuk variabel kontinu dan uji chi-
Variabel independen = gempa bumi Variabel dependen : faktor sosiopsikologis seperti gangguan tidur dan tekanan psikologis mempengar uhi nyeri bahu baru onset subjektif pada fase kronis GEJE
Tekanan psikologis memiliki pengaruh yang kecil, meskipun, gangguan tidur memiliki korelasi yang signifikan dengan nyeri bahu subjektif di antara para survivor dari GEJE. Selanjutnya, tren ini lebih menonjol pada kelompok usia yang lebih tua daripada di kelompok yang lebih muda. Studi observasional lebih lanjut dan dukungan berkelanjutan diperlukan untuk para survivor dari GEJE.
Penelitian ini menunjukkan bahwa gangguan tidur memiliki hubungan yang signifikan dengan nyeri bahu baru onset subjektif pada korban GEJE. Namun, tekanan psikologis memiliki sedikit hubungan dengan nyeri bahu subjektif baru. Selain itu, kami menemukan bahwa gangguan tidur memiliki hubungan yang signifikan dengan nyeri bahu subjektif baru onset di kelompok usia yang lebih tua; meskipun asosiasi kecil ditemukan pada yang lebih muda. Nyeri muskuloskeletal kronis pada populasi umum Jepang berada pada frekuensi 15,4%, dan tertinggi pada usia 30 hingga 50 tahun (Nakamura dkk. 2011). Namun, nyeri dilaporkan meningkat pada frekuensi 62% dengan Skala Angka Numerik rata-rata 2,74, pada survivor GEJE (Yabuki et al. 2015). Nyeri muskuloskeletal kronis pada korban sekarang telah ditetapkan sebagai masalah parah, yang mengganggu aktivitas kehidupan sehari-hari. Untuk menentukan faktor-faktor yang menyebabkan rasa sakit pada orang yang selamat, perlu untuk memulihkan rincian kehidupan normal mereka sebelum GEJE.
square Pearson untuk variabel kategori. Kami menggunak an analisis regresi logistik ganda untuk menganalis is hubungan nyeri bahu baru yang onset-on dengan gangguan psikologis dan gangguan tidur. Untuk menghitung odds ratio (OR) dan 95% interval rahasia (CI) untuk nyeri bahu subjektif onset baru, dua model digunakan sebagai berikut: dalam
model 1, variabel termasuk seks (pria atau wanita), usia (<65 tahun , atau ≥ 65 tahun), BMI (18,5 <, 18,5 hingga <25,0, ≥ 25,0, atau tidak diketahui), ruang hidup (Ogatsu, Oshika, atau Wakabayas hi),
11
Posttrau matic psychiatr ic disorders and resillienc e in healthcar e providers followin g a disastrou s
Ya-Ting Ke.HsiuChin Chen,Chie n Ho Lin,Wen Fu Kuo,AnChi Peng,Chie n Chin Shu,Chien -Cheng Huang and Hung-
Intervensi untuk Mencegah HCP dari Gangguan Psikiatri Posttraumatic
7 Septe mber 2017
Kuesioner, dilakukan uji chisquare dan analisis menggunak an SPSS 16.0,tes McNemar
Populasi = semua HCP(Health Care Provider). Sampel = 67 HCP
Variabel indenpende n= keadaan setelah gempa. Variabel dependen= Gangguan Psikiatri Posttraumat ic dan Ketahanan di Penyedia Layanan Kesehatan
Usia rata-rata (standar deviasi) dari HCP adalah 32,7 (5,2) tahun, dengan 33,5 (5,8) tahun untuk perawat dan 32,4 (4,4) tahun untuk dokter. Proporsi perempuan di antara perawat dan dokter adalah 94,3% dan 12,5%, masing-masing. Secara total,
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gangguan psikiatrik pasca trauma dini sering terjadi pada pekerja bencana. Sebuah studi sebelumnya tentang kecelakaan pesawat melaporkan bahwa ASD hadir di 25,6% pekerja bencana, yang secara signifikan lebih tinggi dari pada pekerja tidak terpajan (2,4%) [12]. Bencana pekerja dengan ASD adalah 7,3 kali lebih mungkin untuk mengembangkan PTSD berikutnya daripada mereka yang tidak ASD [12]. Sebuah studi tentang serangan World Trade Center 9/11 melaporkan
earthqua Jung Lin ke: an intervent ional study in taiwan
12
Posttraumatic stress disorders and depressio
Atshusi Sakuma,Y oko Takashi,Ik ki Ueda,Hiro
16,4% (11/67) bahwa 11,1% pekerja bencana HCP sesuai memiliki kemungkinan PTSD, 8,8% dengan kriteria memiliki kemungkinan depresi, PTPD. Perawat memiliki kecenderungan insiden yang lebih tinggi daripada dokter. HCP perempuan memiliki kecenderungan insiden yang lebih tinggi dibandingkan HCP laki-laki. Setelah intervensi, tidak ada HCP yang melaporkan PTPD dalam kuesioner tindak lanjut (p <0,05).Studi ini menunjukkan bahwa PTPD adalah umum di HCP setelah respon medis terhadap gempa bumi; Namun, ketahanannya baik setelah intervensi awal. Untuk 2015 menilai prevalensi dan faktor risiko pribadi / tempat kerja
Penelitian dilakukan pada Mei 2012 di Jepang
Uji annova,regr esi logistik,ana lisis bivariat dan
Populasi= (N = 1294; tingkat respons keseluruhan, 82,9%)
Variabel indenpende n= pemulihan bencana dan
Prevalensi Dalam penelitian ini,prevalensi kemungkinan PTSD kemungkinan dii pekerja kota PTSD, madya dan pekerja medis adalah kemungkinan 6,6% yang jauh lebih tinggi dari depresi, dan prevalensi 12 bulan adalah 1,6% tekanan yang lebih tinggi daripada populasi
nprevale nce and associate d risk factors among local disaster relief and reconstru ction workers fourteen month after the Great East Japan Earthqua ke : a cross sectional study
toshi Sato,Masa hiro Katsura,M ikia Abe,Ayam i Nagao,Yu riki Suzuki,Ma sako Kakizaki,I chiro Tsuji,Hiro o Matsuoka, and Kazunori Matsumot o
untuk kemungkinan gangguan stres pascatrauma (PTSD), kemungkinan depresi, dan tekanan psikologis umum yang tinggi pada populasi ini
multivariat. Penelitian ini crosssectional dan dilakukan 14 bulan setelah GEJE menggunak an kuesioner yang dikelola sendiri yang termasuk PTSD Checklist – Versi Tertentu, Patient Health Questionna ire-9, dan skala K6. Selain itu uji pearson atau spearmen,d ilakukan uji Chi Square,Ma nWhitney,A NOVA serta kruskal Walls
adalah pekerja (petugas pemadam kebakaran). Sampel n = 327; pekerja kotamadya setempat, n = 610; pekerja medis rumah sakit, n = 357) di daerah pesisir Prefektur Miyagi
rekonstruks i lokal empat belas bulan setelah Gempa Besar Jepang Timur. Variabel dependen= Gangguan stres pascatraum a dan prevalensi depresi serta faktorfaktor risiko terkait di antara para pekerja
psikologis umum umum,tetapi lebih jauh lebih rendah yang tinggi lebih dari kotamadya dan pekerja medis. tinggi di antara kotamadya (6,6%, 15,9%, dan 14,9%, masingmasing) dan pekerja medis (6,6%, 14,3%, dan 14,5%, masing-masing) dari di antara petugas pemadam kebakaran (masing-masing 1,6%, 3,8%, dan 2,6%). Kurangnya istirahat dikaitkan dengan peningkatan risiko PTSD dan depresi di kotamadya dan pekerja medis; kurangnya komunikasi dikaitkan dengan peningkatan risiko PTSD pada pekerja medis dan depresi di kotamadya dan pekerja medis; dan keterlibatan dalam pekerjaan yang berhubungan dengan bencana dikaitkan dengan peningkatan
13
Psycholo gical distress and healthrelated quality of life in relocated and nonreloc ated older survivors adter the 2008 sinchuan earthqua ke
Xiaoyi Cao,PhD, Lin Chen,RN, Lang Tian MD,Xiaoli an Jiang,PhD .
untuk 20 menguji April tekanan 2015 psikologis dan kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan (HRQoL) di relokasi dan orang-orang yang tidak direlokasi yang berusia 60 tahun ke atas, dan untuk menganalisis prediktor untuk tekanan psikologis dan HRQoL pada korban yang lebih tua 5 tahun setelah gempa bumi Sichuan 2008.
penelitian dskriptif crosssectional menggunak an SelfReporting Questionna ire-20 (SRQ-20) [18] dan hasil penelitian medis SF36 [19] untuk menyelidiki 112 relokasi survivor yang lebih tua dan 156 korban yang tidak berhubunga n lebih tua 5 tahun setelah gempa bumi Sichuan 2008.
Populasi =112 pasien yang baru saja dipulangkan dan 156 orang yang tidak dapat dipindahkan yang selama. Metode sampling= multistage
Variabel dependen= Distress Psikologi dan Kualitas Hidup yang Berhubung an dengan Kesehatan pada Relokasi dan Korban Lama yang Tidak Terlibat. Variabel independen = gempa bumi sinchuan 2009
PTSD dan risiko depresi pada pekerja kotamadya. Prevalensi tekanan psikologis pada kelompok yang direlokasi (20,5%) secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang tidak terkait (4,8%). Skor untuk HRQoL dalam relokasi korban yang lebih tua secara signifikan lebih rendah daripada mereka yang lebih muda yang tidak terkait. Relokasi dari tempat tinggal preearthquake adalah prediktor yang paling signifikan untuk tekanan psikologis dan HRQoL dalam sampel total. Prediktor lain adalah usia lanjut, tingkat pendidikan yang lebih rendah,
Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa perpindahan dari tempat tinggal preearthquake seseorang setelah gempa bumi Sichuan tahun 2008 adalah prediktor terkuat untuk distres psikiatri umum dan HRQOL yang buruk, yang sejajar dengan hasil dari Abramson et al [7] studi menunjukkan bahwa 2 tahun setelah Badai Katrina dan Badai Rita, tekanan psikologis meresap di korban yang direlokasi [7]. Gangguan jaringan sosial yang dihasilkan dari relokasi dapat menjadi penjelasan untuk lebih banyak morbiditas psikiatri dan HRQoL yang lebih buruk pada korban setelah bencana alam. Telah diketahui bahwa, dalam masyarakat Cina, orang yang lebih tua biasanya tidak hidup bersama dengan anak-anak mereka, dan mereka tidak lagi bekerja karena mereka sudah pensiun. Komunikasi yang sering dengan tetangga dan teman akrab adalah pola yang sangat diperlukan untuk interaksi emosional dan manajemen stres. Dukungan dari orang lain dapat memberikan orangorang dengan kasih sayang positif, rasa memiliki, kontak sosial, persetujuan dan keamanan [29]. Selain itu, Chen et al [30] melaporkan bahwa dukungan sosial berhubungan positif dengan HRQoL; dukungan sosial dapat bermanfaat bagi orang yang selamat dalam
14
Leg extensio n power is a predisaster
Haruki Momma,K aijun Niu,Yorito shi
Untuk 27 mengetahui Januar hubungan i 2014 antara fungsi fisik dan
Agustus 2010 hingga Agustus 2011 di
penelitian kohort retrospektif .,mengguna kan
Populasi = karyawan 1189 orang(926 laki-laki dan
Variabel dependen= Kekuatan Perpanjang an Kaki
kehilangan anggota keluarga selama gempa bumi, dan adanya penyakit kronis serta kematian pasangan setelah gempa bumi
memperoleh lebih banyak bantuan emosional dari orang lain dan mengekspresikan perasaan mereka dalam kondisi stres [30]. Oleh karena itu, relokasi ke lingkungan hidup yang baru dan tidak biasa dapat mengakibatkan frekuensi kunjungan yang kurang dengan kerabat, teman, tetangga dan kenalan, dan menyebabkan serangkaian masalah kejiwaan dan kualitas hidup yang buruk. Juga, hasil ini dapat dijelaskan oleh penggunaan layanan kesehatan mental yang jarang terjadi di korban yang direlokasi. Telah dilaporkan bahwa, setelah disesuaikan untuk karakteristik demografi dan variabel yang terkait dengan bencana, relokasi merupakan faktor yang berkontribusi terhadap penurunan penggunaan layanan kesehatan mental pada korban yang selamat 18 bulan setelah bencana buatan manusia di Belanda [31]. Selain itu, karena survivor dengan tekanan psikologis yang tinggi cenderung meninggalkan tempat tinggal predisaster setelah peristiwa traumatik massal, bias potensial ini dapat menjadi penjelasan lain untuk morbiditas psikologis yang lebih tinggi dan HRQoL yang lebih buruk dalam kelompok yang direlokasi meskipun efek ini mungkin tidak signifikan.
Dalam analisis regresi linier multivariat, kekuatan ekstensi kaki (b = –0,128,
Pada penelitian sebelumnya memiliki rekaman tentang PTSD terkait penyakit metabolik. Dalam penelitian cross sectional yang berharga,para veteran australia
modifiab le risk factor for posttraumatic stress disorders among survivors of great east japan earthqua ke: a retrospec tive study
Kobayashi ,Cong Huang,Ats huhi Otomo,Ma sahiko Chujo,Hir oko Tadaura,R yoichi Nagatomi
gaya hidup pra-bencana dan gejala PTSD lima bulan setelah gempa bumi di Korban Gempa Bumi Timur Besar Jepang yang berpartisipasi dalam studi kohort yang sudah ada sebelumnya.
sendai
kuesioner
263 perempuan) Sampel= 552 (399 laki-laki dan 123 perempuan)
Adalah Faktor Risiko Terubah PreDisabilitas untuk Gangguan Stres Pascatraum a di antara OrangOrang yang Selamat. Variabel indenpende n= gempa besar jepang timur
P = 0,025), setiap hari minum (b = 0,203, P = 0,006), dan gejala depresi (b = 0,139, P = 0,008) dikaitkan dengan skor total IES-RJ di antara pria. Selain itu, untuk subskala IES-RJ, kekuatan ekstensi kaki juga berhubungan negatif dengan Intrusi (b = – 0,114, P = 0,045) dan Hyperarousal (b = –0,163, P = 0,004) setelah disesuaikan untuk semua variabel signifikan lainnya. Untuk wanita, hipertensi (b = 0,226, P = 0,032) dan gejala depresi (b = 0,205, P = 0,046) dikaitkan dengan skor total IES-RJ.
dengan riwayat PTSD mengalami peningkatan odds ratio karena hipertensi. Namun di penelitian kami,menunjukkan bahwa wanita berbadan tinggi mereka dengan hipertensi sebelum gempa memiliki total sakit yang lebih tinggi dari IED-R-J setelah bencana.