Kearifan Lokal.docx

  • Uploaded by: Isna Wati
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kearifan Lokal.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 10,762
  • Pages: 33
http://duniailmudancerita.blogspot.com/2015/08/makalah-tentang-kearifan-lokal-di.html

KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT. atas limpahan rahmat-Nya kepada semua hamba-Nya. Rasa syukur dapat kita wujudkan dengan cara memelihara lingkungan dan mengasah akal budi kita untuk memanfaatkan karunia-Nya. Adapun salah satu perwujudan rasa syukur saya yaitu berusaha menggapai cita-cita saya. Salah satu usaha saya adalah dengan membuat makalah yang sesuai dengan materi yang telah diberikan oleh Ibu Guru. Segala usaha telah saya lakukan untuk membuat makalh ini. Namun, dalam usaha saya yang maksimal itu saya menyadari tentu masih terdapat kelebihan dan kekurangan, untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi menyempurnakan makalah ini. Hulo , 10 Mei 2015 Penulis

DAFTAR ISI Halaman Judul........................................................................................................................ ...i Kata Pengantar................................................................................................................... ......ii Daftar Isi................................................................................................................. ........... .........iii BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................................1 A. Latar Belakang........................................................................................ .......1 B. Rumusan Masalah........................................................................................2 C. Tujuan................................................................................................................2 BAB 2 PEMBAHASAN A. Kearifan Lokal Dalam Pemanfaatan SDA di Sulawesi Selatan...3 BAB 3 PENUTUP........................................................................................................... ...9 A. Kesimpulan........................................................................................................9 B. Saran....................................................................................................................9

Daftar Pustaka...................................................................................................................... ...10

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kearifan lokal adalah tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berintraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif. Kearifan lokal berasaladari nenek moyang yang menyatu dalam kehidupan manusia yang diturunkan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal tercermin dalam religi, budaya, dan adat istiadat. Masyarakat melakukan adaptasi terhadap lingkungan tempat tinggalnya dengan mengembangkan suatu kearifan dalam wujud pengetahuanatau ide, nilai budaya, serta peralatan, yang dipadukan dengan nilai dan norma adat dalam aktivitas mengelolah lingkungan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Indonesia kaya akan budaya dan kearifan lokal masyarakat. Suku-suku di Indonesia yang jumlahnya ribuan memiliki kearifan lokal yang menjadi ciri khas masing-masing. Hal ini karena kondisi geografis antarwilayah yang berbeda sehingga penyesuaian kearifan lokal terhadap alam juga berbeda. Namun, pada dasarnya kearifan lokal di setiap wilayah sama, yaitu sebagai aturan, pengendali, rambu-rambu, dan pedoman masyarakat dalam memperlakukan alam sekitar. Bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa nilai, norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus. Salah satunya yaitu kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya alam khususnya di Sulawesi Selatan.

B. Rumusan Masalah Apa saja kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya alam yang ada di Sulawesi Selatan? C. Tujuan Untuk mengetahui kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya alam yang ada di Sulawesi Selatan.

BAB 2 PEMBAHASAN Adapun beberapa kearifan lokal dalam pemanfaatan SDA di Sulawesi Selatan yaitu; 1. Kearifan Lokal Nelayan Torani dalam Perikanandi Kabupaten Takalar Kearifan lokal masih berlaku dan dipatuhi masyarakat setempat dengan adanya Dewan Marga, adanya sistem pengelolaan sungai dan masih dipakainya pola pertanian yang khas seperti huma.Hasil survey lokasi pengelolaan sumberdaya laut di Kabupaten Indragiri Hilir Riau tepatnya di Desa Panglima Raja mengindikasikan adanya kearifan lokal dalam pengelolaan wilayah laut seperti adanya pantang larang yang dianut masyarakat diantaranya adalah dilarang menancapkankain hitam di laut, dilarang menggunakan alat tangkap Songko bermesin dan dilarang berhubungan badan di laut. 2. Koko dan Tattakeng To Bentong – Sulawesi Selatan Sebelum mengenal pertanian padi sawah, orang To Bentong mewariskan lahan bagi keturunannya berupa kebun (Koko) dan lading yang ditinggalkan(Tattakeng). Koko adalah lahan perladangan yang diplah secara berpindah, sedangkan Tattakeng adalah lahan bekas perladangan yang sedang diberakan. 3. Moposad dan Moduduran Bolaang Mongondow- Sulawesi Selatan Moposad dan Moduduran merupakan pranata tolong menolong yang penting untuk menjaga keserasian lingkungan. 4. Maccera Tasi Luwu – Sulawesi Selatan Maccera Tasi terbuktiefektif dalam mengunggah emosi keagamaan warga masyarakat. Pada saat pelaksanaan upacara, mereka diingatkan atas tanggung jawabnya untuk menghormati laut, menjaga kebersihannya, tidak merusak , dan tidak menguras potensi ikan laut secara berlebihan. 5. Pasang Ri Kajang Ammatoa,Kajang – Sulawesi Selatan Masyarakat adat Ammatoa bermukim di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang,Kabupaten Bulukumba, yang berjarak kurang lebih 540 km ke arah tenggara dari kota Makassar, Sulawesi Selatan. Pasang Ri Kajang merupakan pandangan hidup komunitas Ammatoa yang mengandung etika dan norma, baik berkaitan perilaku sosial maupun perilaku terhadap lingkungan dan alam sekitarnya serta hubungan manusia dan pencipta-Nya. Ammatoa bertugas untukmelestarikan Pasang Ri Kajang dan menjaganya agar komunitas Ammatoa tetap tunduk dan patuh kepada Pasang. Pasang merupakan pandangan yang bersifat mengatur, tidak dirubah, ditambah maupun dikurangi. 6. Kearifan Lokal di Seko Luwu Utara – Sulawesi Selatan Kearifan masyarakat adat Seko adalah menjaga hutan. Masyarakat tidak akan melakukan penebangan pohon di hutan secara serampangan dan berlebihan, mereka sangat memahami dampak hal tersebut jika dilakukan. Selain itu adapula kearifan lokal lainnya seperti bercocok tanam, pembuatan rumah, dan penenganan hama yang menyerang tanaman. 7. Massellu Tana Suku Bugis – Sulawesi Selatan Suatu cara menghormati tempat tinggal dengan memberi makanan berupa kukus hitam dan putih di tiang tengah rumah. Hal ini dilakukan sebagai penghormatan saja pada wilayah(tanah) tempat tinggal tetapi bukan sebagai wujud penyembahan. 8. Ma Suru Baca

Suku Bugis – Sulawesi Selatan Ma Suru Baca dilakukan pada waktu tertentu seperti selesai panen, penyambutan bulan ramadhan, serta penyambutan hari raya. Jika dilakukan pada waktu selesai panen, hal ini bermaksud ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT. atas rezeki yang telah diberikan kepada hamba-Nya.

BAB 3 PENUTUP A. Kesimpulan Kesimpulan dari pembahasan ini adalah pentingnya kearifan lokal dalam pemanfaatan SDA khususnya di Sulawesi Selatan. Kearifan lokal dapat berupa nilai, norma, kepercayaan dan aturan-aturan khusus yang berfungsi untuk pelestarian, pengembangan, dan konservasi SDA. Di Sulawesi Selatan memiliki beragam kearifan lokal sesuan dengan tradisi, suku,dan lain-lain. B. Saran Demikianlah hasil kerja kami dalam membuat makalah tentang Kearifan Lokal Dalam Pemanfaatan Sumber Daya Alam di Sulawesi Selatan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Mohon maaf bila adanya kesalahan,kami harap tuntunan dari pembaca agar dapat meyempurnakan hasil kerja kami selanjutnya.

http://chaidirsyamsul.blogspot.com/2016/12/kearifan-lokal-suku-bugis-di-sulawesi.html

KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas rahmat serta karunia-Nya sehingga saya berhasil menyelesaikan Makalah ini dengan baik serta tepat waktu dengan judul “KEARIFAN LOKAL SUKU BUGIS DI SULAWESI”. Makalah ini membahas tentang peran “KEARIFAN LOKAL” atau lebih khususnya membahas tentang aturan-aturan tradisional yang masih dipertahankan oleh masyarakat, dapat kita ketahui melalui makalah ini hal yang perlu kita lakukan untuk meningkatkan kesadaran kita tentang pentingnya kearifan lokal untuk tetap dilestarikan. Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi isi maupun tata letak, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun bagi pembaca pada umumnya. Semoga Tuhan yang Maha Esa senantiasa meridhai segala usaha saya. Amin. Pangkep, 3 September 2016

Penyusun,

DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................. Daftar Isi...................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1.1 Latar Belakang........................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah...................................................................... 2 1.3 Tujuan........................................................................................ 2 1.4 Manfaat Penulisan...................................................................... 3 1.5 Metode Penulisan....................................................................... 3

i ii 1

BAB II PEMBAHASAN............................................................................ 2.1 Definisi Kearifan Lokal............................................................. 5 2.2 Pulau Sulawesi........................................................................... 8 2.3 Suku-suku di Pulau Sulawesi..................................................... 16 2.4 Kearifan Lokal Suku Bugis........................................................ 18 BAB III PENUTUP.................................................................................... 3.1 Kesimpulan................................................................................ 28 3.2 Saran.......................................................................................... 28 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN

5

28

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat Indonesia memiliki kebudayaan yang multi dimensi, begitu pula dengan aspek bahasa, agama, ras dan warna kulit sehingga aspek pluralitas menjadi karakter dari bangsa ini. Dimensi keragaman di atas adalah perwujudan dari integritas bangsa itu sendiri. Hal ini merupakan konsekuensi dari aspek pluralitas dan multi dimensi masyarakat Indonesia, untuk itu transformasi kearifan lokal melalui wadah pendidikan menjadi sebuah alternatif untuk kembali membangun kemandirian bangsa di era global sekarang ini. Kearifan lokal sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious). Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya-tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah dimana komunitas itu berada. Dengan kata lain kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis-geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal. Menggali dan menanamkan kembali kearifan lokal secara inheren melalui pendidikan dapat dikatakan sebagai gerakan kembali pada basis nilai budaya daerahnya sendiri sebagai bagian upaya membangun identitas bangsa, dan sebagai semacam filter dalam menyeleksi pengaruh budaya lain. Nilai-nilai kearifan lokal itu meniscayakan fungsi yang strategis bagi pembentukan karakter dan identitas bangsa. Peran pendidikan yang secara esensi mengandung upaya “memanusiakan manusia” merupakan sebuah perwujudan pembentukan karakter masyarakat yang lebih mandiri dengan berangkat dari kearifan lokal masing-masing daerah.

Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pembentukan jati diri bangsa secara nasional. Pendidikan dalam arti luas tidak hanya terjebak pada terminologi pendidikan formal, yang memiliki acuan perjenjangan yang jelas. Namun lebih dari itu pendidikan baik formal maupun non-formal harus mampu melakukan transformasi local wisdom dalam aktifitas pendidikan itu sendiri. Kerangka sederhana ini memungkinkan adanya hubungan relasional antara pendidikan dan kebudayaan. Dengan pendidikan orang dapat berbudaya, dan melalui budaya persaingan di era global menjadi lebih berarti. 1.2 Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan yang nantinya akan menjadi obyek kajian dalam perumusan makalah ini, yang mencakup: 1. Memaknai kearifan lokal sebagai intisari dari kekayaan budaya yang ada di Indonesia. Mampukah kekuatan local wisdom menjadi kekuatan dalam persaingan di era global? 2. Bisakah Indonesia bersaing di dunia Internasional? Membaca ulang peran masyarakat lokal dalam melestarikan pendidikan dan kebudayaan.

1.3 Tujuan Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa kearifan lokal yang ada di Indonesia akan menemukan eksistensinya jika ditopang oleh usaha mengintegrasikan antara pendidikan dan kebudayaan, sehinggandiharapkan mampu memberi kontribusi kepada masyarakat guna melestarikan dan mengembangkan local wisdom masing-masing untuk bersaing di era globalisasi. Berangkat dari kerangka di atas maka tujuan penulisan makalah ini adalah: 1. Memaknai intisari kearifan lokal sebagai khasanah kekayaan bangsa, sehingga kekuatan itu harus terus digali untuk membentuk kebudayaan yang mampu bersaing. 2. Mengetahui konsistensi masyarakat Indonesia dalam melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional melalui aspek pendidikan. 1.4 Manfaat Penulisan Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah: 1. Memberikan gambaran akan kekayaan budaya yang seharusnya menjadi kekuatan untuk bersaing di dunia Internasional. 2. Menjadikan kekuatan menulis sebagai kultur intelektual untuk membangun peradaban masyarakat Indonesia. 3. Memposisikan peranan penting pendidikan dalam membangun kekuatan kebudayaan. 1.5 Metode Penulisan Proses penulisan makalah ini berangkat dari minat untuk melakukan riset secara sederhana dalam lingkup literatur kepustakaan yang selanjutnya membentuk gagasan, konsep maupun teori.

Proses ini dilakukan melalui penelusuran dan menelaah referensi-referensi yang ada kaitannya dengan tema yang penulis angkat. Sebagai layaknya studi kualitatif yang sederhana proses bimbingan dan dialog secara intensif juga kami lakukan dalam perumusan naskah ini kepada dosen pembimbing yang bersangkutan. Karena proses penulisan ini menggunakan pola riset yang sederhana maka pola pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan membaca serta mempelajari buku atau karya yang telah dikelompokkan menjadi sumber primer dan sekunder. Sumber primer merupakan buku-buku pendidikan dan kebudayaan yang kemudian dikorelasikan dengan tema yang diangkat. Sedangkan sumber sekunder adalah buku penopang yang lain. Begitu juga dengan jurnal, dan data-data yang bisa dipertanggung jawabkan. Dalam pengolahan data penulis menggunakan metode deskriptif-analitis. Deskriptif dalam artian metode yang digunakan memakai pencarian data yang berkaitan dengan tema yang diangkat dengan interpretasi yang jelas, tepat, akurat dan sistematis. Sedangkan analitis dimaksudkan untuk menguraikan data secara kritis, cermat dan terarah. Untuk memperoleh analisis yang komprehensif, berikut akan diurai komposisi penyusunan makalah ini yakni terdiri atas tiga bab yang terdiri dari: Bab Pertama, merupakan bab pendahuluan yang memuat tentang latar belakang, rumusan maslah, tujuan penulisan dan manfaat penulisan. Bab Kedua, menjelaskan tentang pembahasan dari tema yang sedang diangkat. Sedangkan Bab Ketiga, merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Kearifan Lokal Kearifan lokal berasal dari dua kata yaitu kearifan (wisdom), dan lokal (local). Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Kearifan lingkungan atau kearifan lokal masyarakat sudah ada di dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman prasejarah hingga saat ini, kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya. Wietoler dalam Akbar (2006) Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Sistem pemenuhan kebutuhan masyarakat tersebut meliputi seluruh unsur-unsur kehidupan Agama/Kepercayaan, Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Ekonomi, Organisasi Sosial (Hukum, Politik), Bahasa/Komunikasi serta Kesenian.

Mereka mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan, memperbaiki, mengembangkan unsur kebutuhan mereka itu dengan memperhatikan ekosistem (flora, fauna dan mineral) serta sumberdaya manusia yang terdapat pada warga mareka sendiri. Kearifan lokal sesungguhnya mengandung banyak sekali keteladanan dan kebijaksanaan hidup. Pentingnya kearifan lokal dalam pendidikan kita secara luas adalah bagian dari upaya meningkatkan ketahanan nasional kita sebagai sebuah bangsa. Budaya nusantara yang plural dan dinamis merupakan sumber kearifan lokal yang tidak akan mati, karena semuanya merupakan kenyataan hidup (living reality) yang tidak dapat dihindari. a) Landasan Historis Kearifan lokal dapat bersumber dari kebudayaan masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu. Dalam perspektif historis, kearifan lokal dapat membentuk suatu sejarah lokal. Sebab kajian sejarah lokal yaitu studi tentang kehidupan masyarakat atau khususnya komunitas dari suatu lingkungan sekitar tertentu dalam dinamika perkembangannya dalam berbagai aspek kehidupan. Wijda dalam (Koentjaraningrat, 1986). Awal pembentukan kearifan lokal dalam suatu masyarakat umumnya tidak diketahui secara pasti kapan kearifan lokal tersebut muncul. Pada umumnya terbentuk mulai sejak masyarakat belum mengenal tulisan (praaksara). Tradisi praaksara ini yang kemudian melahirkan tradisi lisan. Secara historis tradisi lisan banyak menjelaskan tentang masa lalu suatu masyarakat atau asal-usul suatu komunitas. Perkembangan tradisi lisan ini dapat menjadi kepercayaan atau keyakinan masyarakat. Dalam masyarakat yang belum mengenal tulisan terdapat upaya untuk mengabadikan pengalaman masa lalunya melalui cerita yang disampaikan secara lisan dan terus menerus diwariskan dari generasi ke genarasi. Pewarisan ini dilakukan dengan tujuan masyarakat yang menjadi generasi berikutnya memiliki rasa kepemilikan atau mencintai cerita masa lalunya. Tradisi lisan merupakan cara mewariskan sejarah pada masyarakat yang belum mengenal tulisan, dalam bentuk pesan verbal yang berupa pernyataan yang pernah dibuat di masa lampau oleh generasi yang hidup sebelum generasi yang sekarang ini. b) Landasan Psikologis Secara psikologis pembelajaran berbasis kearifan lokal memberikan sebuah pengalaman psikologis kepada siswa selaku pengamat dan pelaksana kegiatan. Dampak psikologis bisa terlihat dari keberanian siswa dalam bertanya tentang ketidaktahuannya, mengajukan pendapat, persentasi di depan kelas, dan berkomunikasi dengan masyarakat. Dengan pemanfaatan lingkungan maka kebutuhan siswa tentang perkembangan psikologisnya akan diperoleh. Karena lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan perilaku individu, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis, termasuk didalamnya adalah belajar. Terhadap faktor lingkungan ini ada pula yang menyebutnya sebagai empirik yang berarti pengalaman. c) Landasan Politik dan Ekonomi Secara politik dan ekonomi pembelajaran berbasis kearifan lokal ini memberikan sumbangan kompetensi untuk mengenal persaingan dunia kerja. Dari segi ekonomi pembelajaran ini memberikan contoh nyata kehidupan sebenarnya kepada siswa untuk mengetahui kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena pada akhirnya siswa dididik dan disiapkan untuk menghadapi persaingan global yang menuntut memiliki ketrampilan dan kompetensi yang tinggi di lingkungan sosial.

d) Landasan Yuridis Secara yuridis pembelajaran berbasis kearifan lokal mengarahkan peserta didik untuk lebih menghargai warisan budaya Indonesia. Sekolah Dasar tidak hanya memiliki peran membentuk peserta didik menjadi generasi yang berkualitas dari sisi kognitif, tetapi juga harus membentuk sikap dan perilaku peserta didik sesuai dengan tuntutan yang berlaku. Apa jadinya jika di sekolah peserta didik hanya dikembangkan ranah kognitifnya, tetapi diabaikan afektifnya. Tentunya akan banyak generasi penerus bangsa yang pandai secara akademik, tapi lemah pada tataran sikap dan perilaku. Hal demikian tidak boleh terjadi, karena akan membahayakan peran generasi muda dalam menjaaga keutuhan bangsa dan Negara Indonesia. Nilai-nilai kearifan lokal yang ada di sekitar sekolah dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran di Sekolah Dasar. Tak terkecuali dalam pembelajaran untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme. Dengan diintegrasikannya nilai-nilai kearifan lokal dalam pembelajaran di Sekolah Dasar diharapkan siswa akan memiliki pemahaman tentang kerifan lokalnya sendiri, sehingga menimbulkan kecintaan terhadap budayanya sendiri. 2.2 Pulau Sulawesi Secara Etimologi, Sulawesi atau Pulau Sulawesi (atau sebutan lama dalambahasa Inggris: Celebes) adalah sebuah pulau dalam wilayah Indonesia yang terletak di antara PulauKalimantan disebelah barat dan Kepulauan Maluku disebelah timur. Dengan luas wilayah sebesar 174.600 km², Sulawesi merupakan pulau terbesar ke-11di dunia. Di Indonesia hanya luas pulau Sumatera, Kalimantan, dan pulau Papuasajalah yang lebih luas wilayahnya daripada pulau Sulawesi, sementara dari segi populasi hanya pulau Jawa dan Sumatera sajalah yang lebih besar populasinya daripada Sulawesi. Nama Sulawesi diperkirakan berasal dari kata dalam bahasa-bahasa di Sulawesi Tengah yaitu kata sula yang berarti nusa (pulau) dan kata mesi yang berarti besi (logam), yang mungkin merujuk pada praktik perdagangan bijih besi hasil produksi tambang-tambang yang terdapat di sekitar Danau Matano, dekat Sorowako, Luwu Timur. Sedangkan bangsa/orangorang Portugis yang datang sekitar abad 14-15 masehi adalah bangsa asing pertama yang menggunakan nama Celebes untuk menyebut pulau Sulawesi secara keseluruhan. Sedangkan berdasarkan letak geografisnya Sulawesi merupakan pulau terbesar keempat di Indonesia setelah Papua, Kalimantan dan Sumatera dengan luas daratan 174.600 kilometer persegi. Bentuknya yang unik menyerupai bunga mawar laba-laba atau huruf K besar yang membujur dari utara ke selatan dan tiga semenanjung yang membujur ke timur laut, timur dan tenggara. Pulau ini dibatasi oleh Selat Makasar di bagian barat dan terpisah dari Kalimantan serta dipisahkan juga dari Kepulauan Maluku oleh Laut Maluku. Sulawesi berbatasan dengan Borneo di sebelah barat,Filipina di utara, Flores di selatan, Timor di tenggara dan Maluku di sebelah timur. Pada saat kemerdekaan Indonesia, Sulawesi berstatus sebagai propinsi dengan bentuk pemerintahan otonom di bawah pimpinan seorang Gubernur. Propinsi Sulawesi ketika itu beribukota di Makassar, dengan GubernurDR.G.S.S.J. Ratulangi. Bentuk sistem pemerintahan propinsi ini merupakan perintis bagi perkembangan selanjutnya, hingga dapat melampaui masamasa di saat Sulawesi berada dalamNegara Indonesia Timur (NIT) dan kemudian NIT menjadi negara bagian dari negarafederasiRepublik Indonesia Serikat (RIS). Saat RIS dibubarkan dan kembali kepadaNegara Kesatuan Republik Indonesia, Sulawesi statusnya dipertegas kembali menjadi propinsi.Status Propinsi Sulawesi ini kemudian terus berlanjut sampai pada tahun 1960.

2.2.1

Sistem Pemerintahan Pemerintahan di Sulawesi dibagi menjadi enam provinsi berdasarkan urutan pembentukannya yaitu provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara,Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Sulawesi Barat. Sulawesi Tengah merupakan provinsi terbesar dengan luas wilayah daratan 68,033 kilometer persegi dan luas laut mencapai 189,480 kilometer persegi yang mencakup semenanjung bagian timur dan sebagian semenanjung bagian utara serta Kepulauan Togean di Teluk Tomini dan pulau-pulau di Banggai Kepulauan di Teluk Tolo. Sebagian besar daratan di provinsi ini bergunung-gunung (42.80% berada di atas ketinggian 500 meter dari permukaan laut) dan Katopasa adalah gunung tertinggi dengan ketinggian 2.835 meter dari permukaan laut.

2.2.2

Suku – Suku di Pulau Sulawesi Pulau Sulawesi, berada di Indonesia Bagian Tengah, dan memiliki bermacam-macam suku bangsa dengan corak budaya dan adat-istiadat yang memiliki keunikan masing-masing. Beberapa suku di pulau Sulawesi memiliki keterkaitan sejarah asal-usul dengan Formosa Taiwan, Filipina, Kalimantan dan Sumatra.

1. Sulawesi Utara                   

Minahasa Tombulu Tonsea Tontemboan Toulour Tondano Kakas Tonsawang Tombatu Bantik Babontehu Pasan Ratahan (Bentenan) Ponosakan Borgo Mongondow Sangir Talaud Bolango

     

Gorontalo Gorontalo Atinggola Suwawa Polahi

2. Sulawesi Tengah  Ampana  Balantak  Banggai: - Banggai Kepulauan - Sea-sea (Banggai Pegunungan)  Bobongko  Bungku: - Ulumanda  Buol  Bajau (pulau Papan, pulau Milok dll)  Dampeles  Dampal  Daya di Buol Tolitoli (pegunungan)  Dondo  Kahumamahon  Kaili: - Ado (daerah Sibalaya, Sibovi dan Pandere) - Baras - Bare'e (daerah Touna, Tojo, Unauna dan Poso) - Bunggu (di Sulawesi Barat) - Da'a - Doi (daerah Pantoloan dan Kayumalue) - Edo (daerah Pakuli dan Tuva) - Ija (daerah Bora dan Vatunonju) - Ledo - Lindu (To Lindu) - Moma (Ngata Toro) - Pamona o Bada o Benggaulu o Besoa (Behoa)  Orang Katu o Napu o Rampi (Leboni)

o Topoiyo o Uma Pipikoro  Bana o Onda'e o Wingkendano o Lage o Pebato o Lamusu - Pekurehua (Napu) - Rai - Sarudu - Sedoa - Tado - Tara (daerah Talise, Lasoani, Kavatuna dan Parigi) - Tohulu - Tolare - Unde  Kulawi (To Kulawi) - Peana (To Peana) - Kalamanta - Winatu (To Winatu). - Kantewu (To Kantewu) - Siwongi  Lore (To Lore)  Mori (To Mori) - Moleta (Mori atas) - Petasia (Mori bawah) - Lembo (Mori bawah) - Murungkuni - Tovatu (Towatu) - Musimbat - Tomoki - Toroda - Molongkuni - Mobahono - Uluowoi - Padoe (To Padoe) - Karunsie (To Karunsi'e) - Tambee (To Tambe'e)  Mamasa  Marena (To Marena)  Pakawa (To Pakava)  Pendau (kabupaten Tolitoli)  Saluan (Loinang)

          

Sinduru (Tuva) Ta'a Uwemea Toili Tau Ta'a Wana (To Wana) Burangas Kasiala Posangke Untunu Ue Togean Tojo (Tajio) Tolaki Tolitoli (kabupaten Tolitoli) Tomini Tialo Lauje Orang Tompu Toro To Rompoe

3. Sulawesi Selatan  Bentong  Bugis  Duri  Enrekang  Kalekaju (To Kalekaju)  Konjo, terdiri dari: - Konjo Pesisir - Konjo Gunung - Konjo Hitam (Kajang)  Maiwa  Makassar  Mandar  Maroangin (Marowangin)  Massenrempulu  Rampi (To Rampi)  Pattinjo  Seko (To Seko, To Lemo)  Selayar (To Silajara)  Toala (Pannei)  To Balo  Tolotang (Towani Tolotang)  Toraja (To Raja, To Raya)

 Wotu (suku Luwu)  distrik Nuha Luwu Timur: - Weula (To Weula) - Kondre (To Kondre) - Taipa (To Taipa) - Padoe (To Padoe) - Karunsie (To Karunsi'e) - Tambee (To Tambe'e) - Tokinadu - Routa (To Routa), pindah ke Sulawesi Tenggara - Lamundre (To Lamundre), pindah ke Sulawesi Tenggara

4. Sulawesi Barat       

Bunggu Campalagian Mamasa (To Mamasa) Mamuju Mandar Pattae Toraja

5. Sulawesi Tenggara  Cia-Cia  Kabaena  Moronene  Muna  Mekongga  Pancana  Tolaiwiw  Tolaki  Tukang Besi  Wakatobi  Wawonii  Wolio  Wosai  pulau Buton:

- Buton - Wolio - Kalisusu - Katobengke  Proto Buton (penghuni pertama pulau Buton) - Wambolebole - Kombilo - Wakarorondo (Wakaokili)  Proto Sulawesi Tenggara: - Tokira - Towuna - Toala - Towana - Katobengke - Moronene - To Aere (Toaere) - To Laiwoi (To Laiwuri) - To Kudiho, (orang kerdil yang mendiami daerah Wundulako di kawasan lembah pegunungan Tamosi, jauh sebelum kehadiran suku-suku di atas)  Kelompok Bajo: - Bajo Kabaena - Bajo Wakatobi

2.3 Suku Bugis Suku Bugis, adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Sulawesi Selatan. Populasi suku Bugis ini adalah yang terbesar di Sulawesi Selatan, dan diperkirakan mencapai 6 juta orang pada sensus tahun 2000. Orang Bugis adalah termasuk bangsa perantau dan pengembara. Populasi suku Bugis tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, selain di Sulawesi Selatan, suku Bugis juga tersebar di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Komunitas suku Bugis juga ditemukan ada di provinsi Riau, tapi pada umumnya sudah mengikuti adat-istiadat suku Melayu Riau, walaupun begitu mereka tetap mengaku sebagai orang Bugis. Keturunan orang Bugis juga ditemukan di Malaysia dan Brunei. Agama Islam masuk ke kalangan orang Bugis pada abad 17, yang berkembang dengan cepat, sehingga saat ini menjadi agama rakyat bagi masyarakat Bugis. Orang Bugis mayoritas adalah pemeluk agama Islam. Asal-usul suku Bugis pertama kali diperkirakan berasal dari daratan China Selatan, menurut para peneliti dikatakan dari Yunnan, China Selatan, sekitar awal abad Masehi, bersama kelompok deutro malayan, yang masuk dengan kelompok yang besar- ke wilayah kepulauan Asia Tenggara ini. Menurut dugaan lain, bahwa orang Bugis ini adalah penduduk penghuni daerah pesisir

Indochina, di sekitar Burma dan Thailand, yang terdesak oleh bangsa Arya yang menginvasi daerah pesisir Indochina. Mereka sempat bertahan dan berperang melawan bangsa Arya ini, tapi karena mereka hanya terdiri dari para petani dan nelayan dan kalah dalam persenjataan, akhirnya mereka pun terpecah-pecah dan tersebar ke daerah kepulauan di Asia Tenggara dan salah satunya mendarat ke daerah Sulawesi Selatan sekarang ini. Di daerah baru ini, mereka berbaur dengan penduduk asli yang terlebih dahulu berada di daerah ini. Tapi karena pertumbuhan mereka sangat pesat dengan budaya yang mereka bawa, akhirnya penduduk asli terdesak masuk lebih ke pedalaman dan menyingkir ke daerah lain. Orang Bugis menyebut dirinya sebagai "To Ugi" yang berarti "orang Bugis". Nama "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton. Seiring waktu berjalan, masyarakat Bugis purba ini tumbuh dan berkembang selama beberapa abad, dan menjadi beberapa kelompok-kelompok kecil yang tersebar ke segala penjuru pulau Sulawesi. Setelah beberapa abad berjalan, dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa kabupaten yaitu Luwu, Bone,Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan). Secara sejarah asal-usul orang Bugis masih satu rumpun dengan orang Makassar dan orang Mandar. Banyak terdapat kemiripan dari segi adat-istiadat, budaya dan bahasa antara ketiga suku bangsa ini. Selain banyak terlibat hubungan kekerabatan di antara mereka. Pemukiman masyarakat suku Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, kebanyakan masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan. 2.4 Kearifan Lokal Suku Bugis Pada masyarakat Bugis, kearifan lokal ternyata terdokumntasi dengan baik dalamkarya sastra mereka dan tertuang dalam karya sastra Bugis klasik.

1. Bawaan Hati yang Baik (Ati Mapaccing) Dalam bahasa Bugis, Ati Mapaccing (bawaan hati yang baik) berarti nia’ madeceng (niat baik), nawa-nawa madeceng (niat atau pikiran yang baik) sebagai lawan dari kata nia’ maja’ (niat jahat), nawa-nawa masala (niat atau pikiran bengkok). Dalam berbagai konteks, kata bawaan hati, niat atau itikad baik juga berarti ikhlas, baik hati, bersih hati atau angan-angan dan pikiran yang baik. Tindakan bawaan hati yang baik dari seseorang dimulai dari suatu niat atau itikad baik (nia mapaccing), yaitu suatu niat yang baik dan ikhlas untuk melakukan sesuatu demi tegaknya harkat dan martabat manusia. Bawaan hati yang baik mengandung tiga makna, yaitu a) menyucikan hati, b) bermaksud lurus, dan c) mengatur emosi-emosi. Pertama, manusia menyucikan dan memurnikan hatinya dari segala nafsu- nafsu kotor, dengki, iri hati, dan kepalsuan-kepalsuan. Niat suci atau bawaan hati yang baik diasosiasikan dengan tameng (pagar) yang dapat menjaga manusia dari serangan sifat-sifat tercela. Ia bagai permata bercahaya yang dapat menerangi dan menjadi hiasan yang sangat berharga. Ia bagai air jernih yang belum tercemar oleh noda-noda atau polusi. Segala macam hal yang dapat menodai kesucian itu harus dihindarkan dari hati, sehingga baik perkataan maupun perbuatan dapat terkendali dengan baik. 2. Konsep Pemerintahan yang Baik (good governance) Istilah good governance tak bisa dilepaskan dari konteks perbincangan mengenai politik dan paradigma pembangunan yang berkembang di dunia. Bila dilacak agak teliti, penggunaan istilah ini belum lebih dari dua dekade. Diduga, good governance pertama kali diperkenalkan sekitar tahun 1991 dalam sebuah resolusi The Council of the European Community yang membahas Hak Asasi Manusia, Demokrasi, dan Pembangunan.. Di dalam resolusi itu disebutkan, diperlukan empat prasyarat lain untuk dapat mewujudkan Pembangunan yang berkelanjutan, yaitu mendorong penghormatan atas hak asasi manusia, mempromosikan nilai demokrasi, mereduksi budget pengeluaran militer yang berlebihan dan mewujudkan good governance. Sejak saat itu, good governance mulai diperbincangkan dan diakomodasi dalam berbagai konvensi dan resolusi yang berkaitan dengan pembangunan, baik dalam perbincangan pembangunan di UNDP maupun di Lome Convention, Bantuan Pembangunan yang bersifat Multilateral dan Bilateral. Istilah good governance telah diterjemahkan menjadi penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tata pemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih (Effendi, 2005). Dalam kepustakaan Bugis, untuk terwujudnya permerintahan yang baik, seorang pemimpin dituntut memiliki 4 kualitas yang tak terpisahkan antara satu dengan lainnya. Keempat kualitas itu terungkap dalam ungkapan Bugis. Maccai na Malempu; Waraniwi na Magetteng (Cendekia lagi Jujur, Berani lagi Teguh dalam Pendirian.) Bila ungkapan di atas diurai maka ada empat karakteristik seorang pemimpin yang diangap dapat memimpin suatu negeri, yaitu: cendekia, jujur, berani, dan teguh dalam pendirian. Ungkapan itu bermakna bahwa kepandaian saja tidak cukup. Kepandaian haruslah disertai dengan kejujuran, karena banyak orang pandai menggunakan kepandaiannya membodohi orang lain. Karerna itu, kepandaian haruslah disertai dengan kejujuran. Selanjutnya, keberanian saja tidak cukup.

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

1. 2. 3. 4. 5. 3.

Keberanian haruslah disertai dengan keteguhan dalam pendirian. Orang yang berani tetapi tidak cendekia dan teguh dalam pendirian dapat terjerumus dalam kenekadan. Syarat terselenggaranya pemerintahan negeri dengan baik terungkap dalam Lontarak bahwa pemimpin negeri haruslah: Jujur terhadap Dewata Seuwae (Tuhan YME) dan sesamanya manusia. Takut kepada Dewata Seuwae (Tuhan YME) dan menghormati rakyatnya dan orang asing serta tidak membeda-bedakan rakyatnya. Mampu memperjuangkan kebaikan negerinya agar berkembang biak rakyatnya, dan mampu menjamin tidak terjadinya perselisihan antara pejabat kerajaan dan rakyat. Mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya. Berani dan tegas, tidak gentar hatinya mendapat berita buruk (kritikan) dan berita baik (tidak mudah terbuai oleh sanjungan). Mampu mempersatukan rakyatnya beserta para pejabat kerajaan. Berwibawa terhadap para pejabat dan pembantu-pembantunya. Jujur dalam segala keputusannya. Kemudian, I Mangada’cina Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang membuat pesan yang isinya bahwa ada lima sebab yang menyebabkan negeri itu rusak, yaitu: Kalau raja yang memerintah tidak mau diperingati. Kalau tidak ada cendekiawan dalam suatu negara besar. Kalau para hakim dan para pejabat kerajaan makan sogok. Kalau terlampau banyak kejadian-kejadian besar dalam suatu negara. Kalau raja tidak menyayangi rakyatnya. Demokrasi (Amaradekangeng) Kata amaradekangeng berasal dari kata maradeka yang berarti merdeka atau bebas. Pengertian tentang kemerdekaan ditegaskan dalam Lontarak sebagai berikut: Niaa riasennge maradeka, tellumi pannessai: Seuani, tenrilawai ri olona. Maduanna, tenriangkai’ riada-adanna. Matellunna, tenri atteanngi lao ma-niang, lao manorang, lao orai, lao alau, lao ri ase, lao ri awa Demokrasi sebagai bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara terungkap dalam sastra Bugis sebagai berikut: Yang disebut merdeka (bebas) hanya tiga hal yang menentukannya: pertama, tidak dihalangi kehendaknya; kedua, tidak dilarang mengeluarkan pendapat; ketiga tidak dilarang ke Selatan, ke Utara, Ke Barat, ke Timur, ke atas dan ke bawah. Itulah hakhak kebebasan. Rusa taro arung, tenrusa taro ade, Rusa taro ade, tenrusa taro anang, Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega. (Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat, Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan orang banyak). Keamanaan, dan pelaksanaan pemerintahan negara (Said, 1998). Konsep di atas sejalan dengan konsep demokrasi yang dianut saat ini yang mana kedaulatan ada di tangan rakyat. Kata

1.

2.

3.

4.

“demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam ungkapan itu, jelas tergambar bahwa kedudukan rakyat amat besar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Rakyat berarti segala-galanya bagi negara. Raja atau penguasa hanyalah merupakan segelintir manusia yang diberi kepercayaan untuk mengurus administrasi. Dari kutipan itu, jelas tergambar bahwa kekuatan berada di tangan rakyat, bukan di tangan raja. Jika hal ini dihubungkan dengan teori demokrasi Rousseau tentang volonte generale atau kehendak umum dan volonte de tous atau kehendak khusus, jelas tergambar bahwa teori Rousseau berkesesuaian dengan sistem pemerintahan yang dikembangkan di Tanah Bugis yaitu apabila dua kepentingan (antara penguasa dan rakyat) bertabrakan, kepentingan yang harus dimenangkan adalah kepentingan rakyat (umum). Dalam menjalankan pemerintahan, raja selalu berusaha untuk bertindak secara ekstra hatihati. Sesuatu yang akan dibebankan kepada rakyat haruslah terlebih dahulu dipertimbangkan. Artinya, acuan utama dari setiap tindakan adalah rakyat. Hal tersebut tertuang dalam Getteng Bicara (undang-undang) sebagai berikut. “Takaranku kupakai menakar, timbanganku kupakai menimbang, yang rendah saya tempatkan di bawah, yang tengah saya tempatkan di tengah, yang tinggi saya tempatkan di atas.” Ketetapan hukum yang tergambar dalam getteng bicara di tanah Bugis menunjukkan bahwa raja tidak akan memutuskan suatu kebijakan bila raja itu sendiri tidak merasa nyaman. Raja menjadikan dirinya sebagai ukuran dan selalu berusaha berbuat sepatutnya. Dari argumentasi itu, jelas tergambar bahwa negara adalah sepenuhnya milik rakyat dan bukan milik raja. Raja tidak dapat berbuat sekehendak hatinya kepada negara yang menjadi milik dari rakyat itu. Raja sama sekali tidak dapat membuat peraturan dengan seenaknya, terutama menyangkut kepentingan dirinya atau keluarganya. Semua peraturan yang akan ditetapkan oleh raja harus melalui persetujuan dari kalangan wakil rakyat yang telah mendapatkan kepercayaan dari rakyat. Jika raja melanggar ketentuan itu, berarti raja telah melanggar kedaulatan rakyat. Adat menjamin hak dan protes rakyat dengan lima cara sebagai berikut: Mannganro ri ade’, memohon petisi atau mengajukan permohonan kepada raja untuk mengadakan suatu pertemuan tentang hal-hal yang mengganggu, seperti kemarau panjang karena dimungkinkan sebagai akibat kesalahan pemerintah. Mapputane’, menyampaikan keberatan atau protes atas perintah-perintah yang memberatkan rakyat dengan menghadap raja. Jika itu menyangkut kelompok, maka mereka diwakili oleh kelompok kaumnya untuk menghadap raja, tetapi jika perseorangan, langsung menghadap raja. Mallimpo-ade’, protes yang mendesak adat karena perbuatan sewenang-wenang raja, dan karena usaha melalui mapputane’ gagal. Orang banyak, tetapi tanpa perlengkapan senjata mengadakan pertemuan dengan para pejabat negara dan tidak meninggalkan tempat itu kecuali permasalahannya selesai. Mabbarata, protes keras rakyat atau kaum terhadap raja, karena secara prinsipial masyarakat merasa telah diperlakukan tidak sesuai dengan panngadereng oleh raja, keluarga raja, atau pejabat kerajaan. Masyarakat atau kaum berkumpul di balai pertemuan (baruga) dan mendesak agar masalahnya segera ditangani. Kalau tidak, rakyat atau kaum bisa mengamuk yang bisa berakibat sangat fatal pada keadaan negara.

5. Mallekke’ dapureng, tindakan protes rakyat dengan berpindah ke negeri lain. Hal ini dilakukan karena sudah tidak mampu melihat kesewenang-wenangan di dalam negerinya dan protes-protes lain tidak ampuh. Mereka berkata: “Kamilah yang memecat raja atau adat, karena kami sekarang melepaskan diri dari kekuasaannya”.(Mattulada, 1985)

4. Kesetiakawanan Sosial (assimellereng) Konsep assimellereng mengandung makna kesehatian, kerukunan, kesatupaduan antara satu anggota keluarga dengan anggota keluarga lain, antara seorang sahabat dengan sahabat yang lain. Memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi, setia kawan, cepat merasakan penderitaan orang lain, tidak tega membiarkan saudaranya berada dalam keadaan menderita, dan cepat mengambil tindakan penyelamatan atas musibah yang menimpa seseorang, dikenal dengan konsep “sipa’depu-repu” (saling memelihara). Sebaliknya, orang yang tidak mempedulikan kesulitan sanak keluarganya, tetangganya, atau orang lain sekali pun disebut bette’ perru. Dalam kehidupan sehari-hari, manifestasi kesehatian dan kerukunan itu disebutkan dalam sebuah ungkapan Bugis: “tejjali tettappere , banna mase-mase”. Ungkapan tersebut biasanya diucapkan ketika seorang tuan rumah kedatangan tamu. Maksunya adalah “kami tidak mempunyai apa-apa untuk kami suguhkan kepada tuan. Kami tidak mempunyai permadani atau sofa yang empuk untuk tuan duduki. Yang kami miliki adalah kasih sayang. Lontarak sangat menganjurkan manusia memiliki perasaan kemanusiaan yang tinggi, rela berkorban menghormati hak-hak kemanusiaan seseorang, demi kesetiakawanan atau solidaritas antara sesama manusia, berusaha membantu orang, suka menolong orang menderita, berkorban demi meringankan penderitaan dan kepedihan orang lain dan berusaha pula untuk membagi kepedihan itu ke dalam dirinya. Dalam Lontarak disebutkan: Iya padecengi assiajingeng: - Sianrasa-rasannge nasiammase-maseie; - Sipakario-rio; - Tessicirinnaiannge ri sitinajae; - Sipakainge’ ri gau’ patujue; - Siaddappengeng pulanae. Yang memperbaiki hubungan kekeluargaan yaitu: - Sependeritaan dan kasih-mengasihi; - Gembira menggembirakan; - Rela merelakan harta benda dalam batas-batas yang wajar; - Ingat memperingati dalam hal-hal yang benar; - Selalu memaafkan. Dorongan perasaan solidaritas untuk membela, menegakkan, memperjuangkan harkat kemanusiaan orang lain atau perasaan senasib sepenanggungan di antara keluarga, kerabat, dan masyarakat dilukiskan dalam ungkapan-ungkapan Lontarak sebagai berikut: Eppai rupanna padecengi asseajingeng: - Sialurusennge’ siamaseng masseajing. - Siadampengeng pulanae masseajing. - Tessicirinnaiannge warangparang masseajing, ri sesena gau’ sitinajae.

-

Sipakainge’ pulannae masseajing ri sesena gau’ patujue sibawa winru’ madeceng. Empat hal yang mengeratkan hubungan kekeluargaan: Senantiasa kasih mengasihi sekeluarga. Maaf memaafkan sekeluarga. Rela merelakan sebagian harta benda sekeluarga dalam batas-batas yang layak. Ingat memperingati sekeluarga demi kebenaran dan tujuan yang baik.

5. Kepatutan (Mappasitinaja) Mappasitinaja berasal dari kata sitinaja yang berarti pantas, wajar atau patut. Mappasitinaja berarti berkata atau berbuat patut atau memperlakukan seseorang secara wajar. Bahwa seseorang dikatakan bertindak patut atau wajar bila ia mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Seseorang yang bertindak wajar berarti ia mampu menempatkan dirinya sesuai dengan kedudukannya. Ia tidak menyerakahi hak-hak orang lain, melainkan memahami hakhaknya sendiri. Di samping itu, ia pula dapat memperlakukan orang lain pada tempatnya. Ia sadar bahwa orang lain mempunyai hak-hak yang patut dihormati. Perbuatan wajar atau patut, dalam bahasa Bugis biasa juga disebut mappasikoa. Seorang yang berbuat wajar dalam arti mappasikoa berarti ia merasa cukup atas sesuatu yang dimilikinya. Ia bertindak sederhana. Dicontohkan oleh Rahim (1985), tentang sikap wajar Puang Rimaggalatung. Puang Rimaggalatung pernah berkali-kali menolak tawaran rakyat Wajo untuk diangkat menjadi Arung Matoa Wajo atas kematian Batara Wajo III yang bernama La Pateddungi Tosamallangi. Bukannya beliau tidak mampu memangku jabatan yang ditawarkan kepadanya, tetapi ia sadar bahwa jabatan itu sungguh sulit untuk diembannya. Namun, karena Adat (para wakil rakyat) dan rakyat Wajo sendiri merasa bahwa beliau pantas memimpin mereka, akhirnya tawaran itu diterima. Dua hal saling mencari lalu bersua, yakni perbuatan baik dan yang pantas. Barulah baik bila keduanya berpadu. Cara memadukannya ialah: 1. Membiasakan diri berbuat baik meskipun sulit dilakukan. 2. Rendahkanlah dirimu sepantasnya. 3. Ambillah hati orang sepantasnya 4. Menghadapi semak-semak ia surut langkah 5. Melalui jalan ia berhati-hati dan menyandarkan diri kepada Tuhan 6. Berusahalah dengan benar. Sebaliknya, lawan dari kata patut adalah berlebih-lebihan dan serakah. Watak serakah diawali keinginan untuk menang sendiri. Keinginan untuk menang sendiri dapat menghasilkan pertentangan-pertentangan dan menutup kemungkinan untuk mendapatkan restu dari pihak lain. Manusia yang berbuat serakah, justru akan menghancurkan dirinya sendiri karena orang lain akan menjauhinya. Dan apabila hati manusia dipenuhi sifat serakah, maka tiada lagi kebaikan yang bisa diharapkan dari manusia itu.

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Kearifan Lokal dalam kepustakaan Bugis masih sangat relevan dengan perkembangan zaman. Karena itu, Kearifan Lokal sebagai jati diri bangsa perlu direvitalisasi, khususnya bagi generasi muda dalam percaturan global saat dan di masa datang. Dengan demikian, identitas sebagai bangsa baik secara fisik maupun non fisik akan tetap terjaga.

3.2 Saran Mengingat aspek kebudayaan yang ada di Indonesia begitu beragam, maka perlu kiranya Perguruan Tinggi sebagai representasi dari dunia pendidikan yang ada dimasing-masing daerah untuk lebih serius dalam melakukan eksperimen ilmiah mengenai kekayaan etnisitas daerah masing-masing. Kemudian perhatian secara serius dapat dilakukan dan dikampanyekan guna kembali menjadi kearifan lokal sebagai pilar kemajuan bangsa Indonesia. Sehingga aspek kebudayaan yang beragam tersebut mampu diketahui, dikembangkan serta menjadi karakter masyarakat Indonesia yang terdiri dari beragam etnis dan latar belakang budaya.

DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Penerangan, Republik Indonesia: Propinsi sulawesi, 1953, hal. 176-177 "Indonesia: Provinces, Cities & Municipalities". City Population. Diakses pada 30 november 2016. “ “.2010. Kearifan lokal dalam sastra bugis klasik. Diakses pada 30 november 2016 pada situs http://lafinus.filsafat.ugm.ac.id/ “ “. Ceritaku. Diakses pada 1 Desember 2016 pada situshttp://www.ahmadmaulana.com/tag/cerita-ku/ “ “. 2011. Makalah peran pendidikan. Diakses pada 1 Desember 2016 pada situs http://hardysengawang.blogspot.com/ “ “.2012. Suku di Sulawesi. Diakses pada 1 2016 pada situs http://protomalayans.blogspot.com/ “ “.2012. Makalah Kearifan Lokal. Diakses pada 12 Januari 2013 pada situs http://erwinblogerwinpermana12.blogspot.com/

http://alrhizalmuhaimin.blogspot.com/2016/11/kearifan-budaya-lokal-bugis-makassar.html BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pada era global seperti sekarang ini, teknologi informasi sangat diperlukan dalam penunjang Berbagai macam bidang dalam sebuah Negara. Tidak dipungkiri lagi, teknologi informasi sekarang sudah merata dalam bidang kebudayaan setiap bangsa dan Negara. Teknologi informasi sendiri memiliki keuntungan dalam bidang kebudayaan setiap daerah yang dimiliki oleh suatu bangsa, demi melestarikan dan membuat budaya tersebut tetap hidup di jaman era globalisasi seperti saat ini. Sehingga tidak perlu ditakutkan lagi akan kehilangan budaya yang sudah turun temurun dari nenek moyang sampai saat ini. Di era globalisasi seperti saat ini, budaya westeren ( kebaratbarat`an) sudah merasuki setiap sendi-sendi Negara. Ini terjadi karena pada era globalisasi seperti saat ini setiap Negara lebih terbuka antar satu dan yang lainnya berbagi informasi, budaya, dan kebiasaan tentunya dari yang positif hingga negative. Kemajuan teknologi informasi saat ini sangat diperlukan untuk bidang kebudayaan, kenapa? Karena pada salah satu fitur teknologi informasi adalah intinya, kita sebagai user dari teknologi informasi itu sendiri bisa berbagi baik berbagi dalam Negara sendiri maupun Negara luar. Dengan adanya ini semua, budaya yang ada pada setiap daerah bangsa dan Negara tetap eksis ( terkenal ) dan tidak adanya penyelewengan Negara lain yang mengaku-ngaku suatu budaya Negara lain sebagai budaya negaranya sendiri sejak nenek moyang jaman dahulu. Indonesia adalah Negara yang luas. Terbentang dari sabang sampai merauke. Tidak di ragukan lagi Indonesia sebagai Negara yang kaya akan budaya memiliki daerah, agama, Suku bangsa yang berbeda, dan tentunya Indonesia memiliki budaya yang memiliki ciri khas setiap daerahnya. Salah satunya Budaya Daerah Suku Makassar. 2. 1. 2. 3. 4.

Rumusan Masalah Jelaskan latar belakang dari kearifan lokal suku Bugis Makassar.? Jelaskan Norma Hukum yang ada dalam suku Bugis Makassar.? Sebutkan Sistem kepercayaan dalam suku Bugis Makassar.? Sebutkan Sistem Kekerabatan yang ada pada suku Bugis Makassar.?

3. Tujuan 1. Menambah wawasan dan pengetahuan tentang sistem sosial budaya bugis Makassar. 2. Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Antropologi

BAB II PEMBAHASAN 1. Latar Belakang kearifan lokal suku Bugis Makassar (Siri na Pacca) Dalam budaya Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Mandar dan Tana Toraja) ada sebuah istilah atau semacam jargon yang mencerminkan identititas serta watak orang Sulawesi Selatan, yaitu Siri’ Na Pacce.

Secara lafdzhiyah Siri’ berarti : Rasa Malu (harga diri), sedangkan Pacce atau dalam bahasa Bugis disebu Pesse yang berarti : Pedih/Pedas (Keras, Kokoh pendirian). Jadi Pacce berarti semacam kecerdasan emosional untuk turut merasakan kepedihan atau kesusahan individu lain dalam komunitas (solidaritas dan empati). A. Pengertian Siri na Pacce Laica Marzuki (1995) pernah menyebut dalam disertasinya bahwa pacce sebagai prinsip solidaritas dari individu Bugis Makassar dan menunjuk prinsip getteng, lempu, acca, warani (tegas, lurus, pintar, berani) sebagai empat ciri utama yang menentukan ada tidaknya Siri’. Siri’ yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah masyarakat Bugis-Makassar adalah sesuatu yang dianggap sakral . Siri’ na Pacce (Bahasa Makassar) atau Siri’ na Pesse’ (Bahasa Bugis) adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan dari karakter orang Bugis-Makassar dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Begitu sakralnya kata itu, sehingga apabila seseorang kehilangan Siri’nya atau De’ni gaga Siri’na, maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia. Bahkan orang BugisMakassar berpendapat kalau mereka itu sirupai olo’ kolo’e ( seperti binatang ). Petuah Bugis berkata: Siri’mi Narituo (karena malu kita hidup ). Siri’ adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia, rasa dendam (dalam hal-hal yang berkaitan dengan kerangka pemulihan harga diri yang dipermalukan ). Jadi Siri’ adalah sesuatu yang tabu bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam interaksi dengan orang lain. Sedangkan pacce/pesse merupakan konsep yang membuat suku ini mampu menjaga solidaritas kelompok dan mampu bertahan di perantauan serta disegani. Paccemerupakan sifat belas kasih dan perasaan menanggung beban dan penderitaan orang lain, meskipun berlainan suku dan ras. Jadi, kalau pepatah Indonesia mengatakan “ Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul ”. Itulah salah satu aplikasi dari kata pacce, jadi Siri’ skopnya dalam skala intern, sedang pacce bersifat intern dan ekstern, sehingga berlaku untuk semua orang. B. Asal Mula Budaya Siri Na Pacce Menurut Iwata (Peneliti dari Jepang), pada mulanya, siri’ na pacce merupakan sesuatu yang berkaitan kawin lari. Yakni jika sepasang pria dan wanita kawin lari, maka mereka telah dianggap melakukan perbuatan siri’ dan membawa aib bagi keluarga. Keluarga perempuan selanjutnya disebut tumasiri’, yaitu orang-orang yang berhak menuntut sang pria secara hukum adat karena keluarganya dibawa kabur (kawin lari). Selama belum kembali melakukan perdamaian, maka selama itu pula sang pria tidak diperkenankan bertemu keluarga pihak perempuan sebagai pasangan kawin larinya. Perdamaian hanya bisa dilakukan secara adat dengan kembali membawa sang perempuan ke rumahnya yang selanjutnya disebut a’bajik. Jika ini belum dilakukan, maka status tumasiri’ tetap melekat bagi keluarga perempuan. Namun jika a’bajik sudah dilaksanakan, maka pasangan kawin lari tadi secara hukum adat sudah terlindungi. Siapa saja yang mengganggunya akan dicap sebagai pelanggar adat dan dikenakan hukum adat. Dari aspek ontologi (wujud) siri’ na pacce mempunyai relevansi kuat dengan pandangan islam dalam kerangka spiritualitas, dimana kekuatan jiwa dapat teraktulkan melalui penaklukan jiwa atas tubuh. sedemikian rupa, siri’ na pacce merupakan emanasi dari islam yang berbusana bugis-makassar yang lahir dari rahim akulturasi islam dan bugis-makassar. Inti budaya siri’ na pacce itu bukan cuma berkaitan pernikahan. Tapi, mencakup seluruh aspek kehidupan orang Bugis-Makassar. Karena, siri’ na pacce itu merupakan jati diri bagi orang BugisMakassar,” Dengan adanya falsafah dan ideologi Siri’ na pacce , maka keterikatan dan kesetiakawanan di antara mereka mejadi kuat, baik sesama suku maupun dengan suku yang lain. Konsep Siri’ na Pacce

bukan hanya di kenal oleh kedua suku ini, tetapi juga suku-suku lain yang menghuni daratan Sulawesi, seperti Mandar dan Tator. Hanya saja kosa katanya yang berbeda, tapi ideologi dan falsafahnya memiliki kesamaan dalam berinteraksi. C. Jenis-jenis Siri’ Zainal Abidin Farid(1983) membagi siri, dalam dua jenis: Pertama adalah Siri’ Nipakasiri’, yang terjadi bilamana seseorang dihina atau diperlakukan di luar batas kemanusiaan. Maka ia (atau keluarganya bila ia sendiri tidak mampu) harusmate siri(mati harkat dan martabatnya sebagai manusia). Untuk orang bugis makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi daripada menjaga Siri’nya, dan kalau mereka tersinggung atau dipermalukan (Nipakasiri’) mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan Siri’nya dari pada hidup tanpa Siri’. Mereka terkenal dimana-mana di Indonesia dengan mudah suka berkelahi kalau merasa dipermalukan yaitu kalau diperlakukan tidak sesuai dengan derajatnya. Meninggal karena Siri’ disebut Mate nigollai, mate nisantangngi artinya mati diberi gula dan santan atau mati secara manis dan gurih atau mati untuk sesuatu yang berguna. Sebaliknya, hanya memarahi dengan kata-kata seorang lain, bukan karena Siri’ melainkan dengan alasan lain dianggap hina. Begitu pula lebih-lebih dianggap hina melakukan kekerasan terhadap orang lain hanya dengan alasan politik atau ekonomi, atau dengan kata lain semua alasan perkelahian selain daripada Siri’ dianggap semacam kotoran jiwa yang dapat menghilangkan kesaktian. Tetapi kita harus mengerti bahwa Siri’ itu tidak bersifat menentang saja tetapi juga merupakan perasaan halus dan suci. Seseorang yang tidak mendengarkan orangtuanya kurang Siri’nya. Seorang yang suka mencuri, atau yang tiodak beragama, atau tidak tahu sopan santun semua kurang Siri’nya”. Yang kedua adalah : Siri’ Masiri’, yaitu pandangan hidup yang bermaksud untuk mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu prestasi yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan segala jerih payah demi Siri’ itu sendiri, demi Siri’ keluarga dan kelompok. Ada ungkapan bugis “Narekko sompe’ko, aja’ muancaji ana’guru, ancaji Punggawako” (Kalau kamu pergi merantau janganlah menjadi anak buah, tapi berjuanglah untuk menjadi pemimpin). Nenek moyang almarhum Tun Abdul Razak, Mantan Perdana Menteri Malaysia bernama Karaeng Haji, salah seorang putera Sultan Abdul Jalil Somba Gowa XIX yang di merantau ke Pahang dan dikenal dengan Toh Tuan, meninggalkan Gowa pada abad XVIII karena masalah Siri’, perebutan kekuasaan raja Gowa antar saudara. D. Nilai-nilai Siri’ na Pacce Nilai filosofis siri’ na pacce merepresentasikan pandangan hidup orang Bugis – Makassar mengenai berbagai persoalan kehidupan meliputi (1) prototipe watak orang Makassar yang terdiri atas (a) reaktif (b) militan, (c) optimis, (d) konsisten (e) loyal, (f) pemberani, dan (g) konstruktif. Nilai etis siri’ na pacce terdapat nilai-nilai etis meliputi (1) teguh pendirian, (2) setia, (3) tahu diri, (4) berkata jujur (5) bijak, (6) merendah, (7) ungkapan sopan untuk sang gadis, (8) cinta kepada Ibu, dan (9) empati. Nilai estetis siri na pacce meliputi (1) nilai estetis siri’ na pacce alam non insani terdiri atas (a) benda alam tak bernyawa, (b) benda alam nabati, (c) alam hewani (2) nilai estetis siri’ na pacce alam insani. E. Etos Siri’ na Pacce Di dalam sebuah syair sinrilik ada sebuah semboyan kuno masyarakat Bugis-Makassar yang berbunyi “Takunjunga’ bangung turu’, nakugunciri’ gulingku, kualleangnga tallanga natoalia”. Syair tersebut berarti “layarku telah ku kembangkan, kemudiku telah ku pasang, ku pilih tenggelam daripada melangkah

surut”. Semboyan tersebut menggambarkan betapa masyarakat Bugis-Makassar memiliki tekad dan keberanian yang begitu tinggi dalam menghadapi kehidupan. Masyarakat Bugis-Makassar dikenal sebagai orang-orang yang suka merantau atau mendatangi daerah lain dan sukses di daerah tersebut. Apa yang membuat orang Bugis-Makassar dikenal sebagai pribadi yang pemberani dan tangguh? Atau apa yang membuat orang Bugis-Makassar dikenal sebagai orang yang sukses di daerah sendiri dan daerah yang didatanganginya? Jawabanya adalah etos siri’ na pace. Para pemimpin yang berasal dari tanah Bugis-Makassar menerapkan etos ini sebagai gaya kepemimpinan mereka. Siapa yang tidak kenal dengan Sultan Hasanuddin. Beliau adalah raja Gowa XVI. Beliau dikenal sebagai seorang yang gagah berani melawan penjajah Belanda. Walaupun pada akhirnya beliau harus menyerah melalui Perjanjian Bungaya yang sangat merugikan Kerajaan Gowa saat itu. Adapula putra Bugis-Makassar yang bernama Syech Yusuf. Walaupun putra asli Bugis-Makassar, beliau lebih dikenal sebagai penyebar agama Islam di beberapa negara seperti Sri Lanka dan Afrika Selatan. Di Afrika Selatan, Ia dianggap sebagai sesepuh penyebaran Islam di negara benua Afrika itu. Tiap tahun, tanggal kematiannya diperingati secara meriah di Afrika Selatan. Bahkan menjadi semacam acara kenegaraan. Bahkan, Nelson Mandela yang saat itu masih menjabat presiden Afsel, menjulukinya sebagai “salah seorang putra Afrika terbaik”. Di era modern dikenal Bacharuddin Jusuf Habibie. Beliau adalah presiden Republik Indonesia ke-3. Beliau merupakan satu-satunya presiden yang berasal dari luar pulau Jawa. Selain dikenal sebagai presiden RI ke-3, beliau juga dikenal sebagai ilmuwan yang sangat jenius. Beliau dikenal sebagai ilmuwan dibidang konstruksi pesawat terbang dan teorinya masih digunakan hingga saat ini. Ada juga Muhammad Jusuf Kalla. Beliau adalah adalah wakil presiden Republik Indonesia ke-10. Beliau juga dikenal sebagai tokoh perdamaian konflik di Poso dan Aceh. Dengan gaya kepemimpinan khas orang Bugis-Makassar, beliau sukses dalam karir politik serta usaha. Beliau adalah pemilik perusahaan besar Hadji Kalla Group. F. Siri’ na Pacce dan Bushido Ajaran moral Siri’ punya suku Bugis dan Makassar mirip dengan semangat Bushido kaum Samurai Jepang. Bushido adalah etika moral bagi kaum samurai. Berasal dari zaman Kamakura (1185-1333), terus berkembang mencapai zaman Edo (1603-1867), bushido menekankan kesetiaan, keadilan, rasa malu, tata-krama, kemurnian, kesederhanaan, semangat berperang, kehormatan, dll. Aspek spiritual sangat dominan dalam falsafah bushido. Meski memang menekankan “kemenangan terhadap pihak lawan”, hal itu tidaklah berarti menang dengan kekuatan fisik. Dalam semangat bushido, seorang samurai diharapkan menjalani pelatihan spiritual guna menaklukkan dirinya sendiri, karena dengan menaklukkan diri sendirilah orang baru dapat menaklukkan orang lain. Kekuatan timbul dari kemenangan dalam disiplin diri. Justru kekuatan yang diperoleh dengan cara inilah yang dapat menaklukkan sekaligus mengundang rasa hormat pihak-pihak lain, sebagai kemantapan spiritual.Perilaku yang halus dianggap merupakan aspek penting dalam mengungkapkan kekuatan spiritual. Ada banyak persamaan antara semangat ksatria Eropa masa lalu dengan semangat bushido, karena sama-sama mementingkan keberanian, rasa malu, kehormatan, dll. Perbedaannya terletak pada kesetiaan. Hubungan antara seorang satria Eropa dengan bawahan adalah berdasarkan perjanjian sedangkan dalam bushido adalah semata-mata berkat kesetiaan. Orang-orang di luar Jepang kerap mengasosiasikan semangat bushido dengan praktek seppuku yang tidak pernah dilakukan lagi di zaman modern ini. Seppuku adalah ritual bunuh diri dengan merobek perut sendiri dengan sebilah pedang sebagai bukti rasa tanggung jawab. Mengapa perut? Di masa-masa feodal

dulu di Jepang, para pendekar perang menganggap perut sebagai tempat bermukimnya jiwa. Jadi pada waktu mereka harus membuktikan rasa tanggung jawab sebagai pendekar atas perbuatannya, mereka lebih memilih melakukan seppuku. Di jaman Edo, seppuku bahkan merupakan bentuk hukuman mati bagi anggota kelas samurai. Yang bersangkutan melakukan sendiri seppuku, untuk itu disediakan seseorang guna membantu menuntaskan kematian tersebut agar penderitaan tidak berlarut-larut. Dewasa ini seppuku sama sekali tidak dipraktekkan lagi. Kasus terakhir tercatat pada tahun 1970 ketika seorang sastrawan besar Mishima Yukio melakukan bunuh diri dengan cara ini, dan hal itu sangat mengejutkan seluruh negeri Jepang. Di luar Jepang, praktek seppuku lebih dikenal dengan hara-kiri (merobek perut). Kedua ajaran moral tersebut mulai ditinggalkan namun dengan tingkat emosi berbeda. Jepang dengan harakirinya memiliki fislosofi rasa malu harus berakhir dengan kematian di tangan sendiri. Ini berbeda dengan Siri’ dari bugis-makassar yang berarti tidak selamanya harus mati, tapi masalah itu harus tuntas setunta tuntasnya, tidak ada kata pasrah, justru merekapun menganggap mati berarti pasrah dan tak mampu lagi mengatasi masalah. Dan tentunya karena latar belakang Religius maka hal tersebut tidak diperbolehkan. Falsafah keberanian orang bugis-makassar itu bijak, seperti pelaut yang berkata “kualleangngangi tallangan na toalia” artinya, aku memilih tenggelam daripada kapal kembali surut ke pantai. Jangan langsung ditafsirkan aku memilih mati daripada mundur. Bukan. Bukan seperti itu. Ketika seorang pelaut mengucapkan itu sebelum berlayar, dia berangkat dengan niat dan tujuan yang jelas, benar dan terang. G. Penerapan Etos Siri’ na Pacce Saat Ini Penetrasi besar-besaran budaya global melalui jalur globalisasi telah membawa banyak perubahan di seluruh penjuru dunia. Ditambah lagi dengan besarnya pengaruh kekuatan ekonomi (economic power) negara-negara maju. Hal ini menempatkan negara berkembang termasuk Indonesia pada posisi yang serba sulit untuk menghindarinya. Satu-satunya jalan adalah mengantisipasinya. Indonesia harus bisa meminimalisir efek negatif yang ditimbulkan dari globalisasi. Untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan sosok-sosok muda yang memiliki jiwa dan karakter yang mapan. Anak muda Indonesia yang notabene adalah pemimpin dan pemilik masa depan bangsa ini seharusnya memiliki siri’ na pacce dalam diri mereka. Karena, anak muda Indonesia yang sudah dijelaskan di awal, adalah anak muda yang sudah terlalu jauh dari akar budaya mereka. Mereka sudah terlalu dalam terkontaminasi oleh pengaruh negatif globalisasi. Dengan adanya siri’ na pacce, anak muda akan lebih peka merasakan segala macam persoalan yang sedang melanda Indonesia. Mereka juga akan malu melihat keadaan negaranya serta malu jika ia hanya berdiam diri dan tidak berbuat apa-apa untuk bangsanya. Pemimpin yang memiliki siri’ na pacce dalam dirinya, akan memiliki keberanian serta ketegasan, namun tetap bijaksana dalam memimpin. Pemimpin yang memegang teguh prinsip ini akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik karena mereka memiliki rasa peka terhadap lingkungan sekitar. Mereka dapat mendengarkan aspirasi orang-orang yang mereka pimpin. Hal ini sangat sejalan dengan konsep negara kita yaitu negara demokrasi. Meskipun etos siri’ na pacce berasal dari masyarakat Bugis-Makassar, namun etos ini sangat bisa diterima secara nasional. Karena di berbagai daerah Indonesia juga terdapat etos atau pandangan hidup yang hampir sama dengan konsep siri’ na pacce. Ada wirang yang hidup di masyarakat suku Jawa, carok pada masyarakat suku Madura, pantangpada masyarakat suku di Sumatera Barat, serta jenga pada masyarakat suku di pulau Bali. Kesemua pandangan hidup dari berbagai daerah tersebut memiliki kesamaan konsep dengan siri’ na pacce, yaitu malu jika keadaan suku atau bangsa mereka tidak

lebih baik dari suku atau bangsa lain. Kesemua konsep pandangan hidup tersebut menanamkan nilai-nilai luhur tentang semangat serta keberanian tanpa melupakan rasa lembut hati sebagai penyeimbangnya

2. Nilai Dan Norma Suku Bugis Makassar Setiap orang tentunya harus harus memiliki pandangan hidup, suku bugis makaassar sudah sangat dikenal sebagai pekerja keras mereka senang sekali untu merantau jauh dinegeri seberang untuk mengubah haluan hidup demi mencapai keuksesan sejati. Falsafah Hidup merupakan sebuah prinsip yang mendasar yang harus dimiliki insane dan individu tanpa prinsip maka kehiduppan orang tersebut laksana kapal yang terombang ambing ombak ditengah lautan tanpa tujuan yang jelas. Orang bugis makasssar memiliki juga beberapa prinsip kehidupan yang sangat dalam dalam memaknai perjalanan hidup dan berikut ini beberapa prinsip-prinsip tersebut: A. Siri na Pacce Siri na pacce prinsip ini mengajarkan bahwa orang bugis Makassar sangat menjunjung tinggi persoalan siri atau rasa malu mereka akan senantiasa merasa malu untuk melakukan perbuatan yang tidak baik. Dan baginya panyang untuk melakuka perbuatan yang memalukan yang bertentangan dengan norma agama, hukum maupun norma adat dan kesopanan Dan sebuah aib yang cukup memalukan bila dikemudian hari melakukan hal-hal yang dianggap sebagai perbuatan tidak terpuji . Harga diri atau integritas merupakan barang/mata uang yang palig berharga bagi orang bugis makassar kehilangan harga diri laksana khilangan segala-galanya dan lebih baik kehiolangan uang dari pada harga diri karena kehilangan uang kita kehilangaan sedikit akan tetapi kalau kehilangan integritas maka kita kehilangan segala-galanya Pacce merupakan sebuah sikapyang dapat merasakan penderitaan sesama manusia dan tentunya sikap ini akan senantiasa memunculkan solidaritas bagai sesama manusia Berpegang teguh pada prinsip kehidupan yang mampu perasakan pederitaan sesama manusia maka hal itu akan memicu keinginan untuk senantiasa mengulurkan pertolongan bagi mereka yang membutuhkannya B. RESO Tamanginggi Naletei Pammase Puang RESO Tamanginggi Naletei Pammase Puang artinya bahwa didadalam mengarungi kehidupan ini Orang bugis akan senantiasa bekerja secara keras, tekun dan pantang menyerah maka dapat dipastikan kebrhasilan akan bisa dicapai karena Rahmat Tuhan meniti menuju jalan kesuksesa. Dan didalam bekerja tersebbut pantang berputus asa karena semakin kita berkeja keras dan semakin banyak rintangan yang kita hadapi seperti kegagalan maka dapat dipastikan kita akan semakin dekat dengan kesuksesan karena hampir semua orang sukses diunia ini pasti perna merasakan kegagalan .jika Fisik dibesarkan dengan melatihnya mengangkat beban seperti barbell maka jiwa dibentuk berdasarkan kegagalan yang dihadapi. Hanya dengan kerja keras maka segalah usaha pasti bisa dicapai dan tuhan sangat menyenangi orang yang bekerja secara keras. C. Tea Tamakua idipanajaji Tea Tamakua idipanajaji yang artinya kesuksesan anda tergantung dari diri anda sendiri apa yang anda pilih pada waktu yang lalu hasilnya apa yang aanda rasakan pada saat ini. Dan jika anda ingin merubah nasib anda maka tidak ada jalan lain hanya anda yang mampu mengubahnya karena itu hargai diri anda ,kenali diri anda dan potensi anda lejitkan dan jangan perna berfokus pada kekurangna anda karen ajika berfokus kepada kekurangan maka annda hanya mampu berkeluh kesah, tapi Fokuslah pada kelebihan anda maka anda akan bisa melakukan apapun yang anda citacitakan . Tidak akan berubah nasib seseorang kecuali dia yang merubanya sendiri demikanlah peringatan tuhan. D. Sipakainga, Sipakatau ,dan sipakalebbi

Sipakainga, Sipakatau ,dan sipakalebbi.Sikap ini mengajarkan kepada kita bagaimana cara menggapai kesuksesan dan berhubungan dengan sesama manusia karena kesuksesan tidak akan bisa kita capai tanpa bantuandan berinteraksi dengan orang-orang disekeliling kita karena dalam menjalin hubungan dengan manusia termasuk dengan relasi bisnis dan rekan kerja hendaknya kita senantiasa saling mengingatkan , saling menghormati, dan saling menghargai jikaa ketiga sikap ini anda terapkan maka dipastikan urusan anda akan berjalan mulus. Sipakainga adalah tindakan untuk senantiasa saling mengingatkan ,saling menegur ,saling mengevaluasi dan membimbing jealan yang benar jika seseorang mengalami permasalahan atau kesulitan hidup pada saat tanpa membedakan yang baik dan yang benar Sipakatau merupakan cerminanan untuk senatiasa saling menghormati dan tidak sebaliknya saling bermusuhan ,selink sikuk dan injak menginjak dalam merebut jabatan atau mengejar kekayaan hendaknya senantiasa kita memanusiakan sesama manusia. Sipakalabbi sebuah gambaran dalam menjalani hidup dalam bermasyarakat untu senantiasa saling menghargai antara sesama manusia dengan saling menghargai maka hubungan akan semakin erat dan jauh dari rasa permusuhan dan kebencian. E. Malilu Sipakainge Malilu Sipakainge, Mali Siparappe,RebbaSipatokkongartinya bahwa hendaknyaa kita membantu satu sama lain jangan saling menjatuhkan tapi sebaliknya saling menarik serta saling mengingatkan antara sesama manusia karna jalan menuju kesuksesan pasti penuh hambatan Dan ketika engkau terjatuh maka saling bantulah dan memotivasi untuk bangkit kembali karena kegagalan akan selalu ada dalam setiap jalan kesuskesan Jika anda ingin sukses maka jangan perna takut akan kegalalan dan jangan pernah menghitung berapa kali anda gagal dan terjatu tapi hitung dang ingatlah sudah berapa kali anda bangkit dari kegagalan. F. Taro Ada Taro Gau Taro Ada Taro Gau prinsip ini mengajarkan betapa pentingnya memiliki sikap yang bissa dipercaya taro ada taro gau memiliki makna bahwa sebagai pemimin atau apapun profesi anda senantiasalah untuk selalu konsisten antara ucapan dan perbuatan. Ketika ucapan dan perbuatan anda sejalan maka dapat dipastikan orang-orang yang anda pimpin atau berada disekitar anda akan semakin mempercayai anda ,dengan adanya kepercayaan maka anda sudah sukses menapaki tangga kepemimpinan yaitu dipercaya atau menjadi pemimpin yang dipercaya. Ketika seorang pemimpin sudah dipercaya maka yang dipimpinnya otomatis akan mencintainya ketika anda sudah dicintai rakyat atau orang yang anda pimpin maka pegaruh anda akan semakin kuat dengan kuatnya pengarug maka anda menciptkan diri anda menjadi pemimpin yang kharismatik. 3. Sistem Kepercayaan Kebudayaan Suku Bugis Makassar Orang Bugis-Makassar lebih banyak tinggal di Kabupaten Maros dan Pangkajene Propinsi Sulawesi Selatan. Mereka merupakan penganut agamaIslam yang taat. Agama Islam masuk ke daerah ini sejak abad ke-17. Mereka dengan cepat menerima ajaran Tauhid. Proses islamisasi di daerah ini dipercepat dengan adanya kontak terus-menerus dengan pedagangpedagang melayu Islam yang sudah menetap di Makassar. Pada zaman pra-Islam, religi orang Bugis-Makassar, seperti tampak dalam Sure’ Galigo, mengandung suatu kepercayaan kepada satu dewa tunggal yang disebut dengan beberapa nama, yaitu: 1. Patoto-e, yaitu Dia yang menentukan nasib. 2. Dewata Seuwa-e, yaitu Dewa yang tunggal.

3.

1. a.

b.

2. 3.

4.

5.

4. 1. 2. 3.

1. 2. 3. 4.

Turie a’rana, yaitu Kehendak yang tertinggi. Sisa-sisa kepercayaan ini masih terlihat pada orang To Lotang di Kabupaten SindenrengRappang, dan pada orang Amma Towa di Kajang, Kabupaten Bulukumba. Orang Bugis-Makassar masih menjadikan adat mereka sebagai sesuatu yang keramat dan sakral. Sistem adat yang keramat itu didasarkan pada lima unsur pokok sebagai berikut: Ade’ (ada’ dalam bahasa Makassar) adalah bagian dari panngaderrang yang terdiri atas: Ade’ Akkalabinengneng, yaitu norma mengenai perkawinan, kaidah-kaidah keturunan, aturanaturan mengenai hak dan kewajiban warga rumah tangga, etika dalam hal berumah tangga, dan sopan-santun pergaulan antar kaum kerabat. Ade’ tana, yaitu norma mengenai pemerintahan, yang terwujud dalam bentuk hukum negara, hukum antarnegara, dan etika serta pembinaan insan politik. Pembinaan dan pengawasan ade’ dalam masyarakat Bugis-Makassar dilakukan oleh beberapa pejabat adat, seperti pakka-tenni ade’, pampawa ade’, dan parewa ade.’ Bicara, berarti bagian dari pangaderreng, yaitu mengenai semua kegiatan dan konsep-konsep yang bersangkut paut dengan hukum adat, acara di muka pengadilan, dan mengajukan gugatan. Rampang, berarti perumpamaan, kias, atau analogi. Sebagai bagian dari panngaderreng, rampang menjaga kepastian dan kesinambungan suatu keputusan hakim tak tertulis masa lampau sampai sekarang dan membuat analogi hukum kasus yang dihadapi dengan keputusan di masa lampau. Rampang juga berupa perumpamaan-perumpamaan tingkah-laku ideal dalam berbagai bidang kehidupan, baik kekerabatan, politik, maupun pemerintahan. Wari, adalah bagian dari panngaderreng yang berfungsi mengklasifikasikan berbagai benda dan peristiwa dalam kehidupan manusia. Misalnya, dalam memelihara garis keturunan dan hubungan kekerabatan antarraja. Sara, adalah bagian dari pangaderreng, yang mengandung pranata hukum, dalam hal ini ialah hukum Islam. Kelima unsur keramat di atas terjalin menjadi satu dan mewarnai alam pikiran orang Bugis-Makassar. Unsur tersebut menghadirkan rasa sentimen kewargaan masyarakat, identitas sosial, martabat, dan harga diri, yang tertuang dalam konsep siri. Siri ialah rasa malu dan rasa kehormatan seseorang. Sistem Kekerabatan Kebudayaan Suku Bugis Makassar Perkawinan ideal menurut adat Bugis Makassar adalah: Assialang marola, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat kesatu, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Assialana memang, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat kedua, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Ripanddeppe’ mabelae, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat ketiga, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Perkawinan tersebut, walaupun ideal, tidak diwajibkan sehingga banyak pemuda yang menikah dengan gadis-gadis yang bukan sepupunya. Perkawinan yang dilarang atau sumbang (salimara’) adalah perkawinan antara: Anak dengan ibu atau ayah. Saudara sekandung. Menantu dan mertua. Paman atau bibi dengan kemenakannya.

5.

Kakek atau nenek dengan cucu.

Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sebelum perkawinan adalah: Mappuce-puce, yaitu kunjungan dari keluarga si laki-laki kepada keluarga si gadis untuk mengadakan peminangan. 2. Massuro, yaitu kunjungan dari utusan pihak keluarga laki-laki kepada keluarga si gadis untuk membicarakan waktu pernikahan, jenis sunreng (mas kawin), dan sebagainya. 3. Maduppa, yaitu pemberitahuan kepada seluruh kaum kerabat mengenai perkawinan yang akan datang. 1.

BAB III PENUTUP 1. KESIMPULAN Suku Bugis Makassar merupakan sebuah suku yang kaya akan kebudayaan abstrak maupun kebudayaan konkrit. Sistem kekerabatan dalam kebudayaan Bugis -Makassar masih cukup kental, lapisan masyarakat Bugis dan Makassar terdiri dari 3 yaitu anak arung atau lapisan kaum kerabat raja-raja, tom aradeka atau lapisan orang merdeka, dan atau lapisan orang budak. Bahasa yang diucapkan oleh sukuBugis disebut bahas ugi sementara suku Makassar disebut mangkasara. Adapun huruf yang d i p a k a i d a l a m n a s k a h B u g i s m a u p u n M a k a s s a r yakni, aksara lontara. Diantara buku terpenting dalam kesusasteraan suku B u g i s - M a k a s s a r a d a l a h b u k u s u r e g a l i g o , s u a t u himpunan besar dari mitologi yang bagi kebanyakan orang mempunyai nilai yang keramat. Potensi paling besar bagi masyarakat Bugis-Makassar adalah dalam sektor pelayaran rakyatdan perikanan, karena usaha-usaha ini sudah merupakan usaha-usaha yang telah dijalankan sejak beberapa abad lamanya oleh orang Bugis-Makassar, sehingga dapat dikatakan telah mendarah daging dalam alam jiwa mereka. 2. SARAN Dari makalah yang kami buat di atas adalah, semoga setiap warga negara indonesia mengetahui apa saja kebudayaan indonesia, karena menurut saya sangat sulit untuk melindungi kebudayaan kita jika hanya kita sendiri, maka dari itu , saya harap kalian semua para pembaca dapat membantu untuk selalu melindungi harta karun terbaik yang pernah kita punya di negara indonesia tercinta kita ini. Jangan sampai harta karun kita di ambil oleh orang lain yang tidak bertanggungjawab, betapa indahnya saat cucu-cucu kita kelak tetap dapat menikmati kebudayaan yang ada di indonesia yang masih asri dan asli terjaga hingga masa depan kelak. Jika ada salah-salah ketik dalam penulisan di atas mohon untuk dimaklumi, karena manusia tidak ada yang sempurna.

Related Documents

Kearifan Hidup
June 2020 13
Kearifan Tradisional
May 2020 25
Kearifan Lokal
August 2019 41
Kearifan Lokal.docx
November 2019 26
Obama Dan Kearifan Besakih
December 2019 25

More Documents from "DigdyoFian"

Kearifan Lokal.docx
November 2019 26
Masail Alisa Fix.docx
November 2019 38
Pengoperasian .docx
May 2020 27
Alien Alien.docx
May 2020 27