TUGAS : HIV/AIDS
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN HIV/AIDS
DI SUSUN OLEH : KELOMPOK 10
MUHAMAD AJAT KHAMRIN (NH0117082) LAILA FITRI RUPO (NH0117063) MARIA DANATA KAROLINA (NH0117074) NIRWANA NURLETTE (NH0117093) NOFIYANTI MAHMUD (NH0117095)
PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN A SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NANI HASANUDDIN MAKASSAR 2019
1
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Pemurah karena berkat kemurahan-Nya makalah ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN HIV AIDS ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan. Kami menyadari, bahwa proses penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, kami telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, kami dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan, saran dan usulan guna penyempurnaan makalah ini di kemudian hari. Kami
sadari
pula,
bahwa
dalam pembuatan
makalah
ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini kami menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Makassar,25 Maret 2019
penyusun
2
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ..................................................................................................... i KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii BAB I KONSEP HIV/AIDS .......................................................................................... 1 A. B. C. D. E. F. G. H. I. J.
PENGERTIAN ...................................................................................................... 1 ETIOLOGI ............................................................................................................ 2 MANIFESTASI KLINIS ...................................................................................... 3 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI HIV ................................................... 4 KLASIFIKASI ..................................................................................................... 6 DASAR VIROLOGI DAN INFEKSI HIV ........................................................... 7 CARA PENULARAN INFEKSI HIV .................................................................. 9 CARA PEMBERANTASAN ............................................................................. 11 PENGOBATAN ................................................................................................. 16 KOMPLIKASI .................................................................................................... 17
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. A. PSIKONEUROIMUNOLOGI ............................................................................ 19 B. KONSEP STRESS DAN STRESSOR ............................................................... 25 C. PENGKAJIAN .................................................................................................... 32 D. INTERVENSI ..................................................................................................... 38 BAB III PENUTUP .......................................................................................................... A. KESIMPULAN ................................................................................................... 40 B. SARAN ............................................................................................................... 41 DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I KONSEP HIV/AIDS A. Pengertian HIV/AIDS
HIV / AIDS adalah salah satu penyakit yang harus di waspadai karena Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) sangat berakibat pada penderitanya. (Masriadi, 2014)
Acquired
Immunodeficiency
Syndrome
(AIDS)
merupakan
sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia setelah sistem kekebalan dirusak oleh virus HIV (Humman Immunodeficiency Virus). (Masriadi, 2014)
Penyakit tersebut di sebabkan oleh Humman Immunodeficiency Virus (HIV), dan telah menjadi masalah internasional karena dalam waktu yang relatif singkat terjadi peningkatan jumlah pasien dan semakin melanda banyak negara. Sampai saat ini belum ditemukan vaksin atau obat yang relatif efektif untuk AIDS sehingga menimbulkan keresahan didunia. (Masriadi, 2014)
Penyakit HIV / AIDS telah menjadi pandemi yang mengkhawatirkan masyarakat dunia, karena disamping belum ditemukan obat dan vaksin pencegahan juga memiliki “window periode” dan fase asimtomatik (tanpa gejala) yang relatif panjang dalam perjalanan penyakitnya. Hal tersebut menyebabkan pola perkembangannya seperti fenomena gunung es (iceberg phenomena). Jumlah kasus HIV / AIDS dari tahun ketahun di seluruh bagian dunia terus meningkat meskipun berbagai upaya preventif terus dilaksanakan. (Masriadi, 2014).
Dalam bahasa Indonesia dapat di alih katakan sebagai syndrome cacat kekebalan tubuh dapatan. Acquired: di dapat, bukan penyakit keturunan,
immune:sistem
kekebalan
tubuh,
deficiency:
kekurangan, syndrome: kumpulan gejala-gejala penyakit. (Scorviani & Nugroho, 2011)
4
AIDS adalah suatu penyakit yang ditandai dengan melemahnya sistem
kekebalan
tubuh.
Nama
acquired
immunodeficiency
syndrome berarti bahwa sistem imun mengalami kelumpuhan atau tak memadai. (Hutapea, 2011)
Kerusakan progresif pada sistem kekebalan tubuh menyebabkan ODHA (orang dengan HIV/AIDS ) amat rentan dan mudah terjangkit bermacam-macam penyakit. Serangan penyakit yang biasannya tidak berbahaya pun lama-kelamaan akan menyebabkan pasien sakit parah bahkan meninggal. (Scorviani & Nugroho, 2011)
AIDS adalah sekumpulan gejala yang menunjukan kelemaham atau kerusakan daya tahan tubuh yang di akibatkan oleh factor luar (bukan di bawah sejak lahir). (Scorviani & Nugroho, 2011)
AIDS diartikan sebagai bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dari kelainan ringan dalam respon imun tanpa tanda dan gejala yang nyata sehingga keadaan imunosepresi dan berkaitan dengan berbagai infeksi yang dapat membawa kematian dan dengan kelainan malignitas yang jarang terjadi. (Scorviani & Nugroho, 2011)
B. Etiologi
Penyakit Menular Seksual (PMS) diduga dapat meningkatkan kejadian HIV dan AIDS. Dengan adanya PMS dapat menyebabkan gangguan ketahanan epitel normal. Luka pada alat kelamin atau karena adanya penumpukkan sel yang terinfeksi, (Limfosit atau Makrofag) pada semen dan sekresi vagina. (Susilowati, 2011)
AIDS di sebabkan oleh virus yang mempunyai beberapa nama yaitu: HTL,II,LAV,RAV.yang nama ilmiahnnya disebut. Human immunodeficiency virus (HIV) yang berupa agen viral yang dikenal dengan retrovirus yang di tularkan oleh darah dan punya ofinitas yang kuat tehadap limfosit T. (Scorviani & Nugroho, 2011)
5
C. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis infeksi HIV bervariasi secara luas diantara bayi, anak-anak, dan remaja. Pada banyak bayi, pemeriksaan fisik saat lahir adalah normal. Gejala awal mungkin hampir tidak terlihat, seperti limfadenopati
dan
hepatosplenomegali,
atau
spesifik
seperti
keterlambatan pertumbuhan diare kronis atau berulang, pneumonia interstisial, atau sariawan. Temuan sistemik dan paru yang umum ditemukan di Amerika Serikat dan Eropa, sedangkan malnutrisi berat mendominasi di Afrika. Gejala ditemukan lebih sering pada anak-anak daripada
orang
dewasa
dengan
infeksi
bakteri
berulang,
pembengkakan parotis kronis, pneumonia interstitial limfostik, dan onset dini untuk penurunan neurologis. (Ruslie, 2012) Manifestasi Klinis infeksi HIV dapat disebabkan HIV-nya sendiri (syndrome retroviral akut dimensia HIV), infeksi opurtunitis atau kanker yang terkait AIDS. Perjalanan penyakit HIV dibagi dalam tahap-tahap berdasar klinis dan jumlah CD4.(Azza, 2009)
Adapun gejala klinis HIV (Davey, Patrick, 2006), yaitu: 1. Masa inkubasi 6 bulan-5 tahun. 2. Window periode selama 6-8 minggu, adalah waktu saat tubuh sudah terinfeksi HIV tetapi belum terideteksi oleh pemeriksaan laboratorium. 3. Seseorang dengan HIV dapat bertahan sampai dengan 5 tahun. Jika tidak diobati, maka penyakit ini akan bermanifestasi sebagai AIDS. 4. Gejala klinis muncul sebagai penyakit yang tidak khas seperti: a. Diare kronis. b. Kandidiasis mulut yang luas. c. Pneumocystis carinii. d. Pneumonia interstisialis limfositik. e. Ensefalopati kronik. (Masriadi, 2014)
6
Masa inkubasi adalah waktu dari terjadinya infeksi sampai munculnya gejala yang pertama pada pasien. Pada infeksi HIV hal ini sulit diketahui, dari hasil penelitian pada sebagian besar kasus dikatakan masa inkubasi rata-rata 5-10 tahun, dan bervariasi sangat lebar, yaitu antara 6 bulan sampai lebih dari 10 tahun. Walaupun belum ada gejala, tapi yang bersangkutan telah dapat menjadi sumber penularan. (Katiandagho, 2015)
D. Patogenesis dan Patofisiologis HIV 1. Patogenesis Awalnya terjadi perlekatan antara gp120 dan reseptor sel CD4, yang memicu perubahan konformasi pada gp120 sehingga memungkinkan pengikatan dengan koreseptor kemokin (biasanya CCR5 atau CXCR4). Setelah itu terjadi penyatuan pori yang dimediasi oleh gp41. (Masriadi, 2014) Setelah berada didalam sel CD4, selain di DNA ditranskripsi sari genon RNA oleh enzim reverse transcriptase (RT) yang dibawah oleh virus. Hal tersebut merupak proses yang sangat berpotensi mengalami kesalahan, selanjutnya DNA ini ditranspor ke dalam nukleus dan terintegrasi secara acak didalam genom sel pejamu. Virus yang terintegrasi diketahui sebagai DNA provirus. Pada aktivitas sel pejamu, RNA ditranskripsi dari cetakan DNA tersebut dan selanjutnya ditranslasi menyebabkan produksi protein virus. Poliprotein Prekursor dipecah oleh protease virus menjadi enzim (misalnya reverse transcriptase dan protease) dan protein struktural. Hasil pecahan tersebut kemudian digunakan untuk menghasilkan partikel virus infeksius yang keluar dari permukaan sel dan bersatu dengan membran sel pejamu. Virus infeksius baru (virion) selanjutnya dapat menginfeksi sel yang belum terinfeksi dan mengulang proses tersebut. Terdapat tiga grup hampir semua
7
infeksi adalah grup M dan subtipe (grup B domina di Eropa) untuk HIV-1. (Masriadi, 2014)
2. Patofisiologis Peran penting sel T dalam “menyalahkan” semua kekuatan limfosit dan makrofag, sel T penolong dapat di anggap sebagai “tombol utama” sistem imun. Virus AIDS secara selektif menginvasi sel T penolong, menghancurkan atau melumpuhkan sel yang biasanya mengatur sebagian besar respons imun. Virus juga menyerang makrofag, yang semakin melumpuhkan sistem imun, dan kadang juga masuk ke sel otak, sehingga timbul demensia (gangguan kapasitas intelektual yang parah) yang dijumpai pada sebagian pasien AIDS. (Masriadi, 2014) Partikel virus dalam tubuh ODHA akan bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Sebagian orang yang terinfeksi HIV berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang terinfeksi HIV menunjukan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Gejalah yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala tersebut umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. (Masriadi, 2014) Waktu pertama kali terinfeksi HIV maka pasien tidak menunjukkan gejala klinis, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 109 setiap hari. (Masriadi, 2014)
8
E. Klasifikasi Sejak 1 januari 1993, orang-orang dengan keadaan yang merupakan indicator AIDS (kategori c) dan orang termasuk didalam kategori A3 atau B3 dianggap menderita AIDS. (Scorviani & Nugroho, 2011) 1. Kategori klinis A Mencakup satu atau lebih keadaan ini pada dewasa/remaja dengan human immunodeficiency virus (HIV) yang sudah dapat di pastikan tanpa keadaan dalam kategori klinis B dan C. Infeksi human immunodeficiency virus (HIV) yang simptomatik Limpanodenopati generalisata yang persisitem (PGI: persistent generalized limpanodenophaty) Infeksi human immunodeficiency virus (HIV) yang akut. (Scorviani & Nugroho, 2011) 2. Kategori klinis B Contoh-contoh keadaan dalam kategori klinis B mencakup: Angiomatosis baksilaris Kandidiasis
orofaring
/vulvavagina
(peristen
frekuensi/responnya jelek terhadap terapi) Dysplasia serviks (sedang /berat karsinoma serviks in situ) Gejala konstitusional seperti panas (38,5 C) atau diare lebih dari 1 bulan Leukopplakial yang berambut Herpes zoster yang meliputi 2 kejadian yang berbeda /terjadi pada lebih dari satu dermaton saraf Indiopatik trombostopenik purpura Penyakit inflamasi pelvis,khusus dengan abses tubo varii. (Scorviani & Nugroho, 2011) 3. Kategori klinis C Contoh keadaan dalam kategori pada dewasa dan remaja mencakup:
9
Kandidiasis bronkus ,trakea /paru-paru, esophagus Kanker
serviks
inpasif
3.koksidiomikosis
ekstra
pulmoner/diseminata Kriptokokosis ekstrapulmoner Kriptosporidosis internal kronis Cytomegalovirus(bukan hati,lien ,atau kelenjar limfe). Refinitis cytomegalovirus (gangguan penglihatan) Enselopathy berhubungan dengan human immunodeficiency virus (HIV) Herpes
simpleks
(ulkus
kronis,bronchitis,pneumonitis/
esofagus). Histoplamisis diseminata/ekstrapulamoner Isoproasis intenstinalyang kronis Sarkoma Kaposi Limpoma burkit,imunoblastik,dan limfona primer otak Kompleks
mycobacterium
avium
(m.kansasi
yang
di
seminata/ekstrapumoner) M.tubercolusis pada tiap lokasi ( pulmoner/ekstrapulmoner) Mycobacterium, spesies lain, diseminata/ ekstra pulmoner Pneumonia pneumocystik cranii Pneumonia rekuren Leukoenselophaty multifocal progressive Septikemia salmonella yang rekuren Toksoplamosis otak Syndrome pelisutan akibat human immunodeficiency virus (HIV). (Scorviani & Nugroho, 2011)
F. Dasar Virologi dan Infeksi HIV 1. Struktur Genomik HIV Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) dapat di artikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang di sebabkan
10
oleh penurunannya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk familli retroviridae, AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV (Djoerban, 2006). HIV adalah retrovirus, anggota genus Lentivirus, dan menunjukan banyak gambaran fisikomia yang merupakan ciri khas famili. Genom RNA lentivirus lebih kompleks dari pada genom RNA Retrovirus yang bertransformasi. Virus mengandung tiga gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus-gag, pol, dan env. Viron HIV-1 berbentuk icosahedral dan memiliki ujung tajam eksternal sebanyak 72. Lebih kompleks dibandingkan HTLV-1 dan HTLV-2. Produk gen dapat di bagi menjadi tiga kelompok. (Masriadi, 2014) Tabel 1.4. Antigen Mayor HIV, Tipe-1 Gen
Produk Gen
Group-specific antigen/core (GAG)
P (Protein) 18, p24, p55
Polymerase (POL)
P31, P51, P666
Envelope (ENV)
Gp (glycoprotein) 41, gp120, gp160
2. Siklus Hidup HIV dan Internalisasi HIV ke Sel Target HIV
merupakan
retrovirus
obligat
intraselular
dengan
replikasi sepenuhnya di dalam sel host. Perjalanan infeksi HIV di dalam tubuh manusia diawali dari interaksi gp120 pada selubung HIV berikatan dengan reseptor spesifik CD4 yang terdapat pada permukaan membran sel target (kebanyakan linfosit T-CD4+). Sel target uatama adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4 (astroit, mikroglia, monosit-makrofag, limfosit, Langerhan’s dendritik). (Masriadi, 2014)
11
G. Cara Penularan Infeksi HIV 1. Transmisi melalui kontak seksual Kontak seksual merupakan salah satu cara utama transmisi HIV di berbagai belahan dunia. Virus ini dapat ditemukan dalam cairan semen, cairan vagina, cairan serviks. Transmisi infeksi HIV melalui hubungan seksual lewat anus lebih mudah karena hanya terdapat membran mukosa rektum yang tipis dan mudah robek, anus sering terjadi lesi. (Masriadi, 2014) 2. Transmisi melalui darah atau produk darah Transmisi dapat melalui hubungan seksual (terutama homoseksual) dan dari suntikan darah yang terinfeksi atau produk darah. Diperkirakan bahwa 90-100% orang yang mendapat transfusi darah yang tercemar HIV akan mengalami infeksi. Suatu penelitian di Amerika Serikat melaporkan risiko infeksi HIV-1 melalui transfusi darah dari donor yang terinfeksi HIV berkisar antara 1 per 750.000 hingga 1 per 835.000. Pemeriksaan antibodi HIV pada donor darah sangat mengurangi transmisi melalui transfusi darah dan produk darah (contoh, konsentrasi faktor VIII yang digunakan untuk perawatan hemofilia). (Masriadi, 2014) 3. Transmisi secara vertikal Transmisi secara pertikel dapat tejadi dari ibu yang terinfeksi HIV kepada janinnya sewaktu hamil, persalinan, dan setelah melahirkan melalui pemberian Air Susu Ibu (ASI). Angka penularan selama kehamilan sekitar 5-10%, sewaktu persalianan 10-20%, dan saat pemberian ASI 10-20%. Ibu yang positif HIV-1 tidak boleh menyusui bayinya karena ia dapat menambah penularan perinatal. Selama beberapa tahun terakhir, ditemukan bahwa penularan HIV perinatal dapat dikaitkan lebih akurat dengan pengukuran jumlah RNA-virus di dalam plasma. Penularan vertikal lebih sering terjadi pada
kelahiran
preterm,
terutama
yang
berkaitan
dengan
kebutuhan pecah dini. (Masriadi, 2014)
12
4. Potensi transmisi melalui cairan tubuh lain Walaupun HIV pernah ditemukan dalam air liur pada sebagian kecil orang yang terinfeksi, tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa air liu dapat menularkan infeksi HIV baik melalui ciuman biasa maupun paparan lain misalnya sewaktu bekerja bagi petugas kesehatan. Selain itu, air liur dibuktikan mengandung inhibitor terhadap aktivitas HIV, demikian juga belum ada bukti bahwa cairan tubuh lain misalnya air mata, keringat dan urin dapat merupakan media transmisi HIV. (Masriadi, 2014) 5. Transmisi pada petugas kesehatan dan petugas laboratorium Berbagai penelitian multi institusi menyatakan bahwa risiko penularan HIV setelah kulit tertusuk jarum atau benda tajam lainnya yang tercemar oleh darah seseorang yang terinfeksi HIV adalah sekitar 0,3% sedangkan risiko penularan HIV ke membran mukosa atau kulit yang mengalami erosi adalah sekitar 0,09%. (Masriadi, 2014) HIV/AIDS tidak menular melalui: 1. Peralatan makan seperti piring,sendok,garpu,gelas,sumpit,dan lain-lain. 2. Bersin atau batuk didepan penderita HIV 3. Berpelukan serta berciuman dengan orang yang terinfeksi HIV (kalau
sedang
menderita
sariawan
atau
luka
lain
dimulut.disarankan tidak berciuman dengan mulut). 4. Berjabat tangan/bersalaman,bersentuhan dengan orang yang terinfeksi HIV. 5. Hidup serumah dengan orang yang terinfeksi HIV (asal tidak melakukan hubungan seks). 6. Gigitan nyamuk. 7. Menggunakan kamar mandi dan tailet bersama. 8. Berenang bersama. (Katiandagho, 2015)
13
H. Cara Pemberantasan 1. Cara Pencegahan Program pencegahan HIV / AIDS hanya dapat efektif bila dilakukan dengan komitmen masyarakat dan komitmen politik yang tinggi untuk mencegah dan atau mengurangi perilaku risiko tinggi terhadap penularan HIV. Upaya pencegahan meliputi: a. Pemberian penyuluhan kesehatan disekolah dan dimasyarakat harus menekankan bahwa pempunyai pasangan seks yang berganti-ganti serta penggunaan obat suntik bergantian dapat meningkatkan risiko terkena infeksi HIV. Pelajar juga harus di bekali
pengetahuan
bagaimana
untuk
menghindari
atau
mengurangi kebiasaan untuk mendangkan risiko terkena infeksi HIV. Program untuk anak sekolah harus dikembangkan sedemikian rupa sesuai dengan perkembangan mental serta kebutuhan mereka, begitu juga bagi mereka yang tidak sekolah. Kebutuhan kelompok minoritas, orang-orang dengan bahasa yang berbeda dan bagi penderita tuna netra serta tuna rungu juga harus dipikirkan. (Masriadi, 2014) b. Satu-satunya jalan agar tidak terinfeksi adalah dengan tidak melakukan hubungan seks atau hanya berhubungan seks dengan satu orang yang diketahui tidak mengidap infeksi. Kondom lateks harus digunakan dengan benar setiap kali seseorang melakukan hubungan seks secara vaginal, anal atau oral. Kondom lateks dengan pelumas berbahan dasar air dapat menurunkan risiko penularan melalui hubungan seks. (Masriadi, 2014) c. Memperbanyak
fasilitas
pengobatan
bagi
pecandu
obat
terlarang akang mengurangi penularan HIV. Begitu pula program “Harm reduction” yang menganjurkan para pengguna jarum suntik untuk menggunakan metode dekontaminasi dan
14
menghentikan penggunaan jarum bersama telah terbukti efektif. (Masriadi, 2014) d. Menyediakan fasilitas Konseling HIV di mana identitas penderita dirahasiakan
atau
dilakukan
secara
anonimus
serta
menyediakan tempat-tempat untuk melakukan pemeriksaan darah. Fasilitas tersebut saat ini telah tersedia di seluruh negara bagian di AS. Konseling, tes HIV secara sukarela dan rujukan medis dianjurkan dilakukan secara rutin pada klinis keluarga berencana dan klinis bersalin, klinis bagi kaum homo dan terhadap komunitas di mana seroprevalens HIV tinggi. Orang yang aktivitas seksualnya tinggi disarankan untuk mencari pengobatan yang tepat bila menderita Penyakit Menular Seksual (PMS). (Masriadi, 2014) e. Setiap wanita hamil sebaiknya sejak awal kehamilan disarankan untuk melakukan tes HIV sebagai kegiatan rutin dari standar perawatan kehamilan. Ibu dengan HIV positif harus dievaluasi untuk memperkirakan kebutuhan mereka terhadap terapi zidovudine (ZDV) untuk mencegah penularan HIV melalui uterus dan perinatal. (Masriadi, 2014) f. Berbagai peraturan dan kebijakan telah dibuat oleh USFDA, untuk mencegah kontaminasi HIV pada plasma dan darah. Semua darah donor harus diuji antibodi HIV-nya. Hanya darah dengan hasil tes negatif yang digunakan. Orang yang mempunyai kebiasaan risiko tinggi terkena HIV sebaiknya tidak mendonorkan plasma, darah, organ-organ untuk transplantasi, sel atau jaringan (termasuk cairan semen untuk inseminasi buatan). Institusi (termasuk bank sperma, bank susu atau bank tulang) yang mengumpulkan plasma, darah atau organ harus menginformasikantentang peraturan dan kebijakan ini kepada donor potensial dan tes HIV harus dilakukan terhadap semua donor. Apabila mungkin, donasi sperma, susu atau tulang harus
15
di bekukan dan disimpan selama 3-6 bulan. Donor yang tetap negatif setelah masa itu dapat di asumsikan tidak terinfeksi pada waktu menjadi donor. (Masriadi, 2014) g. Jika hendak melakukan transfusi Dokter harus melihat kondisi pasien dengan teliti apakah ada indikasi medis untuk transfusi. Transfusi otologus sangat dianjurkan. (Masriadi, 2014) h. Hanya produk faktor pembekuan darah yang diseleksi dan yang telah diperlakukan dengan semestinya untuk menonaktifkan HIV yang bisa digunakan. (Masriadi, 2014) i.
Sikap hati-hati harus dilakukan pada waktu penanganan, pemakaian dan pembungan jarum suntik atau semua jenis alatalat yang berujung tajam lainnya agar tidak tertusuk. Petugas kesehatan harus menggunakan sarung tangan lateks, pelindung mata dan alat pelindung lainnya untuk menghindarikontak dengan darah atau cairan yang mengandung darah. Setiap tetes darah pasien yang mengenai tubuh petugas kesehatan harus dicuci dengan air dan sabun sesegerah mungkin. Kehatiharian tersebut harus di lakukan pada semua pasien dan semua prosedur
laboratorium
(tindakan
kewaspadaan
universal).
(Masriadi, 2014) j.
WHO merekomendasikan pemberian imunisasi bagi anak-anak dengan infeksi HIV tanpa gejala dengan vaksin-vaksin EPI (Expanded Programme on Immunization); anak-anak yang menunjukka gejala sebaiknya tidak mendapat vansin BCG. BCG dan vaksin oral polio di AS tidak direkomendasikan untuk diberikan kepada anak-anak yang terinfeksi HIV tidak peduli terhadap
ada
tidaknya
gejala,
sedangkan
vaksin
MMR
(measles-mumps-rubella) dapat diberikan kepada anak dengan infeksi HIV. (Masriadi, 2014)
2. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitarnya
16
a. Laporan kepada instansi kesehatan setempat. b. Isolasi; mengisolasi orang dengan HIV positif secara terpisah tidak perlu, tidak efektif dan tidak dibenarkan. “Universak Precaution” (kawasan universal) diterapkan untuk semua penderita yang dirawat. Tindakan kewaspadaan tambahan tertentu perlu dilakukan pada infeksi spesifik yang terjadi pada penderita AIDS. c. Disenfeksi
serentak;
dilakukan
terhadap
atat-atatyang
terkontaminasi dengan darah atau cairan tubuh dengan menggunakan
larutan
pemutih
(chlorine)
atau
germisida
tuberkulosidal. d. Karantina; tidak dipererlukan. penderita HIV / AIDS dan pasangan seks mereka sebaiknya tidak mendonasikan darah, plasma, organ untuk transplantasi, jaringan, sel, semen untuk inseminasi buatan atau susu untuk bank susu manusia. e. Imunisasi dari orang-orang yang kontak; tidak ada. f. Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi; pasangan seks dari para penderita HIV / AIDS atau pasangan penggunaan jarum suntik besama, bila mungkinkan, di laporkan sendiri oleh penderita. Rujukan oleh petugas dibenarkan bila pasien. sesudah
melakukan
konseling,
tetap
menolak
untuk
memberitahukan pasangan seks mereka, dan untuk itu petugas harus betul-betul yakin bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang membahayakan indeks kasus bila pasangannya diberitahu. Tindakan yang sangat hati-hati harus di lakukan untuk melindungi kerahasiaan penderita. g. Pengobatan spesifik: disarankan untuk melakukan diagnosis dini dan melakukan rujukan untuk evaluasi medis. Rujukan sumber informasi muthakir tentang obat yang tepat, jadwal dan dosisinya. Pedoman pengobatan HIV / AIDS yang selalu di perbaharui setiap saat tersedia pada “CDC National Clearing
17
house” dan dapat diakses melalui Clearing house World Wide Website. 1) Sebelum ditemukan pengobatan antiretrovirus yang relatif efektif, dan tersedia secara rutin di AS sekitar tahun 90-an, pengobatan yang ada pada waktu itu hanya dirujukan kepada penyakit “opportunistic” yang diakibatkan oleh infeksi HIV. Penggunaan TMP-SMX oral untuk tujuan profilatik, dengan pentamidin aerosol kuran efektif. Obat tersebut direkomdasikan
untuk
mencegah
penumonia
P.carinii.
Semua orang yang terinfeksi HIV terhadap mereka harus di lakukan tes tuberkulin dan dievaluasi apakah mereka penderita TBC aktif. Jika diketahui menderita TB aktif, pasien harus di beri terapi anti tuberkulosa, jika bukan TB aktif, pasien dengan tes tuberkulin positif atau yang anergik tetapi baru saja terpajan ddengan TB harus di berikan terapi dengan isoniazid untuk 12 bulan. 2) Keputusan
untuk
memulai
atau
mengubah
terapi
antiretrovirus harus di pandu dengan memonitor hasil pemeriksaan paremeter laboratorium baik Plasma HIV RNA (viral load) maupun jumlah sel CD4+T dan dengan melihat kondisi klinis dari pasien. Hasil dari dua parameter tersebut memberikan informasi penting tentang status virologi dan imunologi dar pasien dan risiko dari perkembangan penyakit menjadi AIDS. Sekali keputusan untuk memberi terapi antiretrovirus diambil, pengobatan harus dilakukan dengan agresif dengan tujuan menekan virus semaksimal mungkin. Pada
umumnya,
harus
diawali
dengan
penggunaaan
inhibitor protease dan dua inhibitor “non nucleoside recerse transcriptase”. Regimen lain mungkin digunakan tetapi dianggap kurang optimal. Pertimbangan spesifik diberikan kepada orang dewasa dengan wanita hamil, dan bagi pasien
18
tersebut sebaiknya digunakan regimen pengobatan spesifik. (Masriadi, 2014)
I. Pengobatan 1. Pengobatan pada penderita HIV / AIDS meliputi: a. Pengobatan suportif b. Penanggulangan penyakit oportunistik c. Pemberian obat antivirus d. Penanggulangan dampak psikososial.
2. Obat antivirus HIV / AIDS adalah: a. Didanosin (ddl) Dosis: -
2 x 100 mg, setiap 12 jam (BB < 60 kg).
-
2 x 125 mg, setiap 12 jam (BB < 60 kg).
b. Zidovudin (ZDV) Dosis: 500-600 mg/hari, pemberian setiap 4 jam sebanyak 100 mg, pada saat penderita tidak tidur. c. Lamivudin (3TC). d. Stavudin (d4T).
3. Obat ARV (antiretrovirus) masih merupakan terapi pilihan karena: a. Obat tersebut bisa memperlambat progresivitas penyakit dan dapat memperpanjang daya tahan tubuh. b. Obat tersebut aman, mudah, dan tidak mahal. Angka transmisi dapat diturunkan dapat mendekati nol melalui identifikasi dini ibu hamil dengan HIV positif dan pengelolaan klinis yang agresif. c. Hasil penelitian dalam hal upaya pencegahan dengan imunisasi belum memuaskan. Penelitian tersebut dilakukan di Uganda dengan menggunakan vaksin HIV yang disebut ‘ALVAC-HIV’ dan vektor canarypox recombinant untuk mewakili selubung dan
19
gen inti HIV-1 sebagai upaya untuk merangsang sel pertahanan tubuh. d. Beberapa ahli mengusulkan penelitian tentang bagaimana agar CD4 tiruan diserang oleh virus, sehingga CD4 alami tetap normal. Bagian yang diserang virus HIV adalah sel darah putih terutama sel limfosit pada bagian CD4. Cd4 adalah bagian limfosit yang menunjukan sebagian besar fungsi pertahanan tubuh
manusia.
Jumlah
Cd4
yang
rendah
menunjukan
pertahanan tubuh yanh lemah yang mudah terkenan infeksi virus, bakteri dan jamur. (Masriadi, 2014)
K. Komplikasi Oral Lesi karena kandidia, herpes simplek, sarcoma, Kaposi, HPV oral, gingifitis,
peridonitis,
human
immunodeficiency
leukoplakiaoral, nutrisi, dehidrasi,
virus
(HIV),
penurunan berat badan,
keletihan dan cacat (Scorviani & Nugroho, 2011) Neurologik
Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung human immnudeficency virus (HIV) pada sel saraf ,berefek perubahan kepribadian,
kerusakan
kemampuan
motoric,
kelemahan,
disfasia, dan isolasi social. (Scorviani & Nugroho, 2011)
Ensolepaty
akut,
karena
reaksi
terapeutik,
hipoklemia,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis/ensefalitis dengan efek: sakit kepala, malaise, demam, paralise, total/parsial. (Scorviani & Nugroho, 2011)
Infark
serebral
kornea
sifilis
maningovaskuler,
hipotensi
sistemik, dan maranik endocarditis. (Scorviani & Nugroho, 2011)
Neuropati karena imflamasi demieliminasi oleh serangan human immunodeficiency virus (HIV). (Scorviani & Nugroho, 2011)
Gastrointestinal
20
Diare karenabakteri dan virus , pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan sarcoma, Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan,
anoreksia,
deman,
malabsorbsi,
dan
dehidrasi.
(Scorviani & Nugroho, 2011)
Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma Kaposi, obat illegal, alkholik,. Dengan anoreksia, mual muntah ,nyeri abdomen, ikterik, demam atritis. (Scorviani & Nugroho, 2011)
Penyakit anorektal kerena abses dan fistula, ulkus, dan inflamasi sulit
dan sakit, nyeri rektal, gatal-gatal dan diare.
(Scorviani & Nugroho, 2011) Respirasi Infeksi karena pneumocystic carinii, cytome galovirus, vius influenza, pneumococcus, dan strongyloides, dengan efek nafas pendek, batuk, nyeri, hipoksia, keletihan gagal nafas. (Scorviani & Nugroho, 2011) Dermatologik Lesi kulit stafililokokus: virus herpes simpleks dan zoster dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri gatal,
rasa terbakar, infeksi sekunder, dan
sepsis. (Scorviani & Nugroho, 2011) Sensorik
Pandangan : sarcoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
Pendengaran: otitis eksternal akut dan otitis media,kehilangan pendengaran dengan efek nyeri. (Scorviani & Nugroho, 2011)
21
BAB II ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN HIV / AIDS
A. PSIKONEUROIMUNOLOGI 1. Pengantar psikoneuroimunologi Psikoneuroimunologi mengenai
fungsi
merupakan
regulasi
imun
konsep
untuk
terintegrasi
mempertahankan
homeostatis. Untuk mempertahankan homeostatis, sistem imunn berintegrasi dengan proses psikofisiologik otak, dan karena itu mempengaruhi dan dipengaruhi otak. Melalui pendekatan ini telah mulai dipahami mekanisme interaksi antara perilaku, sistem saraf, sistem endokrin dan sistem imun. (Nurdin, 2017) Menurut putra (1999), psikoneuroimunologi pada awal perkembangannya dianggap sebagai kajian, dari beragam ranah studi. Pemahaman ini didasarkan atas keterlibatan tiga bidang kajian, yaitu (1) psikologi, (2) neorologi, dan (3) imonologi. (Nursalam & Kurniawati, 2008) Secara historis, konsep psikoneuroimunologi dikemukakan oleh
R.
Ader
dan
C.
Holder
sekitar
tahun
1975.
Psikoneuroimunologi muncul setelah adanya Konsep pemikiran imunopatobiologis dan imunopatologis. Fakta imunopatobiologis menunjukan bahwa kerentanan infeksi dan metastasis pada individu yang mengalami stres disebabkan oleh penurunan ketahanan
imunologis,
sedangkan
kelainan
mukosal
yang
memunculkan pemikiran respons imun yang melukai merupakan fakta imunopatologis. Karena kedua pendekatan model berpikir tersebut
dianggap
kurang
holistik
dalam
mengungkap
pathogenesis, maka muncullah ilmu baru yang sekaran dikenal dengan psikoneuroimunologi. Di Indonesia telah terdapat dua
22
penilitian yang di ketahui telah merekam pelaksanaan konsep ilmu baru ini, yakni setyawan (1999) yang meneliti hubungan antara latihan fisik dan modulasi respons imunitas, dan soleh (2000) yang meneliti hubungan antara shalat tahajud dan respons imunitas. (Nursalam & Kurniawati, 2008) Psikoneroimunologi
berkembang
menjadi
suatu
ilmu
pengetahuan (sains) dengan paradigma yang jelas, yaitu model berpikir yang terfokus pada pencermatan modulasi sistem imun stress. Sejalan dengan pesatnya perkembangan penelitian ilmu dasar, mulai dari sel, molekul, sampai gen stress, maka hasil-hasil penelitian tersebut telah memicu pemunculan pemikiran baru terhadap pengembangan psikoneuroimunologi pada berbagai tingkat kajian bidang ilmu. (Nursalam & Kurniawati, 2008) Sebagai
perkembangan
terakhir,
model
berpikir
psikoneuroimunologi telah digunakan dalam penelitian di bidang kedokteran dan diterima sebagai pendekatan yang relative lebih holistik dan rinci dalam mengungkap mekanisme, baik fisioblologis maupun patobiologis kesehatan tubuh. (Nursalam & Kurniawati, 2008) Perkembangan psikoneuroimunologi di Indonesia di awali oleh penelitian putra dan rekan-rekan (1992). Pengaruh latihan dan respons imun dilanjutkan pada tahun
1993, meneliti tentang
pengaruh latihan fisik dan kejiwaan terhadap ketahanan tubuh. Penelitian tersebut berdasarkan pada konsep psikoneuroimunologi. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa latihan fisik yang dilakukan secara teratur dengan dosis yang intermiten dan dilakukan dalam kondisi yang menyenangkan akan meningkatkan respons imunitas, yaitu peningkatan IgM, IgG, IgA, monosit, subset T4 (helper), estrogen, kortisol, testosteron, dan ACTH. (Nursalam & Kurniawati, 2008)
23
Mekanisme
penangkatan
psikoneuroimunologi
dapat
ketahanan
dilihat
tubuh
dengan
secara
menghubungkan
perubahan yang terjadi pada hormone dan neuropeptida yang melibatkan faktor kondisi kejiwaan (stress) dalam mekanisme perubahan
ketahanan
tubuh.
Kondisi
kejiwaan
tersebut
digambarkan sebagai status emosi yang mencerminkan dasar konsep kelainan mental. (Nursalam & Kurniawati, 2008) 2. Psikoneuroimunologi sebagai hibrid Disiplin Pola
pikir
ader
(1964)
menjiwai
batasan
PNI
(Psikoneuroimunologi) Putra (2004b). Pemahaman terhadap Pola pikir ader (1964) tersebut sangat diperlukan untuk memahami definisi
PNI
Ader
(2001)
dengan
benar,
untuk
kemudian
membandingkannya dengan batasan PNI, mengingat Ader adalah seorang psikolog, bukan dokter selain itu Ader adalah salah seorang pengikut aliran Watson’S Behaviorism. (Nursalam & Kurniawati, 2008) Penelitian yang mendasari kelahiran PNI berbasis pada pengondisian
klasik
behaviorisme).
Hasil
plavlovian penelitian
(merupakan
ini
Watson’s
mengungkapkan
bahwa
pengondisian suatu stimulus akan membentuk perilaku. (Nursalam & Kurniawati, 2008) Awalnya, Ader (1964) melakukan penelitian yang bertujuan untuk meniliti proses pembelajaran binatang yang menimbulkan perilaku tertentu, yaitu keengganan minum larutan sekarin. Binatang uji coba yang telah diberi larutan sakarin (conditioned stimulus
-
CS)
cyclophosphamide
kemudian (CY),
disuntik
selanjutnya
dengan
disebut
larutan
Unconditioned
stimulus (UCS). Binatang uji coba ini mengalami rasa mual karena adanya larutan CY. Namun telah diberi sakarin berulang kali tanpa disertai CY, secara bertahap binatang CS mau minum sakarin kembali. Dari hal ini didapat kesimpulan bahwa telah terjadi proses
24
pembelajaran bahwa minum sakarin tidak menimbulkan rasa mual. Mengapa proses pembelajaran terjadi pada sakarin tetapi tidak pada CY? Pertanyaan ini dapat dijawab bila mencermati tujuan penelitian Ader pada tahun 1964. Penelitian Ader tersebut dirancang untuk mengetahui efek stimulus yang dikondisikan, yaitu keengganan binatang terhadap sakarin, oleh karena itu yang dikondisikan adalah sakarin (CS). Pada binatang CS terjadi proses pembelajaran, dari semula mau minum, kemudian enggan, minum dan akhirnya mau minum sakarin kembali. Penelitian Ader ini bermaksud membuktikan kebenaran Watson’s behaviorism, bahwa stimululus yang dikondisikan dapat membina perilaku tertentu yang didasari oleh proses pembelajaran yang menghasilkan kognisi tertentu berupa stimulus yang dikondisikan tersebut. (Nursalam & Kurniawati, 2008) Binatang CS yang digunakan dalam penelitian Ader ternyata banyak yang mati. Hal ini menarik perhatian Ader yang kemudian menemui Cohen, seorang imunolog. Tahun 1965, bersama-sama dengan Cohen, Ader melakukan penelitian yang mirip dengan penelitian sebelumnya. Tiga hari setelah pengondisian sakarin (cs), semua binatang uji coba dalam kelompok CS dan kelompok yang hanya diberi suntikan CY (UCS) diberi suntikan SRBC (imunogen). Hal yang menarik perhatian adalah ternyata kelompok CS, yaitu binatang yang dikondisikan dengan sakarin, yang mengalami penurunan kadar antibodi terbesar terhadap SRBC. Penelitian Ader-Cohen telah membuktikan bahwa proses pembelajaran pada binatang
dapat
menurungkan
respon
imun.
(Nursalam
&
Kurniawati, 2008) Ader-friedman
(1946),
juga
telah
meneliti
bahwa
pengalaman awalan dapat mempengaruhi kerentanan terhadap tumor yang ditransplantasikan pada hewan. Penelitian AderFriedman tersebut mulai membuka jendela antara psikobiologi dan
25
respons imun. Ader yang termasuk penganut aliran behaviorism tidak pernah menyebut adanya stres psikis tetapi dia menyebutnya sebagai proses pembelajaran yang terjadi pada binatang dicoba kondisi dan stimulus tertentu. Hal ini sangat dimengerti, mengigat Ader penganut aliran behaviorism (bukan dokter yang mengikuti teori psikoanalis). Dalam penelitian Ader-Cohen, stresor yang digunakan adalah sakarin, yang merupakan stresor kimia. Seperti telah disampaikan terdahulu, penelitian dengan stresor lain telah banyak digunakan peneliti lainnya. Semua ini dapat di jumpai dalam buku Psikoneuroimunologi, edisi ke-3, yang merupakan buku standar PNI terbaru yang ditulis oleh Ader (psikolog penganut aliran behaviorism), Felten (neurolog), dan Choen (imonolog). (Nursalam & Kurniawati, 2008) Dalam Siegel (1994), di mana Ader merupakan salah satu kontributornya, disebutkan bahwa terdapat tiga jenis stresor yang menimbulkan proses pembelajaran dan memodulasi imunitas yaitu stimulus, stress, dan psikososial. Bedaasarkan uraian tersebut, maka putra (2004b) mencoba menganalisis dan ahkirnay samapi pada pemahaman bahwa istilah stresor psikologis (psychological stressor) tidak dijumpai, baik dalam Ader (2000) maupun dalam Siegel (1994). Namun demikian, istilah tersebut dimunculkan sebagai salah satu bentuk stresor yang dapat digunakan dalam penelitian PNI. Agar istilah tersebut tidak semakin merumitkan istilah yang telah ada, maka istilah stresor psikologis dibatasi pada stresor
yang
menimbulkan
proses
pembelajaran
yang
menghasilkan kognisi yang dapat memudulasi imunitas. Dengan pemahaman terhadap berbagai uraina tersebut, maka Putra (2004b) menyimpulkan adanya perbedaan nuansa antara batasan PNI Matter-Welstar (1999) (nuanas psyche), yang oleh keduanya istilah psyche tersebut diakui sulit diinformulasikan, sedangkan PNI Ader bernuansa behaviorism. Menurut Choen (2001), komunikasi
26
antara CNS – sistim imun lebih bersifat bidikresonal. (Nursalam & Kurniawati, 2008) Selanjutnya, agar kita lebih mengenal pola pikir Ader dengan benar, kita mencoba mencermati dua kalimat penting dalam abstrak di makalahnya yang berjudul: On the Development on Psychoneuroimmunology. Analis Putra (2004b) sampai pada kesimpulan bahwa Ader ingin menunjukan regulasi system imun atau imunoregulasi yang semula diyakini merupakan proses yang otonom, terbukti dipengaruhi oleh kinerja system saraf , setidaktidaknya dipengaruhi oleh proses pembelajaran yang terjadi di CNS. Dengan demikian, imunoregulasi terbukti tidak otonom. Sampai dengan tahun 2000, Ader telah mengajak kita untuk memahami PNI sebagai campuran disiplin (discipline-heybrid) yang mempunyai paradigma sendiri, yaitu keterlibatan system saraf dalam imunoregulasi atau imunoregulasi tidak otonom. Model interaksi
tersebut
sesuai
dengan
model
interaksi
terakhir.
(Nursalam & Kurniawati, 2008) Keterlibatan system saraf dalam imunoregulasi dalah pada kinerja system saraf yang menghasilkan proses pembelajaran menghasilkan kognisi tertentu yang mampu memodulasi respons imun. Paradigma PNI ini berbeda dengan pradigma imonologi sebelum tahun 1991, yang menyatakan imunoregulasi bersifat otonom. (Nursalam & Kurniawati, 2008) Pemahaman PNI sebagai bauran disiplin memunculkan pemahaman baru bahwa interaksi antara perilaku-neuroendokrinsystem imun merupakan bentuk interaksi komplementer yang menyatu
dalam satu paradigma. Dikemudian hari semua
perkembangan ini akan semakin memacu perkembangan PNI ke arah penelitian imunologi yang tidak otonomi dan bahkan semakin terungkap bahwa semua system dalam tubuh bekerja secara tidak
27
otonom, seperti yang diungkapkan dalam psikoneuroimunologi. (Nursalam & Kurniawati, 2008) Berdasarkan pada pemahaman konsep di atas, maka psikoneuromunologi merupakan neulogisme(istilah baru) yang mengambarkan discipline hybrid, yang meempunyai paradigma tersendiri,yaitu imonoregulasi bersifat tidak otonom. (Nursalam & Kurniawati, 2008)
B. KONSEP STRESS DAN STRESSOR Stress merupakan interaksi dan transaksi antara individu dengan lingkungan. Pendekatan ini telah dibatasi sebagai “model psikologi”, varian dari model psikologi ini di dominasi terori stress kontemporer dan terdapat dua tipe yang dapat di indentifikasi: interaksional dan transaksional. (Nursalam & Kurniawati, 2008) Modal psikologi ini mengambarkan stress sebagai proses yang meliputi steresor dan ketegangan (strain) dengan menambahkan dimensi hubungan antara individu dan lingkungan. Interaksi antara manusia dengan lingkungan yang saling memengaruhi itu disebut sebagai hubungan transaksional yang di dalamnya terdapat proses penyesuaian. Stress bukan hanya suatu stimulus atau respon, tetapi juga agen aktif yang dapat memengaruhi stresor melalui strstegi perilaku, kognitif, dan emosional. Individu akan memberikan reaksi stress yang berbeda pada stresor yang sama. (Nursalam & Kurniawati, 2008) Fokus pembentukan model psikologi pada struktur merupakan hal yang penting dari individu dengan lingkungan, dimana terakhir ini telah banyak dikatakan dan didukung dengan interaksi proses psikologi. Model transaksional secara primer diperhatikan dengan penghargaan kognitif dan koping. Dalam pengertiannya, mereka menggambarkan sebuah pengembangan dari interaksi. (Nursalam & Kurniawati, 2008)
28
Pendekatan medikopsikologi stress adalah pradigma dasar dari psikoneuroimunologi.
Jenis
stresor
ini
menyebabkan
ganguan
nonspesifik dalam system biologis (sebagai contoh system imun dalam psikoneuroimunologi) dalam respons untuk sebuah rentang yang luas dari averse atau noxious stimuli. Hans Selye dalam Putra (1999) mengatakan
bahwa
respons
melawan
stresor
mungkin
dimanifestasikan sebagai stres biologis. (Nursalam & Kurniawati, 2008) Putra (2004) menjelaskan bahwa stress merupakan respons terhadap stresor (sumber stress) dan istilah ini berkembang sesuai dengan perkembangan psikologi. Eric Lindremann Gerald Caplan dalam Weitin (2004) memberi batasan berupa pernyataan bahwa “stress adalah keadaan psikologis yang melibatkan kognisi dan emosi.” Batasan stress dari Eric Lindreman-Gerald Caplan dalam Weitin (2004) tersebut bernuansa psikologis era kesadaran menurut Wundt. Pada era tersebut konsep psikologis masih bernuansa kesadaran dan alam bawah sadar era S. Freud, sehingga konsep stress Eric LindermannGerald Caplan merupakan konsep stress pisikis. Hal ini berbeda dengan konsep stress menurun Hans Selye (1938), seorang fisiologi mendefinisikan stress sebagai respons nonspesifik dari tubuh manusia terhadap tuntunan, sehingga konsep stressnya dikategorikan kedalam konsep stress biologis. Dengan demikian, konsep stress dikatagorikan menjadi dua yaitu konsep pisik dan konsep biologis. (Nursalam & Kurniawati, 2008) Pada perkembangan selanjutnya, muncul konsep stress dari Dhabhar-McEwen (2001) yang menyebutkan bahwa stresor akan direspons oleh otak berupa persepsi stress (stress–perception), kemudian direspons oleh sistem lain termasul system imun, sehingga muncul respons stress (stress-response) berupa modulasi imunitas. Putra (2004) mencoba menyesuaikan konsep stress dari DhabharMcEwen (2001) dengan kedua konsep stress terdahulu. Pertama, persepsi stress merupakan istilah lain untuk menyebut peristiwa-
29
peristiwa mental intrernal (internal mental efents), yaitu proses pembelajaran atau presepsi. Hal ini sesuai pendapat Ader (2001) yang mengatakan bahawa persepsi merupakan kemampuan memahami atau mengonsepkan stresor yang diterima, menghasilkan suatu kognisi (pemahaman terhadap stressor) yang dapat memodulasi imunitas, disebut respons stress dari system imun. Kedua, persepsi stress merupakan peristiwa mental internal yang dapat dimaknai sebagai stress psikis, sesuai dengan konsep stress dari Lindermann-Caplan. Dalam analisisnya, Dhabhar-McEwen mengajukan konsep stress yang dinamakan
sebagai
persepsi
stress presepsi
stress.
Tersebut
mengakomodasi peristiwa mental internal menurut Skinner (1953), proses pembelajaran (learning process) menurut Ader, atau proses kognisi (cognition process) menurut Weiten (2004). (Nursalam & Kurniawati, 2008) Stress merupakan suatu respons biologis. Hal ini sesuai dengan pemikiran Selye (1983) bahwa stress berfokus pada resksi seseorang terhadap stresor dan mengambarkan stress sebagai sutau respons. Respons yang dialami
tersebut mengandung dua komponen, yaitu
komponen psikologis (meliputi perilaku pola pikiran, emosi, dan perasaan stress) dan komponen fisiologis (berupa rangsanganrangsangan fisik yang mengingkat). Selye (1983) mengemukakan respons tubuh terhadap stress tersebut sebagai sindrom stress (stress syndrome)
atau
sindrom
adaptasi
umum
(general
adaptation
syndrome- GAS) yang merupakan respons umum dari tubuh. GAS menurut Selye terjadi saat organisme mengalami stress yang panjang atau lama sehingga organ tubuh yang lain juga ikut terpengaruh oleh kondisi stress tersebut. (Nursalam & Kurniawati, 2008) Defenisi untuk pendekatan medikopisiologi dan stress belajar dimulai dengan konsep Selye (1983) yang menjelaskan bahwa stress merupakan kondisi yang dimanifestasikan dengan gejala khusus, serta terdiri atas perubahan nonspesifik dari system biologis.
30
Selye (1983) menjelaskan respons stress dapat secara signifikan terkait dengan patologi fisik. Hal ini terjadi ketika individu sering berinteraksi dengan stresor dalam jangka waktu yang lama dan tingkat stress tinggi. Situasi paradoksal meningkat kemampuan manusia untuk merespon secara aktif
dalam lingkungan patologis. Mesikipun
demikian, dalam jangka waktu lama keadaan ini dapat menimbulkan berbagai penyakit.
Selye (1983) ketika respons stress lambat lalu
berkembang secara adaptif dalam waktu yang pendek hal ini meningkatkan kemampuan manusia untuk merespos secara aktif dalam lingkungan patologis meskipun demikian dalam langka waktu lama keadaan ini dapat menimbulkan berbagi penyakit selye (1983), mengatakan
bahwa
stresor
menyebabkan
munculnya
sindrom
adaptasi umum (GAS) melalui beberapa tahap berikut: 1. Tahap Peringatan(Alarm Stage) Tahap
ini
merupakan
tahap
reaksi
awal
tubuh
dalam
menghadapi berbagai stresor reaksi ini mirip dengan fight or flight response (menghadapi atau lari dari stress-ed) tubuh tidak dapat bertahan pada tahapan ini dalam jangka waktu lama. 2. Tahap Adaptasi atau Eustres(Adaptation Stage) Tahap ini merupakan tahap dimana tubuh mulai beradaptasi dengan adanya stress dan berusaha mengatasi serta membatasi stresor.
Ketidakmampuan
beradaptasi
mengakibatkan
tubuh
menjadi lebih rentan terhadap penyakit (disebut penyakit adaptasi). 3. Tahap Kelelahan atau Distress (Exhaustion Stage) Tahap ini merupakan tahap dimana adaptasi tidak bisa dipertahankan karena stress yang berulang atau berkepanjangan sehingga berdampak pada seluruh tubuh. (Nursalam & Kurniawati, 2008)
Berdasarkan
pendapat
beberapa
ahli,
maka
putra
(2004a)
merumuskan istila stresor piskologis sebagai berikut:
31
1. Pada penelitian Ader tahun 1964, terbukti telah terjadi proses pembelajaran pada binatang uji coba yang menghasilkan kognisi bahwa sakarin (saccharin) menimbulkan rasa mual atau sesuatu yang tidak nyaman hal ini ditunjukan oleh binatang uji coba yang enggan minum sakarin. Perilaku ini sesuai dengan konsep skinner (1953) (behaviorism), yang mengemukakan bahwa individu tidak akan mengulangi aktivitas yang merugikan . 2. Konsep stresor menurut Dhabhar dan McEwen (2001), yang menyebutkan
bahwa
sitimulus
(stresor)
akan
menimbulkan
persepsi stress dan selanjutnya terjadi respons stress. Konsep ini menyatakan
bahwa
sitimulus
akan
menimbulkan
proses
pembelajaran diotak sehingan menghasilkan kognisi yang mampu memodulasi imunitas. 3. Pencermatan
stresor
psikoneuroimunologi,
yang
antara
digunakan lain
stresor
pada
penelitian
psikisosial,
seperti
perpisahan dalam pernikahan dan perbedaan rumah, serta stimulus fisik, seperti renjatan listrik, rotasi kerja, dan suara bising (Sigel,1994). Stresor lain dapat berupa stress karena bencana alam, pekerjaan, pelajaran, beradaptasi dalam lingkungan baru, ujian, pembedahan/operasi, dan lain-lain. (Nursalam & Kurniawati, 2008)
Berdasarkan ketiga uraina diatas, Putra (2004a) mengajukan batasan stresor psikologis sebagai semua stimulus yang menghasilkan persepsi stress atau kognisi yang dapat menimbulkan respon stress berupa modulasi imunitas pada individu. Modulasi imunitas adalah perubahan imunitas, baik imunitas alami maupun adaptif, yang meningkat atau menurun. Konsep stresor psikologis tersebut juga sesuai dengan batasan psikologi menurut Weiten 2004. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa semua stimulus menimbulkan kognisi modulasi imunitas yang dapat digunakan untuk penelitian
32
berbasis paradigma psikonouroimunologi. Dalam pemberlakuannya, paradigma psikonouroimunologi adalah presepsi stress atau kognisi sebagai hasil proses pembelajaran, bukan jenis stimulus. Jadi, semua jenis stimulus menimbulkan proses pembelajaran yang menghasilkan kognisi yang mampu memodulasi imunitas dan dapat digunakan pada penelitian paradigma psikoneuroimunologi. (Nursalam & Kurniawati, 2008) Menurut pemahaman putra (2004a) semua stimulus yang mampu membangun proses pembelajaran dapat menghasilkan persepsi stress atau kognisi yang dapat memodulasi imunitas dapat digunakan dalam penilitian
psikoneuroimunologi.
Keluwesan
konsep
stresor
ini
mencakup banyak jenis stresor yang melibatkan proses pembelajaran sehingga menimbulakan persepsi stress yang menghasilkan kognisi. Stresor jenis ini mencakup latihan fisik renjatan listrik, gempa bumi, hipoksi, (penurunan pasokan oksigen), iklim yang terlalu ekstrem ( panas atau dingin), trauma, upaya yang berkepanjangan dalam melakukan suatu hal, respons terhadap peristiwa-peristiwa kehidupan dan masih banyak lagi. (Nursalam & Kurniawati, 2008) Stresor merupakan sumber stres yang tidak selalu menimbulkan distress
(stres
berat),
namun
dapat
membantu
memunculkan
keseimbangan baru (eustres). Konsep stresor yang digunakan dalam buku ini adalah dan pendapat Dhabhar dan McEwen (2001), yang mengemukakan bahwa stimulus stresor akan menimbulkan persepsi stres (kognisi) dan selanjutnya akan menyebabkan respon stres (biologis). Konsep ini menyatakan bahwa stimulus akan menimbulkan proses pembellajara diotak yang menhasilakan koknisi beruap respon spiritual, social, dan penerimaan diri yang mempu memodulasi respon imunitas (CD4, IFN-ʏ, dan Anti-HIV). (Nursalam & Kurniawati, 2008) Penyakit
merupakan
stressor
atau
penyebab
stress
bagi
seseorang. Penyakit merupakan stimulus yang membuat seseorang mengalami stress. HIV/AIDS merupakan kategori penyakit yang
33
menyebabkan stress tingkat tinggi bagi penderitanya. Stress tersebut disebabkan karena perubahan fisik yang cukup signifikan dan dampak psikososial penyakit (stigma dan diskriminasi) yang harus mereka terima
dari
masyarakat.
Para
Perempuan
dengan
HIV/AIDS
mempunyai cara berbeda dalam menghadapi stress (stress koping) yang
dihadapi
karena
penyakitnya.
Sebagian
besar
mampu
mengembangkan strategi koping yang positif sehingga dapat terus bertahan dnegan penyakit dan segala konsekuensi hidup yang dijalani. Sementara mereka yang mengembangkan strategi koping yang negative cenderung tenggelam dalam beban yang semakin lama memperparah penyakitnya dan akhirnya tenggelam tidak mampu bertahan hidup lebih lama. (Dakwah, Walisongo and Pendahuluan, 2013)
Contoh Kasus: Seorang wanita 21 tahun dirawat dengan keluhan batuk lama, demam, penurunan berat badan yang drastic, diare kronis, nyeri telan, luka pada mulut dan labia mayora. Radiologi toraks didapatkan infiltrat pada kedua paru. Penderita sebelumnnya telah dirawat sebagai penderita HIV/AIDS dan Tuberkulosis (TB) paru (kasus drop out). Hasil laboratorium didapatkan CD4 absolut:6:CD4%:3%, hasil sputum didapatkan bakteri tahan asam (BTA), ulkus pada oral dan pada labia mayora. Penderita dirawat diruang isolasi, diberikan: O2 3-4 Liter/permenit, Infus RL/D5/Aminofusin, dipasang nasogastrik tube, paracetamol 3x500mg, tranfusi packet red cell (PRC), kontrimoksazole 1x960 mg, Nystatin oral drops 4x2 cc, fluconazole oral 1x100 mg, fusidic cream pada labia mayora, Rifamfisin 450mg, INH 300mg, Ethambutol 1000mg. Dalam 4 hari pertama keadaan umum membaik, diare berkurang, hari berikutnnya keadaan umum menurun diberikan tambahan antibiotik ciprofloxcin 200mg/12jam. Penderita dirawat
34
selama 12 hari dengan diagnosa kerja HIV/AIDS dan TB paru serta infeksi opportunitis.Penderita meninggal dunia setelah di rawat 12 hari
C. Pengkajian 1. Identitas Klien Nama
: Ny. S
Umur
: 21 th
No Reg
: 012 68651
Ruang
: Seruni
Agama
: Islam
Pekerjaan
:-
Alamat
: Jalan Biraan 322 Dayeuhkolot, Bandung
Suku Bangsa : Sunda / Indonesia Pendidikan
: SMU
MRS
: 26 Februari 2016
Tanggal Pengkajian : 26 Februari 2016 DX Medis
: B20.
2. Keluhan Utama Saat MRS
:Klien di bawa ke rumah sakit dengan keluhan diare dan demam tinggi.
Saat pengkajian : Klien mengatakan badan terasa lemah, dan tidak mampu melakukan aktifitas.
3. Riwayat Penyakit Sekarang Sejak tanggal 25 Februari 2016 klien mengalami diare hebat sekitar 12-13x/hari, tidak nafsu makan (anoreksia), dan kesulitan menelan (disfagia). Klien juga mengalami demam sejak 23 Februari 2016 dan dibawa ke rumah sakit pada pukul 09.00 WIB. Pada saat
35
pengkajian klien berkata-kata dengan suara yang lirih seperti kelelahan dan mengeluhkan badan terasa lemah.
4. Riwayat Penyakit Dahulu Dalam 3 bulan terakhir Ny. S sering mengalami diare tak terkontrol tanpa merasakan sakit perut, penyebabnya tidak diketahui, dengan faktor yang memperberat adalah bergerak sehingga usaha yang dilakukan adalah diam. Klien juga demam tinggi sehingga dibawa ke puskesmas untuk mendapatkan perawatan. Dari riwayat 3 bulan terakhir Ny. S pernah 3-4 kali mengalami demam dan 1 kali mengalami diare disertai darah. Klien
juga
mengatakan
pada
masa
mudanya
pernah
mengkonsumsi obat-obatan terlarang.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga Dari riwayat penyakit keluarga, tidak didapatkan anggota keluarga yang mengalami kelainan, penyakit kronis, ataupun penyakit yang sama dengan Ny. S.
6. Riwayat Psikososial a. Persepsi Klien Terhadap Masalah Ny. S mengatakan bahwa penyakitnya ini merupakan masalah yang mengkhawatirkan, sambil mengungkapkan itu wajahnya terlihat lemah, dan badannya terlihat lemas. Saat ditanya tentang penyakit,
pengobatan, komplikasi Ny. S hanya
menggelengkan kepala. Klien hanya mengatakan pernah mengkonsumsi
obat
terlarang
sehingga
dikucilkan
oleh
saudara-saudaranya. Pasien merasa diasingkan oleh keluarga dan teman-temannya, pasien tidak punya uang lagi, pasien merasa frustasi karena tidak punya teman dan merasa
36
terisolasi. Pasien pernah mencoba melakukan percobaan bunuh diri dengan berusaha melompat dari lantai 2.
7. Pola Kesehatan Sehari-hari Selama Di Rumah dan RS a. Pola Nutrisi dan Metabolisme Di Rumah : Makan 3x/hari, habis satu porsi dengan Komposisi nasi sayur dan telur terkadang tempe. Minum air putih 1000 cc/hari ditambah kopi tiap pagi. Di Rumah Sakit : saat pengkajian klien menunjukkan gejala anoreksia dan kesulitan menelan, makan 2x/hari tidak habis, minum air putis 300cc/jam. b. Pola Eliminasi 1) Kebiasaan Devekasi Sehari-hari Di Rumah : klien devekasi 12-13x/hari dengan konsistensi cair, warna kuning kecoklatan. Pernah satu kali devekasi disertai darah Rumah Sakit : saat pengkajian klien belum devikasi karena pasien baru datang. 2) Kebiasaan Miksi Di Rumah : Tn. T miksi 3-4x / hari (kira-kira 1500 cc) warna kuning, bau khas, tidak ada kesulitan BAK, tidak terdapat darah pada urin. Selama sakit BAK 3-4x/ hari. Di Rumah Sakit : klien BAK tanpa alat bantu ataupun kateter. c. Pola Tidur dan Istirahat Dirumah Klien : istirahat (tidur) kira-kira 6 jam/hari mulai jam 22.00 WIB sampai 05.00. Di Rumah Sakit : klien tidur siang selama 40 menit d. Pola Aktivitas
37
Di rumah : klien beraktifitas secara mandiri tanpa bantuan orang lain dan tidak memiliki kebiasaan olah raga Di rumah sakit : klien merasa mudah lelah, tidak kuat untuk mengangkat beban berat maupun sedang. Klien
mendapat
terapi
istirahat,
beberapa
aktifitasnya dibantu. e. Pola Reproduksi dan Seksual Klien Ny. S dengan usia 25 th belum memiliki anak. Klien sering melakukan aktivitas seks bebas.
8. Pemeriksaan Fisik a. Keadaan umum : Lemah, terpasang infus RL, Keadaan sakit
: Klien sering mengeluh lemas
Tekanan darah : 90 / 80 mmHg Nadi
: 55 x/menit
Respirasi
: 24 x/menit
Bising Usus
: 20 x/menit Suhu : 37,8˚C
Tinggi badan
: 167 cm Berat badan : 52 kg
b. Review of System (ROS) 1) Kepala : Posisi tegak, bentuk kepala simetris, warna rambut hitam,
distribusi
bayangan
rambut
merata,
tidak
terlihat
pembuluh darah, tidak terdapat luka, tumor,
edema, terlihat ada ketombe, dan bau.
Mata ; tidak terdapat vesikel, tidak ada masa, nyeri tekan, dan penurunan penglihatan, konjungtiva anemis.
Hidung ; ada sekret, tidak ada lesi
Mulut ; terdapat lesi, gigi ada yang tanggal, membran mukosa kering, lidah ada bercak-bercak keputihan, dan halitosis.
Telinga ; tidak ada nyeri tekan
38
2) Leher : trakea simetris, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan vena jugularis, tidak ada nyeri tekan. 3) Thoraks : bentuk simetris, tidak terdapat masa,tidak ada otot bantu napas
Paru ; bentuk dada simetris, tidak terdapat retraksi interkosta, ekspansi kanan dan kiri sama, perkusi paru didapat suara sonor di seluruh lapang paru, batas paru hepar dan jantung redup,
Jantung ; ictus cordis terlihat di mid-clavicula line sinistra ICS 5,
4) Ketiak dan Payudara ; Tidak didapatkan pembesaran kelenjar limfe dan tidak ada benjolan, puting dan areola baik 5) Abdomen
:
bentuk
simetris,
ada
nyeri
tekan,
tidak
ada benjolan, tidak ada tanda pembesaran hepar, tidak didapati asites, dan hasil perkusi didapat suara timpani, 6) Genetalia : Ny S, Klien seorang perempuan
klien
di
sirkumsisi,
gland
penis
terdapat
bercak,
pada batang penis ada tanda jamur, tidak ada tanda herpes, ada lesi.
tidak ada lesi, tidak ada tanda jamur, tidak ada tanda herpes
tidak terdapat kelainan, tidak ada lesi
7) Anus dan Rektum : tidak ada abses, ada hemoroid, rektum didapati sedikit berlendir. 8) Ekstremitas : kekuatan otot menurun, tidak terdapat edema, tidak ada fraktur, tidak tampak tanda atropi 9) Integumen : warna sawo matang, tekstur kering, terdapat kemerahan pada area, turgor buruk, terdapat tanda sianosis, akral dingin, capillary refill time >3 detik, tidak ada tanda inflamasi pada kuku, ada lesi pada kulit bagian area scapula 10) Status Neurologis
39
a) Tingkat kesadaran : Kompos Mentis b) Tanda – tanda perangsangan otak
Pusing
Suhu tubuh 37,8˚C
c) Uji saraf kranial NI
: Klien tidak dapat membau dengan baik
N II
: Klien dapat melihat dengan jelas
N III
: Klien dapat menggerakkan bola mata
N IV
: Klien dapat melihat gerakan tangan perawat baik ke samping kiri ke kanan.
NV
: Klien dapat menggerakan rahang
N VI
: Klien dapat menggerakan mata kesamping
N VII
: Klien dapat merasakan pahit, manis, asam, dan manis
N VIII
: Klien dapat mendengarkan degan baik
N IX
: Klien dapat berbicara
NX
: Klien dapat mengangkat bahu
N XI
: Klien dapat berbicara dengan baik
N XII
: Klien dapat menggerakan lidah dan dapat berbicara dengan baik
d) Fungsi Motorik Tidak ada gerakan yang tdak disadari klien, klien mampu bergerak tanpa perintah. e) Fungsi Sensorik Klien tidak merasakan usapan kapas pada area maksilaris, dapat merasakan benda tajam, tidak dapat merasakan hangat, panas, dan dingin. f) Refleks Pantologis Reflek babinsky negatif, reflek cadlok negatif, reflek Gordon negatif.
9. Pemeriksaan Penunjang a) Hasil Test Enzime Linked Sorbent Assay (ELISA) : dari hasil test ELISA yang dilakukan, menunjukkan hasil bahwa Tn. T Positif
40
dibuktikan dengan antibodi dalam serum mengikat antigen virus murni di dalam enzyme-linked antihuman globulin. b) Hasil Test Western Blot : Positif c) P24 Antigen Test d) Kultur HIV
: Positif
: Positif, dengan kadar antigen P24 Meningkat
D. Intervensi Diagnosa
Noc
Nic
1. Risiko Infeksi
Pencegahan infeksi
Monitor tanda dan gejala lokal dan sistemik Berikan perawatan kulit pada edema. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien Jelaskan tanda dan gejala infeksi Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar Ajarkan etika batuk Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi.
2. Pola Nafas Tidak Efektif
Pemantauan Respirasi
Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas Monitor pola napas (seperti bradipnea,
41
takipnea, hiperventilasi, Kussmaul, CheyneStokes, Biot, ataksik) Aukultasi bunyi napas Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien. 3. Resiko Keseimbanga
Manajemen Cairan
n Cairan
Monitor berat badan harian Monitor berat badan sebelum dan sesudah dialysis Catat intake-output dan hitung balans cairan 24 jam Berikan asupan cairan, sesuai kebutuhan
42
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan HIV / AIDS adalah salah satu penyakit yang harus di waspadai karena Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) sangat berakibat pada penderitanya. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia
setelah
sistem
kekebalan
dirusak
oleh
virus
HIV
(HummanImmunodeficiency Virus). (Masriadi, 2014) AIDS adalah sekumpulan gejala yang menunjukan kelemaham atau kerusakan daya tahan tubuh yang di akibatkan oleh factor luar (bukan di bawah sejak lahir). Menurut
putra
(1999),
psikoneuroimunologi
pada
awal
perkembangannya dianggap sebagai kajian, dari beragam ranah studi. Pemahaman ini didasarkan atas keterlibatan tiga bidang kajian, yaitu (1) psikologi, (2) neorologi, dan (3) imonolog. Stress merupakan suatu respons biologis. Hal ini sesuai dengan pemikiran Selye (1983) bahwa stress berfokus pada resksi seseorang terhadap stresor dan mengambarkan stress sebagai sutau respons. Respons yang dialami
tersebut mengandung dua komponen, yaitu
komponen psikologis (meliputi perilaku pola pikiran, emosi, dan perasaan stress) dan komponen fisiologis (berupa rangsanganrangsanganfisik yang mengingkat). Stresor merupakan sumber stres yang tidak selalu menimbulkan distress
(stres
berat),
namun
dapat
membantu
memunculkan
keseimbangan baru (eustres). Konsep stresor yang digunakan dalam buku ini adalah dan pendapat Dhabhar dan McEwen (2001), yang mengemukakan bahwa stimulus stresor akan menimbulkan persepsi stres (kognisi) dan selanjutnya akan menyebabkan respon stres (biologis).
43
B. Saran Buat para remaja di era melanial yang semakin canggih ini harus lebih berhati-hati dalam pergaulan dan jangan mudah terpengaruh dengan jaman sekarang, karena kita harus berhati-hati terhadap lingkungan ini. Jangan pernah mencoba nikmatnya dunia terutama pergaulan bebas.
44
DAFTAR PUSTAKA
45