KEBIJAKAN MONETER EKSPANSIF DAN VOLATILITAS HARGA-HARGA ASET 1990-20011 LUKMAN HAKIM, SE, MSi
Abstrak Krisis ekonomi Asia tahun 1997 telah mendorong para peneliti untuk melihat pengaruh kebijakan moneter terhadap volatilitas (kerapuhan) harga-harga aset. Termasuk studi ini bertujuan untuk melihat pengaruh kebijakan moneter ekspansif paska kebijakan liberalisasi perbankan dekade 1980-an terhadap volatilitas harga aset yang pasar valuta asing, uang dan modal. Studi ini membandingkan tiga periode yakni 1990.1-1993.3; 1993.4-1997.2; dan 1997.3-2001.4, dengan menggunakan model Vector Autoregression (VAR) yang mencakup dua metode yakni variance decomposition dan impulse response. Hasil studi ini, secara umum menegaskan bahwa kebijakan moneter ekspansif selama dekade 1980-an dan 1990-an telah berpengaruh terhadap volatilitas harga-harga aset. meskipun terdapat perbedaan intensitas pengaruh dari beberapa periode pengamatan tersebut. Keyword : volatilitas, moneter, VAR.
1
Telah diterbitkan pada Media Ekonomi Fak. Ekonomi Usakti Jakarta, Vol. 9 No. 3 Desember 2003.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
1.Pendahuluan Setelah krisis ekonomi 1997 yang menerpa kawasan Asia, banyak
studi
yang
menghubungkan
kebijakan
moneter
dengan
volatilitas (kerapuhan) makro ekonomi. Kebijakan moneter dianggap berkontribusi paling besar dalam krisis itu, karena sejak dekade 1980an
sampai
dengan
milienium
baru
ini,
hampir
semua
negara
melakukan liberalisasi keuangan, dan sebagian dari negara tersebut mengalami krisis. Oleh karena itu, muncullah berbagai riset mengenai hubungan kebijakan moneter terhadap kerapuhan ekonomi yang menjadi pemicu lahirnya krisis di berbagai negara itu. Sebagian dari studi itu menegaskan bahwa bagi negara yang sistem moneternya sudah lebih moderen kebijakan moneter sangat kecil pengaruhnya terhadap volatilitas, namun bagi negara yang masih terbatas sistem keuangannya
pengaruhnya
besar (Bernanke
dan
Blinder,
2000;
Denizer, dkk, 2000; Min dan Park, 2000, Beck, dkk, 2001). Demikian
halnya
menghadapi
krisis
menganggap
bahwa
menyebabkan kondisi
dalam
ekonomi
1997.
kasus
Beberapa
kebijakan moneter yang
perekonomian
ekonomi
melihat
nasional
itu berubah
menjadi
menjadi
Indonesia
dalam
pengamat
juga
ekspansiflah
yang
rapuh.
krisis manakala
Lemahnya terdapat
contagionous effect dari krisis kawasan. Kebijakan moneter ekspansif dimulai setelah pemerintah memberlakukan liberalisasi perbankan sejak tahun 1983. Puncak dari kebijakan liberal itu terjadi sejak keluarnya Paket Oktober 1988 (Pakto 1988) yang mengurangi reserve requirement menjadi 2 % dari sebelumnya 15 % dan memudahkan perizinan pendirian bank swasta; serta kebijakan suku bunga tinggi. Memang
terdapat
dampak
positif
dari
kebijakan
ini
misalnya
meningkatnya penyerapan dan penyaluran dana dari masyarakat dan menyebabkan iklim usaha menjadi semakin tumbuh. Namun sisi buruknya lebih banyak, karena pengelolaan perbankan mengabaikan azas prudensial, maka banyak bank-bank yang mengalami mismanagement; meningkatkan arus modal asing dan utang swasta, yang 2
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
menyebabkan
ekonomi
menjadi
lemah
atas
serangan
spekulan
internasional. Dan benar ketika Baht Thailand jatuh, maka rupiahpun terkena imbasnya dengan mengalami ratusan persen depresiasi dan berakibat krisis ekonomi yang berkepanjangan (Hill, 1999; Montes, 1999; Alba, 1999). Berdasarkan kejadian yang menimpa Indonesia itu, secara kasat mata terlihat bahwa kebijakan moneter ekspansif sejak dekade 1980an itu telah berkontribusi terhadap rapunya perekonomian domestik. Masalahnya
bagaimana
membuktikan itu
dalam
sebuah analisis
ekonomi yang terukur? Oleh karena itu tulisan ini akan melihat sejauhmana pengaruh kebijakan moneter terhadap volatilitas hargaharga aset. Persoalan
berikutnya
adalah
metode
apa
yang
akan
dipergunakan dalam analisis ini? Merujuk studi sebelumnya yang menggunakan
metode
berlainan
dalam
menganalisis
pengaruh
kebijakan moneter terhadap volatilitas harga aset, maka diperlukan metode handal yang mampu menjelaskan fenomena ekonomi yang terjadi di Indonesia. Bernanke dan Blinder (2000) menggunakan model General Method of Moment (GMM); sedangkan Denizer, dkk (2000) dan Beck, dkk (2001) menggunakan OLS. Sementara itu, Min dan Park (2000) menggunakan metode VAR untuk kasus Korea Selatan, maka berdasarkan kemiripan situasi ekonomi yang dihadapi oleh negara ginseng itu dengan Indonesia, studi ini menggunakan model VAR. Selain itu, keunggulan model VAR sebagai alat analisis adalah karena memiliki metode variance decompositions dan impulse response yang akan dapat menjelaskan hubungan variabel secara lebih komprehensif. 2. Volatilitas dan Kebijakan Moneter Studi volatilitas untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Engle (1982) -bersama Granger menerima penghargaan Nobel dalam bidang Ilmu Ekonomi tahun 2003- dengan menggunakan Auto-Regressive Conditional
Heterosckedasticity (ARCH). Yang kemudian dikembang3
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
kan
oleh
Conditional
Bollerslev
(1986)
dengan
General
Auto-Regressive
Heteroscedasticity (GARCH). Kedua model ini, pada
prinsipnya adalah melihat volatilitas harga-harga aset antara lain seperti nilai tukar melalui hubungan antar varian dari variabel itu sendiri atau dalam formula paling sederhana adalah :
y t = α 0 + α 1 y t −1 + ε t Di mana varian kondisionalnya adalah :
[
Var(yly t −1 ) = Ε t −1 (y t − α 0 − α1y t −1 )2 = Ε t −1 ∈t
]
2
Maka, model Auto-Regressive Conditional
Heterosce-dasticity
(ARCH) menjadi : ∧2
∧2
∧2
∧2
∈t = α 0 + α1 ∈t −1 + α 2 ∈t − 2 + ... + α q ∈t − q + ν Di mana, v adalah prosen white-noise (lihat Enders, 1996). Keterbatasan dari (ARCH) itu adalah tidak dapat menganalisis hubungan antar variabel, maka beberapa studi volatilitas yang melihat hubungan antar variabel, misalnya variabel moneter dengan volatilitas harga aset, menggunakan model yang lain seperti Ordinary Least Square (OLS), General Method of Moment (GMM), atau Vector Autoregression
(VAR).
Meskipun
demikian,
dalam
semua
studi
volatilitas itu, meskipun tidak menggunakan model ARCH, tetap menggunakan data varian atau standar deviasi dari datanya. Beberapa studi yang melihat hubungan kebijakan moneter terhadap volalatilitas harga-harga aset telah banyak dilakukan. Salah satunya adalah studi Ben Bernanke dan Mark Gertler (2000) ini berjudul "Monetary Policy and Asset Price Volatility" yang mengambil studi kasus Amerika Serikat dan Jepang. Studi ini berdasarkan model 4
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
dinamik standar new Keynesian yang disebut BGG (Bernanke, Gertler, dan Gilchrist), yang diestimasi dengan General Moment of Method (GMM). Model yang dimaksud adalah: r*t= r +βEt(πt+12-π*)+γEt (yt+12-y*)+ξ Etzt r t = (1-ρ) r t*+ρr t-1 + νt Keterangan: r*t= nilai target dari suku bunga instrumen diambil dari intercall rate, r = suku bunga nominal ekuilibrium jangka panjang, E t(πt+12-π*)=perkiraan deviasi inflasi dari target yang ditetapkan untuk 20 bulan ke depan, (yt+12y*)= nilai dari output gap, rt = suku bunga nominal aktual, ρ= tingkat suku bunga yang diteliti.
Studi ini menyimpulkan bahwa baik di Amerika Serikat maupun Jepang kebijakan moneter berpengaruh terhadap volatilitas hargaharga aset. Untuk kasus Amerika, hasil studi ini menunjukkan bahwa kebijakan Federal Reserve (Fed) dapat mempengaruhi estimasi inflasi dan ouput gap secara signifikan, namun untuk pasar modal tidak signifikan. Studi ini juga membandingkan keadaan kebijakan moneter di Jepang yang juga menghasilkan temuan yang hampir sama dengan keadaan Amerika Serikat di atas. Di sini ditemukan bahwa bank sentral Jepang dapat mempengaruhi estimasi inflasi dan output gap. Masalahnya untuk Jepang, kalau pada dekade 80-a dikenal dengan "bublle economy" atau ekonomi dan aset mengalami booming, namun pada dekade 90-an terjadi sebaliknya atau resesi ekonomi. Sementara itu, Denizer, dkk (2000) juga melakukan studi yang berjudul “Finance and Macroeconomics Volatility”. Volatilitas makro ekonomi dilihat dari standar deviasi dari GDP/kapita, konsumsi, dan investasi
sebagai
variabel
dependen,
yang
keuangan sebagai variabel independennya : Vit =µi+λt+β 1 FINDEVi+β 2Xi,t+νi,t Keterangan:
5
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
dipengaruhi
variabel
Di mana V it adalah standar deviasi dari konsumsi riil per kapita, investasi riil dan pertumbuhan pendapatan nasional riil. Sedangkan FINDEV terdiri atas LLY yaitu M2/GDP; PRIVY adalah rasio tagihan bank (termasuk kredit) terhadap GDP; BANK adalah rasio deposito domestik bank umum terhadap total deposito domestik bank (termasuk bank sentral); PRIVATE adalah rasio kredit yang tersalurkan kepada sektor swasta dan pemerintah. Sementara X i,t merupakan variabel kontrol yang terdiri atas GROWTH adalah tingkat ratarata pertumbuhan dari konsumsi/kapita, GDP/kapita, investasi; MEANt-1 adalah rata-rata tingkat dari konsumsi/kapita, GDP/kapita, investasi; INFMEAN dan INFSTDEV adalah rata-rata dan standar deviasi dari inflasi; FX VOL adalah standar deviasi dari perubahan nilai tukar.
Model di atas diterapkan untuk 70 negara dengan menggunakan rentang
waktu
antara
1956
sampai
dengan
1998,
dengan
menggunakan metode OLS. Studi ini menyimpulkan bahwa negara dengan sistem keuangan yang lebih maju hanya kecil pengaruhnya terhadap volatilitas pendapatan per kapita, konsumsi dan investasi. Studi yang hampir serupa dengan Denizer, dkk (2000) di atas, dilakukan oleh Beck, dkk (2001) yang berjudul “Financial Intermediary Development and Growth Volatility: Do Intermediaries Dampen or Magnify Shocks?” yang diterapkan untuk 63 negara dengan perincian 24 negara berpendapatan tinggi (high income), 8 negara berpendapatan sedang atas (upper-middle income), 18 negara berpendapatan sedang bawah (lower-middle income), 13 negara berpendapatan rendah (low income). SD(Growth) it = α1SD(∆TOT)i,t + α2SD(inflation)i,t+ βFD+ γ1Inter1i,t + γ2Inter2 i,t+δCV i,t + µ i,t + ε i,t Keterangan: SD(Growth) adalah standar deviasi dari GDP riil per kapita; SD(∆TOT) dan SD(inflation) adalah standar deviasi dari term of trade dan inflasi; FD adalah kredit swasta yang mengukur perkembangan intermediasi keuangan; Inter1 dan Inter2 mengukur interaksi antara FD dengan SD(∆TOT) dan SD(inflation); CV adalah variabel kontrol; µ adalah efek dari spesifik tiap-tiap negara.
Kesimpulan dari studi ini adalah negara yang memiliki finansial intermediari yang maju akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan tidak berpengaruh terhadap volatilitas. Sementara itu instabilitas dalam kebijakan makro ekonomi akan menyebabkan berpengaruh 6
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
terhadap volatilitas dan sektor keuangan. Secara umum studi ini menyimpulkan bahwa kebijakan sektor finansial berpengaruh terhadap volatilitas, terutama dalam struktur kepemilikan perbankan, khususnya pada bank-bank asing. Studi lain yang menggunakan metode berbeda dengan riset di atas adalah Hong G. Min dan Jong-goo Park (2000) berjudul "How the Republic of Korea's Financial Structure Affects the Volatility of Four Asset Prices" yang meneliti efek dari struktur finansial terhadap volatilitas empat (4) harga-harga aset. Studi ini mengambil kasus Korea pada masa krisis moneter dewasa ini, dengan menggunakan metode Johansen's Cointegration dan VAR. Data untuk volatilitas diambil dari standar deviasi variabel yang diteliti. Model dan variabel yang digunakan dalam studi ini adalah: VRX
= Σ α1MK + Σ α1BANK + Σ α1NBFI + Σ α1VV
MK
= Σ α1VRX + Σ α1BANK + Σ α1NBFI + Σ α1VV
BANK = Σ α1VRX + Σ α1 MK + Σ α1NBFI + Σ α1VV NBFI = Σ α1VRX + Σ α1 MK + Σ α1 BANK + Σ α1VV VV
= Σ α1VRX + Σ α1 MK + Σ α1 BANK + Σ α1 NBFI
Keterangan: VRX= nilai tukar riil, MK=total dari kapitalisasi pasar modal, Bank=aset bankbank komersial, NBFI=aset lembaga finansial lain, VV=variabel makro.
Studi ini berhasil menemukan dampak dinamis dari struktur finansial Korea terhadap volatilitas masing-masing variabel secara asimetri. Volatilitas harga saham dipengaruhi oleh kenaikan sektor bank komersial dan kapitalisasi pasar saham terhadap GDP (MK). Hal ini menunjukkan bahwa tingginya volatilitas harga saham bersifat independen terhadap struktur finansial Korea. Sementara itu, MK mendorong penurunan volatilitas nilai tukar riil dan sebaliknya MK mendorong kenaikan volatilitas pasar uang.
7
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
3. Metodologi dan data a. Sejarah VAR Vector Autoregressions (VAR) dikemukakan pertama kali oleh Christopher Sims (1980a). Latar belakang lahirnya VAR merupakan reaksi
terhadap
kegagalan
model
besar
makroekonomi
dalam
mengestimasi situasi perekonomian pada era 70-an. Artikel pertama Sims mengenai VAR diterbitkan oleh Econometrica pada Januari 1980, menggunakan enam variabel yakni penawaran uang (M), pendapatan nasional riil (Y), tingkat gaji (W), tingkat harga (P) dan, tingkat harga impor (PM). Studi ini membandingkan antara Amerika Serikat dan Jerman, pada kurun waktu 1949-1975. Studi kedua Sims (1980b: 250) yang
diterbitkan
oleh
American
Economic
Review,
Mei
1980,
membandingkan siklus bisnis (bussiness cycle) pada masa perang dan paska perang di Amerika Serikat. Studi ini menyimpulkan bahwa penawaran uang sangat berperan pada masa perang, namun tidak berperan pada paska perang. Model VAR paling banyak digunakan untuk melihat pengaruh kebijakan moneter diantaranya adalah Gordon dan Leeper (1994; 1233-1245), yang melihat dampak dinamis dari kebijakan moneter. Model VAR juga dapat untuk mengukur efektifitas kebijakan moneter seperti yang dilakukan oleh Rudebusch (1998; 907-931). Salah satu alasannya mengapa VAR lebih cocok untuk melihat pengaruh sebuah kebijakan, adalah VAR menganggap semua variabel adalah endogen. Selain itu VAR juga sering dianggap sebagai pendekatan “atheoritical” atau tidak mendasarkan pada teori ekonomi tertentu, oleh karenanya metode VAR juga dapat mengestimasi persamaan indentitas, seperti halnya kausalitas Engle-Granger (Thomas 1997; 457-462, Gujarati 1995;
746-753).
kebijakan
moneter
Secara dengan
konvensi
studi
menggunakan
mekanisme model
VAR,
transmisi minimal
terdapat tiga variabel pokok yakni variabel output; variabel harga dan juga variabel tingkat suku bunga (Ramaswamy dan Slok, 1998: 379).
8
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
b. Aplikasi VAR Model
VAR,
menganggap
bahwa
semua
variabel
adalah
endogen, secara formulatif dapat ditulis sebagai berikut : ∆Xt = α + Σ
3 i = 1Ai∆Xt-1
+ ut, E(ut us) = Ω, if t ≠s
di mana Ai matriks kuadrat; ut tidak ada
korelasi
menunjukkan rata-rata vektor zero,
variabel, dan kesejajaran matriks varian Ω,
diasumsikan positif dan simetris; α adalah 3X1 vektor kolom dari parameter-parameter; vektor Xit adalah variabel -variabel endogen di atas. VAR mengandung tiga macam bentuk estimasi yakni kausalitas; impulse response dan variance decomposition. Berikut ini akan dibahas secara lebih jauh. - Respons Terhadap Kebijakan (Impulse Response) Respons terhadap kebijakan adalah salah satu asesoris pada VAR yang digunakan untuk melihat respon variabel endogen terhadap pengaruh inovasi (shock) variabel endogen yang lain (Pindycks dan Rubinfeld; 1991: 385). Inovasi diinterpretasikan sebagai “goncangan kebijakan” (policy shock), lihat Bernanke dan Blinder (1992: 902) atau juga sering disebut kebijakan. Secara statistis
respons terhadap
kebijakan dirumuskan dalam persamaan Sims (1980b, 256-257). Jika kita
mempunyai
sebuah
model
linier
vektor
stokastik
x
yang
diformulasikan sebagai berikut: ∞ xt = Σ As et-s s=o Dimana et = xt – E(xt | xt-1 ,xt-2 , ), kemudian memilih matrik trangular B, sehingga menghasilkan Bet diagonal matriks
yakni sebuah kovarian
dan B juga mempunyai diagonalnya sendiri, oleh
karena itu A perlu dipindah menjadi C = AB1 dan e menjadi f = Be, sehingga menjadi : ∞ xt = Σ Cs ft-s s=o 9
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Dari formula di atas koefisien C adalah respons terhadap kebijakan atau inovasi (responses to innovations). - Dekomposisi Varian (Variance Decomposition) Dekomposisi varian merupakan metode lain dari sistem dinamik dengan
menggunakan
VAR.
Jika
respons
terhadap
kebijakan
menunjukkan efek dari sebuah kebijakan (shock) variabel endogen terhadap
variabel
menguraikan
lain.
inovasi
Sebaliknya
pada
sebuah
dekomposisi variabel
varian
endogen
akan
terhadap
komponen goncangan (shock) variabel endogen yang lain di dalam VAR. Berhubungan dengan persamaan 18 di atas, perlu ditetapkan terlebih dahulu matriks varian-kovarian dari xt – E (xt | xt-k’ ,xt -k –1’ ,… ) pada periode k sehingga persamaannya menjadi : k Vk = Σ Cs Var (f t ) C’s s=o Sehingga nilai Var (ft) inilah yang disebut sebagai dekomposisi varian. c. Uji Prasyarat - Uji Akar-akar Unit Seperti telah disinggung di muka biasanya data yang digunakan pada VAR tidak stasioner, oleh karena itu perlu dilakukan uji akar-akar unit, Uji akar-akar unit pada penelitian ini menggunakan uji DickeyFuller (DF) dan Augmented Dickey-Fuller (ADF) (Thomas, 2000, 405409) : k
DX = a0 + a1 BXt + S bi Bi DXt i=1 k
DX = c0 + c1T + c2 BXt + S bi Bi DXt i=1
10
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Formula pertama di atas adalah DF test, pada persamaan itu mengandung
intersep
(a0)
namun
tidak
mengandung
variabel
kecenderungan waktu atau trend (T). Sedangkan kedua adalah ADF test yang mengandung intersep (c0) dan variabel kecenderungan waktu (T). Hasil dari uji DF dan ADF harus dibandingkan dengan tabel nilai kritik McKinnon, jika hasil uji DF dan ADF lebih rendah dari nilai tabel, maka perlu uji derajad integrasi. Uji derajad integrasi tidak lain adalah transformasi derivatif dari data tersebut, tujuannya adalah mencari derajat integrasi yang sama diantara data dari variabel yang diteliti. Biasanya data VAR, mencapai derajat integrasi sama pada derajat satu atau I (1). - Penetapan Tingkat Kelambanan (lag) Optimal Salah satu kesulitan menggunakan VAR adalah penetapan tingkat kelambanan
yang optimal. Beberapa penelitian mutakhir
tentang VAR untuk menetapkan tingkat kelambanan yang optimal menggunakan Akaike Information Criteria (AIC) dan Schwarz Criteria (SC). Baik AIC ataupun SC kadang juga dipergunakan sebagai pengganti R2 (coefficient of determination), sehingga R2 bukan satusatunya indikator validitas sebuah model ekonometri (Thomas, 1997; 181-182, Greene, 2000; 306). Namun sejak variabel kelambanan banyak digunakan pada model-model ekonometri, AIC dan SC juga dapat digunakan untuk menetapkan tingkat kelambanan yang optimal (Greene, 2000; 717): AIC (q) = log (e’e)/T + 2q/T SC (q) = AIC (q) + (q/T)(logT –1) Keterangan: e adalah residual, sedangkan T dan q masing-masing merupakan jumlah sampel jumlah variabel yang beroperasi dalam persamaan itu.
Untuk menetapkan tingkat kelambanan yang paling optimal, model
VAR
harus
diestimasi
dengan 11
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
berbeda-beda
tingkat
kelambanannya, kemudian dibandingkan nilai AIC dan SC-nya, nilai yang paling rendah yang dipakai sebagai patokan pada tingkat kelambanan paling optimal. Penelitian ini nantinya akan menguji tingkat kelambanan yang paling optimal dari tingkat kelambanan 2, 3, 4 dan 5. 4. Model dan Data Pada studi ini menggunakan 4 variabel yakni terdiri atas penawaran uang (LM2); volatilitas IHSG (LSDIHSG); volatilitas nilai tukar (LSDEXR); volatilitas harga pasar uang (LSDSPUAB). Keempat variabel itu akan diestimasi dengan metode VAR dengan formulasi seperti di bawah ini: ∆Xt = α + Σ
4 i = 1Ai∆Xt-1
+ ut, E(ut us) = Ω, if t ≠s
Di mana Ai matriks kuadrat; ut menunjukkan rata-rata vektor zero, tidak ada korelasi variabel, dan kesejajaran matriks varian Ω, diasumsikan positif dan simetris; α adalah 4X1 vektor kolom dari parameter-parameter; vektor Xit adalah variabel-variabel endogen di atas. Sebelum diestimasi variabel harga-harga aset yakni pasar modal yang diproxi dengan IHSG (LSDIHSG); pasar valutas asing yang diwakili
oleh
nilai
direpresentasikan
tukar
oleh
(LSDEXR);
suku
bunga
dan
pasar
uang
yang
Pasar
Uang
Antar
Bank
(LSDSPUAB) harus dicari volatilitasnya. Sesuai dengan studi-studi sebelumnya data volatilitas diambil dari nilai standar deviasi dari variabel-variabel tersebut. Data
yang dipergunakan adalah data
bulanan yang dirubah menjadi kuartalan dengan mencari standar deviasinya.
12
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Tabel 2. Diskripsi Data Variabel Diskripsi LM2 Uang luas Volatilitas IHSG (LSDIHSG) Standar deviasi dari IHSG Volatilitas nilai tukar Standar deviasi dari nilai tukar nominal (LSDEXR) Volatilitas harga pasar Standar deviasi dari suku bunga pasar uang (LSDSPUAB) uang antar bank (PUAB) 5. Hasil Estimasi Pada bab ini akan dibahas analisis hasil yang mencakup hasil uji prasyarat dan estimasi. Hasil uji prasyarat meliputi uji akar-akar unit dan uji mencari kelambanan optimal, sedangkan hasil estimasi meliputi
analisis
variance
decomposition
dan
impulse
response.
Analisis hasil mencakup tiga periode yakni periode 1990.1-1993.3; 1993.4.-1997.2.; dan 1997.3-2001.4 a. Uji Prasyarat - Uji Akar-akar Unit Salah satu metode pengujian uji akar-akar unit adalah uji DF (Dickey & Fuller) dan ADF (Augmented Dickey & Fuller). Standar hasil pengujian DF dan ADF nilai kritis yang dikembangkan oleh McKinnon. Data dianggap stasioner jika nilai AD dan ADF lebih besar dari pada nilai kritis Mc Kinnon. Dari uji akar-akar unit yang dilakukan, data yang tidak lolos dari uji akar-akar hanyalah LM2, yang semua lolos (lihat tabel 3). Oleh karena itu, hanya data LM2 yang perlu dilanjutkan pada uji derajat integrasi.
Variabel LM2 LSDEXR LSDIHSG LSDSPUAB
Tabel 3. Uji Akar Unit Nilai Nilai ADF DIFFERENC ES -0.863506 -1.505077 -1.319980 -6.265786 -4.523708 -8.624866 -2.753002 -7.361547 1% Critical Value* 5% Critical Value 10% Critical Value
13
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Keterangan Tidak lolos Lolos Lolos Lolos -3.5713 -2.9228 -2.5990
Uji derajat integrasi merupakan kelanjutan dari uji akar-akar unit. Uji ini dilakukan sebagai konsekuensi dari tidak terpenuhinya asumsi stasioneritas pada derajat nol atau I (0). Pada uji ini, data dideferensiasikan pada derajat tertentu, sampai semua data menjadi stasioner pada derajat yang sama. Berdasarkan uji derajat integrasi diketahui bahwa data LM2 lolos uji derajad integrasi I (1).
Variabel LM2
Tabel 4. Uji Derajat Integrasi Nilai DF Nilai ADF -4.556830 -4.553553
Keterangan Tidal lolos
1% Critical Value* 5% Critical Value 10% Critical Value
-3.5713 -2.9228 -2.5990
Enders (1996) dengan mengutip Sim (1980) dan Doan (1992) menyatakan
bahwa
dalam
mengoperasikan
metode
VAR
tidak
dianjurkan menggunakan bentuk turunan pertama. Jika data turunan pertama digunakan akan menghilangkan informasi penting tentang hubungan variabel-variabel dalam sebuah sistem seperti kemungkinan hubungan
kointegrasi. Oleh karena itu, dalam studi ini tidak akan
digunakan turunan pertama dalam mengoperasikan metode VAR. - Mencari Kelambanan Optimal Penetapan
kelambanan
(lag)
optimal
dalam
metode
VAR
menjadi sangat penting, karena variabel independen yang dipakai tidak lain adalah lag dari variabel endogennya. Untuk menetapkan lag yang optimal digunakan nilai kriteria informasi Akaike (AIC) dan Schwartz (SC) yang hasilnya seperti terlihat pada tabel 5. Hasilnya dari uji kelambanan terhadap model ini, nilai terendah dari kreteria Akaiek dan Schwartz terletak pada lag 2. Oleh karena itu
dapat
ditetapkan bahwa lag optimal yang akan dipakai pada model ini adalah lag 2.
14
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Tabel 5. Uji Kelambanan Optimal Kelambanan Akaike Schwartz 2 -94.97000 -93.56660 3 -78.86163 -76.81465 4 -52.70783 -50.00462 5 -21.85539 -18.48295
b. Variance Decomposition (Vardec) Variance Decomposition (Vardec) dapat menjelaskan berapa sumbangan varian dari variabel shock (kebijakan) terhadap variabel endogen yang lain. Analisis ini mencakup tiga periode yakni periode sebelum krisis terdiri atas 1990.1-1993.3; 1993.4.-1997.2.; dan periode krisis adalah 1997.3-2001.4. Analisis ini dilakukan dengan membandingkan persentase varian dari variabel LM2 sebagai variabel shock terhadap LSDEXR, LSDIHSG, dan LSDPUAB. -Vardec VAR Periode 1990.1-1993.3 Tabel 6. Dekomposisi Varian Pengaruh LM2 1990.1-1993.3 Dekomposisi Varian dari LM2 Periode LSDEXR LSDIHSG LSDSPUAB Kuartal 1 83.63049 15.23350 44.46418 2 77.65758 13.37366 42.28991 3 68.31073 29.00885 40.85183 4 68.84389 28.09308 41.61985 5 67.34345 31.11469 40.62994 6 65.28314 30.88712 40.59275 7 65.51364 31.00335 40.76059 8 65.10083 31.41769 40.71265 9 64.76105 31.32116 40.67204 10 64.67656 31.43164 40.73515 Dekomposisi varian dari kebijakan moneter (LM2) terhadap tiga volatilitas LSDEXR, LSDIHSG, LSDSPUAB pada periode 1990.1-1993.3 menunjukkan perubahan yang menarik. Pada kuartal pertama, LM2 15
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
dapat menyumbang varian kepada LSDEXR sebesar 83 %, sedangkan terhadap
LSDIHSG
menyumbang
sebesar
15
%,
dan
terhadap
LSDSPUAB sebesar 44 % (tabel 6). Sampai dengan kuartal ke-10, terjadi penurunan varian dari LM2 terhadap LSDEXR menjadi hanya 64 %, sedangkan terhadap LSDIHSG meningkat menjadi 31 %, dan terhadap LSDSPUAB terjadi penurunan menjadi 41 %. Hal ini dapat disimpulkan bahwa pada periode
ini,
terhadap
kebijakan
pasar
valuta
moneter asing
(LM2)
paling
(LSDEXR),
kuat
kemudian
berpengaruh pasar
uang
(LSDSPUAB) dan terakhir pasar modal (LSDIHSG).
-Vardec VAR VAR 1993.4-1997.2 Tabel 7. Dekomposisi Varian Pengaruh LM2 1993.4-1997.2 Dekomposisi Varian dari LM2 LSDEXR LSDIHSG LSDSPUAB Periode Kuartal 1 0.019447 12.89570 14.21328 2 1.625513 8.934542 20.65502 3 8.530061 19.42545 43.73229 4 22.53110 22.85116 50.80250 5 24.79462 24.62463 50.45821 6 23.09250 24.94930 48.10784 7 25.56925 24.83312 48.36381 8 28.95012 24.83480 49.91754 9 30.76869 24.82698 49.97839 10 29.93961 24.86635 49.14012 Dekomposisi varian dari kebijakan moneter (LM2) terhadap tiga volatilitas LSDEXR, LSDIHSG, LSDSPUAB pada periode 1993.4-1997.2 menunjukkan perubahan yang menarik. Pada kuartal pertama, LM2 hanya
menyumbang
varian
kepada
LSDEXR
sebesar
0,01
%,
sedangkan terhadap LSDIHSG menyumbang sebesar 12 %, dan terhadap LSDSPUAB sebesar 14 % (tabel 7). 16
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Sampai dengan kuartal ke-10, terjadi penurunan varian dari LM2 terhadap LSDEXR menjadi hanya 29 %, sedangkan terhadap LSDIHSG meningkat menjadi 24 %, dan terhadap LSDSPUAB terjadi penurunan menjadi 49 %. Hal ini dapat disimpulkan bahwa pada periode ini, kebijakan moneter (LM2) paling kuat berpengaruh terhadap pasar uang (LSDSPUAB), pasar modal (LSDIHSG), dan terakhir pasar valuta asing (LSDEXR). -Vardec VAR VAR 1997.3-2001.4 Tabel 8. Dekomposisi Varian Pengaruh LM2 1997.3-2001.4 Dekomposisi Varian dari LM2 Periode LSDEXR LSDIHSG LSDSPUAB Kuartal 1 4.016980 49.33203 3.472474 2 39.42035 44.43445 5.151249 3 39.17511 46.39176 4.991508 4 38.16834 51.76509 6.657598 5 38.32244 51.75993 11.79321 6 37.96374 52.27439 12.88471 7 39.33905 53.11220 17.10603 8 39.64428 53.20305 17.52173 9 39.47872 53.16557 17.72564 10 39.60473 53.17810 18.36996 Dekomposisi varian dari kebijakan moneter (LM2) terhadap tiga volatilitas LSDEXR, LSDIHSG, LSDSPUAB pada periode 1997.3-2001.4 menunjukkan perubahan yang menarik. Pada kuartal pertama, LM2 hanya menyumbang varian kepada LSDEXR sebesar 4 %, sedangkan terhadap
LSDIHSG
menyumbang
sebesar
49
%,
dan
terhadap
LSDSPUAB sebesar 3 % (tabel 8). Sampai dengan kuartal ke-10, terjadi penurunan varian dari LM2 terhadap LSDEXR menjadi hanya 39 %, sedangkan terhadap LSDIHSG meningkat menjadi 53 %, dan terhadap LSDSPUAB terjadi penurunan menjadi 18 %. Hal ini dapat disimpulkan bahwa pada periode
ini,
kebijakan
moneter (LM2)
paling
kuat
berpengaruh
terhadap volatilitas pasar modal (LSDIHSG), volatilitas nilai tukar (LSDEXR), dan terakhir volatilitas pasar uang (LSDSPUAB). 17
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
c. Impulse Response Respons terhadap inovasi (impulse response) merupakan salah satu alat estimasi dari metode VAR yang paling penting. Alat ini telah banyak digunakan oleh berbagai studi untuk mengestimasi beberapa hubungan variabel. impulse response adalah respons sebuah variabel dependen
jika
mendapatkan
goncangan/inovasi
(shock)
variabel
independen sebesar 1 % standar deviasi. Analisis ini mencakup tiga periode yakni periode sebelum krisis terdiri atas 1990.1-1993.3; 1993.4.-1997.2.; dan periode krisis adalah 1997.3-2001.4. Dalam membaca tabel impulse response (IR) perlu diketahui terlebih dahulu bahwa garis vertikal adalah besarnya respons dalam persentase, sedangkan garis horisontal menunjukkan waktu dalam studi ini adalah kuartal. Karena terdapat lag (kelambanan) dua kuartal, maka waktu dihitung setelah dikurangi dua kuartal terlebih dahulu. - IR VAR Sebelum Krisis (1990.1-1993.3) Pada
periode
sebelum
krisis
atau
1990.1-1993.3
pengaruh kebijakan moneter terhadap volatilitas yang
terjadi
dimulai pada
kuartal ke-pertama atau 1990.3. Pada kuartal ini terlihat respons volatilitas nilai tukar (LSDEXR) terhadap shock dari kebijakan moneter (LM2) pada angka minus 20 %, kemudian perlahan-lahan meningkat hingga pada kuartal ke-tiga mencapai positif 10 %. Memasuki kuartal kuartal
keempat,
pengaruh
shock
kebijakan
moneter
terhadap
volatilitas nilai tukar melemah 9 %, sejak itu pengaruh mengalami fluktuasi antara 0-5 % sampai dengan selesainya periode itu. Setelah kuartal ke-empat, pengaruh kebijakan moneter hanya sekitar minus di bawah 9 %, hal ini dapat dinyatakan bahwa pengaruhnya sangat lemah atau nyaris tidak berpengaruh. Hal ini menunjukkan bahwa
18
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
kebijakan
moneter
ekspansif
pada
awal
1990-an
hanya
berpengaruh terhadap volatilitas nilai tukar.
Grafik 1. Impulse Response LSDEXR, LSDIHSG, LSDSPUAB Periode 1990.1-1993.3 Response of LSDEXR to One S.D. LM2 Innovation 0.2
0.1
0.0
-0. 1
-0. 2
-0. 3 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Response of LSDIHSG to One S.D. LM2 Innovation 0.2
0.1
0.0
-0. 1
-0. 2
-0. 3 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Response of LSDSPUAB to One S.D. LM2 Innovation 0.1 0.0 -0. 1 -0. 2 -0. 3 -0. 4 -0. 5 -0. 6 1
2
3
4
5
6
7
8
19
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
9
10
sekit
Berikutnya
adalah
dampak
kebijakan
moneter
terhadap
volatilitas pasar modal (LSDIHSG). Pada kuartal pertama (1990.3)sampai dengan kuaral ke-tiga terjadi penurunan volatilitas pasar modal yang tajam hingga minus 30 % sebagai akibat shock kebijakan moneter. Memasuki kurtal ke-empat dampak shock kebijakan moneter mulai positif 10 %, pada kuartal ke-lima terus meningkat menjadi 15 %, kemudian turun lagi sampai minus 5 % pada kuartal ke-tujuh, kemudian
setelah itu positif
sampai
kuartal
ke-
sembilan dan
seterusnya. Hal ini menunjukkan bahwa selama periode 1990.11993.3 ini, pengaruh kebijakan moneter terhadap volatilitas pasar modal sangat besar dibandingkan terhadap nilai tukar. Sementara itu, pengaruh kebijakan moneter terhadap volatilitas pasar uang
(LSDSPUAB)
relatif besar dibandingkan
nilai
tukar,
meskipun jika dibandingkan pasar modal masih cukup kecil. Hal ini ditunjukkan selama periode ini pengaruh kebijakan moneter terhadap volatilitas pasar uang
(LSDSPUAB)
selalu negatif. Pada
kuartal
pertama pengaruhnya mencapai 55 %, kemudian merambat naik, pada kuartal ke-tiga menjadi minus 15 %, kuartal keempat menjadi minus 20 %, kuartal kelima meningkat menjadi 0,5 %, setelah itu meningkat terus hingga kuartal ke-delapan di mana pengaruhnya mendekati 0 %, hal ini bertahan sampai dengan akhir periode ini. Di sini dapat disimpulkan bahwa pada periode ini, kebijakan moneter justru paling besar berpengaruh terhadap volatilitas pasar modal dibandingkan pada pasar valas ataupun pasar uang. Salah satu penjelasannya adalah pasar modal sedang mulai tumbuh setelah kinerja Bapepam dioptimlkan dan Bursa Efek diotonomkan. Pada masa ini kebijakan moneter ekspansif menjadi kendala perkembangan pasar modal, karena masyarakat lebih tertarik menyimpan dananya pada perbankan, namun setelah pemerintah mengoptimalkan penarikan 20
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
pajak deposito, kegairahan masyarakat untuk berivestasi di pasar modal mulai meningkat.
21
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
-IR VAR Sebelum Krisis (1993.4-1997.2) Grafik 2. Impulse Response LSDEXR, LSDIHSG, LSDSPUAB Periode 1993.4-1997.2 Response of LSDEXR to One S.D. LM2 Innovation 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00 -0.05 -0.10 -0.15 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Response of LSDIHSG to One S.D. LM2 Innovation 0. 2
0. 1
0. 0
-0. 1
-0. 2 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Response of LSDSPUAB to One S.D. LM2 Innovation 0. 6 0. 4 0. 2 0. 0 -0. 2 -0. 4 -0. 6 1
2
3
4
5
6
7
8
22
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
9
10
Pada periode sebelum krisis (1993.4-1997.2) yang merupakan prolog dari krisis ekonomi 1997, pengaruh kebijakan moneter terhadap volatilitas nilai tukar
(LSDEXR) sangat kuat, hal ini ditunjukkan
dengan adanya fluktuasi yang sangat besar. Pada kuartal kedua, pengaruh kebijakan moneter mencapai 5 %, pada kuartal ke tiga melemah menjadi minus 10 %, kemudian pada kuartal ke-empat mengalami peningkatan tajam hinggga positif 15 %. Pada kuartal kelima menurun menjadi minus 10 % lagi, pada kuarta ke-tujuh menanjak lagi hingga positif 10 %, kemudian pada kuartal ke-delapan menurun lagi negatif 10 %, dan pada kuartal ke-sembilan meningkat lagi menjadi positif 9 % dan selalu positif sampai dengan akhir periode. Sementara itu, pengaruh kebijakan moneter terhadap terhadap volatilitas
pasar
modal
(LSDIHSG)
menunjukkan
situasi
yang
berkebalikan dari periode sebelumnya. Pada periode ini, pada awal kuartal yakni kuartal ke-tiga menunjukkan pengaruh yang positif sebesar 20 %, namun sejak kuartal ke-empat menurun menjadi minus 10 %, pada kuartal ke-lima sempat naik menjadi positif 10 %, namun setelah kuartal ke-enam menurun dibawah base-line berkisar antara negatif 0 sampai 5 %. Situasi yang sama terjadi pada pasar uang, pengaruh kebijakan moneter
pada
periode
ini
ternyata
berbeda
dengan
periode
sebelumnya. Jika periode sebelumnya hubungannya negatif, maka pada periode ini mengalami fluktuasi yang naik turun secara tajam. Pada kuartal ke-dua pengaruh shock kebijakan moneter terhadap volatilitas pasar uang (LSDSPUAB) meningkat menjadi positif 30 %, namun kemudian kuartal ke-tiga menurun menjadi minus 30 %, kuartal keempat melejit meningkat menjadi positif 40 %, pada kuartal ke-lima minus 20 %, sampai dengan akhir periode terus begitu yakni naik pada kuartal ganjil dan menurun pada kuartal genap. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pada periode ini justru kebijakan moneter berpengaruh paling besar terhadap volatilitas 23
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
pasar valuta asing dan pasar uang dibandingkan terhadap pasar modal. Salah satu penjelasannya adalah pada masa ini pasar modal relatif otonom karena semakin tumbuh pesat terutama semakin banyaknya pemain asing di dalam bursa. Keadaan ini menyebabkan kebijakan moneter kurang berpengaruh. Sementara untuk pasar valuta asing sebenarnya terjadi over value di mana nilai tukar mata uang yang dipatok pemerintah jauh lebih murah dari pada nilai pasar, hal ini mengundang para spekulan untuk aktif bergerak memborong rupiah. Pada saat bersamaan, modal asing juga mengalir secara besar-besaran kepada sektor riil domestik. Dua faktor itulah yang menyebabkan volatilitas nilai tukar sangat tinggi, terutama sebagai respons adanya kebijakan moneter yang tetap ekspansif. Keadaan ini semakin menjadi-jadi ketika pada tahun 1997 kuartal kedua terjadi contagious effect dari krisis kawasan yang menyebabkan terjadi kepanikan, dan pada saat yang sama terjadi kelangkaan dollar. Keadaan ini disebabkan para spekulan melakukan aksi jual rupiah yang ditukar dengan dolar AS, dan para pengusaha memborong dolar dalam rangka melunasi utang-utang mereka yang telah jatuh tempo. Maka, terjadilah depresiasi rupiah ratusan persen yang memicu krisis ekonomi menjadi berkepanjangan. Demikian halnya pada pasar uang, pada masa ini juga terjadi fluktuasi disebabkan karena selalu adanya ketakutan terjadinya capital flight. Maka, dengan selalu ditetapkannya kebijakan suku bunga tinggi menyebabkan pasar uang lebih volatile, terutama jika terdapat isu-isu non ekonomi, seperti isu tentang kesehatan Presiden.
24
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
-IR VAR Masa Krisis (1997.3-2001.4) Grafik 3. Impulse Response LSDEXR, LSDIHSG, LSDSPUAB Periode 1997.3-2001.4 Response of LSDEXR to One S.D. LM2 Innovation 0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Response of LSDIHSG to One S.D. LM2 Innovation 0.2 0.1 0.0 -0.1 -0.2 -0.3 -0.4 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Response of LSDSPUAB to One S.D. LM2 Innovation 0.2
0.1
0.0
-0.1
-0.2
-0.3 1
2
3
4
5
6
7
25
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
8
9
10
Pada masa krisis yakni pada periode 1997.3-2001.4, pengaruh kebijakan moneter terhadap volatilitas nilai tukar (LSDEXR) pada kuartal ke-dua menunjukkan respons yang positif sebesar 50 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa pada awal periode kebijakan moneter dengan pengetatan uang yang bertujuan menurunkan inflasi dan menstabilkan nilai tukar. Namun setelah pemerintah menetapkan kebijakan nilai tukar mengambang, yang berarti naik turunnya nilai tukar tergantung oleh pasar, maka sejak kuartal ke-tiga mengalami respons yang negatif sebesar 10 % hingga akhir periode pada kuartal ke-10.
Atau
dengan
kata
lain
setelah
penetapan
nilai
tukar
mengambang, kebijakan moneter tidak terlalu berpengaruh terhadap volatilitas pasar valas. Sementara itu, pengaruh kebijakan moneter terhadap volatilitas pasar modal (LSDIHSG) terlihat bahwa pada kuartal pertama minus 40 %, kemudian pada kuartal ke-dua dan ke-tiga positif 10 % dan 15 %, kemudian pada kuartal ke-empat menurun lagi menjadi minus 20 %. Pada kuartal ke-enam meningkat menjadi positif 10 %, pada kuartal ke-tujuh menurun menjadi minus 10 %, kemudian meningkat lagi hingga di atas base line. Secara kesuluruhan pada periode ini, pengaruh kebijakan moneter terhadap pasar modal bersifat fluktuatif naik turun. Demikian pula yang terjadi pada pengaruh kebijakan moneter terhadap volatilitas pasar uang (LSDSPUAB) juga menunjukkan situasi fluktuatif yang tajam. Sebelum kuartal ke-tujuh, terjadi fluktuasi dimana dapat diterangkan bahwa pada kuartal genap pengaruhnya menunjukkan
angka
positif,
sebaliknya
pada
kuartal
ganjil
memperlihatkan pengaruh yang negatif. Namun setelah kuartal ketujuh, pengaruhnya menjadi negatif sampai selesai akhir periode. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada periode ini pengaruh kebijakan moneter terhadap volatilitas pasar uang dan pasar modal lebih besar dibandingkan dengan volatilitas pasar valas.
26
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Simpulan Seperti beberapa penelitian sebelumnya studi ini menemukan bahwa kebijakan moneter memang berpengaruh terhadap volatilitas harga-harga aset. Karena studi ini membandingkan tiga periode maka pada setiap periode terdapat perbedaan pengaruh terbesar kebijakan moneter terhadap harga-harga aset. Dengan menggunakan metode variance decomposition, pada periode 1990.1-1993.3 terlihat bahwa kebijakan moneter (LM2) paling kuat berpengaruh terhadap volatilitas pasar
valuta
asing
(LSDEXR),
kemudian
volatilitas
pasar
uang
(LSDSPUAB) dan terakhir volatilitas pasar modal (LSDIHSG). Pada periode
1993.4-1997.2
kebijakan
moneter
(LM2)
paling
kuat
berpengaruh terhadap volatilitas pasar uang (LSDSPUAB), pasar modal (LSDIHSG), dan terakhir pasar valuta asing (LSDEXR). Pada periode 1997.3-2001.4, kebijakan moneter (LM2) paling kuat berpengaruh terhadap volatilitas pasar modal (LSDIHSG), volatilitas nilai tukar (LSDEXR), dan terakhir volatilitas pasar uang (LSDSPUAB). Dengan menggunakan metode impulse response terlihat bahwa selama periode 1990.1-1993.3 ini, pengaruh kebijakan moneter terhadap volatilitas pasar modal paling kuat dibandingkan dengan pasar uang dan pasar modal. Sementara itu, pada periode 1993.41997.2, pengaruh kebijakan moneter terhadap volatilitas pasar valas dan pasar uang jauh lebih besar dari pada terhadap pasar modal. Sementara pada periode krisis 1997.3-2001.4, pengaruh kebijakan moneter terhadap volatilitas harga uang dan modal jauh lebih besar dari pada pasar valas. DAFTAR PUSTAKA Agenor, Pierre-Richard, dan Joshua Aizenman, (1998), " Volatility and the Welfare Cost of Financial Market Integration", Policy Research Working Paper World Bank No:1974, September Alba Pedro, dkk, (1999), “Volatility and Contagion in a Financially, integrated World: Lessons From East Asia’s Recent Experience” 27
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
dalam Gordon de Brouwer, Deregulation, Routledge.
dkk,
Asia
Pacific
Financial
Alier, Max dan Dimitri Vittas, (2000), "Personal Pension Plans and Stock Market Volatility", Policy Research Working Paper World Bank No: 2463, Oktober. Beck, Thorsten, dkk, (2001), "Financial Intermediary Development and Growth Volatility: Do Intermediaries Dampen or Magnify Shocks?", Policy Research Working Paper World Bank No: 2707, September. Bernanke, Ben S dan Mark Gertler, (2000), “Monetary Policy and Aset Price Volatility", NBER Working Paper Series No:7559, February, diambil dari http://www.nber.org/paper/w7559. Catao Luis, dan Bennet Sutton, (2002), “Sovereign Defaults: The Role of Volatility, IMF Working Paper No WP/02/149, September. Denizer, Cevdet, dkk, (2000), "Finance and Macroeconomic Volatility" Policy Research Working Paper World Bank No: 2487, November Dueker, Michael J. (2002), "The Monetary Policy Innovation Paradox in VARs: A" Discrete" Explanation," Review, Federal Reserve Bank of St. Louis, March/April, Vol 84 No 2, hlm 43-49. Engle,
RF, dan CWJ Granger, (1991), Long-Run Economic Relationships: Reading in Cointegration, New York: Oxford University Press.
Enders, Walter. (1996), RATS Handbook for Econometric Time Series, New York: John Wiley and Sons. Gordon, David B dan Eric M. Leeper, (1994), “The Dynamic Impacts of Monetary Policy: An Exercises in Tentative Identification”, Journal of Political Economy Vol. 102 No 6, Hal. 1228-1247 Greene, William H, (2000), Econometric Analysis, 4th, New Jersey: Prentice Hall Gujarati, Damodar, Singapore.
(1995)
Basic
Econometrics,
McGraw-Hill;
Hakim, Lukman dan Nopirin, (2001), "Perbandingan Peranan Jalur Kredit dan Jalur Tingkat Suku Bunga pada Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter 1990-1999", Sosiohumanika, Program Pascasarjana UGM, Vol 14, No 1, Januari. 28
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Hendry, David F. (1995), Dynamic Econometrics, New York: Oxford University Press. Hill,
Hal. (1999) The Indonesian Economy in Crisis: Consequences, and Lessons, Singapore: ISEAS.
Causes,
Kakes, Jan. (2000), Monetary Transmission in Europe: The Role of Financial Markets and Credit, Messachusetts USA: Edward Elgar Publishing. Liang,
Hong, (1998), "The Volatility of the Relative Price of Commodities in Term of Manufactures Across Exchange Regimes: A Theoretical Model", IMF Working Paper, WP/98/163.
Min, Hong G dan Jong-goo Park, (2000), "How the Republic of Korea's Financial Structure Affects the Volatility of Four Aset Price", Policy Research Working Paper 2327, April. Montes, Manuel F, (1999) The Currency Crisis: In Southeast Asia, Singapore: ISEAS. Park, Beum-Jo, (2002), "Asymmetric Volatility of Exchange Rate Returns under The EMS: Some Evidence from Quantile Regression Approach for TGARCH Model", International Economic Journal, Vol 16, Number 1, Spring. Sims,
Christopher A. (1980a), “Macroeconomic Econometrica, January, Vol 48, No 1, Hal. 1- 48
and
Realty”,
Sims, Christopher A. (1980b), “Comparison of Interwar and Postwar Business Cycles: Moneterism Reconcidered”, The American Economic Review, January Vol 70, No 2, Hal. 250- 257. Tanner, Evan, (2001), "Exchange Market Pressure and Monetary Policy: Asia and Latin America in the 1990s", IMF Staff Paper, Vol 47. No 3. Thomas, RL, (1997), Modern Econometrics: An Introduction, England: Addison-Wesley.
29
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com