LAPORAN KASUS
SEORANG PEREMPUAN 23 TAHUN DENGAN OD ASTIGMATISMA MIOPIA SIMPLEKS Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan senior bagian Ilmu Kesehatan Mata
Disusun oleh: Dana Tri Asmara 22010116220210
Pembimbing: dr. Monika Y
Penguji: dr. Sri Inakawati, Sp. M (K)
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2018
HALAMAN PENGESAHAN Nama
: Dana Tri Asmara
NIM
: 22010116220210
Bagian
: Ilmu
Kesehatan
Mata
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Diponegoro Judul
: Seorang Perempuan 23 Tahun dengan OD Astigmatisma Miopia Simpleks
Penguji
: dr. Sri Inakawati, Sp. M (K)
Pembimbing : dr. Monika Y
Semarang, 22 Maret 2018
Penguji
Pembimbing
dr. Sri Inakawati, Sp. M (K)
dr. Monika Y
LAPORAN KASUS
SEORANG PEREMPUAN 23 TAHUN DENGAN OD ASTIGMATISMA MIOPIA SIMPLEKS Penguji kasus
: dr.Sri Inakawati, Sp. M (K)
Pembimbing
: dr. Monika Y
Dibacakan oleh
: Dana Tri Asmara
Dibacakan tanggal
: 22 Maret 2018
I.
PENDAHULUAN Tajam penglihatan dipengaruhi kelainan refraksi, media refrakta, dan saraf penglihatan. Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media refrakta yang terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, dan badan kaca. Pada orang normal susunan pembiasan oleh media refrakta dan panjangnya bola mata seimbang sehingga setelah sinar melalui media refrakta dapat dibiaskan tepat di daerah macula lutea pada retina. Mata yang normal dapat membiaskan cahaya tepat pada macula lutea retina, disebut emetropia dan mata yang tidak bisa membiaskan cahaya tepat sampai macula lutea disebut ametropia. Ametropia dapat berupa miopia, hipermetropia, presbiopia, dan astigmatisma. Miopia terjadi bila bayangan benda yang terletak jauh difokuskan di depan retina oleh mata yang tidak berakomodasi. Sedangkan pada astigmatisma berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik atau lebih dengan tajam pada retina akan tetapi pada dua garis titik fokus yang saling tegak lurus yang terjadi akibat kelainan kelengkungan permukaan kornea.1,2 Organisasi kesehatan dunia (WHO) menyebutkan setidaknya 45 juta penduduk dunia mengalami kebutaan (3/60) dan 135 juta penduduk dunia menderita low vision (6/18). Berdasarkan riset kesehatan dasar tahun 2007, prevalensi nasional kebutaan di Indonesia yaitu sebesar 0,9% dimana gangguan refraksi menempati urutan ke-3 setelah katarak dan glaukoma. Hasil survei Kadir (1996) gangguan miopia di Jawa Tengah sebesar 5,3% serta di Indonesia didapatkan 0,06% penduduk yang buta akibat kelainan refraksi. 3,4
II.
IDENTITAS PENDERITA Nama
: Nn. AA
Umur
: 23 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Pendidikan terakhir : S1 Alamat
: Bekasi, Jawa Barat
Pekerjaan
: Mahasiswi
Nomor CM
: C601628
III. ANAMNESIS Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 9 Maret 2018 di Poliklinik Mata RSUP Dr. Kariadi pada pukul 11.00 WIB A. Keluhan Utama Penglihatan kedua mata kabur saat melihat jauh B. Riwayat Penyakit Sekarang Sejak ± 3 bulan yang lalu, pasien mengeluhkan penglihatan kedua mata kabur pada saat melihat jauh. Pasien masih bisa membaca tulisan dalam jarak dekat, namun penglihatan menjadi kabur saat melihat jauh dan lama-kelamaan terasa pusing. Penglihatan kabur seperti melihat kabut disangkal, penglihatan kabur tidak bertambah atau berkurang sejak awal dirasakan. Tidak ada mata merah, tidak ada nyeri pada mata, tidak ada mata nerocos, tidak ada silau, tidak ada kotoran mata. Oleh karena dirasa mengganggu pasien datang sendiri ke Poliklinik Merpati RSUP Dr. Kariadi, Semarang.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat pemakaian kacamata sebelumnya pada 6 tahun lalu namun tidak teratur dipakai
Riwayat trauma pada mata disangkal
Pasien sering membuka laptop minimal 4 jam per hari
Pasien selalu menggunakan handphone dalam keadaan lampu kamar redup sebelum tidur
Pasien biasa membaca dalam jarak dekat
Riwayat pemakaian kacamata disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada anggota keluarga yang memakai kacamata
E. Riwayat Sosial Ekonomi Pasien merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara. Ayah bekerja sebagai karyawan BUMN dan ibu pasien seorang ibu rumah tangga. Pasien adalah seorang mahasiswa. Biaya pengobatan ditanggung pribadi. Kesan ekonomi cukup.
IV. PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 9 Maret 2018 di Poliklinik Mata RSUP Dr. Kariadi pada pukul 11.30 WIB.
A. Status Praesens 1. Keadaan umum : baik 2. Kesadaran
: compos mentis
3. Tanda vital
:
a. Frekuensi napas
: 20 kali/menit, regular
b. Frekuensi nadi
: 80 kali/menit, regular
c. Tekanan darah
: 120/80 mmHg
d. Suhu badan
: 36,6 oC
4. Status Generalis : a. kepala
: tidak ada kelainan
b. thoraks
: cor paru
c. abdomen
: tidak ada kelainan : tidak ada kelainan
: tidak ada kelainan
d. ekstremitas : tidak ada kelainan
B. Status Ophtalmologi
Oculus Dexter
Oculus Sinister
6/15
VISUS
6/15 S -0,75 C -0,5 x 90º
KOREKSI TANPA
6/6 NBC
MIDRIASIL (HASIL
6/6
PEMERIKSAAN SUBJEKTIF) PEMERIKSAAN BINOCULARITAS Alternating Cover Test (-) Duke Elder Test (-) Distortion Test (-) Reading Test (-) Tidak dilakukan Gerak bola mata ke segala arah baik
SENSUS COLORIS PARASE/PARALYSE
Tidak dilakukan Gerak bola mata ke segala arah baik
Tidak ada kelainan
SUPERCILIA
Tidak ada kelainan
Edema (-), spasme (-)
PALPEBRA SUPERIOR
Edema (-), spasme (-)
Edema (-), spasme (-)
PALPEBRA INFERIOR
Edema (-), spasme (-)
Hiperemis (-), sekret (-),
CONJUNGTIVA
Hiperemis (-), sekret (-),
edema (-)
PALPEBRALIS
edema (-)
Hiperemis (-), sekret (-),
CONJUNGTIVA
Hiperemis (-), sekret (-),
edema (-)
FORNICES
edema(-)
Injeksi (-), sekret (-)
CONJUNGTIVA BULBI
Injeksi (-), sekret (-)
Tidak ada kelainan
SCLERA
Tidak ada kelainan
Jernih
CORNEA
Jernih
Kedalaman cukup,
CAMERA OCULI
Kedalaman cukup,
Tyndall Effect (-)
ANTERIOR
Tyndall Effect (-)
Kripte (+)
IRIS
Kripte (+)
Bulat, central, regular,
PUPIL
diameter: 3 mm, RP (+) N
Bulat, central, regular, diameter: 3 mm, RP (+) N
Jernih
LENSA
Jernih
(+) cemerlang
FUNDUS REFLEKS
(+) cemerlang
Papil N.II: bulat, batas
Papil N.II: bulat, batas
tegas, warna kuning
tegas, warna kuning
kemerahan, CDR 0,3
kemerahan, CDR 0,3
Vasa: AVR 2/3, perjalanan
Vasa: AVR 2/3, perjalanan
vasa dalam batas normal
FUNDUSKOPI
vasa dalam batas normal
Retina: Tigroid (-),
Retina: Tigroid (-),
perdarahan (-), eksudat (-)
perdarahan (-), eksudat (-)
Makula: R. fovea (+)
Makula: R. fovea (+)
cemerlang
cemerlang
T(digital) normal
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
V.
TENSIO OCULI
SISTEM CANALIS LACRIMALIS TEST FLUORESCEIN
T(digital) normal
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
RESUME Seorang perempuan 23 tahun datang ke poliklinik mata RSUP Dr. Kariadi Semarang dengan keluhan penurunan visus oculus dextra saat melihat jauh sejak ± 3 bulan yang lalu. Penglihatan kabur tidak berkurang atau bertambah sejak dari awal dirasakan. Tidak ada keluhan lagi selain mata kabur. Riwayat pasien sering membuka laptop minimal 4 jam per hari , selalu menggunakan handphone dalam keadaan lampu kamar redup sebelum tidur, pasien biasa menonton TV dalam jarak dekat, dan pasien biasa membaca dalam jarak dekat. Pemeriksaan fisik: Status presens tidak ada kelainan, dalam batas normal
Status oftalmologi: Oculus Dexter
Oculus Sinister
6/15
VISUS
6/6
6/15 S -0,75 C -0,5 x 90º
KOREKSI TANPA
6/6 NBC
MIDRIASIL (HASIL PEMERIKSAAN SUBJEKTIF)
VI. DIAGNOSIS Diagnosis Kerja ODS Astigmatisma Miopia Simpleks
VII. PENATALAKSANAAN A. Pemberian kacamata koreksi
RSUP Dr. Kariadi Semarang Poliklinik Mata
Semarang, 9 Maret 2018
Untuk Jauh Kanan 900
900
1800
1800
00
Sph
K i r i
Kiri
Untuk Dekat
Cylinder
Prisma
Sph
1 900 8 0 Cylinder
00
Prisma
0
U. Jauh
D
D
as
gr
bas
D
D
as
gr
Bas
-0,75
-0,5
900
-
-
-
-
-
-
-
U. Dekat
Jarak pupil
(Untuk jauh 60 mm) (Untuk dekat 58 mm)
Pro : Nn. AA Usia : 23 tahun
B. Kontrol pemeriksaan visus 6 bulan kemudian atau apabila keluhan memburuk
VIII. PROGNOSIS
OD
OS
Quo ad visam
ad bonam
ad bonam
Quo ad sanam
ad bonam
ad bonam
Quo ad vitam
ad bonam
Quo ad cosmeticam
ad bonam
IX. EDUKASI 1. Menjelaskan kepada pasien bahwa pasien menderita astigmatisma sedang yang dapat diatasi dengan menggunakan kacamata. 2. Menjelaskan tentang pentingnya memakai kacamata koreksi dan menjelaskan tentang komplikasi yang akan terjadi bila tidak memakai kacamata yaitu meningkatnya ukuran kacamata yang dipakai. 3. Menjelaskan apabila membaca atau melakukan kegiatan di depan TV, laptop, handphone dan kegiatan yang memerlukan penglihatan jarak dekat dalam waktu lama, sebaiknya beristirahat setiap 30 menit. 4. Menjelaskan untuk tidak membaca terlalu dekat dan sambil tiduran, serta tidak boleh membaca di tempat remang-remang/cahaya kurang.
X.
USULAN Kontrol pemeriksaan visus 6 bulan kemudian atau apabila keluhan memburuk
XI. DISKUSI A. Kelainan Refraksi
Ametropia adalah keadaan di mana pembiasan mata dengan panjang bola mata yang tidak seimbang. Ametropia dapat disebabkan kelengkungan kornea atau lensa yang tidak normal (ametropia kurvatur) atau indeks bias abnormal di dalam mata (ametropia indeks). Ametropia dapat ditemukan dalam bentuk kelainan miopia, hipermetropia, presbiopia dan astigmatisma. Bentuk-bentuk ametropia: 1 1. Ametropia aksial Ametropia yang terjadi akibat sumbu optik bola mata lebih panjang atau lebih pendek sehingga bayangan benda difokuskan di depan atau di belakang retina. Pada miopia aksial fokus akan terletak di depan retina karena bola mata lebih panjang dan pada hipermetropia aksial fokus bayangan terletak di belakang retina. 2. Ametropia refraktif Ametropia akibat kelainan sistem pembiasan sinar di dalam mata. Bila daya bias kuat, maka bayangan benda terletak di depan retina (miopia) atau bila daya bias kurang maka bayangan benda akan terletak di belakang retina (hipermetropia refraktif). 3. Ametropia kurvatura Ametropia yang terjadi karena kecembungan kornea atau lensa yang tidak normal. Pada miopia kurvatura kornea bertambah kelengkungannya seperti pada keratokonus. Sedangkan pada hipermetropia kurvatura lensa dan kornea lebih kecil dari kondisi normal. Terdapat tiga tipe kelainan refraksi yaitu: a. Miopia b. Hipermetropia c. Astigmatisma Kelainan refraksi adalah keadaan di mana bayangan tegas tidak terbentuk pada retina (makula lutea). Pada kelainan refraksi terjadi ketidakseimbangan sistem optik pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Pada mata normal, media refrakta akan
membelokkan sinar pada titik fokus yang tepat pada sentral retina. Keadaan ini memerlukan susunan kornea dan lensa yang sesuai dengan panjang bola mata. Pada kelainan refraksi, sinar dibiaskan di depan atau di belakang makula lutea.4 Kelainan refraksi bisa diketahui dengan melakukan pemeriksaan tajam penglihatan atau visus.
Pemeriksaan visus dengan optotipe Snellen. Tujuannya
adalah
melakukan
pemeriksaan
refraksi
secara
subyektif. Pemeriksaan refraksi secara subyektif adalah suatu tindakan untuk memperbaiki penglihatan seseorang dengan bantuan lensa yang ditempatkan di depan bola mata. Alat-alat yang digunakan: - Optotipe Snellen - Trial lens set - Trial frame
Gambar 1. Optotipe Snellen
Gambar 3. Trial frame
Gambar 2. Trial lens set
Prosedur pemeriksaan terdiri dari dua langkah : 1. Langkah pertama : Pemeriksaan visus 2. Langkah kedua : Koreksi visus
1. Langkah Pertama a. Pasien duduk dengan jarak 6 meter dari optotipe Snellen, salah satu mata pasien ditutup kemudian disuruh membaca huruf terbesar sampai huruf terkecil. b. Bila huruf terbesar tidak terbaca maka pasien diperiksa dengan hitung jari. Contoh : visus = 1/60 (artinya pasien hanya dapat menghitung jari pada jarak 1 meter, yang oleh orang normal dapat dilihat pada jarak 60 meter) c. Bila hitung jari tidak bisa, maka pasien diperiksa dengan lambaian tangan pada jarak 1 m. Pasien disuruh menyebutkan arah lambaian tangan. Hasilnya visus = 1/300 d. Bila lambaian tangan tidak bisa maka pasien diperiksa dengan menggunakan sinar, untuk membedakan gelap-terang dan arah datangnya sinar. Hasilnya visus = 1/~ LP (light proyeksi) baik/buruk e. Bila tidak bisa membedakan gelap dan terang, maka visus = 0. Pastikan dengan reflek pupil direk dan indirek. 2. Langkah Kedua a. Koreksi visus dilakukan jika pasien dapat membaca huruf Snellen. Pemeriksaan dilakukan dengan tehnik trial and error. b. Pasang trial frame. Koreksi dilakukan bergantian, dengan cara menutup salah satu mata. c. Pasang lensa sferis positif. Setelah diberi lensa sferis positif visus membaik, berarti hipermetropia. d. Koreksi dilanjutkan dengan cara menambah atau mengurangi lensa sferis sampai didapatkan visus 6/6. e. Koreksi yang diberikan pada hipermetropia adalah koreksi lensa sferis positif terbesar yang memberikan visus sebaik-baiknya.
f. Jika diberi lensa sferis positif bertambah kabur, berarti miopia. Maka lensa diganti dengan lensa sferis negatif. g. Koreksi dilanjutkan dengan cara menambah atau mengurangi lensa sferis sampai didapatkan visus 6/6 h. Koreksi yang diberikan pada miopia adalah koreksi lensa sferis negatif terkecil yang memberikan visus sebaik-baiknya. i. Jika visus tidak bisa mencapai 6/6, maka dicoba dengan memakai pinhole j. Bila visus membaik setelah diberi pinhole, berarti terdapat astigmatisma maka dilanjutkan dengan koreksi astigmatisma. 1) Uji Pinhole (Lubang Kecil) Uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah tajam penglihatan yang kurang terjadi akibat kelainan refraksi atau kelainan organik media penglihatan. Penderita duduk menghadap kartu Snellen dengan jarak 6 meter. Penderita disuruh melihat huruf terkecil yang masih terlihat dengan jelas. Kemudian pada mata tersebut ditaruh lempeng berlubang kecil (pinhole atau lubang sebesar 0.75 mm). Bila terdapat perbaikan tajam penglihatan dengan melihat melalui lubang kecil berarti terdapat kelainan refraksi. Bila terjadi kemunduran tajam penglihatan berarti terdapat gangguan pada media penglihatan. Mungkin saja ini diakibatkan kekeruhan kornea, katarak, kekeruhan badan kaca, dan kelainan makula lutea. 2) Uji Pengkabutan (Fogging Test) Uji
pemeriksaan astigmatisma dengan
memakai
prinsip mengistirahatkan akomodasi dengan memakai lensa positif. Dengan mata istirahat pasien disuruh melihat astigmatism dial (juring astigmatisma). Bila garis vertikal yang terlihat jelas berarti garis ini telah terproyeksi baik pada retina sehingga diperlukan koreksi bidang vertikal dengan memakai lensa silinder negatif dengan sumbu 180 derajat.
Penambahan kekuatan silinder diberikan sampai garis pada juring astigmatisma. k. Setelah visus menjadi 6/6, kemudian dilakukan pemeriksaan binokularitas : 1) Duke elder test Pasien disuruh melihat optotipe snellen dengan menggunakan lensa koreksi, kemudian ditaruh lensa sferis +0,25D pada kedua mata. Jika pasien merasa kabur berarti lensa koreksi sudah tepat, apabila menjadi jelas berarti pasien masih berakomondasi. 2) Alternating cover test Dilakukan dengan cara menutup kedua mata secara bergantian. Pasien membandingkan kedua mata mana yang paling jelas. Pada mata miopia, mata yang paling jelas koreksinya dikurangi. Pada mata hipermetropia, mata yang paling jelas koreksinya ditambah. 3) Distortion test Pasien disuruh berjalan sambil memakai lensa koreksi. Jika saat berjalan lantai tidak goyang-goyang dan tidak merasa pusing maka koreksi sudah tepat. 4) Reading test Untuk pasien yang berusia 40 tahun atau lebih, perlu dilakukan test penglihatan dekat. Diberi lensa sferis positif sesuai umur kemudian membaca kartu jaeger l. Setelah semua pemeriksaan selesai maka dibuatkan resep kaca mata dimana sebelumnya telah diukur PD (pupil distance) dengan penggaris.
B. Miopia Miopia atau rabun jauh adalah kelainan refraksi suatu keadaan mata dimana sinar-sinar sejajar dari jarak tak terhingga (tanpa akomodasi) dibiaskan didepan retina.2
Gambar 4. Miopia 1. Klasifikasi Miopia a. Tipe dari miopia: 1) Miopia aksial Bertambah panjangnya diameter antero-posterior bola mata dari normal. Pada orang dewasa penambahan panjang aksial bola mata 1 mm akan menimbulkan perubahan refraksi sebesar 3 dioptri. 2) Miopia refraktif Bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti terjadi pada katarak intumensen dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga pembiasan lebih kuat. Pada miopia refraktif, menurut Albert E. Sloane dapat terjadi karena beberapa macam sebab, antara lain : a) Kornea terlalu cembung (<7,7 mm) b) Terjadinya hydrasi/penyerapan cairan pada lensa kristalina sehingga bentuk lensa kristalina menjadi lebih cembung dan daya biasnya meningkat. Hal ini biasanya terjadi pada penderita katarak stadium awal (imatur) c) Terjadi peningkatan indeks bias pada cairan bolamata (biasanya terjadi pada penderita diabetes melitus). b. Menurut derajat beratnya miopia dibagi dalam : 1) Miopia ringan, dimana myopia kecil daripada < 3 dioptri 2) Miopia sedang, dimana myopia lebih antara 3-6 dioptri 3) Miopia berat atau tinggi, dimana miopia lebih besar dari 6 dioptri
c. Klasifikasi miopia berdasarkan umur : 1) Congenital (sejak lahir dan menetap pada masa anak-anak) 2) Youth-onset miopia (<20 tahun) 3) Early adult-onset miopia (20-40 tahun) 4) Late adult-onset miopia (>40 tahun). d. Menurut perjalanan miopia dikenal bentuk : 1) Miopia stasioner, miopia yang menetap setelah dewasa 2) Miopia progresif, myopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat bertmbah panjangnya bola mata. 3) Miopia maligna, miopia yang berjalan progresif, yang dapat mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan miopia pernisiosa = miopia maligna = miopia degeneratif. Miopia degeneratif atau myopia maligna bila miopia lebih dari 6 dioptri disertai kelainan pada fundus okuli terbentuk stafiloma, dan pada bagian temporal papil terdapat atrofi korioretina. Atrofi retina berjalan kemudian setelah terjadinya atrofi sklera dan kadang-kadang terjadi ruptur membran Bruch yang dapat menimbulkan rangsangan untuk terjadinya neovaskularisasi subretina.2 2. Komplikasi Miopia1 : a. Ablatio Retina b. Glaukoma sudut terbuka c. Ambliopia jika kacamata koreksi tidak digunakan d. Pasien dengan miopia akan menyatakan melihat jelas bila melihat benda dekat dan mengeluh kabur apabila melihat jauh. Pasien juga sering mengeluhkan sakit kepala, sering disertai juling, dan celah kelopak mata yang sempit. Pasien biasanya juga memiliki kebiasaan mengernyitkan mata untuk mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole. Pasien miopia memiliki punctum remotum
yang
dekat
sehingga
mata
selalu
dalam
atau
berkedudukan konvergensi yang menimbulkan keluhan astenopia
konvergensi. Bila kedudukan mata ini menetap, maka pasien akan mengeluhkan juling atau esotropia.1 3. Faktor Risiko Miopia5 a. Keturunan. Orang tua dengan sumbu bolamata yang lebih panjang dari normal akan melahirkan keturunan yang serupa.. b. Ras/etnis. Ternyata, orang Asia memiliki kecenderungan miopia yang lebih besar (70%-90%) dari pada orang Eropa dan Amerika (30%-40%). Paling kecil adalah Afrika (10%-20%). c. Perilaku. Kebiasaan melihat jarak dekat secara terus menerus dapat memperbesar resiko miopi. Demikian juga kebiasaan membaca dengan penerangan yang kurang memadai. 4. Diagnosis Miopia Untuk mendiagnosis miopia dapat dilakukan dengan beberapa pemeriksaan pada mata, pemeriksaan tersebut adalah : a. Refraksi Subyektif Diagnosis miopia dapat ditegakkan dengan pemeriksaan refraksi subyektif, seperti yang telah diterangkan sebelumnya metode yang digunakan adalah dengan metode “trial and error” jarak pemeriksaan 6 m dengan menggunakan kartu Snellen. b. Refraksi Obyektif Terdapat dua jenis pemeriksaan refraksi objektif yaitu menggunakan
retinoskopi
dan
autorefraktometer.
Pada
pemeriksaan dengan retinoskopi, dengan lensa kerja sferis +2,00D pemeriksa mengamati refleks fundus yang bergerak berlawanan arah dengan arah gerakan retinoskop (against movement) kemudian dikoreksi dengan lensa sferis negatif sampai tercapai netralisasi. Pada pemeriksaan dengan autorefraktometer yaitu menentukan miopia atau besarnya kelainan refraksi dengan menggunakan komputer.
Gambar 5. Visus normal, mata Miopia, dan mata miopia yang sudah dikoreksi.
5. Penanganan Miopia Tujuan penanganan miopia adalah penglihatan binokular yang jelas, nyaman, efisien, dan kesehatan mata yang baik bagi pasien. Pilihan cara yang dapat mengatasi kelainan refraksi meliputi : a. Kacamata koreksi Pemilihan kacamata masih merupakan metode paling aman untuk memperbaiki refraksi. Keuntungan penggunaan kacamata yaitu lebih murah, lebih aman bagi mata, dan membutuhkan akomodasi yang lebih kecil daripada lensa kontak. Kerugian penggunaan kacamata yaitu menghalangi penglihatan perifer, membatasi kegiatan tertentu, dan mengurangi kosmetik. b. Lensa kontak Keuntungan
pemakaian
lensa
kontak
adalah
memberikan
penglihatan yang lebih luas, tidak membatasi kegiatan, kosmetik lebih baik. Kerugian penggunaan lensa kontak sukar dalam
perawatan, mata dapat merah dan infeksi, tidak semua orang dapat memakainya (mata alergi dan mata kering).4 c. Obat Obat-obatan sikloplegik kadang digunakan untuk mengurangi respon akomodasi terutama untuk mengatasi pseudomyopia. Beberapa penelitian menyatakan bahwa atropin topikal dan cyclopentolate mengurangi progresi miopia pada anak dengan youth
onset-myopia.
Namun
dilatasi
pupil
yang
terjadi
mengakibatkan silau. Selain itu terdapat reaksi alergi, reaksi idiosinkrasi, dan toksisitas sistemik, serta pemakaian atropin jangka panjang dapat mengakibatkan efek buruk pada retina. d. Orthokeratologi Tindakan ini bertujuan untuk mendatarkan kornea perifer sehingga sama datarnya dengan kornea sentral. Beberapa penelitian menunjukkan orthokeratologi dapat menurunkan miopia hingga 3,00 D; dengan rata-rata penurunan 0,75 – 1,00 D. e. Bedah refraktif Pembedahan ini dilakukan untuk memperbaiki penglihatan akibat gangguan pembiasan. Jenis pembedahan meliputi pembedahan di kornea (radial keratotomi, keratektomi fotorefraktif/photorefractive keratectomy/PRK, automated lamellar keratoplasti/ALK, LASIK) dan lensa (implantasi lensa intra ocular, clear lens extraction).
C. Astigmatisma Pada astigmatisma berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan tajam pada retina akan tetapi pada dua garis titik fokus yang saling tegak lurus atau lebih yang terjadi akibat kelainan kelengkungan permukaan kornea.
Gambar 6. Astigmatisma. Astigmatisma Miopia Simpleks [A]. Astigmatisma Hipermetropia Simpleks [B]. Astigmatisma Miopia Compositus [C]. Astigmatisma Hipermetropia Compositus [D]. Astigmatisma Mixtus.
1. Penyebab Astigmatisma a. Kornea Media refrakta yang memiliki kesalahan pembiasan paling besar adalah kornea, yaitu mencapai 80% s/d 90% dari astigmatisma, sedangkan media lainnya adalah lensa kristalin. Kesalahan pembiasan pada kornea ini terjadi karena perubahan lengkung kornea dengan tanpa pemendekan atau pemanjangan diameter anterior posterior bolamata. Perubahan lengkung permukaan kornea ini terjadi karena kelainan kongenital, trauma, luka atau parut di kornea, peradangan kornea serta akibat pembedahan kornea. b. Lensa Kristalin
Semakin bertambah usia seseorang maka kemampuan akomodasi lensa mata juga berkurang dan lama kelamaan lensa akan mengalami
kekeruhan
yang
menyebabkan
astigmatisma.
Astigmatisma yang terjadi karena kelainan pada lensa disebut dengan astigmastismus lentikuler. 2. Klasifikasi Astigmatisma a. Berdasarkan letak titik astigmatisma 1) Astigmatisma Reguler Astigmatisma dikategorikan reguler jika meridian-meridian utamanya mempunyai arah yang saling tegak lurus. Misalnya, jika daya bias terkuat berada pada meridian 90°, maka daya bias terlemahnya berada pada meridian 180°.
Bila ditinjau dari letak daya bias terkuatnya, bentuk astigmatisma reguler dibagi menjadi dua golongan, yaitu: a) Astigmatisme With The Rule Jika meridian vertikal memiliki daya bias lebih kuat dari pada meridian horizontal. Astigmatisma ini dikoreksi dengan Cyl – pada axis vertikal atau Cyl + pada axis horizontal. b) Astigmatisme Againts The Rule Jika meridian horizontal memiliki daya lebih kuat dari pada meridian vertikal. Astigmatisma ini dikoreksi dengan Cyl – pada axis horizontal atau Cyl + pada axis vertikal.
Sedangkan
menurut
letak
fokusnya
terhadap
retina,
astigmatisma reguler dibedakan menjadi lima jenis, yaitu: (Kesepakatan: untuk menyederhanakan penjelasan, titik fokus dari daya bias terkuat akan disebut titik A, sedang titik fokus dari daya bias terlemah akan disebut titik B) a) Astigmatisma Miopia Simpleks
Astigmatisma jenis ini, titik A berada di depan retima, sedangkan titik B berada tepat pada retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisma jenis ini adalah Sph 0,00 Cyl –Y atau Sph –X Cyl+Y di mana X dan Y memiliki angka yang sama. b) Astigmatisma Hipermetropia Simpleks Astigmatisma jenis ini, titik A berada di tepat pada retima, sedangkan titik B berada di belakang retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisma jenis ini adalah Sph 0,00 Cyl +Y atau Sph +X Cyl-Y di mana X dan Y memiliki angka yang sama. c) Astigmatisma Miopia Kompositus Astigmatisma jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik B berada di antara titik A dam retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisma jenis ini adalah Sph – X Cyl –Y. d) Astigmatisma Miopia Kompositus Astigmatisma jenis ini, titik B berada di belakang retina, sedangkan titik A berada di antara titik B dan retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisma jenis ini adalah Sph +X Cyl +Y.
e) Astigmatisma Mixtus Astigmatisma jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkat titik B berada di belakang retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisma jenis ini adalah Sph +X Cyl – Y atau Sph -X Cyl +Y.
Jika ditinjau dari arah axis lensa koreksinya, astigmatisma reguler ini juga dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: a) Astigmatisma Simetris
Pada astigmatisma jenis ini kedua bola mata memiliki meridian utama yang deviasinya simetris terhadap garis medial. Ciri yang mudah dikenali adalah axis silindris mata kanan dan kiri yang bila dijumlahkan akan bernilai 180°. Misalnya
kanan Cyl -0,50X45° dan kiri Cyl -
0,75X135° b) Astigmatisma Asimetris Jenis astigmatisma ini meridian kedua bolamatanya tidak memiliki hubungan yang simetris terhadap garis medial. Contohnya, kanan Cyl -0,50X45° dan kiri Cyl -0,75x55°. c) Astigmatisma Oblique Jenis
astigmatisma
ini
meridian
utama
kedua
bolamatanya cenderung searah dan sama-sama memiliki deviasi lebih dari 20° terhadap meridian horizontal atau vertikal. Misalnya kanan Cyl -0,50X45° dan kiri Cyl 0,75X45° 2) Astigmatisma Irreguler Bentuk
astigmatisma
ini
meridian-meridian
utama
bolamatanya tidak saling tegak lurus. Astigmatisma yang demikian bisa disebabkan oleh ketidakberaturan kontur permukaan kornea atau pun lensa mata, juga bisa disebabkan oleh adanya kekeruhan tidak merata pada bagian dalam bola mata atau pun lensa mata. b. Berdasarkan tingkat kekuatan Dioptri 1) Astigmatisma rendah Astigmatisma yang ukuran powernya < 0,50 Dioptri. Biasanya astigmatisma rendah tidak perlu menggunakan koreksi kacamata. Akan tetapi bila timbul keluhan pada penderita maka koreksi kacamata sangat perlu diberikan. 2) Astigmatisma Sedang
Astigmatisma yang ukuran powernya berada pada 0,75 Dioptri s/d 2,75 Dioptri. Pada astigmatisma ini pasien mutlak diberikan kacamata koreksi. 3) Astigmatisma Tinggi Astigmatisma yang ukuran porwernya > 3,00 Dioptri. Pada astigmatisma ini pasien mutlak diberikan kacamata koreksi. 3. Gejala Klinis Astigmatisma a. Memiringkan kepala b. Memutarkan kepala agar dapat melihat benda dengan jelas. c. Menyipitkan mata d. Pada saat membaca, penderita astigmatisma memegang bacaan mendekati mata untuk memperbesar bayangan. D. Hipermetropia1 Hipermetropia atau rabun dekat merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata di mana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina.
Gambar 7. Hipermetropia
Hipermetropia dapat disebabkan oleh karena hipermetropia aksial (sumbu anteroposterior pendek), hipermetropia kurvatura (kelengkungan kornea/lensa kurang), dan hipermetropia refraktif (indeks bias kurang). Hipermetropia dikenal dalam bentuk: 1.
Hipermetropia manifest
2.
Hipermetropia absolut
3.
Hipermetropia fakultatif
4.
Hipermetropia laten
5.
Hipermetropia total Gejala yang ditemukan pada hipermetropia adalah penglihatan
dekat dan jauh kabur, sakit kepala, silau, dan kadang ada rasa juling atau ganda. E. Presbiopia1 Presbiopia merupakan suatu keadaan di mana daya akomodasi berkurang pada usia lanjut. Gangguan akomodasi oada usia lanjut dapat terjadi akibat kelemahan otot akomodasi dan lensa mata tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya akibat sklerosis lensa.
Gambar 8. Presbiopia
Akibat gangguan akomodasi ini maka pada pasien berusia lebih dari 40 tahun akan memberikan keluhan setelah membaca, yaitu berupa mata lelah, berair dan sering terasa pedas. Pada pasien ini, lensa addisi untuk penglihatan dekat biasanya diberikan berdasarkan patokan umur : - 40 tahun
: + 1,00D
- 45 tahun
: + 1,50D
- 50 tahun
: + 2,00D
- 55 tahun
: + 2,50D
- 60 tahun
: + 3,00D
F. Analisis Kasus
Pada kasus ini, berdasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan diagnosis yang mengarah pada ODS astigmatisma miopia simpleks. Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluh penglihatan kedua mata kabur pada saat melihat jauh. Pasien masih bisa membaca tulisan dalam jarak dekat, tetapi pada jarak yang jauh dan tulisan berukuran kecil terlihat kabur dan lama kelamaan terasa pusing. Penglihatan kabur seperti melihat kabut (-). Penglihatan kabur tidak berkurang atau bertambah sejak dari awal dirasakan. Tidak ada mata merah, tidak ada nyeri/cekot-cekot pada mata, tidak ada nrocos, tidak ada silau, tidak ada kotoran mata. Faktor risiko yaitu pasien sering menonton TV pada jarak dekat, menggunakan laptop, dan menggunakan handphone dan pasien sering membaca pada jarak dekat. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa pada kelainan refraksi terjadi penurunan visus yang tidak disertai mata merah, nyeri, nrocos, dan silau. Pada pemeriksaan oftalmologis didapatkan visus OD 6/10 dan OS 6/10. Setelah dilakukan koreksi visus tanpa midriasis, visus terbaik didapatkan berdasarkan hasil pemeriksaan visus dan setelah dikoreksi visus menjadi OD 6/6 C -1,00 x 1710 dan OS 6/6 C -1,00 x 120. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pasien menderita ODS Astigmatisma Miopia Simpleks.
G. Penatalaksanaan Pemberian terapi kacamata sesuai koreksi dilakukan mengingat berbagai pertimbangan bagi pasien. Pemeriksaan visus 6 bulan kemudian juga disarankan untuk pasien untuk memantau progresi dari miopia yang dideritanya. Edukasi yang diberikan kepada pasien bertujuan untuk mencegah progresivitas astigmatisma secara cepat dan mempertahankan keadaan penglihatan sebaik mungkin.
DAFTAR PUSTAKA 1. Ilyas S. Tajam Penglihatan dan Kelainan Refraksi Penglihatan Warna. Dalam : Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai penerbit FK UI,2003. 2. Vaughan DG, Taylor A, Paul R. Oftalmologi Umum. Trans Suyono J (editor). 14th ed. Jakarta : Widya Medika,2000. 3. Kadir, Abdul. Hubungan Faktor Pekerjaan, Perilaku, Keturunan, Pencahayaan, dan Umur terhadap Kejadian Miopi di Jawa Tengah. [Universitas Indonesia Eprints],
1996.
[cited
27
Maret
2016].
Available
from
:
http://eprints.ui.ac.id/32826/ 4. Ilyas S. Kelainan Refraksi dan Kacamata. Jakarta: Balai penerbit FK UI,1997. 5. American Optometric Association. Myopia (Nearsightedness). 2010. [cited 27 Maret 2016]. Available from : http://www.aoa.org/myopia.xml