Kelapa Sawit.pdf

  • Uploaded by: Retno A. Ambarwati
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kelapa Sawit.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 5,032
  • Pages: 14
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. MINYAK SAWIT KASAR/ CRUDE PALM OIL (CPO) 1. Botani Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinneensis Jacq) merupakan tumbuhan tropis golongan palma yang termasuk tanaman tahunan. Kelapa sawit (Elaies guinneensis Jacq) adalah tanaman perkebunan berupa pohon batang lurus dari famili Palmae. Tanaman tropis yang dikenal sebagai penghasil minyak nabati ini berasal dari Benua Amerika. Brazil dipercaya sebagai tempat dimana pertama kali kelapa sawit tumbuh (Lubis 1992). Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada daerah tropika basah di sekitar 15 ºLintang Utara- 15 ºLintang Selatan pada ketinggian 0-500 m di atas permukaan laut (Lubis 1992). Curah hujan minimum untuk pertumbuhan kelapa sawit adalah 1000-1500 mm/tahun dan terbagi rata sepanjang tahun. Suhu optimum pertumbuhan tanaman kelapa sawit sebesar 26 oC dengan kelembaban rata-rata 75%. Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh pada bermacammacam tanah, dengan syarat gembur, aerasi dan drainase baik, dan kaya akan humus pada pH optimum 5.5-7 (LITPAN 1992). Menurut Naibaho (1998), tanaman kelapa sawit sudah mulai menghasilkan buah pada usia 24-30 bulan dan mencapai puncaknya setelah 12-15 tahun. Buah yang pertama keluar masih dinyatakan dalam buah pasir yang memiliki arti belum dapat diolah dalam pabrik karena masih mengandung kadar minyak yang rendah. Buah sawit berukuran kecil antara 12-18 gram/butir yang duduk pada bulir. Setiap bulir terdiri dari 10-18 butir tergantung pada kesempurnaan penyerbukan. Beberapa bulir bersatu membentuk tandan. Saat ini terdapat empat tipe atau varietas kelapa sawit yang biasa ditanam oleh petani ataupun perusahaan sawit. Menurut Ketaren (2005), keempat varietas tersebut dibedakan berdasarkan ketebalan tempurung seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Beda tebal tempurung dari berbagai tipe kelapa sawit. Tipe Tebal Tempurung (mm) Macrocarya >5 Dura 3-5 Tenera 2-3 Pisifera <2 Sumber : Ketaren (2005)

Buah sawit mempunyai warna bervariasi dari hitam, ungu, hingga merah tergantung bibit yang digunakan. Buah terdiri dari tiga lapisan, yaitu eksokarp, mesokarp, dan endokarp. Penampang melintang buah kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 1. Menurut Naibaho (1998), hasil utama dari buah sawit adalah minyak sawit dan minyak inti sawit. Minyak sawit terdapat pada bagian mesokarp, sedangkan minyak inti sawit terdapat pada bagian endokarp. Minyak sawit dan minyak inti sawit terbentuk setelah 100 hari setelah penyerbukan dan berhenti setelah 180 hari atau setelah minyak dalam buah sudah jenuh. Pembentukan minyak akan berakhir jika tandan yang bersangkutan telah terdapat buah yang membrondol.

3

Mesokarp Kernel

Tempurung Gambar 1. Penampang melintang buah kelapa sawit. Penggunaan kelapa sawit sangat luas, yaitu 90% digunakan untuk bahan pangan dan 10% untuk bahan non-pangan. Komponen dalam minyak sawit yang digunakan sebagai bahan pangan adalah minyaknya, baik minyak sawit maupun minyak inti sawit. 2. Teknologi Produksi CPO Pengolahan buah kelapa sawit menjadi CPO melalui beberapa stasiun proses, yaitu: a. Stasiun penerimaan buah (fruit reception) Stasiun ini berfungsi menerima buah sawit yang telah dipanen dari kebun. Pada stasiun ini dilakukan penimbangan terhadap buah sawit. Untuk menghindari kerusakan akibat penimbunan tandan buah segar (TBS), maka TBS harus segera diproses (Corley & Tinker 2003) b. Stasiun perebusan (sterilizer) Buah yang telah ditimbang selanjutnya direbus dengan menggunakan uap panas. Proses sterilisasi umumnya dilakukan pada bejana tekan horizontal (Basiron 2005). Proses sterilisasi dilakukan dengan uap bertekanan 3 kg/cm2 pada suhu 143 ºC selama satu jam (Basiron 2005 dan Corley & Tinker 2003). Perebusan yang terlalu lama dapat menyebabkan penurunan kadar minyak dan pemucatan kernel, namun perebusan yang terlalu cepat menyebabkan buah tidak dapat rontok dari tandannya. Tujuan perebusan pada tahapan produksi CPO adalah mematikan enzim lipase yang menyebabkan kenaikan asam lemak bebas (ALB), mempermudah pelepasan buah dari tandan dan inti dari cangkang, memperlunak buah sehingga mempermudah saat proses penebahan, dan mengkoagulasikan protein sehingga memudahkan saat pemurnian minyak (Basiron 2005). c. Stasiun penebahan (threshing station) Buah yang telah distrerilisasi selanjutnya dikirim ke stasiun penebahan untuk dipisahkan dari tangkainya (Corley & Tinker 2003). Menurut Basiron (2005) ada dua metode pemisahan buah dari tangkai, yaitu dengan getaran dan pukulan. Namun saat ini pemisahan buah dari tangkainya sudah menggunakan drum yang berputar dengan kecepatan 20-25 rpm. Brondolan buah sawit yang keluar dari bagian bawah drum ditampung oleh sebuah conveyor lalu diangkat dengan fruit elevator untuk dikirim ke bagian digesting dan pressing. d. Stasiun kempa (pressing station) Pada stasiun ini daging buah dan biji diekstrak atau diperas sehingga menghasilkan minyak. Proses ekstraksi dilakukan pada suhu 90-100 ºC selama 20 menit (Basiron 2005).

4

e. Stasiun pemurnian minyak (clarification station) Minyak kasar hasil pengepresan mengandung 66% minyak, 24% air, dan 10% padatan (Basiron 2005). Menurut Corley dan Tinker (2003) proses pemurnian minyak bertujuan mendapatkan kadar air, kadar kotoran, dan ALB yang sesuai dengan standar. Tahapan proses di stasiun klarifikasi adalah tahap penyaringan crude oil dengan vibrating screen, tahap pemisahan minyak pada tangki, tahap pemurnian minyak, tahap pengambilan minyak dari sludge, dan tahap pengurangan kadar air.

B. SIFAT FISIKO KIMIA MINYAK SAWIT 1.

Sifat Kimia Minyak Sawit Menurut Naibaho (1998) tanaman kelapa sawit menghasilkan dua jenis minyak nabati, yaitu minyak sawit dan minyak inti sawit. Kedua jenis minyak tersebut mempunyai perbedaan karakteristik seperti tersaji pada Tabel 2. Minyak sawit merupakan hasil ekstraksi daging buah (mesokarp) dari tanaman Elaeis guinneensis. Minyak inti sawit merupakan hasil pengepresan endokarp dari tanaman Elaeis guinneensis. Tabel 2 Sifat fisiko kimia minyak sawit kasar dan minyak inti sawit Sifat Bobot jenis pada suhu kamar Indeks bias D (40 ºC) Bilangan Iod (g Iod/100 g minyak) Bilangan penyabunan (mg KOH/g minyak)

Minyak Sawit 0.900 1.4565-1.4585 48-56 196-205

Minyak Inti Sawit 0.900-0.913 1.495-1.415 14-20 244-254

Sumber : Ketaren (2005)

Bilangan Iod menggambarkan derajat ketidakjenuhan suatu lemak yang dihitung berdasarkan perbandingan asam lemak jenuh dan tidak jenuh penyusun lemak tersebut. Data pada Tabel 2 menunjukan bilangan Iod minyak sawit dan minyak inti sawit adalah 48-56 dan 14-20 g Iod/100 g minyak. Perbedaan ini terjadi karena asam lemak penyusun kedua minyak tersebut berbeda. Asam lemak dominan penyusun minyak sawit adalah 47% asam palmitat dan 41% asam oleat (Basiron 2005). Keseimbangan antara asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh penyusun minyak sawit menyebabkan bilangan Iod minyak sawit berkisar 48-56 g Iod/100 g minyak. Minyak inti sawit tersusun atas 48% asam laurat, 16% asam miristat, dan 15% asam oleat (Pantrazis & Basiron 2002). Asam lemak dominan penyusun minyak inti sawit adalah asam laurat yang merupakan asam lemak jenuh. Hal inilah yang menyebabkan bilangan Iod minyak inti sawit rendah yaitu berkisar 14-20 g Iod/100 g minyak. Menurut Ketaren (2005), bilangan penyabunan adalah jumlah alkali yang dibutuhkan untuk menyabunkan sejumlah minyak. Bilangan penyabunan dinyatakan dalam miligram kalium hidroksida yang dibutuhkan untuk menyabunkan satu gram minyak atau lemak. Kalium hidroksida akan bereaksi dengan asam lemak membentuk garam asam lemak. Bilangan penyabunan minyak sawit lebih rendah daripada bilangan penyabunan minyak inti sawit karena pada minyak sawit terdapat komponen yang tidak tersabunkan. Menurut Lin (2002) dalam minyak sawit terdapat komponen yang tidak dapat disabunkan seperti sterol, pigmen, dan hidrokarbon. CPO tersusun atas 50% asam lemak jenuh dan 50% asam lemak tidak jenuh. Keseimbangan antara asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh menyebabkan CPO lebih stabil terhadap oksidasi dibanding minyak nabati lainnya dan CPO berwujud semisolid 5

pada suhu ruang (Basiron 2005). Menurut Rohani et al. (2006), komponen utama dalam CPO adalah triacylglicerol (TAG) yaitu sebesar 95%. TAG merupakan kombinasi dari gliserol dan tiga asam lemak. Komposisi asam lemak dan TAG penyusun minyak sawit dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4 Tabel 3 Asam lemak penyusun minyak sawit. Jenis asam lemak Komposisi (%) Asam kaprat (C10:0) 1-3 Asam laurat (C12:0) 0.1-1 Asam miristat (C14:0) 0.9-1.5 Asam palmitat (C16:0) 41.8-46.8 Asam palmitoleat (C16:1) 0.1-0.3 Asam stearat (C18:0) 4.2-5.1 Asam oleat (C18:1) 37.3-40.8 Asam linoleat (C18:2) 9.1-11.0 Asam linolenat (C18:3) 0-0.6 Asam arakhidonat (C20:0) 0.2-0.7 Sumber : Basiron (2005)

Tabel 4 Komposisi TAG penyusun minyak sawit Jenuh 1 ikatan ganda 2 ikatan ganda 3 ikatan ganda [%b/b] [%b/b] [%b/b] [%b/b] MPP 0.29 MOP 0.83 MLP 0.26 MLO 0.14 PMP 0.22 MPO 0.15 MOO 0.43 PLO 6.59 PPP 6.91 POP 20.02 PLP 6.36 POL 3.39 PPS 1.21 POS 3.5 PLS 1.11 SLO 0.60 PSP 0.12 PMO 0.22 PPL 1.17 SOL 0.30 PPO 7.16 SPL 0.10 OSL 0.11 PSO 0.68 POO 20.54 OOO 5.38 SOS 0.15 SOO 1.81 OPL 0.61 SPO 0.63 SPO 1.86 OSO 0.81 Lainnya 0.16 0.34 0.19 0.15 Total 9.15 33.68 34.01 34.01

4 ikatan ganda [%b/b] PLL 1.08 OLO 1.71 OOL 1.76 OLL 0.56 LOL 0.14

0.22 5.47

M : asam lemak miristat P: asam lemak palmitat S: asam lemak stearat O: asam lemak oleat L : asam lemak linolenat Sumber : Gee (2007)

CPO memiliki dua komponen asam lemak terbesar yaitu asam palmitat dan asam oleat. Kandungan asam palmitat pada minyak sawit sebesar 41.8-46.8%, sedangkan asam oleat sebesar 37.3-240.8% (Basiron 2005). Asam palmitat adalah asam lemak jenuh rantai panjang yang memiliki titik cair (melting point) yang tinggi, yaitu 64 ºC (Belitz & Grosch 1999). Kandungan asam palmitat yang tinggi membuat minyak sawit tahan terhadap oksidasi. Asam oleat adalah asam lemak tidak jenuh dengan rantai panjang C18 dan memiliki dua ikatan rangkap. Titik cair oleat adalah 14 ºC (Ketaren 2005). TAG dominan penyusun minyak sawit adalah POP dengan titik leleh 38 ºC (Smith 2001). Setiap TAG memiliki titik leleh tertentu yang bergantung pada derajat kejenuhan dan panjang rantai asam lemak penyusunnya. 6

Selain kandungan asam lemak terdapat juga komponen minor pada minyak sawit yang mempengaruhi kualitasnya. Kandungan komponen minor pada CPO dapat dilihat pada Tabel 5. Kandungan komponen minor mempunyai peranan penting dalam kestabilan minyak walaupun kandungannya hanya 1%. Faktor lain yang menentukan kualitas minyak sawit adalah bau, flavor, dan warna. Menurut Ketaren (2005), asam lemak dan TAG tidak berwarna. Bau khas minyak sawit ditimbulkan oleh gugus beta ionone dari karotenoid. Bau menyimpang pada minyak sawit terbentuk akibat kerusakan asam lemak rantai pendek. Tabel 5 Kandungan komponen minor pada CPO Komponen minor Kandungan (ppm) Karoten 500-700 Tokoferol dan tokotrienol 600-1000 Sterol 326-527 Ubiquinone 10-80 Squalene 200-500 Phospolipid 5-130 Triterpene alkohol 40-80 Metil sterol 40-80 Alifatik alkohol 100-200 Sumber : Lin (2002)

CPO mempunyai warna merah yang diakibatkan oleh adanya karotenoid. CPO mengandung 500-700 ppm karotenoid (Basiron 2005). Karotenoid yang terdeteksi terdiri dari α-karoten, β-karoten, dan likopen dalam jumlah yang sedikit sekali (Muchtadi & Sugiyono 1992). Karotenoid sangat larut dalam minyak. Bila minyak dihidrogenasi maka warna merah dari karotenoid akan berkurang. Karotenoid memiliki sifat tidak stabil pada suhu tinggi. Pada minyak sawit, kandungan karotenoid jarang dihilangkan sepenuhnya karena merupakan pro vitamin A (Winarno 1992). Menurut Hartley (1987) terdapat dua jenis warna buah sawit yang berbeda, satu berwarna merah dan lainnya berwarna oranye. Kedua warna buah tersebut memberikan kandungan karoten yang berbeda. Pada buah yang berwarna merah, total karoten di dalam mesokarp kering berkisar 207 mg per 100 gram, dan total karoten dalam minyak berkisar 2560 ppm, sedangkan untuk buah yang berwarna oranye, total karoten di dalam mesokarp hanya 89 mg per 100 gram, dan total karoten dalam minyak hanya 1100 ppm. Perbedaan lain antara minyak sawit dengan minyak nabati lainnya adalah adanya kandungan tokoferol dan tokotrienol. Menurut Law dan Thiaharajan (1989), tokoferol dan tokotrienol (vitamin E) ditemukan dalam produk minyak sawit berkisar dari 600-1000 ppm dengan komposisi 83% tokotrienol dari total vitamin E. Menurut Basiron (2005) kandungan tokoferol dan tokotrienol pada minyak sawit yang telah dimurnikan akan berkurang sebesar 50%. Tokoferol dan tokotrienol sangat penting bagi kesehatan karena befungsi sebagai antioksidan alami (pengikat radikal bebas). 2.

Sifat Fisik Minyak Sawit Sifat fisik minyak sawit yang penting untuk diketahui antara lain densitas, indeks refraktif, slip melting point (SMP), dan solid fat content (SFC). Menurut Winarno (1992), SMP merupakan suhu saat minyak atau lemak berubah wujud dari padat menjadi cair. Titik leleh minyak atau lemak ditentukan oleh ada tidaknya ikatan rangkap pada asam lemak 7

penyusunnya. Komposisi asam lemak pada CPO beraneka ragam yang masing-masing memiliki titik leleh berbeda-beda sehingga titik leleh CPO merupakan suatu kisaran. Menurut Lin (2002), SFC merupakan jumlah kandungan lemak padat yang terdapat pada suatu lemak. Lemak padat dihasilkan dari proses kristalisasi. Nilai SFC sering digunakan untuk menggambarkan daya oles (spreadability) suatu bahan pangan pada suhu tertentu. Karakteristik fisik minyak sawit yang diteliti oleh Lin (2002) dan Basiron (2005) tersaji pada Tabel 6. Tabel 6 Karakteristik fisik minyak sawit Karakteristik

Kisaran

Indeks Refraktif (50 ºC) Densitas (50 ºC) Slip Melting Point (ºC)

1.4544-1.4550

Rata-rata (a)

1.4548(a)

1.455-1.456(b)

1.455(b)

0.8896-0.8910(a)

0.8899(a)

0.888-0.889(b)

0.889(b)

32-40(a) 31.1-37.6(b)

34.2(b)

50.7-68(b)

60.5(b)

46.1-60.8(a)

53.7(a)

40.0-55.2(b)

49.6(b)

33.4-50.8(a)

39.1(a)

27.2-39.7(b)

34.7(b)

21.6-31.3(a)

26.1(a)

14.7-27.9(b)

22.5(b)

12.1-20.7(a)

16.3(a)

6.5-18.5(b)

13.5(b)

6.1-14.3(a)

10.5(a)

4.5-14.1(b)

9.2(b)

3.5-11.7(a)

7.9(a)

1.8-11.7(b)

6.6(b)

0.0-8.3(a)

4.6(a)

0.0-7.5(b)

4(b)

Solid Fat Content (SFC) 5 ºC 10 ºC 15 ºC 20 ºC 25 ºC 30 ºC 35 ºC 40 ºC

0.7(b)

45 ºC (a)

Sumber : Lin (2002)

(b)

Basiron (2005)

SFC menunjukkan banyaknya kandungan lemak padat pada suatu lipid. Menurut Basiron (2005), kandungan TAG menentukan SFC CPO. Pada suhu 10 ºC, SFC CPO mencapai 50% dan akan berkurang menjadi separuhnya saat suhu 20 ºC. Penambahan 10% diacylgliserol (DAG) akan menurunkan 20% SFC.

8

C. KRISTALISASI LEMAK 1.

Mekanisme Kristalisasi Lemak Pada proses pengolahan produk pangan berbasis lemak, sangat penting untuk mengontrol kristalisasi lemak untuk mendapatkan jumlah, ukuran, polimorfisme, dan fase dispersi kristal yang diinginkan. Pada produk pangan berbasis lemak, kristalisasi lemak sangat dipengaruhi oleh kristalisasi TAG, namun kristalisasi komponen lemak lainnya yaitu DAG, monoacylglicerol (MAG), dan fosfolipid juga turut berperan besar. Menurut Winarno (1992), bila suatu lemak didinginkan, hilangnya panas akan memperlambat gerakan molekul-molekul dalam lemak, sehingga jarak antar molekul lebih kecil. Jika jarak antar molekul tersebut mencapai 5Ǻ, maka akan timbul gaya tarik menarik antar molekul. Akibat adanya gaya ini, radikal-radikal asam lemak dalam molekul lemak akan tersusun berjajar dan saling bertumpuk serta membentuk ikatan kristal. Pemadatan lemak akibat proses kristalisasi merupakan proses yang tidak sederhana. Parameter-parameter proses seperti suhu, gaya geser, agitasi, dan laju aliran produk sangat menentukan terjadinya kristalisasi (Man et al. 1989). Faktor-faktor tersebut juga menentukan bentuk struktur kristalin produk berlemak. Menurut Lawler dan Dimick (2002), proses kristalisasi dari larutan membutuhkan kondisi lewat jenuh (supersaturation), dilanjutkan dengan kondisi lewat dingin (supercooling), sehingga akan terjadi pembentukan inti (nucleation) dan pertumbuhan kristal (crystal growth). Menurut Metin dan Hartel (2005), driving force untuk terjadinya kristalisasi adalah adanya perbedaan suhu aktual (T) di bawah suhu titik leleh (melting temperature, Tm) TAG. Pada lemak alami, terjadi interaksi yang kompleks diantara campuran TAG dengan jenis asam lemak dan titik leleh yang berbeda. Hal ini menyebabkan lemak alami memiliki kisaran titik leleh yang lebar. Beberapa peneliti menggunakan titik leleh TAG tertinggi sebagai acuan driving force kristalisasi. Bila lemak didinginkan di bawah titik leleh dari komponen TAG dengan titik leleh tertinggi, akan terdapat rasio antara lemak padat terhadap lemak cair yang tergantung pada kondisi campuran TAG, yang dikenal dengan kandungan lemak padat (solid fat content/SFC). Menurut Lawler dan Dimick (1998), saat bulk minyak dikristalisasi, massa minyak tidak terkristalisasi secara serempak. Pada kenyataannya, kristalisasi dimulai pada sisi-sisi tertentu saat suhu mencapai tingkat yang mampu membentuk inti kristal. Dengan demikian, saat lemak yang dilelehkan mengalami pendinginan, akan terbentuk produk dengan tekstur granular akibat kristalisasi yang terjadi secara bertahap (gradual) pada setiap gliserida. Kristalisasi pada lemak alami diawali dengan pembentukan kristal yang tipis dan berupa platelet yang cukup panjang, dan dilanjutkan dengan agregasi kristal lemak membentuk spherulites dari ukuran beberapa mikron hingga 300 mm. Bila kristalisasi terjadi sangat lambat, kristal spherulites yang sangat besar akan terbentuk. Sebaliknya, pendinginan yang cepat pada suhu rendah akan menghasilkan kristal yang halus dan acak. Dengan demikian, laju pendingian merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan mikrostruktur kristal lemak (Metin & Hartel 2005). Menurut Richard et al.(2000), lemak yang telah dilelehkan memiliki kecenderungan untuk mengingat struktur dan bentuk kristal sebelum dilelehkan. Untuk menghilangkan ingatan tersebut, lemak harus dipanaskan pada suhu 30 oC di atas titik lelehnya.

9

2.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kristalisasi Lemak Parameter yang mempengaruhi kristalisasi lemak juga akan mempengaruhi kinetika kristalisasinya. Parameter yang mempengaruhi kristalisasi lemak meliputi komposisi TAG, laju pendinginan, agitasi, suhu kristalisasi, dan komponen minor pada lemak. a. Laju Pendinginan (Cooling Rate) Kristalisasi lemak sangat dipengaruhi oleh laju pendinginan. Pendinginan cepat menyebabkan nukleasi terjadi pada suhu yang lebih rendah dibanding dengan pendinginan lambat. Laju pendinginan juga berpengaruh pada laju nukleasi, yang mempengaruhi ukuran kristal. Pendinginan cepat sampai suhu rendah menyebabkan laju nukleasi cepat dan mengakibatkan pembentukan kristal kecil. Ketika lemak didinginkan dengan lambat, kristal terbentuk dengan ukuran yang lebih besar. Laju pendinginan juga mempengaruhi mikrostruktur kristal (Metin & Hartel 2005) Pada laju pendinginan cepat, akan terbentuk kristal-kristal lemak yang lebih kecil dan seragam dibandingkan bila pendinginan dilakukan pada laju lambat. Bila pada lemak terlalu banyak kristal-kristal kecil (dari tipe kristal α), struktur lemak akan menjadi terlalu rapat. Kapiler antar padatan akan menyempit, dan mengakibatkan kristal-kristal saling mengunci dengan cairan yang ada di sekelilingnya (Che & Swe 1995). Menurut Lawson (1995), ketika MAG didinginkan secara cepat, kristal pertama yang terbentuk adalah bentuk α. Bentuk kristal ini akan berubah secara irreversible menjadi bentuk β‟ yang lebih stabil. Pada akhirnya kristal β‟ akan berubah menjadi bentuk kristal β yang merupakan bentuk kristal paling stabil. Pada proses pendinginan minyak dan lemak yang dilakukan secara mendadak, terjadi pembentukan kristal campuran dari TAG yang bertitik leleh tinggi dan rendah (Man et al. 1989). Di lain pihak, pendinginan cepat yang dibantu dengan proses pengadukan menyebabkan terjadinya kristalisasi TAG bertitik leleh tinggi dan rendah pada waktu yang bersamaan (Borwanker et al. 1992). Pengadukan dan agitasi juga dapat memperlunak tekstur produk dan menurunkan kadar lemak padat (solid fat content/SFC) selama penyimpanan (Herrera & Hartel 2000). b. Komponen Minor Menurut Metin dan Hartel (2005), komponen minor yang dapat mempengaruhi kristalisasi lemak adalah lemak yang lebih polar seperti DAG, MAG, asam lemak bebas, fosfolipid, dan sterol. Kehadiran komponen ini mempercepat proses kristalisasi lemak tetapi pada keadaan lain dapat menghambat. Adanya komponen-komponen pengotor lain selain lemak (impurities), akan berpengaruh terhadap terjadinya kristalisasi (Miskandar et al. 2003). Menurut Timms (1997), adanya kotoran dalam minyak biasanya menyebabkan penurunan laju nukleasi. Diasumsikan bahwa kotoran tersebut mengotori sisi pertumbuhan kristal pada inti kristal. Sejumlah kecil pengotor dapat menurunkan laju nukleasi hingga beberapa kali lipat. Metin dan Hartel (2005) menyebutkan bahwa adanya pengotor pada crude oil akan mempercepat terjadinya kristalisasi lemak. Dengan demikian proses kristalisasi CPO akan berlangsung lebih kompleks dibandingkan kristalisasi RBDPO. Menurut Siew dan Ng (1996), kristalisasi RBD olein ditentukan oleh adanya perbedaan titik leleh dari komponen TAG maupun adanya gliserida parsial lain seperti DAG dan MAG.

10

c. Komposisi TAG Lemak alami mengandung beberapa jenis TAG dengan asam lemak yang berbeda panjang rantainya, dan derajat kejenuhannya. Basiron (2005) mengemukakan bahwa minyak sawit mengandung kombinasi asam-asam lemak dengan panjang rantai dan derajat ketidakjenuhan yang berbeda, dan di dalamnya terkandung TAG dengan titik leleh yang rendah dan tinggi. Kristalisasi minyak sawit pada pendinginan yang terkontrol diikuti dengan proses separasi akan menghasilkan fase cairan bertitik leleh rendah (olein), dan fase padat bertitik leleh tinggi (stearin), dengan rasio olein terhadap stearin sekitar 7:3 (Ong et al. 1995). CPO mengandung 4-8% DAG, yang dapat membentuk campuran eutectic dengan TAG, yang menghasilkan kadar padatan yang rendah dan dapat memperlambat laju kristalisasi. MAG dalam CPO kurang dari 1% dan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap proses kristalisasi (Basiron 2005). d. Agitasi Kecepatan pengadukan umumnya mempengaruhi nukleasi dan pertumbuhan kristal. Namun, pengaruh laju pengadukan sangat kompleks karena terkadang sulit untuk mengetahui perbedaan pengadukan dan laju pendinginan pada kristalisasi. Menurut Metin dan Hartel (2005), agitasi menaikkan nukleasi karena adanya mekanisme penggangguan terhadap supply energi. Laju pendinginan lambat dan agitasi lambat pada lemak menghasilkan kenaikan sejumlah kristal sehingga cakupan pelelehan meningkat. Laju agitasi tinggi menghasilkan laju kristalisasi yang tinggi pula dan kristal lemak yang kecil. e. Suhu Kristalisasi Parameter yang paling penting dalam mempengaruhi kristalisasi lemak adalah suhu kristalisasi dimana lemak membeku di bawah titik lelehnya. Ketika suhu kristalisasi dinaikkan, maka suhu nukleasi meningkat dan waktu induksi untuk kristalisasi bertambah. Pada lemak alami dimana panjang rantai asam lemaknya berbeda, kristal lemak dapat terbentuk jika panjang rantai dan titik lelehnya berdekatan (Metin & Hartel 2005). 3.

Kinetika Kristalisasi Lemak Pengetahuan mengenai kinetika kristalisasi lemak penting untuk menentukan parameter proses (suhu kristalisasi dan laju pendinginan) yang tepat agar dihasilkan produk dengan jumlah, ukuran, dan polimorfisme kristal lemak yang diinginkan. Pemodelan kinetika kristalisasi lemak telah dilakukan, yaitu model Avrami dan model Fisher-Turnbull. Model Fisher-Turnbull melihat nukleasi berdasarkan pada perubahan energi (Metin & Hartel 2005). Menurut Himawan et al. (2006), model Avrami banyak digunakan untuk melihat kinetika kristalisasi lemak saat isotermal. Model Avrami menggambarkan laju kristalisasi dan mekanisme pembentukan inti kristal lemak (nucleation). Menurut Metin dan Hartel (2005), persamaan Avrami (Persamaan 1), banyak digunakan untuk menggambarkan proses nukleasi dan pertumbuhan kristal lemak.

1 − 𝐹 = exp[−𝑘𝑡 𝑛 ] (1)

11

F adalah fraksi kristal yang terbentuk selama waktu kristalisasi t (menit), k adalah laju kristalisasi konstan yang ditentukan terutama oleh suhu kristalisasi, dan n adalah eksponen Avrami. Eksponen Avrami (n) adalah fungsi dari dimensi pertumbuhan kristal, dan menggambarkan mekanisme nukleasi dan pertumbuhan kristal secara detail (Tabel 7). Metin dan Hartel (1998) menggunakan model persamaan Avrami untuk melihat kinetika kristaliasi lemak pada cocoa butter, lemak susu, dan milk fat fraction. Eksponen Avrami (n) untuk cocoa butter, lemak susu, dan milk fat fraction masing-masing bernilai 4,3, dan 2. Nilai eksponen Avrami (n) bernilai 4, 3, dan 2 menunjukkan pembentukan inti secara heterogenous nucleation, instantaneous nuclei, dan high nucleation rate. Tabel 7. Hubungan antara mekanisme pertumbuhan kristal lemak dengan eksponen Avrami (n) Mekanisme pertumbuhan kristal Nilai konstanta n** Polyhedral 4 Plate-like 3 Silinder 2 ** n = indeks persamaan Avrami. Sumber : Toro et al. (2002).

Nilai k secara langsung berhubungan dengan waktu setengah kristalisasi (t1/2). Laju kristalisasi (k) sangat dipengaruhi oleh suhu kristalisasi. Menurut Martini et al.(2002), suhu kristalisasi yang tinggi menyebabkan driving force kristalisasi rendah sehingga laju kristalisasi rendah. Selain itu, laju kristalisasi mempunyai hubungan terbalik dengn waktu induksi dan waktu setengah kristalisasi. Waktu induksi merupakan waktu ketika fraksi kristal yang terbentuk bertambah secara cepat dari fraksi kristal awal (Metin & Hartel 1998). Waktu setengah kristalisasi (t1/2) menunjukkan jumlah waktu dalam menit yang dibutuhkan untuk membentuk 50% fraksi kristal (Martini et al. 2002). 4.

Polimorfisme Lemak Pada minyak alami banyak terkandung berbagai jenis TAG dengan panjang asam lemak dan derajat ketidakjenuhan yang berbeda. Perbedaan komposisi ini menyebabkan terjadinya proses kristalisasi yang sangat kompleks. Dalam pembentukan latis (lattice) kristal, molekul TAG dapat mengalami beberapa bentuk kristal yang sangat ditentukan oleh kondisi proses, dan fenomena ini dikenal dengan polimorfisme (Metin & Hartel 2005). Sifat kristalisasi TAG yang mencakup laju kristalisasi, ukuran kristal, morfologi, dan total kristalinitas dipengaruhi oleh polimorfisme. Polimorfisme dipengaruhi oleh struktur molekul TAG, dan faktor eksternal seperti suhu, tekanan, laju kristalisasi, adanya pengotor, dan laju geser. Menurut Metin dan Hartel (2005) terdapat tiga kategori bentuk polimorfik lemak yaitu α, β dan β. Bentuk α paling tidak stabil dengan titik leleh dan panas laten peleburan paling rendah, sedangkan bentuk β bersifat paling stabil. Setiap polimorfik memiliki short spacings atau spasi pendek (jarak antara gugus asil paralel pada TAG), sifat dan ukuran yang berbeda, yang dapat digunakan untuk membedakan bentuk polimorfik berdasarkan pola difraksi sinar X (Tabel 8).

12

Tabel 8 Identifikasi bentuk polimorf lemak berdasarkan analisis difraksi sinar X pada spasi pendek (short spacings), sifat, dan ukuran. Bentuk Sel unit(a) Garis dan spasi pendek Sifat(b) Ukuran (a) polimorf (Ǻ) (µm)(b) α Heksagonal Satu garis tebal dan sangat Rapuh, 5 lebar pada 4.15 transparan, pipih β„ Ortorombik Dua garis tebal pada 4.2 Jarum halus 1 dan 3.8 β Triklinik Sebuah garis tebal pada 4.6 Besar-besar kadangdan kadang 100 berkelompok Sumber : (a)Metin dan Hartel (2005) (b) Fenema (1976) dalam Winarno (1992) Metin dan Hartel (2005) mengemukakan bahwa bentuk polimorfik yang paling tidak stabil biasanya terbentuk lebih dahulu pada lemak cair yang lewat dingin karena energi permukaannya yang lebih rendah. Laju transformasi polimorfik pada lemak alami yang mengandung banyak TAG berjalan sangat lambat. Bentuk α terjadi saat lemak mengalami pendinginan cepat, dan segera berubah menjadi bentuk β. Bentuk β dan β dapat bertahan pada waktu yang cukup panjang (beberapa jam atau hari). Untuk beberapa lemak tidak terjadi perubahan dari bentuk β menjadi β seperti yang terjadi pada lemak sawit. Menurut Sato dan Ueno (2005), perubahan bentuk polimorfisme dari α menjadi β yang paling stabil terjadi secara irreversible. Laju perubahan polimorfisme yang terbentuk sangat bergantung pada waktu dan suhu. Laju perubahan polimorfisme kristal lemak dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Laju perubahan polimorfik kristal lemak (Marangoni & McGauley 2003) Setiap lemak atau minyak mempunyai bentuk polimorf kristal lemak yang berbeda-beda. Menurut Marangoni dan McGauley (2003), cocoa butter mempunyai enam bentuk kristal lemak yaitu γ, α, β‟2, β‟1, β2, dan β1 dengan titik leleh dan kestabilan yang meningkat. Menurut Sato dan Ueno (2005), bentuk polimorfik kristal lemak yang pada minyak sawit ada tiga, yaitu α, β‟, dan β dengan kestabilan yang meningkat. Bentuk α dan β‟ terbentuk pada laju pendinginan cepat, sedangkan bentuk β terbentuk pada laju pendinginan lambat. Menurut O‟Brien (2009), bentuk polimorfik yang dominan pada minyak sawit adalah β‟.

13

D. KRISTALISASI MINYAK SAWIT Menurut Smith (2001), komposisi minyak sawit yang terdiri dari beraneka ragam TAG membuat minyak sawit tidak mengkristal pada suhu tertentu. Parameter untuk melihat terjadinya kristalisasi lemak pada minyak sawit salah satunya adalah solid fat content (SFC). SFC merupakan jumlah kandungan lemak padat pada suatu lipid. Nilai SFC mempunyai hubungan terbalik dengan suhu yang berarti semakin tinggi suhu akan menghasilkan SFC yang semakin kecil. Kurva hubungan suhu dengan SFC RBDPO ditunjukkan oleh Gambar 3.

Gambar 3 Kurva hubungan suhu dengan SFC pada sampel RBDPO (Smith 2001) Tarabukina et al. (2009) telah melakukan pengujian profil kristalisasi lemak RBDPO dengan menggunakan instrumen Differential Scanning Calorimetry (DSC) pada beberapa laju pendinginan (10, 5, dan 0.5 oC/menit). Laju pendinginan ternyata berpengaruh nyata terhadap entalpi kristalisasi dan waktu terjadinya kristalisasi tahap pertama. Melalui Gambar 4 dapat diketahui bahwa pada laju pendinginan yang lambat akan terjadi peningkatan suhu peak kristalisasi.

Gambar 4 Termogram DSC pada pendinginan CPO dari 70 oC hingga -30 oC pada beberapa laju pendinginan (-10, -5, dan -0.5 oC/menit). Berat masing-masing sampel 11.1, 9, dan 11.4 mg (Tarabukina et al. 2009). Pengaruh laju pendinginan terhadap sifat kristalisasi CPO telah dikaji oleh Chong et al. (2007) dengan instrumen coupling time-resolved synchrotron X-ray diffraction dan DSC 14

sensitivitas tinggi. Pengujian dilakukan pada laju pendinginan 0.1 dan 0.4 °C/menit, dari titik lelehnya hingga suhu -20 °C, untuk mengetahui bentuk penataan TAG sebagai fungsi dari suhu dan perlakuan panas. Pada laju pendinginan lambat, TAG CPO mengkristal secara bertahap dalam 2 struktur lamellar dengan panjang ikatan rangkap dua 41.9 Å dan panjang ikatan rangkap tiga 62.8 Å yang menumpuk, yang menunjukkan tipe kristal β‟. Hasil tersebut berkorelasi dengan dua puncak eksotermik pada suhu 26 and 8 °C. Pada CPO terjadi transisi tak dapat balik kristal β‟  β yang ditentukan oleh waktu. Proses ini terjadi pada suhu yang rendah, namun hanya terjadi pada populasi TAG yang sangat sedikit. Pemanasan bertahap pada laju pemanasan 1 °C/min menunjukkan tidak adanya penataan ulang struktur kristalin saat belum mencapai suhu pelelehan akhir. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar sistem berada pada kondisi ekuilibrium. Chong et al. (2007) juga mengemukakan bahwa kristalisasi CPO pada 0.4 oC/menit menunjukkan pembentukan struktur-struktur tambahan. Terdapat temuan yang tidak diduga yaitu adanya dua garis yang terkait dengan struktur 2L (bilayered) dan titik isobestic pada 4.42 Å. Dengan analisis yang sangat hati-hati, kedua garis tersebut dapat dipisahkan, dan keberadaan keduanya terkait dengan fenomena epitaxy/eutectic, yang ditunjukkan dengan munculnya susunan 3L (trilayered) pada waktu yang sama dengan saat rusaknya susunan 2L dan saat terjadinya titik isobestic. Munculnya bentuk kristal β dan β‟ secara bersamaan pada suhu yang tinggi menunjukkan bahwa seluruh sistem tersebut tidak berada dalam domain tiga fase, tetapi lebih menyerupai tiga fase (kristal β + β‟ + cairan) dimana tidak seluruh molekul TAG dapat tepat tersusun ke dalam struktur tunggal β‟. Hal ini sepertinya terkait dengan terjadinya pemisahan fase granular seperti yang terjadi pada margarin. Vuillequez et al. (2010) telah mempelajari pengaruh laju perubahan suhu (q = -0.5 °C/menit hingga -50 °C/menit) terhadap pembentukan fase RBDPO pada suhu rendah, dengan menggunakan analisis kalorimetri dan optik. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa laju pendinginan merubah polimorfisme TAG. Diperoleh dua fraksi yaitu fraksi cair dan fraksi padat yang mengandung fraksi cair TAG. Laju sentrifugasi dalam pemisahan fraksi olein dan stearin tidak berpengaruh pada jumlah fraksi yang diperoleh. Fraksi padat RBDPO lebih sensitif terhadap pengaruh laju pendinginan. Dengan mengubah laju pendinginan q, diketahui bahwa q = -3 o C/menit menjadi batas antara laju pendinginan lambat dan laju pendinginan cepat. Pada laju pendinginan lambat, TAG memiliki waktu yang cukup untuk berinteraksi. Sebaliknya pada laju pendinginan cepat, TAG tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengatur diri dalam konformasi yang lebih stabil. Hasil mikrograf menunjukkan bahwa kristal yang dihasilkan berupa spherulites, dengan ukuran kristal berbeda pada laju pendingian yang berbeda. Graef et al. (2008) telah mengembangkan metode reologi baru untuk memantau terjadinya kristalisasi RBDPO pada gaya geser tertentu. Metode tersebut dapat dibagi menjadi 2 tahap yaitu tahap 1 berupa pemberian gaya geser pada waktu tertentu dan kristalisasi dimonitor dengan mengukur viskositas terukur sebagai fungsi waktu isotermal. Pada tahap 2, gaya geser dihentikan dan osilasi diterapkan selama 30 detik dan dicatat sudut modulus dan fasenya. Sudut modulus dan fase tersebut dicatat sebagai karakteristik sampel yang dikristalisasi pada gaya geser dan waktu tertentu. Prosedur ini dilakukan pada beberapa waktu pemberian gaya geser di tahap pertama, dan sudut modulus kompleks dan fase diplotkan sebagai fungsi waktu isotermal pada beberapa gaya geser yang berbeda. Hasil tersebut kemudian dibandingkan dengan data kristalisasi yang diperoleh dari time resolved X-ray diffraction and polarized light microscopy. Selain itu Graef et al. (2009) juga telah mempelajari pengaruh gaya geser terhadap sifat polimorfik dan pengembangan mikrostruktur selama proses kristalisasi RBDPO (Gambar 5). Gaya geser pada laju geser yang rendah dan waktu yang singkat dapat memicu terjadinya 15

kristalisasi primer. Selain itu, adanya perlakuan gaya geser yang mengawali tahap kristalisasi statis juga sangat berpengaruh pada pengembangan mikrostruktur kristal RBDPO.

Gambar 5 Viskositas terukur RBDPO pada kristalisasi selama 30 menit pada beberapa laju geser dan suhu kristalisasi 25 oC (Graef et al. 2008). Pengaruh gaya geser terhadap kristal lemak yang terbentuk pada sampel RBDPO juga diamati oleh Graef et al. (2009) secara mikroskopi dengan mikroskop polarisasi cahaya (polarized light microscope/PLM) (Gambar 6). Pada laju geser yang semakin meningkat (1, 10 dan 100 s-1) yang diterapkan selama 30 menit, dan dilanjutkan proses kristalsasinya selama 30 menit berikutnya, akan dihasilkan ukuran kristal yang lebih besar. Agregat kristal pada laju geser yang lebih besar juga dihubungkan dengan kristal-kristal baru yang berperan dalam membentuk struktur jaringan lemak padat.

Gambar 6 Bentuk kristal lemak RBDPO yang dipotret menggunakan mikroskop polarisasi cahaya yang dikristalisasi pada suhu 25 oC selama 60 menit pada beberapa laju geser (g) 1 s-1, (h) 10 s-1, dan (i) 110 s-1 (Graef et al. 2009)

16

Related Documents

Kelapa Sawit.docx
May 2020 11
Kelapa Sawit.pdf
May 2020 10
Gula Kelapa 2007
April 2020 39
Pruning Kelapa Sawit.docx
November 2019 25

More Documents from "Sudarmono"