KEJANG A. Definisi Kejang merupakan sebuah perubahan perilaku yang bersifat sementara dan tiba –tiba yang merupakan hasil dari aktivitas listrik yang abnormal didalam otak. Jikagangguan aktivitas listrik ini terbatas pada area otak tertentu , maka dapat menimbulkankejang yang bersifat parsial, namun jika gangguan aktivitas listrik terjadi di seluruh areaotak maka dapat menimbulkan kejang yang bersifat umum. Perubahan ini terjadi karena adanya pergeseran nilai normal yangmenyeimbangkan eksitasi dan inhibisi didalam susunan saraf pusat, karena terlalu banyakfaktor yang dapat mempengaruhi nilai normal eksibilitas susunan saraf pusat maka adabanyak penyebab yang dapat menimbulkan kejang Epilepsi berasal dari bahasa Yunani, Epilambanmein yang berarti serangan. Dahulu masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan dipercaya juga bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Latar belakang munculnya mitos dan rasa takut terhadap epilepsi berasal hal tersebut. Mitos tersebut mempengaruhi sikap masyarakat dan menyulitkan upaya penanganan penderita epilepsi dalam kehidupan normal.Penyakit tersebut sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 2000 sebelum Masehi. Orang pertama yang berhasil mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan menganggap bahwa epilepsi merupakan penyakit yang didasari oleh adanya gangguan di otak adalah Hipokrates. Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap orang di seluruh dunia.12 Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal. 13 Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal (parsial) dan kejang umum.
Kejang fokal terjadi karena adanya lesi pada satu bagian dari cerebral cortex, di mana pada kelainan ini dapat disertai Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran. Disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut. Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran. Disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut.16 Kejang epilepsi harus dibedakan dengan sindrom epilepsi. Kejang epilepsi adalah timbulnya kejang akibat berbagai penyebab yang ditandai dengan serangan tunggal atau tersendiri.1 Sedangkan sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang ditandai dengan kejang epilepsi berulang, meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus, kronisitas.16 Kejang adalah kejadian epilepsi dan merupakan ciri epilepsi yang harus ada, tetapi tidak semua kejang merupakan manifestasi epilepsi.1 Seorang anak terdiagnosa menderita epilepsi jika terbukti tidak ditemukannya penyebab kejang lain yang bisa dihilangkan atau disembuhkan, misalnya adanya demam tinggi, adanya pendesakan otak oleh tumor, adanya pendesakan otak oleh desakan tulang cranium akibat trauma, adanya inflamasi atau infeksi di dalam otak, atau adanya kelainan biokimia atau elektrolit dalam darah. Tetapi jika kelainan tersebut tidak ditangani dengan baik maka dapat menyebabkan timbulnya epilepsi di kemudian hari.16
B. Epidemiologi Kejang merupakan kelainan neurologi yang paling sering terjadi pada anak, di mana ditemukan 4 – 10 % anak-anak mengalami setidaknya satu kali kejang pada 16 tahun pertama kehidupan. Studi yang ada menunjukkan bahwa 150.000 anak mengalami kejang tiap tahun, di mana terdapat 30.000 anak yang berkembang menjadi penderita epilepsi.17 Faktor resiko terjadinya epilepsi sangat beragam, di antaranya adalah infeksi SSP, trauma kepala, tumor, penyakit degeneratif, dan penyakit metabolik. Meskipun terdapat bermacam-macam faktor resiko tetapi sekitar 60 % kasus epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti. Berdasarkan jenis kelamin, ditemukan bahwa insidensi epilepsi pada anak laki – laki lebih tinggi daripada anak perempuan Epilepsi paling sering terjadi pada anak dan orang lebih tua (di atas Epilepsi paling sering terjadi pada anak dan orang lebih tua (di atas 65 tahun). Pada 65 % pasien, epilepsi dimulai pada masa kanak-kanak. Puncak insidensi epilepsi terdapat pada kelompok usia 0-1 tahun, kemudian menurun pada masa kanakkanak, dan relatif stabil sampai usia 65 tahun. Menurut data yang ada, insidensi per tahun epilepsi per 100000 populasi adalah 86 pada tahun pertama, 62 pada usia 1 – 5 tahun, 50 pada 5 – 9 tahun, dan 39 pada 10 – 14 tahun.2
C. Etiologi Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita sebut sebagai kelainan idiopatik.2 Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang fokal dan kejang umum. Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu :19
Tabel. Etiologi Epilepsi
Kejang Fokal
Kejang Umum
a. Trauma kepala
a.
Penyakit metabolik
b. Stroke
b.
Reaksi obat
c. Infeksi
c.
Idiopatik
d. Malformasi vaskuler
d.
Faktor genetik
e. Tumor (Neoplasma)
e.
Kejang fotosensitif
f. Displasia g. Mesial Temporal Sclerosis
Kejang terjadi karena sejumlah saraf kortikal mencetuskan lepas muatan listrik secara abnormal. Apapun yang mengganggu homeostasis normal dan stabilitas saraf, dapat memicu hipereksibilitas dan kejang. Ada ribuan kondisi medis yang dapat menyebabkan epilepsi, dari adanya mutasi genetik hingga luka trauma pada otak (Rogers dan Cavazos, 2008). Etiologi kejang perlu diketahui untuk menentukan jenis terapi yang tepat bagi pasien. Beberapa etiologi kejang pada pediatrik yang dikelompokkan berdasarkan umur antara lain sebagai berikut: Tabel Etiologi Kejang Berdasarkan Kelompok Umur Pediatrik Penyebab Terjadinya Kejang Berdasarkan Umur Neonatus (<1 bulan)
Hipoksia dan iskemia pada perinatal Trauma dan hemoragi intrakranial Infeksi akut pada SSP Gangguan metabolik (hipoglikemia, hipomagnesia, defisiensi piridoksin) Gejala putus obat Gangguan perkembangan Penyakit genetik
Bayi dan
Kejang karena demam
Anak-anak
Penyakit genetik
(>1 bulan,
Infeksi SSP
<12 tahun)
Gangguan perkembangan Trauma Idiopatik
Remaja
Gangguan perkembangan
(12-18 tahun) Infeksi Tumor otak Penggunaan obat terlarang Trauma Idiopatik
(Kasper dkk., 2008) Kejang terjadi akibat pengeluaran sejumlah neuron yang abnormal akibat dari berbagai proses patologi sehingga berdampak pada otak. Epilepsi bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu gejala yang dapat timbul karena suatu penyakit. Secara umum dapat dikatakan bahwa serangan epilepsi dapat timbul jika terjadinya pelepasan aktivitas energi yang berlebihan dan mendadak dalam otak, sehingga menyebabkan terganggunya kerja otak. Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu: a. Epilepsi primer atau epilepsi idiopatik Epilepsi primer tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak. Diduga terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal. Dalam jenis ini, tidak ada kelainan anatomik seperti trauma maupun neoplasma yang menimbulkan kejang, maka sindrom ini disebut epilepsi idiopatik atau primer. Kejang dapat ditimbulkan karena abnormalitas susunan sistem saraf pusat.
Epilepsi idiopatik merupakan 2/3 kasus yang tidak diketahui penyebabnya. Lebih kurang 65% dari seluruh kasus epilepsi tidak diketahui faktor penyebabnya (Harsono, 1991). Umumnya faktor genetik lebih berperan pada epilepsi idiopatik. Insidensi epilepsi idiopatik lebih tinggi pada anak-anak (Berg, 2006). Diduga bahwa serangan terjadi karena cetusan listrik abnormal yang terjadi akibat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam neuron-neuron pada area jaringan otak yang abnormal. Etiologi idiopatik digunakan pada kejang dengan tipe umum, sedangkan etiologi kriptogenik digunakan bila tidak ada penyebab yang diketahui pada onset kejang parsial. b. Epilepsi sekunder Disebut epilepsi sekunder berarti gejala yang timbul ialah akibat dari adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan bawaan sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak. Gangguan ini bersifat reversibel, misalnya karena tumor, trauma, luka kepala, infeksi atau radang selaput otak, penyakit keturunan seperti fenilketonuria (FKU) dan kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Epilepsi sekunder merupakan 1/3 kasus yang diketahui penyebabnya. Kelainan dapat terjadi bawaan atau pada masa perkembangan anak (Pedley, 1995). Beberapa faktor risiko yang sudah diketahui antara lain: trauma kepala, trauma persalinan, demam tingi, stroke, intoksikasi, tumor otak, masalah kardiovaskuler tertentu, gangguan keseimbangan elektrolit, infeksi (ensefalitis, meningitis) dan reaksi alergi. Untuk menentukan faktor penyebab dapat diketahui dengan melihat usia serangan pertama kali.
D. Anatomi E. Patogenesis epilepsi Serangan epilepsi disebabkan adanya proses eksitasi di dalam otak lebih dominan daripada proses inhibisi, dalam arti lain terjadi gangguan fungsi neuron. Perubahan-perubahan
di
dalam
eksitasi
aferen,
disinhibisi,
pergeseran
konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated-ion-channel opening dan menguatnya sinkroni neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik. Neurotransmiter eksitasi yaitu glutamat, aspartat dan asetilkolin, sedangkan neurotransmiter inhibisi yang paling dikenal adalah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Potensial aksi akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion-ion dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, serta gerakan keluar masuk ion-ion menembus membran neuron (Harsono, 2001). Aktivitas dari ion-ion tersebut yang menimbulkan potensial membran sel. Potensial membran neuron bergantung pada permeabilitas selektif membran neuron, yakni membran mudah dilewati oleh ion K dari ekstraseluler ke intraseluler dan kurang untuk ion Ca, Na dan Cl. Perbedaan konsentrasi yang dibuat ini yang akan menimbulkan potensial membran.
Beberapa mekanisme yang dapat mempengaruhi keseimbangan hipereksibilitas antara lain (Rogers dan Cavazos, 2008): a. Perubahan distribusi, jumlah, tipe dan kandungan kanal ion pada membran saraf. Faktor-faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilalui oleh ion Ca dan Na dari ruang ekstrasel ke intrasel. Influks dari Ca ini akan menimbulkan letupan depolarisasi membran dan melepas muatan listrik yang berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Cetusan listrik abnormal ini yang kemudian menstimulasi neuron-
neuron sekitarnya yang terkait di dalam sel. Sifat khas dari epilepsi ialah terjadinya penghentian serangan akibat proses inhibisi. Diduga sistem inhibisi ini merupakan pengaruh neuron-neuron disekitarnya. Keadaan lain yang menyebabkan hentinya serangan epilepsi ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak (Shih, 2007); b. Perubahan sistem biokimia reseptor; c. Modulasi dari second messaging systems dan ekspresi gen; d. Perubahan konsentrasi ion ekstraseluler; e. Perubahan pada uptake neurotransmitter dan metabolisme sel glial; f. Modifikasi pada rasio dan fungsi dari sirkuit inhibitor.
Perhatian utama pada serangan epilesi adalah adanya faktor pencetus. Faktorfaktor pencetus yang telah dikenal yaitu: a. Kurang tidur, berakibat pada gangguan aktivitas saraf-saraf otak; b. Stres emosional atau stres fisik yang berat; c. Infeksi yang biasanya disertai demam, terutama pada anak-anak; d. Anak dengan kejang demam kompleks memiliki risiko epilepsi yang lebih besar daripada anak dengan kejang sederhana; e. Obat-obat tertentu dan alkohol, misalnya sedatif atau antidepresan trisiklik; f. Perubahan hormonal; g. Terlalu lelah, sehingga terjadi hiperventilasi dengan peningkatan kadar CO2 darah yang dapat menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah otak.
F. Klasifikasi
Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 untuk kejang epilepsi Tabel. Klasifikasi Kejang Epilepsi No 1
Klasifikasi kejang epilepsi Kejang
Kejang
parsial
parsial
•
Kejang parsial sederhana dengan gejala motorik
•
sederhana
Kejang parsial sederhana dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus
•
Kejang parsial sederhana dengan gejala psikis
Kejang
•
Kejang parsial kompleks dengan
parsial
onset parsial sederhana diikuti
kompleks
gangguan kesadaran • Kejang parsial kompleks dengan gangguan kesadaran saat onset
Kejang
• Kejang parsial sederhana menjadi kejang umum
parsial yang menjadi
•
Kejang parsial kompleks menjadi kejang umum
kejang
Kejang parsial sederhana
generalisata •
menjadi kejang parsial kompleks
sekunder
dan kemudian menjadi kejang umum
2
Kejang
• Kejang absans
umum
• Absans atipikal • Kejang mioklonik • Kejang klonik • Kejang tonik-klonik • Kejang atonik
Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1989 untuk sindroma epilepsi : Tabel. Klasifikasi Sindroma Epilepsi No 1
Klasifikasi sindroma epilepsi Berkaitan
Idiopatik
• Epilepsi anak benigna dengan
dengan letak
gelombang
fokus
(Rolandik
paku di sentrotemporal
benigna) •
Epilepsi
anak
paroksimal oksipital Simtomatik
•
Lobus temporalis Lobus frontalis
• •
Lobus parietalis
•
Lobus oksipitalis
dengan
•
Kronik
parsialis progresif
kontinu Kriptogenik 2
Epilepsi
Idiopatik
•
umum
Kejang neonates
familial
benigna •
Kejang neonates benigna
•
Epilepsi mioklonik benigna pada bayi
•
Epilepsi absans pada anak (pyknolepsy)
•
Epilepsi absans pada remaja
•
Epilepsi
mioklonik
pada remaja •
Epilepsi dengan serangan tonik-klonik saat terjaga
Kriptogenik atau
•
•
Sindroma West (spasme bayi)
simtomatik •
Sindroma Lennox-Gastaut Epilepsi
dengan
kejang
mioklonik-astatik •
Epilepsi
dengan
mioklonik absans
Simtomatik
•
Etiologi non spesifik Ensefalopati mioklonik neonatal Epilepsi ensefalopati pada bayi Gejala epilepsi umum lain yang tidak dapat didefinisikan
•
Sindrom spesifik Malformasi serebral Gangguan metabolisme
3 Epilepsi dan Serangan • fokal sindrom
dan • umum
yang tidak Tanpa
Epilepsi mioklonik berat •
pada bayi
dapat
gambaran
Epilepsi dengan gelombang
ditentukan
tegas fokal
paku
fokal atau
atau umum
gelombang rendah tidur
generalisata
kontinu
selama
(Sindroma Taissinare) •
4
Kejang neonatal
Sindrom
Kejang
khusus
demam Status epileptikus Kejang berkaitan dengan gejala metabolik
Sindroma Landau-Kleffner
atau
toksik
akut
G. Faktor Risiko Gangguan stabilitas neuron – neuron otak yang dapat terjadi saat epilepsi, dapat terjadi saat :22 Tabel. Faktor Risiko Epilepsi Prenatal
Natal
a. Umur ibu saat hamil terlalu muda (<20 tahun) atau terlalu tua
b. Kehamilan
atau multipara
a. Kejang demam
b. Bayi dengan berat
b. Trauma kepala
(<2500 gram) dengan
eklamsia dan hipertensi c. Kehamilan
a. Asfiksia
badan lahir rendah
(>35 tahun)
primipara
Postnatal
c. Kelahiran prematur atau postmatur d. Partus lama
c. Infeksi SSP d. Gangguan metabolic
H. Gejala dan Tanda Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu : 1) Kejang parsial Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak atau satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya masih baik. a. Kejang parsial sederhana Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang parsial sederhana, kesadaran penderita masih baik. b. Kejang parsial kompleks Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana, tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan otomatisme. 2) Kejang umum Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya menurun. a. Kejang Absans Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak disertai amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.
b. Kejang Atonik Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan, leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama. c. Kejang Mioklonik Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat. Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
d. Kejang Tonik-Klonik Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat dan total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata mengalami deviasi ke atas.
Fase tonik
berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut jantung.
e. Kejang Klonik Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit. f. Kejang Tonik Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami jatuh akibat hilangnya keseimbangan,
I. Diagnosis Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil pemeriksaan EEG atau radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.24 1) Anamnesis Anamnesis merupakan langkah terpening dalam melakukan diagnosis epilepsi. Dalam melakukan anamnesis, harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Anamnesis dapat memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, ensefalitis, malformasi vaskuler, meningitis, gangguan metabolik dan obat-obatan tertentu. Penjelasan dari pasien mengenai segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat penting dan merupakan kunci diagnosis.24
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi : a. Pola / bentuk serangan b. Lama serangan c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan d. Frekuensi serangan e. Faktor pencetus f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang g. Usia saat terjadinya serangan pertama
h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga 2) Pemeriksaan fisik umum dan neurologis Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis, dapat dilihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, infeksi telinga atau sinus. Sebabsebab terjadinya serangan epilepsi harus dapat ditepis melalui pemeriksaan fisik dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Untuk penderita anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukan awal ganguan pertumbuhan otak unilateral.25 3) Pemeriksaan penunjang a. Elektroensefalografi (EEG) Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Terdapat dua bentuk kelaianan pada EEG, menunjukkan
kelainan
kemungkinan
Sedangkan adanya kelainan
adanya umum
fokal pada EEG lesi
struktural
di
otak.
pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal bila :
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak 2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya 3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal
Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu menentukan prognosis dan penentuan perlu atau tidaknya pengobatan dengan obat anti epilepsi (OAE).
b. Neuroimaging Neuroimaging
atau
yang
lebih
kita
kenal
sebagai
pemeriksaan radiologis bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Dua pemeriksaan yang sering digunakan Computer Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hippocampus kiri dan kanan.
J. Penatalaksanaan Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu : a.
Tatalaksana fase akut (saat kejang) Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin,
mencegah kejang berulang, dan mencari faktor penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan berhenti sendiri. Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat diberikan diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg bila berat badan anak > 10 kg. Jika kejang masih belum berhenti, dapat diulang setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua kali pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti, maka penderita dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit.
b.
Pengobatan epilepsi Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi terbebas dari serangan epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung mengakibatkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus menerus maka kerusakan sel-sel otak akan semakin
meluas
dan
mengakibatkan
menurunnya
kemampuan
intelegensi penderita. Karena itu, upaya terbaik untuk mengatasi kejang harus dilakukan terapi sedini dan seagresif mungkin. Pengobatan epilepsi dikatakan berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau dikontrol dengan obatobatan sampai pasien tersebut 2 tahun bebas kejang. Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu :29,30 1) Terapi medikamentosa Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa
diberikan
di
Indonesia
adalah
obat
golongan
fenitoin,
karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproat. Obat-obat tersebut harus diminum secara teratur agar dapat mencegah serangan epilepsi secara efektif. Walaupun serangan epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE harus tetap diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek samping yang
berat maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian obat dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan dosis terendah yang dapat mengatasi kejang.
Penggolongan Obat Anti Epilepsi 1). Hidantoin : Fenitoin Fenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang tonikklonik, dan pencegahan kejang pada pasien trauma kepala/bedah saraf. Keuntungan dari obat ini yaitu bekerja sebagai antikonvulsif kuat dan berbeda dari barbiturat, hanya bersifat sedatif lemah, malahan kadang-kadang bersifat stimulan. Fenitoin berefek stabilisasi pada semua membran neuronal, termasuk saraf perifer dan mungkin pada membran yang eksitabel maupun yang tidak eksitabel. Fenitoin menurunkan aliran ion Na yang tersisa maupun aliran ion yang mengalir selama aksi potensial atau depolarisasi karena proses khemis. Fenitoin menunda aktifasi aliran ion K keluar selama aksi potensial menyebabkan kenaikan periode „refractory’ dan menurunnya cetusan ulangan. Dosis Fenitoin dewasa diberikan dengan dosis awal 3-4 mg/kg BB/hari. Pemberian intravena tidak boleh melebihi 50 mg/menit. (Gofir dan Wibowo, 2001) 2). Barbiturat : Fenobarbital Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan kejang tonikklonik. Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan fenobarbital obat yang penting unTuk tipe-tipe epilepsi ini. Namun, efek sedasinya serta kecenderungannya menimbulkan gangguan perilaku pada anakanak telah mengurangi penggunaannya sebagai obat utama. Aksi utama fenobarbital terletak pada kemampuannya untuk menurunkan konduktan Na dan K. Fenobarbital menurunkan influks kalsium dan mempunyai efek langsung terhadap reseptor GABA (aktivasi reseptor barbiturat akan meningkatkan durasi
pembukaan reseptor GABAA dan meningkatkan konduktan post-sinap klorida). Selain itu, fenobarbital juga menekan glutamate excitability dan meningkatkan postsynaptic GABAergic inhibition. Dosis awal penggunaan fenobarbital 1-3 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 10-20 mg/kg 1kali sehari. Efek samping SSP merupakan hal yang umum terjadi pada penggunaan fenobarbital. Efek samping lain yang mungkin terjadi adalah kelelahan, mengantuk, sedasi, dan depresi. Penggunaan fenobarbital pada anak-anak dapat menyebabkan hiperaktivitas. Fenobarbital juga dapat menyebabkan kemerahan kulit, dan Stevens-Johnson syndrome. 3). Deoksibarbiturat : Primidon Primidon digunakan untuk terapi kejang parsial dan kejang tonik-klonik. Primidon mempunyai efek penurunan pada neuron eksitatori. Efek anti kejang primidon hampir sama dengan fenobarbital, namun kurang poten. Didalam tubuh primidon dirubah menjadi metabolit aktif yaitu fenobarbital dan feniletilmalonamid (PEMA). PEMA dapat meningkatkan aktifitas fenobarbotal. Dosis primidon 100125 mg 3 kali sehari. Efek samping yang sering terjadi antara lain adalah pusing, mengantuk, kehilangan keseimbangan, perubahan perilaku, kemerahan dikulit, dan impotensi. 4). Karbamazepin Karbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik. Karbamazepin digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan tonik-klonik. Karbamazepin menghambat kanal Na+, yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron. Dosis pada anak dengan usia kurang dari 6 tahun 10-20 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 6-12 tahun dosis awal 200 mg 2 kali sehari dan dosis pemeliharaan 400-800 mg. Sedangkan pada anak usia lebih dari 12 tahun dan dewasa 400 mg 2 kali sehari.
Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan karbamazepin adalah gangguan penglihatan (penglihatan berganda), pusing, lemah, mengantuk, mual, goyah (tidak dapat berdiri tegak) dan Hyponatremia. Resiko terjadinya efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan usia. 5). Okskarbazepin Okskarbazepin
merupakan analog keto karbamazepin. Okskarbazepin
merupakan prodrug yang didalam tubuh akan segera dirubah menjadi bentuk aktifnya, yaitu suatu turunan 10-monohidroksi dan dieliminasi melalui ekskresi ginjal. Okskarbazepin digunakan untuk pengobatan kejang parsial. Mekanisme aksi okskarbazepin mirip dengan mekanisme kerja karbamazepin. Dosis penggunaan okskarbazepin pada anak usia 4-16 tahun 8-10mg/kg 2 kali sehari sedangkan pada dewasa, 300 mg 2 kali sehari. Efek samping penggunaan okskarbazepin adalah pusing, mual, muntah, sakit kepala, diare, konstipasi, dispepsia, ketidak seimbangan tubuh, dan kecemasan. Okskarbazepin memiliki efek samping lebih ringan dibanding dengan fenitoin, asam valproat, dan karbamazepin. Okskarbazepin dapat menginduksi enzim CYP450. 6). Suksimid : Etosuksimid Etosuksimid digunakan pada terapi kejang absens. Kanal kalsium merupakan target dari beberapa obat antiepilepsi. Etosuksimid menghambat pada kanal Ca 2+ tipe T. Talamus berperan dalam pembentukan ritme sentakan yang diperantarai oleh ion Ca2+ tipe T pada kejang absens, sehingga penghambatan pada kanal tersebut akan mengurangi sentakan pada kejang absens. Dosis etosuksimid pada anak usia 3-6 tahun 250 mg/hari untuk dosis awal dan 20 mg/kg/hari untuk dosis pemeliharaan. Sedangkan dosis pada anak dengan usia lebih dari 6 tahun dan dewasa 500 mg/hari.
Efek samping penggunaan etosuksimid adalah mual dan muntah, efek samping penggunaan etosuksimid yang lain adalah ketidakseimbangan tubuh, mengantuk, gangguan pencernaan, goyah (tidak dapat berdiri tegak), pusing dan cegukan. 6). Asam valproat Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial, kejang absens, kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik. Asam valproat dapat meningkatkan GABA dengan menghambat degradasi nya atau mengaktivasi sintesis GABA. Asam valproat juga berpotensi terhadap respon GABA post sinaptik yang langsung menstabilkan membran serta mempengaruhi kanal kalium. Dosis penggunaan asam valproat 10-15 mg/kg/hari. Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan pencernaan (>20%), termasuk mual, muntah, anorexia, dan peningkatan berat badan. Efek samping lain yang mungkin ditimbulkan adalah pusing, gangguan keseimbangan tubuh, tremor, dan kebotakan. Asam valproat mempunyai efek gangguan kognitif yang ringan. Efek samping yang berat dari penggunaan asam valproat adalah hepatotoksik. Hyperammonemia (gangguan metabolisme yang ditandai dengan peningkatan kad5r amonia dalam darah) umumnya terjadi 50%, tetapi tidak sampai menyebabkan kerusakan hati. Interaksi valproat dengan obat antiepilepsi lain merupakan salah satu masalah terkait penggunaannya pada pasien epilepsi. Penggunaan fenitoin dan valproat secara bersamaan dapat meningkatkan kadar fenobarbital dan dapat memperparah efek sedasi yang dihasilkan. Valproat sendiri juga dapat menghambat metabolisme lamotrigin, fenitoin, dan karbamazepin. Obat yang dapat menginduksi enzim dapat meningkatkan metabolisme valproat. Hampir 1/3 pasien mengalami efek samping obat walaupun hanya kurang dari 5% saja yang menghentikan penggunaan obat terkait efek samping tersebut.
7). Benzodiazepin Benzodiazepin digunakan dalam terapi kejang. Benzodiazepin merupakan agonis GABAA, sehingga aktivasi reseptor benzodiazepin akan meningkatkan frekuensi pembukaan reseptor GABAA. Dosis benzodiazepin untuk anak usia 25 tahun 0,5 mg/kg, anak usia 6-11 tahun 0,3 mg/kg, anak usia 12 tahun atau lebih 0,2 mg/kg, dan dewasa 4-40 mg/hari. Efek samping yang mungkin terjadi pada penggunaan benzodiazepin adalah cemas, kehilangan kesadaran, pusing, depresi, mengantuk, kemerahan dikulit, konstipasi, dan mual.
4) Terapi bedah Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan. Diindikasikan terutama untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap pengobatan. Berikut ini merupakan jenis bedah epilepsi berdasarkan letak fokus infeksi : a.
Lobektomi temporal
b.
Eksisi korteks ekstratemporal
c.
Hemisferektomi
d.
Callostomi
3)
Terapi nutrisi
Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan kejang berat yang kurang dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan dinilai dapat mengurangi toksisitas dari obat. Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan pada anak penderita epilepsi. Walaupun mekanisme kerja diet ketogenik dalam menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti, tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikan dan mengontrol terjadinya kejang. Hasil terbaik dijumpai pada anak prasekolah karena anak-anak mendapat pengawasan yang lebih ketat dari orang tua di mana efektivitas diet berkaitan dengan derajat kepatuhan. Kebutuhan makanan yang diberikan adalah makanan tinggi lemak. Rasio kebutuhan berat lemak terhadap kombinasi karbohidrat dan protein adalah 4:1. Kebutuhan kalori harian diperkirakan sebesar 75 – 80 kkal/kg. Untuk pengendalian kejang yang optimal tetap diperlukan kombinasi diet dan obat antiepilepsi.
K. Progosis Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi, faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Prognosis epilepsi cukup baik. Pada
50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah
dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat.21 Prognosis epilepsi dihubungkan dengan terjadinya remisi serangan baik dengan pengobatan maupun status psikososial, dan status neurologis penderita. Batasan remisi epilepsi yang sering dipakai adalah 2 tahun bebas serangan (kejang) dengan terapi. Pada pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun harus dipertimbangkan untuk penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala. Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas serangan (remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE. Setelah tercapai bebas serangan selama >6 bulan atau >2 tahun dengan terapi, maka perlu dipikirkan untuk menurunkan dosis secara berkala sampai kemudian obat dihentikan, perlu mempertimbangkan risiko terjadinya relaps setelah penghentian obat. Berbagai faktor prediktor yang meningkatkan risiko terjadinya relaps adalah usia awitan pada remaja / dewasa, jenis epilepsi sekunder, dan adanya gambaran abnormalitas EEG. Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa penderita epilepsi memiliki risiko kematian yang lebih tinggi dibanding populasi normal. Risiko kematian yang paling tinggi adalah pada penderita epilepsi yang disertai defisit neurologi akibat penyakit kongenital. Kematian pada penderita epilepsi anak-anak paling sering disebabkan oleh penyakit susunan saraf pusat yang mendasari timbulnya bangkitan epilepsi.