Kasusepilepsii Fix Paling Fixxxxxx

  • Uploaded by: Risto Manek
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kasusepilepsii Fix Paling Fixxxxxx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,834
  • Pages: 21
TUGAS STASE FARMASI KLINIK (STUDI KASUS) KEJANG DEMAM dan EPILEPSI PADA ANAK

1.1 Tinjauan Kejang Demam 1.1.1 Definisi Berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE), kejang demam merupakan kejang selama masa kanak-kanak setelah usia 1 bulan, yang berhubungan dengan penyakit demam tanpa disebabkan infeksi sistem saraf pusat, tanpa riwayat kejang neonatus dan tidak berhubungan dengan kejang simptomatik lainnya (de Siqueira LFM,2010). Definisi berdasarkan konsensus tatalaksana kejang demam dari Ikatan Dokter Anak Indonesia/ IDAI, kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 380C, dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses intraKranial (IDAI, 2016).

1.1.2 Epidemiologi Kejang Demam Insiden di negara-negara barat berikisar antara 3-5%. Di Asia berkisar antara 4,47% di Singapura, sampai 9,9% di Jepang. Data di Indonesia belum ada secara nasional. Sekitar 80% diantaranya adalah kejang demam simpleks. Sedikit lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan (Lilihata et al, 2016).

1.1.3 Etiologi Kejang Demam Kejang disertai demam dapat disebabkan oleh infeksi susunan saraf (meningitis, ensefalitis, atau abses otak), epilepsi yang belum terdiagnosis yang dicetuskan oleh demam, atau kejang demam sederhana (Mikati, 2016).

1.1.4 Klasifikasi Kejang Demam Secara klinis, klasifikasi kejang demam dibagi menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana/simpleks dan atipik/kompleks. Keduanya memiliki perbedaan prognosis dan rekurensi (Lilihata et al, 2016). Kejang demam simpleks/ sederhana adalah kejang motorik umum mayor yang berlangsung kurang dari 15 menit dan hanya terjadi satu kali dalam kurun waktu 24 jam pada anak yang normal secara neurologis maupun perkembangan. Pada kejang demam kompleks/atipik, kejang yang berlangsung >15 menit disertai dengan riwayat anak dengan

gangguan neurologis atau terdapat lebih dari satu kali kejang dalam satu kejadian demam (Lewis, 2014).

1.1.5 Manifestasi Klinis Kejang Demam Kejang selalu didahului oleh naiknya suhu tubuh dengan cepat. Pada kejang demam simpleks, tipe kejang berupa kejang umum clonic atau tonic-clonic. Adanya tanda kejang demam fokal atau parsial selama maupun sesudah kejang (misalnya pergerakan satu tungkai saja atau satu tungkai terlihat lebih lemah dibanding yang lain) menunjukkan kejang demam kompleks. Kejang demam simpleks berlangsung <15 menit, namun periode mengantuk atau tertidur pasca-iktal dapat terjadi >15 menit (Lilihata et al, 2016). Anamnesis dan pemeriksaan fisik harus diarahkan untuk mencari fokus infeksi penyebab demam, tipe kejang, serta pengobatan yang telah diberikan sebelumnya. Riwayat trauma, riwayat perkembangan, dan fungsi neurologis serta riwayat kejang demam maupun kejang tanpa demam dalam keluarga merupakan hal-hal yang harus ditanyakan dalam anamnesis (Lilihata et al, 2016). Pada kejangdemam ditemukan perkembangan neurologis yang normal. Tidak ditemukan tanda-tanda meningitis maupun ensefalitis. Hal ini dapat diketahui melalui tanda kaku kuduk atau penurunan kesadaran (Lilihata et al, 2016). Berikut adalah manifestasi klinis yang membedakan antara kejang demam simpleks dan kejang demam kompleks. Tabel dibawah ini menunjukkan perbedaan kejang demam simpleks dengan kejang demam kompleks (Lewis, 2014). Kejang Demam Simpleks Kejang umum tonic, clonic, atau tonic clonic, anak dapat terlihat mengantuk setelah kejang.

Kejang Demam Kompleks Kejang fokal/parsial atau kejang fokal menjadi umum

Berlangsung singkat <15 menit.

Berlangsung >15 menit

Tidak berulang dalam 24 jam.

Berulang dalam 24 jam

Tanpa kelainan neurologis sebelum dan

Ada kelainan neurologis sebelum atau

sesudah kejang.

sesudah kejang.

1.1.6 Diagnosis Kejang Demam Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh dengan cepat hingga 38°C, dan kenaikan suhu tersebut diakibatkan oleh proses ekstrakranial. Demam harus terjadi mendahului kejang. Umumnya terjadi pada anak usia 6 bulan-5 tahun,

puncaknya pada usia 14-18 bulan (Lilihata et al, 2016). Kejang disertai demam juga terjadi pada diagnosis diferensial lain yang berbahaya, seperti infeksi SSP (Lilihata et al, 2016). Diagnosis selain kejang demam harus dipikirkan bila ditemukan: 

Kecurigaan atau bukti proses intrakranial, baik infeksi, radang, massa, dan proses lainnya melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, maupun penunjang.



Terdapat gangguan elektrolit.



Riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.



Terjadi pada bayi <1 bulan.



Bila terjadi pada anak <6 bulan atau >5 tahun, maka harus dipikirkan penyebab lain yang lebih sering, yaitu infeksi SSP. Banyak diantara kejang disertai demam merupakan proses intrakranial yang berbahaya ataupun proses sistemik. Kondisikondisi ini harus dapat dibedakan segera dari kejang demam. Kejang demam khas ditandai dengan peningkatan suhu tubuh secara cepat diikuti oleh kejang. Diketahui pada proses infeksi intrakranial, demam terjadi bersamaan atau setelah kejang. Pada anak <1 tahun, diagnosis banding yang harus dipikirkan adalah meningitis, bayi tampak letargi, ubunubun besar membonjol, dan pemeriksaan darah tepi menunjukkan leukositosis. Pemeriksaan pungsi lumbal sangat dibutuhkan apabila menemui pasien dengan kondisi ini.

1.1.7 Komplikasi dan Prognosis Kejang Demam Prognosis anak dengan kejang demam sederhana sangat baik dengan pencapaian intelektual normal (Lewis, 2014). Kejang demam atipik memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadi kejang demam berulang dibanding dengan kejang demam sederhana (Lilihata et al, 2016). Banyak anak yang akan mengalami kejang demam berulang tetapi risiko epilepsi di kemudian hari tidak lebih besar dari populasi umum (sekitar 1%) (Lewis, 2014). Anak dengan kejang demam memiliki kemungkian 30-50% mengalami kejang demam berulang dan 75%nya terjadi dalam satu tahun setelah awitan yang pertama. Risiko rekurensi bertambah bila: 1.

Kejang demam yang terjadi pada usia <1 tahun memiliki risiko berulang 50% sedangkan kejang demam yang terjadi pada usia >1 tahun memiliki risiko berulang 28%.

2.

Riwayat keluarga kejang demam atau epilepsi.

3.

Cepatnya kejang setelah demam.

4.

Kejang yang terjadi pada suhu tidak terlalu tinggi (38oC).

Adanya keempat faktor tersebut meningkatkan risiko kejang demam berulang hingga 80%. Namun bila tidak satupun faktor di atas ditemukan, kemungkinan berulang 10-15% (Lilihata et al, 2016).

1.1.8 Penatalaksanaan Penatalaksanaan Saat Kejang Pada kebanyakan kasus, biasanya kejang demam berlangsung singkat dan saat pasien datang kejang sudah berhenti. Bila dating dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB, dengan cara pemberian secara perlahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam 3-5 menit, dan dosis maksimal yang dapat diberikan adalah 20 mg. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau jika kejang terjadi di rumah adalah diazepam rektal 0,5-0,75 mg/kgBB, atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan diazepam rektal 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Jika anak di bawah usia 3 tahun dapat diberi diazepam rektal 5 mg dan untuk anak di atas usia 3 tahun diberi diazepam rektal 7,5 mg. Jika kejang belum berhenti, dapat diulang dengan cara dan dosis yang sama dengan interval 5 menit. Jika setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB. Jika kejang tetap belum berhenti, maka diberikan phenytoin intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1 mg/ kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Jika kejang berhenti, maka dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kgBB/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Jika dengan phenytoin kejang belum berhenti, maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif. Jika kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor risikonya.

2.1 Tinjauan Epilepsi 2.1.1 Definisi Sampai saat ini, belum terdapat keseragaman mengenai defnisi status epileptikus (SE) karena International League Againts Epilepsy (ILAE) hanya menyatakan bahwa SE adalah kejang yang berlangsung terus-menerus selama periode waktu tertentu atau berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara kejang. Kekurangan defnisi menurut ILAE tersebut adalah batasan lama kejang tersebut berlangsung. Oleh sebab itu, sebagian para ahli membuat kesepakatan batasan waktunya adalah selama 30 menit atau lebih.

2.1.2 Epidemiologi Insidens SE pada anak diperkirakan sekitar 10 – 58 per 100.000 anak. Status epileptikus lebih sering terjadi pada anak usia muda, terutama usia kurang dari 1 tahun dengan estimasi insidens 1 per 1000 bayi.

2.1.3 Etiologi Secara umum, etiologi SE dibagi menjadi: 1.

Simtomatis: penyebab diketahui

a.

Akut: infeksi, hipoksia, gangguan glukosa atau keseimbangan elektrolit, trauma kepala, perdarahan, atau stroke.

b.

Remote, bila terdapat riwayat kelainan sebelumnya: ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala, infeksi, atau kelainan otak congenital

c.

Kelainan neurologi progresif: tumor otak, kelainan metabolik, otoimun (contohnya vaskulitis)

d.

Epilepsi

2.

Idiopatik/kriptogenik: penyebab tidak dapat diketahui.

2.1.4 Faktor risiko Berikut adalah beberapa kelompok pasien yang berisiko mengalami status epileptikus: 1.

Epilepsi Sekitar 10-20% penderita epilepsi setidaknya akan mengalami satu kali episode status epileptikus dalam perjalanan sakitnya. Selain itu, SE dapat merupakan manifestasi epilepsy pertama kali pada 12% pasien baru epilepsi.

2.

Pasien sakit kritis Pasien yang mengalami ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala, infeksi SSP, penyakit kardiovaskular, penyakit jantung bawaan (terutama post-operatif), dan ensefalopati hipertensi.

2.1.5 Patofsiologi Status epileptikus terjadi akibat kegagalan mekanisme untuk membatasi penyebaran kejang baik karena aktivitas neurotransmiter eksitasi yang berlebihan dan atau aktivitas neurotransmiter inhibisi yang tidak efektif. Neurotransmiter eksitasi utama tersebut adalah neurotran dan asetilkolin, sedangkan neurotransmiter inhibisi adalah gamma-aminobutyric acid (GABA).

2.1.6 Tata Laksana Evaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathing, circulation (ABC) harus dilakukan seiring dengan pemberian obat anti-konvulsan. Pemilihan jenis obat serta dosis anti-konvulsan pada tata laksana SE sangat bervariasi antar institusi. Berikut ini adalah algoritma tata laksana kejang akut dan status epileptikus berdasarkan Konsensus UKK Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.

BAB LAPORAN KASUS

Demografi Pasien

Inisial Pasien: An. A

Berat Badan: 10 kg

Umur: 1 tahun

Tinggi Badan: -

Jenis Kelamin : L Keluhan utama : Kejang 2 x sejak pagi dengan suhu badan tinggi Diagnosa : (12/4): Observasi kejang, susp KDS, Diferens Epilepsi (14/4): Epilepsi + edema pulmo Riwayat Penyakit: Riwayat Pengobatan: Alergi: tidak ada Obat-obat Tradisional: tidak ada

Catatan Perkembangan Pasien Tanggal 12/4/2018

Problem/ kejadian - Pasien mengalami kejang-kejang dengan suhu ↑ (38,4 0C), saturasi O2 (92,2%), SGOT ↑, SGPT ↑ - CT scan kepala:  Deviasi ringan septum lesi ke Dextra  Tak tampak gambaran pendarahan infark/ masa infark cerebral

Tindakan Klinis - Terapi O2 1L/ menit - Infus KA-EN 3B 3 ml/kgBB/ jam - Inj. Piracetam 3 x150 mg - Inj. Cefotaxime 2 x 500 mg - Inj. SNMC (Stronger NeoMinophagen C 1 x 20 ml - Rektal Diazepam 5 mg - PO Parasetamol 4 x 100 mg

13/4/2018

- Pasien mengalami sesak nafas (nafas terengahengah), leukosit ↑, kejang-kejang (serangan lebih dari 20 menit), ada darah di feses, diare (+) - Dilakukan kultur feses

- Nebul velutin (Salbutamol) 1/3, Pulmicort (Budesonide) 1/2 (dijadikan nebul) - Infus Metronidazol 1 x 300 mg - Inj. Diazepam 2x 5 mg - Inj. Ranitidin 2 x 10 mg

14/4/2018

- Pasien masih mengalami kejang,

- Nebul velutin (Salbutamol)

hipoalbumin dan hiponatremia

1/3, Pulmicort (Budesonide)

- Foto Thorax: dipulmo mendukung gambaran

1/2 (dijadikan nebul)

edema paru

- Inj. Furosemide 1 x 20 mg - Inj. Diazepam 0,5 mg/kgBB - PO Sukralfat syr 4 x 250 mg - Inj. Plasbumin 25 % - Inj. Vancomycin 10 mg/ kg tiap 6 jam - Inj. NaCl 0,9 %

15/4/2018

- Pasien masih mengalami kejang, SGOT↑, SGPT↑, - Inj. Phenytoin 20 mg/ kgBB/ tiap pemberian pasien mengalami hipokalemia - PO Sukralfat syr 4 x 250 mg - Inj. Furosemide 1 x 20 mg - PO Kalium 2 x 125 mg - Inj. SNMC (Stronger NeoMinophagen C 1 x 20 ml - PO Azytromicin syr 1 x 100 mg

16/4/2018

- Kondisi pasien mulai membaik

- Inj. Furosemide 1 x 20 mg - PO Azytromicin syr 1 x 100 mg

A. Tanda-tanda Vital Normal

12/4

13/4

14/4

15/4

16/4

o

37

38,4

-

-

-

-

Nadi (x/menit)

60-100

134

-

-

-

-

Saturasi oksigen

92-95%

92,2%

93,1%

93,3%

-

-

Hasil tanda- tanda vital Suhu ( C)

B. Data Laboratorium Pemeriksaan Hemoglobin Trombosit Leukosit Natrium Kalsium SGOT SGPT Feses

Rentang normal 11.0-14.5 150.000-450.000/µL 4-11x 103/µL 131-140 mmol/dl 8.2-9.6 mg/dl 0-32 u/L 0-31 u/L 0

Kalium Albumin Magnesium Saturasi O2

3.5-5,2 mmol/L 3.4-4.8 g/dL 1.9-2.5 mg/dL > 95 %

12/4 10.8 23.000 19

13/4 11.1 27.000 24.8

14/4

15/4

53.000 18 128

137.000 13

7,4 47,2 82

16/4

69,4 46,8 Ada leukosit, 0-1/ lapang pandang Ada eritrosit, 2-5/ lapang pandang

92,2%

3,3 2.8 1.79 94.3 %

94.1 %

3,4

Data penunjang lab: 13/4/2018 dilakukan kultur feses dan hasilnya keluar pada tanggal 14/4/2018 didapatkan bakteri Adanya bakteri Clostridium difficile. Antibiotik sensitif: azytromicin, claritomyzin, clindamycin, doksisiklin , eritromycin, gentamycin, Rifampicin, vancomycin.

Profil Pengobatan Nama Obat O2

Infus KA-EN 3B Piracetetam injeksi Cefotaxime injeksi Parasetamol syr Diazepam supp. SNMC (Stronger Neo-Minophagen C) inj Ranitidin inj Diazepam inj Phenytoin Nebul velutin (Salbutamol 2,5 mg) 1/3 Pulmicort (Budesonide 0,5 mg) 1/2 (dijadikan nebul) Metrodinazole infus Plasbumin 25 % Nacl 0,9 % Sulcrafate syr Furosemide Azithromycin syr Vancomycin inj Aspar-K (Kalium L-aspartate)

Dosis 1L/ menit

Rute

12/4 √

3 ml/kgBB/jam

IV



3 x150 mg 2 x 500 mg 4 x 100 mg 5 mg 1 x 20 ml 2 x 10 mg 2 x 5 mg 1 x 100 mg Nebul 2 x 1

IV IV PO Rektal IV IV IV IV

√ √ √ √ √

1 x 300 mg 1 x 25 g

IV IV IV PO IV PO IV PO

4 x 250 mg 1 x 20 mg 1 x 100 mg 1 x 100 mg 2 x 125 mg

13/4

14/4

15/4

16/4

√ √ √









√ √ √ √ √ √ √

√ √ √ √

√ √

Tinjauan Terapi  Keterangan obat yang digunakan oleh pasien saat di rumah sakit Jenis Obat O2 Infus KA-EN 3B

Dosis Lasim 1,2 L/hari

Piracetetam Inj Cefotaxime Parasetamol syr Phenytoin SNMC inj

Ranitidin inj

Terapi tanpa indikasi 50–180 mg/kg/hari dalam 4 dosis terbagi (McEvoy, 2011). 10-15 mg/kg tiap 4–6 jam(McEvoy, 2011) 10-20 mg/kgBB tiap pemberian (McEvoy, 2011) 40-60 ml/hari dapat disesuaikan dengan usia (MIMS, 2016)

Diazepam inj

2-4 mg/kg/hari tiap 6-8 jam (McEvoy, 2011). 5 mg: anak dengan BB <12 kg 10 mg : anak dengan BB>12 kg (IDAI, 2016) 0,3-0,5 mg/kgBB (IDAI, 2016)

Nebul volutin 1/3 Pulmicort 1/2

Salbutamol : Anak ≥ 2 tahun: 2.5 mg/dosis 3-4 kali per hari

Diazepam supp

Metrodinazole infus Plasbumin 25% Nacl 0,9 % Sulcrafate syr

Indikasi obat pada pasien Untuk kadar Oksigen yang kurang Sebagai nutrisi parentral

Budenoside: Anak > 6 tahun: 0.5 mg/ hari (McEvoy, 2011). 30 mg/kg/hari dalam dosis terbagi tiap 6 jam (McEvoy, 2011). (Sepsis) Tidak lebih dari 1-2 mg/kg/jam 40-80 mg/kg/hari tiap 6 jam (McEvoy, 2011).

Sebagai antibiotik empiris untuk mencegah infeksi yang terjadi pada pasien Untuk mengatasi demam pada pasien. Mengatasi kejang pada pasien yang masih berlanjut Untuk menurunkan kadar SGOT dan SGPT yang tinggi.kadar SGOT dan SGPT yang tinggi menandakan adanya gangguan hati. Pengobatan spesifik untuk mengontrol pendarahan pada saluran pencernaan. Untuk mengatasi kejang yang dialami pasien.

Untuk mengatasi kejang yang dialami pasien.

Untuk melonggarkan saluran pernapasan (sesak napas) pasien.

Antibiotik empiris pilihan pertama untuk terapi diare akut Untuk mengatasi kondisi Hipoalbumin pada pasien Diberikan untuk mengatasi hiponatremia yang dialami pasien. Untuk melindungi mukosa lambung

Efek Samping Alkalosis, edema otak, paru dan perifer; intoksikasi air dan hiperkalemia (MIMS, 2016) Rasa gugup, agitasi, iritabilitas, rasa lelah dan gangguan tidur, muntah, diare, dan gastralgia (MIMS, 2016) Sakit kepala, pusing, mual, muntah, diare, anoreksia (McEvoy, 2011). Reaksi hematologi, hipersensitivitas, kerusakan hati (McEvoy, 2011). Mual, muntah dan konstipasi, kurang nafsu makan, sakit kepala, gelisah (McEvoy, 2011). Syok, pseudoaldosteronisme (seperti edema, hypopotassemia berat, hipertensi, retensi natrium dan cairan tubuh, peningkatan berat badan) (MIMS, 2016) Sakit kepala,kelelahan, pusing, insomnia, ruam, mual, muntah, diare (McEvoy, 2011). Mengantuk, kelemahan otot, ataksia, reaksi paradoksikal dalam agresi, gangguan mental, ketergantungan, depresi pernapasan (McEvoy, 2011). Mengantuk, kelemahan otot, ataksia, reaksi paradoksikal dalam agresi, gangguan mental, ketergantungan, depresi pernapasan (McEvoy, 2011). Salbutamol : Tremor, sakit kepala, takikardi Budesonide: Iritasi ringan pada tenggorokan, suara serak, iritasi pada rongga mulut, sariawan, mulut kering (MIMS, 2016)

Warna urine menjadi gelap, nafsu makan menurun, mual, konstipasi, sakit kepala, pusing (Medscape, 2017) Volume darah dalam sirkulasi darah berlebih, urtikaria, demam, menggigil,perubahan pola pernapasan (MIMS, 2016) Konstipasi, diare, mual, gangguan pencernaan, gangguan lambung, mulut kering, ruam, reaksi hipersensitifitas, nyeri punggung, pusing, sakit kepala, vertigo, dan mengantuk (McEvoy, 2011).

Furosemide

1-2 mg/kg (McEvoy, 2011).

Untuk mengatasi edema pulmo pasien

Azytromicin syr

10 mg/kg sekali sehari (McEvoy, 2011).

Untuk mencegah infeksi akibat bakteri

Vancomycin inj

10 mg/kg tiap 6 jam (McEvoy, 2011).

Untuk mencegah infeksi akibat bakteri

Aspar-K (Kalium L-aspartate)

Untuk mengatasi hypokalemia pasien

Gangguan elektrolit, dehidrasi, hipovolemia, hipotensi, peningkatan kreatinin darah (MIMS, 2016) Mual, muntah, diare, kembung, flatulensi, palpitasi, nyeri dada, dispepsia, dan nyeri pada perut (Medscape, 2017) Mual, demam, menggigil, anafilaksis, ruam (termasuk sindrom Stevens-Johnson, dermatitis eksfoliatif dan vaskulitis); flebitis (McEvoy, 2011).

SOAP Problem Medik

S

Kejang

O Kejang

A Diazepam Suppo (12/4/2018)

P Monitoring tanda-tanda kejang

Dosis Pasien: 5 mg Piracetetam Inj (12/4/2018) Dosis Pasien: 3x150 mg Diazepam Injeksi (13-14/4/2018) DosisPasien: 2 x 5 mg Phenytoin (15/4/2018) Dosis Pasien: 2x 25 mg Suhu ↑ (38,4 0C)

Demam

Parasetamol syr (12/4/2018)

Monitoring suhu tubuh

Dosis Pasien: 3x125 mg SGOT ↑, SGPT ↑, hipoalbumin

SNMC (Stronger Neo-Minophagen C) injeksi (12 & 15/4/2018)

Monitoring SGOT dan SGPT

Dosis Pasien: 1x20 ml Kadar albumin (2,8)

Albumin 25% (14/4/2018)

Monitoring kadar albumin

Dosis Pasien: 1 x 25 g KA-EN 3b (12/4/2018) Dosis Pasien: 3 ml/kgBB/jam O2 (12/4/2018) Dosis Pasien: 1 L/menit Edema Paru

Pasien

Foto Thorax: di pulmo mendukung

Furosemide (14-16/4/2018)

mengalami

gambaran edema paru

DosisPasien: 1 x 20 mg

sesak nafas

Nebul (13-14/4/2018) velutin (Salbutamol) 1/3, Pulmicort (Budesonide) 1/2 (dijadikan nebul)

Monitoring kadar Kalium

Diare

Ada darah di

Leukosit ↑:

Metronidasol infus (13/4/2018)

Monitoring leukosit dan efek samping

feses

Tanggal 13/4 (24.8)

Dosis Pasien: 1x300 mg

obat

Tanggal 14/4 (18)

Azithromycin syr (15-16/4/2018)

Tanggal 15/4 (13)

Dosis Pasien: 1x100 mg

Vancomycin injeksi (14/4/2018) Dosis pasien:10 mg/ kg tiap 6 jam Ranitidin Inj (13/4/2018)

Monitoring ESO

- Dosispasien : 2x 10 mg Sulcrafate syr (14/4/2018) Dosis pasien: 4 x 250 mg Cefotaxim injeksi (12/4/2018) Dosis pasien : 2 x 500 mg kadar kalium rendah yaitu tanggal 14

Aspar-K (Kalium L-aspartate)

(3.3) dan tanggal 15 (3,4)

Dosis pasien : 1x 1/2 tablet/hari

Kadar NaCl rendah (128)

NaCl 0,9% (14/4/2018)

Monitoring kadar Kalium

DRP Rekomendasi dan Monitoring PROBLEM

KATEGORI DRP

PROBLEM

PLAN

Tidak tepat obat

Terapi piracetam injeksi pada tanggal 12/4/8 tidak diketahui

Pemberian terapi piracetam perlu dievaluasi lagi penggunaannya.

MEDIK

Kejang

indikasinya Dosis terlalu kecil

Pemberian Phenytoin dihentikan

Sebaiknya Phenytoin tetap diberikan walaupun kejang sudah berhenti dimulai 12 jam setelah dosis awal yaitu 4-8 mg/kgBB/hari (Arif, 2009).

Infeksi

Tidak tepat obat

Pada tanggal 15/4/18 antibiotik Ancomycin diganti dengan

Seharusnya tetap diberikan Vancomycin selama 10-14 hari sebagai terapi diare akut

Azithromycin

(Kumala, 2004) sehingga perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut mengenai pergantian antibiotik.

PEMBAHASAN

An. A. berusia 1 tahun masuk rumah sakit pada tanggal 12 April 2018 dengan keluhan kejang sudah 2 kali sejak pagi disertai demam tinggi. Berdasarkan data tersebut dokter mendiagnosis pasien dengan susp. Kejang Demam Sederhana (KDS) dd. Epilepsi sehingga dilakukan observasi kejang. Saat pasien datang dengan kondisi kejang disertai demam, terdapat 3 kemungkinan yang dapat terjadi pada pasien tersebut, yaitu: kejang demam, epilepsi dan infeksi sistem saraf pusat. Kejang demam merupakan kejang yang terjadi karena rangsangan demam, tanpa adanya proses infeksi intrakranial dan terjadi pada sekitar 2-4% pada anak berusia 3 bulan sampai 5 tahun. Kejang demam dibagi menjadi dua yaitu Kejang Demam Sederhana (KDS) dan Kejang Demam Kompleks (KDK). Kejang demam sederhana adalah kejang dengan durasi <15 menit, tipe kejang generalized (bukan fokal), dan satu kali dalam 24 jam. Sebaliknya kejang dengan durasi >15 menit, tipe kejang fokal, dan lebih dari dua kali per 24 jam disebut kejang demam kompleks. Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung <5 menit dan berhenti sendiri (Arief, 2015). Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan rutin terkait dengan kondisi kejang yang dialaminya tetapi dilakukan evaluasi sumber infeksi penyebab demam seperti gastroentritis, dehidrasi disertai demam. Menurut Arief (2015) pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan pada pasien dengan kondisi kejang adalah pemeriksaan perifer, elektrolit, dan kadar gula darah. Pasien mengalami kejang dan disertai dengan peningkatan suhu tubuh yaitu 38,40C. Terapi yang digunakan untuk mengatasi demam yaitu parasetamol dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak boleh diberikan lebih dari 5 kali (Arief, 2015). Pasien diberikan parasetamol 4 x 100 mg diberikan secara peroral. Menurut Moot, Bodhi dan Mongi (2013), salah satu obat yang digunakan untuk mengobati demam yaitu parasetamol. Parasetamol bekerja dengan menekan efek dari pirogen endogen dengan jalan menghambat sintesis prostaglandin, efek parasetamol langsung ke pusat pengaturan panas di hipotalamus sehingga terjadi vasodilatasi perifer, keluarnya keringat dan pembuangan panas. Dosis dan indikasi pemberian parasetamol sudah tepat karena sesuai dengan pustaka. Pada tanggal 12/4/2018 pasien diberikan terapi utama untuk mengatasi kejang. Pasien diberikan diazepam secara per rektal dengan dosis 5 mg untuk pasien anak dengan berat badan <12 kg (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2016). Pada kasus ini pasien mendapatkan terapi diazepam suppo dengan dosis 5 mg. Menurut (McEvoy, 2011), diazepam memiliki potensiasi inhibisi neuron dengan asam gamma aminobitirat (GABA) sebagai

mediator

pada

SSP,

penghambatan

neurotransmitter,

menghasilkan

peningkatan

penghambatan saraf dan depresi SSP, terutama dalam sistem limbik dan pembentukan reticular. Dosis dan indikasi yang diberikan sudah sesuai dengan pustaka. Selanjutnya pada tanggal 12/4/2018 pasien diberikan terapi piracetam injeksi dengan dosis 3 x150 mg. Dalam kasus ini pemberian piracetam tidak diketahui indikasinya. Menurut Shorvon (2016) piracetam diindikasikan untuk kejang mioklonik, tetapi pada pasien tidak diketahui jenis kejangnya, sehingga pemberian terapi piracetam perlu dievaluasi lagi penggunaannya. Pada tanggal 13 April 2018, pasien mengalami kejang berulang sehingga diberi diazepam injeksi dengan dosis 2 x 5 mg. Pasien masih mengalami kejang pada tanggal 14 April 2018 sehingga pasien tetap diberikan terapi injeksi diazepam 2 x 5 mg. Pemberian terapi untuk mengasi kejang sudah tepat karena sesuai dengan tatalaksana terapi menurut Arief (2015). Kondisi kejang pada pasien masih berlanjut pada tanggal 15 April 2018 sehingga pasien diberikan fenitoin 1 x 100 mg. Fenitoin dapat mengurangi masuknya ion natrium yang melintasi membran sel saraf pada bagian korteks motorik yang merupakan pusat kendali terjadinya kejang pada otak; menstabilkan membran saraf (McEvoy, 2011). Pada tanggal 16 April 2018 pemberian fenitoin dihentikan. Menurut Hixson (2010), penghentian obat antiepilepsi pada anak secara tiba-tiba dapat menyebabkan kekambuhan kejang, sehingga perlu dilakukan evaluasi terhadap penghentian fenitoin. Pada tanggal 12/4/2018 pasien diberikan terapi infus Ka-En 3b sebagai nutrisi parentral. Menurut Riyadi, Sujono dan Sukarmin (2009), pemberian cairan intravena diberikan untuk memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit. Kebutuhan cairan rata-rata untuk anak 1 tahun dengan berat badan 10 kg yakni 120-135 kgbb. Dosis literatur sehari untuk cairan intravena yaitu 1,2L/hari, sedangkan dosis Ka-En 3b yang diberikan yakni 3 ml/kgBB/jam (720 ml/hari). Dosis pemberian tidak sesuai (underdose), oleh karena itu perlu adanya adjusting dosis pada pasien anak A disesuaikan dengan literatur dengan memperhatikan apakah pasien bisa minum atau tidak. Apabila bisa minum, maka sisa dosis diberikan secara per oral. Apabila pasien tidak bisa minum, dosis infus harus ditingkatkan.

Hasil CT scan kepala pasien pada tanggal 12 April 2018 menunjukan devisiasi ringan septum lesi ke dextra namun tidak tampak adanya perdarahan infark/ massa infark cerebral dan pada tanggal 13 april 2018 pasien juga mengalami sesak napas sehingga pasien diberikan salbutamol 1/3 dan budesonide ½. Mekanisme kerja salbutamol sebagai bronkodilatasi yang memiliki onset cepat (4 hingga 6 jam) sehingga dapat mengatasi sesak napas yang dialami pasien (Cazzola, et all., 2013). Budesonide merupakan golongan kortikosteroid yang memilki

efek antiinflamasi disertai dengan aktifitas glukokortikoid yang kuat dan mineralkortikoid yang lemah sehingga dapat menghambat sel dan mediator yang terlibat dalam proses inflamasi dan menyebabkan sesak pada pasien berkurang. Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 12/4/2018 menunjukan peningkatan nilai SGOT dan SGPT pasien yaitu 47,2 dan 82 u/L dan pada tanggal 15/4 pemeriksaan laboratorium SGPT/SGOT juga diatas nilai normal sehingga pasien diberikan terapi injeksi SNMC (Stronger Neo-Minophagen C) 1 x 20 ml. Kandungan SNMC terdiri atas glisirisin 40 mg (0,2%), glisin 400 mg (2%) dan L-Sistein 20 mg (0,1%) setiap ampulnya. Menurut Dexa Media (2006) kandungan yang terdapat pada SNMC dapat memberikan efek sebagai antihypertransaminase dengan memutuskan ikatan enzim transaminase dalam sirkulasi darah pada penderita kerusakan/radang parenkim hepar (hepatocytenecrosis) sehingga terjadi perbaikan profil transaminase dan memberikan efek protektif pada membran seluler hepatik sehingga tidak terjadi hepatosit. Pemeriksaan kalium pasien pada tanggal 14/4/2108 yaitu 3,3 mmol/L dan pada tanggal 15/4/2018 yaitu 3,4 mmol/L sehingga pasien diberikan terapi kalium L-aspartat 2x125 mg. Konsentrasi kalium dalam feses berkisar 80-90 mmol per liter, namun karena kadar air dalam feses yang sangat rendah sehingga kehilangan kalium dalam feses hanya 10 mmol per hari. Pada kondisi diare, kadar kalium dalam feses akan menurun, namun jumlah feses yang banyak akan menyebabkan hipokalemia. Volume feses akan meningkat akibat diare dengan infeksi. Tujuan suplementasi kalium adalah mencegah ancaman jiwa misalnya aritmia jantung, memperbaiki paralisis dan mengembalikan jumlah total kalium dalam tubuh. Pada kasus hipokalemia karena gangguan distribusi maka tidak disarankan pemberian suplemen kalium karena hipokalemia bersifat transien (Salwani, 2015). Pemberian per oral dan dosis kalium L-aspartat pada pasien sudah tepat. Pemeriksaan natrium pada pasien pada tanggal 14/4/2018 yaitu 128 mmol/dl sehingga pasien diberikan infus NaCl 0,9% untuk menaikkan kadar natrium. Berdasarkan Guidelines for the Assesment and Management of Hyponatremia (2015), penggunaan larutan sodium sudah tepat digunakan untuk pasien hiponatremia. Pada tanggal 14/4/2018 kadar albumin pasien 2,8 g/dl. Pasien diberikan terapi albumin 25%. Menurut Roberts, et al (2011), karena biaya tinggi dan terbatasnya ketersediaan albumin manusia, sangat penting bahwa penggunaannya seharusnya terbatas pada indikasi yang telah terbukti efektif seperti hipovolemia karena cedera atau pembedahan, luka bakar dan hipoproteinemia, sedangkan pada pasien tidak ditemukan tanda-tanda tersebut sehingga penggunaan albumin perlu dievaluasi pemberiannya.

Pada tanggal 13/4/2018 pasien mengalami diare dan ada darah pada feses, dicurigai pasien mengalami perdarahan sehingga pasien diberikan injeksi Ranitidin 2x10 mg. Menurut Tengguna (2017), Ranitidin dapat digunakan sebagai pengobatan spesifik untuk mengontrol perdarahan dengan dosis 2-4 mg/kgBB/hari. Dosis dan indikasi ranitidin sudah tepat. Pada tanggal 13/4/2018 dan 14/4/2018 injeksi ranitidin diganti dengan Sukralfat sirup 4x250 mg. Sukralfat diindikasikan untuk melindungi mukosa lambung dengan dosis 40-80 mg/kgBB/hari terbagi 4 dosis (maksimum 1000 mg/dosis terbagi dalam 4 dosis) (Tengguna, 2017), sehingga pemberian sukralfat sudah sesuai. Pada tanggal 14/4/2018 foto thorax pasien di pulmo mendukung gambaran adanya edema paru, sehingga pasien diberikan terapi injeksi furosemid 1x20 mg. Penggunaan furosemid dilanjutkan pada tanggal 15/4/2018 dan 16/4/2018 karena pasien masih mengalami edema paru. Menurut Lacy, at all (2009), furosemid dapat menghambat reabsorpsi natrium dan klorida dalam loop ascending Henle dan tubulus ginjal distal, mengganggu sistem cotransport yang mengikat klorida, sehingga menyebabkan peningkatan ekskresi air, natrium, klorida, magnesium, dan kalsium. Dosis pustaka pemberian injeksi furosemid yang dianjurkan yaitu 1 mg/kg/dosis, meningkat setiap dosis berikutnya pada 1 mg/kg/dosis dengan interval 612 jam sampai respon yang memuaskan hingga 6 mg/kg/dosis. Pemberian dosis dan indikasi furosemid sudah tepat. Pada tanggal 12/4/2018 pasien diberikan injeksi cefotaxime sebagai antibiotik empiris untuk mencegah infeksi yang terjadi pada pasien yang didasarkan pada demam yang dialami pasien, dan kadar leukosit yang tinggi. Pada tanggal 13/4/2018 dilakukan kultur feses dan pasien diberikan terapi infus metronidasole sebagai antibiotik empiris pilihan pertama untuk terapi diare akut. Menurut Amin (2015), metronidasole dapat menjadi antibiotik empiris pilihan pertama untuk terapi diare akut. Pada tanggal 14/4/2018 hasil dari kultur feses diketahui bakteri yang menginfeksi yaitu Clostridium difficile dengan antibiotik sensitif yakni azytromicin, claritomyzin, clindamycin, doksisiklin , eritromycin, gentamycin, rifampicin, dan vancomycin, sehingga terapi antibiotik metronidasole diganti dengan injeksi vancomycin. Menurut Kumala (2004), terapi vancomycin diberikan selama 10-14 hari sebagai terapi diare akut. Pada tanggal 15/4/2018 dan tanggal 16/4/2018 vancomycin diganti dengan azithromycin sehingga perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut mengenai pergantian antibiotik.

BAB KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan: 1.

Pemberian terapi piracetam injeksi terhadap kejang pasien pada tanggal 12/4/18 tidak tepat

2.

Dosis dari terapi phenytoin terlalu kecil karena dihentikan pemberiannya

3.

Terapi terhadap infeksi dari pasien tidak sesuai karena tanggal 15/4/18 antibiotik vancomycin diganti dengan azithromycin

Saran: 1.

Seharusnya pemberian terapi piracetam perlu dievaluasi lagi penggunaannya

2.

Sebaiknya phenytoin tetap diberikan walaupun kejang sudah berhenti dimulai 122 jam setelah dosis awal yaitu 4-8 mg/kgBB/hari

3.

Seharusnya tetap diberikan vancomycin selama 10- 14 hari sebagai terapi diare akut, dan perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut mengenai pergantian antibiotik

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Pediatrics. Clinical Practice Guideline—Febrile Seizures: Guideline for the Neurodiagnostic Evaluation of the Child With a Simple Febrile Seizure. 2011.

Amin. 2015. Tatalaksana Diare Akut, CDK-230, 42(7).

Arief. 2015. Penatalaksanaan Kejang Demam, CDK, 42(9). Cazzola, et all., 2013. β2-Agonist Therapy in Lung Disease, American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, 187.

Dexa Media. 2006. Dexa Media, Jurnal Kedokteran dan Farmasi, 19(2).

Guidelines for the Assessment and Management of Hyponatraemia. Version 8_March 18, 2015.

Hixson. 2010. Stopping Antiepileptic Drugs: When and Why. Current Treatment Options in Neurology. University of California San Francisco, 400 Parnassus Avenue, San Francisco.

https://mims.com/

Kumala, W. 2004. Clostridium difficile: Penyebab Diare dan Kolitis Pseudomembranosa, Akibat Konsumsi Antibiotika yang Irasional, J Kedokter Trisakti, 23(1): 37.

Lacy, et all., 2009, Drug Information Handbook, 17th ed., Lexi-Comp Inc., Ohio.

Lewis, Donald W. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial Edisi ke-6. Singapore : Elsevier. 2014. Halaman 736-743.

Lilihata, Gracia. Handryastuti, Setyo. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke-IV. Jakarta : Media Aesculapius. 2016. Halaman 98-105.

McEvoy, 2011, AHFS Drug Information, Bethesda: American Society of Health System Pharmacists. Mikati MA, Hani AJ. Nelson Textbook of Pediatric 20th Edition. Philadelphia : Elsevier; 2016. Halaman 2823, 2829.

Moot, C.L., W. Bodhi dan J. Mongi. 2013. Uji Efek Antipiretik Infusa Daun Sesewanua (Clerodendron squamatum Vahl.) Terhadap Kelinci Jantan yang di Vaksin DPT HB, Jurnal Ilmiah Farmasi, 2(3): 60.

Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2009, Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi 1, Yogyakarta : Graha Ilmu.

Roberts, et all., 2011. Human Albumin Solution for Resuscitation and Volume Expansion in Critically Ill Patients (Review). The Cochrane Collaboration.

Shorvon. 2006. The Treatment of Epilepsy. Fourth Edition. UCL Institute of Neurology, London, UK.

Tengguna, L. 2017. Perdarahan Saluran Cerna pada Anak, CDK-257, 44(10).

Unit

Kerja

Koordinasi

Neurologi

Ikatan

Penatalaksanaan Status Epileptikus. 2016.

Dokter

Anak

Indonesia,

Rekomendasi

Related Documents


More Documents from "yoyok"