A. Pengertian menari dan menata tari Menurut Indriyaningsih (2013:293) menjelaskan bahwa Menari adalah dorongan jiwa manusia sejak anak-anak dalam mengekspresikan diri jika mendengar atau merasakan suatu irama tertentu baik yang datang dari dalam maupun dari luar dirinya. Kondisi berkesenian yang ada di masyarakat saat ini kebanyakan mengarah pada kesenian yang datang dari Barat, hal ini yang mengakibatkan banyak masyarakat melupakan atau menjauhkan diri dari kesenian tradisional yangmerupakan kekayaan daerah. Menurut Sari (2012:5) menjelaskan bahwa Ilmu menata tari merupakan ilmu yang mempelajari tentang tata cara menciptakan atau menggubah suatu karya tari. Ilmu menata tari biasa disebut dengan koreografi, ilmu koreografi adalah pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang penata tari dari mulai proses penggarapan gerak sampai pertunjukkan. Menurut Sekarningsih dan Robayan (2006: 71) menjelaskan bahwa menari pada dasarnya adalah mengekspresikan berbagai hal mengenai perasaan melalui gerak tari yang tentunya memiliki tujuan berdasarkan keinginan, daya cipta, kreativitas, imajinasi, dan interpretasi dari pelakunya. Menurut Sekarningsih dan Robayan (2006: 71) menjelaskan bahwa menata tari adalah seseorang yang merencanakan, mengatur, dan bertanggung jawab atas sebuah karya tari. Lebih jelasnya penata tari adalah bertugas untuk mendesain, merencanakan, dan membangun ditambah dengan bagaimana membuat karyanya bermakna di atas pentas lewat penafsiran penari-penari yang mempergelarkannya Secara umum, lebih banyak orang dapat menari dari pada menjadi penata tari, dikarenakan dalam menata tari diperlukan berbagai kemampuan untuk mewujudkannya. Baik menari maupun menata tari, pada dasarnya gerak adalah media ungkapan untuk mengekspresikan ide, tema, dan tujuan yang ingin dicapai. Gerak adalah bahasa komunikasi yang luas dan terkadang sarat dengan makna serta variasi dari berbagai kombinasi unsur-unsurnya terdiri dari berbagai “kata” gerak.
Dengan demikian, menari dan menata tari adalah ‘bermain’ melalui kata-kata, kalimat, dan alinea gerak. Menurut Sekarningsih dan Robayan (2006: 71-73) mengemukakan bahwa adapun hal-hal yang harus dimiliki baik oleh seorang penari maupun penata tari adalah sebagai berikut. 1. Keterampilan gerak Yaitu kemampuan atau penguasaan keterampilan gerak berdasarkan hasil eksplorasi, interpretasi, kreativitas, dan pengalamannya. Hal ini bisa didapat dari hasil belajar kepada guru/pakar tari maupun dari mengolah tubuhnya sendiri berdasarkan imajinasi dan bakat yang dimilikinya. Sudah barang tentu kemampuan bergerak ini menentukan kapasitas dan kualitasnya sebagai seorang penari ataupun penata tari. Dalam istilah tari kita, khususnya di Jawa kemampuan ini disebutnya wiraga. Berdasarkan bentuk geraknya, secara garis besar ada dua jenis tari, yaitu tari yang representasional dan tari yang nonton representasional (Soedarsono, 1977: 42). Tari yang representasional adalah tari yang menggambarkan sesuatu secara jelas, sedangkan tari non representasional adalah tari yang tidak menggambarkan sesuatu. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa baik taritarian representasional maupun yang non representasional dalam garapan geraknya terkandung dua jenis gerak, yaitu gerak-gerak maknawi (gesture) dan gerak-gerak murni (pure movement). Adapun yang dimaksud dengan gerak maknawi ialah gerak yang mengandung arti yang jelas, misalnya gerak menirukan bercermin yang artinya bisa jadi adalah gerak seorang putri yang sedang bersolek, gerak nyawang/sawang adalah gerak seperti sedang melihat jauh atau gerak menunjukkan jari tangan yang berarti perintah atau marah, dan gerak-gerak lainnya yang secara eksplisit dapat ditangkap maksudnya. Proses penggarapan karya tari dengan gerak maknawi seperti ini baru bernilai sebagai gerak tari yang dilakukan oleh seorang penata tari maupun penari, apabila melalui proses yang disebut stilisasi atau distorsi, yaitu misalnya untuk menunjukan seorang petani mencangkul tentu gerak tarinya tidak nyata seperti adanya petani mencangkul di sawah atau di ladang. Gerak lainnya adalah yang
disebut gerak murni, yaitu gerak yang digarap sekedar untuk mendapatkan bentuk yang artistik dan tidak dimaksudkan untuk menjelaskan sesuatu. Gerakgerak murni dalam karya tari banyak digunakan dalam garapan-garapan tari yang representasional. 2. Penghayatan Dan Kemampuan Dramatik Yaitu kemampuan yang harus dimiliki untuk bergerak dengan penuh perasaan (ekspresif). Artinya, seorang penari harus benar-benar menghayati gerak yang dilakukannya sesuai dengan tuntutan ideal atau karakter tari yang dibawakannya. Hal ini penting, sebab jika rangkaian gerak yang baik dibawakan tidak dengan keterlibatan emosi serta jiwa penarinya, maka tarian tersebut akan kelihatan kosong tidak berjiwa, inilah yang disebut kemampuan wirasa. Demikian pula dengan kemampuan untuk menafsirkan cerita dan tokoh yang dibawakan dalam sebuah tarian, harus sesuai dengan karakter atau peran tersebut. kemampuan menjiwai peran atau kemampuan dramatik menjadi penting, sebab kemampuan semacam ini dituntut dalam bentuk penyajian seperti tari Topeng, Wayang Wong/ orang, dan benuk-bentuk drama tari lainnya. Dalam kaitan ini pula, seorang guru pendidikan tari seyogyanya menekankan dan memperhatikan betul peserta didiknya dalam mengekspresikan kemampuannya, sehinga peserta didik dapat dengan
sendirinya menjiwai apa yang sedang dilakukan dengan geraknya.
Proses bimbingan dan mengarahkan serta cermat harus diupayakan dan teeentunya peran aktif guru dalam berkreativitas menjadi penting untuk keberhasilannya. 3. Peka Terhadap Ruang Yaitu kemampuan yang harus dimiliki seorang penari dan penata tari dalam menempatkan dirinya atau para penarinya sehinggan dapat mewujudkan keseimbangan pentas. Membentuk pola lantai atau posisi penari selayaknya disesuaikan dan diselaraskan dengan keadaan ruang pertunjukan sehingga tidak terkesan asal-asalan dan satu sama lain dari penari dapat terlihat jelas oleh penonton, namun demikian tetap memperhitungkan estetik dan arsistiknya. Selain itu, kesadaran akan pentingnya ruang diupayakan sebelum pertunjukan
ataupun dalam proses pembuatan karya tari, sudah diperhitungkan tata letaknya serta kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam pertunjukan yang akan disajikan, termasuk dalam pelaksanaanya penari maupun penata tari mampu secara spontanitas atau berimprovisasi mengenai kesadaran akan ruang tersebut. artinya, baik ditempat pertunjukan terbuka maupun tertutup (gedung) keselarasan penataan ruang mutlak menjadi perhatian bagi penari maupun penata tari. 4. Rasa Irama Yaitu kemampuan membedakan frasa-frasa yang menjadi bagian pokok dari musik pengiring. Artinya, seorang penari dituntut memiliki kemampuan bergerak baik seirama dengan ketukan ataupun di sela-sela ketukan. Misalnya dengan cermat dan tepat mengenali irama pukulan gendang ataupun aksen-aksen musik pengiringnya. Disamping itu, seorang penari harus mampu pula melakukan irama gerak tari, yang meliputi pengaturan cepat dan lambat (tempo), berat-ringannya gerak, serta peletakan aksen-aksen gerak sesuai dengan kebutuhan tarian. Dengan demikian, tarian akan kelihatan lebih dinamis dan enak dilihat karena ada keselarasan antara gerak dengan iramanya, hal ini bisa disebut pula dengan kemampuan wirahma. 5. Kemampuan Mengingat Yaitu kemampuan seseorang untuk menghapalkan gerak tari yang akan dibawakannya, baik itu dari segi susunannya, posisinya (pola lantai), musik iringannya, maupun hal-hal lainnya untuk kepentingan sebuah pertunjukan tari. Kemampuan mengingat ini bisa dilatih melalui proses yang terus menerus dilakukan berdasarkan teknik dan karakteristik tarian yang akan diungkapkan. Sudah barang tentu usaha ini harus dilakukan dengan penuh kesabaran dan keyakinan, bahwa tarian tersebut dapat dikuasai dengan baik. 6. Kemampuan Kreatif Yaitu kemampuan yang pada umumnya mendorong daya cipta seseorang untuk menemukan hal-hal baru, disebabkan adanya stimulus atau rangsangan baik dari dalam maupun dari luar dirinya. Dalam tari pendidikan yang dilakukan
disekolah, kemampuan kreativitas ini merupakan salah satu unsur pokok yang harus dihasilkan oleh peserta didik, tentu atas dorongan dan peran serta guru dalam proses interaksi belajar mengajarnya. Masalahnya adalah bagaimana guru dapat memberikan stimulus kepada para siswa, sehingga mereka dapat mengekspresikan segala kemampuan yang dimilikinya. Sudah barang tentu modal yang utama adalah guru yang berkompeten dan memiliki pemahaman akan tujuan pendidikan tari bagi para siswa di sekolah. Menurut Jacqueline Smith dalam bukunya yang berjudul Dance Composition A Practical Guide for Teacher (1976) menjelaskan bahwa pengajar pendidikan seni pada umumnya menaruh perhatian terhadap siswa yang setapak demi setapak melangkah dari pentas eksperimental menuju pentas konstruksi yang ditata dengan makna, dan membawa kepada sesuatu yang dilengkapi berbagai komponen bentuk seni. Demikian pula dengan tari, lebih lanjut tidak saja terhadap tari sebagai kegiatan belajar tetapi lebih mencurahkan waktu untuk menuju kepada seni menata tari, yang diharapkan guru tari dapat memperhitungkan skema kerja tentang komposisi tari sehingga siswa dapat diarahkan kepada realitas seni dan mengembangkan bakat artistik serta kesadaran estetis. Oleh karena itu, pengetahuan tari sebagai bentuk seni hanya dapat dicapai melalui pengalaman menari, menyusun, mementaskan, dan mengamatinya. Tari yang menarik menjadi penting untuk diketahui oleh guru dan peserta didik, karena tari yang menarik menjadi salah satu motivasi untuk dapat dipelajari dan dipergelarkan. Guru diharapkan dapat menjelaskan kepada anak, bahwa menari bukan hanya sekedar untuk kesenangan bergerak. Dengan begitu, pembelajaran tari yang mencakup kegiatan menari, mencipta, dan mengamati/mengapresiasi dapat berjalan dengan menarik, penuh variatif, serta dapat membantu peserta didik untuk berkembang kearah kedewasaan berfikir dan bertingkah laku.
B. Tema tari Menurut Sekarningsih dan Robayan (2006: 77) mengemukakan bahwa pada dasarnya setiap tari memiliki tema yang ingin diungkapkan dan disampaikan. Berbagai sumber dapat digunakan untuk dapat dijadikan tema dari sebuah tarian, bisa berasal dari apa yang dilihat, apa yang didengar, apa yang dipikirkan, dan dari apa yang dirasakan. Selain itu dapat juga diambil dari pengalaman hidup, kondisi sosial masyarakat, ritual agama, dongeng, cerita rakyat, khayalan, sejarah, kesan, dan dari fenomena lainnya. Pokok permasalahan untuk tema dari itu sangat luas, namun seniman tari menggarap temannya tidak akan jauh dari masalah besar diseputar tema Tuhan (hubungannya dengan Sang Pencipta), tema manusia (apa yang dirasakan tentang dirinya dengan dengan orang lain), dan tema lingkungan (hubungan dengan alam disekitarnya). Adapun sumber tema tari yang utama terletak pada kekayaan pengalaman jiwa penciptanya yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk tari yang diinginkan. Oleh karena itu, pada umumnya penata tari dituntut memiliki pengetahuan yang luas, rajin dan cermat mengumpulkan kesan-kesan dan imajinasi, serta peka dan terlatih dalam melihat dan mendengarkan peristiwa serta benda-benda di sekelilingnya Adapun sumber tema tari yang utama terletak pada kekayaan pengalaman jiwa penciptanya yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk tari yang diinginkan. Oleh karena itu, pada umumnya penata tari dituntut memiliki pengetahuan yang luas, rajin dan cermat mengumpulkan kesan-kesan dan imajinasi, serta peka dan terlatih dalam melihat dan mendengarkan peristiwa serta benda-benda di sekelilingnya. Berikut ini contoh tema-tema tari yang mungkin sudah kita kenal dan mengerti mengenai maksud atau tujuan yang ada dibalik penciptaannya, misalnya saja sebagai berikut. 1.
Gatotkaca Gandrung
2.
Sangkuriang
3.
Bisma Gugur
4.
Di Taman
5.
Perang
6.
Dewa-Dewi
7.
Pemulung
8.
Pesta Desa
9.
Pahlawan
10. Lutung Kasarung dan lain-lain. Menurut Sekarningsih dan Robayan (2006: 78) mengemukakan bahwa tema cerita banyak dilakukan dalam garapan tari dengan mengorbankan kekuatan ekspresif dari gerak, yakni lebih mementingkan urutan dan kejelasan cerita, tanpa memperhatikan kekuatan medium ungkap tari itu sendiri, yaitu gerak. Pendekatan semacam ini dikenal sebagai pendekatan yang deskriptif dan literasi. Sebenarnya lewat geraklah, seorang penari mampu menggugah emosi, membangkitkan rasa kinetik, serta mengungkapkan kelembutan gerakan tubuh dan kehalusan jiwa. Menurut Sal Murgiyanto dalam bukunya yang berjudul Koreografi (1992: 44) dijelaskan bahwa, dalam menggarap tari dengan tema cerita tidak boleh menganggap tari sekedar alat bercerita, melainkan harus mencari dan berusaha untuk mengungkapkan situasi-situasi emosional yang kuat dan menyentuh rasa yang terdapat di dalam lakon, legenda, cerita, atau mitologi yang kita garap, agar karya dapat memikat. Bahkan jika perlu untuk kepentingan ini urutan cerita bisa dikorbankan. Sungguhpun demikian, mungkin tidaknya sebuah tema dianggap menjadi tema tari, sangat bergantung kepada kemampuan dan kepribadian seseorang. Lebih lanjut dijelaskan, mengutip anjuran La Meri bahwa, sebelum bekerja seorang penata tari harus mempertanyakan beberapa hal diantaranya sebagai berikut. 1. Apakah ide tari benar-benar memadai untuk diungkapkan lewat gerak? 2. Apakah ide tari benar-benar bernilai bagi penciptanya? 3. Apakah ide tari mampu berkomunikasi kepada penonton? 4. Apakah penata tari dan penari cukup memiliki keterampilan untuk mewujudkan tema tari? 5. Apakah peralatan-peralatan teknis tersedia bagi terwujudnya ide tari itu?
Selain itu, seorang penata tari harus menyadari keberhasilan sebuah karya tidak hanya bergantung kepada kekuatan pribadi dan kekayaan pengalaman penciptanya, tetapi juga kepada kekayaan pokok masalah yang diungkapkan. Artinya bahwa, bahasa tari itu memiliki pula keterbatasan dan hendaknya tidak dipaksakan berkomunikasi di luar jangkauannya. Selanjutnya agar tersusun penataan tari, terlebih dahulu menetapkan komposisi atau bentuk tari yang akan dibuat secara lebih spesifik. Adapun jenisnya dapat bermacammacam yang nantinya dapat disebut pula kerangka atau tema tarian yang antara lain sebagai berikut. 1. Tari Murni Yaitu tari yang dimaksudkan untuk menjelaskan berbagai hal mengenai tari yang berasal dari rangsang kinestetik, dan secara eksklusif hanya memandang gerak itu sendiri sebagai dasar pijakannya. Gerak tari murni ini tidak dibatasi oleh apapun, namun sebenarnya memiliki beberapa ciri khas yang masing-masing mempunyai penekanan gerak berbeda. Pada dasarnya gerak tari murni ini dihasilkan atas kemampuan individual dari para penari yang satu sama lain dapat berbeda dari gaya penampilannya. 2. Tari Abstrak Yaitu bisa dikatakan tari yang tidak kongkrit kadang tidak memiliki tujuan atau tanpa menggunakan cerita. Walaupun abstrak istilah yang membingungkan, dalam kenyataannya para penata tari ada yang membuat dan mempergelarkan hasilnya, seperti misalnya bila ada dari penata tari yang menyajikan deretan gerak tak berkaitan atau terkesan tidak ada hubungannya, oleh sebab itu gerak yang tidak terprogram dianggap sebagai tari abstrak. Dengan kata lain, tari adalah abstrak bila tari itu merupakan hasil dari abstraksi, yaitu sesuatu yang terdiri atau mengkonsentrasikan dalam diri sesuatu tersebut tentang kwalitas esensi yang lebih luas. 3. Tari Dramatik dan Dramatari Pada dasarnya ada perbedaan antara tari dramatik dengan dramatari, yaitu kalau tari dramatik akan memusatkan perhatian atau fokus garapannya pada sebuah
kejadian atau suasana yang tidak menggelarkan cerita, sedangkan dramatari sebaliknya yaitu mempunyai cerita untuk disajikan dan begitu juga sebenarnya pada episode tari dramatik, atau adegan/babak dalam penyusunan urutan tertentu. Misalnya saja tari yang menggambarkan penderitaan seorang ibu yang ditinggal anaknya dapat disebut tari dramatik, akan tetapi penggambaran cerita seorang ibu tersebut sesungguhnya akan menjadi dramatari, jika disajikan sesuai dengan kerangka kerja garapan dramatari. Dapat dikatakan pula, bahwa tari dramatik mengandung gagasan yang dikomunikasikan atau diungkapkan sangat kuat dan penuh daya pikat, dinamis, dan banyak ketegangan, serta dimungkinkan pula melibatkan konflik antara orang seorang dengan dirinya atau dengan orang lain.
C. Karakteristik Tari Anak di Sekolah Dasar Menurut Sekarningsih dan Robayan (2006: Karakteristik tari anak SD (Sekolah Dasar) merupakan ciri-ciri khusus tari untuk anak SD, Sesuai dengan kemampuan dasar dan kebutuhan anak usia SD dari sisi intelektual, emosional, sosial, fisikal, perseptual, estetik, dan kreatif. Tujuan pendidikan seni khususnya seni tari di sekolah dasar bukanlah anak menjadi seorang seniman tari, melainkan diharapkan siswa mendapatkan pengalaman seni, baik praktik maupun apresiasi. Menurut Millar & Whitcomb (Juju Masunah & Tati Narawati, 2003: 265) Tiga komponen dalam usaha mewujudkan pembelajaran tari yakni : 1. Dasar-dasar dan variasi gerakan dapat diwujudkan dari cara berjalan, berlari, meloncat, mendorong, terjatuh dan lain-lain yang dapat dilatih dengan tempo dan ritme yang bervariasi, baik secara individu maupun kelompok. 2. Tari dan ritmik kreatif adalah gerak yang dihasilkan berdasarkan ungkapan kreatif siswa melalui responnya dari stimulus seperti musik, iringan perkusi, cerita, nyanyian, gambar, puisi, peniruan gerakan (olahraga, bekerja) perasaan, warna dan sebagainya. 3. Tari rakyat terkait dengan nyanyian permainan dan tarian rakyat yang disajikan secara lingkaran, berjajar, segiempat dan sebagainya.
Menurut Ruth Murray (Richard Crause, 1969: 278) terdapat empat kategori pengalaman tari bagi anak yaitu : 1. Gerak kreatif dan kemampuan gerak (creative movement and movement skills). 2.Kemampuan
irama
(rhythmic
skills,
related
primarily
to
musical
understanding and rhythmic competence). 3. Pengembangan tari secara individu dan kelompok (the development of original individual or group dances). 4. Belajar menari, nyanyian permainan, permainan, dan tari rakyat (learning dances, such as singing games, play parties, and folk and square dances).
Kategori Kegiatan
Usia 5-7 tahun
Usia 8-10 tahun
Usia 11-13 tahun
30 %
25 %
20 %
20 %
15 %
20 %
30 %
20 %
menari, 10 %
20 %
40 %
Gerak kreatif dan 50 % kemampuan gerak Kemampuan ritmik atau irama Pengembangan tari individu dan kelompok Belajar nyanyian permainan,
dan
tari rakyat Menurut Sekarningsih, F., & Rohayani, H (2006: 95) tari yang sesuai dengan kemampuan dasar dan kebutuhan anak usia SD (6-13 tahun) dari sisi intelektual, emosional, sosial, perseptual, fisikal, estetik dan kreatif, sebagai berikut : 1. Tari bertema Pemebelajaran tari di sekolah kiranya akan lebih cocok jika menyampaikan atau mengungkapkan sebuah tema yang jelas dan dapat diketahui tujuannya oleh
para siswa. Pertimbangan akan tarian itu bertema adalah agar para siswa dapat berekspresi sesuai tuntutan tema tarian yang dipelajarinya. Dengan demikian, diharapkan kepekaan rasa, kematangan sikap dan perilaku, mengambil keputusan, serta aspek-aspek lainnya dapat terasah dan termotivasi untuk dapat diungkapkan melalui pembelajaran tari. Tujuan diberikan tari yang dominan memiliki tema adalah memberi kesempatan kepada para siswa untuk mengungkapkan pengetahuan dan pengalaman terhadap sesuatu yang dilihat dan didengarnya, serta memberi kesempatan mengungkapkan hal-hal yang dirasakannya. 2. Gerak tari tiruan (Imajinatif) Proses kegiatan praktik tari dalam gerak bersifat tiruan (imajinatif), merupakan salah satu langkah untuk para siswa dapat berekspresi secara individual sebebas mungkin sesuai interpretasi terhadap objek yang ditirukannya. Tujuannya tiada lain memberi kesempatan untuk menampilkan situasi kehidupan nyata berdasarkan kemampuannya dalam memahami dan menanggapi hal-hal yang dilihat, didengar, dan dirasakannya, memberi kesempatan untuk bereksplorasi hal-hal yang dikenalnya, tentang lingkungan sekitar, dan tentang mereka sendiri. 3. Diiringi Musik Pada proses pembelajaran tari untuk anak SD seyogyanya dapat diberikan melalui berbagai rangsangan/stimulus suara musik yang dimainkan. Sudah barang tentu dengan adanya musik para siswa dituntut untuk dapat memadukan antara gerak dengan musik yang didengarnya, sehingga terwujud keserasian karya tarinya. 4. Gerak tari lebih variatif Tari untuk anak usia SD lebih baik lebih menghasilkan gerakan-gerakan yang variatif dengan kombinasi beraneka ragam. Tujuan dari gerak yang variatif ini tiada lain memberi kesempatan kepada anak untuk memperlihatkan pengendalian
otot
pada
seluruh
tubuhnnya
dengan
kemampuan
mengaplikasikan gerak dari berbagai kemungkinan serta kebutuhannya.
5. Masalah waktu menari Kecenderungan anak usia SD tentang lamanya waktu, baik ketika proses latihan maupun kebutuhan waktu disaat pentas tidak memakan atau menggunakan waktu yang terlalu lama artinya durasi sebuah tarian jangan terlalu lama sehingga menimbulkan kebosanan dan kelelahan bagi para siswa terutama bagi siswa kelas 1, 2, dan 3. Rentang waktu yang digunakan kira-kira cukup antara 5-10 menit. Namun demikian, hal ini masih bersifat relatif amat bergantung dengan suasana kelas dan kemampuan seorang guru dalam praktiknya. 6. Pola lantai sederhana Pengaturan pola lantai dalam proses belajar tari diupayakan sederhana agar para siswa tidak dibuat rumit. Tujuannya memberi kesempatan dalam kegiatan yang kompleks, yakni bergerak sambil melakukan perubahan posisi tempat menari dan melakukan perubahan arah. Oleh sebab itu, pertimbangkan tingkatan kelas anak, sebab kemampuan anak untuk konsentrasi menghafal urutan gerak sekaligus menghapal urutan pola lantai sangat beraneka ragam. 7. Bentuk Tari Dalam pembelajaran tari, upayakan bentuk tari bersifat kelompok, sehingga para siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan kebutuhan sosialnya. Dengan menari berkelompok anak mendapatkan berbagai hal positif dalam berhubungan dengan orang lain, memperhatikan dan peka terhadap orang lain (toleran), dan saling berbagi kesempatan dalam kegiatan.
Sekarningsih, F., dan Robayan, H. (2006). Pendidikan Seni Tari dan Drama. Bandung: UPI PRESS http://www.ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/insania/article/view/1461 Indriyaningsih, Y. (2013). Jurnal INSANIA VOL.18 NO. 2. Model Kegiatan Seni Tari Untuk Membentuk Akhlak Peserta Didik Di SD Rabu, 6 Maret 2019, pada pukul 07.22
https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/gesture/article/view/873/683 Sari, M. (2012). Jurnal Seni Tari VOL.1 NO. 2. Peranan Ilmu Menata Tari Pada Karya Tari Di Lembaga Pendidikan Seni Semenda Rabu, 6 Maret 2019, pada pukul 06.50.11