Keguguran Berulang.docx

  • Uploaded by: mutia rahmawati
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Keguguran Berulang.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,550
  • Pages: 20
KEGUGURAN BERULANG A. Definisi Abortus adalah keluarnya atau ekstrasi dari rahim ibu atau janin seberat 500 gram atau kurang dan tidak mampu untuk bertahan hidup (WHO). Secara umum diterima bahwa sekitar 1 persen pasangan subur mengalami keguguran berulang yang secara klasik didefinisikan sebagai tiga atau lebih keguguran berturut-turut pada ≤ 20 minggu atau dengan berat janin <500 gram. Keguguran berulang atau recurrent pregnancy loss (RPL) adalah keguguran yang sudah terjadi sekurangnya tiga kali berturut-turut (Royal College of Obstetricians and Gynecologists). Keguguran berulang atau recurrent pregnancy loss (RPL) adalah dua atau lebih kehamilan dengan tanda-tanda abortus (dilihat dari pemeriksaan ultrasonografi dan pemeriksaan histopatologi) tetapi tidak harus berturut-turut waktunya (American Society for Reproductive Medicine).

B. Epidemiologi RPL adalah masalah kesehatan reproduksi yang penting, karena mempengaruhi 2% -5% pasangan. Insiden RPL sangat bervariasi antara laporan karena perbedaan definisi dan kriteria yang digunakan, serta karakteristik populasi. Insiden aborsi sulit untuk dilakukan tetapi mungkin 10-20% dari semua kehamilan klinis berakhir dengan keguguran dan angka sebesar 10% diinduksi atau disengaja. Sekitar 75% keguguran terjadi sebelum minggu ke-16 dan sekitar 80% terjadi sebelum minggu ke12 kehamilan. Diperkirakan terjadinya keguguran 1-2% kehamilan pada trimester kedua sebelum 24 minggu kehamilan

C. Etiologi Ada banyak penyebab putatif dari keguguran berulang, namun hanya tiga yang diterima yaitu kelainan kromosom orangtua, sindrom antibodi antifosfolipid, dan kelainan uterus. Penyebab lain yang dicurigai tetapi tidak terbukti adalah alloimmunity, endocrinopathies, faktor

1

lingkungan, dan berbagai infeksi. Infeksi jarang menyebabkan bahkan keguguran sporadis. Dengan demikian, sebagian besar tidak mungkin menyebabkan keguguran berulang, terutama karena antibodi maternal biasanya telah berkembang. Selama bertahun-tahun, berbagai mutasi trombofilia yang diwariskan yang termasuk faktor V Leiden, prothrombin G20210A, kekurangan protein C dan S, dan defisiensi antitrombin dicurigai. Faktor genetik biasanya mengakibatkan kehilangan embrio dini, sedangkan kelainan anatomi autoimun atau uterus lebih mungkin menyebabkan kerugian trimester kedua (Schust, 2002). Seperti disebutkan, kerugian pada trimester pertama pada keguguran berulang memiliki insidensi kelainan genetik yang secara signifikan lebih rendah daripada kehilangan sporadis. Terdapat penelitian yang menggambarkan mengenai frekuensi penyebab terbanyak terjadinya keguguran berulang di wilayah jepang. Terdapat 927 pasangan yang terdaftar pada penelitian tersebut.

2

Beberapa penyebab yang terjadi pada keguguran di usia trimester pertama dan kedua antara lain : 1. Faktor Epidemiologi Usia ibu dan jumlah keguguran sebelumnya merupakan dua faktor risiko independen untuk keguguran lebih lanjut. Bertambahnya usia ibu dikaitkan dengan penurunan baik jumlah dan kualitas oosit yang tersisa. Sebuah penelitian melaporkan risiko keguguran yang terkait usia pada kehamilan yang diakui adalah: 12-19 tahun, 13%; 20-24 tahun, 11%; 25-29 tahun, 12%; 30-34 tahun, 15%; 35–39 tahun, 25%; 40–44 tahun, 51%; dan ≥45 tahun, 93%. Usia suami yang bertambah juga telah diidentifikasi sebagai faktor risiko keguguran. Risiko keguguran paling tinggi di antara pasangan di mana wanita berusia ≥35 tahun dan pria ≥40 tahun. Riwayat reproduksi sebelumnya adalah prediktor independen dari hasil kehamilan yang akan datang. Risiko keguguran sekitar 40% setelah tiga keguguran berturut-turut, dan prognosis memburuk dengan bertambahnya usia ibu. Kelahiran hidup sebelumnya tidak menghalangi seorang wanita mengalami keguguran berulang. Konsumsi alkohol yang berat beracun bagi embrio dan janin. Bahkan konsumsi alkoho yang lebih dari lima atau lebih botol alkohol per minggu dapat meningkatkan risiko keguguran berulang. Studi retrospektif baru-baru ini melaporkan bahwa obesitas meningkatkan risiko keguguran sporadis dan berulang. Faktor ayah: Anomali kromosom sperma (translokasi) dapat menyebabkan keguguran. Beberapa wanita yang keguguran berulang mungkin memiliki kehamilan normal setelah menikah dengan pria yang berbeda.

2. Sindrom antifosfolipid Sindroma antifosfolipid merupakan kelainan yang disebabkan oleh antibodi antifosfolipid dan mengakibatkan kematian janin berulang, morbiditas

maternal,

dan

infertilitas

akibat

berbagai

proses

3

imunopatogenik pada plasenta yang dihubungkan dengan terbentuknya trombosis atau terhambatnya proses fibrinolitik. Sindroma antifosfolipid dapat ditemukan pada wanita normal dan wanita hamil normal tanpa kelainan klinik lainnya. Pada wanita hamil normal ditemukan 4,6% antibodi antikardiolipin dan 1,8% sampai 13,7% antikoagulan lupus, sedangkan pada wanita yang pernah mengalami abortus berulang ditemukan 2,5% sampai 21% antibodi antikardiolipin dan 0% sampai 9% antikoagulan lupus. Terjadi peningkatan antibodi antifosfolipid sebanyak lebih dari lima kali pada wanita yang mengalami abortus berulang dibandingkan pada wanita normal. Sebagian besar kematian janin ditemukan diatas usia gestasi 10 minggu.2,5,6

Pada

kehamilan

dengan

sindroma

antifosfolipid

ditemukan 50% sampai 85% antikardiolipin IgG dan 27% sampai 94% antikoagulan lupus Mekanisme keguguran pada wanita dengan APAS adalah: (a) penghambatan fungsi dan diferensiasi trofoblas, (b) aktivasi jalur komplemen, (c) pelepasan mediator inflamasi lokal (sitokin, interleukin) dan (d) trombosis vaskular uteroplasenta .

4

Secara in vivo, mekanisme yang bertanggung jawab terhadap trombosis dan keguguran pada pasien-pasien dengan sindrom antifosfolipid belum diketahui, meskipun telah diketahui beberapa kemungkinan jalur patogenik sindrom tersebut. Yang pertama, antibodi antifosfolipid dapat mempengaruhi fungsi cascade koagulasi yang menimbulkan status prokoagulan. Keadaan ini meliputi inhibisi aktivasi protein C dan antitrombin III, inhibisi fibrinolisis dan upregulasi aktivitas faktor jaringan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, β2glikoprotein I, secara in vivo, dapat berfungsi sebagai antikoagulan dan dengan demikian antibodi-antibodi terhadap molekul ini dapat berpengaruh melalui mekanisme ini. Protein-protein lain yang penting dalam regulasi koagulasi, seperti protrombin, protein C dan S, dan anneksin V, juga dapat menjadi target antibodi antifosfolipid. Selain itu, ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa ikatan anneksin V dengan permukaan prokoagulan dapat dihambat oleh antibodi antifosfolipid. Antibodi antifosfolipd (aPL) diduga berperan pada keseimbangan eikosanoid,

yaitu

meningkatkan

tromboksan

A2

(TXA2)

dan

menurunkan prostaksiklin yang diproduksi oleh endotel. Seperti diketahui, TXA2 merupakan vasokonstriktor kuat yang membantu agregasi trombosit. Morbiditas obstetrik pada sindroma antifosfolipid dikarenakan

pembentukan

trombosis

pada

pembuluh

plasenta.

Pengamatan perubahan plasenta pada kematian janin akibat antibodi antifosfolipid ditunjukkan dengan adanya vaskulopatia arteri spirales, infark plasenta, atau kombinasi keduanya. Perubahan plasenta pada penderita sindroma antifosfolipid akan berakibat insufisiensi plasenta yang akan diikuti dengan keadaan hipoksia yang akan berakibat kematian janin. Manifestasi obstetrik sindrom ini yang paling sering adalah keguguran yang berulang. Resiko terbesar terjadinya keguguran pada wanita dengan antibodi antifosfolipid adalah pada usia kehamilan 10 minggu ke atas (periode fetus). Sebaliknya, keguguran pada populasi umumnya paling sering ditemukan pada 9 minggu pertama kehamilan.

5

Selain itu, ada bukti-bukti bahwa wanita dengan antibodi antifosfolipid memiliki peningkatan resiko melahirkan prematur oleh karena hipertensi

selama

kehamilan

dan

insufisiensi

uteroplasental.

Manifestasi lainnya adalah adanya trombosis pada berbagai organ. Sindrom

antifosfolipid

dalam

kehamilan

dapat

menimbulkan

komplikasi obstetri berikut: keguguran spontan, keguguran berulang pada umur kehamilan 10 minggu atau lebih, hipertensi dalam kehamilan dengan resiko tinggi partus preterm, kelahiran preterm, insuffisiensi uteroplasenta, dan komplikasi yang diakibatkanoleh terapi Sindrom antibodi antifosfolipid definit dinyatakan positif apabila memenuhi setidaknya satu kriteria klinis dan satu kriteria laboratoris.  Kriteria klinis 1. Trombosis vaskular 

Satu atau lebih episode trombosis arterial, vena, atau pembuluh darah kecil pada jaringan atau organ manapun.



Trombosis harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan imaging atau Doppler atau pemeriksaan histopatologis, kecuali trombosis vena superfisial.



Untuk

konfirmasi

histopatologis,

trombosis

harus

ditemukan tanpa adanya inflamasi dinding pembuluh darah yang signifikan. 2. Morbiditas kehamilan 

Satu atau lebih kematian janin yang tidak dapat dijelaskan pada umur kehamilan 10 minggu atau lebih, dengan morfologi

janin

pemeriksaan

normal

yang

ultrasonografi

atau

didapatkan

melalui

pemeriksaan

janin

langsung, atau 

Satu atau lebih kelahiran prematur dengan morfologi neonatus normal pada umur kehamilan ≤34 minggu oleh karena

pre

eklampsia

atau

eklampsia

berat,

atau

insufisiensi plasenta berat, atau

6



Tiga atau lebih aborsi spontan berturut-turut sebelum umur kehamilan 10 minggu yang tidak dapat dijelaskan, tanpa kelainan anatomi maternal atau abnormalitas hormonal dan kelainan kromosom paternal dan maternal

 Kriteria laboratorium 1. Adanya antibodi IgG dan/atau IgM isotop antikardiolipin di dalam darah, dengan titer medium atau tinggi, pada 2 kali pemeriksaan atau lebih, dengan interval setidaknya 6 minggu, yang

diukur

dengan

pemeriksaan

enzyme-linked

immunosorbent assay standar untuk antibodi β 2 -glikoprotein I – dependen antikardiolipin. 2.

Adanya lupus antikoagulan di dalam plasma, pada 2 kali

pemeriksaan atau lebih dengan interval setidaknya 6 minggu, yang dideteksi berdasarkan panduan komunitas internasional untuk trombosis dan hemostasis (Scientific Subcommittee on Lupus Anticoagulants/Phospholipid Dependent Antibodies) dengan tahap-tahap sebagai berikut: a.

Pemanjangan koagulasi yang tergantung fosfolipid

yang tampak pada uji skrining, seperti activated partial thromboplastin time, kaolin clotting time, dilusi Russell’s viper venom time, dilusi prothrombin time, Textarin time. b.

Kegagalan untuk mengoreksi pemanjangan waktu

koagulasi pada uji skrining dengan menambahkan platelet normal-dengan sedikit plasma. c.

Pemendekan atau koreksi pemanjangan waktu

koagulasi pada uji skrining dengan penambahan fosfolipid yang berlebihan. d.

Tidak adanya kelainan koagulopati lain, seperti

inhibitor faktor VII atau heparin

7

3. Faktor genetik Mayoritas (50%) dari keguguran dini disebabkan oleh kelainan kromosom di dalam konsepsi. Trisomi autosomal adalah kelainan sitogenetik yang paling umum (50%). Trisomi untuk setiap kromosom telah dilaporkan. Trisomi yang paling umum adalah trisomi 16 (30%). Polyploidy telah diamati pada sekitar 22% dari abortus. (Polyploidy mengacu pada keberadaan tiga atau lebih kelipatan dari jumlah kromosom haploid, misalnya 3n = 69, 4n = 92. Triploidy lebih umum daripada tetraploidy). Monosomi X (45, X) adalah kelainan kromosom tunggal yang paling umum pada keguguran (20%). Penataan ulang kromosom struktural diamati pada 2-4% dari abortus. Ini termasuk translokasi, penghapusan, pembalikan dan pembentukan cincin. Kelainan kromosom lain seperti mosaik, trisomi ganda, dll. Ditemukan pada sekitar 4% dari abortus.  Parental chromosomal rearrangements Pada sekitar 2-5% pasangan dengan keguguran berulang, salah satu pasangan membawa kromosom struktural yang abnormal. Meskipun pembawa translokasi biasanya fenotip, kehamilan mereka berada pada peningkatan risiko keguguran dan dapat mengakibatkan kelahiran hidup dengan beberapa malformasi kongenital dan / atau cacat mental sekunder akibat pengaturan kromosom yang tidak seimbang. Risiko keguguran dipengaruhi oleh ukuran dan kandungan genetik dari segmen kromosom. 2 hingga 4 persen dari kerugian yang berulang, evaluasi kariotipik kedua orang tua dianggap oleh banyak orang sebagai bagian penting dari evaluasi. Dalam penelitian sebelumnya, translokasi timbal balik yang seimbang menyumbang setengah dari kelainan kromosom, translokasi robertsonian untuk yang keempat, dan mosaik kromosom X — sindrom 47, XXY atau Klinefelter — untuk 12 persen (Therapel, 1985). Kelainan kromosom ini berulang untuk kerugian berturut-turut (van den Boogaard, 2010).

8



Embryonic chromosomal abnormalities Pada pasangan dengan keguguran berulang, kelainan kromosom pada embrio mencapai 30–57% dari keguguran berikutnya. Risiko keguguran yang diakibatkan kelainan kromosom embrio meningkat dengan bertambahnya usia ibu.

4. Faktor anatomi Beberapa kelainan saluran genital telah terlibat dalam keguguran berulang dan hasil kehamilan buruk lainnya, tetapi tidak infertilitas (Reichman, 2010). Menurut Devi Wold dan rekan (2006), 15 persen wanita dengan tiga atau lebih keguguran berturut-turut akan ditemukan memiliki anomali uterus kongenital atau didapat. Abnormalitas yang didapat, sinekia uterin — Asherman — sindrom — biasanya dihasilkan dari penghancuran area endometrium yang luas. Ini bisa mengikuti kuretase uterus atau ablatif Abnormalitas anatomi (3–38%) Faktor Cervico-uterus: Ini terkait terutama pada aborsi trimester kedua.  Inkompetensi serviks, baik kongenital atau didapat adalah salah satu penyebab paling umum dari midtrimester dan aborsi berulang. Kelemahan leher rahim merupakan penyebab yang diketahui dari keguguran pada trimester kedua, tetapi insidensi

9

yang sebenarnya tidak diketahui, karena diagnosis pada dasarnya adalah yang klinis. Saat ini tidak ada tes obyektif yang memuaskan yang dapat mengidentifikasi wanita dengan kelemahan serviks di negara yang tidak hamil. Diagnosis biasanya didasarkan pada riwayat keguguran trimester kedua yang didahului oleh ketuban pecah spontan atau dilatasi serviks tanpa rasa sakit.  Malformasi kongenital uterus dalam bentuk uterus bikornuata atau septate mungkin bertanggung jawab untuk keguguran rekuren pada midtrimester. Kontribusi pasti bahwa anomali uterus bawaan membuat keguguran berulang tetap tidak jelas karena prevalensi dan implikasi reproduksi anomali uterus pada populasi umum tidak diketahui. Prevalensi anomali uterus yang dilaporkan pada populasi keguguran berulang berkisar antara 1,8% dan 37,6% . Variabilitas ini mencerminkan perbedaan dalam kriteria dan teknik yang digunakan untuk diagnosis dan fakta bahwa penelitian yang tersedia telah menyertakan wanita dengan dua, tiga atau lebih keguguran. di trimester pertama dan kedua kehamilan. Prevalensi malformasi uterus tampaknya lebih tinggi pada wanita dengan keguguran trimester kedua dibandingkan dengan wanita yang mengalami keguguran pada kehamilan pertama, tetapi hal ini mungkin terkait dengan kelemahan serviks yang sering dikaitkan dengan malformasi rahim.44 Telah dilaporkan bahwa wanita dengan arkuata uteri cenderung keguguran lebih pada trimester kedua sementara wanita dengan uterus septate lebih mungkin mengalami keguguran pada trimester pertama. Sebuah tinjauan retrospektif dari kinerja reproduksi pada wanita dengan anomali uterus yang tidak diobati telah

10

menunjukkan bahwa wanita ini mengalami tingkat keguguran dan kelahiran prematur yang tinggi, dengan tingkat persalinan hanya 50% .42 Namun, penelitian retrospektif bias oleh seleksi pasien dan, sampai dengan baik. data prospektif terkontrol menjadi tersedia, peran anomali uterus pada keguguran berulang akan tetap dapat diperdebatkan. Leiomioma uterus ditemukan pada sebagian besar wanita dewasa dan dapat menyebabkan keguguran, terutama jika terletak di dekat lokasi implantasi plasenta. wanita yang menjalani embolisasi arteri uterus mioma memiliki peningkatan risiko keguguran pada kehamilan berikutnya (Homer, 2010). Sebaliknya, anomali saluran genital kongenital biasanya berasal dari pembentukan duktus mullerian abnormal atau fusi abnormal. Ini memiliki insiden keseluruhan sekitar 1 dari 200 wanita (Nahum, 1998). Distribusi anomali dan tingkat kerugian terkait ditunjukkan pada Tabel 18-5. Tergantung pada anatomi mereka, beberapa dapat meningkatkan risiko keguguran dini, sedangkan yang lain dapat

menyebabkan

aborsi

atau

kelahiran

prematur.

Unicornuate, bicornuate, dan septate uteri terkait dengan ketiga jenis kerugian (Reichman, 2010). Melihat cara lain, anomali uterus perkembangan ditemukan pada sekitar 20 persen wanita dengan keguguran rekuren dibandingkan dengan sekitar 7 persen kontrol (Salim, 2003). Telah terbukti sulit untuk menunjukkan bahwa koreksi anomali uterus meningkatkan hasil kehamilan awal.  Uterine (fibroid) terutama dari berbagai submukosa mungkin bertanggung jawab tidak hanya untuk infertilitas tetapi juga untuk aborsi. Hal ini disebabkan oleh distorsi atau pemusnahan parsial dari rongga uterus. Penyebab lainnya adalah: penurunan

11

vaskularisasi di lokasi implantasi, degenerasi fibroid merah dan peningkatan iritabilitas uterus.  Adhesi

intrauterin

(synechiae)

mengganggu

implantasi,

plasentasi dan pertumbuhan janin. Tergantung pada tingkat keparahan pelekatan, mis. total (Asherman's syndrome), kopral atau

servicoisthmik,

pasien

menderita

amenorrhea,

hypomenorrhea, infertilitas, atau aborsi berulang.

12

5. Faktor Endoktrin Menurut Arredondo dan Noble (2006), 8 hingga 12 persen dari keguguran berulang disebabkan oleh faktor endokrin. Studi untuk mengevaluasi ini tidak konsisten dan umumnya kurang kuat. Dua contoh, keduanya kontroversial, adalah defisiensi progesteron yang disebabkan oleh defek luteal-fase dan sindrom ovarium polikistik (Bukulmez, 2004; Cocksedge, 2008; Nawaz, 2010). Sebaliknya, efek abortifacient yang terkenal dari diabetes yang tidak terkontrol. Kontrol glikemik perikonsepsi optimal akan mengurangi sebagian besar keguguran ini. Faktor

endoktrin

(10–15%)

Luteal

Phase

Defect

(LPD)

menyebabkan keguguran dini karena implantasi dan plasentasi tidak didukung secara memadai. Sekresi progesteron yang kurang dari korpus luteum atau respon endometrium yang buruk terhadap progesteron adalah

penyebabnya.

Kelainan

tiroid:

Overtyroidism

atau

hipertiroidisme berhubungan dengan peningkatan kehilangan janin. Antibodi autoroid sering meningkat. Diabetes mellitus ketika dikontrol dengan buruk menyebabkan peningkatan keguguran.

13

Hiperprolaktinemia

berhubungan

dengan

infertilitas

dan

keguguran, dengan mengubah sumbu hipotalamus-hipofisis-ovarium, sehingga menyebabkan gangguan folikulogenesis dan anovulasi. Gangguan tiroid, terutama hipotiroidisme, telah lama dikaitkan dengan infertilitas, hasil kehamilan yang buruk, dan RPL. Dua penelitian kohort terbaru menemukan prevalensi hipotiroidisme subklinis yang tinggi (didefinisikan sebagai TSH> 2,5 mIU / L) pada wanita dengan RPL (19% dan 21%). Sindrom ovarium polikistik (PCOS) dikaitkan dengan peningkatan risiko keguguran. Banyak mekanisme yang dianggap terlibat, termasuk resistensi insulin dan hiperinsulinemia, hiperandrogenemia, atau peningkatan aktivitas aktivator-1 inhibitor plasminogen. Modifikasi gaya

hidup,

termasuk

penurunan

berat

badan

dan

olahraga

meningkatkan resistensi insulin dan bisa mengurangi risiko keguguran. Metformin, obat yang mensensitisasi insulin, umumnya digunakan pada wanita dengan PCOS dan telah terbukti meningkatkan manajemen berat badan dan toleransi glukosa, mengurangi produksi androgen, dan meningkatkan kesuburan. Studi tentang efisiensinya dalam mengurangi risiko keguguran pada wanita dengan PCOS telah menghasilkan hasil yang

bertentangan,

merekomendasikannya

dan untuk

tidak RPL.

ada

cukup

Namun,

bukti

untuk

metformin

sering

diresepkan pada wanita dengan PCOS, aman selama kehamilan, 66 dan, bersama dengan penurunan berat badan, bisa berguna untuk pasien PCOS dengan RPL.

6. Faktor immunologi Gangguan imunologi (5–10%) diantaranya : 

Faktor kekebalan: Sitokin adalah molekul imun. Respons sitokin dapat berupa tipe T-helper 1 (Th1) atau tipe T-helper 2 (Th2). Respon Th1 adalah produksi sitokin proinflamasi [interleukin-2, interferon dan tumor necrosis factor (TNF)]. Respon Th2 adalah produksi sitokin anti-inflamasi (interleukin

14

-4, -6 dan -10). Keberhasilan kehamilan adalah hasil dari respon sitokin Th2. Wanita dengan keguguran berulang memiliki lebih banyak respon Th 1. 

Autoimunitas: Sel Natural Killer (NK) hadir dalam darah perifer dan yang ada di uterus berbeda secara fungsional. Tidak ada hubungan antara jumlah sel NK dan hasil kehamilan di masa mendatang meskipun sel-sel NK membantu invasi trophoblast, proliferasi dan angiogenesis. Ketidaksesuaian antigen leukosit manusia (HLA) antara pasangan atau tidak adanya antibodi pemblokiran ibu tidak dianggap sebagai penyebab keguguran berulang.

7. Infeksi Infeksi (5%) adalah Infeksi janin transplasenta terjadi dengan sebagian besar mikroorganisme dan kematian janin dapat disebabkan oleh apapun. Infeksi bisa terjadi akibat : 

Viral: Rubella, cytomegalovirus, variola, vaccinia atau HIV.



Parasit: Toksoplasma, malaria.



Bakteri: Ureaplasma, chlamydia, brucella.

Spirochetes tidak menyebabkan aborsi sebelum minggu ke-20 karena ketebalan sawar plasenta yang efektif.

8. Inherited Thrombophilic Defects Baik trombofilia yang diturunkan dan didapat, termasuk resistensi protein C yang teraktivasi (paling sering karena mutasi faktor V Leiden),

defisiensi

protein

C

/

S

dan

antitrombin

III,

hyperhomocysteinaemia dan mutasi gen prothrombin, merupakan penyebab terjadinya thrombosis sistemik. Selain itu, trombofilia yang diturunkan telah terlibat sebagai penyebab yang mungkin dalam keguguran berulang dan komplikasi kehamilan yang terlambat dengan mekanisme yang diduga sebagai trombosis dari sirkulasi uteroplasenta. Trombofilia yang diwariskan menyebabkan keguguran awal dan akhir

15

karena koagulasi intravaskular dan trombosis. Protein C resistensi (faktor V Leiden mutasi) adalah penyebab paling umum. Kondisi lain adalah: Defisiensi protein C dan hyperhomocysteinemia mutasi gen antitrombin III atau prothrombin. Skrining untuk trombofilia yang diturunkan (khususnya, faktor V Leiden dan mutasi gen prothrombin, protein C, protein S, dan defisiensi antitrombin) dapat dibenarkan secara klinis ketika pasien memiliki riwayat pribadi tromboemboli vena dalam pengaturan faktor risiko nonrekuren (seperti operasi) atau kerabat tingkat pertama dengan trombofilia berisiko tinggi yang diketahui atau dicurigai. Meskipun hubungan antara trombofilia herediter dan kehilangan janin telah disarankan,

penelitian

kohort

prospektif

telah

gagal

untuk

mengkonfirmasi hal ini. Pengujian rutin wanita dengan RPL untuk trombofilia yang diturunkan saat ini tidak dianjurkan.

9. Faktor Psikologi dan Lingkungan Beberapa faktor lingkungan telah dikaitkan dengan peningkatan risiko keguguran: Obesitas, didefinisikan sebagai indeks massa tubuh> 30 kg / m2, merokok, konsumsi kafein yang berlebihan (> 300 mg / hari, atau setara dengan dua cangkir) , asupan alkohol berlebihan, dan kokain. Asupan alkohol ringan sampai sedang tidak terkait dengan peningkatan risiko. Gaya hidup sehat dengan paparan minimal terhadap faktor-faktor ini harus didorong pada wanita dengan RPL. RPL dapat memiliki dampak psikologis yang signifikan terhadap kehidupan pribadi dan profesional pasangan yang terkena, dan berbagai perasaan telah dilaporkan, seperti kesedihan dan depresi, putus asa, rasa bersalah, kecemasan, dan kemarahan terhadap pasangan, teman, atau dokter yang merawat. Beberapa laporan telah melihat kemungkinan etiologi psikologis untuk RPL, tetapi asosiasi tersebut sangat sulit dibuktikan dengan adanya berbagai variabel dan faktor pembaur. Satu penelitian menemukan bahwa depresi meningkatkan risiko keguguran dini, tetapi hasil keseluruhannya tidak meyakinkan. Namun, beberapa

16

penelitian menunjukkan bahwa dukungan psikologis penting pada pasangan dengan RPL. Jelas bahwa keguguran menyebabkan beban psikologis yang sangat besar pada pasangan yang terkena dan bahwa peningkatan kepekaan terhadap efek itu diperlukan selama evaluasi tindak lanjut dan selama kehamilan berikutnya. Pasien dengan keguguran berulang rentan terhadap kemarahan, depresi, kecemasan,dan perasaan sedih dan bersalah. Etiologi psikologis yang mungkin untuk keguguran berulang disarankan oleh percobaan yang diterbitkan dengan data yang diperluas dalam publikasi selanjutnya.

D. Patomekanisme Pada minggu-minggu awal, kematian ovum terjadi pertama, diikuti oleh pengeluarannya. Pada minggu-minggu berikutnya, faktor lingkungan ibu terlibat menyebabkan keluarnya janin yang mungkin memiliki tandatanda kehidupan tetapi terlalu kecil untuk bertahan hidup. Sebelum usia kehamilan 8 minggu: Ovum, dikelilingi oleh vili dengan penutup desidua, dikeluarkan secara utuh. Kadang-kadang, os eksternal gagal berkembang sehingga seluruh massa ditampung di kanal serviks yang membesar dan disebut keguguran cervical (Gambar 16.1). Antara 8 minggu dan 14 minggu: Pengeluaran janin umumnya terjadi setelah plasenta dan selaput ketuban. Sebagian mungkin terpisah sebagian dengan perdarahan cepat 17

atau tetap melekat sepenuhnya pada dinding uterus. Di luar minggu ke-14: Proses pengeluaran mirip dengan “mini labor”. Janin dikeluarkan pertama diikuti oleh pengeluaran plasenta setelah interval yang bervariasi.

E. Gejala Klinis 

Keguguran preembrionik dan embrionik (< 6 minggu)



Keguguran janin (6 – 8 minggu)



Keguguran trimester kedua (8 – 20 minggu)

F. Pemeriksaan Penunjang 

USG Transvaginal



Pemeriksaan Antibodi β2GPI, ACA dan LA



Pemeriksaan sistem koagulasi



Pemeriksaan hormon sistem reproduksi

G. Penatalaksanaan ‘ 

Kelainan kromosom o

Konseling

mengenai

pola

penurunan

kelainan

kromosom.

Kemungkinan berulang dan ketidaktersediaan terapi berkoordinasi dengan ahli genetika

18



Gangguan tiroid dan diabetes o



Kolaborasi dengan departemen ilmu penyakit dalam

Defek fase luteal atau PCOS o

Defek fase luteal ditangani dengan pemberian preparat progestogen selama fase luteal (14 hari)

o

PCOS ditangani dengan stimulasi ovarium menggunakan klomifen sitrat, aromatase inhibitor atau rekombinan FSH



Hiperprolaktinemia o

Singkirkan kemungkinan hipotiroid, penggunaan obat yang memicu peningkatan kadar hormon prolaktin atau adanya massa di hipofisis

o

Pemberian dopamin agonis (bromokriptin) mulai dosis terendah sampai maksimum 7,5 mg/hari atau kabergolin mulai 0,25 mg/ minggu



Sindrom antifosfolipid o

Pemberian aspirin 1 x 81 mg/hari secara segera setelah pasien positif hamil dan dihentikan paling tidak 3 minggu sebelum persalinan

o

Pemberian heparin setelah adanya detak jantung janin : 

Unfractioned Hepatin (UFH) 2 x 5000 IU/hari subkutan sampai 1 hari sebelum persalinan.

19

DAFTAR PUSTAKA 1. Cunningham, F. G., Leveno, K. J., Bloom, S. L., Hauth, J. C., Rouse, D. J., & Spong, C. Y. 2018. Obstetri Williams 25th Edition. Jakarta: EGC. 2. Konar, Hiralal. 2015. Textbook of Obstetric Eighth Edition. India. Jaypee 3. Herlambang. 2016. Kehamilan dengan sindroma anti-fosfolipid Volume 4 No 1 hal 156-178. Jambi. Divisi Fetomaternal Bagian Kebidanan dan Kandungan FKIK Universitas Jambi/RSUD Raden mattaher 4. Professor L Regan FRCOG, Miss M Backos MRCOG, and Dr R Rai MRCOG. 2014. The Investigation and Treatment of Couples with Recurrent Firsttrimester and Second-trimester Miscarriage. London. RCOG

5. American Society For Reproductive Medicine. 2012. Evaluation and Treatment of Recurrent Pregnancy Loss : a commite opinion. Birmingham. Elsevier

20

Related Documents


More Documents from "Leni Purnamasari"