Kelompok 1 3a Kegawatdaruratan Pada Anak Bab Ii.docx

  • Uploaded by: Rini Wahyuni
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kelompok 1 3a Kegawatdaruratan Pada Anak Bab Ii.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,443
  • Pages: 29
BAB II PEMBAHASAN

A. Kegawatdaruratan Pada Anak Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan terdapat dalam Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal tersebut menjelaskan bahwa, anak adalah siapa saja yang belum berusia 18 tahun dan termasuk anak yang masih didalam kandungan, yang berarti segala kepentingan akan pengupayaan perlindungan terhadap anak sudah dimulai sejak anak tersebut berada didalam kandungan hingga berusia 18 tahun (Damayanti, 2008). Kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi secara tiba-tiba, seringkali merupakan kejadian yang berbahaya (Dorlan, 2011). Jadi, kegawatdaruratan pada anak adalah suatu kondisi atau keadaan yang tidak terduga, tiba-tiba dan membahayakan jiwa yang terjadi pada anak.

B. Triase dan Kondisi Gawat Darurat pada Anak 1.

Triase Anak Triase adalah pengelompokan pasien berdasarkan berat cideranya yang

harus diprioritaskan ada tidaknya gangguan airway, breathing, dan circulation sesuai dengan sarana, sumber daya manusia dan apa yang terjadi pada pasien (Siswo, 2015). Jadi triase adalah proses skrining secara cepat terhadap semua anak sakit segera setelah tiba di rumah sakit untuk mengidentifikasi ke dalam salah satu kategori berikut: a.

Dengan tanda kegawatdaruratan (emergency signs): memerlukan penanganan kegawatdaruratan segera.

b.

Dengan tanda prioritas (priority signs): harus diberikan prioritas dalam antrean untuk segera mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan tanpa ada keterlambatan.

3

4

c.

Tanpa tanda kegawatdaruratan maupun prioritas: merupakan kasus non-urgent sehingga dapat menunggu sesuai gilirannya untuk mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan.

Tujuan Triase: a.

Cepat mengidentifkasi pasien yang berada dalam kondisi darurat dan mengancam jiwa

b.

Menentukan jenis terapi yang paling tepat bagi pasien yang datang ke instalasi gawat darurat

c.

Mengurangi penumpukan pasien dalam ruang pengobatan instalasi gawat darurat

d.

Melaksanakan pengkajian pasien secara berkesinambungan

e.

Memberikan informasi kepada pasien dan keluarganya perihal pelayanan yang tersedia, tindakan yang akan dilakukan, dan waktu tunggu.

f.

Memberikan informasi yang membantu ketajaman pemilahan pasien

Canadian Emergency Departement Triage and Acuity Scale (CTAS) a.

Dirancang untuk meningkatkan kinerja triase akut di instalasi gawat darurat.

b.

Fokus utamanya adalah untuk mengidentifikasi pasien mana yang paling membutuhkan pertolongan dan untuk menentukan prioritas perawatan.

c.

Memfasilitasi penerapan CTAS bagi kelompok pasien yang lebih muda.

d.

Dibuat berdasarkan parameter fisiologis sesuai usia mencakup masalah perkembangan, keluarga, dan psikososial.

2.

Kondisi Gawat Darurat pada Anak

Tanda kegawatdaruratan, konsep ABCD: 1.

Airway. Apakah jalan napas bebas? Sumbatan jalan napas (stridor)

2.

Breathing. Apakah ada kesulitan bernapas? Sesak napas berat (retraksi dinding dada, merintih, sianosis)?

3.

Circulation. Tanda syok (akral dingin, capillary refill > 3 detik, nadi cepat

5

dan lemah). Consciousness. Apakah anak dalam keadaan tidak sadar (Coma)? Apakah kejang (Convulsion) atau gelisah (Confusion)? 4.

Dehydration. Tanda dehidrasi berat pada anak dengan diare (lemah, mata cekung, turgor menurun). Anak dengan tanda gawat-darurat memerlukan tindakan kegawatdaruratan

segera untuk menghindari terjadinya kematian. Periksa tanda kegawatdaruratan dalam 2 tahap: 1.

Tahap 1: Periksa jalan napas dan pernapasan, bila terdapat masalah segera berikan tindakan untuk memperbaiki jalan napas dan berikan napas bantuan.

2.

Tahap 2: Segera tentukan apakah anak dalam keadaan syok, tidak sadar, kejang, atau diare dengan dehidrasi berat. Bila didapatkan tanda kegawatdaruratan:

1.

Panggil tenaga kesehatan profesional terlatih bila memungkinkan, tetapi jangan menunda penanganan. Tetap tenang dan kerjakan dengan tenaga kesehatan lain yang mungkin diperlukan untuk membantu memberikan pertolongan, karena pada anak yang sakit berat seringkali memerlukan beberapa tindakan pada waktu yang bersamaan. Tenaga kesehatan profesional yang berpengalaman harus melanjutkan penilaian untuk menentukan masalah yang mendasarinya dan membuat rencana penatalaksanaannya.

2.

Lakukan pemeriksaan laboratorium kegawatdaruratan (darah lengkap, gula darah, malaria). Kirimkan sampel darah untuk pemeriksaan golongan darah dan cross-match bila anak mengalami syok, anemia berat, atau perdarahan yang cukup banyak.

3.

Setelah memberikan pertolongan kegawatdaruratan, lanjutkan segera dengan penilaian,

diagnosis

dan

penatalaksanaan

terhadap

masalah

yang

mendasarinya. Bila tidak didapatkan tanda kegawatdaruratan, periksa tanda prioritas (Konsep 4T3PR MOB): 1.

Tiny baby (bayi kecil < 2 bulan)

2.

Temperature (anak sangat panas)

6

3.

Trauma (trauma atau kondisi yang perlu tindakan bedah segera)

4.

Trismus

5.

Pallor (sangat pucat)

6.

Poisoning (keracunan)

7.

Pain (nyeri hebat)

8.

Respiratory distress (distres pernapasan)

9.

Restless, irritable, or lethargic (gelisah, mudah marah, lemah)

10. Referral (rujukan segera) 11. Malnutrition (gizi buruk) 12. Oedema (edema kedua punggung kaki) 13. Burns (luka bakar luas) Anak dengan tanda prioritas harus didahulukan untuk mendapatkan pemeriksaan dan penanganan lebih lanjut dengan segera (tanpa menunggu giliran). Bila ada trauma atau masalah bedah yang lain, segera cari pertolongan bedah.

C. Kriteria Gawat Darurat pada Anak Berdasarkan data dari BPJS (2013), terdapat beberapa kriteria yang termasuk kondisi gawat darurat pada anak, yaitu: 1.

Anemia sedang/berat

2.

Apnea/gasping

3.

Bayi/anak dengan ikterus

4.

Bayi kecil/prematur

5.

Cardiac arrest / payah jantung (mungkin maksudnya henti jantung)

6.

Cyanotic Spell (tanda penyakit jantung)

7.

Diare profus (lebih banyak dari 10x sehari BAB cair) baik dengan dehidrasi maupun tidak.

8.

Difteri

9.

Murmur/bising jantung, Aritmia

10. Edema/bengkak seluruh badan 11. Epitaksis (mimisan), dengan tanda perdarahan lain disertai dengan demam/febris

7

12. Gagal ginjal akut 13. Gangguan kesadaran dengan fungsi vital yang masih baik 14. Hematuria 15. Hipertensi berat 16. Hipotensi atau syok ringan hingga sedang 17. Intoksikasi atau keracunan (misal: minyak tanah, atau obat serangga) dengan keadaan umum masih baik 18. Intoksikasi disertai gangguan fungsi vital 19. Kejang dengan penurunan kesadaran 20. Muntah profus (lebih banyak dari 6x dalam satu hari) baik dengan dehidrasi maupun tidak 21. Panas/demam tinggi yang sudah di atas 40°C 22. Sangat sesak, gelisah, kesadaran menurun, sianosis dengan retraksi hebat dinding dada/otot-otot pernapasan 23. Sesak tapi dengan kesadaran dan kondisi umum yang baik 24. Syok berat, dengan nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur, termasuk di dalamnya sindrom rejatan dengue 25. Tetanus 26. Tidak BAK/kencing lebih dari 8 jam 27. Tifus abdominalis dengan komplikasi Menurut Lalani & Schneeweiss (2011) yang termasuk kegawatdaruratan pada anak, antara lain: 1.

Resusitasi

2.

Kegawatdaruratan Kepala & Leher

3.

Kegawatdaruratan Pernapasan

4.

Kegawatdaruratan Jantung

5.

Kegawatdaruratan Pencernaan

6.

Kegawatdaruratan Genitourinaria

7.

Kegawatdaruratan Infeksi

8.

Kegawatdaruratan Hematologi/ Onkologi

9.

Kegawatdaruratan Reumatologi

8

10. Kegawatdaruratan Endokrin 11. Kegawatdaruratan Neurologi 12. Kegawatdaruratan Ginekologi 13. Dermatologi 14. Kegawatdaruratan Lingkungan 15. Trauma Minor 16. Nyeri dan Sedasi 17. Kegawatdaruratan Psikososial

D. Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan pada Anak 1.

Konsep Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan pada Anak

a.

Pengkajian dalam Kegawatdaruratan Pediatri Pengkajian keperawatan merupakan tahap awal proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien. Dalam melakukan penilaian anak dalam keadaan gawat-darurat, dibutuhkan pendekatan khusus agar diperoleh data sebanyak-banyaknya dan mendekati ketepatan. Beberapa kekhususan yang diperhatikan antara lain:  Teknik pendekatan sesuai tumbuh kembang anak  Observasi awal. Salah satu metoda yang khusus dikembangkan untuk ini dikenal dengan metoda segitiga penilaian pediatrik (PAT= Pediatric Assessment Triangle). Teknik ini dikembangkan karena anak dapat memperlihatkan sikap yang berbeda-beda sesuai taraf perkembangannya. Dengan teknik ini pemeriksa dapat menilai berat ringannya kondisi anak dengan cepat.  Penilaian tanda vital yang dikenal dengan metoda ABCDE. Karena perbedaan anatomi dan fisiologi, teknik pemeriksaan dan nilai normal pada anak dapat berbeda untuk setiap kelompok usia.  Memutuskan untuk tindakan selanjutnya dengan cepat, sesuai tingkat kegawatan.  Pemeriksaan selanjutnya dilakukan setelah kondisi vital stabil

9

Pengkajian pada kasus gawat darurat dibedakan menjadi dua, yaitu: pengkajian primer dan pengkajian sekunder. 1) Pengkajian Primer a) Segitiga penilaian pediatrik (PAT: Pediatric Assessmen Triangle) Teknik penilaian ini dilakukan tanpa memegang anak. Dengan melihat dan mendengar, pemeriksa dapat mendapatkan kesan akan kegawatan anak. Tiga komponen PAT adalah: 1) Penampilan Anak Penampilan anak seringkali merupakan cerminan kecukupan ventilasi dan oksigenasi otak. Namun demikian beberapa keadaan lain

dapat

pula mempengaruhi

penampilan

anak

seperti

hipoglikemi, keracunan, infeksi otak, perdarahan atau edema otak atau juga penyakit kronik pada susunan saraf pusat. Penampilan anak dapat dinilai dengan berbagai skala. Metoda ‘TICLES’ meliputi penilaian tonus (T= tone), interaktisi (I= interactiveness), konsolabilitas (C= consolability), cara melihat (L= look/gaze) dan berbicara atau menangis (S= speech/cry). Tabel 1. Penilaian dengan metoda ‘Ticles’(TICLS) Karakteristik Tone

Interactiveness

Consolabillity

Hal Yang Dinilai Apakah anak bergerak aktif atau menolak pemeriksaan dengan kuat? Apakah tonus ototnya baik atau lumpuh? Bagaimana kesadarannya? Apakah suara mempengaruhinya? Apakah ia mau bermain dengan mainan atau alat pemeriksaan? Apakah anak tidak bersemangat saat berinteraksi dengan orang tua/ pengasuh? Apakah ia dapat ditenangkan orang tua atau pengasuh atau pemeriksa? Apakah anak menangis terus atau tampak agitasi sekalipun dilakukan pendekatan yang lembut?

10

Apakah ia dapat memfokuskan penglihatan? Apakah pandangannya kosong? Apakah anak berbicara atau menangis dengan kuat? Apakah suaranya lemah?

Look/Gaze

Speech/Cry

2) Upaya Napas Upaya napas merefleksikan usaha anak mengatasi gangguan oksigenasi dan ventilasi. Karakteristik hal yang dinilai adalah :  Suara napas yang tidak normal  Posisi tubuh yang khas  Retraksi  Cuping hidung Tabel 2. Penilaian Upaya Napas Karakteristik Suara napas yang tidak normal

Hal yang dinilai Mengorok, parau, stridor, merintih, menangis Posisi tubuh yang tidak normal Sniffing, tripoding, menolak berbaring, head bobbing Retraksi Supraklavikula, intercostal, subternal Cuping hidung Napas cuping hidung 3) Sirkulasi Kulit Sirkulasi kulit mencerminkan kecukupan curah jantung dan perfusi ke organ vital. Hal yang dinilai (tabel 5):  Pucat  Mottling  Sianosis Tabel 3. Penilaian Sirkulasi Kulit Karakteristik Pucat

Mottling Sianosis

Hal yang dinilai Kulit atau mukosa tampak kurang merah karena kurangnya aliran darah ke darah tersebut Kulit berbercak kebiruan akibat vasokontriksi Kulit dan mukosa tampak biru

11

Penilaian ketiga hal ini, tanpa menyentuh anak, telah dapat memberikan gambaran kasar tentang kegawatan anak dengan cepat. Secara ringkas penggunaan PAT dapat dilihat pada gambar dibawah ini: Gawat Napas Upaya napas ↑

Penampilan (N)

Sirkulasi kulit (N)

Gagal Napas

Penampilan ↓

Upaya napas ↑/↓

Sirkulasi kulit N/↓

Syok Penampilan ↓

Upaya napas (N)

Sirkulasi kulit ↓

12

Gangguan Metabolic, Gangguan Primer Susunan Syaraf Pusat atau Intoksikasi

Penampilan ↓

Upaya napas (N)

Sirkulasi kulit (N) b) Metoda ‘ABCDE’ Teknik ini dilakukan dengan pemeriksaan fisik

pada anak.

Komponen pemeriksaan: 1) Airway (Jalan Napas) Sekalipun dengan teknik ‘PAT’ telah diketahui adanya obstruksi jalan napas, namun derajat obstruksi perlu lebih terinci, antara lain untuk tindakan resusitasi. Menilai jalan napas (airway) pada anak dengan kesadaran menurun dilakukan dengan teknik ‘look, listen, feel’ yaitu membuka jalan napas dengan posisi sniffing, lalu melihat pengembangan dada sambil mendengar suara napas dan merasakan udara yang keluar dari hidung/mulut. Penilaian jalan napas diekspresikan sebagai: 

Jalan napas bebas



Jalan napas masih dapat dipertahankan



Jalan napas harus dipertahankan dengan intubasi



Obstruksi total jalan napas

2) Breathing (kinerja napas) Kinerja napas dinilai dengan menghitung frekuensi napas, menilai upaya napas dan penampilan anak. Sesuai tingkat tumbuh kembang anak, frekuensi normal berbeda-beda dengan perubahan usia (tabel 4). Frekuensi napas juga dipengaruhi oleh berbagai

13

keadaan. Pernapasan yang cepat dapat terjadi pada demam, nyeri, ketakutan / kecemasan, atau emosi yang meningkat. Pernapasan yang lambat dapat terjadi pada anak yang kelelahan akibat gawat napas yang tidak segera ditolong. Karena itu dalam menilai upaya napas perlu diperhatikan nilai ekstrim. Frekuensi napas di atas 60 kali/menit untuk semua usia, apalagi disertai retraksi dan kesadaran menurun sangat mungkin menandakan gagal napas. Freksuensi napas kurang dari 20 kali/menit untuk anak di bawah 6 tahun dan 15 kali/menit untuk anak kurang dari 15 tahun juga harus mendapat perhatian khusus. Tabel 4. Frekuensi Pernapasan Normal Sesuai Usia Rentang Normal Rata – Rata (x/menit) (x/menit) Bayi baru lahir 30 – 50 40 1 tahun 20 – 40 30 3 tahun 20 – 30 25 6 tahun 16 – 22 19 14 tahun 14 – 20 17 Dewasa 12 -20 18 Sumber : DeLaune dkk (2002) dalam Oda Debora (2017) Usia

Penilaian upaya

napas

dilakukan

dengan

melihat,

mendengar, juga menggunakan stetoskop dan alat pulseoxymetrybila ada. Interpretasi suara napas abnormal dapat dilihat dalam tabel 5. Tabel 5. Interprestasi suara napas abnormal Suara Stridor Meningitis Merintih (Grunting) pada ekspirasi

Penyebab Obstruksi jalan napas atas Obstruksi jalan napas bawah Oksigenasi tidak adekuat

Contoh Diagnosis Croup, benda asing, abses retrofarings Asma, benda asing, bronkiolitis Kontusi paru, pneumonia, tenggelam, IRDS

14

Ronkhi basah pada inspirasi Suara napas tidak ada dengan upaya napas yang meningkat

Cairan lender atau darah dalam jalan napas  Obstruksi jalan napas total  Gangguan transmisi suara

Pneumonia, kontusi paru  

Benda asing asma berat, pneumothorax, hemathorax Efusi pleura, pneumonia, pneumothorax

Pulseoxymetry merupakan alat sederhana untuk menilai kinerja napas. Pembacaan di atas saturasi 94% secara kasar dapat menunjukkan kecukupan oksigenasi. Pembacaan di bawah 90% pada anak dengan oksigen 100% dapat menunjukkan bahwa anak memerlukan

ventilator.

Interpretasi

pulseoxymetry harus

dilakukan bersama dengan penilaian upaya napas, frekuensi napas dan penampilan anak. Anak dengan gangguan napas kadangkadang masih dapat mempertahankan kadar oksigen darah dengan work of breathingyang meningkat. Sementara anak dengan kelainan jantung bawaan biru dapat menunjukkan saturasi yang rendah tanpa distress napas. 3) Circulation (sirkulasi) Penilaian sirkulasi dilakukan dengan menghitung denyut jantung, perfusi organ dan tekanan darah. Denyut jantung normal sesuai usia dapat dilihat dalam tabel 6. Takikardi dapat merupakan tanda awal hipoksia atau perfusi yang buruk. Namun dapat juga terjadi pada demam, nyeri, ketakutan, dan emosi yang meningkat. Bradikardi dapat memerikan indikasi hipoksia atau iskemia. Perfusi organ dapat dinilai dengan menilai denyut nadi perifer, capillary refill timedan tingkat kesadaran. Produksi urine juga merupakan

indikator

yang

baik,

namun

biasanya

kurang

diperhatikan orang tua. Perhatikan kualitas nadi. Bila nadi brakial kuat, biasanya anak tidak mengalami hipotensi. Bila denyut nadi perifer tidak teraba, cobalah meraba di femoral atau karotis. Tidak

15

adanya denyut nadi sentral merupakan indikasi untuk segera dilakukan tindakan pijat jantung. Capillary refill time normal kurang dari 2-3 detik. Namun demikian capillary refill time dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan, misalnya suhu udara yang dingin. Tabel 6. Rentang Normal Hasil Pengukuran Nadi Usia

Frekuensi Denyut Nadi per Menit Bayi (0 – 1 tahun) 120 – 160 Toddler (1 – 4 tahun) 90 – 140 Pra sekolah (5 - <6 tahun) 80 -110 Usia sekolah (6 - <18 tahun) 75 – 100 Remaja (10 – 18 tahun) 60 – 90 Dewasa (.18 tahun) 60 – 100 Sumber : DeLaune dkk (2002) dalam Oda Debora (2017) Tekanan darah dipengaruhi ukuran manset. Lebar manset yang benar adalah duapertiga panjang lengan atas. Pemeriksaan tekanan darah membutuhkan kooperasi anak. Tekanan darah tinggi pada anak yang tidak berkooperasi baik mungkin dapat menyesatkan. Namun tekanan darah rendah menandakan syok. Formula tekanan darah sistolik terendah: Tekanan Sistolik minimal= 70 + 2 x umur (dalam tahun)

4) Disability (Status Neurologik) Evaluasi neurologik meliputi fungsi korteks dan batang otak. Fungsi korteks dinilai dengan skala ‘AVPU’ (tabel 7). Anak dengan penurunan skala AVPU pasti disertai kelainan penampilan pada skala PAT. Anak

dengan

sakit atau cedera sedang

dapat

mengalami gangguan penampilan pada skala PAT, namun mempunyai skala AVPU pada tingkat A (A= Alert).

16

Tabel 7. Skala “AVPU” Kategori

Rangsang

Tipe Respon

Reaksi

‘Alert’

Lingkungan normal

Sesuai

Interaksi normal untuk tingkat usia

‘Verbal’

Perintah sederhana atau rangsang suara Nyeri

 Sesuai  Tidak sesuai

 Bereaksi terhadap nama  Tidak spesifik/bingung

 Menghindar rangsang  Mengeluarkan suara tanpa tujuan atau dapat melokalisasi nyeri  Postur ‘Unrespon Tidak ada respon yang dilihat terhadap semua sive’ rangsang ‘Pain’

 Sesuai  Tidak sesuai  Patologis

Skala lain yang banyak digunakan untuk menilai fungsi korteks adalah skala koma Glasgow. Penggunaan skala koma Glasgow untuk pasien gawat di lapangan seringkali di anggap tidak praktis dan kontroversial. Untuk mengevaluasi fungsi batang otak dilakukan

pemeriksaan

pola

napas

sentral,

postur

tubuh

(dekortikasi/deserebrasi/flacid), pupil dan reaksinya terhadap cahaya serta evaluasi syaraf kranial lain. Refleks pupil dapat menjadi tidak normal akibat hipoksia, obat-obatan, kejang atau herniasi batang otak. Penilaian lebih lanjut dilakukan atas gerakan motorik. Perhatikan gerakangerakan asimetrik, kejang, posture atau flasiditas. Pemeriksaan neurologis lebih lengkap dilakukan pada tahap pemeriksaan tambahan. 5) Exposure (Paparan) Untuk melengkapi perlu juga dinilai hal lain yang dapat langsung terlihat, contoh: ruam akibat morbili, hematoma akibat

17

trauma, dan sebagainya. Ketika melakukan pemeriksaan jagalah agar anak (terutama bayi) tidak kedinginan. c) Memutuskan untuk tindakan selanjutnya Setelah melengkapi tahap ‘PAT’ dan ‘ABCDE’, sekaligus resusitasi bila dibutuhkan, petugas medis harus memutuskan tindakan selanjutnya yang meliputi: 

Meneruskan resusitasi



Melakukan pemeriksaan / pemantauan lebih lanjut



Merujuk Proses ini amat tergantung pada kemampuan petugas, fasilitas

yang ada dan sistim penanggulangan kegawatan medis setempat. Bila fasilitas terbatas, lebih baik untuk cepat melakukan rujukan untuk anak berisiko, antara lain: 

Cedera berat



Riwayat penyakit berat (contoh: serangan asma yang berat yang tidak memberikan respon adekuat terhadap pengobatan)



Kelainan fisiologi yang terdekteksi pada pengamatan awal



Kelainan anatomis yang dapat memberikan akibat fatal



Nyeri hebat

2) Pengkajian Sekunder Pengkajian sekunder membahas mengenai proses anamnesis riwayat kesehatan sekarang, riwayat kesehatan dahulu, riwayat kesehatan keluarga dan pemeriksaan fisik head to toe untuk menilai perubahan bentuk, luka dan cedera yang dialami pasien anak. Pengkajian ini hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tandatanda syok telah mulai membaik. Pemeriksaan diagnostic dan kolaborasi Pemeriksaan diagnostic diperlukan untuk melengkapi proses pengkajian gawat darurat pada pasien anak, meliputi : Endoskopi, bronkoskopi, CT scan, USG, dan lain-lain.

18

b. Diagnosa Keperawatan dalam Kegawatdaruratan Pediatri Diagnosa keperawatan pada anak tergantung pada masalah yang dihadapi pasien. Beberapa diagnosa keperawatan yang dapat terjadi pada pasien dengan masalah anak adalah: 1) Perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan penurunan aliran oksigen. 2) Bersihan jalan tidak efektif berhubungan dengan akumulasi secret, spasme jalan napas. 3) Deficit volume cairan berhubungan dengan pengeluaran yang berlebihan (diare). 2.

Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan pada Anak dengan Kejang Demam

a.

Pengertian Kejang demam adalah bangktan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 38o C) yang disebabkan oleh proses extracranium (Bararan dan Jaumar 2013). Sedangkan menurut Wulandari dan Erawati (2016), kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering ditemukan pada anak-anak, terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun.

b. Klasifikasi Klasifikasi kejang demam dibagi menjadi 2 yaitu : 1) Kejang Demam Sederhana Kejang demam yang berlangsung singkat kurang dari 15 menit dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk tonik dan klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24jam. 2) Kejang Demam Kompleks Kejang lama lebih dari 15menit, kejang fokal atau persial, kejang berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam (Wulandari dan Erawati, 2016).

19

c.

Etiologi Penyebab kejang demam Menurut Risdha (2014) yaitu: Faktor –faktor perinatal, malformasi otak kongenital. 1) Faktor Genetika Faktor keturunan merupakan salah satu penyebab terjadinya kejang demam, 25-50% anak yang mengalami kejang demam memiliki anggota keluarga yang pernah mengalami kejang demam. 2) Penyakit Infeksi a) Bakteri: penyakit pada traktus respiratorius, pharingitis, tonsillitis, otitis media. b) Virus: varicella (cacar), morbili (campak), dengue (virus penyebab demam berdarah). 3) Demam Kejang demam cenderung timbul dalam 24 jam pertama pada waktu sakit dengan demam tinggi. 4) Gangguan Metabolisme Gangguan metabolisme seperti uremia, hipoglikemia, kadar gula darah kurang dari 30 mg% pada neonates cukup bulan dan kurang dari 20 mg% pada bayi dengan berat badan lahir rendah atau hiperglikemia. 5) Trauma Kejang berkembang pada minggu pertama setelah kejadian cedera kepala. 6) Neoplasma, Toksin Neoplasma dapat menyebabkan kejang pada usia berapa pun, namun mereka merupakan penyebab yang sangat penting dari kejang pada usia pertengahan dan kemudian ketika insiden penyakit neoplastik meningkat. 7) Gangguan Sirkulasi 8) Penyakit degeneratif susunan saraf

20

d. Manifestasi Klinis Menurut Wulandari & Erawati (2016) manifestasi kejang demam yaitu: 1) Kejang demam mempunyai kejadian yang tinggi pada anak yaitu 34%. 2) Kejang biasanya singkat, berhenti sendiri, banyak dialami oleh anak lakilaki. 3) Kejang timbul dalam 24 jam setelah suhu badan naik diakibatkan infeksi disusunan saraf pusat seperti otitis media dan bronchitis 4) Bangkitan kejang berbentuk tonik-klonik 5) Takikardi: pada bayi, frekuensi sering di atas 150-200 kali permenit e.

Komplikasi Kompikasi kejang demam menurut Waskitho (2013) yaitu: 1) Kerusakan Neorotransmiter Lepasnya muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel ataupun membrane sel yang menyebabkan kerusakan pada neuron. 2) Epilepsi Kerukan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang di kemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsy yang spontan. 3) Kelainan Anatomi di Otak Serangan kejang yang berlangsung lama yang dapat menyebabkan kelainan diotak yang lebih banyak terjadi pada anak berumur 4 bulan sampai 5 tahun. 4) Kecacatan atau kelainan neorologis karena disertai demam

f.

Penatalaksanaan Penatalaksanaan kejang demam menurut Wulandari & Erawati (2016) yaitu: 1) Penatalaksanaan Keperawatan a) Saat terjadi serangan mendadak yang harus diperhatikan pertama kali adalah ABC ( Airway, Breathing, Circulation)

21

b) Setelah ABC aman. Baringkan pasien ditempat yang rata untuk mencegah terjadinya perpindahan posisi tubuh kearah Danger c) Kepala dimiringkan dan pasang sundip lidah yang sudah dibungkus kasa. d) Singkarkan benda-benda yang ada di sekitar pasien yang bisa menyebabkan bahaya. e) Lepaskan pakaian yang mengganggu pernapasan. f)

Bila suhu tinggi berikan kompres hangat

g) Setelah pasien sadar dan terbangun berikan minum air hangat h) Jangan diberikan selimut tebal karena uap panas akan sulit akan dilepaskan. 2) Penatalaksanaan Medis a) Bila pasien datang dalam keadaan kejang obat utama adalah diazepam untuk membrantas kejang secepat mungkin yang diberi secara IV (intravena), IM (Intra muskular), dan rektal. Dosis sesuai BB:< 10 kg;0,5,0,75 mg/kg BB dengan minimal dalam spuit 7,5 mg, > 20 kg ; 0,5 mg/kg BB. Dosis rata-rata dipakai 0,3 mg/kg BB/kali dengan maksimal 5 mg pada anak berumur kurang dari 5 tahun,dan 10 mg pada anak yang lebih besar. b) Untuk mencegah edema otak , berikan kortikosteroid dengan dosis 2030 mg/kg BB/ hari dan dibagi dalam 3 dosis atau sebaiknya glukortikoid misalnya deksametazon 0,5-1 ampul setiap 6 jam. c) Setelah kejang teratasi dengan diazepam selama 45-60 menit disuntikan antipileptik

dengan

daya

kerja

lama

misalnya

fenoberbital,

defenilhidation diberikan secara intramuskuler. Dosis awal neonatus 30 mg: umur satu bulan-satu tahun 50 mg, umur satu tahun keatas 75 mg.

22

g.

Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan pada Anak dengan Kejang Demam

1) Pengkajian a) Primary Survey  Airway: Kaji apakah ada muntah, pendarahan, benda asing dalam mulut seperti lender dan dengar bunyi nafas.  Breathing: kaji kemampuan bernafas klien  Circulation: Kaji denyut nadi  Disability: Lihat secara keseluruhan kemampuan pasien diantaranya kesadaran  Eksposure: Keadaan pasien ( injury akibat kejang demam )  Menilai koma (coma = C) atau kejang (Convultion = C) atau kelainan status mental lainnya. Apakah koma? periksa tingkat kesadaran dengan skala AVPU A = sadar (Alert) V = memberikan reaksi pada suara (voice) P = Memberikan reaksi pada sakit (pain) U = Tidak sadar (Unconscious) b) Secondary Survey  Riwayat Kesehatan -

Saat terjadi demam: keluhan sakit kepala, sering menangis, muntah atau diare, nyeri batuk, sulit mengeluarkan dahak, sulit makan, tidur tak nyenyak. Tanyakan intake output cairan, peningkatan suhu tubuh dan obat yang dikonsumsi

-

Adanya riwayat sejak demam pada pasien dan keluarga

-

Adanya riwayat infeksi saluran nafas, OMA, Pneumonia, Gastroenteriks, Faringiks, Brontrope, Umoria, Morbilivarisela dan campak.

-

Adanya riwayat trauma kepala

23

 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik biasanya didapatkan: Fase iktal: gigi mengatup, sianosis, pernafasan cepat/ menurun, peningkatan sekresi mucus,peningkatan nadi, sedangkan post iktal dapat ditemukan apnea. Akibat kejang dapat terjadi fraktur, kerusakan jaringan lunak/gigi cedera selama kejang. Pada aktivitas dan kekuatan otot terjadi keletihan, kelemahan umum, perubahan tonus otot/ kekuatan otot. Mual, muntah yang berhubungan dengan aktivitas kejang. Di intergumen ditemukan : Akral hangat, kulit kemerahan, demam. 2) Diagnosa dan Intervensi Keperawatan a) Diagnosa 1: Hipertermia berhubungan dengan Proses Penyakit

NOC: Thermoregulation Kriteria hasil: 

Suhu tubuh dalam rentang normal



Nadi dan RR dalam rentang normal



Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing

NIC: Fever Treatment 1. Monitor suhu sesering mungkin 2. Monitor IWL 3. Monitor warna dan suhu kulit 4. Monitor tekanan darah, nadi, dan RR 5. Monitor penurunan tingkat kesadaran 6. Monitor WBC, Hb, dan HCT 7. Monitor intake dan output 8. Kolaborasikan pemberian anti piretik 9. Berikan pengobatan untuk mengatasi penyebab demam 10. Selimuti pasienLakukan tapidsponge 11. Berikan cairan intravena

24

12. Kompres pasien pada lipatan paha dan aksilaTingkatkan sirkulasi udara 13. Berikan pengobatan untuk mencegah terjadinya menggigil Temperature Regulation 1. Monitor suhu minimal tiap 2 jam 2. Rencanakan monitoring suhu secara continue 3. Monitor TD, nadi, RR 4. Monitor warna dan suhu kulit 5. Monitor tanda-tanda hipertermi dan hipotermi 6. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi 7. Selimuti pasien untuk mencegah hilangnya kehangatan tubuh 8. Ajarkan pada pasien cara mencegah hilangnya keletihan akibat panas 9. Diskusikan tentang pentingnya pengaturan suhu dan kemungkinan efek negatif dari kedinginan 10. Beritahukan tentang indikasi terjadinya keletihan dan penanganan emergency yang diperlukan 11. Ajarkan indikasi dari hipotermi dan penanganan yang diperlukan 12. Berikan anti piretik jika perlu Vital Sign Monitoring 1. Monitor TD, nadi, suhu, dan RRCatat adanya fluktuasi tekanan darah 2. Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau berdiriAukultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan 3. Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan setelah aktivitas 4. Monitor kualitas dari nadi 5. Monitor frekuensi dan irama pernapasan 6. Monitor suara paru 7. Monitor pola pernapasan abnormal 8. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit 9. Monitor sianosis periferMonitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)

25

10. Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign b) Diagnosa 2: Resiko injury berhubungan dengan infeksi mikroorganisme NOC: Risk Kontrol Kriteria Hasil: •

Klien terbebas dari cedera



Klien mampu menjelaskan cara/metode untuk mencegah injury/cedera



Klien mampu menjelaskan factor resiko dari lingkungan/perilaku personal



Mampu memodifikasikan gaya hidup untuk mencegah injury



Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada



Mampu mengenali perubahan status kesehatan

NIC: Environment Management (Manajemen lingkungan) 1. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien 2. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan kondisi fisik dan fungsi kognitif pasien dan riwayat penyakit terdahulu pasien 3. Menghindarkan lingkungan yang berbahaya (misalnya memindahkan perabotan) 4. Memasang side rail tempat tidur 5. Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih 6. Menempatkan saklar lampu ditempat yang mudah dijangkau pasien 7. Membatasi pengunjung 8. Memberikan penerangan yang cukup 9. Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien 10. Mengontrol lingkungan dari kebisingan 11. Memindahkan barang-barang yang dapat membahayakan 12. Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau pengunjung adanya perubahan status kesehatan dan penyebab penyakit

26

c) Diagnosa 3: Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan intake yang kurang dan diaporesis. NOC: 

Fluid balance



Hydration



Nutritional Status : Food and Fluid Intake

Kriteria Hasil: •

Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal, HT normal



Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal



Tidak ada tanda dehidrasi, Elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan

NIC: Fluid Management 1.

Timbang pokok/pembalut jika diperlukan

2.

Pertahankan catatan intake dan output yang akurat

3.

Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik), jika diperlukan

4.

Monitor vital sign

5.

Monitor masukkan makanan/cairan dan hitung intake kalori harian

6.

Lakukan terapi IV

7.

Monitor status nutrisi

8.

Berikan cairan

9.

Berikan cairan IV pada suhu ruangan

10. Dorong masukkan oral 11. Berikan penggantian nasogatrik sesuai output

27

12. Dorong keluarga untuk membantu pasien makan 13. Tawarkan snack (jus buah, buah segar) 14. Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul memburuk 15. Atur kemungkinan transfuse 16. Persiapan untuk transfuse h. Evidence Based Practice pada Anak dengan Kejang Demam Di Asia terdapat sekitar 20% kejadian keajng demam yang kompleks. Umumnya timbul pada usia 17–23 bulan. Biasanya sering terjadi pada anak lakilaki (Manjoer, dkk, 2000). Kejang berpengaruh terhadap kecerdasan jika terlambat untuk penanganan menyebabkan epilepsy bahkan keterbelakangan mental. Kejang demam ialah kebangkitan kejang yang terjadi kenaikan suhu tubuh diatas 38°C yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Faktor resikonya ialah demam. Penanganan: Menurut Ngastiah (1997), terdapat tiga faktor: 1.

Memberantas kejang secapat mungkin. Bila keadaan convulsifus obat utama ialah diazepam.

2.

Pengobatan penunjang a. Posisi kepala dimiringkan untuk mencegah aspirasi isi lambung b. Usahakan jalan napas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen c. Penghisapan lendir dilakukan teratur d. Diberikan oksigen e. Semua pakaian ketat dibuka f. Awasi kesadaran g. Kompres hangat

3.

Mencari dan mengobati penyebab untuk menyingkirnya adanya infeksi di otak diperlukan fungsi lumbal. Pada pasien yang kejang lama pemeriksaan lebih intensif seperti fungsi lumbal, darah rutin, gula darah, faal hati, elektrolit bila perlu rotgen kepala, EKG, ensefallografi.

28

Menurut Grene (2005) 1. Buka pakaian, hanya sisakan celana dalam, pastikan memperoleh banyak udara segar tanpa kedinginan 2. Singkirkan benda di sekelilingnya untuk menghindari cidera. Basuh tubuh dengan air hangat dari kepala dan turun kearah tubuhnya jangans sampai kedinginan 3. Setelah tubuh mendingin kejang akan berhenti, gulingkan tubuhnya hingga ia berbaring miring dan jaga kepala agar tetap menengadah ke belakang. Selimuti dengan selimut tipis jika suhunya naik lagi basuh kembali. Tujuan Pengobatan Kejang Demam pada Anak 1. Mencegah kejang demam berulang 2. Mencegah status epilepsy 3. Mencegah retardasi mental 4. Menormalisasi kehidupan anak dan keluarga Pencegahan kejang demam berulang terdapat 2 cara : 1. Profilaksis intermittent yaitu saat demam. Pilihan obat harus cepat masuk ke otak, antipiretik saja dan fenobarbital tidak mencegah timbulnya kejang berulang ( Rosman, dkk ) 2. Profilaksis terus menerus dengan anti konfulsan tiap hari. Diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang berakhir kemudian dihentikan 1-2 bulan secara bertahap. Profilaksis ini berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat tetapi tidak mencegah epilepsy dikemudian hari. Pemberian fenobarbital 4-5mg/kgbb/hari dan asam valfroat 15-40mg/kgbb/hari. a. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis b. Terdapat riwayat kejang demam genetic c. Kejang demam lebih dari 15menit d. Kejang demam pada bayi kurang dari 12 bulan.

29

i.

Pendidikan Kesehatan pada Anak dengan Kejang Demam

1) Pencegahan Primordial Yaitu upaya pencegahan munculnya faktor predisposisi terhadap kasus kejang demam pada seorang anak dimana belum tampak adanya faktor yang menjadi risiko kejang demam. Upaya primordial dapat berupa: a) Penyuluhan kepada ibu yang memiliki bayi atau anak tentang upaya untuk meningkatkan status gizi anak, dengan cara memenuhi kebutuhan nutrisinya. Jika status gizi anak baik maka akan meningkatkan daya tahan tubuhnya sehingga dapat terhindar dari berbagai penyakit infeksi yang memicu terjadinya demam. b) Menjaga sanitasi dan kebersihan lingkungan. Jika lingkungan bersih dan sehat akan sulit bagi agent penyakit untuk berkembang biak sehingga anak dapat terhindar dari berbagai penyakit infeksi. 2) Pencegahan Primer Pencegahan primer yaitu upaya awal pencegahan sebelum seseorang anak mengalami kejang demam. Pencegahan ini ditujukan kepada kelompok yang mempunyai faktor risiko. Dengan adanya pencegahan ini diharapkan keluarga/orang terdekat dengan anak dapat mencegah terjadinya serangan kejang demam. Upaya pencegahan ini dilakukan ketika anak mengalami demam. Demam merupakan faktor pencetus terjadinya kejang demam. Jika anak mengalami demam segera kompres anak dengan air hangat dan berikan antipiretik untuk menurunkan demamnya meskipun tidak ditemukan bukti bahwa pemberian antipiretik dapat mengurangi risiko terjadinya kejang demam. 3) Pencegahan Sekunder Yaitu upaya pencegahan yang dilakukan ketika anak sudah mengalami kejang demam. Adapun tata laksana dalam penanganan kejang demam pada anak meliputi: a) Pengobatan Fase Akut Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga agar jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak

30

dimiringkan untuk mencegah aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga berlangsung terus atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus dilakukan teratur, bila perlu dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat dan pemberian antipiretik. Pemberantasan kejang dilakukan dengan cara memberikan obat antikejang kepada penderita. Obat yang diberikan adalah diazepam. Dapat diberikan melalui intravena maupun rektal. b) Mencari dan Mengobati Penyebab Pada anak, demam sering disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan akut, otitis media, bronkitis, infeksi saluran kemih, dan lainlain. Untuk mengobati penyakit infeksi tersebut diberikan antibiotik yang adekuat. Kejang dengan suhu badan yang tinggi juga dapat terjadi karena faktor lain, seperti meningitis atau ensefalitis. Oleh sebab itu pemeriksaan cairan serebrospinal (lumbal pungsi) diindikasikan pada anak penderita kejang demam berusia kurang dari 2 tahun. Pemeriksaan laboratorium lain dilakukan atas indikasi untuk mencari penyebab, seperti pemeriksaan darah rutin, kadar gula darah dan elektrolit. Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang demam kompleks atau anak yang mempunyai risiko untuk mengalami epilepsi. c)

Pengobatan Profilaksis Terhadap Kejang Demam Berulang Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan karena menakutkan keluarga dan bila berlangsung terus dapat menyebabkan kerusakan otak yang menetap. Terdapat 2 cara profilaksis, yaitu: - Profilaksis intermitten pada waktu demam Pengobatan profilaksis intermittent dengan antikonvulsan segera diberikan pada saat penderita demam (suhu rektal lebih dari 38ºC). Pilihan obat harus dapat cepat masuk dan bekerja ke otak. Obat yang dapat diberikan berupa diazepam, klonazepam atau kloralhidrat supositoria.

31

- Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari Indikasi pemberian profilaksis terus menerus adalah: 

Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan atau gangguan perkembangan neurologis.



Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada orang tua atau saudara kandung.



Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan neurologis sementara atau menetap. Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang multipel dalam satu episode demam. Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun

setelah kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan. Pemberian profilaksis terus menerus hanya berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat, tetapi tidak dapat mencegah timbulnya epilepsi di kemudian hari. Obat yang dapat diberikan berupa fenobarbital dan asam valproat. 4) Pencegahan Tersier Tujuan utama dari pencegahan tersier adalah mencegah terjadinya kecacatan, kematian, serta usaha rehabilitasi. Penderita kejang demam mempunyai risiko untuk mengalami kematian meskipun kemungkinannya sangat kecil. Selain itu, jika penderita kejang demam kompleks tidak segera mendapat penanganan yang tepat dan cepat akan berakibat pada kerusakan sel saraf (neuron). Oleh karena itu, anak yang menderita kejang demam perlu mendapat penanganan yang adekuat dari petugas kesehatan guna mencegah timbulnya kecacatan bahkan kematian.

Related Documents


More Documents from ""