Kearifan Lokal-imron.docx

  • Uploaded by: Imron Rosyidi
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kearifan Lokal-imron.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,161
  • Pages: 14
PENDEKATAN STUDI ISLAM MELALUI KEARIFAN LOKAL

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendekatan Studi Islam Yang diampu Oleh : Dr. H. Ma'mun Mu'min, M.Ag., M.Si., M.Hum.

Disusun Oleh IMRON ROSYIDI MPI-18050

PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS TAHUN 2018 0

PENDEKATAN STUDI ISLAM MELALUI KEARIFAN LOKAL A. Pendahuluan Islam telah berkembang melewati proses sejarah yang sangat panjang, merentang kurun waktu hampir lima belas abad sejak awal kedatangannya di Mekah melalui misi risalah Nabi Muhammad Saw untuk seluruh umat manusia. Sebagai risalah terakhir, Islam diyakini layak untuk semua masa dan tempat (shaalih likulli zamaan wa makaan), yang berarti secara normatif akan terus eksis berdialektika hingga akhir zaman nanti Islam dengan dinamika dan keragaman sosial-budaya kehidupan manusia. Hal ini dimungkinkan mengingat salah satu karakteristik yang mendasari syariatnya adalah kelenturan (al-muruunah). Dengan karakteristik tersebut, syariat Islam mampu merespons pelbagai permasalahan dan perkembangan sosial yang beragam tanpa kehilangan jati dirinya. 1 Gagasan kelenturan tanpa kehilangan jati diri sebenarnya dapat ditelaah dari pandangan pemikir Muslim kontemporer, seperti Jamal al-Bannaa, 2

1 Kelenturan syariat Islam, sebagaimana diungkapkan oleh M. Qaasim alMansii, setidaknya dapat dicermati dari: (1) syariat Islam lebih banyak menetapkan aturan yang bersifat global, (2) pelbagai aturan yang ditetapkan seringkali disertai dengan alasan hukumnya, (3) syariat Islam memperhatikan situasi dan kondisi pengecualian yang muncul karena adanya darurat atau uzur, (4) luasnya wilayah al-‘afw (ketiadaan aturan yang ditetapkan) untuk memberi ruang ijtihad, dan (5) pemberian kewenangan kepada pemimpin dalam menetapkan aturan. M. Qasim al-Mansi, Taghayyur al-Ẓuruf wa Atharuhu fi Ikhtilaf al-Ahkam fi al-Shari’ah al-Islamiyyah, Kairo: Daar al-Salaam, 2010, 13-15. 2 Jamal Al-Banna adalah adik bungsu dari Hasan Al-Banna (1906-1949) M, ulama Mesir dan pendiri kelompok Ikhwanul Muslimin. Jamal Al-Banna dilahirkan di Mesir pada tanggal 15 Desember 1920 M. Berbeda dengan kakaknya yang menjadi aktivis, juru dakwah dan terhitung seorang tokoh pembaharu Islam (mujaddid) abad 20 M, sang adik bungsu justru dikenal luas dengan reputasinya sebagai seorang pemikir dan penulis Islam. Jamal Al-Banna dikenal berani daam mempertanyakan kembali pemahaman keagamaan yang telah dianggap baku. Jamal Al-Banna dikenal sebagai penulis, dosen dan aktivis dunia buruh selama beberapa dekade. Jamal Al-Banna pernah memimpin serikat pekerja resmi di industri tekstil dan pada 1953 M ia mendirikan Masyarakat Mesir untuk Perawatan Tahanan dan Keluarga mereka. Sebagai dosen, Jamal Al-Banna mengajar di Institut Kairo pada Studi Serikat Perdagangan selama 30 tahun (1963-1993). Pada tahun 1981 ia mendirikan Konfederasi Islam Internasional Tenaga Kerja di Jenewa dan menjadi presiden pertamanya. https://www.arrahmah.com/2013/01/31/

1

Mmuhammad Abid al-Jaabiri,3 dan Taha Jabir al-‘Ulwani4, yang menegaskan bahwa dalam syariat Islam terdapat prinsip-prinsip yang tetap (al-thawabit) dan ketentuan yang bisa berubah (al-mutaghayyirat), atau prinsip-prinsip universal (kulliyyat) dan ketentuan partikular (furu’iyyat). Salah satu kaidah hukum Islam yang mencerminkan dua unsur syariat itu adalah “ketika tuntutan kemaslahatan mengalami perubahan, maka ketentuan hukum partikular dikembalikan ke ketentuan universal syariat”. Keadilan, persamaan, kebebasan, dan kemaslahatan adalah bagian dari ketentuan universal syariat yang perlu dijadikan kerangka dasar dinamisasi dan kontekstualisasi agar Islam mampu berinteraksi dengan permasalahan kontemporer dan kekinian.5 Sejalan dengan karakteristik kelenturan syariat, suatu hal yang menarik untuk digaris bawahi adalah pandangan ulama Ushul Fiqih yang menetapkan kebiasaan (‘urf atau adah) sebagai salah satu dasar dalam menetapkan hukum syariat. Kebiasaan manusia, baik dalam perbuatan maupun interaksi secara umum, dinamai ‘urf karena telah dianggap baik, diterima oleh penalaran mereka, dan dibutuhkan sehingga memperhatikan kebiasaan adalah bagian dari perkara yang baik. Al-Mansi mengartikan kebiasaan dengan apa yang melekat dalam ingatan kolektif masyarakat, dinilai baik oleh akal budi, diterima oleh naluri manusia, dan berkaitan dengan pola kehidupannya.6 Kedudukan penting kebiasaan tercermin dalam salah satu kaidah hukum Islam yang populer, al-‘Ādah Muhakkamah (kebiasaan adalah dasar penetapan hukum). Kaidah ini antara lain didasarkan pada hadis Nabi :

3 Dr. Muhammad Abid Al-Jabiri adalah seorang pemikir Islam kontemporer terkemuka asal Maroko meninggal dunia dalam usia ke-76. Al-Jabiri dikenal sebagai dosen filsafat, sejarah, dan pemikiran Islam di beberapa universitas di Timur Tengah, utamanya di Universitas Muhammad V, Rabat, Maroko. Sebelum menekuni dunia pemikiran dan akademik, Al-Jabiri tercatat sebagai aktivis politik. Sejak awal tahun 50-an, ia telah menjadi salah satu tokoh Partai Persatuan Sosialis Maroko. AlJabiri melahirkan karya-karya penting yang banyak menjadi rujukan bagi kajian pemikiran Islam kontemporer, semisal tetralogi Kritik Nalar Arab (Takwin al-’Aql al-’Arabi, Bunya al-’Aql-’Arabi, alA’ql al-Siyasi-’Arabi, al-’Aq al-Akhalqi al Arabi). Selain itu, Al-Jabiri juga menyunting dan menstahqiq ulang beberapa karya filsuf besar Islam abad pertengahan, Ibnu Rushd. http://www.nu.or.id/post/read/22817/ 4 Taha Jabir Al Ulwani, Ph.D. lahir di Iraq 1935 dan meninggal 4 Maret 2016. Ia adalah Presiden Universitas Cordoba di Ashburn, Virginia, Amerika Serikat. Dia juga menjabat Ketua Imam Al-Syafi'i dalam Teori Hukum Islam di Sekolah Pascasarjana Ilmu Islam dan Sosial di Corboda University. https://en.wikipedia.org/wiki/Taha_Jabir_Al Ulwani 5 Mahmud Arief, Islam, Kearifan Lokal dan Kontekstualisasi Pendidikan: Kelernturan, Signifikandi dan Implikasi Edukatifnya, Jurnal : Al-Tahrir, Vol. 15, No. 1 Mei 2015 : 67 – 90, hlm. 70 6 M. Qasim al-Mansi, Taghayyur al-Ẓuruf...., hlm. 167.

2

Artinya: Sesuatu yang dianggap baik oleh kaum muslim, maka ia adalah sesuatu yang baik di mata Allah, dan sesuatu yang dianggap buruk oleh kaum muslim, maka ia pun adalah sesuatu yang buruk di mata Allah (HR. Ahmad).7 Kebiasaan memang terus bergulir dan berubah seiring dengan perubahan zaman dan masyarakatnya. Kebiasaan yang selalu bergulir ini tentu sangat mungkin mengalami “benturan” dengan hal-hal yang baku dalam teks. Oleh sebab itu, para ahli fikih kemudian menerima kebiasaan dengan segala kebebasannya selama tidak bertentangan dengan teks. Relasi teks dengan realitas, termasuk di dalamnya kebiasaan, bersifat dialogis-dialektis. Secara historis, pentingnya kebiasaan sebagai dalil fundamental penetapan hukum bisa dianalisis dari peran vital sunnah yang pada awal kemunculannya mengandung arti “tradisi” (kebiasaan) dalam lingkup tempat dan waktu terdekat. pengembangan hukum Islam tidak terpisahkan dari basis kearifan tradisi/budaya setempat. Itu sebabnya, sangat beralasan pendapat yang mengatakan bahwa selain al-Qur’an dan sunnah Nabi, hukum Islam (fikih) adalah pandangan/pemikiran para ahli fikih yang sangat dipengaruhi oleh faktor masa dan lingkungan kehidupan dengan berbagai kebiasaan dan kondisi aktualnya.8 Keterbukaan hukum Islam terhadap kearifan tradisi budaya setempat/lokal (‘urf) merupakan contoh konkret kelenturan syariat yang bertujuan untuk memelihara kemaslahatan, menjauhkan kemudaratan. Proses awal Islamisasi telah menampilkan apresiasi yang tinggi terhadap kearifan tradisi/budaya lokal. Terkait hal ini, M. Quraish Shihab menyatakan Islam datang membenarkan yang baik dan membatalkan yang buruk sambil menjelaskan manfaat yang baik itu dan keburukan yang buruk itu. Perlu dicatat bahwa sebagian penganut agama dan kepercayaan di Jazirah Arabia melakukan juga aneka kegiatan yang mereka anggap sebagai pengamalan agama yang nama dan kegiatannya juga dikenal dan dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw. dan sahabat-sahabat beliau setelah datangnya Islam.9 Beberapa tradisi yang telah dipraktikkan bangsa Arab pada masa Jahiliyah, semisal penetapan kafa’ah dalam perkawinan dan pemasangan kiswah (kelambu) pada Ka’bah, tetap dipertahankan dalam Islam. Hal 7 Abdul Aziz Muhammad Azzam, al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Kairo: Darul Hadith, 2005. 8 Muhammad al-Khuḍari, Tarikh al-Tashri al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr, 1995, hlm. 5 9 M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw. dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadits-Hadits Shahih, Jakarta: Lentera Hati, 2012, hlm. 75 dan 90.

3

ini menegaskan salah satu prinsip dasar syariat yang diakui bersama, yaitu pemeliharaan tradisi/budaya masyarakat yang tidak menjurus pada kerusakan dan tidak mengabaikan kemaslahatan. Demikian pula awal proses Islamisasi di Indonesia, apresiasi kearifan tradisi/budaya lokal nampak begitu jelas. Ini dipertegas oleh Azyumardi Azra yang menyatakan bahwa proses Islamisasi di Indonesia harus dilihat dari perspektif global dan lokal sekaligus.10 Dari perspektif global, Islamisasi di Indonesia perlu dipahami sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari dinamika dan perubahan yang berlangsung di dunia Islam secara global. Dari perspektif lokal, perlu dilihat adanya keragaman tingkat pengaruh kepercayaan Hindu-Budha antar daerah di Nusantara. Karena begitu kuatnya pengaruh atau apresiasi tradisi budaya lokal, sebagian ahli mengidentifikasi proses Islamisasi di Indonesia sebagai akulturasi yakni konversi ke dalam Islam tanpa meninggalkan kepercayaan dan praktik keagamaan yang lama. Mengingat budaya masyarakat lokal dinilai kontributif dalam proses menerima pengaruh luar dan menyerap kembali unsur-unsur tersebut hingga sesuai dengan pandangan hidup masyarakat lokal dan mengambilnya sebagai bagian dari budayanya.11 B. Pengertian dan Hakekat Kearifan Lokal Kearifan lokal berasal dari dua kata, yaitu kearifan (wisdom), dan lokal (local). Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. “Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal”.12 Secara umum, budaya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-unsurnya adalah budaya suku bangsa yang tinggal di daerah itu. Dalam pelaksanaan pembangunanan berkelanjutan oleh 10 Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, Bandung: Mizan, 2002, hlm. 15. 11 Paulus Wirutomo et al., Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: UI Press, 2012, hlm. 135. 12 Permana, C. K, Kearifan Lokal Masyarakat Baduy dalam Mengatasi Bencana, Jakarta: Wedatama Widia Sastra, 2010

4

adanya kemajuan teknologi membuat orang lupa akan pentingnya tradisi atau kebudayaan masyarakat dalam mengelola lingkungan, seringkali budaya lokal dianggap sesuatu yang sudah ketinggalan di abad sekarang ini, sehingga perencanaan pembangunan seringkali tidak melibatkan masyarakat. Kearifan lokal menurut Wibowo adalah identitas atau kepribadian budaya sebuah bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap, bahkan mengolah kebudayaan yang berasal dari luar/bangsa lain menjadi watak dan kemampuan sendiri.13 Identitas dan Kepribadian tersebut tentunya menyesuaikan dengan pandangan hidup masyarakat sekitar agar tidak terjadi pergesaran nilainilai. Kearifan lokal adalah salah satu sarana dalam mengolah kebudayaan dan mempertahankan diri dari kebudayaan asing yang tidak baik. Menurut Fajarini kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat local wisdom atau pengetahuan setempat “local knowledge” atau kecerdasan setempat local genious.14 Berbagai strategi dilakukan oleh masyarakat setempat untuk menjaga kebudayaannya. Kearifan lokal menurut Nyoman Ratna adalah semen pengikat dalam bentuk kebudayaan yang sudah ada sehingga didasari keberadaan. Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai suatu budaya yang diciptakan oleh aktor-aktor lokal melalui proses yang berulang-ulang, melalui internalisasi dan interpretasi ajaran agama dan budaya yang disosialisasikan dalam bentuk norma-norma dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat.15 Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat mengambil benang merah bahwa kearifan lokal merupakan gagasan yang timbul dan berkembang secara terus-menerus di dalam sebuah masyarakat berupa adat istiadat, tata aturan/norma, budaya, bahasa, kepercayaan, dan kebiasaan sehari-hari.

13 Wibowo, A dkk, Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Di Sekolah, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2015, hlm. 17 14 Fajarini, Ulfah, “Peranan Kearifan Lokal Dalam Pendidikan Karakter”. Jurnal : Sosio Didaktika; 2014, Vol.1, No.2, hlm. 123 (http://journal.uinjkt,ac,id/ SOSIO-FITK/article/viewFile/ 1225/1093) 15 Ratna, I Nyoman Kutha, Antropologi Sastra: Peranan Unsur-Unsur Kebudayaan dalam Proses Kreatif, 2011, hlm. 94 5

C. Hubungan Islam dan Kearifan Lokal Awal pembentukan kearifan lokal dalam suatu masyarakat umumnya tidak diketahui secara pasti kapan kearifan lokal tersebut muncul. Tetapi diduga semenaja peradaban manusia terbentuk. Pada umumnya terbentuknya kearifan lokal mulai sejak masyarakat belum mengenal tulisan (praaksara).16 Kearifan lokal adalah tata nilai kehidupan masyarakat yang menjelma dalam bentuk religi, adat istiadat maupun budaya yang merupakan warisan dari kakek moyang kita. Dalam perkembangannya, setelah melakukan adaptasi dengan lingkungannya, masyarakat mengembangkan kearifan tersebut menjadi sebuah pengetahuan, ide dan peralatan yang kemudian dipadu dengan adat istiadat, nilai budaya aktivitas pengelolaan lingkungan sehingga berguna bagi kehidupan mereka.17 Terbentuknya suatu kearifan diilhami dari ide atau gagasan seseorang atau perorangan. Gagasan tersebut kemudian ditemukan dan dipadukan dengan gagasan

orang

lain

sehingga

terciptalah

satu

gagasan

yang

bersifat

kolektif.18 Tujuannya adalah untuk suatu kebaikan dan keseimbangan sebuah komunitas. Baik kemunitas kecil maupun komunitas yang lebih besar.Atau kemunitas pedesaan dan juga komunitas suatu masyarakat. Kearifan lokal akan terus bergerak dan berkembang seiring dengan kemajuan manusianya terhadap cara berfikir, berperilaku dan bermasyarakat. Kearifan ini tidak bisa dilepaskan dari keberadaan budaya pada lingkungan tersebut. Karena dalam pelaksanaannya erat sekali dengan pelaksanaan budaya. Agama yang benar itu bagaikan lampu yang menerangi umat untuk berjalan menuju ke arah kemajuan. Mengamalkan ajaran-ajaran agama adalah petunjuk jalan untuk seluruh umat manusia. Agama adalah ciptaan Allah, maka akan terasa janggal bagi akal sehat, jika sekiranya Allah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk berbuat kejahatan yang dapat menyebabkan mereka terhambat untuk mencapai kehidupan yang layak dan diridhai-Nya. Tidak ada sesuatu pun 16 Agus Mulyana, http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/ JUR._PEND._SEJARAH/196608081991031 - AGUS_MULYANA/ Seminternasional.pdf. 17 Suhartini, Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Jurnal Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Yogyakarta: Univ. Negeri Yogyakarta, 2009, hlm -206 18 Muhammad Takari, http://www.etnomusikologiusu.com/artikel-kearifanlokal.html 6

yang dapat membahagiakan manusia, kecuali mengamalkan agama dan tidak ada sesuatu pun yang dapat mencelakakan mereka kecuali mengabaikan agama atau berpegang dengan bagian luar (kulit) agama dan meninggalkan inti ajarannya. Agama ibarat pedang bermata dua, dua sisi sama-sama tajam. Apabila ada orang yang mengaku beragama, berusaha mengamalkan agama sebagaimana mestinya, maka agama akan menjadi penolong baginya dalam menghadapi segala kesulitan, menjadi petunjuk jalan di kala dalam keadaan kebingungan serta menjadi lentera yang bersinar dalam kegelapan. Sedangkan apabila orang yang mengaku beragama akan tetapi salah dalam mengamalkan ajaran agamanya, maka akan membawa petaka baginya dan orang lain. Oleh sebab itu, dalam mengamalkan agama haruslah benar dan sesuai dengan aturan syariat yang ada. Nasr Hamid Abu Zaid19 mengelompokkan penelitian terhadap agama (dalam hal ini adalah Islam) ke dalam tiga wilayah. Pertama, wilayah teks asli Islam, yaitu al-Qur’an dan As-Sunnah.20 Kedua, pemikiran Islam yang merupakan ragam cara menafsirkan teks asli Islam yang dapat ditemukan dalam empat pokok cabang, yaitu: hukum, teologi, filsafat, dan tasawuf.21 Ketiga, praktek yang dilakukan kaum Muslim dalam berbagai macam latar belakang sosial.22 19 Nashr Hamid Abu Zayd lahir pada tanggal 10 Juli 1943 di Quhafa propinsi Tanta Mesir Bagian Barat. Saat berusia 8 tahun dia telah menghafal 30 juz. Pendidikan tingginya mulai S1, S2 dan S3 dalam jurusan Bahasa dan Sastra Arab di selesaikannya di Universitas Kairo dengan predikat Highest Honous. Pernah tinggal di Amerika selama 2 tahun (1978-1980), saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institut of Midlle Eastern Studies University of Pensylivania Philadelphia USA. Di Belanda ia diangkat sebagai professor di bidang Bahasa Arab dan studi Islam dari Lieden University Kuno yang didirikan sejak tahun 1575 di Amsterdam Selatan. Karya-karyanya yang lain; Al-Ittijah alAqli fi Tafsir, Falsafat al-Ta’wil, Iskaliyat al-Qiraah wa Aliyyat at-Ta’wil, Al-Imam Al-Shafi’i wa ta’sis Aydiyulujiyyah al-Wasatiyah, Al-Mar’ah fi Khitab al-Azmah dan yang lain sampai 16 buku karya yang ia miliki.Nasr Hamid juga pernah mendapatkan beberapa penghargaan dan gelar penghormatan, di antaranya; 1975-1977 dari Ford Foundation Fellowship at the American University in Cairo, tahun 1985-1989: Visiting Profesor, Osaka University of Foreign Studies Japan dan tahun 2002-2003; Fellow at the Wissenschatten College in Berlin. https://ahmadbinhanbal.wordpress.com/2010/08/13/biografidan-pemikiran-na%E1%B9%A3r-%E1%B8%A5amid-abu-zaid/ 20 Pada level teks, menurut Khoirudin Nasution Islam dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni nash prinsip atau normatif universal, dan nash praktis-temporal. Nash kelompok pertama merupakan prinsip-pinsip yang dalam aplikasnya sebagian telah diformatkan dalam bentuk nash praktis di masa pewahyuan ketika nabi masih hidup. Adapun nash praktistemporal adalah nash yang diturunkan untuk menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat di masa pewahyuan. Lihat. Khoirudin Nasution, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2004, hlm. 4. 21 Sementara pada level pemikiran, dalam sejarah muslim lahir sejumlah bentuk pemikiran yang oleh Abu Zaid dikelompokkan menjadi empat cabang, yakni: hukum, teologi, filsafat, dan tasawuf. Dan dalam cabang hukum lahir sejumlah bentuk pemikiran, yakni: fiqh, fatwa, jurisprudensi, undang-undang, kodifikasi, dan kompilasi. Ibid., hlm. 7. 22 Adapun Islam pada level praktek, dan dapat pula dikatakan fenomena sosial, adalah Islam yang dipraktekkan umat Islam sebagai jawaban terhadap persoalan yang muncul dalam kesehariannya sebagai penganut agama Islam. dan pada level inilah terjadi akulturasi antara pemahaman (konsep/teori) dengan adat yang berlaku dalam masyarakat.Ibid., hlm. 8-9. 7

Kita sadari bahwa agama dapat menjadi sumber moral dan etika serta bersifat absolut, tetapi pada sisi lain juga menjadi sistem kebudayaan, yakni ketika wahyu itu direspon oleh manusia atau mengalami proses transformasi dalam kesadaran dan sistem kognisi manusia. Dalam konteks ini agama disebut sebagai gejala kebudayaan. Sebagai sistem kebudayaan, agama menjadi establishment dan kekuatan mobilisasi yang sering kali menimbulkan konflik. Di sinilah ketika agama (sebagai kebudayaan) difungsikan dalam masyarakat secara nyata maka akan melahirkan realitas yang serba paradoks.23 Agama Islam membiarkan kearifan lokal dan produk-produk kebudayaan lokal yang produktif dan tidak mengotori aqidah untuk tetap eksis. Jika memang terjadi perbedaan yang mendasar, agama sebagai sebuah naratif yang lebih besar bisa secara pelan-pelan menyelinap masuk ke dalam “dunia lokal” yang unik tersebut. Mungkin untuk sementara akan terjadi proses sinkretik, tetapi gejala semacam itu sangat wajar, dan in the long run, seiring dengan perkembangan akal dan kecerdasan para pemeluk agama, gejala semacam itu akan hilang dengan sendirinya. Para ulama salaf di Indonesia rata-rata bersikap akomodatif.24 Mereka tidak serta merta membabat habis tradisi. Tidak semua tradisi setempat berlawanan dengan aqidah dan kontra produktif. Banyak tradisi yang produktif dan dapat digunakan untuk menegakkan syiar Islam.25 Islam tidak pernah membeda-bedakan 23 Konflik, kekerasan, dan reaksi destruktif akan muncul apabila agama kehilangan kemampuan untuk merespons secara kreatif terhadap perubahan sosial yang sangat cepat. Dalam tataran ini, para penganut agama harus merenungkan arti perubahan sosial yang mereka alami dan merenungkan perilakunya terhadap situasi baru yang berkembang. Jika agama gagal membimbing umatnya maka agama akan memasung para pengikutnya pada lembah kebingungan. Sebaliknya jika para penganut agama berwawasan jauh dalam merespons perubahan maka agama akan memainkan peranan penting dalam memenuhi artikehidupan. Lihat Nur Achmad, Pluralitas Agama: Kerukunan Dalam Keragaman, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001, hlm. 20-21. 24 Upaya akomodasi atau rekonsiliasi memang wajar antara agama dan budaya di Indonesia dan telah dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya. Masjid Demak adalah contoh konkrit dari upaya akomodasi atau rekonsiliasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada masa tersebut diambil dari konsep ‘Meru’ dari masa pra Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun. Sunan Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja, hal ini melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim; iman, Islam dan ihsan. Pada mulanya, orang baru beriman saja kemudian ia melaksanakan Islam ketika telah menyadari pentingnya syariat. Barulah ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan) dengan jalan mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat. 25 Lihat saja tradisi berlebaran di Indonesia. Siapa yang menyangkal tradisi itu tidak menegakkan syiar Islam? Disamping Ramadan, tradisi berlebaran adalah saat yang ditunggutunggu. Lebaran menjadi momentum yang mulia dan mengharukan untuk sebuah kegiatan yang bernama silaturrahim. Apalagi dalam era globalisasi dimana orang makin mementingkan diri sendiri. Dalam masyarakat Minangkabau misalnya, tradisi telah menyatu dengan nilai Islam. Lihat kearifan lokal mereka: Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah “adat bersendikan hukum Islam, hukun Islam bersendikan Al Quran.” Dalam tradisi lisan Madura juga dikenal abantal omba’, 8

budaya rendah dan budaya tinggi, budaya kraton dan budaya akar rumput yang dibedakan adalah tingkat ketakwaannya. Disamping perlu terus menerus memahami Al Quran dan Hadist secara benar, perlu kiranya umat Islam merintis cross cultural understanding (pemahaman lintas budaya) agar kita dapat lebih memahami budaya bangsa lain. Meluasnya Islam ke seluruh dunia tentu juga melintas aneka ragam budaya lokal. Islam menjadi tidak “satu”, tetapi muncul dengan wajah yang berbeda-beda. Hal ini tidak menjadi masalah asalkan substansinya tidak bergeser. Artinya, rukun iman dan rukun Islam adalah sesuatu yang tidak bisa di tawar lagi. Bentuk masjid kita tidak harus seperti masjid-masjid di Arab. Atribut-atribut yang kita kenakan tidak harus seperti atribut-atribut yang dikenakan bangsa Arab. Festival-festival tradisional yang kita miliki dapat diselenggarakan dengan menggunakan acuan Islam sehingga terjadi perpaduan yang cantik antara warna Arab dan warna lokal. Lihat saja, misalnya, perayaan Sekaten di Yogyakarta, Festival Wali Sangan, atau perayaan 1 Muharram di banyak tempat. Dalam benak sebagian besar orang, agama adalah produk langit dan budaya adalah produk bumi. Agama dengan tegas mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia. Sementara budaya memberi ruang gerak yang longgar, bahkan bebas nilai, kepada manusia untuk senantiasa mengembangkan cipta, rasa, karsa dan karyanya. Tetapi baik agama maupun budaya difahami (secara umum) memiliki fungsi yang serupa, yakni untuk memanusiakan manusia dan membangun masyarakat yang beradab dan berperikemanusiaan.26 Yang patut diamati pula, kebudayaan populer di Indonesia banyak sekali menyerap konsep-konsep dan simbol-simbol Islam, sehingga seringkali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan populer di Indonesia. Kosakata bahasa Jawa maupun Melayu banyak mengadopsi konsepkonsep Islam. Taruhlah, dengan mengabaikan istilah-istilah kata benda yang banyak sekali dipinjam dari bahasa Arab, bahasa Jawa dan Melayu juga menyerap kata-kata atau istilah-istilah yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan. asapo’ iman yang bermakna bekerja keras dan senantiasa bertakwa. 26 Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke bumi, Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Permasalahannya terletak pada tata cara dan teknis pelaksanaan. Inilah yang diistilahkan Gus Dur dengan “pribumisasi Islam”.

9

Istilah-istilah seperti wahyu, ilham atau wali misalnya, adalah istilah-istilah pinjaman untuk mencakup konsep-konsep baru yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam khazanah budaya populer. Dalam hal penggunaan istilah-istilah yang diadopsi dari Islam, tentunya perlu membedakan mana yang “Arabisasi”, mana yang “Islamisasi”. Penggunaan dan sosialisasi terma-terma Islam sebagai manifestasi simbolik dari Islam tetap penting dan signifikan serta bukan seperti yang dikatakan Gus Dur, menyibukkan dengan masalah-masalah semu atau hanya bersifat pinggiran. Begitu juga penggunaan term shalat sebagai ganti dari sembahyang (berasal dari kata ‘nyembah sang Hyang’) adalah proses Islamisasi bukannya Arabisasi. Makna substansi dari shalat mencakup dimensi individual-komunal dan dimensi pribumisasi nilai-nilai substansial ini ke alam nyata. Adalah naif juga mengganti salam Islam “Assalâmu’alaikum” dengan “Selamat Pagi, Siang, Sore ataupun Malam”. Sebab esensi doa dan penghormatan yang terkandung dalam salam tidak terdapat dalam ucapan “Selamat Pagi” yang cenderung basa-basi, selain salam itu sendiri memang dianjurkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya. Dalam syariat Islam yang dinamis dan elastis, terdapat landasan hukum yang dinamakan 'urf. ‘urf adalah sesuatu yang menjadi kebiasaan dan dijalankan oleh manusia, baik berupa perbuatan yang terlakoni diantara mereka atau lafadz yang biasa mereka ucapkan untuk makna khusus yang tidak dipakai (yang sedang baku). Dari segi shahih tidaknya, 'urf terbagi dua : ‘urf shahih dan fasid. 'urf shahih adalah adat kebiasaan manusia yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram sedangkan 'urf fasid adalah adat kebiasaan manusia menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal seperti kebiasaan makan riba, ikhthilath (campur baur) antara pria dan wanita dalam pesta. ‘urf ini tidak boleh digunakan sumber hukum, karena bertentangan dengan syariat. D. Kesimpulan Islam memandang budaya, tradisi/adat yang ada di masyarakat sebagai hal yang memiliki kekuatan hukum. Seperti dalam salah satu kaidah fiqh yang sering digunakan dalam menjawab berbagai pertanyaan mengenai hukum adat pada masyarakat, yaitu al-‘adah al-muhakkamah (adat itu bisa dijadikan patokan hukum). Perlu diketahui bersama bahwa teori adat ini diambil dari adanya realitas 10

sosial kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan kehidupan itu dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai norma kehidupan, sedang setiap individu dalam bermasyarakat dalam melakukan sesuatu itu karena sesuatu tersebut dianggap bernilai, sehingga dalam komunitas mereka memiliki pola hidup dan kehidupan mereka sendiri secara khusus berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati bersama. Oleh sebab itu, jika ditemukan suatu masyarakat meninggalkan perbuatan yang selama ini sudah biasa dilakukan, maka mereka sudah dianggap telah mengalami pergeseran nilai, dan nilai-nilai seperti inilah yang dikenal degan sebutan adat-istiadat, budaya, tradisi dan sebagainya. Oleh karena itulah kebudayaan itu bisa dianggap sebagai perwujudan aktifitas nilai-nilai dan hasilnya. Dari faktor itulah, Islam dalam berbagai bentuk ajaran yang ada di dalamnya, menganggap adat-istiadat atau ‘urf sebagai patner dan elemen yang harus diadopsi secara selektif dan proporsional, sehingga bisa dijadikan sebagai salah satu alat penunjang hukum-hukum syara’, bukan sebagai landasan hukum yuridis yang berdiri sendiri dan akan melahirkan produk hukum baru, akan tetapi ia hanya sebagai suatu ornament untuk melegitimasi hukum-hukum syara’ sesuai dengan perspektifnya yang tidak bertentangan dengan nash-nash syara’. Dengan demikian tercetuslah teori yang obyek pembahasannya terfokus hanya kepada kasus-kasus adat kebiasaan atau tradisi, yaitu teori ‘urf sebagai berikut:

‘urf menurut syara’ itu memiliki suatu penghargaan (bernilai hujjah) dan kaidah ‘urf merupakan dasar hukum yang telah dikokohkan. Maka dari itu, para ahli hukum Islam menggunakan dua istilah ‘urf adat. Nampak adanya konsep ‘urf sebagai salah satu dalil dari segi prakteknya, yang di yang menunjukkan kontesktualisasi dan akomadatif terhadap kehidupan masyarakat fi kulli makan wan zaman. Wallahu ‘Alam bi Shawab

11

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Nur, Pluralitas Agama: Kerukunan Dalam Keragaman, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001. Al-Khuḍari, Muhammad, Tarikh al-Tashri al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr, 1995, hlm. 5 Al-Mansi, M. Qasim, Taghayyur al-Ẓuruf wa Atharuhu fi Ikhtilaf al-Ahkam fi alShari’ah al-Islamiyyah. Kairo: Daar al-Salaam, 2010. Arief,

Mahmud, Islam, Kearifan Lokal dan Kontekstualisasi Pendidikan: Kelernturan, Signifikandi dan Implikasi Edukatifnya, Jurnal : Al-Tahrir, Vol. 15, No. 1 Mei 2015.

Azra, Azyumardi, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, Bandung: Mizan, 2002. Azzam, Abdul Aziz Muhammad, al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Kairo: Darul Hadith, 2005.

12

Fajarini, Ulfah, “Peranan Kearifan Lokal Dalam Pendidikan Karakter”. Jurnal : Sosio Didaktika; 2014, Vol.1, No.2, hlm. 123 (http://journal.uinjkt,ac,id/ SOSIO-FITK/article/viewFile/ 1225/1093) Nasution, Khoirudin, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2004. Permana, C. K, Kearifan Lokal Masyarakat Baduy dalam Mengatasi Bencana, Jakarta: Wedatama Widia Sastra, 2010. Ratna, I Nyoman Kutha, Antropologi Sastra: Peranan Unsur-Unsur Kebudayaan dalam Proses Kreatif, 2011. Shihab, M. Quraish, Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw. dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadits-Hadits Shahih, Jakarta: Lentera Hati, 2012. Suhartini,

Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Jurnal Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Yogyakarta: Univ. Negeri Yogyakarta, 2009.

Wibowo, A dkk, Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Di Sekolah, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2015. Wirutomo, Paulus, et al., Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: UI Press, 2012. Muhammad

Takari, http://www.etnomusikologiusu.com/artikelkearifan-lokal.html

https://ahmadbinhanbal.wordpress.com/2010/08/13/biografi-dan-pemikiran-na %E1%B9%A3r-%E1%B8%A5amid-abu-zaid/ Mulyana Agus, http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/ JUR._PEND._SEJARAH/196608081991031 AGUS_MULYANA/ Seminternasional.pdf. https://www.arrahmah.com/2013/01/31/ http://www.nu.or.id/post/read/22817/ https://en.wikipedia.org/wiki/Taha_Jabir_Al Ulwani

13

Related Documents

Kearifan Hidup
June 2020 13
Kearifan Tradisional
May 2020 25
Kearifan Lokal
August 2019 41
Kearifan Lokal.docx
November 2019 26
Obama Dan Kearifan Besakih
December 2019 25

More Documents from "DigdyoFian"