LAPORAN KASUS KEPANITERAAN SENIOR ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT
SEORANG PEREMPUAN 52 TAHUN DENGAN OSTEORADIONEKROSIS OS MANDIBULA SINISTRA E.C POST RADIOTERAPI KARSINOMA NASOFARING
Diajukan untuk melengkapi syarat kepaniteraan senior Bagian Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Disusun oleh: Jessa Kris Dayanti
22010117220064
Nurul Eka Putri
22010117220073
Esti Widyastuti
22010117220059
Pembimbing: drg. M. Reza Pahlevi, Sp. BM
BAGIAN ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO KOTA SEMARANG 2018
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
SEORANG PEREMPUAN 52 TAHUN DENGAN OSTEORADIONEKROSIS OS MANDIBULA SINISTRA E.C POST RADIOTERAPI KARSINOMA NASOFARING
Disusun oleh: Jessa Kris Dayanti
22010117220064
Nurul Eka Putri
22010117220073
Esti Widyastuti
22010117220059
Semarang, 26 Desember 2018 Pembimbing,
drg. M. Reza Pahlevi, Sp. BM
ii
BAB I
LATAR BELAKANG Karsinoma nasofaring merupakan keganasan yang paling sering terjadi pada regio kepala dan leher. Angka kejadian karsinoma nasofaring mencapai 1.2 per 100.000 penduduk tiap tahun dengan kasus baru terbanyak terjadi di Asia dengan angka 81% dan di Africa sebesar 9%. Karsinoma nasofaring endemik pada regional tertentu di dunia, khususnya di Asia Tenggara, dan memiliki prognosis yang buruk. Lima negara dengan angka kejadian tertinggi yaitu China, Indonesia, Vietnam, India, dan Malaysia. Di Indonesia, prevalensi kejadian karsinoma nasofaring yaitu 6.2 per 100.000 penduduk dengan 13.000 kasus baru tiap tahunnya. Indonesia juga merupakan negara kedua dengan angka kematian akibat karsinoma nasofaring tertinggi dengan angka mortalitas 0.7 per 100.000 penduduk.1,2 Salah satu penyebab dari karsinoma nasofaring merupakan Epstein-Barr virus (EBV). Paparan lingkungan tertentu seperti konsumsi berlebihan dari ikan asin, merokok, dan konsumsi buah dan sayur yang minimal merupakan faktor risiko terjadinya karsinoma nasofaring. Pada sebagian besar penduduk Asia Tenggara terutama Indonesia masih memiliki pengetahuan yang kurang mengenai hal tersebut.3 Penanganan utama karsinoma nasofaring adalah dengan radioterapi. Hal ini dengan pertimbangan struktur anatomis yang terbatas dan karakteristik histologi sel karsinoma dengan radiosensitifitas tingkat tinggi. Radioterapi menggunakan radiasi
pengion
dan
menghasilkan
efek
terapetik
secara
semi-selektif
menghancurkan materi genetik dari sel ganas secara langsung atau memproduksi radikal bebas yang akan menyebabkan kematian sel. Terdapat sekitar 91% pasien karsinoma nasofaring dengan radioterapi bertahan dalam jangka waktu yang panjang hingga lebih dari 5 tahun dengan komplikasi dari radioterapi.4–6 Komplikasi radioterapi muncul dengan proses yang sama saat radioterapi menghancurkan sel kanker. Hal serupa juga terjadi pada sel normal yang terkena radiasi, terutama sel normal dengan sifat mudah membelah secara cepat atau sulit untuk memperbaiki kerusakan akibat radiasi. Komplikasi yang dapat terjadi pada kavum oral berupa disfungsi kelenjar saliva atau xerostomia (98.7%), trismus 1
(57%), komplikasi dental (51.7%), and osteoradionekrosis (20.6%). 4,5 Osteoradionekrosis merupakan efek samping yang paling berat dari penggunaan radioterapi di regio kepala dan leher dalam jangka waktu 45.57 bulan dari penggunaan radioterapi terakhir. Pada 67% pasien dengan osteoradionekrosis memiliki tumor intraoral. Kejadian osteoradionekrosis berhubungan dengan ukuran tumor (T-stage), dosis radiasi, lapangan penyinaran, dan anemia. Mandibula menjadi tulang dengan kemungkinan terbesar karena pasokan darah yang terbatas pada satu arteri terminal fungsional. 4,7,8 Pasien dengan osteoradionekrosis dapat mengalami komplikasi sekunder berupa infeksi sistem saraf pusat (48.4%), blowout-bleeding (24.1%) dan nyeri hebat (17.2%). Oleh karena itu, dibutuhkan tindakan operasi berupa reseksi mandibula disertai dengan rekonstruksi flap. Tindakan ini terbukti efektif untuk mengontrol infeksi, perdarahan, dan nyeri.6
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kanker Nasofaring Kanker nasofaring merupakan keganasan yang terjadi di mukosa nasal dan faring.9 Angka kejadian kanker nasofaring di Indonesia cukup tinggi sekitar 6,2 per 100.000 penduduk dengan 13.000 kasus baru. Di Indonesia, kanker nasofaring merupakan salah satu jenis keganasan yang sering ditemukan, berada pada urutan ke-4 kanker terbanyak di Indonesia setelahkanker payudara, kanker serviks, dan kanker paru.10,11 Salah satu pengobatan yang biasa digunakan untuk kanker nasofaring adalah radioterapi. Kombinasi pengobatan kemoterapi diperlukan jika kanker nasofaring sudah tumbuh sedemikian besarnya sehingga menyulitkan tindakan radioterapi. Di samping itu pemberian kemoterapi diharapkan dapat meningkatkan kepekaan jaringan tumor terhadap radiasi serta membunuh sel kanker yang sudah berada diluar jangkauan radioterapi.12 Radioterapi adalah suatu bentuk pengobatan penyakit dengan radiasi ion yang merupakan elektromagnetik dan partikel energy tinggi yang mengeluarkan elektron-elektron dari atom-atom jaringan.13 Tujuan utama radioterapi adalah membuat kerusakan sel kanker semaksimal mungkin dan melindungi jaringan normal sebanyak mungkin.14 Namun demikian, radioterapi dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan. Efek samping yang paling banyak ditemukan pascaradioterapi pada daerah kepala dan leher adalah radang mukosa mulut (mukositis),infeksi lokal, rasa sakit, dan perdarahan. Efek lainnya adalah dehidrasi dan malnutrisi. Efek samping pada kelenjar air liur bermanifestasi sebagai menurunnya fungsi kelenjar liur dalam memproduksi saliva sehingga mengakibatkan mullut kering (xerostomia). Secara umum, efek samping pasca radioterapi dapat menimbulkan gangguan pada mukosa mulut, kelenjar liur, otot, dan tulang alveolar yang menyebabkan terjadinya radang mukosa mulut, xerostomia, penyakit jaringan keras gigi dan penyanggahnya serta osteoradionekrosis.13
3
Faktor-faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap terjadinya efek samping dalam mulut selama dan pasca radioterapi adalah timbulnya masalah dalam rongga mulut sebelum dilakukan radioterapi, kurang diperhatikannya perawatan kebersihan mulut selama radioterapi, dan faktor-faktor yang berhubungan dengan mukosa mulut itu sendiri. Faktor risiko tambahan adalah jenis kanker, letak, zat antineoplastik yang digunakan, dosis, jadwal pemberian zat, daerah radiasi, dan umur pasien.
2.2 Masalah pada Gigi dan Mulut Akibat Radioterapi 2.2.1
Komplikasi Akut Radioterapi Komplikasi akut radioterapi dapat berupa : a. Mukositis Reaksi akut pada mukosa terjadi dalam bentuk kematian sel yang sedang mengadakan mitosis dalam epithelium mukosa mulut dan faring. Mukositis
ini
merupakan
reaksi
jaringan
lunak
yang
paling
menimbulkan masalah selama radioterapi. Perubahan akibat radiasi pada epithelium mukosa mulut dan faring terjadi sekitar 12 hari pascaradiasi dan tidak tergantung pada dosis maupun teknik radiasi.15 Mula-mula terjadi eritema pada mukosa dengan pembentukan eksudat fibrinous. Bila radiasi diberikan dalam dosis tinggi dan waktu yang singkat, maka akan terjadi ulserasi dengan membran fibrinous. Mukositis mula mula terjadi pada satu tempat, tetapi bila radiasi sudah mencapai dosis tinggi, maka mukositis dapat terjadi pada seluruh mukosa. Faring, palatum lunak, dasar mulut, dan bagian lateral lidah merupakan daerah yang sensitif terhadap radiasi.13 Mukositis
menimbulkan
rasa
sakit
yang
keparahannya
berhubungan dengan keadaan nutrisi pasien, dalam hal ini perlu dilakukan perawatan
secara konservatif
agar epithelium
dapat
beregenerasi. Pasien dianjurkan untuk diet makanan lunak, menghindari iritan misalnya makanan pedas dan merangsang, merokok menjaga kebersihan mulut, menggunakan obat kumur air garam fisiologis. Zat anti inflamasi dan analgetik dapat digunakan untuk meringankan rasa
4
sakit. Lamanya mukositis tergantung pada intensitas dosis radioterapi, biasanya akan sembuh 3 minggu pasca radioterapi. b. Xerostomia Kelenjar saliva dan mukosa merupakan daerah yang rentan terhadap radioterapi, yang menyebabkan menurunnya produksi saliva beberapa hari pasca radioterapi. Setelah 5 minggu, produksi saliva akan terhenti sama sekali dan keadaan ini bersifat menetap. Kadang-kadang xerostomia dapat berkurang setelah beberapa bulan, hal ini mungkin terjadi karena penyesuaian terhadap menurunnya produksi saliva dan bukan merupakan kompensasi dari hipertrofi kelenjar saliva yang teradiasi. Xerostomia tidak menimbulkan stres, biasanya pasien hanya mengeluh mulut kering pada malam hari, tetapi dengan berlanjutnya perawatan, xerostomia menjadi keluhan sepanjang hari. Xerostomia dapat menjadi parah dan kronik, tergantung pada tipe, dosis, dan lokasi radiasi. Pada radioterapi keganasan kelenjar liur, sedapat mungkin menghindari kelenjar kontralateral agar tidak menyebabkan xerostomia. Radioterapi pada keganasan nasofaring pada umumnya dapat merusak kelenjar parotis sehingga menyebabkan xerostomia berat yang permanen. c. Infeksi Infeksi bakterial akut selama radioterapi jarang terjadi. Infeksi sekunder candida species dapat terjadi mengikuti mukositis dan xerostomia. Keadaan ini dapat berakibat meningkatnya rasa sakit dan eritema yang meluas pada mukosa yang bermanifestasi sebagai plak putih (thrush). Untuk mencegah hal ini ,dianjurkan penggunaan obat kumur antiseptik. d. Karies Karies rampan sering terjadi pascaradioterapi karena adanya perubahan lingkungan dalam mulut. Karies terjadi mengkikuti pola tertentu dan disebut karies radiasi. Daerah gigi yang sering terkena adalah bukal, lingual, incisal, cusp, dan servikal yang sebelumnya telah
5
mengalami atrisi email, khususnya permukaan lingual dan proksimal gigi depan bawah.13 Keadaan ini dimulai dengan terjadinya bercak putih pada gigi karena terjadi demineralisasi email bagian bukal dan lingual, yang bila tidak dirawat akan menjadi karies yang mengelilingi gigi dan memotong mahkota. Bagian incisal dan oklusal menjadi lunak dan berwarna coklat. Proses karies radiasi ini berlangsung cukup lambat sehingga memberi cukup waktu bagi pulpa untuk mendeposit dentin sekunder. e. Kerusakan jaringan periodontal Gigi yang terkena radiasi langsung akan memperlihatkan disorientasi ligamaen periodontal, dimana terjadi penebalan membran dan hilangnya vaskularisasi dari ligament periodontal. Respon ini mengurangi kemampuan jaringan periodontal untuk mengadakan regenerasi dan perbaikan. Kemampuan regenerasi sementum sangat rendah. Hilangnya vaskularisasi ligamen periodontal menyebabkan terhambatnya perlekatan kembali sel sesudah dilakkukan prosedur periodontal seperti scalling, kuretase, dan bedah. Pembentukan poket periodontal dan adanya daerah epithelium yang tidak menempel pada leher gigi, menyebabkan terjadinya infeksi yang menuju pada nekrosis tulang. f. Hilangnya rasa Radioterapi akan menimbulkan gangguan kemampuan untuk merasa meskipun sel resseptor perasa bersifat radioresisten. Hilangnya kemampuan merasa terjadi pada pasien dengan nutrisi yang buruk. Keadaan ini sering ditemukan pada radiasi kelenjar parotis. Perubahan komposisi dan volume saliva merupakan salah satu mekanisme komplikasi
radioterapi
yang
menyebabkan
gangguan
hilangnya
kemampuan merasa. Fungsi merasa dapat kembali secaraperlahan, beberapa bulan setelah radioterapi selesai, namun dapat pula menetap. g. Edema dan trismus Edema pada mukosa bukal, daerah sub mental, sub mandibula, dan lidah seringkali merupakan tanda karakteristik pasca radioterapi. Edema
6
menyebabkan lidah dan pipi mudah tergigit, khusunya didaerah mular. Adanya edema menyebabkan pasien yang memakai geligi tiruan tidak dapat menggunakannya sampai keadaan edema sembuh. Trismus umumnya terjadi secara bertahap setelah radioterapi kanker nasofaring, tumor daerah retromolar, dan palatum posterior. Terjadinya trismus berkaitan dengan menurunnya sekresi dan rendahnya pH saliva. Trismus dapat menjadi parah bila radioterapi dilakukan bersamaan dengan tindakan operasi. h. Kepekaan gigi Peningkatan kepekaan gigi biasanya terjadi selama dan pasca radioterapi. Aplikasi topical fluorida mungkin dapat bermanfaat untuk mengurangi gejala.14 i. Perdarahan Perdarahan dapat terjadi selama radioterapi, disebabkan karena trombositopenia dan atau koagulopati. Pada gigi dengan kelainan periodontal dapat terjadi perdarahan hanya karena akibat trauma yang minimal. Tanda adanya perdarahan yang bersifat ringan dalam mulut tampak seperti petekie didaerah bibir, palatum lunak, dasar mulut. Perdarahan yang lebih parah dapat terjadi pada daerah gusi.
2.2.2
Komplikasi Lanjut Radioterapi Komplikasi lanjut radioterapi dapat berupa : a. Osteoradionekrosis Sel jaringan tulang yang bersifat sensitif terhadap radiasi adalah endotel pembuluh darah dan osteosit. Pada orang dewasa, aktivitas mitosis jaringan lunak menurun, sehingga mekrosis tulang hanya dapat terjadi bila ada trauma dan radiasi dosis tinggi. Osteoradionekrosis didefinisikan sebagai kematian tulang akibat radiasi. Secara klinis, kematian tulang akibat hilangnya permukaan tulang yang menyebebkan tulang terbuka. Osteoradionekrosis adalah komplikasi yang jarang terjadi, biasanya terjadi beberapa tahun pasca
7
radioterapi, umumnya tergantung pada dosis radiasi, dan lebih sering terjadi pada rahang bawah dibandingkan dengan rahang atas. Osteoradionekrosis adalah komplikasi yang paling serius yang dapat terjadi berbulan-bulan sampai bertahun-tahun pasca radioterapi. Osteonekrosis berhubungan dengan dosis, daerah yang teradiasi, kondisi tulang dan mukosa sebelum radiasi. Gejala klinis berawal dengan adnya rasa sakit, eksfolasi bagian tulang dan akhirnya pernanahan yang terusmenerus.13 b. Nekrosis jaringan lunak Nekrosis jaringan lunak pascaradioterapi bermanifestasi sebagai ulcer radionekrotik yang terbentuk datar dengan sedikit pengerasan di sekelilingnya. c. Iskemia dan fibrosis Sel endotel pembuluh darah sensitive terhadap radiasi. Dilatasi vena bermanifestasi sebagai telangiektasia. Proses ini dimulai beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah radiasi. Devaskularisasi yang terjadi tergantung pada dosis dan jumlah jaringan yang terkena. Sel nekrosis pada jaringan penyokong akan menginduksi fibroblas untuk beregenerasi menjadi kolagen yang bermanifestasi sebagai fibroblas.
2.3 Osteoradionekrosis Mandibula Osteoradionekrosis (ORN) pada mandibula merupakan penyakit iatrogenic pada tulang nonvital yang disebabkan oleh terapi radiasi kanker mulut dan orofaringeal. Osteoradionekrosis didefinisikan sebagai adanya tulang yang terekspose dalam bidang yang diradiasi, tidak sembuh dalam waktu 3 bulan dan dalam keadaan tidak adanya kekambuhan tumor. Luka dapat terjadi akibat radioterapi dan kesalahan mekanis atau paparan radioterapi saja. ORN terpisah dari infeksi tulang primer atau keganasan sekunder.16,17 2.3.1
Patogenesis Osteoradionekrosis terjadi karena cedera berulang akibat paparan radiasi. Radiasi menghasilkan efek buruk melalui produksi radikal bebas, yang mengakibatkan kematian sel pada fase mitosis. Efeknya akan paling
8
besar pada sel yang membelah dengan cepat seperti mukosa. Sel-sel yang mengalami remodelling seperti fibroblas, osteoblas, dan osteoklas akan menunjukkan perubahan ketika mereka mencoba membelah, seperti saat penyembuhan. Kerusakan pada microvasculature menyebabkan hiperemia awal diikuti oleh endarteritis, trombosis dan akhirnya obliterasi. Hal ini menghasilkan keadaan yang digambarkan oleh Marx sebagai 3 'H's atau Hypocellularity, Hypoxia and Hypovascularity.18 Teori terbaru untuk osteoradionekrosis dikemukakan oleh Delanian S dan Lefaix JL pada tahun 2004 yang menjelaskan mekanisme osteoradionekrosis dalam 3 fase, yaitu: 1. Fase prefibrotik 2. Fase continuative organised 3. Fase fibroatrofi Fase prefibrotik disebabkan oleh disfungsi pembuluh darah. Pada fase ini terjadi perubahan sel endotel dan respon inflamasi akut. Keadaan ini diikuti oleh aktivitas fibroblastik abnormal yang mendominasi, dan ada disorganisasi matriks ekstraseluler dalam fase continuative organised. Kemudian pada akhir fase fibroatrofi, remodeling jaringan terjadi dengan pembentukan jaringan sembuh yang rapuh yang jika terjadi cedera lokal mudah terjadi inflamasi.19
Gambar 1. Patogenesis Osteoradionekrosis19
9
2.3.2
Faktor Risiko18
a. Dosis radiasi: dosis radiasi sinar eksternal di atas 50 Gray meningkatkan risiko terjadinya osteoradionekrosis secara signifikan. b. Waktu pemberian radiasi: Radioterapi memberikan cedera progresif pada jaringan pada tingkat seluler dan selanjutnya humoral. Jika seluruh dosis diberikan dalam waktu singkat, hal ini akan mencegah pemulihan sel-sel non-tumor lokal yang tersisa dan karena itu akan menyebabkan lebih banyak kerusakan. c. Cara pemberian, lokasi, dan volume jaringan yang diradiasi: cara pemberian radiasi yang lebih terlokalisir misalnya melalui Brachytherapy membatasi kerusakan radiasi pada jaringan di sekitarnya dibandingkan dengan iradiasi sinar eksternal di mana seluruh blok jaringan diiradiasi. Bagian mandibula yang kurang vaskularisasi seperti bagian posterior atau bagian yang dimanipulasi dengan pembedahan lebih rentan terhadap osteoradionekrosis. Selanjutnya, perencanaan dan simulasi optimal bidang iradiasi akan membantu meminimalkan iradiasi jaringan yang tidak terlibat di sekitarnya. d. Kebersihan mulut yang buruk: Jaringan intraoral rusak oleh iradiasi, yang menyebabkan mucositis dan xerostomia. Kondisi-kondisi ini, diikuti dengan perawatan gigi yang buruk akan menimbulkan infeksi odontogenik dan periodontal. Keadaan ini dapat menyebabkan osteoradionecrosis. e. Pembedahan: Setiap prosedur pembedahan pada rahang yang dilakukan setelah iradiasi akan meningkatkan risiko terkena osteoradionekrosis karena vaskularisasi jaringan-jaringan ini terganggu. Selain itu, faktorfaktor predisposisi terjadinya osteoradionekrosis terkait dengan operasi pra-iradiasi juga telah diidentifikasi. Faktor-faktor ini adalah hilangnya pasokan darah periosteal karena reseksi mandibula marginal, fiksasi osteotomi split mandibula yang tidak stabil yang menyebabkan mal-union atau non-union, dan penutupan tulang yang inadekuat setelah reseksi tumor.
10
2.3.3
Manifestasi Klinik Gejala klinis meliputi:17
a. Rasa nyeri b. Pembengkakan c. Trismus d. Bone exposed e. Fraktur patologis f. Maloklusi g. Pembentukan fistula kulit oral Pada pemeriksaan fisik, folikel rambut yang hilang, perubahan tekstur permukaan kulit, dan perubahan warna adalah temuan umum yang membantu dokter dalam penilaian area cedera radiasi.
2.3.4
Tatalaksana Pendekatan untuk perawatan osteoradionekrosis dibagi menjadi dua fase: pencegahan pra-radioterapi dan rehabilitasi osteoradionekrosis.16
a. Fase Pra-radioterapi16 Pada fase pra-radioterapi pasien yang akan menjalani radioterapi rongga mulut akan mendapatkan pretreatment dental evaluation oleh seorang dokter gigi yang berpengalaman di bidang kanker kepala dan leher. Evaluasi pretreatment harus mencakup radiografi mulut, diagnosis dental dan periodontal, dan pencabutan gigi dengan prognosis yang buruk. Pencabutan gigi idealnya harus dilakukan setidaknya dua minggu sebelum radioterapi. Kesehatan gigi yang optimal diperlukan untuk mengurangi risiko osteoradionekrosis. Profilaksis dan penatalaksanaan gigi harus dilakukan sebelum dan sesudah radioterapi. Mempertahankan nutrisi dan irigasi salin yang cukup dapat membantu untuk mengelola mucositis oral. Antibiotik hanya diperlukan ketika terjadi infeksi sekunder. Pentoxifylline (antiinflamasi dan vasodilator) bermanfaat untuk mengobati keterlibatan jaringan lunak.
11
b. Rehabilitasi Osteoradionekrosis16 Pengobatan osteoradionekrosis membutuhkan intervensi bedah. Tulang yang non-viable perlu diangkat. Untuk operasi yang direncanakan atau pencabutan gigi pada area jaringan yang telah menerima lebih dari 60 Gy, HBO (Hyperbaric Oxygen Therapy) harus digunakan sebagai profilaksis. Peran HBO adalah untuk menginduksi angiogenesis pada jaringan yang hipoksia sehingga didapatkan kondisi reparatif yang optimal. Protokol HBO standar mencakup 30 perawatan pra operasi dan sepuluh perawatan pasca operasi. Perawatan dilakukan pada 2-2,5 atmosfer selama 90-120 menit, dilakukan satu perawatan per hari, lima hari per minggu. Pengangkatan tulang yang non-viable dan penggantian dengan free flap graft menggunakan teknik mikrovaskular memungkinkan mandibula untuk dapat berfungsi kembali.
12
BAB III LAPORAN KASUS
3.1.Identitas Pasien Nama
: Ny. RNT
Jenis Kelamin
: Perempuan
Usia
: 52 tahun /22 Mei 1966
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Alamat
: Gajahmungkur, Semarang, Jawa Tengah
No. RM
: C717858
3.2.
Skrining dan Tanda Vital
Alergi
: Tidak ada
Nyeri
: Nyeri (+) VAS 3
Gizi
: Berisiko malnutrisi
Tekanan Darah
: 140/100 mmHg
Nadi
: 108x/menit
Laju Pernafasan
: 120x/menit
TB
: 153 cm
BB
: 48 kg
3.3.
Pemeriksaan Subjektif
3.3.1. Anamnesis Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di Ruang Pemeriksaan Poli Gigi dan Mulut RSDK pada tanggal 21 Desember 2018 pada pukul 10.30 WIB Keluhan Utama
: Bengkak di pipi kiri
Riwayat Penyakit Sekarang : 2 tahun SMRS pasien mengeluh pipi kiri bengkak. Keluhan muncul tibatiba saat pasien baru bangun tidur, nyeri (-), merah (-). 5 bulan kemudian muncul bisul di bawah telinga kiri, nyeri (+). Bisul membesar hingga muncul benjolan di dalam mulut. Pasien hanya berobat di klinik dan rajin kontrol selama 6 bulan. Kemudian terdapat luka pada bisul di dalam mulut, nanah (+). Tidak lama
13
kemudian, bisul di bawah telinga juga pecah, nanah (+). 3 bulan kemudian, bengkak meluas dari atas kepala kiri hingga rahang bawah kiri. Pasien kemudian dirujuk ke Kariadi.
Riwayat Penyakit Dahulu : - Riwayat 15 tahun SMRS gigi perlahan-lahan keropos dan tersisa akar - Riwayat 35 tahun SMRS Karsinoma Nasofaring - Riwayat 33 tahun SMRS menjalani Radioterapi - Riwayat 2 bulan yang lalu operasi debridemen + odontektomi total - Riwayat DM disangkal - Riwayat hipertensi disangkal - Riwayat penyakit jantung disangkal - Riwayat trauma sebelumnya di daerah gigi dan mulut disangkal Riwayat Penyakit Keluarga : - Riwayat DM disangkal - Riwayat hipertensi disangkal - Riwayat penyakit jantung disangkal - Riwayat tumor dalam keluarga disangkal Riwayat Sosial Ekonomi : Pasien bekerja sebagai Ibu Rumah Tanga. Makan-minum kurang. Pembiayaan menggunakan BPJS. Kesan : sosial ekonomi cukup
3.4.
Pemeriksaan Objektif
Pemeriksaan fisik dilakukan di ruang pemeriksaan Poli Gigi dan Mulut RSDK pada tanggal 21 Desember 2018 pada pukul 10.50 WIB 3.3.1. Status Generalis Kondisi umum
: Baik
Sistem Kardiorespirasi
:
- Inspeksi
: Jejas(-), pengembangan dada normal, simetris, RR normal, sesak(-)
14
- Palpasi
: Stem fremitus normal kiri dan kanan sama, ictus cordis teraba
di SIC V linea midclavicula sinistra - Perkusi
: Sonor seluruh lapangan paru, batas jantung paru normal
- Auskultasi
: Suara dasar vesicular (+/+), suara abnormal jantung (-/-)
3.3.2. Pemeriksaan Fisik Ekstra Oral Kelenjar limfe submandibular kiri
: pembesaran (-), nyeri (-)
Kelenjar limfe submandibular kanan : pembesaran (-), nyeri (-) Asimetri muka
: asimetri
Gambar. Foto Klinis Pasien Intra Oral Mukosa pipi kanan kiri
: Edema (+), hiperemis (+), nyeri (+)
Mukosa pipi kiri
: Edema (-), hiperemis (-), nyeri (-)
Mukosa palatum
: Edema (-), hiperemis (-), perdarahan (-), pucat (-)
Mukosa dasar mulut / lidah
: Edema (-), hiperemis (-), perdarahan (-), pucat (-)
Mukosa pharynx
: Edema (-), hiperemis (-), perdarahan (-), pucat (-)
Mukosa labial
: Edema (-), hiperemis (-), perdarahan (-), luka (-)
Kelainan Periodontal Ginggiva RA : Edema (-), Hiperemis (-), Perdarahan (-), Pucat (-), Resesi (-) Ginggiva RB : Edema (-), Hiperemis (-), Perdarahan (-), Pucat (-), Resesi (-) Kalkulus/plak : (-)
15
3.3.3. Status Lokalis Extraoral regio Inferior Auricula Sinistra
Gambar . Klinis Inferior Auricula Sinistra Pasien Inspeksi
: Lesi (+), tepi tidak rata, dasar tulang, perdarahan (-) Fistel (+), pus (+) Hiperemis (+), edema (+)
Palpasi
: Nyeri (+), darah (-), pus (+)
Intraoral Mukosa Buccal Sinistra
Gambar. Klinis Mukosa Buccal Sinistra Pasien Inspeksi
: Benjolan (+), hiperemis (+), edema (+), darah (-)
Palpasi
: Bernodul-nodul, konsistensi lunak, nyeri (+), darah (-)
16
3.3.4. Status Dental Tidak terdapat gigi
3.5.
Pemeriksaan Penunjang
X-Foto Panoramik (20 Desember 2018)
Gambar. X-Foto Panoramik Kesan: -
Struktur tulang mandibula porotik
-
Pada ramus, angulus, dan condylus os mandibula sisi kiri: tampak lesi litik batas tak tegas dengan zona transisi lebar, tak tampak sklerotik margin, tampak erosi maupun destruksi cortex, tak tampak reaksi periosteal. Tampak deformitas dari prosesus coronoideus os mandibula sisi kiri mendukung gambaran osteomyelitis acute
-
Tampak 1 buah sisa akar gigi pada rahang atas
Pemeriksaan Laboratorium (20 Desember 2018) Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Nilai Normal
Hemoglobin
13.1
g/dL
12.00-15.00
Hematokrit
38.4
%
35-47
Hematologi
17
Keterangan
Eritrosit
4.45
10^6/uL
4.4-5.9
MCH
29.4
pg
27.00-32.00
MCV
86.3
fL
76-96
MCHC
34.1
g/dL
29.00-36.00
Leukosit
10
10^3/uL
3.6-11
Trombosit
356
10^3/uL
150-400
RDW
13
%
11.60-14.80
MPV
9.2
fL
4.00-11.00
Glukosa sewaktu
115
mg/dL
80-160
Ureum
25
mg/dL
15-39
Kreatinin
0.7
mg/dL
0.60-1.30
Natrium
142
mmol/L
136-145
Kalium
4.4
mmol/L
3.5-5.1
Chlorida
106
mmol/L
98-107
Kimia Klinik
Elektrolit
Imunoserologi HbsAg
<0.10
Negatif: <1 Equivocal: 150 Positif: >=50
Koagulasi Plasma Prothrombin Time (PPT) Waktu Prothrombin
11.4
Detik
PPT Kontrol
14.1
Detik
11.0-14.5
Partial Thromboplastin Time (PTTK) Waktu Thromboplastin
28.8
Detik
APTT Kontrol
30.1
Detik
18
24.0-36.0
Negatif
3.6.
Odontogram
Keterangan : Missing teeth post Odontektomi total Gambar. Odontogram
3.7.
Diagnosis Kerja dan Diagnosis Banding
Diagnosis kerja
: Osteoradionekrosis Os Mandibula Sinistra e.c Post Radioterapi Karsinoma Nasofaring
Diagnosis banding
3.8.
: Osteomyelitis
Tatalaksana
Tatalaksana sebagai dokter umum 1. Vitamin B Complex tab 1x1 hari P.O. 2. Merujuk ke dokter gigi spesialis bedah mulut untuk usul dilakukan reseksi mandibula dan rekonstruksi flap 3. Memberikan edukasi kepada pasien antara lain: Edukasi mengenai penyakit yang diderita pasien yaitu kematian tulang rahang bawah sebelah kiri dikarenakan terapi radiasi saat 33 tahun yang lalu Edukasi mengenai kondisi gigi yang sudah dilakukan pencabutan keseluruhan sehingga pasien harus konsumsi makanan lunak secara teratur dan bergizi
19
Edukasi mengenai rencana tindak lanjut selanjutnya oleh dokter gigi spesialis bedah mulut bahwa kemungkinan akan dilakukan operasi pada tulang rahang bawah sebelah kiri pasien Edukasi mengenai persiapan operasi, pasien harus tetap dijaga stamina tubuhnya dengan makanan yang bergizi, cukup istirahat, dan minum vitamin yang telah diberikan
SURAT RUJUKAN
Semarang, 21 Desember 2018
Yth. TS drg. M. Reza Pahlevi, Sp. BM di RSUP Dr. Kariadi, Kota Semarang
Mohon pemeriksaan dan pengobatan lebih lanjut terhadap penderita, Nama
: Ny. RNT
Jenis kelamin
: Perempuan
Umur
: 52 tahun
Alamat
: Gajahmungkur, Semarang, Jawa Tengah
Keluhan
: Bengkak di pipi kiri
Diagnosa sementara : Osteoradionekrosis os Mandibula Sinistra e.c. Post Radioterapi Karsinoma Nasofaring Tatalaksana yang sudah diberikan : Vitamin B Complex tab 1x1 hari P.O. Edukasi diet lunak bergizi dan teratur Demikian surat rujukan ini kami kirim. Atas perhatian dan kerja sama Bapak kami ucapkan terima kasih.
Salam sejawat,
dr. Jens SIP 220101172200
20
BAB IV PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien perempuan berusia 52 tahun, 2 tahun SMRS datang dengan keluhan bengkak di pipi kiri. 6 bulan kemudian muncul bisul yang nyeri di bawah telinga kiri dan di dalam mulut bagian pipi kiri. Belnjolan pecah keluar nanah. 3 bulan kemudian bengkak meluas dari atas kepala kiri hingga rahang bawah kiri. Riwayat 15 tahun SMRS gigi sering keropos dan hanya tersisa akar. Riwayat 35 tahun SMRS memiliki penyakit Karsinoma Nasofaring dan 33 tahun SMRS dilakukan radioterapi. Pasien telah menjalani operasi odontektomi total dan debridemen pada bulan Oktober 2018. Hasil pemeriksaan fisik terdapat lesi batas tidak tegas, fistel keluar nanah, dan edema di bawah telinga kiri. Pemeriksaan intraoral regio mukosa bucal sinistra terdapat benjolan, edema, konsistensi lunak dan nyeri. Dari hasil X-Foto Panoramik didapatkan struktur tulang mandibula porotik dan gambaran mendukung osteomyelitis pada ramus, angulus, dan condylus sinistra mandibula. Osteoradionekrosis merupakan kematian jaringan tulang dikarenakan terapi radiasi dengan klinis pada 67% pasien terdapat tumor intraoral dan pasien merasa nyeri. Pasien dengan osteoradionekrosis juga akan mengeluhkan percepatan destruksi gigi dengan sendiri. Hal ini sesuai dengan keluhan pasien, dengan riwayat 35 tahun mengalami karsinoma nasofaring dan dilakukan radioterapi, sehingga bagian oral termasuk mandibula juga terpapar sinar dan berisiko mengalami osteoradionekrosis. Pasien juga mengeluh gigi keropos yang mengindikasikan adanya proses destruksi gigi. Selain itu, benjolan dan nyeri yang dirasakan pasien juga merupakan tanda klinis osteoradionekrosis.4,6–8,20–23 Pembedahan merupakan pilihan terapi utama pada kasus ini. Namun, pada pasien ini berisiko malnutrisi karena pasien mnegaku makan hanya sedikit. Selain itu, pasien juga sudah tidak memiliki gigi, sheingga untuk jenis makanan yang dikonsumsi perlu diperhatikan dengan baik. Sehingga penting untuk diberikan edukasi untuk pasien dan keluarga agar memberikan makanan dengan konsistensi lunak kaya gizi dan dikonsumsi secara teratur. Meskipun hasil laboratorium baik, pasien tetap harus diperhatikan staminanya untuk menjalani operasi. Sehingga
21
perlu dilakukan pemberian vitamin. Pembedahan yang dilakukan yaitu dengan cara tulang yang mengalami nekrosis dilakukan reseksi, hal ini dapat mengurangi risiko komplikasi sekunder berupa infeksi yang meluas. Infeksi pada regio mandibula terutama wajah, dikarenakan letaknya dekat dengan otak, dikhawatirkan akan mengalami infeksi sekunder di sistem saraf pusat. Penelitian oleh Huang membuktikan bahwa terdapat 48.4% pasien dengan osteoradionekrosis mengalami infeksi sistem saraf pusat. Selain dilakukan reseksi mandibula sisi sinistra, pasien juga dilakukan rekonstruksi menggunakan flap. Pada 72.5% pasien dengan rekonstruksi flap menggunakan vastus lateralis. Kombinasi operasi reseksi dan rekonstruksi ini dapat menekan angka kejadian komplikasi sekunder berupa infeksi, perdarahan, dan nyeri.4,6,20
22
DAFTAR PUSTAKA 1
Salehiniya H, Mohammadian M, Mohammadian-Hafshejani A, Mahdavifar N. Nasopharyngeal Cancer in The World: Epidemiology, Incidence, Mortality and Risk Factors. World Cancer Res J 2018; 5: 1–8.
2
Adham M, Kurniawan AN, Muhtadi AI, Roezin A, Hermani B, Gondhowiardjo S et al. Nasopharyngeal Carcinoma in Indonesia: Epidemiology, Incidence, Signs, and Symptoms at Presentation. Chin J Cancer 2012; 31: 185–196.
3
Wu L, Li C, Pan L. Nasopharyngeal carcinoma: A review of current updates. Exp Ther Med 2018; 15: 3687–3692.
4
Grewal M, Gupta N. Dental Management of Head and Neck Cancer Patients Treated with Radiotherapy and Chemotherapy. Austin J Dent Austin J Dent 2016; 3: 1032–2.
5
Siala W, Mnejja W, Elloumi F, Ghorbel A, Mnif J, Frikha M et al. Late Toxicities
after
Conventional
Radiotherapy
for
Nasopharyngeal
Carcinoma: Incidence and Risk Factors. J Radiother 2014; 2014: 1–8. 6
Huang WB, Wong STS, Chan JYW. Role of Surgery in the Treatment of Osteoradionecrosis
and
Its
Complications
after
Radiotherapy for
Nasopharyngeal Carcinoma. J Sci Spec Head Neck 2017; 40: 369–376. 7
Kuhnt T, Stang A, Wienke A, Vordermark D, Schweyen R, Hey J. Potential Risk Factors for Jaw Osteoradionecrosis after Radiotherapy for Head and Neck Cancer. Radiat Oncol 2016; 11: 1–7.
8
Han P, Wang X, Liang F, Liu Y, Qiu X, Xu Y et al. Osteoradionecrosis of the Skull Base in Nasopharyngeal Carcinoma: Incidence and Risk Factors. Int J Radiation; Oncol 2018; 102: 552–555.
9
Adham M, Kurniawan AN, Muhtadi Al, et al. Nasopharyngeal Carcinoma in Indonesia: epidemiology, incidence, signs and symptoms at presentation. Chin J Cancer. 2012;31(4):187-9. .
10
Rumah Sakit Dharmais Pusat Kanker Nasional. Statistik Kanker diunduh dari http://www.dharmais.co.id/index.php/statistic-center.html diakses pada 24 Desember 2018. .
11
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasiional Pelayanan
23
Kedokteran Kanker Nasofaring.2017. Jakarta: Kemenkes RI. . 12
Susworo
R.
Kanker
Nasofaring:epidemiologi
dan
pengobatan
mutakhir.Cermin Dunia Kedokteran.2004;144;16-19. . 13
Carl W.1986. Oral and Dental Care of Patient Receiving Radiation Therapy for Tumour s in and Around The Oral Cavity. In Cancer and The Oral Cavity.
William
Carl
dan
Kumao
Ako(Editor)
Ed
ke-
1.Quintessence.Chicago. Hal. 167-81. . 14
Little J, Falace D, Miller C, dkk. 1997. Oral Cncer in Dental Management of the Medically Compromised Patient. Ed ke-5.Mostby, Boston. Hal. 52942. .
15
Henk JM, Dan Langdon JD. 1995. Radiotherapy in Malignant Tumour of the Mouth, Jaws and Salivary Glands. Ed.Ke-2. Edward Arnold. London. Hal.102-120. .
16
Zehr LJ, Cooper JS. Osteoradionecrosis, Mandible. [Updated 2018 Oct 27]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2018 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430917/. .
17
Khosa SK. Osteoradionecrosis. IJHNS 2011; 2: 27–32.
18
Rayatt SS, Mureau MA, Hofer SO. Osteoradionecrosis of the mandible: Etiology, prevention, diagnosis and treatment. Indian J Plast Surg 2007;40, Suppl S1:65-71. .
19
Garg H, Pn R, Palekar MG. Changing trend in management of Osteoradionecrosis of the mandible : A case report. 2018; 4: 271–274.
20
Buglione M, Cavagnini R, Rosario F Di, Sottocornola L, Maddalo M, Vassalli L et al. Oral Toxicity Management in Head and Neck Cancer Patients Treated with Chemotherapy and Radiation: Dental Pathologies and Osteoradionecrosis (Part 1) Literature Review and Consensus Statement. Crit Rev Oncol Hematol 2016; 97: 131–142.
21
Toh YLS, Soong YL, Chim YX, Tan LT, Lye WK, Teoh KH. Dental Extractions
for Preradiation
Dental Clearance and
Incidence of
Osteoradionecrosis in Patients with Nasopharyngeal Carcinoma Treated with Intensity‐Modulated Radiotherapy. J Investig Clin Dent 2017; 9: 1–8. 22
Wanifuchi S, Akashi M, Ejima Y, Shinomiya H, Minamikawa T, Furudoi S
24
et al. Cause and Occurrence Timing of Osteoradionecrosis of the Jaw: A Retrospective Study Focusing on Prophylactic Tooth Extraction. Oral Maxillofac Surg 2016; 20: 337–342. 23
Nambiar KS, Haragannavar VC, Augustine D, Sowmya S V., Rao RS. Adverse Effects of Radiotherapy on Oral Tissues: A Review. Int J Contemp Dent Med Rev 2016; 2016: 1–5.
25