Kasus Besar Difteri - Wida.docx

  • Uploaded by: Dian Sharafina Zatalini
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kasus Besar Difteri - Wida.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,536
  • Pages: 37
1

LAPORAN KASUS BESAR SEORANG ANAK PEREMPUAN 6 TAHUN 3 BULAN DENGAN SUSPEK TONSILITIS DIFTERI DERAJAT RINGAN, GIZI BAIK, BERAT BADAN NORMAL, PERAWAKAN NORMAL, MESOSEFAL Diajukan guna melengkapi tugas Kepaniteraan Senior Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh: WIDA RAHMAWATI 22010116210064 Penguji : Dr.dr. Mexitalia Setiawati, Sp.A (K) Pembimbing : dr. Merry Lia BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2018

2

HALAMAN PENGESAHAN

Nama

: Wida Rahmawati

NIM

: 22010116210064

Bagian

: Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas

: Kedokteran

Universitas

: Diponegoro

Judul

: Seorang Anak Perempuan 6 tahun 3 bulan dengan Suspek Tonsilitis Difteri Derajat Ringan, Gizi Baik, Berat badan normal, Perawakan normal, mesosefal

Penguji

: Dr.dr. Mexitalia Setiawati, Sp.A (K)

Pembimbing

: dr. Merry lia

Semarang, Januari 2018 Penguji

Dr. dr. Mexitalia Setiawati, Sp.A (K)

Pembimbing

dr. Merry Lia

3

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Difteri adalah salah satu penyakit yang sangat menular, dapat dicegah dengan imunisasi, dan disebabkan oleh bakteri gram positif Corynebacterium diptheriae strain toksin. Penyakit ini ditandai dengan adanya peradangan pada tempat infeksi, terutama pada selaput mukosa faring, laring, tonsil, hidung dan juga pada kulit. Manusia adalah satu-satunya reservoir Corynebacterium diptheriae. Penularan terjadi secara droplet (percikan ludah) dari batuk, bersin, muntah, melalui alat makan, atau kontak langsung dari lesi di kulit. Tanda dan gejala berupa infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) bagian atas, adanya nyeri tenggorok, nyeri menelan, demam tidak tinggi (kurang dari 38,5o C), dan ditemui adanya pseudomembrane putih/keabu-abuan/kehitaman di tonsil, faring, atau laring yang tak mudah lepas, serta berdarah apabila diangkat. Sebanyak 94 % kasus Difteri mengenai tonsil dan faring.1 Pada keadaan lebih berat dapat ditandai dengan kesulitan menelan, sesak nafas, stridor dan pembengkakan leher yang tampak seperti leher sapi (bullneck). Kematian biasanya terjadi karena obstruksi/sumbatan jalan nafas, kerusakan otot jantung, serta kelainan susunan saraf pusat dan ginjal.1,2 Jumlah kasus Difteri di Indonesia sedikit meningkat pada tahun 2016 jika dibandingkan dengan tahun 2015 (529 kasus pada tahun 2015 dan 591 pada tahun 2016). Demikian pula jumlah Kabupaten/Kota yang terdampak pada tahun 2016 mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan jumlah Kabupaten/ Kota pada tahun 2015. Tahun 2015 sebanyak 89 Kabupaten/ Kota dan pada tahun 2016 menjadi 100 Kabupaten/ Kota. Pada tahun 2017 terjadi lagi KLB di Indonesia yang mana tersebar pada seluruh provinsi. Maka dari itu sebagai tenaga kesahatan harus

4

waspada terhadap difteri. Pemerintah telah menggalakkan program ORI yang dilaksanakan pada bulan ke 0, 1 dan 6.1 Pada tulisan ini akan disajikan kasus “Seorang anak perempuan 6 tahun 2 bulan dengan suspek tonsilitis difteri, gizi baik perawakan normal” yang mendapatkan perawatan rawat inap di bangsal anak ruang isolasi C1L1 RSUP Dr. Kariadi Semarang.

1.2 Tujuan Tujuan dari penulisan laporan ini adalah untuk mengetahui cara mendiagnosis dan mengelola pasien secara komprehensif dan holistik berdasarkan data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang serta kepustakaan serta mengetahui prognosis penyakit pasien. 1.3 Manfaat Penulisan laporan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai media belajar agar dapat mendiagnosis dan mengelola pasien dengan tepat dan komprehensif, serta mengetahui prognosis penyakit.

5

BAB II LAPORAN KASUS 2.1 IDENTITAS PASIEN Nama : An. K Umur : 6 tahun 2 bulan Tanggal lahir : 13 Oktober 2011 Jenis kelamin : Perempuan Alamat : Penundan RT 03/ RW 01 Banyuputih, Batang, Jawa Tengah Agama : Islam No. CM : C669122 Bangsal : Anak C Lantai 1, Kamar 1 Tanggal Masuk Bangsal : 12 Desember 2017 Jam 02.15 WIB Tanggal Keluar : 18 Desember 2017 Jam 14.30 WIB Identitas Orangtua Pasien Nama Ayah : Tn. KH Umur : 29 tahun Pekerjaan : Ahli servis elektronik Pendidikan : SMK Nama Ibu : Ny. MK Umur : 26 tahun Pekerjaan : Ibu rumah tangga Pendidikan : SMA 2.2 DATA DASAR Anamnesis Data didapat dari alloanamnesis dengan ibu pasien di kamar 5 bangsal anak lantai 1 pada tanggal 12 Desember 2017 pukul 02.00 WIB. a. Keluhan Utama : Batuk disertai nyeri telan b. Riwayat Penyakit Sekarang ±1 minggu SMRS, pasien mengeluh batuk, dahak (+) namun sulit keluar, batuk dirasakan sepanjang hari, membaik dengan meminum obat batuk cair yang dibeli di apotek namun batuk kembali muncul beberapa jam setelah minum obat. Keluhan disertai dengan demam (+) demam dirasakan sepanjang hari, suhu diukur dengan termometer di ketiak (37,8 - 38C), demam turun

6

setelah meminum obat penurun panas, pilek (+) ingus berwarna kuning kental. Nyeri dan keluar cairan dari telinga disangkal, sesak disangkal, nyeri telan diangkal, sulit menelan disangkal, suara serak disangkal, mengorok disagkal, BAB dan BAK tidak ada keluhan. ±5 hari SMRS pasien merasa keluhan tidak membaik. Batuk (+) disertai dahak namun sulit keluar, demam (+) sepanjang hari dengan suhu (37,8 – 38 C), pilek (+) ingus berwarna kuning kental, keluhan disertai dengan nyeri saat menelan (+), nyeri telan disertai dengan sulit saat menelan(+). Nyeri dan keluar cairan dari telinga disangkal, sesak disangkal, suara serak disangkal, mengorok disagkal, BAB dan BAK tidak ada keluhan. Kemudian pasien dibawa ke puskesmas untuk diperiksa. Dipuskesmas pasien diberikan obat antibiotik dan penurun panas kemudian pasien diperbolehkan rawat jalan. ±1 hari SMRS keluhan tidak juga membaik, kemudian pasien dibawa ke spesialis anak dikendal. Pasien dikatakan terkena difteri, kemudian pasien dirujuk ke kariadi karena tidak adanya ruangan isolasi. DI RSUP Dr.Kariadi pasien mengeluh batuk (+), demam (+), pilek (+), nyeri telan disertai sulit menelan (+). Pasien juga mengeluh lemas dan kurang lebih 3 hari ini sulit makan dan minum. Nyeri dan keluar cairan dari telinga disangkal, sesak disangkal, suara serak disangkal, mengorok disagkal, BAB dan BAK tidak ada keluhan. a. Riwayat Penyakit Dahulu : -

Riwayat sakit dengan keluhan seperti ini sebelumnya disangkal

-

Riwayat bepergian keluar kota purwakarta 1 minggu sebelum sakit (+)

-

Riwayat sakit batuk lama seblumnya disangkal

b. Riwayat Penyakit Keluarga : - Riwayat keluarga dan orang yang tinggal satu rumah dengan keluhan serupa disangkal - Riwayat keluarga / orang serumah dengan batuk lama disangkal - Riwayat tetangga, teman sekolah, teman bermain dengan keluhan serupa disangkal

7

Gambar 1. Pedigree Riwayat Sosial Ekonomi Ayah bekerja sebagai ahli service alat elektronik dengan penghasilan ± Rp 4.000.000/bulan. Ibu seorang ibu rumah tangga. Menanggung 1 orang anak yang belum mandiri. Biaya pengobatan menggunakan BPJS Non PBI. Kesan : Sosial ekonomi cukup.

2.3 DATA KHUSUS Riwayat Perinatal a. Riwayat prenatal: ANC rutin setiap bulan di bidan puskesmas, ibu tidak pernah ada keluhan selama kehamilan, perdarahan disangkal, darah tinggi disangkal, kencing manis disangkal, ruam-ruam disangkal, demam disangkal, mengonsumsi obat-obatan selain yang diberikan bidan disangkal, minum jamu-jamuan disangkal, riwayat trauma disangkal. Selama hamil mengonumsi vit.A (+), asam folat (+), tablet besi (+), injeksi TT (+). b. Riwayat natal: Lahir bayi perempuan cukup bulan (9 bulan) dari ibu G1P0A0 usia 20 tahun, secara spontan dibantu oleh bidan di tempat praktek bidan, bayi langsung menangis, bayi berwarna kuning disangkal, biru disangkal, IMD (+). BBL =2800gram , PBL = ibu lupa c. Riwayat postnatal: Anak rutin dibawa ke posyandu atau puskesmas untuk dilakukan imunisasi. Riwayat Kontrasepsi Pasca melahirkan pernah KB Suntik perbulan, hanya bertahan 3x suntik. Saat ini ibu tidak sedang menggunakan KB.

8

Riwayat Imunisasi Hepatitis B : 4x (0,2,4,6 bulan) Polio : 4x (0,2,4,6 bulan) DTP : 3x (2,4,6 bulan) HiB : 3x (2,4,6 bulan) BCG : 1x (1bulan) Scar di lengan atas kanan (+) Campak : 1x (9bulan) Boster : (+) 1x saat SD kelas 1 Kesan : Imunisasi dasar lengkap dengan booster 1x saat SD kelas 1 Riwayat Makan Asi eksklusif sampai 6 bulan ASI+MPASI pada 6 bulan Makanan keluarga mulai 2 tahun (Makanan keluarga berupa nasi, ayam, daging, telur, ikan, sayur, buah dan susu) Food recall: I II III Pagi ½ bubur + telur ½ bubur + sayur ½ Bubur ayam rebus sop Siang ½ Bubur sumsum ½ soto ayam + ½ bubur ayam + pisang tahu Malam ½ Bubur + sayur ½ bubur + telur ½ bubur + sayur sop bayam + tempe Kesan : Kualitas cukup dan Kuantitas kurang saat anak sakit Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Pertumbuhan  Berat badan lahir = 2,8 kg  Berat Badan sekarang = 20 kg  Berat badan ideal = 20 kg  Tinggi Badan = 116 cm  Lingkar Kepala = 47 cm  Lingkar Lengan Atas (LiLA) = 13, 5 cm  Berdasarkan status anthropometri dengan WHO Anthro: WAZ = -0,23 SD HAZ = -0,11 SD HC = -0,91 SD BMI = 0,28 SD

9

MUACZ = -1,49 SD Kesan : Gizi baik, Berat badan normal, Perawakan normal,mesosefal Perkembangan Anak sekarang berusia 6 tahun 3 bulan, mampu mengangkat kepala usia 2 bulan, usia 6 bulan dapat duduk tanpa berpegangan, usia 12 bulan dapat berjalan. Saat usia 3 tahun pasien mengiuti PAUD selama 1 tahun kemudian sekolah TK 2 tahun. Saat ini pasien duduk di kelas 1 SD. Pasien mampu mengikuti proses belajar di sekolahnya dengan baik, saat ini pasien sudah dapat membaca dan berhitung. Pasien dapat berinteraksi dengan baik dengan teman di sekolahnya maupun di sekitar rumahnya. Kesan : perkembangan normal sesuai usia anak Kesan : Perkembangan sesuai usia Tabel 2. Kebutuhan nutrisi 24 jam (BBS = 16 kilogram; BB ideal = 20 kilogram) Cairan Kalori Kebutuhan 24 Jam 1300 cc (100kkal/kgBB) 1600 kkal Infus D5½ NS 480/20/7 480 cc 81,6 kkal tpm LLS (3x1 porsi) 300 cc 1017 kkal Susu Dancow 800 cc 522 kkal (4x200cc) Total 1030 1620,6 % AKG 106,% 101,2 %

Protein (1,23 g/ kgBB) 20 g 43,26 g 35,2 g 78,46 g 348,3%

2.4 PEMERIKSAAN FISIK Dilakukan di bangsal C1L1 Kamar 1 RSDK, pada hari Minggu tanggal 12 Desember 2017 pukul 02.15 WIB Kesadaran : Composmentis Keadaan umum : Baik Tanda-tanda vital : TD = tidak dilakukan pengukuran RR = 26x/menit HR = 100X/menit T = 36,6 °C Kepala : Mesosefal, rambut hitam dan tidak mudah rontok

10

Wajah Mata Hidung Mulut Tenggorokkan

Lidah Telinga Leher Kulit THORAKS Inspeksi Pulmo : Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi

: Dismorfik (-) : Konjungtiva palpebra anemis(-/-),sklera ikterik(-/-) : Nafas cuping (-/-), epitaksis (-/-), discharge (-) :Sianosis (-), mukosa kering (-), perdarahan gusi (-) : Tonsil T3-T3, tonsil hiperemis (+), kripte melebar (+), faring hiperemis (+), uvula ditengah, terdapat selaput putih keabuan yang sulit dilepas dan mudah berdarah (+) : Normoglossi : Nyeri tekan tragus (-/-), Discharge (-/-) : Perbesaran nnll (-/-), bullneck (-) : Turgor kulit cukup : Simetris, retraksi (-) : Dada simetris saat statis maupun dinamis, Retraksi (-) : Stem fremitus kanan = kiri : Sonor pada seluruh lapang paru : Suara dasar vesikuler (+/+) / (+/+) Suara tambahan : ronkhi (-/-) / (-/-) wheezing (-/-) / (-/-) hantaran (-/-) / (-/-)

Cor : Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi ABDOMEN Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Genital

: Ictus cordis tak tampak : Ictus cordis teraba di SIC V 2cm lateral dari LMCS, tidak kuat angkat : konfigurasi jantung dalam batas normal : Bunyi jantung I-II normal, gallop (-), bising (-) : cembung (-), warna kuning (-) : Supel, tidak teraba perbesaran hepar dan lien. : Timpani : Bising usus (+) normal : Perempuan

11

EKSTREMITAS Akaral dingin Sianosis Edema CRT

Superior (-/-) (-/-) (-/-) (<2”/<2”)

Inferior (-/-) (-/-) (-/-) (<2”/<2”)

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG Tebel 3. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap PEMERIKSAAN HASIL SATUAN 14/5/2017 06.45 WIB HEMATOLOGI Hematolgi Paket Hemoglobin 12.5 g/dL Hematokrit 38.2 % Eritrosit 4.55 10^6/uL MCH 25.3 pg MCV 76.7 fL MCHC 33.8 g/dL Leukosit 12.0 10^3/Ul Trombosit 329 10^3/uL RDW 14 % KIMIA KLINIK Glukosa sewaktu 96 mg/dL SGOT 82 u/L SGPT 47 u/L CPK 150 u/L Ureum 30 mg/dL Kreatinin 0.5 mg/dL Elektrolit Natrium 136 mmol/L Kalium 3.8 mmol/L Chlorida 99 mmol/L Calcium 2.25 mmol/L

NILAI RUJUKAN

10.50 – 15.00 36 – 44 3 – 5.4 23.00 – 31.00 77 – 101 29.00 – 36.00 5.5 – 15.5 150 – 400 11.60 – 14.80 80-160 15-34 15-60 21-215 15-39 0.60-1.30 136 – 145 3.5 – 5.1 98 – 107 2.12 – 2.52

12

Tabel 4. Pemeriksaan Swab Tenggorok (11 Desember 2017) Pemeriksaan Hasil Keterangan Pewarnaan Gram Diplococcus gram (+) (+) / Positif Kuman Bentuk Batang Gram (+) Kuman Bentuk Batang (+) / Positif Gram (-) Pewarnaan Jamur Yeast cell (-) / Negatif Neisser C. Diphtherie (+) / Positif Catatan : Ditemukan kuman bentuk batang dengan granula metakromatik bentuk halter 2.6 DAFTAR MASALAH Tabel 4. Daftar Masalah No Maslah Aktif 1. Batuk 2. Demam 3. Nyeri telan 4. Pilek 5. Sulit menelan 6. Faring hiperemis, Tonsil T3-T3, kripte melebar, hiperemis, pseudomembran berwarna putih keabuan sulit dilepas dan mudah berdarah dengan manipulasi 7. Pengecatan

Tanggal No 12/12/2017 12/12/2017 12/12/2017 12/12/2017 12/12/2017 12/12/2017

Masalah Pasif

Tanggal

13

niesser: Ditemukan kuman bentuk batang dengan granula metakromatik bentuk halter 2.7 DIAGNOSIS 2.7.1 Diagnosis Banding Suspek tonsilitis difteri derajat ringan 2.7.2 Diagnosis Kerja Suspek tonsilitis difteri derajat ringan 2.8 RENCANA PEMECAHAN MASALAH Tonsilitis Difteri IpDx IpRx

IpMx IpEx -

-

-

: S: O: Kultur swab tenggorok, CKP, CKMB, LED : - Infus D5 ½NS 480/20/5 tpm - Injeksi: Penicilin procain 800.000 unit/24 jam i.m ADS 20.000 unit dalam 200ml NaCl 0,9 % selama 4 jam secara drip (sebelumnya dilakukan tes kepekaan) P.O : Paracetamol 1,5 cth/4-6 jam (jika t ≥ 380C) : Evaluasi KU, tanda vital, tanda obstruksi pernapasan : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit difteri, dan cara penularannya (melalui droplet) dan sangat infeksius, sehingga wajib, menggunakan masker, dan akan dirawat di ruang isolasi. Menjelaskan tentang tanda-tanda obstruksi jalan napas (retraksi dada, napas cepat, sianosis) dan kalau ada tandatanda tersebut langsung lapor ke perawat. Menjelaskan kepada keluarga pasien apabila kontak dengan pasien untuk minum obat profilaksis dengan eritromisin 500mg/6 jam selama 7 hari

14

2.9 CATATAN KEMAJUAN Tabel 5. Catatan Kemajuan Tanggal Keadaan Klinis 12/12/2017 09.00

Program Terapi / Tindakan S : Demam (+) tidak begitu tinggi, batuk (+), P: - Infus D5 ½NS pilek (-), makan sudah mulai mau, nyeri telan (+) 480/20/5 tpm berkurang, sesak (-) Injeksi: Penicilin procain O : KU = Tampak lemah 800.000 unit/24 jam HR= 90x/menit i.m RR= 24x/menit ADS 20.000 unit T= 36,6°C dalam 200ml NaCl 0,9 % selama 4 jam secara drip (sebelumnya dilakukan tes kepekaan) P.O : Paracetamol 1,5 cth/4-6 jam (jika t ≥ 380C)

Status lokalis (Pemeriksaan tenggorok): Faring hiperemis, Tonsil T3-T3, kripte melebar, hiperemis, pseudomembran berwarna putih keabuan sulit dilepas dan mudah berdarah dengan manipulasi Swab tenggorok 12/12/17 : C.diphteriae (+) A : Tonsilitis difteri Gizi baik, berat badan normal, perawakan pendek.

Program : cek urin rutin Konsul bagian mikrobiologi Evaluasi tanda obstruksi pernfasan,miokarditis

15

13/12/2017 8.30

14/12/2017 8.00

S : Demam (+) tidak begitu tinggi, batuk (+), P: - Infus D5 ½NS pilek (-), makan sudah mulai mau, nyeri telan (+) 480/20/5 tpm berkurang, sesak (-) Injeksi: Penicilin procain O : KU = Tampak lemah 800.000 unit/24 jam HR= 88x/menit i.m (H.2) RR= 22x/menit P.O : Paracetamol T= 36,6°C 1,5 cth/4-6 jam (jika t Status lokalis (Pemeriksaan tenggorok): ≥ 380C) Faring hiperemis, Tonsil T3-T3, kripte melebar, sistein hiperemis, pseudomembran berwarna putih N-asetil keabuan sulit dilepas dan mudah berdarah 100mg/8jam dengan manipulasi Program : Swab tenggorok 12/12/17 : C.diphteriae (+), KBB gram + (+) 13/12/17 : C.dephtiae (-), KBB gram + (+) Urin Rutin 13/12/17 : warna : kuning jernih Leukosit : 2-4 lpb Eritrosit : 0-1 lpb Bakteri (-) A : Tonsilitis difteri Gizi baik, berat badan normal, perawakan pendek. S : Demam (+), batuk (+), pilek (-), makan sudah mulai mau, nyeri telan (+) berkurang, sesak (-)

Evaluasi tanda obstruksi pernfasan,miokarditis

P: - Infus D5 ½NS 480/20/7 tpm Injeksi: O : KU = Tampak lemah Penicilin procain HR= 88x/menit 800.000 unit/24 jam RR= 22x/menit i.m (H.3) -> Besok T= 38,1°C stop P.O : Paracetamol Status lokalis (Pemeriksaan tenggorok): 1,5 cth/4-6 jam (jika t Faring hiperemis, Tonsil T3-T3, kripte melebar, ≥ 380C) hiperemis, pseudomembran berwarna putih

16

keabuan sulit dilepas dan mudah berdarah N-asetil dengan manipulasi 100mg/8jam

15/12/2017 9.30

sistein

Program : cek urin A : Tonsilitis difteri Gizi baik, berat badan normal, perawakan ruitin, cek DR, diff. count, GDS, Tubex pendek. Mulai besok eritromisin 200mg/6jam Evaluasi tanda obstruksi pernafasan, miokarditis S : Demam (-), batuk (-), pilek (-), makan sudah P: - Infus D5 ½NS mulai mau, nyeri telan (-), sesak (-) 480/20/7 tpm Injeksi: O : KU = Tampak lemah Penicilin procain HR= 88x/menit 800.000 unit/24 jam RR= 22x/menit i.m (H.3) -> STOP T= 3871°C P.O : Paracetamol 1,5 cth/4-6 jam (jika t ≥ 380C) Eritromisin 200mg/6 jam (H1) Evaluasi tanda obstruksi pernafasan, miokarditis

Status lokalis (Pemeriksaan tenggorok): Faring hiperemis, Tonsil T3-T3, kripte melebar, hiperemis, pseudomembran berwarna putih keabuan sulit dilepas dan mudah berdarah dengan manipulasi (+) berkurang Diff. Count

17

15/12/17 : Leukosit jumlah tampak normal, smudge cell (+), limfosit atipikal (+), limfositosis dan monositosis relatif (+) TUBEX 15/12/2017 : IgM salmonella typhii (-)

16/12/2017 8.30

17/12/2017 8.00

A : Tonsilitis difteri Gizi baik, berat badan normal, perawakan pendek. S : Demam (-), batuk (+), pilek (-), makan sudah P: - Infus D5 ½NS mulai mau, nyeri telan (-), sesak (-) 480/20/7 tpm Injeksi: O : KU = Tampak lemah Penicilin procain HR= 88x/menit 800.000 unit/24 jam RR= 22x/menit i.m (H.3) -> STOP T= 3871°C P.O : Paracetamol Status lokalis (Pemeriksaan tenggorok): 1,5 cth/4-6 jam (jika t Faring hiperemis, Tonsil T3-T3, kripte melebar, ≥ 380C) hiperemis, pseudomembran berwarna putih keabuan sulit dilepas dan mudah berdarah Eritromisin 200mg/6 jam (H2) dengan manipulasi (+) berkurang N-asetil sistein A : Tonsilitis difteri 100mg/8jam Gizi baik, berat badan normal, perawakan Evaluasi tanda pendek. obstruksi pernafasan, miokarditis S : Demam (-), batuk (-), pilek (-), makan sudah P: - Infus D5 ½NS mulai mau, nyeri telan (-), sesak (-) 480/20/7 tpm P.O : Paracetamol O : KU = Tampak lemah 1,5 cth/4-6 jam (jika t HR= 88x/menit ≥ 380C) RR= 22x/menit Eritromisin 200mg/6 T= 3871°C jam (H3) N-asetil 100mg/8jam

sistein

18

Program : Konsul mikrobiologi Evaluasi tanda obstruksi pernafasan, miokarditis

18/12/2017 8.00

Status lokalis (Pemeriksaan tenggorok): Faring hiperemis, Tonsil T3-T3, kripte melebar, hiperemis, pseudomembran berwarna putih keabuan sulit dilepas dan mudah berdarah dengan manipulasi (+) berkurang A : Tonsilitis difteri Gizi baik, berat badan normal, perawakan pendek. S : Demam (-), batuk (-), pilek (-), makan sudah P: - Infus D5 ½NS mulai mau, nyeri telan (-), sesak (-) 480/20/7 tpm -> stop P.O : Paracetamol O : KU = Tampak lemah 1,5 cth/4-6 jam (jika t HR= 88x/menit ≥ 380C) RR= 22x/menit Eritromisin 200mg/6 T= 3871°C jam (H4) Status lokalis (Pemeriksaan tenggorok): Faring hiperemis(-), Tonsil T3-T3, kripte tak melebar, hiperemis(-), pseudomembran berwarna putih keabuan(-) Swab tenggorok 12/12/17 : C.diphteriae (+), KBB gram + (+) 13/12/17 : C.dephtiae (-), KBB gram + (+) 18/12/17 : C.diphteriae (-), KBB gram + (+) A : Tonsilitis difteri

N-asetil 100mg/8jam

sistein

Program : Imunisasi ulang di puskesmas DT 0-1-6 Evaluasi tanda obstruksi pernafasan,

19

19/12/2017 8.00

Gizi baik, berat badan normal, perawakan pendek. S : Demam (-), batuk (-), pilek (-), makan sudah mulai mau, nyeri telan (-), sesak (-) O : KU = Tampak lemah HR= 88x/menit RR= 22x/menit T= 3871°C Status lokalis (Pemeriksaan tenggorok): Faring hiperemis (-), Tonsil T3-T3, kripte tak melebar, hiperemis(-), pseudomembran berwarna putih keabuan(-) A : Tonsilitis difteri Gizi baik, berat badan normal, perawakan pendek.

miokarditis Usul pulang besok P: - Infus D5 ½NS 480/20/7 tpm -> stop P.O : Paracetamol 1,5 cth/4-6 jam (jika t ≥ 380C) Eritromisin 200mg/6 jam (H4) N-asetil 100mg/8jam

sistein

Program : Acc pulang hari ini Imunisasi ulang di puskesmas DT 0-1-6

20

BAB III PEMBAHASAN 3.1 Definisi

Difteri merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae dan seringkali menyebabkan infeksi saluran pernapasan bagian atas nanti mengarah pada sindroma klinis berupa faringitis, naso-faringitis, tonsillitis, laryngitis (ataupun kombinasi dari sindroma klinis tersebut) disertai dengan adanya pseudomembran yang khas pada tonsil, faring, laring, dan atau nasal.Pada kasus-kasus yang berat. Infeksi dapat menyebar ke trakea dan menyebabkan trakeitis dan atau adenopati cervical dan dapat menyebabkan suatu kegawat daruratan berupa sumbatan jalan nafas.3

3.2 Epidemiologi Kasus difteri tidak pernah mereda sejak 2006, Kejadian Luar Biasa (KLB) terjadi di Tasikmalaya menyerang umur 1-15 tahun dengan Case Fatality Rate (CFR) 3,91%, di Garut pada anak 2-14 tahun dengan CFR 11,76%. Jumlah kasus difteri di Indonesia pada tahun 2006, 2008, 2009, 2010 dan 2011 berturut-turut adalah 432, 210, 187, 432, dan 650 kasus. Sebanyak 11 kasus anak meninggal dunia dari 333 kasus di Jawa Timur (Jatim) selama tahun 2011. Karena itu, pemerintah Provinsi Jatim menetapkan KLB difteri 7 Oktober 2011, bahkan tahun ini di Sumatera Barat pada Januari 2015 sebanyak lima orang dinyatakan suspek atau diduga difteri telah dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) M Djamil Padang. Pada tahun sebelumnya (2014), kasus difteri telah ditemukan pada dua kecamatan yaitu Koto Tangah dan Kuranji. Data kasus difteri menunjukkan bahwa 68– 74% di antaranya adalah anak di bawah umur 15 tahun. Sedangkan sisanya

21

adalah dewasa dan lansia. Keadaan ini menggambarkan tidak tercapai serta tidak meratanya cakupan imunisasi di Indonesia. Seharusnya, apabila cakupan imunisasi merata dan tinggi di seluruh pelosok tanah air, maka KLB difteri tidak akan terjadi. Tolok ukur Universal Child Immunization (UCI) menurut World Health Organization (WHO), adalah setiap desa di suatu negara cakupan imunisasinya, harus mencapai angka lebih dari 80%. Data WHO menunjukkan naiknya cakupan Imunisasi DPT3 di Indonesia meningkat dari 72 % di tahun 1986 menjadi 85 % pada tahun 2013 namun angka tersebut tidak merata pada beberapa provinsi seperti Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara dan Papua, yang hanya mencapai 52,4 – 72 %.4 Jumlah kasus Difteri di Indonesia sedikit meningkat pada tahun 2016 jika dibandingkan dengan tahun 2015 (529 kasus pada tahun 2015 dan 591 pada tahun 2016). Demikian pula jumlah Kabupaten/Kota yang terdampak pada tahun 2016 mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan jumlah Kabupaten/ Kota pada tahun 2015. Tahun 2015 sebanyak 89 Kabupaten/ Kota dan pada tahun 2016 menjadi 100 Kabupaten/ Kota. Pada tahun 2017 kembali terjadi KLB di Indonesia dengan peta persebaran KLB adalah sebagai berikut :1

22

3.3 Diagnosis 3.3.1 Diagnosis berdasarkan CDC WHO 2014 Berdasarkan “Checklist for Assesing A Patient with Suspected Diphteriae – CDC WHO 2014” Difteri dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu Kasus suspek, kasus probable, dan kasus yang sudah terkonfirmasi laboratorium.5 3.3.1.1 Kasus Suspek 

Faringitis, naso-faringitis, tonsillitis, laryngitis, trakeitis (atau kombinasi diantaranya) tanpa demam atau dengan demam subfebris



Pseudomembran keabuan sulit dilepas



Membran berdarah jika dimanipulasi atau terlepas

3.3.1.2 Kasus Probable Kasus suspek disertai dengan + 1 atau lebih kriteria berikut : 

Stridor



Bullneck

23



Kolaps sirkulasi toksik



Acute Kidney Injury



Ptekie pada submukosa/kulit



Miolarditis



Kematian



Perjalanan ke daerah endemis difteri (kurang lebih selama 2 minggu terakhir)



Kontak dengan kasus terkonfirmasi difteri / karier (kurang lebih selama 2 minggu terakhir)



Kontak dengan orang yang melakukan perjalanan ke daerah endemis difteri (kurang lebih selama 2 minggu terakhir)



Status untuk imunisasi difteri tidak lengkap termasuk belum melakukan booster

3.3.1.3 Kasus Terkonfirmasi Laboratorium 

Kultur positif C.Diphteriae dan satu diantara hasil laboratorium berikut



Elek tes positif



PCR Tox Gene postif (positif subunit A dan B)

3.3.2 Diagnosis berdasarkan lokasi 3.3.2.1 Difteri hidung Menyerupai common cold dengan gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Membran putih pada daerah septum nasi.2 3.3.2.2 Difteri tonsil-faring Anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat, berwarna putih kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan

24

palatum molle atau ke bawah lalu ke laring dan trakea, yang mudah berdarah. Limfadenitis servikal dan submandibular, bila limfadenitis terjadi bersama dengan edema jaringan lunak leher yang luas, timbul bullneck. Pada kasus berat, dapat terjadi gagal napas. Dapat terjadi paralisis palatum molle, baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. 2 3.3.2.3 Difteri laring Gejala klinis sukar dibedakan dari tipe infectious croups lainnya seperti napas berbunyi, stridor progresif, suara parau, dan batuk kering. Bila terjadi perluasan dari difteri faring maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia. 2 3.3.2.4 Difteri di tempat lain Difteri dapat juga mengenai kulit, vulvovaginal, konjungtiva, dan telinga. 2 3.3.3 Diagnosis berdasarkan derajat Berdasarkan derajatnya diagnosis difteri dibagi menjadi 3 yaitu ringan, sedang dan berat 3.3.3.1 Difteri derajat ringan Difteri derajat ringan merupakan difteri yang hanya mengenai 1 lokasi tanpa disertai adanya bullneck dan komplikasi 3.3.3.2 Difteri derajat sedang Difteri yang mengenai lebih dari satu lokasi tanpa disertai adanya bullneck dan komplikasi 3.3.3.3 Difteri derajat berat Difteri yang mengenai 1 lokasi atau lebih, dan ditemukan adanya bullneck dan disertai dengan adanya komplikasi 3.3.4 Diagnosis banding 3.3.4.1 Difteri hidung Difteri hidung menyerupai rhinorrhea (common cold, sinusitis,

25

adenoiditis), benda asing dalam hidung, dan snuffles (lues kongenital). 1,2 3.3.4.2 Difteri faring Difteri faring harus dibedakan dengan tonsilitis membranosa akut yang disebabkan oleh Streptokokus (tonsilitis akut, septic sore throat), mononukleo-sis infeksiosa, tonsilitis membranosa non-bakterial, tonsilitis herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi. 1,2 3.3.4.3 Difteri laring Difteri laring menyerupai laringitis atau infectious croups yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada laring, dan benda asing dalam laring. 2 3.3.4.4 Difteri kulit Difteri kulit perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh Streptokokus atau Stafilokokus. 2 3.3.5 Penegakan Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, karena penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa. Pewarnaan gram dapat membantu menegakkan diagnosis. Bahan pemeriksaan diambil dari dasar membran dimana dapat ditemukan kuman dengan jumlah paling banyak. Diagnosis pasti adalah dengan isolasi C. diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler. 1

26

Pada Kasus Ini : Pasien termasuk kedalam kategori kasus suspek, karena dari anamnesis didapatkan keluhan batuk disertai demam yang subfebril, nyeri telan dan keluham sulit menelan. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan faring hiperemis, tonsil T3-T3, tonsil hiperemis, kripte melebar. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut diagnosis mengarah tonsilofaringitis yang memenuhi kriteria pertama dari kasus suspek. Kemudian di pemeriksaan fisik juga ditemukan adanya pseudo membrane pada kedua tonsil berwarna keabuan, sulit dilepas dan ketika dimanipulasi mudah berdarah. Hal ini juga memenuhi dua kriteria lain dari penegakan kasus suspek difteri. Pasien tidak dikategorikan sebagai kasus probable karena tidak memenuhi minimal 1 kriteria kasus probable, dan pasien juga tidak bisa di kategorikan sebagai kasus difteri terkonfirmasi laboratorium karena hanya dilakukan pemeriksaan pengecatan neisser dengan hasil ditemukan bakteri C.diphteriae namun tidak dilakukan pemeriksaan tes Elek dan PCR Tox gene sehingga kasus difteri terkonfirmasi laboratorium tidak dapat ditegakkan. Berdasarkan lokasi dan kriteria WHO pasien ini termasuk kedalam kasus Suspek Tonsilitis Difteria. Berdasarkan derajatnya pasien ini termasuk kedalam derajat ringan.

3.4 Tatalaksana 1. Penderita difteria diisolasi, tempatkan dalam ruang isolasi (single room/ kohorting), 
tidak perlu ruangan dengan tekanan negatif sampai tidak menular yaitu 48 jam setelah pemberian 
antibiotik (tetap dilakukan kultur setelah pemberian antibiotik) 1,5 2. Pada kasus difteri tatalaksana dimulai dengan pemberian Anti Difteri Serum (ADS) 
dan antibiotik tanpa perlu konfirmasi laboratorium (kultur baik swab/apus tenggorok). Untuk pemberian ADS kepada penderita maka perlu

27

di konsultasikan dengan Dokter 
Spesialis (Anak, THT, Penyakit Dalam). 1 3. Tata cara pemberian ADS, yaitu sebagai berikut: 1,6,7,81 1) Secepat mungkin diberikan setelah melakukan tes hipersensitivitas terhadap ADS; pemberian antitoksin secara dini sangat penting dalam hal kesembuhan. 2) Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus 
disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam semprit. 3) Uji kulit dilakukan dengan penyuntikkan 0,1 ml ADS dalam larutan garam 
fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi 
indurasi > 10 mm. 
 4) Bila uji kulit positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). 
 Cara Besredka : ADS diencerkan dalam NACL 0,9 % dg dosis sbb : 

0,05 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan



0,1 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan



0,1 cc dari pengenceran 1:10 secara subkutan



0,1 cc tanpa pengenceran secara subkutan



0,3 cc tanpa pengenceran secara subkutan



0,5 cc tanpa pengenceran secara subkutan



1 cc tanpa pengenceran secara subkutan



ADS sisanya diberikan secara drip IV



Jika terjadi reaksi anafilaktik diberikan Adrenalin 1:1000

5) Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas negatif, ADS harus diberikan sekaligus 
secara intravena. 
 6) Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama 
sakit, tidak tergantung pada berat badan penderita, berkisar

28

antara 20.000- 
100.000 KI. Berdasarkan tingkat keparahannya, pemberian ADS terbagi atas : Derajat ringan (40.00 IU), derajat sedang (80.000 IU), derajat berat (120.000 IU). 7) Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 
5% dalam 1-2 jam. 
 8) Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama 
pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu 
dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness). 
 9) Kemungkinan terjadi reaksi anafilaksis sekitar 0,6% yang terjadi beberapa menit setelah pemberian ADS. Reaksi demam (4%) setelah 20 menit-1 jam, 
serum sickness (8,8%) 7-10 hari kemudian. 
 a. Pemberian antibiotika. 
 Antibiotika Penicillin procaine IM 25.000-50.000 U/kg BB maks 1,5 juta selama 14 hari, atau Eritromisin oral atau injeksi diberikan 40 mg/KgBB/hari maks 2 g/hari interval 6 jam selama 14 hari. 4. Perawatan suportif termasuk perhatian khusus untuk mempertahankan patensi saluran napas bila terdapat membran laring atau faring ekstensif. Lakukan penilaian apakah ditemukan keadaan gawat napas akibat obstruksi saluran napas karena membran dan edema perifaringeal maka lakukan trakeostomi. 1 5. Observasi jantung ada/tidaknya miokarditis, gangguan neurologis, maupun ginjal1 6. Kortikosteroid dapat diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas, dan bila terdapat penyulit miokarditis diberikan prednison 2 
mg/KgBB selama 2 minggu kemudian diturunkan bertahap. 6

29

7. Pada fase konvalesens diberikan vaksin difteri toksoid disesuaikan status 
imunisasi penderita. 1 Tabel. Pemberian ADS pada kasus Difteri Tipe Difteri

Dosis ADS (KI)

Cara pemberian

Difteri kulit

20.000

Intravena

Difteri Hidung

20.000

Intravena

Difteri tonsil

40.000

Difteri faring Difteri laring Difteri nasofaringeal

Intravena

40.000

Intravena

40.000

Intravena

60.000

intravena

Kombinasi lokasi di atas, tanpa melibatkan 80.000 Intravena hidung/nasal Difteri + penyulit dan/atau ditemukan 80.000-100.000 Intravena bullneck Terlambat berobat (> 80.000-100.000 Intravena 72 jam), lokasi dimana saja Sumber : CDC Protocol-03/26/2014-Revised dan Krugman, 1992 dengan Modifikasi

30

Pada Kasus Ini : Pasien termasuk kedalam kategori kasus suspek tonsillitis difteri derajat ringan, maka dari itu pasien direncanakan untuk diterapi Penicilin procain 800.000 unit/24 jam i.m dan ADS 40.000 unit dalam 200ml NaCl 0,9 % selama 4 jam secara drip (sebelumnya dilakukan tes kepekaan). Telah dilakukan tes kepekaan pada pasien ini dengan cara penyuntikkan 0,1 ml ADS dalam larutan garam 
fisiologis 1:1.000 secara intrakutan dan setelah dievaluasi dalam 20 menit tidak terjadi 
indurasi > 10cm maka dari itu pasien dapat diberikan terapi ADS secara intravena. ADS pada pasien diberikan pada tanggal 12/1/17 kemudian pasien juga dimulai terapi Penicilin procain 800.000 unit/24 jam i.m selama 3 hari kemudian dilanjutkan dengan eritromisin 200mg/6jam secara peroral selama 10 hari. Pada pasien ini ADS seharusnya diberikan sebesar 40.000 IU namun pasien hanya diberikan 20.000 IU, hal ini karena mempertimbangkan ketersediaan ADS yang sangat terbatas. Pasien juga diberikan terapi suportif berupa N Asetilsistein 100mg/8jam untuk mengatasi keluhan batuk pada pasien. Terapi lain yang diberikan adalah parasetamol 1,5cth/4-6jam yang diberikan jika suhu pasien >38C

3.5 Komplikasi Komplikasi yang disebabkan oleh toksin difteria secara sistemik dapat mengenai semua organ namun miokarditis dan gangguan sistem saraf merupakan komplikasi yang sering ditemukan. Umumnya disebabkan oleh keterlambatan pemberian antitoksin. Komplikasi gawat napas yang disebabkan oleh obstruksi jalan napas atas.

1,2,9,10

3.5.1 Obstruksi jalan napas Disebabkan oleh tertutupnya jalan napas oleh membrane difteria atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan servikal. Obstruksi jalan napas dibagi menjadi empat derajat : - Ringan: batuk menggonggong hilang timbul, tidak terdengar stridor saat istirahat, dapat disertai atau tidak retraksi suprasternal dan intercostal ringan 
 - Sedang: batuk menggonggong lebih sering, suara stridor mudah terdengar saat 
istirahat, retraksi suprasternal dan dinding sternal saat istirahat tapi tidak ada 
atau sedikit gejala distress pernapasan atau agitasi 
 - Berat: Batuk menggonggong lebih sering, stridor inspirasi yang menonjol,

31


kadang disertai stridor ekspirasi, retraksi dinding sternal yang jelas dan gejala 
distress napas dan agitasi yang signifikan 
 - Kegagalan napas terjadi segera: batuk menggonggong sering tidak menonjol, 
terdengar stridor saat istirahat (kadang sulit didengar), retraksi dinding sternal (dapat tidak jelas), letargis atau penurunan kesadaran, jika tanpa oksigen kulit tampak gelap. Berdasarankan kriteria Jackson, sumbatan jalan nafs dibagi atas : - Jackson I ditandai dengan sesak, stridor inspirasi ringan, retraksi suprasternal, tanpa sianosis. - Jackson II adalah gejala sesuai Jackson I tetapi lebih berat yaitu disertai retraksi supra dan infraklavikula, sianosis ringan, dan pasien tampak mulai gelisah - Jackson III adalah Jackson II yang bertambah berat disertai retraksi interkostal, epigastrium, dan sianosis lebih jelas. - Jackson IV ditandai dengan gejala Jackson III disertai wajah yang tampak tegang, dan terkadang gagal napas 3.5.2 Miokarditis Miokarditis umumnya muncul pada minggu kedua (paling dini pada minggu pertama dan paling lambat pada minggu ke-6). Dapat ditemukan takikardia, bunyi jantung I menjauh, murmur dan aritmia. Hasil EKG dapat menunjukkan disfungsi ventrikel kiri, elevasi segmen ST, perpanjagan interval PR, heart block, dan dapat berlanjut menjadi gagal jantung. 3.5.3 Gangguan saraf Sekitar 75% pasien dengan difteria berat mengalami neuropati. Gangguan yang ditemukan umumnya gangguan motorik, bilateral dan umumnya bersifat sementara. Dapat ditemukan paralisis pallatum molle, diafragma, neuropati perifer dan menghilangnya reflek tendon (kadang sulit dibedakan dengan sindrom Guillian Barre). Paralisis palatum mole umumnya ditemukan

32

di minggu ke-3. Paralisis otot mata, ekstrimitas dan diafragma umumnya ditemukan di minggu ke-5. Pada Kasus Ini : Pada pasien tidak didapatkan tanda-tanda komplikasi berupa miokarditis, obstruksi jalan nafas maupun gangguan dari sistem saraf

3.6 Kriteria Pemulangan Pasien Difteri Beberapa hal harus diperhatikan untuk pemulangan Penderita difteri klinik, yaitu: 1. Setelah pengobatan tetap dilakukan pengambilan kultur pada Penderita 
(sebaiknya pada hari ke 8 dan ke 9 pengobatan). 
 2. Apabila klinis Penderita setelah terapi baik (selesai masa pengobatan 10 hari), 
maka dapat pulang tanpa menunggu hasil kultur laboratorium. 
 3. Sebelum pulang penderita diberi penyuluhan komunikasi risiko dan pencegahan 
penularan oleh petugas. 
 4. Setelah pulang, Penderita tetap dipantau oleh Dinas Kesehatan setempat 
sampai mengetahui hasil kultur terakhir negatif. 5. Semua Penderita setelah pulang harus melengkapi imunisasi nya sesuai usia. 
 6. Penderita yg mendapat ADS harus diimunisasi lengkap 3x setelah 4-6 minggu 
dari saat ADS diberikan. 
 Pada Kasus Ini : Pasien dipulangkan pada hari ke-8 perawatan, setelah dilakukan 3x kultur. Kultur pertama 12/12/17 : C.diphteriae (+) kemudian pasien diberikan terapi ADS, lalu pasien dikultur kembali dan hasil kultur tanggal 14/12/17 dan 18/18/17 : C.diphteriae (-), selain itu klinis pasien juga sudah membaik setelah hari ke-6 perawatan. Lemas (-), batuk (-), demam (-), sesak (-), serak (=), tanda tanda obstruksi jalan nafas, gangguan sistem saraf, dan miokarditis (-). Saat pulang pasien diwajibkan untuk melanjutkan imunisasi ulang DT di puskesmas 0-1-6 maksimal setelah 4-6 minggu setelah ADS diberikan.

33

3.7 KLB Difteri Difteri merupakan jenis penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan KLB/Wabah seperti tercantum dalam Permenkes 1501 tahun 2010. Kegiatan penanggulangan KLB Difteri dilakukan dengan melibatkan program-program terkait yaitu surveilans epidemiologi, program imunisasi, klinisi, laboratorium dan program kesehatan lainnya serta lintas sektor terkait. Suatu wilayah dinyatakan KLB Difteri jika ditemukan minimal 1 Suspek Difteri. 1 Strategi penanggulangan KLB Difteri di Indonesia adalah : 1) Penguatan imunisasi rutin Difteri sesuai dengan program imunisasi nasional. Penyakit Difteri dapat dicegah dengan Imunisasi Lengkap, dengan jadwal pemberian sesuai usia. Saat ini vaksin untuk imunisasi rutin dan imunisasi lanjutan yang diberikan guna mencegah penyakit Difteri ada 3 macam, yaitu: a) DPT-HB-Hib (vaksin kombinasi mencegah Difteri, Pertusis, Tetanus, Hepatitis B dan Meningitis serta Pneumonia yang disebabkan oleh Haemophylus infuenzae tipe B). 
 b) DT (vaksin kombinasi Difteri Tetanus). 
 c) Td (vaksin kombinasi Tetanus Difteri). 
 Imunisasi tersebut diberikan dengan jadwal: a) Imunisasi dasar: 
Bayi usia 2, 3 dan 4 bulan diberikan vaksin DPTHB-Hib dengan interval 1 bulan. 
 b) Imunisasi Lanjutan: 

Anak usia 18 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib 1 kali. 




Anak Sekolah Dasar kelas 1 diberikan vaksin DT pada Bulan Imunisasi 
Anak Sekolah (BIAS). 




Anak Sekolah Dasar kelas 2 dan 5 diberikan vaksin Td pada

34

Bulan 
Imunisasi Anak Sekolah (BIAS). 
 

Wanita Usia Subur (termasuk wanita hamil) diberikan vaksin Td. 


Perlindungan optimal terhadap difteri pada masyarakat dapat dicapai dengan cakupan imunisasi rutin, baik dasar maupun lanjutan, yang tinggi dan merata. Cakupan harus mencapai minimal 95%, merata di setiap kabupaten/kota, dan tetap dipertahankan. Selain cakupan yang harus diperhatikan adalah menjaga kualitas vaksin sejak pengiriman, penyimpanan sampai ke sasaran. Vaksin difteri merupakan vaksin yang sensitif terhadap suhu beku sehingga dalam pengiriman maupun penyimpanan harus tetap berada pada suhu 2 - 8° C. Setiap daerah menyediakan biaya operasional untuk imunisasi rutin dan imunisasi dalam penanggulangan KLB (ORI) 2) Penemuan dan penatalaksanaan dini kasus Difteri 3) Semua kasus Difteri harus dilakukan penyelidikan epidemiologi 4) Semua kasus Difteri dirujuk ke Rumah Sakit dan dirawat di ruang isolasi. 5) Pengambilan spesimen dari kasus dan kasus kontak erat kemudian dikirim laboratorium rujukan Difteri untuk dilakukan pemeriksaan kultur atau PCR. 6) Menghentikan transmisi Difteri dengan pemberian profilaksis terhadap kontak dan karier. Erytromisin (etyl suksinat) dengan dosis 
50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 7 hari. 
 Bila kontak yang positif (karier) dan setelah diberikan prophilaksis selama 7 hari 
kemudian diperiksa laboratorium kembali ternyata masih positip maka pemberian prophilaksis dilanjutkan kembali selama 7 hari. Jika masih positif maka dilakukan test resistensi dengan mengganti jenis antibiotika yang sensitif. 


35

Identifikasi dan Tatalaksana Kontak : a.

Siapapun yang kontak erat dengan kasus, dalam 7 hari terakhir dianggap berisiko 
tertular. 


b.

Kontak erat penderita dan karier meliputi : 

Anggota keluarga serumah



Teman, kerabat,pengasuh yang secara teratur mengunjungi rumah



Kontak cium / seksual 




Teman di sekolah, teman les, teman mengaji, teman sekerja



Petugas kesehatan di lapangan dan di RS 


7) Melakukan Outbreak Response Immunization (ORI) di daerah KLB Difteri. 

Melakukan

Outbreak

Response

Immunisation

(ORI)

tanpa

menunggu hasil 
laboratorium suspek difteri (kasus indeks), dengan

sasaran

sesuai

dengan

kajian

epidemiologi

tanpa

memandang status imunisasi sebelumnya. Luas wilayah ORI adalah minimal tingkat kecamatan dan dilaksanakan 3 putaran dengan jarak pemberian antara putaran pertama dan kedua 1 bulan, dan antara putaran kedua dan ketiga adalah 6 bulan. Cakupan ORI minimal 90% pada lokasi yang telah ditetapkan. Vaksin yang digunakan adalah: 
a. anak usia 1 - < 5 tahun menggunakan vaksin DPT-HB-Hib, b. anak usia 5 - <7 tahun menggunakan vaksin DT
 c. anak usia ≥ 7 tahun menggunakan vaksin Td 
 

Jika pertimbangan epidemiologi mengharuskan, maka seluruh populasi orang 
dewasa harus disertakan dalam imunisasi massal.



Melakukan Rapid Convenience Assessment (RCA) pada wilayah yang ada 
kegiatan imunisasi untuk mengetahui validitas cakupan dan tanggapan 
masyarakat yang masih menolak imunisasi.

36



Memantau kualitas dan manajemen rantai vaksin. Potensi vaksin sangat besar 
kontribusinya terhadap kualitas pelayanan imunisasi dan terbentuknya 
kekebalan. 




Memantau dan membina kompetensi petugas pengelola vaksin maupun 
koordinator program imunisasi. Kualitas pengelola vaksin dan koordinator program imunisasi yang tidak kualified akan berpengaruh



Penderita difteri apabila telah sembuh dan yang tidak pernah diimunisasi sebaiknya segera diberi satu dosis vaksin yang mengandung toksoid difteri (sebaiknya Td) dan kemudian lengkapi imunisasi dasar sekurang-kurangnya 3 dosis. 




Penderita dengan status imunisasi belum lengkap, harus melengkapi imunisasi dasar dan lanjutan sesuai jadual program imunisasi nasional. 


37

DAFTAR PUSKTAKA

1.

Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Buku pedoman pencegahan dan penanggulangan difteri. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2017

2.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku pedoman pelayanan kesehatan. Difteri. 2015 : 169-174

3.

Satari Hindra. Diphteria : Re-emerging disease. Current evidence in pediatric emergency

management.

Departement

Kesehatan

Anak

Universitas

Indonesia. 2014 : 6-7 4.

Direktorat Survaillance dan Karantina Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Buku pedoman pencegahan dan penanggulangan difteri. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2017

5.

Expanded Access Investigational New Drug (IND) Application Protocol : Use of Diphteria Anitoxin for Suspected Diphteriae. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) : 2016

6.

Checklist for assesing patient with suspected diphteriae CDC WHO 2014

7.

CDC Protocol of diphteriae-revised. 2014

8.

Hapsari, M.M. Tatalaksana diphteriae dinas kesehatan provinsi jawa tengah. 2017

9.

Feign and cherry’s. Diphteriae. Textbook of pediatric infectious disease. 7 edition. 2014 : 1031

10.

N.R Adler. Diphteriae complication. Internal medicine journal. Februari 2013

Related Documents

Difteri
October 2019 27
Difteri
October 2019 38
Kasus Besar 2 Anak.docx
November 2019 25

More Documents from "Listia Winda Sari"