Kata Pengantar
Puji dan syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas penyertaan-Nya sehingga kelompok dapat menyelesaikan makalah Sistem Ekonomi Indonesia “Masalah Pertanian dan Pangan” dengan baik. Tak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih terutama kepada dosen pengasuh mata kuliah yang selalu membimbing dan mengarahkan dalam proses pembuatan makalah ini hingga selesai, dan juga semua pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini. Akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu saran dan kritik dari para pembaca sangat diharapkan demi penyempurnaan penulisan berikutnya. Atas perhatiannya diucapkan terimakasih
Makassar, 23 Oktober 2016
Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Pembangunan di bidang pertanian adalah suatu hal yang tidak dapat di tawartawar lagi, karena sebagian besar masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras dan bekerja di sektor pertanian. Kebijakan pembangunan di sektor pertanian ini sebenarnya sudah dimulai Plan Mengatur Ekonomi yang diketuai Wakil Presiden Mohamman Hatta, sampai Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) pada era reformasi saat ini. Pada rencana Kasimo misalnya, hal yang menjadi prioritas adalah penyediaan pangan. Dalam rencana Kasimo ini yang menjadi tujuan utamanya adalah bagaimana memecahkan persoalan untuk mencapai sawasembada pangan. Menurut rencana Kasimo, swasembada pangan dapat dilakukan melalui intensifikasi dengan menggunakan bibit unggul, maupuin dengan usaha ekstensifikasi yaitu dengan memanfaatkan lahan-lahan tidur yang masih banyak di luar pulau Jawa. Jadi penjelasan akan seputar berbagai kebijakan di bidang pangan yang meliputi panca usaha tani dan pentingnya swasembada pangan dalam pembangunan, serta peranan Bulog sebagai penyangga stabilitaas pangan di Indonesia.
1.2. Tujuan 1. Pembaca dapat mengetahui kebijakan pemerintah di bidang pertanian dan pangan 2. Pembaca dapat memahami pentingnya swasembada pangan dalam pembangunan 3. Pembaca dapat memahami tentang panac usaha tani dan swasembada pangan (beras) 4. Pembaca dapat mengetahui tentang peranan Badan Urusan Logistik 5. Pembaca dapat memahami pentingnya tanaman industri sebagai pendukung sektor pertanian.
Bab II Pembahasan A. Kebijakan Pangan Kebijakan di bidang pangan pada awal masaa oorde baru, seperti diungkapkan pada Pelita I memberi tekanan pada bidang industri dan konsumsi beras. Pada waktu itu kebijakan beras identik dengan kebijakan pangan. Alat-alat kebijakan yang digunakan tidak jauh berbeda dengan alat-alat kebijakan pada masa sebelumnya. Perbedaannya terletak pada perencanaan yang lebih baik, keahlian yang makin mantap dan konsistensi dalam pelaksanaan alat-alat kebijakan tersebut. Pada tahun 1970-an setelah mngalami pertumbuhan perekonomian yang pesat, Indonesia dihadapkan pada pilihan sulit pada kebijakan pangan, sebagai konsekuensi keberhasilan kebijakan beras dan pembangunan ekonomi. Pada Pelita III kebijakan swsembada beras diganti dengan kebijakan yang lebih luas yaitu swasmbada di bidang pangan. Hasil yang dicapai pada akhir tahun 1976 adalah kenaikan produksi pangan, terutama penghasilan perhektar dan pemasarannya. Penggunaan teknologi dan bibit unggul yang mengakibatkan peningkatan produksi padi telah menimbulkan harapan baru akan tercapainya swasembada beras (swasembada beras dicapai pada tahun 1984). Setelah tercapai swasembada beras dan laju produksi yang semakin lambat, maka pada Pelita III tujuan swasembada beras diganti dengan tujuan swasembada pangan, dengan sasaran utama daerah pertanian di luar pulau Jawa. Perubahan strategi ini memerlukan perubahanperubahan sasaran di bidang penelitian pangan, pola konsumsi dan sistem pemasaran. B. Swasembada Pangan dalam Pembangunan Pada PJP I sektor pertanian merupakan prioritas pembanguna ekonomi. Pertumbuhannya mencapai 3,6 % pertahun. Kemajuanmenonjol pada PJP I adalah swasembada beras pada tahun 1984. Samapai pada tahun 1990 sektor pertanian sebagai penyumbang utama PDB (Product Domestik Bruto). Namun sesudah itu posisinya digantikan oleh sektor industri pengolahan. Hal ini sangat
memprihatinkan, bukan karena sektor perta ian tidak berkembang, melainkan besarnya proporsi tenaga kerja yang bekerja pada sektor tersebut. Sampai pada tahun 1999 sektor pertanian menyerap hampir separuh tenaga kerja yang ada. Hal ini berarti ada pnurunan dibandingkan dengan tahun 1992 yang mencapai separuh lebih. Ddisamping itu kualitas sumber daya manusia yang bekerja di sektor pertanian relatif rendah, sehingga produktifitasnya rendah. Dengan demikian pendataannya juga rendah. Samapai dengan tahun 1999 sektor pertanian menyumbang tenaga kerja 38,4 juta (43,2 %) atau turun 10,6 % dibandingkan dengan tahun 1992 (53,60 %). Sedangkan sumbangan dalam pembentukan PDB menurut harga yang berlaku sebesar 19,5 %, berarti setiap 1 % tenaga kerja hanya menyumbang sekitar 0,36 % PDB. Sedangkan pada negara-negara maju (G-7) sektor pertanian hanya menyerap 2 % tenaga kerja tetapi dapat menyumbang 3 % PDB. Hal ini berarti setiap 1 % tenaga kerja di bidang pertanian dapat menyumbang 1,5 % PDB atau dua kali lipat dari produktivvitas tenaga kerja pertanian kita (Indonesia). Selain mampu menyumbang PDB dan penerapan tenaga kerja, swasembada pangan juga mendorong pertumbuhan industri di luar sektor pertanian yanitu sebagai penopang penyediaan bahan baku industri (bahan mentah). Disamping itu juga kesejahteraan petani yang meningkat, dengan demikian permintaan barang-barang untuk memenuhi kebutuhan hidup juga semakin meningkat. Termasuk kebutuhan alat-alat untuk industri pertanian sampai kebutuhan rumah tangga lainnya. Disamping hal-hal tersebut diatas, swasembada pangan sangat penting untuk menghadapi terjadinya krisis ekonommi dunia. Dan disisi lain karena kebutuhan akan pangan terpenuhi maka kualitas gizi masyarakat menjadi lebih baik. Yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan dan stabilitas ekonomi nasional. C. Panca Usaha Tani Kebijakan pangan pada masa orde lama, dilaksanakan dengan istilah Program Kesejahteraan Nasional (1952) yang bertujuan mencapai swasembada beras sebelum tahun 1956 yaitu dengan pendekatan penyuluhan dan percontohan. Pendekatan ini mendekati penyuluhan pemerintah Hindia Belanda, yang disebut oleh-oleh yang bertujuan menyebarluaskan cara-cara bertani yang
lebih baik. Sedangkan program Bimas (bimbingan masyarakat) mencakup dan menyempurnakan pendekatan penyuluhan dan percontohan ini. Prgram ini dimulai pada tahun 1963, yaitu berupa program penyuluhan yang dilakukan para mahasiswa Fakultas Pertanian UI (kemudian menjadi IPB Bogor), sebagai inspirasi berkembangnya program bimas.program ini memberikan kerangka organisasi prorgam intensifikasi produksi padi yang dilaksanakan secara besar-besaran selama 10 tahun pertama Orde Baru. Pada tahun 1964, program Bimas diperluas dan menjadi terkenal dengan semboyan Panca Usaha Tani, yaitu lima cara kearah usaha tani yang baik. Kelima cara tersebut adalah: a)
Penggunaan dan pengendalian air yang lebih baik
b)
Penggunaan bibit pilihan (bibit unggul)
c)
Penggunaan pupuk dan pestisida yang seimbang
d)
Cara bercocok tanam yang baik
e)
Koperasi yang kuat
Pengalaman-pengalaman masa lampau banyak memebrikana pelajaran kepada kita mengenai cara-cara meningkatkan produksi beras. Kemudia cara-cara ini diambil alih untuk dikembangkan dan disempurnakan oleh pemerintah orde baru. Dan semboyan Panca Usaha Tani tetap menjadi pegangan kebijakan selama pemerintahan orde baru. D.
Peranan Badan Urusan Logistik (BULOG)
Masa depresi pada tahun 1920-an merupakan awal kebijakan pengendalian langsung harga beras. Pada awal tahun 1933, impor beras dibatasi dengan cara lisensi dan harga-harga diawasi langsung oleh pemerintah. Pemerintah Hindia Belanda berusaha menggalakan perdagangan beras antar pulau dan antar propinsi dengan tujuan agar daerah-daerah yang kekurangan beras diluar Jawa memperoleh tambahan beras dari daerah-daerah surplus seperti Jawa, Bali, dan Sulawesi Selatan. Kebijakan baru ini kemudia berkembang kearah pengawasan langsung ke perusahaan penggilingan beras agar tidak mengakibatkan hal-hal yang
mengakibatkan goyahnya harga beras lokal. Menjelang tahun 1939 makin terasa perlunya dibentuk suatu badan pemerintah khusus untuk melaksanakan dan mengawasi kebijkkana pemrintah yang begitu luas dalam pemasaraan beras. Maka pada awal bulan April 1939 dibentuklah Stitching Het Voedings Midlenfods (VMH). Badan ini merupakan cikal-bakal dari Bulog, yang merupakan badan pengendalian di bidang pangan yang sanagt penting pada masa pemerintahan Orde Baru. Pandangan pemerintah Belanda (juga menjadi pandangan berbagai rezim pemerintahan di Indonesia setelah merdeka) bahwa masalah beras sangat penting dan memerlukan pengaturan khusus dari pemerintahan. Pada tahun 1966 (awal Orde Baru) dibentuk Kolognas, yaitu suatu badan yang ditugasi menangani masalah logistik ditribusi barang-barang kebutuhn pokok, dan tugas tambahan menyalurkan dana kepada peserta Bimas melalui Gubernur dan Bupati. Selama tahun 1966 harga beras naik 300 %, tetapi dengan makin mantapnya pemerintahan Orde Baru, maka Kolognas dibubarkan pada tahun 1967 diganti dengan BULOG (Badan Urusan Logistik) yang ditugasi mengelola persediaan pangan dan bertanggung jawab kepada presiden. Kebijakan pangan, khususnya terhadap padi/beras merupakan salah satu unsur penting dalam stuktur anggaran pemerintah. Kebijakan tersebut antara lain meliputi pemberian subsidi atas harga pupuk, penyediaan kredit, penetapan harga gabah, serta berbagai mekanisme kelmbagaan. Untuk pengadaan dan pengendalian pangan ini pemerintah menyerahkan pengelolaannya kepada Bulog. Badan ini juga menangani urusan distribusinya, termasuk melakukan operasi pasar jika terdapat kecenderungan harga beras/padi tidak stabil. Bulog tidak hanya menangani beras, tetapi juga berbagai bahan kebutuhan pokok seperti gula, terigu, minyak goreng, dan lainlain (sembilan bahan pokok). Tugas utama Bulog pada dasarnya dalah menjamin harga pembelian gabah pada tingkat produsen agar tidak jatuh dibawah hargaa yang di tetapkan. Dalam pengendalian beras, Bulog bekerjasama dengan KUD untuk membeli gabah dari petani produsen. Disisi lain KUD mempunyai peran sebagai penyalur benih padi (bekerjasama dengan PT. Sang Hyang Seri), pupuk dan obat-obatan
(pestisida). Seiring dengan berjalannya waktu maka peranan Bulog mengalami pergeseran pada masa krisis ekonomi (1997) sampai sekarang. Dimana selama ini BULOG memegang monopoli dalam pengadaan dan pengendalian pangan, khususnya sembilan bahan pokok, perannya dikurangi. Sekarang peran BULOG hanya mengelola hasil pertanian beras saja, dan bahkan kelembagaan BULOG mengalami perubahan, yang tadinya merupakan badan penyangga pangan, kemudian berubah menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen pada tahun 2003 ini diubah lagi menjadi perusahaan umum (perum) yang usahanya khusus menangani pengadaan pangan. E. Tanaman Industri Tanaman industri merupakan pendukung utama sektor pertanian dalam menghasilkan devisa. Ekspor komoditas pertanian Indonesia adalah hasil-hasil perkebunan. Hasil-hasil perkebunan yang selama ini menjadi komoditas ekspor komersial terdiri dari karet, kelapa sawit, teh, kopi dan tembakau. Dan masih banyak lagi hasil tanaman perkebunan yang diekspor, namun jumlahnya relatif kecil. Penghasil devisa utama dari subsektor perkebunan adlah karet, kopi, kakao, dan cengkeh. Pengembangan tanaman indutri dilaksanankan dengan empat pola pada pengembangannya yaitu: 1.
Pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR)
Pola PIR dimaksudkan untuk mewujudkan keterpaduan usaha antara perkebunana rakyat sebaga plasma dn perkkebunan besar sebagai inti, dalam suatu sistem pengelolaan yang menangani seluruh rangkaian kegiatan agribisnis. Pelaksanaannya dilakukan dengan memanfaatkan perkebunan besar untuk mengembangkan perkebunan rakyat pada areal bukaan baru. 2. Pola Unit Pelayanan Pengembangan (UPP) Pola UPP adalah pengembangan dengan pendekatan terkonsentrasi pada lokasi tertentu yang menangani keseluruhan rangkaian proses agribisnis. Pelaksanaan pola UPP ini ditempuh melalui pengembangn perkebunan yang sudah ada3. Pola Swadaya
Pola ini ditujukan untuk mengembangkan swadaya masyarakat petani perkebunan yang sudah ada diluar wilayah kerja PIR dan UPP. 4. Pola Perusahaan Perkebunan Besar Pola perkebunan besar ini diarahkan untuk meningkatkan peranan pengusaha besar, berupa BUMN/BUMD, perusahaan swasta nasional maupun swasta asing.
Bab III Penutup Kesimpulan Peningkatan produksi tanaman pangan diupayakan melalui peningkatan produkvitas lahan serta perbaikan efisiensi pengelolaan. Sasaran utamanya adalah peningkatan produksi tanaman industri rakyat karena produktivitas dan hasilnya masih rendah padahal sebagian besar tanaman industri berasal dari perkebunan rakyat. Untuk menunjang kenaikan tanaman industri dibangun unit-unit pelayanan pengembangan (UPP). Unit-unit ini memberikan pembinaan dalam hal teknik agronomi; membantu pembiayaan, pemasaran, dan pengembangan fasilitas pengolahannya. Sementara itu usaha ekstensifikasi tanaman industri dilaksanakan melalui pola PIR, dimana perusahaan inti bertugas membina plasma-plasmanya dalam hal teknik agronomi, pengolahan dan pemasaran hasil produksinya.