PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latarbelakang Sejarah perjalanan pelaksanaan pemerintahan daerah di
Indonesia senantiasa mengalami pasang surut seiring dengan perkembangan
sistem
ketatanegaraan
Indonesia.
Beragam
peraturan perundang-undangan terkait yang mengatur secara khusus tentang pemerintahan daerah bergulir sejak Negara ini berdiri. Dimulai
dari
Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
1945,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, UndangUndang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan terakhir Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015. Hal ini membuktikan bahwa implementasi terhadap pemerintahan
daerah
begitu
rumit
dan
kompleks
karena
banyaknya persoalan yang perlu diatur dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari hal di atas, tampak berbagai persoalan muncul seiring dengan semangat tuntutan akan pelaksanaan desentralisasi 1|Page
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
secara utuh oleh pemerintah daerah. Pemerintahan daerah senantiasa bergerak menuju kepada penataan kelembagaan yang lebih baik lagi mulai dari tingkatan desa sampai dengan level provinsi. Kompleksitas pengaturan berkaitan dengan kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah menjadi isu hangat setiap
periodeisasi
undangan
yang
dari
pelaksanaan
berkaitan
dengan
peraturan
perundang-
pemerintahan
daerah.
Hubungan pemerintah dan pemerintah daerah tidak luput juga menaruh andil terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Pada level dibawahnya, hubungan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota serta hubungan antara pemerintah kabupaten/kota dengan desa-desa yang ada dibawahnya menjadi perbincangan hangat dalam rangka menemukan formulasi yang tepat guna mengatur persoalan-persoalan di atas. Topik-topik yang berkaitan dengan pengaturan kewenangan dan hubungan serta keuangan menjadi topik yang sentral yang mewarnai
setiap
perubahan
terhadap
peraturan
perundang-
undangan yang berkaitan dengan pemerintahan daerah. Tarik ulur kepentingan di pusat dan daerah hingga desa tidak dapat dilepaskan begitu saja dari perjalanan pemerintahan daerah yang ada saat ini. 2|Page
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Sejarah memberikan fakta bahwa pasca reformasi, UndangUndang 22 Tahun 1999 maupun Undang-Undang 32 Tahun 2004 telah memberikan ruang yang begitu besar bagi pemerintah daerah untuk dapat mengurus urusan rumah tangganya sendiri melalui
asas
desentralisasi.
Akan
tetapi
masih
terdapat
kekurangan di sana sini dalam praktek dilapangan. Pemecahan
Undang-Undang
32
Tahun
2004
menjadi
beberapa bagian khusus, tentunya akan berdampak kepada pelaksanaan otonomi daerah yang ada saat ini. Sebagaimana diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dipecah menjadi beberapa bagian pengaturan antara lain; pemerintahan daerah, desa, dan pemilihan kepala daerah. Ini menunjukkan bahwa Undang-Undang 32 Tahun 2004 yang digunakan ± 10 tahun memuat begitu banyak pengaturan terkait pemerintahan daerah yang pada akhirnya menyisakan berbagai persoalan. Semangat lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan Undang-Undang 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang3|Page
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang. Dari ketentuan di atas yang sudah berlaku, secara tidak langsung mempengaruhi produk hukum di daerah baik peraturan daerah, peraturan kepala daerah maupun yang lainnya yang sebelumnya sudah berlaku terlebih dahulu. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyisiran terhadap produk-produk hukum daerah khususnya peraturan daerah yang tidak lagi sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah maupun desa yang berlaku saat ini agar dapat segera untuk
disesuaikan
kewenangan
antara
sehingga
tidak
pemerintah
terjadi
provinsi
tumpang dan
tindih
pemerintah
kabupaten/kota. Dengan melihat matriks pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota sebagaimana terdapat dalam lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
dapat
diketahui
bahwa
terdapat
beberapa
urusan
pemerintah kabupaten/kota yang telah beralih menjadi urusan pemerintah provinsi. Urusan-urusan
yang
sebelumnya
menjadi
urusan
pemerintah kabupaten/kota yang diperkuat dengan peraturan 4|Page
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
daerah tentunya secara hukum perlu untuk direvisi mengingat urusan tersebut kini bukan lagi menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota melainkan menjadi urusan pemerintah provinsi. Sejalan dengan itu juga, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa juga memberikan dampak tersendiri terhadap pelaksanaan pemerintahan desa yang ada saat ini. Beberapa ketentuan yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa sudah tidak lagi sejalan dengan peraturan daerah yang ada saat ini. Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas, dapat diketahui
terdapat
permasalahan
yang
muncul
pasca
diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan kewenangan Pemerintah
Daerah yang
khususnya
dimiliki
Kabupaten/Kota.
antara
yang
berkaitan
Pemerintah
Tentunya
hal
ini
dengan
Provinsi akan
dan turut
mempengaruhi produk hukum daerah yang ada saat ini yang berkaitan dengan hal-hal dimaksud di atas. Terkait dengan hal di atas, fokus penelitian ataupun pengkajian hukum yang akan dilakukan ini berfokus pada peraturan daerah-peraturan daerah yang ada di Kabupaten Bintan 5|Page
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
periode tahun 2004 sampai dengan 2014. Berikut daftar Peraturan daerah Kabupaten Bintan periode 2004 sampai dengan Periode 2014. Tabel 1.1 Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Periode 2004 – 2014 Nomor Regulasi Nama Regulasi 03/2004 Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 30 Tahun 2001 Tentang Rencana Stratejik (Renstra) Kabupaten Kepulauan Riau Tahun 2002 - 2006 04/2004 Pajak Reklame 05/2004 Pajak Restoran 06/2004 Pajak Hotel 08/2004 Penyertaan Modal Daerah Pada Pihak Ketiga 10/2004 Pajak Hiburan 11/2004 Izin Usaha Perfilman 12/2004 Pembentukan Kijang Kota, Kelurahan Sungai Enam, Kelurahan Gunung Lengkuas, Kelurahan Sungai Lekop Di Kecamatan Bintan Timur Dan Kelurahan Kawal Di Kecamatan Gunung Kijang 01/2005 Kedudukan Keuangan Ketua, Wakil Ketua Dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kepulauan Riau 06/2005 Kedudukan Protokoler Ketua, Wakil Ketua Dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kepulauan Riau 07/2005 Retribusi Parkir 12/2005 Pembentukan Organisasi Dinas Daerah Kabupaten Kepulauan Riau 13/2005 Pembentukan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Kepulauan Riau 02/2006 Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor : 1 Tahun 2005 Tentang Kedudukan Keuangan Ketua, Wakil Ketua Dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bintan 03/2006 Pembentukan Dana Cadangan 04/2006 Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2005 6|Page
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
06/2006 07/2006
08/2006 03/2007 07/2007 08/2007 09/2007 10/2007 02/2008 03/2008 04/2008 05/2008 06/2008 07/2008 08/2008 09/2008 10/2008 11/2008 12/2008 13/2008 16/2008
Penyelenggaran Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pembentukan Organisasi Dinas Daerah Kabupaten Bintan Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 3 Tahun 2006 Pembentukan Dana Cadangan Retribusi Pelayanan Kependudukan Dan Catatan Sipil Badan Permusyawaratan Desa Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan, Pelantikan Dan Pemberhentian Kepala Desa Pedoman Pembentukan Dan Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Pedoman Penyusunan Organisasi Dan Tata Kerja Pemerintah Desa Perangkat Desa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2005-2010 Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan Desa Dan Kelurahan Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Kabupaten Bintan Pembentukan Organisasi Sekretariat Daerah Dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bintan Pembentukan Organisasi Dinas Daerah Kabupaten Bintan Pembentukan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Bintan Pembentukan Organisasi Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bintan Pembentukan Organisasi Kecamatan Dan Kelurahan Kabupaten Bintan Penyerahan Urusan Pemerintahan Kabupaten Bintan Kepada Pemerintahan Desa Pengelolaan Terumbu Karang Keuangan Desa Pengikatan Dana Kegiatan Tahun Jamak Unmtuk Pembangunan Kantor Bupati Bintan Dan Kantor Kantor Dewan Perwakilan Rakyat 7|Page
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
02/2009 03/2009 04/2009 05/2009 06/2009
07/2009
08/2009 09/2009
10/2009 02/2010 03/2010
06/2010 07/2010
01/2011 02/2011 03/2011 04/2011
Daerah Kabupaten Bintan Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 5 Tahun 2002 Tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Dasar Pada Puskesmas Perencanaan Pembangunan Desa Tata Cara Pelaporan Pertanggungjawaban Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Pedoman Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa Dan Perubahan Status Desa Mejadi Kelurahan Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Kelurahan Toapaya Asri Di Kecamatan Gunung Kijang, Desa De... Penyertaan Modal Dan Penambahan Penyertaan Modal Pemerintah Kabupaten Bintan Kepada Pt. Bank Riau, Dan Pd. Bank Perkreditan Rakyat Bintan Untuk Tah... Pedoman Pembentukan, Penghapusan Dan Penggabungan Kelurahan Pencabutan Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Riau Nomor 4 Tahun 1993 Tentang Pembentukan Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Kepulauan Riau Da... Retribusi Pelayanan Laboratorium Pengujian Mutu Konstruksi Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Badan Usaha Milik Daerah Perseroan Terbatas (Pt) Bintan Int... Kewajiban Pandai Baca Tulis Al-Qur’an Dan Mendirikan Shalat Bagi Anak Usia Sekolah Yang Beragama Islam Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Riau Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Pembentukan Perusahan Daerah Bank Perkreditan Rakyat (Pd.... Pajak Daerah Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2011 Retribusi Jasa Umum Retribusi Jasa Usaha 8|Page
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
05/2011 06/2011 07/2011 08/2011
09/2011
11/2011 01/2012 02/2012 03/2012 04/2012 05/2012 06/2012 07/2012 08/2012 09/2012 12/2012 13/2012 01/2013 02/2013 03/2013
Retribusi Perizinan Tertentu Pengawassan Dan Pengendalian Minuman Beralkohol Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bintan Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Binta Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Organisasi Dinas Daerah Kabupaten Bintan Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Bintan Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Pengelolaan Pertambangan Mineral Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bintan Tahun 2011 - 2031 Pembentukan Organisasi Dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bintan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun 2012 Penambahan Penyertaan Modal Pemerintah Kabupaten Bintan Kepada PT. Bank Riau Kepri Untuk Tahun 2011 S/D 2014 Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bintan Pembentukan Organisasi Dan Tata Kerja Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bintan Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran Penyelenggaraan Pendidikan Penyelenggaraan Kebersihan Penataan Dan Penggunaan Tanah Untuk Keperluan Tempat Pemakaman Bangunan Gedung Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2010 - 2015 Tentang Pertanggung Jawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah 9|Page
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
04/2013 05/2013
06/2013 07/2013
08/2013
09/2013 10/2013 11/2013 01/2014 02/2014 03/2014 04/2014 05/2014 06/2014 07/2014 09/2014 10/2014
Tahun Anggaran 2012 Pembentukan Organisasi Sekretariat Daerah Dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bintan Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Bintan Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Riau Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Pembentukan Perusahan Daerah Bank Perkreditan Rakyat (PD.BPR) Bintan Tentang Penambahan Penyertaan Modal Pemerintah Kabupaten Bintan Kepada Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Bintan Untuk Tahun 2013 S/D 2017 Tentang Perubahan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2013 Tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2014 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak Tentang Pembentukan Lembaga Penyiaran Publik Lokal Radio Bintan Fm Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Di Daerah Tentang Pembentukan Badan Usaha Milik Daerah Kepelabuhan PT. Bintan Karya Bahari Tentang Pelayanan Kesehatan Pada Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bintan Tentang Hibah Dan Bantuan Sosial Dalam Bantuan Pembinaan Keagamaan Tentang Perubahan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2014 Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2015 10 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Sejalan dengan hal tersebut, maka dirumuskanlah permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan kewenangan antara Pemerintah Pusat,
Pemerintah
Provinsi
dan
Pemerintah
Kabupaten/Kota berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah? 2. Peraturan Daerah apa saja yang mengalami perubahan pasca
diundangkannya
Undang-Undang
Nomor
23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah di Kabupaten Bintan?
1.2
Dasar Hukum Kegiatan Dasar Hukum dari kegiatan ini adalah sebagai berikut: a. Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
1.3
Tujuan Kegiatan Kegiatan Kajian Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten
Bintan ini bermaksud untuk mengidentifikasi dan menghasilkan informasi yang komprehensif, padat dan jelas mengenai potensi 11 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
dan
permasalahan
yang
terjadi
sebagai
dampak
dari
diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah
di
Kabupaten
Bintan
sebagai
bahan
pertimbangan dalam melakukan revisi terhadap Peraturan Daerah yang telah ada saat ini di Kabupaten Bintan dan sebagai pijakan dalam penyusunan program legislasi daerah di Kabupaten Bintan. Tujuan pelaksanaan kegiatan Kajian Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan ini adalah: a. Mengetahui dampak yang terjadi akibat diundangkannya Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2014
Tentang
Pemerintahan Daerah terhadap peraturan daerah yang berlaku saat ini di Kabupaten Bintan. b. Menginventarisir
peraturan
daerah-peraturan
daerah
yang ada saat ini di Kabupaten Bintan yang sudah tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
1.4
Ruang Lingkup Kegiatan Ruangan lingkup kegiatan meliputi lingkup wilayah yaitu
Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau dan lingkup materi atau substansi kegiatan sebagai berikut :
12 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
a. Melakukan kajian literatur dan kebijakan terkait untuk mendapatkan
pemahaman
kebijakan
pembangunan
jangka menengah dan jangka panjang, visi, misi tujuan dan sasaran pembangunan Kabupaten Bintan dikaitkan dengan produk hukum daerah. b. Mengidentifikasi
permasalahan
yang
timbul
atas
diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan
Daerah
terhadap
peraturan
daerah yang berlaku saat ini di Kabupaten Bintan. c. Mengidentifikasi peraturan daerah yang ada saat ini di Kabupaten
Bintan
Undang-Undang
yang
Nomor
tidak 23
lagi
Tahun
sejalan
dengan
2014
Tentang
Pemerintahan Daerah. d. Mengidentifikasi rancangan peraturan daerah yang dapat diusulkan pada Proglam Legislasi Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2016.
13 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
BAB II KAJIAN TEORITIS
2.1
Perkembangan Pemerintahan Daerah
2.1.1 Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Yang Berlaku Pada Masa Orde Lama (1945–1965) R.P Soeroso dalam tulisannya di waktu negara kesatuan Republik Indonesia baru saja terbentuk kembali ditahun 1950, berkata : “Yang amat penting pula dengan segera diselenggarakan ialah pemerintahan di daerahdaerah, oleh karena pemerintahan di daerah itu adalah sendi negara kesatuan. Sendi ini harus baik dan sentosa agar supaya negara kesatuan mempunyai pemerintahan yang stabil. Daerah-daerah yang sebelum negara kesatuan terbentuk, sama menunjukkan keinginannnya untuk mendapat otonomi yang teratur baik, harus dengan segera diberi otonomi itu, agar supaya daerah-daerah itu dengan segera dapat merasakan bahwa daerahdaerah itu dalam ketatanegaraan tidak mengalami kemunduran”1. Seiring dengan tulisan di atas, maka tulisan Soepomo dalam majalah yang sama, dimana ditulis antara lain : “soal yang telah sejak zaman Hindia Belanda, bahkan semenjak zaman pra-kolonialisme Belanda sulit untuk 1 R.P Soeroso, Isi Negara Kesatuan, dalam majalah Mimbar Indonesia, 1950, tahun dan nomor penerbitan tidak diketahui, dalam Solly Lubis, Perkembangan Garis Politik dan Per-Undang-Undangan Pemerintahan Daerah, Alumni, Bandung, 1983.
14 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
mencari pemecahan yang tepat dan benar ialah soal sistem pemerintahan daerah di dalam negara kesatuan Republik Indonesia”, “Maka negara Unitaris Republik Indonesia tidak akan bersifat sentralistis, bahkan dasar susunan pemerintahan ialah sistem dekonsentrasi, yang memang tepat buat negara kepulauan yang begitu besar seperti Indonesia dan yang tepat pula buat sistem masyarakat yang mempunyai beraneka warna suku-suku bangsa yang masing-masing mempunyai sifat kedaerahan sendiri “2. Struktur negara kesatuan yang berasas desentralisasi dapat dipandang
sebagai
tatanan
politik
dan
sebagai
tatanan
administratif. Disebut tatanan politik, karena struktur yang demikian merupakan wadah pengembangan demokrasi pemerintahan di daerah yang intinya ialah penyelenggaraan urusan rumah tangga daerah sesuai dengan aspirasi masyarakat Indonesia3. Dengan meminjam istilah dan konsepsi dari Rudolf Kjellen, pemerintah di daerah dalam negara kesatuan yang ditata menurut asas
desentralisasi
dan
dekonsentrasi,
adalah
termasuk
kratopolitik sebagai salah satu subsistem politik4.
2 Soepomo, soal Pemerintah Daerah di dalam UUD Sementara dalam majalah Mimbar Indonesia, 1950, Tahun ke-IV, No 43 Hal.4, dalam dalam Solly Lubis, Perkembangan Garis Politik dan Per-Undang-Undangan Pemerintahan Daerah, Alumni, Bandung, 1983. 3 Solly Lubis, Perkembangan Garis Politik….hal. 87. 4 Wahyono SK, wawasan Nusantara Sebuah Konsepsi Geopolitik, dalam majalah Departemen Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia Dharsmasena,no.100/April 1982, dan Wawasan Nusantara Yayasan Harapan Nusantara,hal 15-25, dalam Solly Lubis Perkembangan Garis Politik….hal. 87.
15 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Sebagaimana diketahui bahwa sebelum lahirnya UndangUndang Nomor 5 Tahun 1974, banyak sekali Undang-Undang yang dihasilkan dalam rangka Otonomi Daerah. Dan di dalam kajian ini hanya memberikan gambaran tentang produk Undang-Undang yang telah dilahirkan dalam rangka Otonomi Daerah. Adapun Undang-Undang yang pernah ada yang mengatur tentang Otonomi Daerah adalah sebagai berikut:
2.1.1.1 Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 1 Tahun 1945 Sebenarnya Undang-Undang ini hanya mengatur tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah, namun dapat dikatakan pada
hakikatnya
mengatur
tentang
Pemerintahan
Daerah
(desentralisasi dan Otonomi Daerah)5 Mengenai keterlibatan Komite Nasional Indonesia Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah bersama dengan Kepala Daerah ini, dapat dilihat dari kedudukan atau fungsi Komite Nasional Indonesia Daerah sebagaimana dijelaskan pada Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
1945
yang
dibuat
oleh
Kementerian Dalam Negeri : “…Komite Nasional Indonesia Daerah itu hendaknya menjadi badan Legislatif, dipimpin Kepala Daerah, 5
Krisna D Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah……..hal 32.
16 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
sedangkan sebagian dari Komite Nasional Indonesia Daerah dipimpin pula oleh Kepala Daerah, hendaknya menjalankan pemerintahan sehari-hari”. Kedua ketentuan tersebut, secara nyata memperlihatkan kelemahan
prinsipal
penyelenggaraan
yang
menimbulkan
Pemerintahan
Daerah,
persoalan yaitu
didalam
menciptakan
dualisme kekuasaan eksekutif. Yang dikemudian hari kekeliruan ini menjadi salah satu alasan dan pendorong munculnya UndangUndang Nomor 22 Tahun 19486.
2.1.1.2 Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1948 Memperhatikan materi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, yang menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, tampak adanya upaya untuk mewujudkan makna bunyi Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, hal itu terlihat dari Penetapan yang ada dalam Undang-Undang tersebut, yaitu : a. Landasan pelaksanaan desentralisasi yang rasional sebagai sarana mempercepat kemajuan rakyat didaerah. b. Diadakannya 3 (tiga) tingkatan daerah otonom, yaitu Provinsi bagi Daerah Tingkat I, Kabupaten dan Kota Besar
6
Krisna D Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah……..hal 33.
17 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
bagi Daerah Tingkat II dan Desa (Kota kecil, nagari, marga dan sebagainya)bagi daerah Tingkat III. c.
Modernisasi dan
mendinamisasi
pemerintahan
desa
dengan menjadikannya Daerah Tingkat III. d. Menghilangkan dualisme pemerintahan di daerah. e. Pembentukan daerah istimewa di daerah-daerah yang mempunyai hak-hak usul dan di zaman sebelum Republik Indonesia telah mempunyai pemerintahan sendiri. Sebagai pelaksanaan Undang-Undang ini, maka dibentuklah Provinsi-Provinsi otonomi di Jawa, sedangkan Sumatera dan Kalimantan atau wilayah Indonesia Timur berlaku UndangUndang Pemerintahan Daerah tersendiri7.
2.1.1.3 Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 1 Tahun 1957 Dengan penetapan Undang-Undang ini, menurut Amrah Muslimin, menyatakan : “kita bertambah mendekati uniformitas, mengenai peraturan dasar tentang Pemerintahan di daerah, karena dengan mulai dilaksanakannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang-Undang yang lama yaitu: Undang-
7 Undang-Undang yang diberlakukan adalah Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950, Undang-Undang ini jiwanya mendekati Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, hanya disesuaikan dengan struktur Negara Bagian.
18 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Negara Indonesia Timur Nomor 44 Tahun 1950, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1956 (tentang Kotapraja Jakarta Raya), S.G.O., S.G.O.B. dan lainlain berhenti berlaku. kecuali beberapa ketentuan yang masih berjalan dalam masa peralihan”.8 Undang-Undang tentang pokok-pokok pemerintahan daerah ini bermaksud untuk mengatur sebaik-baiknya soal-soal yang semata-mata terletak dalam lapangan otonomi dan medebewind di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia,
sesuai dengan
maksud pasal 131 Undang-Undang Dasar Sementara yang berarti juga akan merubah prinsip cara-cara pemerintahan bentuk lama9.
2.1.1.4 Undang-Undang
Pemerintahan
Daerah
Nomor
18
Tahun 1965 Dengan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka pula perubahan itu terutama dimaksudkan untuk menghilangkan kelemahan Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 1 Tahun 1957 dan
8 Amrah Muslimin, Pemerintahan Daerah Menurut Perundangan Terakhir
(Tahun 1957), Karya Budhi Darma, Jakarta, 1957, dikutip oleh Solly Lubis, Perkembangan Garis Politik Dan Per-Undang-Undangan Pemerintahan Daerah, Alumni, Bandung, 1983. 9 Solly Lubis, Perkembangan Garis Politik Dan PerUndang-Undangan Pemerintahan Daerah, Alumni, Bandung, 1983.
19 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
kebutuhan penyesuaian susunan pemerintahan daerah dengan susunan menurut Undang-Undang Dasar 194510. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, intinya menetapkan bahwa
dekonsentrasi
menjunjung
tinggi
dan
desentralisasi
desentralisasi
berjalan
teritorial,
dan
dengan dualisme
pemerintahan didaerah di hapuskan. Melalui Undang-Undang ini, maka wilayah Indonesia dibagi atas daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri
(daerah
otonom)
dan
tersusun
dalam
3
tingkatan yakni : 1. Provinsi dan/atau Kota Raya sebagai Daerah Tingkat I. 2. Kabupaten dan/atau Kotamadya sebagai Daerah Tingkat II. 3. Kecamatan dan/atau Kota Praja sebagai Daerah Tingkat III Patut dicatat, bahwa semasa berlakunya Undang-Undang ini, Pembentukan Daerah Tingkat III tidak pernah terlaksana, walaupun sempat dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 Tentang Desa Praja11.
10 11
Krisna D Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah……..hal 36. Krisna D Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah…..hal 38.
20 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
2.2.1
Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Yang Berlaku Pada Masa Orde Baru (1966-1998)
2.2.1.1
Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 5 Tahun 1974
Undang-Undang ini disebut "Undang-Undang tentang pokokpokok Pemerintahan di Daerah", oleh karena dalam Undang-Undang ini
diatur
tentang
Pokok-pokok
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah otonom dan pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas Pemerintah Pusat di daerah yang berarti bahwa dalam Undang-Undang ini diatur pokok-pokok penyelenggaraan urusan
pemerintahan
berdasarkan
asas
desentralisasi,
asas
dekosentrasi dan asas tugas pembantuan di daerah.
Undang-Undang ini merupakan koreksi dan penyesuaian baru dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 sesuai dengan pergantian Orde Lama ke Orde Baru. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 lahir sesudah adanya pengarahan politis mengenai Pemerintah Daerah dalam GBHN. Undang-Undang ini lahir sebagai pelaksanaan Tap MPR No. IV Tahun 1973 dan juga di bawah rangka UUD 1945. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 mulai berlaku tanggal 23 Juli 1974 hingga 6 Mei 1999. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dinilai sangat bernuansa sentralistis
21 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
dan kurang memperhatikan kedudukan DPRD sebagai badan legislatif yang berdiri sendiri12. Adapun latar belakang situasi dan nuansa pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah sebagai berikut13 : 1. Sedang giatnya sosialisasi pembangunan ekonomi dan menomorduakan pembangunan politik. Pemerintah Orde baru dengan trilogi pembangunan pada waktu itu hendak menciptakan stabilitas nasional yang mantap. 2. Untuk itu diperlukan pemerintah yang stabil dari Pusat sampai ke Daerah. 3. Selanjutnya dibuatlah berbagai Undang-Undang yang sentralistis,
mengurangi
kegiatan
Partai
Politik
dan
memandulkan peran DPR dan juga peran DPRD. Bahkan di Daerah kedudukan Kepala Daerah sengaja dibentuk dengan istilah penguasa tunggal dan menomorduakan peran DPRD. 4. Memaksakan fusi Partai-partai dari sembilan Partai menjadi 2 partai di samping dominasi Golkar.
12 B.N Marbun, DPRD & Otonomi Daerah Setelah Amandemen UUD 1945 & UU Otonomi Daerah 2004, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005. 13 Ibid, hal….55.
22 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
5. Pengukuhan dan pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI di segala bidang dan sektor pemerintahan termasuk di bidang legislatif dari Pusat sampai ke Daerah. Berdasarkan penjelasan Undang-Undang tersebut dapat diketahui bahwa desentralisasi dengan pemberian otonomi kepada daerah
adalah
penyelenggaraan
meningkatkan pemerintahan
daya di
guna daerah,
dan
hasil
terutama
guna dalam
pelaksanaan pembangunan dan pelayanan masyarakat melalui prinsip stabilitas politik dan kesatuan bangsa. Tujuan itu mengandung arti bahwa pemberian otonomi kepada suatu daerah perlu
didukung
oleh
faktor-faktor
yang
bersifat
teknis
administratif, yang secara minimal dapat menjamin kemampuan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Hal di atas dapat dipahami karena Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang berkenaan dengan Pemerintah Daerah, di dalamnya terkandung aspirasi politik yang pada hakikatnya ingin menempatkan Pemerintah Daerah sebagai bagian penting dari Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspirasi politik sebagaimana yang dimaksudkan itu, kemudian dituangkan ke dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahmn 1974, di mana asas desentralisasi dan pemberian otonomi kepada daerah 23 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi, serta memberi kemungkinan bagi tugas pembantuan (medebewind atau co-administration)14 Sebagaimana
telah
diketahui,
berbeda
dengan
kedua
Undang-Undang Pemerintahan di Daerah yang terdahulu (UndangUndang Nomor 1 Tahun 1957 dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak menyebut secara eksplisit sistem otonomi yang dianutnya. Kedua Undang-Undang terdahulu dimaksud menyatakan diri menganut sistem otonomi riil. Mengenai hal ini, Koesoemahatmadja15 menganggap ada persamaan antara sistem otonomi yang dianut oleh UndangUndang Nomor 5 Tahun 1974 dengan yang dianut oleh UndangUndang Nomor 1 Tahun 1957, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, yang pada dasarnya merupakan sistem otonomi formil, akan tetapi dinamakan oleh Pemerintah sistem otonomi riil.
14
Krisna D Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah…..hal 40.
15 Koesoemahatmadja, Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah Di
Indonesia, Bina Cipta, Bandung,1979, dikutip oleh Krisna D Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah…..hal 42.
24 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Namun,
Sujamto16
meragukan
pandangan
Koesoemahatmadja tersebut di atas dengan mengatakan: " ... Sepanjang mengenai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 barangkali anggapan tersebut mengandung kebenaran (meskipun tidak seluruhnya)". Sehubungan dengan prinsip otonomi tersebut di atas, terdapat beberapa Otonomi Daerah. Hal itu dapat dilihat pasal sebagai berikut: a. Pasal 4 ayat (2) yang berbunyi:"pembentukan, nama, batas, ibukota, hak dan wewenang urusan serta modal pangkal daerah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan Undang-Undang". b. Pasal 5, yaitu mengenai kemungkinan penghapusan sesuatu daerah. c. Pasal 7 yang berbunyi :"Daerah berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan peraturan per-Undang-Undangan yang berlaku".
16 Sujamto, Otonomi Daerah Yang Nyata Dan Bertanggungjawab,Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1984, dikutip oleh Krisna D Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah……hal 42.
25 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
d. Pasal 8 ayat (10) yang berbunyi :"Penambahan penyerahan urusan Pemerintah kepada Daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah". e. Pasal 9 yang berbunyi :"Sesuatu urusan Pemerintah yang telah diserahkan kepada Daerah dapat ditarik kembali dengan peraturan per-Undang-Undangan yang setingkat" (maksudnya ialah setingkat dengan penyerahannya).
f. Pasal
10
yang
mengharuskan
Perimbangan
Otonomi
Daerah
"memonitor"
perkembangan
dibentuknya yang
dan
Dewan
bertugas
dinamika
untuk
Otonomi
Daerah sebagai bahan pertimbangan kepada Presiden, kiranya
jelas
merupakan
perlengkapan
yang
tidak
diperlukan seandainya Undang-Undang ini menganut sistem rumah tangga formil, meskipun tidak pula dapat dikatakan bahwa Undang-Undang ini menganut sistem rumah tangga materiil. g.
Pasal
39
yang
mengatur
pembatasan-pembatasan
terhadap ruang lingkup materi yang dapat diatur oleh Peraturan Daerah, apabila dibandingkan dengan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 dan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, maka jelas 26 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
bahwa Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974 lebih
dekat kepada sistem otonomi materiil daripada kedua Undang-Undang tersebut. Berdasarkan disimpulkan
uraian
tersebut
bahwa Undang-Undang
di
atas,
maka
dapat
Nomor 5 Tahun 1974
menganut sistem otonomi materiil. Pendapat itu diperkuat oleh praktek pembentukan Dinas Daerah, melalui Keputusan Menteri Dalam
Negeri
Nomor
363
Tahun
1977
tentang
Pedoman
Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah, yang mana dalam Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa: "Yang dimaksud dengan Dinas Dati I dan Dinas Dati II. yang dibentuk berdasarkan
terjadinya
penyerahan
sebagian
urusan
Pusat
kepada Daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah" Ketentuan tadi merupakan pelaksanaan yang konsekuen kepada Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974 yang dalam
Penjelasan Umumnya17, antara lain menyatakan bahwa: "Dinas Daerah adalah unsur pelaksana Pemerintah Daerah. Urusan-urusan yang diselenggarakan oleh Dinas-Dinas Daerah adalah urusan-urusan yang telah menjadi urusan rumah tangga daerah. Pembentukan Dinas Daerah untuk melaksanakan urusan-urusan yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat dan belum diserahkan kepada Daerah dengan suatu Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah menjadi urusan rumah tangganya, tidak dibenarkan ". 17
Krisna D Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah…….hal 44.
27 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Dalam
perkembangannya,
setelah
Undang-Undang
ini
berjalan selama 18 (delapan belas) tahun, pemerintah mulai mempertimbangkan
pendapat
para
ahli
sebagaimana
telah
dikemukakan dimuka, yang pada intinya menegaskan bahvva Daerah Tingkat II sudah seharusnya merupakan daerah otonom sepenuhnya. Namun demikian, pelaksanaan Otonomi Daerah sebagaimana dimaksud tadi, belumlah diterapkan secara serentak dan menyeluruh. Pemerintah masih memandang perlu dilakukan uji coba terdahulu, sebelum benar-benar daerah diberikan otonomi sepenuhnya18.
18 Untuk maksud tersebut, pada tahun 1992 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1992 tentang Titik Berat Penyelenggaraan Otonomi Daerah Pada Daerah Tingkat II, yang merupakan peraturar, pelaksana dari Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah tersebut, dilakukan uji coba titik berat Otonomi Daerah pada Daerah Tingkat II, sebagaimana di - atur dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 105 Tahun 1994, yang rnenetapkan 26 (dua puluh enam) Daerah Tingkat (I sebagai proyek percontohan (pilot project) Otonomi Daerah. Untuk mendukung kebijakan tersebut, dike!uarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1995 yang prinsipnya menyerahkan 19 (sembilan be!as) urusan departemen teknis (kecuali departemen agama dan penerangan) kepada 26 (dua puluh enam) Daerah Tingkat II Percontohan. Proyek percontohan tersebut di atas dilakukan selama 2 (dua) tahun,artinya, pada tahun 1997 harus dilakukan evaluasi terhadap 26 (dua puluh enam) Daerah Tingkat II Percontohan, untuk Menentukan apakah perlu di!akukan penambahan urusan pemerintahan pada Daerah Tingkat II Percontohan atau penambahan Daerah Tingkat II baru sebagai proyek percontohan. Dari hasil evaluasi yang dilakukan, Pemerintah menilai ada kecenderungan bahvva kehendak baik (good will) Pemerintah Pusat belum diikuti dengan. tindakan nyata. Beberapa peraturan perundang-undangan dimaksud belum dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga hampir tidak ada perubahan yang berarti dalam kinerja penye!enggaraan pemerintahan di Daerah Tingkat II Percontohan tersebut.
28 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
2.2.2
Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Yang Berlaku Pada Masa Reformasi (1999-2004)
2.2.2.1 Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1999 Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang disusul dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, adalah merupakan koreksi total atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dalam upaya memberikan otonomi yang cukup luas kepada daerah sesuai dengan cita-cita UUD 1945. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mulai berlaku 7 Mei 1999 lebih terkenal dengan nama Undang-Undang Otonomi Daerah 1999, lahir sebagai pelaksanaan Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/ 1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan juga di bawah rangka UUD 1945. Seperti proses lahirnya beberapa UndangUndang Tentang Pemerintahan Daerah sebelumnya, juga UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 ini terkesan merupakan pergeseran pendulum (bandul) dari satu ekstrim yang satu ke ekstrim yang lainnya, sesuai dengan kondisi politik saat itu19. Berbeda dengan konsep otonomi daerah menurut menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok 19 B.N Marbun, DPRD & Otonomi Daerah Setelah Amandemen UUD 1945 & UU Otonomi Daerah 2004, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005.
29 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Pemerintahan di Daerah, yaitu konsep otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah di samping menghendaki otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, juga menghendaki suatu otonomi yang luas. Di samping itu penyelenggaraan otonomi daerah harus pula didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran
serta,
musyawarah,
pemerataan
dan
keadilan,
serta
memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Pemberian otonomi yang luas ini di samping memang telah sesuai dengan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945, juga diharapkan akan dapat mencegah timbulnya keinginan daerah yang menghendaki dibentuknya Negara Federasi20. Tujuan Makro dibentuknya Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999
Tentang
Otonomi
Daerah,
menurut
Bachsan
Mustafa21 seperti tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu : 1. Melindungi segenap bangsa Indonesia 2. Memajukan kesejahteraan umum 3. Mencerdaskan kehidupan Bangsa, dan 20 Rozali Abdulllah, Pelaksanaan Otonomi Luas & Isu Federalisme Sebagai Suatu Alternatif , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, Hlm. 18 Dalam Ramlan Zas, Tesis, Peralihan Aset Pemerintah Pusat Kepada Pemerintah Daerah Dalam Rangka Otonomi Daerah di Kota Pekanbaru, Pekanbaru, 2004. 21 Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
30 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
4. Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia. Tujuan
Mikro
dibentuknya
Undang-Undang
Nomor
22
Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah, adalah memberikan keleluasaan
kepada
kewenangannya mengembangkan
Pemerintah
untuk
Daerah
mewujudkan
otonomi
dagrah
dalam
tujuan
secara
batas-batas
makro,
luas,
serta
nyata
dan
bertanggung jawab kepada daerah-daerah Kabupaten, Kota dan Desa, dalam upaya pemberdayaan seluruh potensi masyarakat, meliputi pemanfaatan Ruang Daratan, Ruang Lautan dan Ruang Udara untuk tujuan kesejahteraan rakyat daerah22. Adapun latar belakang situasi dan nuansa pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah sebagai berikut23 : 1. Di
tengah-tengah
tumbangnya
rezim
maraknya Suharto,
arus
reformasi
menuntut
setelah
pelaksanaan
demokrasi dari Pusat sampai Daerah. Untuk itu maka DPR dan DPRD harus berfungsi sebagai wakil rakyat dan menjalankan kontrol dan pengawasan terhadap pihak eksekutif. 2. Merealisasi tuntutan di atas, maka dibentuklah UndangUndang yang intinya merombak paradigma pembangunan
22 Ibid, hal.127
23 Ibid,B.N Marbun, DPRD & Otonomi Daerah …….hal.56.
31 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
ekonomi ke arah pembangunan yang serasi di semua bidang termasuk peran legislatif dan yudikatif. 3. Sistem kenegaraan yang selama Orde Baru lebih bertitik berat
pada
peran
eksekutif
(executive
heavy)
yang
dominan, kini bergeser ke arah pemberdayaan bidang legislatif secara proporsional sehingga dapat mengontrol dan mengawasi pihak eksekutif dari Pusat sampai Daerah 4. Mengakhiri dominasi Presiden dan Kepala Daerah dalam menjalankan roda pemerintahan. Hal itu, terutama di Daerah, dibuatlah Undang-Undang yang materinya membatasi kewenangan Kepala Daerah dan memantapkan kedudukan
dan
kewenangan
DPRD
sebagai
badan
perwakilan rakyat yang memiliki kekuatan seimbang dengan
Kepala
Daerah
atau
bahkan
terkesan
penjungkirbalikan rumusan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Ada kesan peran legislatif lebih dominan berhadapan dengan peran eksekutif (legislative heavy). 5. Kepala Daerah bertanggungjawab kepada DPRD. 6. DPRD
memilih
dan
menetapkan
Kepala
Daerah,
sedangkan Presiden hanya mengesahkan sebagaimana sarana administratif. 32 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
7. DPRD dapat memberhentikan Kepala Daerah melalui persyaratan per-Undang-Undangan yang ada. Berbeda
pula
halnya
dengan
Bachsan
Mustafa24,
Ia
memandang ada beberapa hal yang menyebabkan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagai berikut : 1. Bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), menurut Undang-Undang Dasar 1945 memberikan
keleluasaan
kepada
daerah
untuk
menyelenggarakan Otonomi Daerah. 2. Bahwa dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah dan dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam maupun di luar negeri, serta tantangan persaingan global, dipandang
perlu
menyelenggarakan
Otonomi
Daerah
dengan memberikan kewewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab ke pada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah, sesuai dengan prinsipprinsipdemokrasi,peran-sertamasyarakat, pemerataan,
clan
keadilan,
serta
potensi
dan
24 Ibid, Sistem Hukum Administrasi…….hal.126.
33 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
keanekaragaman daerah, yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 3. Bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan
di
Daerah
dan
Undang-
Undang Nomor 5 Tahuh 1979, tentang Pemerintahan Desa tidak sesuai lagi dengan prinsip penyelenggaraan Otonomi
Daerah
dan
perlunya
mengakui
serta
menghormati hak asal-usul daerah yang bersifat istimewa sehingga kedua undang-undang itu perlu diganti.
Beberapa perubahan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 lebih banyak bersifat mendasar, sehingga memperlihatkan paradigma baru tentang pemerintahan daerah. Perubahan mendasar dimaksud menyangkut : 1. Asas-asas penyelenggaraan pemerintahan (di) daerah; 2. Pembagian wilayah; 3. Pembagian kewenangan antara pusat, daerah provinsi dan daerah Kabupaten/Kota; 4. Sistem Otonomi Daerah; 5. Susunan pemerintahan daerah; 6. Keuangan daerah;
34 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
7. Mekanisme pencalonan, pemilihan, pengangkatan, pertanggungjawaban, pemberhentian kepala daerah; 8. Mekanisme pembinaan dan pengawasan; 9. Prosedur penyusunan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah; 10. Keuangan daerah serta penyatuan tentang pemerintahan desa dan kelurahan dengan pemerintahan daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumahtangganya sendiri sesuai dengan peraturan per-Undang-Undangan yang berlaku (Pasal 1 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974). Sistem otonomi yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 ini ialah otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Semula sistem ini dianut untuk mengganti sistem otonomi riil dan seluas-luasnya yang dianut oleh
Undang-Undang
Nomor 18
Tahun
1965.
Sebagaimana telah dikemukakakan pada bagian sebelumnya, menurut Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, tidak
dianutnya
istilah
seluas-luasnya
didasarkan
pada
pengalaman selama ini bahwa istilah tersebut ternyata dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. dan tidak serasi 35 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
dengan maksud dan, tujuan pemberian otonomi kepada daerah sesuai prinsip-prinsip yang digariskan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Kemudian, dinyatakan bahwa Otonomi Daerah itu lebih merupakan kewajiban daripada hak, yaitu kewajiban daerah untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab25. Jika pernyataan dibandingkan dengan Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor
22
Tahun
1999
dinyatakan
bahwa
penyelenggaraan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, dalam arti pengakuan kewenangan pemerintahan yang secara nyata dilaksanakan oleh daerah. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Kabupaten dan Kota, sedangkan Otonomi Daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas, yang meliputi kewenangan-kewenangan yang tidak atau belum dilaksanakan daerah otonom Kabupaten dan Kota serta kebijaksanaan strategis regional. Jika diamati, sistem otonomi yang dianut oleh UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut lebih mendekati makna dan hakikat otonomi sebagaimana pesan, yang termaktub dalam
25
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974.
36 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Pesan konstitusional dari Pasal 18 itu adalah bahwa penyelenggaraan pemerintahan (di) daerah harus dilakukan berdasarkan asas desentralisasi dan tidak mengatur
mengenai
pemerintahan
wilayah
yang
merupakan
manifestasi dari asas dekonsentrasi26. Jika prinsip otonomi yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dikaitkan dengan sistem otonomi (sistem rumah tangga daerah), maka tampak bahwa Undang-Undang tersebut menganut sistem rumah tangga material dan sistem rumah tangga riil/nyata. Sistem rumah tangga material tampak dari adanya pembagian penanganan urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat, propinsi dan Kabupaten/Kota. sebagaimana diatur dalam Pasal 7, Pasal 9 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 22
Tahun
Pemerintah
1999
dan
Nomor
25
diatur
lebih
Tahun
lanjut
2000
dalam
tentang
Peraturan
Kewenangan
Pernerintah dan Keuangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000). Sementara
sistem
rurnah
tangga
riil
tampak
dari
adanya
kemungkinan untuk pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan daerah maupun adanya ketentuan yang
26
Krisna D Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah……..hal 48.
37 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
memungkinkan daerah propinsi menjalankan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan daerah Kabupaten/Kota.
2.2.2.2
Undang-Undang
Pemerintahan
Daerah
Nomor
32
Tahun 2004 Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan
amanat
Undang-Undang
Dasar
1945,
pemerintahan
daerah yang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (medebewind), diarahkan
untuk
mempercepat
terwujudnya
kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhasaan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia27. Efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspekaspek
hubungan
antar
susunan
pemerintahan
dan
atau
pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan
27 HAW Widjaja, Penyelenggaran Otonomi Di Indonesia Dalam Rangka
Sosialisasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Rajawali Press, Jakarta, 2005.
38 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan Otonomi Daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan Pemerintahan Negara28. Lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah merupakan koreksi total atas kelemahan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Bersamaan dengan itu disusul dengan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004, Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dilengkapi dengan sistem pemilihan langsung kepala daerah29.
2.2.2.3
Undang-Undang
Pemerintahan
Daerah
Nomor
23
Tahun 2014 Beberapa ketentuan yang bersifat prinsip yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 antara lain adalah sebgai berikut: 2.2.2.3.1 Hubungan Pemerintah Pusat dan daerah Hubungan Pemerintah Pusat dengan Daerah dapat dirunut dari alinea ketiga dan keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Alinea ketiga memuat
28 Ibid, hlm 37. 29 B.N Marbun, DPRD & Otonomi Daerah Setelah Amandemen UUD 1945 &
UU Otonomi Daerah 2004, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005.
39 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sedangkan alinea keempat
memuat
pernyataan
bahwa
setelah
menyatakan
kemerdekaan, yang pertama kali dibentuk adalah Pemerintah Negara Indonesia yaitu Pemerintah Nasional yang bertanggung jawab mengatur dan mengurus bangsa Indonesia. Lebih lanjut dinyatakan bahwa tugas Pemerintah Negara Indonesia adalah melindungi
seluruh
bangsa
dan
tumpah
darah
Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut memelihara ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Selanjutnya Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai Negara kesatuan adalah dibentuknya pemerintah Negara Indonesia sebagai pemerintah nasional untuk pertama kalinya dan kemudian pemerintah nasional tersebutlah yang kemudian
membentuk
Daerah
sesuai
ketentuan
peraturan
perundang-undangan. Kemudian Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Pemerintahan
Daerah berwenang
untuk
mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut
40 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya. Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan
untuk
mempercepat
terwujudnya
kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, dalam
lingkungan
strategis
globalisasi,
Daerah
diharapkan
mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemberian otonomi yang seluas-seluasnya kepada Daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada Daerah. Oleh karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah akan tetap ada ditangan Pemerintah Pusat. Untuk itu Pemerintahan Daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan Pemerintahan Nasional. Sejalan dengan itu, kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh Daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. 41 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Pembedanya adalah terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas Daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan. Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai Daerahnya
otonomi sesuai
berwenang
aspirasi
dan
mengatur
dan
kepentingan
mengurus
masyarakatnya
sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan kepentingan umum. Dalam rangka memberikan ruang yang lebih luas kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus kehidupan warganya maka Pemerintah Pusat dalam membentuk kebijakan harus memperhatikan kearifan lokal dan sebaliknya Daerah ketika membentuk kebijakan Daerah baik dalam bentuk Perda maupun kebijakan lainnya hendaknya juga memperhatikan kepentingan
nasional.
Dengan
demikian
akan
tercipta
keseimbangan antara kepentingan nasional yang sinergis dan tetap memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan. Pada hakikatnya Otonomi Daerah diberikan kepada rakyat sebagai
satu
kesatuan
masyarakat
hukum
yang
diberi
kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan 42 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Pemerintahan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh kepala daerah dan DPRD dengan dibantu oleh Perangkat Daerah. Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berasal dari kekuasaan pemerintahan yang ada ditangan Presiden. Konsekuensi dari negara kesatuan adalah tanggung jawab akhir pemerintahan ada ditangan Presiden. Agar pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berjalan sesuai dengan kebijakan nasional maka Presiden berkewajiban untuk melakukan
pembinaan
dan
pengawasan
terhadap
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
2.2.2.3.2 Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Berbeda dengan penyelenggaraan pemerintahan di pusat yang terdiri atas lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilaksanakan oleh DPRD dan kepala daerah. DPRD dan kepala daerah berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang diberi mandat rakyat untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Dengan demikian maka DPRD dan kepala
daerah
berkedudukan
sebagai
mitra
sejajar
yang
mempunyai fungsi yang berbeda. DPRD mempunyai fungsi 43 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
pembentukan peraturan daerah, anggaran dan pengawasan, sedangkan kepala daerah melaksanakan fungsi pelaksanaan atas Perda dan kebijakan Daerah. Dalam mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah tersebut, DPRD dan kepala daerah dibantu oleh Perangkat Daerah. Sebagai
konsekuensi
posisi
DPRD
sebagai
unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah maka susunan, kedudukan, peran, hak, kewajiban, tugas, wewenang, dan fungsi DPRD tidak diatur dalam beberapa undang-undang namun cukup diatur dalam Undang-Undang ini secara keseluruhan guna memudahkan pengaturannya secara terintegrasi.
2.2.2.3.3 Urusan Pemerintahan Sebagaimana Negara
Republik
diamanatkan Indonesia
oleh
Tahun
Undang-Undang 1945,
terdapat
Dasar Urusan
Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang dikenal dengan istilah urusan pemerintahan absolut dan ada urusan pemerintahan konkuren. Urusan pemerintahan konkuren terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Daerah
provinsi,
dan
Daerah
kabupaten/kota.
Urusan
Pemerintahan Wajib dibagi dalam Urusan Pemerintahan Wajib 44 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
yang terkait Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak terkait Pelayanan Dasar. Untuk Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar ditentukan Standar Pelayanan Minimal
(SPM)
untuk
menjamin
hak-hak
konstitusional
masyarakat. Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Daerah provinsi
dengan
Daerah
kabupaten/kota
walaupun
Urusan
Pemerintahan sama, perbedaannya akan nampak dari skala atau ruang lingkup Urusan Pemerintahan tersebut. Walaupun Daerah provinsi
dan
Daerah
kabupaten/kota
mempunyai
Urusan
Pemerintahan masing-masing yang sifatnya tidak hierarki, namun tetap akan terdapat hubungan antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaannya dengan mengacu pada NSPK yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Di samping urusan pemerintahan absolut dan urusan pemerintahan
konkuren,
dalam
Undang-Undang
adanya urusan pemerintahan umum. Urusan umum
menjadi
pemerintahan
yang
kewenangan terkait
Presiden
pemeliharaan
ini
dikenal
pemerintahan
sebagai ideologi
kepala
Pancasila,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka
Tunggal
Ika,
menjamin
hubungan
yang
serasi
berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan sebagai pilar 45 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
kehidupan
berbangsa
kehidupan demokratis.
dan
bernegara
serta
memfasilitasi
Presiden dalam pelaksanaan
urusan
pemerintahan umum di Daerah melimpahkan kepada gubernur sebagai kepala pemerintahan provinsi dan kepada bupati/wali kota sebagai kepala pemerintahan kabupaten/kota.
2.2.2.3.4 Keuangan Daerah Penyerahan sumber keuangan Daerah baik berupa pajak daerah dan retribusi daerah maupun berupa dana perimbangan merupakan
konsekuensi
dari
adanya
penyerahan
Urusan
Pemerintahan kepada Daerah yang diselenggarakan berdasarkan Asas Otonomi. Untuk menjalankan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangannya, Daerah harus mempunyai sumber keuangan agar Daerah tersebut mampu memberikan pelayanan dan kesejahteraan kepada rakyat di Daerahnya. Pemberian sumber keuangan kepada Daerah harus seimbang dengan beban atau Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Keseimbangan
sumber
keuangan
ini
merupakan
jaminan
terselenggaranya Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Ketika Daerah mempunyai kemampuan keuangan yang kurang mencukupi untuk membiayai Urusan Pemerintahan dan khususnya Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan 46 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Dasar, Pemerintah Pusat dapat menggunakan instrumen
DAK
untuk membantu Daerah sesuai dengan prioritas nasional yang ingin dicapai. 2.2.2.3.5 Peran Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah Mengingat kondisi geografis yang sangat luas, maka untuk efektifitas
dan
efisiensi
pembinaan
dan
pengawasan
atas
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota, Presiden sebagai penanggung jawab akhir
pemerintahan
secara
keseluruhan
melimpahkan
kewenangannya kepada gubernur untuk bertindak atas nama Pemerintah Pusat untuk melakukan pembinaan dan pengawasan kepada Daerah kabupaten/kota agar melaksanakan otonominya dalam koridor NSPK yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Untuk efektifitas pelaksanaan tugasnya selaku wakil Pemerintah Pusat, gubernur dibantu oleh perangkat gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Karena perannya sebagai Wakil Pemerintah Pusat maka hubungan gubernur dengan Pemerintah Daerah kabupaten/kota bersifat hierarkis.
47 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
2.2
Asas Pemerintahan Daerah
2.2.1 Asas Desentralisasi Definisi desentralisasi menurut beberapa pakar berbeda redaksionalnya, tetapi pada dasarnya mempunyai arti yang sama. Menurut Joeniarto30, desentralisasi adalah memberikan wewenang dari pemerintah negara kepada pemerintah lokal untuk mengatur dan mengurus urusan tertentu sebagai urusan rumah tangganya sendiri. Amrah Muslimin31, mengartikan desentralisasi adalah pelimpahan wewenang pada badan-badan dan golongan-golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Irawan Soejito32, mengartikan desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan pemerintah kepada pihak lain untuk dilaksanakan. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Pasal 1 butir b, desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Pasal I butir e ditegaskan, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada
30
Joeniarto, Perkembangan Pemerintahan Lokal, Bina Aksara, Jakarta, 1992,hlm. 52.
31
Amrah Muslimin, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 5.
32
Irawan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hlm. 29.
48 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
daerah otonom dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal I angka 7, mengartikan
desentralisasi
adalah
penyerahan
wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dilihat dari pelaksanaan fungsi pemerintahan, desentralisasi atau otonomi itu menunjukkan33: (I) Satuan-satuan desentralisasi (otonomi) lebih fleksibel dalam memenuhi berbagai perubahan yang terjadi dengan cepat; (2) Satuan-satuan desentralisasi dapat melaksanakan tugas" dengan efektif dan lebih efisien; (3) Satuansatuan
desentralisasi
lebih
inovatif;
(4)
Satuan-satuan
desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral yang lebih tinggi, komitmen yang lebih tinggi dan lebih produktif. Meskipun penilaian terhadap desentralisasi memperlihatkan catatan-catatan keberhasilan, namun pemerintah masih berhatihati dalam bergerak ke arah desentralisasi yang lebih luas atau ke arah
pendelegasian
pelaksanaan
pembangunan.
Data-data
memang tidak memungkinkan penilaian yang pasif terhadap dampak desentralisasi, namun konsisi-kondisi yang memengaruhi
33 David Osborne-Ted Goebler, Reinventing Government, New York: A Plume Book, 1993, hlm. 252 dst.
49 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
pelaksanaan
program-program
desentralisasi
dapat
diketahui
dengan pasti. Kondisi-kondisi tersebut adalah: (i) sejumlah para pejabat pusat dan birokrasi pusat mendukung desentralisasi dan organisasi-organisasi sejauhmana
perilaku,
yang sikap
diserahi dan
tanggungjawab;
budaya
yang
(ii)
dominan
mendukung atau kondusif terhadap desentralisasi pembuatan keputusan; (iii) sejauhmana kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-program dirancang dan dilaksanakan secara tepat untuk meningkatkan
desentralisasi
pembuatan
keputusan
dan
manajemen; (iv) sejauhmana sumber-sumber daya keuangan, manusia dan fisik tersedia bagi organisasi-organisasi yang diserahi tanggung jawab. Pengalaman dibanyak negara berkembang menunjukkan bahwa desentralisasi bukan merupakan langkah yang cepat untuk mengatasi masalah-masalah pemerintahan, politik, dan ekonomi. Penerapannya tidak secara otomatis mengatasi kekurangan tenaga kerja atau personil yang terampil. Desentralisasi tidak menjamin bahwa jumlah sumber yang besar dapat dihasilkan di tingkat daerah. Satu bentuk desentralisasi mungkin akan berhasil di sebuah negara, sedangkan di negara-negara lain desentralisasi tidak berhasil. Namun demikian, kekurangan-kekurangan yang dibuktikan oleh pengalaman sejumlah negara berkembang tidak 50 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
berarti bahwa usaha-usaha itu harus dihentikan. Desentralisasi telah menciptakan hasil-hasil positif. Pertama, akses masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan (yang sebelumnya terbagikan) ke dalam sumber-sumber pemerintah pusat telah meningkat. Kedua, desentralisasi telah meningkatkan partisipasi dalam sejumlah bidang. Dalam hal ini, desentralisasi memberikan tekanan pada lembaga-lembaga pemerintah pusat. Akhirnya berbagai sumber nasional pun tersedia untuk pembangunan daerah. Ketiga, di sejumlah negara peningkatan terjadi dalam kapasitas administrasi dan teknik pemerintah/organisasi daerah, meskipun peningkatan ini berjalan lambat. Keempat, organisasiorganisasi baru telah dibentuk di tingkat regional dan lokal untuk rencanakan dan melaksanakan pembangunan. Semua badan atau organisasi ini telah memberikan dampak yang cukup positif. Kelima., perencanaan di tingkat regional dan lokal semakin ditekankan sebagai satu unsur penting dari strategi pembangunan nasional
dengan
memasukkan
perspektif-perspektif
dan
kepentingan baru ke dalam proses pembuatan keputusan34.
34
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara…. Op.Cit, hlm. 310.
51 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
2.2.2 Asas Dekonsentrasi Amrah
Muslimin35
mengartikan,
dekonsentrasi
ialah
pelimpahan sebagian dari kewenangan pemerintah pusat pada alat-alat pemerintah pusat yang ada di daerah. Irawan Soejito mengartikan,
dekonsentrasi
penguasa
kepada
Joeniarto,
dekonsentrasi
adalah
pejabat
pelimpahan
bawahannya
adalah
kewenangan
sendiri36.
pemberian
Menurut
wewenang
oleh
pemerintah pusat (atau pemerintahan atasannya) kepada alat-alat perlengkapan
bawahan
untuk
menyelenggarakan
urusan-
urusannya yang terdapat di daerah37. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Pasal I huruf
(f),
dekonsentrasi
adalah
pelimpahan
wewenang
dari
pemerintah atau kepala wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat
atasnya
kepada
pejabat-pejabat
di
daerah.
Asas
dekonsentrasi di dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dipandang bukan sekadar komplemen atau pelengkap terhadap asas desentralisasi, akan tetapi sama pentingnya dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Dari penegasan ini semakin memperkuat penilaian masyarakat bahwa spirit yang dibangun oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah
35
Amrah Muslimin, Op, Cit, hlm. 4.
36 Irawan Soejito, Op.Cit, hlm. 34. 37
Joeniarto, Op.Cit, hlm. 10.
52 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
sentralistik. Di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Pasal I huruf (f) ditegaskan, dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang
dari
pemerintah
kepada
gubernur
sebagai
wakil
pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah. Pelaksanaan asas
dekonsentrasi
Administrasi tertentu
yang
untuk
dalam
kedudukannya
melaksanakan
dilimpahkan
kepada
sebagai
kewenangan gubernur
Wilayah
pemerintah
sebagai
wakil
pemerintah. Penegasan ini memperlihatkan bahwa spirit yang dibangun oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah desentralistik sehingga di daerah kabupaten/kota tidak ada urusan yang sifatnya dekonsentrasi. Melalui Undang-Undang ini instansi vertikal di daerah kabupaten/kota dihapuskan. UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal I angka 8 mengartikan, dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Asas dekonsentrasi dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu: (I) dari segi wewenang: asas ini memberikan/melimpahkan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat di daerah untuk menyelenggarakan tugas-tugas pemerintah pusat yang ada di daerah, termasuk juga pelimpahan wewenang pejabat-pejabat atasan kepada tingkat di bawahnya; (2) dari segi pembentuk 53 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
pemerintah: berarti membentuk pemerintah lokal administrasi di daerah,
untuk
diberi
tugas
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan pusat yang ada di daerah; (3) dari segi pembagian wilayah: asas ini membagi wilayah negara menjadi daerah-daerah pemerintah lokal administratif atau akan membagi wilayah negara menjadi wilayah-wilayah administratif38.
2.2.3. Asas Tugas Pembantuan Di samping pengertian otonomi, menurut Amrah Muslimin, kita dapati juga istilah yang selalu bergandengan dengannya, yaitu "medebewind', yang mengandung arti kewenangan pemerintah daerah menjalankan sendiri aturan-aturan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi tingkatnya. Kewenangan ini mengenai tugas melaksanakan sendiri (zelfuitvoering) atas biaya dan tanggung jawab terakhir dari pemerintah tingkat atasan yang bersangkutan39. Menurut Joeniarto, di samping pemerintah lokal yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri, kepadanya dapat pula diberi tugas-tugas pembantuan (tugas medebewind, sertatantra). Tugas pembantuan ialah tugas ikut melaksanakan urusan-urusan pemerintah pusat atau pemerintah lokal yang 38
Ni’matul Huda, Hukum Tata....Op.Cit, hlm. 313.
39 Amrah Muslimin, Aspek..., Op.Cit, hlm. 8.
54 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
berhak mengatur dan mengurus rumah tangga tingkat atasannya. Beda tugas pembantuan dengan tugas rumah tangga sendiri, di sini urusannya bukan menjadi urusan rumah tangga sendiri, tetapi merupakan urusan pemerintah pusat atau pemerintah atasannya. Kepada pemerintah lokal yang bersangkutan diminta untuk ikut membantu penyelenggaraannya saja. Oleh karena itu, dalam
tugas
pembantuan
tersebut
pemerintah
lokal
yang
bersangkutan, wewenangnya mengatur dan mengurus, terbatas kepada penyelenggaraan saja40. Tugas dan kewajiban daerah selain berasal dari tugas yang timbul karena inisiatif sendiri dari alat perlengkapan daerah, dapat juga diperintahkan oleh penguasa yang lebih atas, yang disebut "de opgedragen taak'', atau tugas yang diperintahkan, yang menurut ketentuan dalam Pasal I huruf d jo Pasal 12 UU Nomor 5 Tahun 1974 disebut tugas pembantuan atau yang telah secara populer disebut orang serta-tantra, medebewind atau selfgovernment,
yakni
tugas
untuk
turut
serta
dalam
melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada daerah oleh pemerintah atau oleh pemerintah daerah tingkat atasnya,
dengan
kewajiban
untuk
mempertanggungjawabkan
kepada yang menugaskannya. Tugas pembantuan itu dapat
40
Joeniarto, Op.Cit, hlm. 18.
55 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
berupa tindakan mengatur (tugas legislatif) atau dapat pula berupa tugas eksekutif (beshiken)41. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Pasal I huruf (d), yang dimaksud tugas pembantuan adalah tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan pemerintah
kepada daerah
pemerintah tingkat
mempertanggungjawabkan
desa
oleh
atasnya
kepada
yang
pemerintah
dengan
atau
kewajiban
menugaskannya.
Di
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Pasal I butir (g), dinyatakan bahwa tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan Desa dan dari Daerah ke Desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban
melaporkan
pelaksanaannya
mempertanggungjawabkannya
kepada
yang
dan
menugaskan.
Di
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal I butir 9, dinyatakan tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota
dan/atau
desa
serta
dari
pemerintah
kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
41
Irawan Soejito, Op.Cit, hlm. 116-117.
56 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Pendekatan Kajian Pada
dasarnya
dalam
pelaksanaan
pekerjaan
Kajian
Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2015 ini, secara teoritis dapat digunakan beberapa pendekatan dengan memadukan antara kajian sistem yang lebih makro dan kajian sistem yang lebih mikro, walaupun tidak secara menyeluruh. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa kajian yang dilakukan menjadi lebih lengkap, karena mempertimbangkan keseluruhan sistem yang mempengaruhi, baik sistem eksternal maupun internal. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan antara lain : a. Pendekatan Eksternal Penyusunan Kajian Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2015 ini akan mempertimbangkan faktor-faktor mempengaruhi dalam penentuan arah pengembangan, seperti kebijakan-kebijakan pemerintah daerah, peraturan perundangundangan tentang pemerintahan daerah, kondisi dinamika lokal, regional dan bahkan global, dan lain-lain. Dari pendekatan ini nantinya akan teridentifikasi gambaran tentang peluang yang 57 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
tercipta dan tantangan yang harus dijawab dalam Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2015 ini. b. Pendekatan Internal Penyusunan Kajian Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2015 ini mempertimbangkan peraturan daerah yang telah ada, peraturan Bupati serta produk hukum daerah lainnya. Pendekatan ini terkait dengan peraturan daerah yang telah dimiliki
dan
permasalahan
yang
akan
dihadapi
dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. c. Pendekatan Perencanaan dari Bawah (Bottom Up Planning) Merupakan pendekatan pembangunan dengan paradigma baru yang bersifat integratif dan akomodatif sesuai kewenangan dalam skala lokal (kecamatan) maupun skala wilayah Kabupaten Lingga; d. Pendekatan Masyarakat (Community Approach) Merupakan pendekatan Kajian Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2015 yang didasarkan pada upaya melibatkan masyarakat setempat dalam pelaksanaan kegiatan Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2015 agar tercipta keselarasan dan keseimbangan manfaat antara pihak pemerintah dan masyarakat. 58 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Penerapan pendekatan yang digunakan dalam pekerjaan ini perlu didukung oleh pendekatan pelaksanaan yang runtun, jelas, efektif, dan efisien. Pendekatan pelaksanaan pekerjaan terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu pendekatan umum dan pendekatan khusus. 1. Pendekatan Umum, terdiri atas : a. Memahami permasalahan, sebagai bentuk pemahaman terhadap wilayah/lokasi kajian dan akan menjadi dasar dalam pelaksanaan survey lapangan dan pengumpulan data dan informasi yang dibutuhkan; b. Survey lapangan dan pengumpulan data; c. Identifikasi, perbandingan, analisis terhadap data dan informasi yang telah diperoleh selama survey dan pengumpulan data. 2. Pendekatan Khusus, yaitu : 1. Penyusunan Kajian Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2015 ini untuk menghasilkan keluaran yang diharapkan; 2.
Pembahasan/Diskusi Pemerintah
Kabupaten
dan
Konsultasi,
Bintan
sebagai
antara pemilik
pekerjaan dengan kepentingan Masyarakat Kabupaten Bintan sebagai pihak yang menerima manfaat dari perencanaan pengembangan ekonomi masyarakat. 59 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
3.2. Metode Kajian Metode kajian adalah cara-cara atau langkah-langkah yang akan ditempuh dalam melakukan penelitian ini. Metodologi berfungsi untuk menjaga penelitian ini bisa dianggap sebagai penelitian ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan kebenaran informasi yang didapat darinya. Untuk itu, diperlukan beberapa langkah sehingga penelitian ini menjadi penelitian ilmiah. Mengacu pada uraian sub-sub bab sebelumnya di atas, maka dirumuskan metodelogi penanganan pelaksanaan pekerjaan ini, yang meliputi ; metode pengumpulan data, metode pengolahan data, metode survey lapangan, metode analisis, dan metode penyusunan Kajian Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2015. 1. Tahap koordinasi dan konsultasi untuk menyamakan persepsi mengenai substansi pekerjaan melalui forum diskusi. 2. Tahap survey dan kajian data/literatur meliputi survey pengumpulan data sekunder dan data primer melalui teknik
survey
langsung,
observasi,
wawancara
dan
penyebaran kuesioner. Pada tahap ini diharapkan dapat menghasilkan informasi yang komprehensif, padat dan jelas mengenai kondisi peraturan daerah yang ada di 60 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Kabupaten Bintan saat ini. Dalam hal ini termasuk juga faktor–faktor eksternal yang mempengaruhi peraturan daerah yang berlaku saat ini di Kabupaten Bintan. 3. Tahap Analisis, yaitu meliputi analisis kualitatif terhadap laporan hasil survey dan kajian literatur, kajian dan identifikasi
potensi
dan
permasalahan
untuk
merumuskan peraturan daerah Kabupaten Bintan yang tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya pada tahap ini diharapkan dapat dihasilkan analisis kekuatan, kelemahan, tantangan dan peluang kondisi peraturan daerah Kabupaten Bintan yang ada saat ini. 4. Tahap Rencana, yaitu meliputi kegiatan perumusan hasil penelitian terhadap Kajian Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2015 yang disusun dalam bentuk tabel.
3.3. Responden Responden dalam kajian ini adalah orang-orang yang dianggap mengetahui, memiliki informasi dan merasakan terhadap implementasi peraturan daerah Kabupaten Bintan saat ini.
61 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Penentuan responden dilakukan secara purposive (disengaja). Responden dalam kajian sebagai berikut : Tabel 3.1 Komponen Responden No Unsur Keterangan 1. Pemerintah dan Energi Dinas Pertambangan (Sekretaris dan Kabid yang terkait) Dinas Kelautan dan Perikanan (Sekretaris, Kabid dan Kasubag yang terkait) Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (Sekretaris dan Kabid yang terkait) 2. Legislatif Badan Legislasi DPRD Kabupaten Bintan 3. Organisasi LAM Kemasyarakatan LSM KNPI 4. Masyarakat yang mengetahui, Masyarakat memiliki informasi dan merasakan atas implementasi peraturan daerah Kabupaten Bintan saat ini. Sumber : Data Primer tahun 2015 3.4. Metode Pengumpulan Data Untuk kegiatan perencanaan Kajian Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2015 ini, metode pengumpulan data yang dilakukan terbagi 2 (dua) kategori data, yaitu : 1. Data primer merupakan data-data yang berhubungan atau terkait langsung dengan peraturan perundangundangan terkait. Pengumpulan data primer dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu; a. Studi Kepustakaan terhadap peraturan perundang62 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
undangan terkait. b. Wawancara/Interview. Metode wawancara diterapkan bila peneliti mengasumsikan bahwa data yang di butuhkan sebagian besar diketahui oleh key infoman. Metode wawancara di lakukan secara langsung dengan menggunakan
panduan
pertanyaan
yang
sifatnya
terbuka 2. Data Sekunder, merupakan data-data yang sudah tercatat dan sudah dipublikasikan, baik berupa buku laporan, tabulasi, peta, kriteria/standar/parameter dan pedoman, ataupun peraturan perundangan terkait lainnya. Untuk data-data sekunder ini, diperoleh dengan mendatangi langsung sumber data (dari instansi terkait) ataupun dari berbagai hasil kajian literatur (studi kepustakaan) yang pernah
dilakukan
sebelumnya.
Pengumpulan
data
sekunder diperoleh dari sumber yang telah tersusun dalam bentuk dokumen atau arsip dari pihak-pihak terkait atau lembaga yang selama ini berkaitan dengan produk hukum daerah.
3.5. Metode Pengolahan Data Data-data dan informasi yang didapat dari hasil studi 63 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
kepustakaan maupun survey, baik data primer maupun sekunder, selanjutnya diolah dengan cara : a.
Tabulasi,
yaitu
pengelompokkan
data/informasi
berdasarkan jenis dan lingkupnya; b. Pemilahan data-data yang dibutuhkan dan yang kurang relevan dan atau bahkan tidak ada kaitannya dengan kebutuhan kajian (studi) yang dilakukan; c. Pengolahan data dan informasi dalam bentuk; tabel, diagram, peta-peta, dan narasi. d. Analisis data, data-data yang telah diolah dianalisis sebagai dasar penyusunan produk hukum daerah ke depan.
3.6. Alur Pekerjaan Berdasarkan uraian pada sub sebelumnya, maka pada bagian ini disusun suatu bagan alur untuk pelaksanaan pekerjaan Kajian Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2015 di Kabupaten Bintan, ditunjukkan gambar 3.1 di bawah ini
64 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Gambar 3.1 Kerangka alur penyusunan Kajian Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2015 Identifikasi Stakeholder/kondisi & potensi wilayah
Penetapan isu utama
Pengembangan dan Penguatan Kemitraan
Pemetaan
Analisis data
Tehnik pengumpulan data
Penyusunan konsep Adopsi Peraturan Perundangundangan Penyusunan Rencana Diskusi dan pembahasan
Evaluasi oleh pemerintah
3.7. Tenaga Ahli Dalam rangka menghasilkan hasil kajian yang tepat sasaran maka salah satu hal penting adalah ketersediaan tenaga ahli yang terlibat
dalam
kegiatan
Kajian
Evaluasi
Peraturan
Daerah
Kabupaten Bintan Tahun 2015 sebagaimana berikut ini : a. Ketua Tim/Ahli Hukum S2 Hukum dengan pengalaman profesional minimal 5 tahun dan memiliki pengalaman dalam penyusunan produk hukum daerah serta studi-studi yang berkaitan dengan penyusunan
65 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
evaluasi program pemerintah daerah dan studi-studi terkait lainnya. b. Ahli Ilmu Pemerintahan S2 Ilmu Pemerintahan/S2 Ilmu Sosial Politik dengan pengalaman
profesional
minimal
4
tahun
dan
memiliki
pengalaman dalam penyusunan studi-studi yang berkaitan dengan kajian evaluasi kebijakan pemerintah dan studi-studi terkait lainnya dan bertanggung jawab untuk mengembangkan konsep dan memberikan masukan dari sudut pandang disiplin ilmunya menyangkut permasalahan pemerintahan daerah. c. Ahli Hukum S2 Ilmu hukum dengan pengalaman profesional minimal 3 tahun dan memiliki pengalaman dalam bidang pengkajian dan penelitian hukum dan bertanggung jawab untuk mengembangkan konsep dan memberikan masukan dari sudut pandang disiplin ilmunya serta bertanggungjawab terhadap proses wawancara yang berkaitan dengan Kajian Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2015. Dalam pelaksanaan kegiatan, tenaga ahli dibantu oleh tenaga pendukung yang meliputi : a. Tenaga Surveyor, minimal S1 dan berpengalaman dalam melakukan kegiatan survey sosial. 66 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
b. Sekretaris/Administrasi
Proyek,
minimal
SLTA
dan
berpengalaman dalam mengerjakan pekerjaan administrasi proyek.
3.8. Pelaporan Sistem pelaporan dalam kegiatan Kajian Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2015 adalah sebagai berikut : a. Laporan Pendahuluan Berisi metodelogi pelaksanaan kegiatan, rencana kerja, jadwal
pelaksanaan
pekerjaan
secara
keseluruhan,
jadwal
penugasan tenaga pelaksana dan rencana kegiatan survey serta alat bantu survey. Laporan pendahuluan diserahkan paling lambat 20 (dua puluh) hari kalender setelah SPMK dan sebanyak 5 eksemplar b. Laporan Antara 1. Laporan hasil survey dan kajian data yang meliputi :
Hasil kajian literatur dan kebijakan terkait Kajian Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Tahun
2015.
Hasil identifikasi permasalahan Kajian Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2015.
Data-data lainnya.
67 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
2. Hasil analisis peraturan perundang-undangan. 3. Peraturan daerah yang tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Laporan ini diserahkan paling lambat 65 (enam puluh lima) hari kalender setelah SPMK, sebanyak 5 eksempar. c. Laporan Akhir Laporan ini memuat keseluruhan hasil pekerjaan dari Kajian Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2015. Laporan ini diserahkan paling lambat 65 (enam puluh lima hari) hari kalender setelah SPMK sebanyak 5 eksemplar.
3.9. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan Kegiatan Kajian Evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2015 akan dilaksanakan dalam kurun waktu 65 (enam puluh lima) hari kalender, dengan rincian kegiatan sebagai berikut.
68 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Tabel 3.2. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan Bulan No A
B
C E
F
Kegiatan
1
2
I
3
4
1
2
II
3
4
III 1
Persiapan 1. Pemahaman terhadap TOR 2. Penyiapan/mobilisasi Personil 3. Penyiapan Meteda Pelaksanaan 4. Penyiapan Survei Lapangan Pengumpulan Data/Survey 1. Pengumpulan Data Sekunder 2. Pengumpulan Data Primer 3. Pengecekan Data Lapangan Analisis 1. Pencermatan Kondisi Eksisting 2. Identifikasi dan Analisis Masalah Pelaporan 1. Laporan Pendahuluan 2. Laporan Antara 3. Laporan Akhir Diskusi dan Presentasi 1. Diskusi dengan pemberi tugas 2. Presentasi Laporan 69 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
BAB IV PENGKAJIAN DAN EVALUASI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN 4.1
Pengaturan
Kewenangan
antara
Pemerintah
Pusat,
Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten Kota berdasar Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014 Tiada satupun pemerintah dari suatu negara dengan wilayah yang luas dapat melaksanakan kebijaksanaan dan programprogramnya secara efektif dan efisien melalui sistem sentralisasi (Browman dan Hampton, 1983). Negara nasional terlalu kecil untuk mengatur dan mengurus masalah-masalah yang sangat kecil (Bell, 1988;2). Bahwa peran negara
sebagai
pengatur
dan
penyelengara
akan
semakin
berkurang dan akan sangat tergantung dengan mekanisme koordinasi
dan
pembagian
kekuasaan,
baik
pada
tingkat
internasional maupun pada tingkat lokal (Fukuyama, 2004;95). Konsekuensi logis dalam hal ini ialah penyerahan sebagian kekuasaan kepada sub unit-unit sub nasional dan lokal42. Desentralisasi adalah istilah penting dengan konotasi yang luas. Setiap penyerahan kewenangan dari Pemerintah Pusat dapat
42 Eko Prasojo, “Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah di Indonesia; Antara Sentripetalisme dan Sentrifugalisme.” Pidato Pengukuhan Guru Besar Adminitrasi Negara Universitas Indonesia.
70 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
tercakup dari pengertian tersebut. Konsep desentralisasi selalu berkaitan dengan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kekuasaa yang menjadi domain Pemerintah Pusat yang diserahkan ke daerah. Dalam konteks Indonesia, desentralisasi selalu dikaitkan pembentukan daerah otonom atau pemerintahan daerah dan penyerahan urusan pemerintahan dari pusat kepada pemerintah daerah sehingga pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tersebut. Secara teoritik terdapat elemen-elemen dasar yang bersifat generik dalam institusi pemerintahan daerah. Agar pemerintah daerah mampu melaksanakan otonominya secara optimal yaitu sebagai
instrumen
menciptakan
proses
demokratisasi
dan
instrumen menciptakan kesejahteraan ditingkat lokal, maka kita harus memahami secara filosofis elemen-elemen dasar yang membentuk pemerintahan.
pemerintahan Setidaknya
daerah terdapat
sebagai 7
suatu
elemen
entitas
dasar
yang
membangun entitas pemerintahan daerah yaitu43: 1. Urusan Pemerintahan Elemen dasar pertama dari pemerintahan daerah adalah “urusan pemerintahan”, yaitu kewenangan daerah untuk 43
Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, Kementerian Dalam Negeri Tahun 2011.
71 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah. Desentralisasi pada hakekatnya membagi
urusan
pemerintahan;
pemerintahan
pusat
mengerjakan
antar apa
tingkatan
dan
daerah
mengerjakan apa. 2. Kelembagaan Elemen dasar yang ke-dua dari pemerintahan daerah adalah kelembagaan daerah. Kewenangan daerah tidak mungkin dapat dilaksanakan kalau tidak diakomodasikan dalam kelembagaan daerah. Untuk konteks Indonesia, ada
dua
Kelembagaan
penting
yang
membentuk
pemerintahan daerah yaitu: kelembagaan untuk pejabat politik yaitu kelembagaan kepala daerah dan DPRD; dan kelembagaan untuk pejabat karier yang terdiri dari perangkat daerah (dinas, badan, kantor, sekretariat, kecamatan, kelurahan, dll) 3. Personil Elemen dasar ke-tiga yang membentuk pemerintahan daerah
ialah
adanya
kelembagaan
daerah
pemerintahan
yang
personil untuk
menjadi
yang
mengerakkan
menjalankan domain
urusan
pemerintahan
daerah. Personil daerah (PNS Daerah) tersebut yang pada 72 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
gilirannya menjalankan kebijakan publik strategis yang dihasilkan oleh pejabat (DPRD dan Kepala Daerah) untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) sebagai hasil akhir dari pemerintahan daerah. 4. Keuangan Daerah Elemen dasar ke-empat yang membentuk pemerintahan daerah ialah keuangan daerah. Keuangan daerah adalah sebagai konsekuensi dari adanya urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah. Hal tersebut sesuai dengan prinsip “money follows function”. Daerah harus diberikan sumber-sumber keuangan baik yang bersumber pada pajak dan retribusi daerah (desentralisasi fiskal) maupun bersumber dari dana perimbangan (subsidi dan bagi hasil) yang diberikan ke daerah. Adanya sumber keuangan yang memadai akan memungkinkan daerah untuk
melaksanakan
urusan
pemerintahan
yang
diserahkan kepada daerah. 5. Perwakilan Daerah Elemen dasar yang ke-lima yang membentuk pemerintahan daerah adalah perwakilan daerah. Secara filosofis, rakyat yang mempunyai otonomi daerah tersebut. Namun secara praktis adalah tidak mungkin masyarakat 73 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
untuk memerintah bersama. Untuk itu maka dilakukan pemilihan wakil-wakil rakyat untuk menjalankan mandat rakyat dan mendapatkan legitimasi untuk bertindak untuk dan atas nama rakyat daerah. Dalam sistem pemerintahan di Indonesia, ada dua jenis institusi yang mewakili rakyat. Pertama Yaitu DPRD yang dipilih melalui pemilihan umum, untuk menjalankan fungsi legislasi daerah. Kedua ialah Kepala Daerah yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah. 6. Pelayanan Publik Elemen
dasar
yang
ke-enam
yang
membentuk
pemerintahan daerah adalah “pelayanan publik”. Hasil akhir dari pemerintahan daerah adalah tersedianya “goods and services” tersebut dapat dibagi dalam dua klasifikasi sesuai dengan hasil akhir yang dihasilkan pemerintahan daerah. Pertama, pemerintahan daerah menghasilkan public goods yaitu barang-barang untuk kepentingan masyarakat lokal seperti; jalan, jembatan, irigasi, gedung sekolah, pasar, terminal, rumah sakit dan sebagainya. Kedua, pemerintahan daerah menghasilkan pelayanan
yang
bersifat
pengaturan
publik,
seperti;
menerbitkan akte kelahiran, kartu tanda penduduk, kartu 74 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
keluarga, izin mendirikan bangunan, dan sebagainya. Pada dasarnya public regulation dimaksudkan untuk menciptakan
ketentraman
dan
ketertiban
dalam
masyarakat. 7. Pengawasan Elemen
dasar
yang
ke-tujuh
yang
membentuk
pemerintahan daerah adalah “Pengawasan”. Argumen dari pengawasan
adalah
adanya
kecenderungan
penyalahgunaan kekuasaan sebagaimana adagium Lord Acton “Power tends to corrupt and absolute power will corrupt absolutely”. Untuk mencegah hal tersebut maka elemen pengawasan mempunyai posisi strategis untuk menghasilkan pemerintahan yang bersih. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Sesuai dengan ketentuan pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, dalam penyelenggaraan
pemerintahan
dinyatakan
bahwa
Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan. Undang-Undang Dasar 1945 beserta perubahannya telah memberikan landasan konstitusional mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia.
75 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Diantara ketentuan tersebut, yaitu; 1) Prinsip pengakuan dan
penghormatan
negara
terhadap
kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2) Prinsip daerah mengatur dan mengurus rumah sendiri urusan pemerintahan menurut
asas
otonomi
dan
tugas
pembantuan;
3)
Prinsip
menjalankan otonomi seluas-luasnya; 4) prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa; 5) Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilu; 6) Prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil; 7) Prinsip hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah; 8) prinsip hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah
dilaksanakan
secara
adil
dan
selaras
berdasarkan Undang-undang; dan 9) Prinsip pengakuan dan penghormatan
negara
terhadap
satuan-satuan
pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Sejarah panjang penerapan kebijakan desentralisasi di Indonesia dapat ditilik pada ragam kebijakan yang pernah 76 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
diterapkan,
yakni;
Desentraliatie
Wet
1903,
Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948, Penetapan Presiden Nomor 06 tahun 1959, Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965, Undang-Undang Nomor 05 tahun 1974, UndangUndang Nomor 22 tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014. Undang-Undang
Nomor
23
tahun
2014
tentang
Pemerintahan Daerah yang diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2014 merubah wajah hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2014
tentang
Pemerintahan Daerah telah ditetapkan untuk mengganti UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan
keadaan,
ketatanegaraan,
dan
tuntutan
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Otonomi daerah yang dijalankan selama ini semata-mata hanya dipahami sebagai perpindahan kewajiban pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mayarakat. Padahal substansi penting dari otonomi daerah adalah pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah secara politik dan ekonomi agar pembangunan dan pertumbuhan ekonomi berlangsung secara adil dan merata di daerah. Sehingga konsep otonomi daerah dalam kerangka Negara
77 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Kesatuan Republik Indonesia ini yang ditekankan lebih tajam dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014. Dalam pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan UndangUndang Dasar 1945 terdapat dua nilai yang dikembangkan yakni; nilai unitaris44 dan nilai desentralisasi45, dua nilai dasar konstitusi tersebut, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia terkait erat dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah.
desentralisasi
selalu
Hal
ini
terdapat
karena
dalam
dua
elemen
penyelenggaraan penting,
yakni;
pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan secara hukum antara pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur
dan
mengurus
bagian-bagian
tertentu
urusan
pemerintahan. Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tetang Pemerintahan Daerah, pada pasal 9 mengatur klasifikasi urusan pemerintahan yang terdiri dari; 1) Urusan Pemerintahan Absolut,
44
Nialai dasar unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat Negara, artinya kedaulatan melekat pada rakyat, bangsa dan Negera Republik Indonesia tidak akan terbagi diantara kesatuan-kesatuan pemerintahan regional atau lokal. 45 Nilai dasar desentralisasi diwujudkan dengan pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan atau diakui sebagai domain rumah tangga daerah otonom tersebut.
78 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Ialah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat 2) Urusan Pemerintahan Konkuren, Ialah
urusan
pemerintahan
yang
dibagi
antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota dan 3) Urusan Pemerintahan Umum. Ialah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan
79 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Struktur 4.1 Klasifikasi Urusan Pemerintahan Urusan Pemerintahan
1.Pertahanan 2. Keamanan
(1) Absolut
3. Agama 4. Yustisi 5. Politik Luar Negeri 6. Moneter & Fiskal
(2) Konkuren
Wajib
Pilihan
PELAYANAN DASAR (urusan wajib yang
1. Kelautan
sebagian
2. Pariwisata
substansinya merupakan pelayanan dasar (6) Urusan
3. Pertanian 4. Kehutanan 5. Energy dan Sumberdaya mineral 6. Perdagangan 7. Perindustrian; dan 8. transmigrasi
Non Pelayanan Dasar (18) Urusan
dan
Perikanan
Standart Playanan Minimum (SPM)
(3) Urusan Pemerintahan Umum
Pancasila, UUUD 45, Bhineka Tunggal Ika,Nkri, Kesatuan Bangsa, Ketertiban, dll 80 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Struktur 4.2 Klasifikasi Urusan Pemerintahan Konkruen Urusan Pemerintahan Konkruen
Wajib
Pelayanan Dasar
1. 2. 3. 4. 5.
Pendidikan Kesehatan PU & PR Sosial Perumahan rakyat dan kawasan pemukiman 6. Ketentraman, Ketertiban umum dan perlindungan masyarakat
Pilihan
Non Pelayanan Dasar
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tenaga kerja PP & PA Pangan Pertanahan Lingkungan hidup Adm. Kependdkan dan pencatatan sipil; 7. PMD 8. Pengendalaian penduduk dan KB; 9. Perhubungan 10. Kominfo 11. Koperasi dan UKM; 12. Penanaman modal 13. Kepemudaan dan olahraga 14. Statistik 15. Persandian 16. Kebudayaan 17. Perpustakaan dan 18. Arsip
Potensi, penyerapan tenaga kerja dan pemanfaatan lahan
1. 2. 3. 4. 5.
Kelautan dan perikanan; Pariwisata; Pertanian; kehutanan; Energi dan sumber daya mineral; 6. Perdagangan; 7. Perindustrian; dan 8. Tansmigrasi.
Urusan berbasis ekosistem
Kehutanan; ESDM; kelautan dan perikanan
Provinsi
Kabupaten/Kota Dapat bagi hasil
81 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Pembagian Pemerintah
urusan
Pusat
dan
pemerintahan Daerah
konkuren
provinsi
antara
serta
Daerah
kabupaten/kota sebagaimana di atur dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014 pada pasal 13 ayat (1, 2 dan 3) didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas,
serta
kepentingan
strategis
nasional.
Berikut
kriteria-kriteria urusan pemerintahan pusat, daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah: 1. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah provinsi atau lintas negara; 2. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah provinsi atau lintas negara; 3. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah provinsi atau lintas negara; 4. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Pemerintah Pusat; dan/atau 5. Urusan Pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepentingan nasional.
82 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi adalah: 1. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota; 2. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah kabupaten/kota; 3. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah kabupaten/kota; dan/atau 4. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah Provinsi. Kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota adalah: 1. Urusan Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah kabupaten/kota; 2. Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam Daerah kabupaten/kota; 3. Urusan
Pemerintahan
negatifnya
hanya
yang
dalam
manfaat Daerah
atau
dampak
kabupaten/kota;
dan/atau; 4. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih
efisien
apabila
dilakukan
oleh
Daerah
kabupaten/kota. 83 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
4.2
Urusan Pemerintahan Pilihan
Ketentuan
mengenai
pembagian
urusan
pemerintahan
daerah dan pemerintah pusat dalam urusan pilihan adalah sebagai berikut. 1. Penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 2. Urusan Pemerintahan bidang kehutanan yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya kabupaten/kota menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota. 3. Urusan pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral yang berkaitan dengan pengelolaan minyak dan gas bumi menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. 4. Urusan Pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral yang berkaitan dengan pemanfaatan langsung panas
bumi
dalam
daerah
kabupaten/kota
menjadi
kewenangan daerah kabupaten/kota.
84 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Tabel 4.1 Kriteria Kewenangan Pemerintah Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota Pemerintah Pusat Daerah Provinsi Daerah Kab/Kota 1. lokasinya lintas 1. lokasinya lintas 1. lokasinya dalam Daerah provinsi Daerah Daerah atau lintas kabupaten/kota; kabupaten/kota; negara; 2. penggunanya 2. penggunanya 2. penggunanya lintas Daerah dalam Daerah lintas Daerah kabupaten/kota; kabupaten/kota; provinsi atau 3. manfaat atau 3. manfaat atau lintas negara; dampak dampak 3. manfaat atau negatifnya lintas negatifnya hanya dampak Daerah dalam Daerah negatifnya lintas kabupaten/kota; kabupaten/kota; Daerah provinsi dan/atau dan/atau; atau lintas 4. penggunaan 4. penggunaan negara; sumber dayanya sumber dayanya 4. penggunaan lebih efisien lebih efisien sumber dayanya apabila dilakukan apabila lebih efisien oleh Daerah dilakukan oleh apabila dilakukan Provinsi. Daera oleh Pemerintah kabupaten/kota. Pusat; dan/atau; 5. peranannya Strategis bagi kepentingan nasional Dengan diberlakukannya
Undang-Undang Pemerintahan
Daerah Nomor 23 tahun 2014, setidaknya memuat sisi lain dari otonomi
daerah
kepanjangan
yakni
tangan
meletakkan
dari
posisi
pemerintahan
Provinsi
pusat,
sebagai
sebagaimana
diutarakan oleh Robert Endi46 Jaweng, yakni;
46 Robert Endi Jaweng,”Sketsa Otonomi Daerah Tahun 2014”, KPPOD Brief
Edisi Oktober-Desember 2014
85 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
1. Undang-Undang memberikan
Pemerintahan
penekanan
pada
Daerah garis
lebih
akuntabilitas
Daerah kepada Pusat. Selama ini kita hanya menuntut perluasan kewenangan dan fiskal dari Pusat ke Daerah namun lemah dalam akuntabilitas kinerja (yang ada hanya akuntabilitas prosedural) dari daerah ke Pusat. Bahkan, dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah dikenalkan
sanksi
pemberhentian
kepada
Kepala
Daerah, meski pada level Peraturan Pemerintah masih perlu dijabarkan lebih detil kriteria dan mekanismenya agar menghindari potensi politisasi oleh Pusat kepada Kepala Daerah. 2. Penarikan sejumlah urusan (pertambangan, kehutanan, kelautan
dan
perikanan)
yang
saat
ini
di
urus
Kabupaten/Kota ke Propinsi. Pada satu sisi ini memang dilematis lantaran prinsip otonomi untuk mendekatkan jarak
antara
memperpendek
birokrasi rentang
dengan kendali
masyarakat
dan
pemerintahan
jelas
diabaikan. Mengingat praktik buruk di daerah selama ini dan
kebutuhan
skala
ekonomi,
pertimbangan
eksternalitas urusan-urusan Yang berbasis lahan luas, penarikan kembali urusan tersebut diharapkan bisa 86 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
menjamin
efisiensi
(perijinan
hingga
dan
kepastian
business-process
pengendalian/pengawasan)
oleh
pemerintah kepada pelaku usaha. 3. Penguatan Propinsi, khususnya Gubernur sebagai Wakil Pusat di daerah, dalam menjalankan fungsi korbinawas (koordinasi, pembinaan, pengawasan) atas Kab/Kota. Bahkan, kalau sebelumnya peraturan daerah dibatalkan Presiden, ke depan Gubernur berwenang membatalkan peraturan daerah Kab/kota dan Mendagri membatalkan peraturan
daerah
Propinsi.
Pergeseran
otoritas
pembatalan peraturan daerah ini diharapkan segera
dilapisi
dengan
(kelembagaan/personil)
agar
penguatan proses
review
kapasitas peraturan
daerah yang saat ini banyak bermasalah bisa dilakukan secara efektif. 4. Perubahan mekanisme pemekaran dan pembentukan daerah otonom baru (DOB) merupakan terobosan penting dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang baru. Pertama, pintu usulan hanya melalui Kemendagri (pintu usulan DPR dan DPD ditutup). Dijadikannya pemerintah sebagai titik akses tunggal dalam pintu usulan pemekaran diharapkan bias menghindari politisasi pemekaran sejak 87 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
di hulu (fase usulan) sebagaimana yang ditengarai selama ini. Kedua, konsep daerah persiapan di mana daerah baru tidak langsung berstatus sebagai daerah otonom namun mesti melewati proses sebagai daerah persiapan selama 3 tahun dengan dasar pembentukannya adalah Peraturan Pemerintah.
4.3
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan Implikasi perubahannya terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Salah
implementasi
satu
unsur
desentralisasi
penting adalah
yang
selalu
pembentukan
mengiringi peraturan
daerah. Kewenangan pembentukan peraturan daerah merupakan salah satu wujud adanya kemandirian daerah dalam mengatur urusan pemerintahan daerah. Peraturan daerah merupakan instrumen yang strategis dalam mencapai tujuan desentralisasi. Dalam konteks otonomi daerah, keberadaan peraturan daerah pada prinsipnya berperan mendorong desentralisasi secara maksimal.47 Dari sudut pandang pemberdayaan politik, tujuan desentralisasi dapat dilihat dari dua sisi yaitu pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
47 Reny Rawasita, et.al. “Menilai Tanggung Jawab Sosial Peraturan Daerah”. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2009.
88 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Tujuan desentralisasi dari sisi pemerintah daerah adalah untuk mewujudkan political equality, local accountability dan local responsiveness. Sementara itu, tujuan desentralisasi dari sisi pemerintah pusat adalah mewujudkan political education, provide training in political leadership dan create political stability.48 Desentralisasi juga bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan public goods and services dan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pembangunan ekonomi di daerah. Peraturan Daerah merupakan salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. Pada saat ini Peraturan Daerah mempunyai kedudukan yang sangat strategis karena diberikan landasan konstitusional yang jelas sebagaimana di atur dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Peraturan Daerah mempunyai berbagai fungsi yaitu: a) sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. b) merupakan 48 Syarif Hidayat, “Desentralisasi untuk Pembangunan Daerah”, Jentera:
Peraturan Daerah edisi 14 Tahun IV, Oktober-Desember 2006.
89 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam fungsi ini, Peraturan Daerah tunduk pada ketentuan
hierarki
Peraturan
Perundang-undangan.
Dengan
demikian Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. c) sebagai penampung kekhususan dan keragaman daerah serta penyalur aspirasi masyarakat di daerah, namun dalam pengaturannya tetap dalam
koridor
berlandaskan
Negara Pancasila
kesatuan dan
Republik
Undang-Undang
Indonesia Dasar
yang Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. d) sebagai alat pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan daerah. Kabupaten Bintan semenjak tahun 2004 – 2014 telah menghasilkan produk peraturan daerah sebanyak 91 peraturan daerah, dengan di undangkannya Undang-Undang Nomor 23 tahun
2014
tentang
Pemerintahan
Daerah,
maka
dengan
sendirinya peraturan yang berada dibawahnya harus turut menyesuaikan dengan produk peraturan yang lebih tinggi, pada bagian ini akan dilakukan telaah terhadap relevansi acuan yuridis peraturan daerah Kabupaten Bintan.
90 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Tabel 4.2 Inventarisasi Regulasi Pemerintah Kabupaten Bintan 2004-201449 Nomor Regulasi Nama Regulasi 03/2004 Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 30 Tahun 2001 Tentang Rencana Stratejik (Renstra) Kabupaten Kepulauan Riau Tahun 2002 - 2006 04/2004 Pajak Reklame 05/2004 Pajak Restoran 06/2004 Pajak Hotel 08/2004 Penyertaan Modal Daerah Pada Pihak Ketiga 10/2004 Pajak Hiburan 11/2004 Izin Usaha Perfilman 12/2004 Pembentukan Kijang Kota, Kelurahan Sungai Enam, Kelurahan Gunung Lengkuas, Kelurahan Sungai Lekop Di Kecamatan Bintan Timur Dan Kelurahan Kawal Di Kecamatan Gunung Kijang 01/2005 Kedudukan Keuangan Ketua, Wakil Ketua Dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kepulauan Riau 06/2005 Kedudukan Protokoler Ketua, Wakil Ketua Dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kepulauan Riau 07/2005 Retribusi Parkir 12/2005 Pembentukan Organisasi Dinas Daerah Kabupaten Kepulauan Riau 13/2005 Pembentukan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Kepulauan Riau 02/2006 Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor : 1 Tahun 2005 Tentang Kedudukan Keuangan Ketua, Wakil Ketua Dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bintan 03/2006 Pembentukan Dana Cadangan 04/2006 Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2005 06/2006 Penyelenggaran Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil 07/2006 Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pembentukan Organisasi Dinas Daerah 49
Sumber : JDIH Kabupaten Bintan dan JDIH Provinsi Kepulauan Riau
91 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
08/2006 03/2007 07/2007 08/2007 09/2007 10/2007 02/2008 03/2008 04/2008 05/2008 06/2008 07/2008 08/2008 09/2008 10/2008 11/2008 12/2008 13/2008 16/2008
02/2009
Kabupaten Bintan Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 3 Tahun 2006 Pembentukan Dana Cadangan Retribusi Pelayanan Kependudukan Dan Catatan Sipil Badan Permusyawaratan Desa Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan, Pelantikan Dan Pemberhentian Kepala Desa Pedoman Pembentukan Dan Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Pedoman Penyusunan Organisasi Dan Tata Kerja Pemerintah Desa Perangkat Desa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2005-2010 Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan Desa Dan Kelurahan Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Kabupaten Bintan Pembentukan Organisasi Sekretariat Daerah Dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bintan Pembentukan Organisasi Dinas Daerah Kabupaten Bintan Pembentukan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Bintan Pembentukan Organisasi Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bintan Pembentukan Organisasi Kecamatan Dan Kelurahan Kabupaten Bintan Penyerahan Urusan Pemerintahan Kabupaten Bintan Kepada Pemerintahan Desa Pengelolaan Terumbu Karang Keuangan Desa Pengikatan Dana Kegiatan Tahun Jamak Unmtuk Pembangunan Kantor Bupati Bintan Dan Kantor Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bintan Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 5 Tahun 2002 Tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Dasar Pada Puskesmas 92 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
03/2009 04/2009 05/2009 06/2009
07/2009
08/2009 09/2009
10/2009 02/2010 03/2010
06/2010 07/2010
01/2011 02/2011 03/2011 04/2011 05/2011 06/2011
Perencanaan Pembangunan Desa Tata Cara Pelaporan Pertanggungjawaban Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Pedoman Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa Dan Perubahan Status Desa Mejadi Kelurahan Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Kelurahan Toapaya Asri Di Kecamatan Gunung Kijang, Desa De... Penyertaan Modal Dan Penambahan Penyertaan Modal Pemerintah Kabupaten Bintan Kepada Pt. Bank Riau, Dan Pd. Bank Perkreditan Rakyat Bintan Untuk Tah... Pedoman Pembentukan, Penghapusan Dan Penggabungan Kelurahan Pencabutan Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Riau Nomor 4 Tahun 1993 Tentang Pembentukan Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Kepulauan Riau Da... Retribusi Pelayanan Laboratorium Pengujian Mutu Konstruksi Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Badan Usaha Milik Daerah Perseroan Terbatas (Pt) Bintan Int... Kewajiban Pandai Baca Tulis Al-Qur’an Dan Mendirikan Shalat Bagi Anak Usia Sekolah Yang Beragama Islam Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Riau Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Pembentukan Perusahan Daerah Bank Perkreditan Rakyat (Pd.... Pajak Daerah Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2011 Retribusi Jasa Umum Retribusi Jasa Usaha Retribusi Perizinan Tertentu Pengawassan Dan Pengendalian Minuman Beralkohol 93 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
07/2011 08/2011
09/2011
11/2011 01/2012 02/2012 03/2012 04/2012 05/2012 06/2012 07/2012 08/2012 09/2012 12/2012 13/2012 01/2013 02/2013 03/2013 04/2013
Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bintan Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Binta Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Organisasi Dinas Daerah Kabupaten Bintan Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Bintan Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Pengelolaan Pertambangan Mineral Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bintan Tahun 2011 - 2031 Pembentukan Organisasi Dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bintan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun 2012 Penambahan Penyertaan Modal Pemerintah Kabupaten Bintan Kepada PT. Bank Riau Kepri Untuk Tahun 2011 S/D 2014 Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bintan Pembentukan Organisasi Dan Tata Kerja Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bintan Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran Penyelenggaraan Pendidikan Penyelenggaraan Kebersihan Penataan Dan Penggunaan Tanah Untuk Keperluan Tempat Pemakaman Bangunan Gedung Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2010 - 2015 Tentang Pertanggung Jawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2012 Pembentukan Organisasi Sekretariat Daerah 94 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
05/2013
06/2013 07/2013
08/2013
09/2013 10/2013 11/2013 01/2014 02/2014 03/2014 04/2014 05/2014 06/2014 07/2014 09/2014 10/2014
Dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bintan Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Bintan Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Riau Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Pembentukan Perusahan Daerah Bank Perkreditan Rakyat (PD.BPR) Bintan Tentang Penambahan Penyertaan Modal Pemerintah Kabupaten Bintan Kepada Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Bintan Untuk Tahun 2013 S/D 2017 Tentang Perubahan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2013 Tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2014 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak Tentang Pembentukan Lembaga Penyiaran Publik Lokal Radio Bintan Fm Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Di Daerah Tentang Pembentukan Badan Usaha Milik Daerah Kepelabuhan PT. Bintan Karya Bahari Tentang Pelayanan Kesehatan Pada Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bintan Tentang Hibah Dan Bantuan Sosial Dalam Bantuan Pembinaan Keagamaan Tentang Perubahan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2014 Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2015
95 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
4.3.1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 dan Implikasi Perubahannya terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Kluster Desa
“….. Kalau desa kita memang mulai bergerak maju atas kekuatannya sendiri, barulah seluruh masyarakat kita akan pula naiktingkatanserta kemajuannya di dalam segala lapangan,…” Sutan Sjahrir. Pernyataan
tersebut
memuat
makna,
betapa
desa
merupakan entitas sosial yang memiliki tempat penting bagi kemajuan suatu bangsa dan Negara, dalam hal ini ialah Indonesia. Terdapat 3 simpul pemikiran yang terjadi pada saat pendiri bangsa menyusun dasar-dasar dan bentuk Negara sepanjang sidang-sidang
BPUPKI,
dan
sidang-sidang
Panitia
Persiapan
Kemerdekaan (PPKI). Pertama, Jelaslah bahwa Indonesia yang hendak didirikan itu tidaklah berpijak pada pengetahuan tentang jawa saja, melainkan meliputi wilayah yang saat ini di sebut Nusantara. Dalam salah satu sidang Mr. M. Yamin mengatakan “…. Negara Indonesia tidaklah dapat didudukkan di atas hasil penyelidikan bahan-bahan yang didapat di Pulau Jawa saja, karena keadaan itu boleh saja menyesatkan pemandangan dan sedikit mungkin melanggar pendirian kita. Sejak dari sekarag hendaklah meliputi seluruh keadaan-keadaan di segala Pulau
96 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Indonesia. Kita mendirikan Negara Indonesia atas keinsafan akan pengetahuan yang luas dan lebar tentang seluruh Indonesia.” Kedua, pada masa-masa awal berdirinya Indonesia itu, ada kesepahaman yang amat kuat tentang yang kehendak bahwa Negara baru yang ingin dibangun itu adalah sebuah Negara bangsa Indonesia yang baru sama sekali. Dipahami pula bahwa Negara-bangsa Indonesia yang baru itu tidak dapat dilandaskan pada kebesaran-kebesaran kerajaan Nusantara yang pernah ada, karena menurut Mr. M. Yamin, kesemuanya masih bersifat etats patrimonies - negara berdasarkan keturunan - ataupun etats puissances – negara atas dasar kekuasaan semata-. Sebagai alternatifnya, yang menjadi topik penting yang ketiga adalah soal dipilihnya desa- dan adat- sebagai pondasi pendirian Negara bangsa Indonesia itu. “…. Kita tidak mabuk dengan hiburan menyembah kerajaan-kerajaan seribu satu malam atau bertanam Pohon beringin di atas awan, melainkan melihat kepada peradaban yang memberi tenaga yang nyata dan kekuatan yang maha dahsyat untuk menyusun Negara bagian bawah. Dari peradaban rakyat zaman sekarang, dan dari susunan Negara Hukum Adat bagian bawahan, dari sanalah kita mengumpulkan dan
97 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
mengumpulkan sari-sari tata Negara yang sebetul-betulnya dapat menjadi Negara” Ujar Mr. M. Yamin.50 Ada banyak cara pandang terhadap desa, namun setidaknya terdapat tiga cara pandang mainstream tentang desa, yakni :51 1. Cara pandang yang melihat desa sebagai kampung halamannya, baik melalui jalur transmigrasi, urbanisasi atau mobilitas sosial. 2. Cara pandang pemerintahan yang melihat desa sebagai wilayah administrasi dan organisasi pemerintahan paling kecil, paling bawah dan paling rendah dalam hierarkhi pemerintahan di Indonesia. 3. Cara pandang libertarian yang memandang desa sebagai masyarakat tanpa pemerintahan. Cara pandang ini yang melahirkan program-program pemberdayaan masuk ke desa dengan membawa Bantuan Langsung Mandiri yang diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat, seraya meminggirkan dan mengabaikan institusi desa. Sebelum Undang-Undang Desa tersebut ditetapkan, sejak Indonesia merdeka, telah ditetapkan pula beberapa Undang50 Noer Fauzi Rahman, Yesua YDK, dan Nani Saptariani. “ Policy Paper : Pokok-Pokok Pikiran untuk Rancangan Peraturan Pemerintahan tentang Desa Adat.”. Forum Pengembangan Pembaruan Desa (FPPD), Yogyakarta, 2014, hal 1-3. 51 Sutoro eko, Titik Istiyawatun dkk. “ Desa Membangun Indonesia”. Forum Pengembangan Pembaruan Desa (FPPD), Yogyakarta, 2014, hal 12.
98 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Undang yang secara ekslusif maupun mandiri mengatur tentang desa. Undang-undang itu antara lain : Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 19 tahun 1965 tentang Desa Praja, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan terakhir (hingga sebelum 15 Januari 2014) adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sepanjang menyangkut Desa mulai dari Pasal 200 s/d Pasal 216.52 Wajah baru desa menjadi harapan mengiringi UndangUndang Desa dengan posisi, peran dan kewenangan desa yang baru. Karena pada peraturan perundang-undangan sebelumnya, kewenangan desa hanya bersifat target, dan dengan UndangUndang Desa ini kewenangan desa bersifat mandat. Kedudukan desa menjadi pemerintahan masyarakat, hybrid antara self governing community dan local self government, bukan sebagai organisasi pemerintahan yang berada dalam sistem pemerintahan kabupaten/kota (local state government). Desa mempunyai posisi 52 M. Silahudin. Kewenangan Desa dan Regulasi Desa. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. 2015, hal 8-9.
99 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
dan peran yang lebih berdaulat, posisi dan peran yang sangat besar dan luas dalam mengatur dan mengurus desa. Model pembangunan development
yang atau
dulunya
community
bersistem driven
Government
development,
driven
sekarang
bersistem Village driven development. Sejak Orde Baru Negara memilih cara modernisasi-integrasikorporatisasi ketimbang rekognisi (pengakuan dan penghormatan). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, maupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sama sekali tidak menguraikan dan menegaskan asas pengakuan dan penghormatan terhadap desa atau yang disebut dengan nama lain,
kecuali
hanya
mengakui
daerah-daerah
khusus
dan
istimewa. Banyak pihak mengatakan bahwa desentralisasi hanya berhenti di kabupaten/kota, dan kemudian desa merupakan residu kabupaten/kota. Pasal 200 ayat (1) menegaskan: “Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintahan desa dan badan permusyawaratan desa”. Ini secara langsung menempatkan bahwasanya desa hanya direduksi menjadi pemerintahan semata, dan desa dalam sistem pemerintahan
kabupaten/kota.
Bupati/walikota
memiliki
cek
kosong untuk mengatur dan mengurus desa secara luas. Pengaturan
mengenai
penyerahan
sebagian
urusan 100 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
kabupaten/kota
ke
desa,
secara
jelas
menerapkan
asas
residualitas, selain tidak dibenarkan oleh teori desentralisasi dan hukum tata Negara.53 Kedudukan desa menjadi pemerintahan masyarakat, hybrid antara self governing community dan local self government, bukan sebagai organisasi pemerintahan yang berada dalam sistem pemerintahan kabupaten/kota (local state government). Desa mempunyai posisi dan peran yang lebih berdaulat, posisi dan peran yang sangat besar dan luas dalam mengatur dan mengurus desa. Model pembangunan yang dulunya bersistem Government driven development atau community driven development, sekarang bersistem village driven development. Kedudukan desa pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menjadi organisasi pemerintahan
yang
berada
dalam
sistem
pemerintahan
kabupaten/kota. Namun pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Desa, Desa dinyatakan sebagai sebagai pemerintahan masyarakat atau masyarakat yang be-pemerintahan, berada dalam wilayah kabupaten/kota. Terjadi perubahan pengaturan tentang kewenangan desa antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dengan UndangUndang Nomor 6 Tahun 2014. Pertama, Undang-Undang Nomor
53
Ibid, hal 15-16.
101 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
32 Tahun 2004 menegaskan urusan pemerintah yang sudah ada berdasarkan asal usul desa, sedangkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 berdasarkan hak asal usul. Pada dasarnya kedua pengaturan ini mengandung isi yang sama, hanya saja UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 secara tersurat membatasi pada urusan pemerintahan, kedua, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
menyatakan
urusan
pemerintahan
yang
menjadi
kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, sedangkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 menegaskan kewenangan lokal berskala desa. Jenis kewenangan kedua inilah yang membedakan secara tegas dan jelas antara kedua Undang-Undang tersebut.54 Dengan dua azas utama “rekognisi” dan “subdidiaritas” Undang-Undang Desa mempunyai semangat revolusioner, berbeda dengan
azas
“desentralisasi”
dan
“residualitas”.
Dengan
mendasarkan pada azas desentralisasi dan residualitas desa hanya menjadi bagian dari daerah, sebab desentralisasi hanya berhenti di kabupaten/kota. Disamping itu, desa hanya menerima pelimpahan sebagian kewenangan dari kabupaten/kota. Sehingga desa hanya menerima sisa-sisa lebihan daerah, baik sisa
54 Sutoro Eko, Buku Pintar ; Kedudukan dan Kewenangan dan Tata Kelola Desa, Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), 2014, hal 27-28.
102 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
kewenangan maupun sisa keuangan dalam bentuk Alokasi Dana Desa.55 Kombinasi antara azas rekognisi dan subsidiaritas UndangUndang Desa menghasilkan definisi desa yang berbeda dengan definisi-definisi sebelumnya. Desa didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur
kepentingan
dan
mengurus
masyarakat
urusan
setempat
pemerintahan,
berdasarkan
prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI. Dalam pengelompokannya, kewenangan yang dimiliki desa meliputi: kewenangan dibidang penyelenggaraan pemerintahan desa, kewenangan dibidang pelaksanaan pembangunan desa, kewenangan dibidang pembinaan kemasyarakatan desa, dan kewenangan
dibidang
pemberdayaan
masyarakat
desa
yang
berdasarkan prakarsa masyarakat, atau yang berdasarkan hak asal usul dan yang berdasarkan adat istiadat desa. Dalam Pasal 19 dan 103 Undang-Undang Desa disebutkan, Desa dan Desa Adat mempunyai empat kewenangan, meliputi : a) kewenangan berdasarkan hak asal usul. Hal ini bebeda dengan
55
perundang-undangan
sebelumnya
yang
M. Silahudin. Op.cit. hal 11.
103 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
menyebutkan bahwa urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa. b) kewenangan
lokal
berskala
Desa
dimana
desa
mempunyai kewenangan penuh untuk mengatur dan mengurus
desanya.
Berbeda
undangan
sebelumnya
yang
dengan
perundang-
menyebutkan,
urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/ kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa. c) kewenangan
yang
ditugaskan
oleh
pemerintah,
pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota. d) kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
104 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Tabel 4.3 Kewenangan Desa Menurut UU No. 32/2004 dan UU No. 6/2014 UU No. 32/2004 UU No. 6/2014 Urusan pemerintahan yang Kewenangan berdasarkan hak sudah ada berdasarkan hak asal usul asal usul desa berskala Urusan pemerintahan yang Kewenangan local menjadi kewenangan desa kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya pada desa Tugas pembantuan dari Kewenangan yang ditugaskan pemerintah provinsi, dan/atau oleh pemerintah, pemerintah pemerintah kabupaten/kota daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota Urusan pemerintahan lainnya Kewenangan yang ditugaskan yang oleh peraturan oleh pemerintah, pemerintah perundang-undangan daerah provinsi, atau diserahkan kepada desa pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundangundnagan Pengaturan Desa pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 pasal (3 dan 4) berasaskan : a) rekognisi, b) subsidiaritas, c) keberagaman;
d)
kebersamaan;
e)
kegotongroyongan;
f)
kekeluargaan; g) musyawarah; h) demokrasi; i) kemandirian; j) partisipasi; k) kesetaraan; l) pemberdayaan; dan m) keberlanjutan. Dan pengaturan desa tersebut bertujuan : a. memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan
105 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi
mewujudkan
keadilan
bagi
seluruh
rakyat
Indonesia; c. melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa; d. mendorong
prakarsa,
gerakan,
dan
partisipasi
masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama; e. membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab; f.
meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa
guna
mempercepat
perwujuda
kesejahteraan
umum; g. meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara
kesatuan
sosial
sebagai
bagian
dari
ketahanan nasional; h. memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan 106 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
i.
memperkuat
masyarakat
Desa
sebagai
subjek
pembangunan
107 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
No
Peraturan Daerah
1.
Perda No 7 Tahun 2007 Badan Permusyawaratan Desa Perda No 8 tahun 2007 Tata cara Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa Perda No 9 Tahun 2007 Pedoman Pembentukan dan Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES)
2.
3.
Tabel 4.4 Identifikasi dan Kualifikasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Kluster Desa Analisa Perspektif desa Lama Vs Desa Baru Desa Lama Desa Baru Payung Hukum UU No 32/2004 dan UU No. 6/2014, PP PP No. 72/2005 desa 43/2014. PP 60/2014 dana desa. Asas Utama DesentralisasiRekognisiresidualitas subsidiaritas
Rekomendasi
Dilakukan revisi dan up to date acuan yuridis Dan kelengkapan yuridis formal
108 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
4.
Perda No 10 Tahun Kedudukan 2007 Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa 5. Perda No 2 Tahun 2008 Tentang Perangkat Desa 6. Perda No 4 Tahun 2008 Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Kelurahan 7. Perda No 11 Tahun Posisi dan 2008 Penyerahan Peran Kab/Kota Urusan Pemerintahan Kabupaten Bintan Kepada Pemerintahan Desa. 8. Perda No 13 Tahun 2008 Keuangan Desa
Sebagai organisasi Pemerintahan yang berada dalam sisitem pemerintahan kabupaten/kota(Loc al State Government)
Sebagai pemerintahan masyarakat, hybrid atara self governing community dan local self government
Kabupaten/Kota mempunyaikewenan gan yang besar dan luas dalam mengatur desa
Kabupaten/ kota mempunyai kewenanngan yang terbatas dan strategis dalam mengatur dan mengurus desa; termasuk mengatur dan 109 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
9.
Perda No 5 Tahun 2009 Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan
mengurus bidang urusan desa yang tidak perlu ditangani langsung oleh pusat
Delivery kewenangan dan Program Politik Tempat
target
Mandat
Lokasi : desa Sebagai lokasi proyek dari atas
Arena : desa sebagai Arena bagi orang desa untuk menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan dan kemasyarakatan
Posisi dalam Pembangunan
Objek
Subjek
110 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Government driven development atau community driven development Pendekatan dan Imposisi dan Tindakan mutilasi sektoral Model Pembangunan
Village community Fasilitasi, emansipasi konsolidasi
driven
dan
111 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
4.3.2
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan efek perubahannya terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Kluster kewenangan Pemerintah Kabupaten Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (1),
negara Indonesia secara tegas dinyatakan sebagai negara kesatuan yang berbentuk Republik. Prinsip pada negara kesatuan ialah bahwa yang memegang kekuasaan tertinggi atas segenap urusan negara ialah Pemerintah Pusat tanpa adanya suatu delegasi atau pelimpahan
kekuasaan
kepada
Pemerintah
Daerah
(local
goverment) . Sebagai negara unitaris Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut 2 dua nilai dasar yaitu nilai unitaris dan nilai desentralisasi teritorial yang pengejawantahannya berupa otonomi daerah. Sehingga negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kesatuan dengan sistem desentralistik. Konsep Negara Kesatuan dengan sistem desentralisasi menghendaki adanya pendelegasian kewenangan kepada pemerintah daerah otonom, namun kekuasaan asal tetap berada pada pemerintahan pusat. Konsep
Negara
Kesatuan
dengan
sistem
desentralistik
diejawantahkan dalam Pasal 18 dan penjelasannya yang kemudian diamandemen menjadi Pasal 18, 18A dan 18B.
112 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Pasal 18, 18A dan 18B memberikan landasan konstitusional bagi pelaksanaan desentralisasi yang menekankan pada asas otonomi dan tugas pembantuan dan menekankan pada pengakuan kekhususan
dan
keistimewaan
satuan-satuan
pemerintahan.
Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 amandemen melahirkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Berbicara konsep otonomi daerah pasca reformasi terdapat pemahaman
yang
menimbulkan
penafsiran
dalam
penyelenggaraan otonomi daerah yang terdapat dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Jo. Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2007 pembagian urusan dirinci menjadi urusan wajib dan urusan pilihan dengan urusan yang
sama
baik
untuk
pemerintah
daerah
provinsi
dan
kabupaten/kota (Pasal 13 dan Pasal 14). Dan pembagian urusan baik urusan wajib dan urusan pilihan menjadi urusan bersama "concurrent" yang di selenggarakan Pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
113 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Penyelenggaraan
desentralisasi
mensyaratkan
adanya
pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dengan daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan di dasarkan pada
pemikiran
bahwa
selalu
terdapat
berbagai
urusan
pemeritahan yang sepenuhnya atau tetap menjadi kewenangan pemerintah. Urusan pemerintah tersebut menyangkut terjaminya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan. Prinsip pembagian kekuasaan/kewenangan atau urusan pada Negara kesatuan adalah sebagai berikut56: Pertama, Kekuasaan atau kewenangan pada dasarnya adalah milik pemerintah pusat, daerah diberi kewenangan atau hak
mengelola
kewenangan
dan
pemerintah
menyelenggarakan yang
di
sebagian
limpahkan
atau
diserahkan. Jadi proses penyerahan atau pelimpahan kewenangan. Kedua,
Pemerintah
pusat
dan
pemerintah
daerah
tetap
mempunyai garis komando dan hubungan hierarkis. Hubungan yang di lakukan oleh pemerintah pusat tidak untuk mengintervensi dan mendikte pemerintah daerah dalam berbagai hal. 56 Muchlis Hamdi, Supriyanto, R. Endi Jaweng(dkk), Naskah Akademik RUU tentang Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah, BPHN Tahun 2011.
114 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Ketiga,
Kewenangan atau kekuasaan yang dialihkan atau diserahkan kepada daerah dalam kondisi tertentu, dimana
daerah
tidak
mampu
menjalankan
tugas
dengan baik, maka kewenangan atau urusan yang dilimpahkan atau diserahkan tersebut dapat ditarik kembali
oleh
pemerintah
pusat
sebagai
pemilik
kekuasaan atau kewenangan tersebut. Daftar Gambar 4.3 Anatomi Urusan Pemerintah Menurut UU. No 32/200457
57
Made Suwandi, Kewenangan Daerah dalam Koridor UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dalam Josef Riwu Kaho, Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, POLGOV FISIPOL UGM, 2012, hal 129.
115 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Pengaturan pembagian urusan pemerintahan pada Pasal 14 ayat
(3)
Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2004
tentang
Pemerintahan Daerah juncto Pasal 2 ayat (4), 6, 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Pemerintahan
Urusan Daerah
Pemerintahan Provinsi,
dan
Antara
Pemerintah,
Pemerintahan
Daerah
Kabupaten/Kota. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: 1. perencanaan dan pengendalian pembangunan; 2. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 3. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; 4. penyediaan sarana dan prasarana umum; 5. penanganan bidang kesehatan; 6. penyelenggaraan pendidikan; 7. penanggulangan masalah sosial; 8. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
116 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
9. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; 10. pengendalian lingkungan hidup; 11. pelayanan pertanahan; 12. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 13. pelayanan administrasi umum pemerintahan; 14. pelayanan administrasi penanaman modal; 15. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan 16. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 menyebutkan: 1. pendidikan; 2. kesehatan; 3. pekerjaan umum; 4. perumahan; 5. penataan ruang; 6. perencanaan pembangunan; 7. perhubungan; 8. lingkungan hidup; 9. pertanahan;
117 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
10. kependudukan dan catatan sipil; 11. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; 12. keluarga berencana dan keluarga sejahtera; 13. sosial; 14. ketenagakerjaan dan ketransmigrasian; 15. koperasi dan usaha kecil dan menengah; 16. penanaman modal; 17. kebudayaan dan pariwisata; 18. kepemudaan dan olah raga; 19. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; 20. otonomi
daerah,
pemerintahan
umum,
administrasi
keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian; 21. pemberdayaan masyarakat dan desa; 22. statistik; 23. kearsipan; 24. perpustakaan; 25. komunikasi dan informatika; 26. pertanian dan ketahanan pangan; 27. kehutanan; 28. energi dan sumber daya mineral;
118 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
29. kelautan dan perikanan; 30. perdagangan; dan perindustrian Pasal 6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 menyebutkan: 1. Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota pemerintahan
mengatur
yang
dan
berdasarkan
mengurus kriteria
urusan
pembagian
urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) menjadi kewenangannya. 2. Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 menyebutkan: (1) Urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)
adalah
urusan
pemerintahan
yang
wajib
diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan dasar. (2) Urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a) pendidikan;
119 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
b) kesehatan; c) lingkungan hidup; d) pekerjaan umum; e) penataan ruang; f) perencanaan pembangunan; g) perumahan; h) kepemudaan dan olahraga; i) penanaman modal; j) koperasi dan usaha kecil dan menengah; k) kependudukan dan catatan sipil; l) ketenagakerjaan; m) ketahanan pangan; n) pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; o) keluarga berencana dan keluarga sejahtera; p) perhubungan; q) komunikasi dan informatika; r) pertanahan; s) kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; t) otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian;
120 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
u) pemberdayaan masyarakat dan desa; v) sosial; w) kebudayaan; x) statistik; y) kearsipan; dan z) perpustakaan
Setidaknya terdapat 4 (empat) hal penting terkait dengan aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 201458.
4.3.2.1 Klasifikasi dan Urusan Pemerintah. Menurut Pasal 9 ayat (1), Urusan Pemerintahan terdiri dari Urusan Pemerintahan Absolut, Urusan Pemerintahan Konkuren dan Urusan Pemerintahan Umum. Artinya, terdapat tiga Urusan Pemerintah yang sebelumnya memuat dua, yaitu urusan wajib dan urusan pilihan. Secara lebih rinci, ketiga urusan tersebut disajikan berikut : 58
Luky Adrianto dan Akhmad Solihin, Kajian Dampak Kebijakan UU No.23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah Terhadap Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, 2014. Kerjasama Kementerian Kelautan dan Perikanan, MPAG, USAID.
121 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
1. Urusan Pemerintahan Absolut Urusan Pemerintahan Absolut adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, yang meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Dalam menyelenggarakan Urusan Pemerintahan Absolut, Pemerintah Pusat dapat: (a) melaksanakan
sendiri,
(b)
melimpahkan
wewenang
kepada
Instansi Vertikal atau gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat berdasarkan asas Dekonsentrasi; atau menugaskan sebagian Urusan Pemerintahan kepada Pemerintah Daerah berdasarkan asas Tugas Pembantuan.
2. Urusan Pemerintahan Konkuren Urusan
Pemerintahan
Konkuren
adalah
Urusan
Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dengan Daerah
Provinsi
dan
Daerah
Kabupaten/Kota.
Urusan
Pemerintahan Konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar
pelaksanaan
Otonomi
Daerah.
Sementara
Urusan
Pemerintahan Konkuren yang menjadi kewenangan Daerah, terdiri dari Urusan Pemerintahan yang bersifat wajib dan Urusan Pemerintahan yang bersifat pilihan. Pembagian Urusan
122 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Pemerintahan Konkuren antara Pemerintah Pusat dengan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi. Urusan Pemerintahan Wajib terdiri dari: a. Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar, meliputi: pendidikan; kesehatan; lingkungan hidup;
pekerjaan
administrasi
umum;
kependudukan
ketahanan dan
pangan;
pencatatan
sipil;
pengendalian penduduk dan keluarga berencana; sosial; tenaga kerja; perumahan rakyat; ketentraman dan ketertiban
umum
serta
perlindungan
masyarakat;
perhubungan; dan perlindungan anak. b. Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan dan tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar, meliputi: penataan ruang; pertanahan;
komunikasi
dan informatika;
koperasi, usaha kecil, dan menengah; penanaman modal; kepemudaan dan olah raga; pemberdayaan masyarakat desa; pemberdayaan perempuan; statistik; persandian; kebudayaan; perpustakaan; dan kearsipan. c. Urusan
Pemerintahan
Pilihan
adalah
Urusan
Pemerintahan yang berkaitan dengan pengembangan
123 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
potensi unggulan di Daerah, yang meliputi: kelautan dan perikanan; pariwisata; pertanian; kehutanan; energi dan sumber daya mineral; perdagangan; perindustrian; dan transmigrasi.
3. Urusan Pemerintahan Umum Urusan Pemerintahan Umum, adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
4.3.2.2 Pembagian Urusan Pemerintah. Menurut Pasal 13 ayat (1), pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren antara Pemerintah Pusat dengan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota didasarkan pada kriteria akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional
124 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Tabel 4.5 Kewenangan Berdasarkan Prinsip59 No
Tingkatan Pemerintahan
1
Pusat
Kriteria
Urusan
lintas negara;
2
Provinsi
Pemerintahan penggunanya lintas Daerah atau lintas negara;
Urusan
Pemerintahan yang lokasinya Daerah provinsi atau lintas yang provinsi
Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah provinsi atau lintas negara; UrusanPemerintahanyang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota; Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah kabupaten/kota;
3
Kabupaten/ Kota
Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah kabupaten/kota; dan/atau UrusanPemerintahanyang penggunaan sumber dayanya lebih Urusan Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah kabupaten/kota; Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam Daerah kabupaten/kota;
59
Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam Daerah kabupaten/kota; Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah
Undang-undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
125 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
4.3.2.3 Penyelenggaraan Kewenangan Berdasarkan kewenangan sesuai Urusan Pemerintahan, masing-masing
tingkatan
pemerintah
memiliki
ketentuan
penyelenggaraan pemerintahan.
4.3.2.4 Pengelolaan Wilayah Laut Aturan pengelolaan di wilayah laut mengalami perubahan sangat drastis. Adapun perubahan tersebut, yaitu : 1. Perubahan kewenangan Menurut Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, Daerah Provinsi diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya laut yang ada di wilayahnya. Artinya, pasal ini menetapkan bahwa hanya provinsi yang berhak mengelola sumber daya laut. Hal ini berbeda dengan aturan sebelumnya, bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut (Pasal 18 ayat 1 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004). Daerah dalam pasal ini adalah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Jadi, Pasal Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Pemda mencabut kewenangan Kabupaten/Kota.
126 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
2. Bagi hasil pengelolaan sumber daya Meskipun kewenangan pengelolaan kabupaten/kota dicabut, namun kabupaten/kota penghasil dan bukan penghasil mendapatkan
bagi
hasil
Pemerintahan.
Penentuan
dari Daerah
penyelenggaraan Kabupaten/Kota
Urusan penghasil
untuk penghitungan bagi hasil kelautan adalah hasil kelautan yang berada dalam batas wilayah 4 (empat) mil diukur dari garis pangkal ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Dalam hal batas wilayah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kurang dari 4 (empat) mil, batas wilayahnya dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari daerah yang
berbatasan. Artinya,
pemerintah
kabupaten/kota
tetap
mendapatkan “hak” atas bagi hasil sumber daya sejauh 4 mil laut.
3. Kewenangan pengelolaan Kewenangan Daerah Provinsi untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang
Pemda,
meliputi:
(a)
eksplorasi,
eksploitasi,
konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut diluar minyak dan gas bumi; (b) pengaturan administratif; (c) pengaturan tata ruang; (d) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh
127 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah Pusat; (e) membantu memelihara keamanan di laut; dan (e) membantu mempertahankan kedaulatan Negara. Berdasarkan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Pemda, adanya penekanan kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut hanya untuk sumber daya di luar minyak dan gas bumi. 4. Wilayah kewenangan Menurut
Pasal
27
ayat
(3)
Undang-Undang
Pemda,
Kewenangan Daerah Provinsi untuk mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pangkal ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Apabila wilayah laut antara 2 (dua) Daerah Provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) Daerah Provinsi tersebut (Pasal 27 ayat (4). Artinya, terjadi perubahan kewenangan pengelolaan sumberdaya laut yang hanya untuk Daerah Provinsi. Selain itu, perubahan pembagian jarak wilayah pengelolaan sumberdaya laut hanya untuk Daerah Provinsi, sehingga
128 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
pembagian jarak wilayah pengelolaan sumberdaya laut untuk Kabupaten/Kota dibuang.
5. Provinsi Kepulauan Menurut Pasal 28 ayat (1), selain melaksanakan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut, bagi Daerah Provinsi yang berciri kepulauan, Pemerintah Pusat menugaskan pelaksanaan kewenangannya di bidang kelautan. Penugasan baru dapat dilaksanakan apabila Pemerintah Daerah Provinsi yang berciri kepulauan tersebut telah memenuhi norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria, Undang-Undang Pemerintahan Daerah mengamanatkan pengaturan dalam bentuk Peraturan Pemerintah.
4.3.2.5
Pengelolaan Pertambangan Mineral
Dalam rezim hak kepemilikan (property rights regime), hak atas sumber daya digolongkan ke dalam empat jenis hak, yaitu60;
60 Yance Arizona, Karakter Peraturan Daerah SUmberdaya Alam : Kajian Kritis terhadap Struktur Formal Peraturan Daerah dan Konstruksi Hak terkait Pengelolaan Hutan, Penerbit HUMA, 2008, hal 9-15.
129 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
1. Open Acces. Dalam open acces sumber daya alam dipandang tidak memiliki oleh siapapun. Oleh karena itu masyarakat merdeka melakukan
pemanfaatan
dengan
caranya
sendiri.
Sebagian
masyarakat memanfaatkanya secar arif. 2. Private Property Private Property atau keemilikan pribadi atas sumber daya alam seperti tanah atau benda yang engakar pada tanah secara “tetap” dalam literatur hukum perdata termasuk sebagai pemilikan atas benda tidak bergerak (roerende zaken). Pengemban hak atas private property ini adalah pribadi alamiah (naturalijke person) atau pribadi buatan/badan hukum. Menurut Machperson, baik pribadi alamiah maupun pribadi buatan adalah sama-sama pribadi sebagai suatu subjek pengemban hak. Private property sebagai kepemilikan pribadi (individual atau korporasi) adalah jenis hak yang terkuat karena memiliki empat sifat yang tidak dimiliki oleh tiga jenis hak lainnya, yaitu: (a) completeness, dimana hak-hak didefinisikan secara lengkap, (b) exclusivity, dimana semua manfaat dan biaya yang timbul menjadi tanggungan secara ekslusif pemegang hak, (c) transferable, dimana hak dapat dialihkan kepada pihak lain baik
130 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
secara penuh (jual-beli) maupun secara parsial (sewa, gadai), dan (d) enforcebility, dimana hak-hak tersebut dapat ditegakkan. Oleh karena empat alasan itu maka private property dianggap sebagai hak yang paling efisien dan mendekati sempurna. Dorongan kesempurnaan hak yang memiliki empat sifat tadi berorientasi pada kepastian dan efisiensi dalam industrialisasi. 3. State Property Berangkat
dari
motivasi
yang
kuat
untuk
mengatur
pengelolaan sumber daya alam, maka pada masyarakat politik modern, sumber daya alam ditetapkan sebagai “milik negara” atau “state property”. Tesis Hardin tentang “tragedy of the commons” dijadikan sebagai pembenar bagi tindakan negara (pemerintah) untuk menguasai dan mengatur sumber daya alam dalam arti yang seluas-luasnya. Negara menjadi aktor yang paling ekstensif dalam mengatur dan mengelola sumber daya alam karena sifatnya sebagai badan publik yang melingkupi seluruh warganegara. Karena hubungan negara dengan sumber daya alam dan masyarakatnya bersifat publik, maka tujuan dari hubungan negara dengan sumber daya alam adalah untuk kemakmuran masyarakat. Namun, konsep idealistik tentang kedaulatan dan kekuasaan negara sebagai
131 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
badan publik sering kali terdistorsi. Setidaknya terdapat dua distorsi berkaitan dengan state property: Pertama, konsep negara sebagai “penguasa” (aspek publik) didistorsi menjadi negara sebagai “pemilik” (aspek private). Kedua, “Negara” di representasikan menjadi “Pemerintah,” sehingga pemerintah lantas bertindak sebagai pemilik, pengelola, pengurus dan pengawas terhadap tindakan pengelolaan sumber daya alam. Bahkan kebanyakan hak-hak privat lahir sebagai hak berian dari negara c.q pemerintah seperti hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak-hak pengelolaan baik yang diberikan kepada masyarakat atau berkolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia yang menafsirkan Konsep Penguasaan Negara atas Sumberdaya Alam dalam Putusan Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan juga membenarkan hubungan hak kepemilikan yang bersifat privat atau keperdataan antara negara dengan sumberdaya alam: Menimbang bahwa jika pengertian kata “dikuasai oleh negara” hanya diartikan sebagai pemilikan dalam arti perdata
132 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
(privat), maka hal dimaksud tidak akan mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan “sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”,…….. Namun demikian, konsepsi kepemilikan perdata itu sendiri harus diakui sebagai salah satu konsekuensi logis penguasaan oleh negara yang mencakup juga pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. 4. Communal Property Pengelolaan sumber daya alam sebagai “milik negara” maupun milik privat terutama swasta telah meninggalkan jejak yang
sama,
yaitu
kerusakan
lingkungan
dan
peminggiran
masyarakat lokal Communal property bukanlah konsep baru dalam hubungan antara manusia dengan sumber daya alam. Di beberapa tempat,
konsep
communal
property/commons
property
atau
community-based management dicoba dihidupkan kembali dengan mengangkat konsep ulayat dari hubungan masyarakat secara tradisional dengan sumber daya alam yang sudah ada sejak lama. Bahkan konsep itu merupakan konsep sebelum kemunculan negara dan hak privat di negara-negara berkembang. Para pakar seperti Bromley, Ostrom, Lynch dan Talbott menyatakan, bahwa apa yang dimaksud dengan common property bukanlah open
133 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
access sebagaimana disangkakan oleh para ekonom dengan menggunakan The Tragedy of The Commons dari Garret Hardin. Landasan hukum yang berkaitan dengan penguasaan negara atas sumberdaya alam di Indonesia termaktub dalam pasal 33 ayat (2) dan (3) Undang-undang Dasar 1945, Ayat (2) : Cabangcabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Ayat (3): Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hubungan negara dengan sumber daya alam sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 menurut Mahkamah Kontitusi diturunkan ke dalam lima fungsi yaitu: yaitu pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuursdaad), serta pengawasan (toezichthoudensdaad). Lima dilakukan
fungsi oleh
sebagaimana
negara
terhadap
pemerintah
ditafsirkan
oleh
sumberdaya
(termasuk
alam
pemerintah
Mahkamah
yang
daerah)
Konstitusi
dapat
digunakan untuk mengkategorisasi Perda sumberdaya alam.
134 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Pertama, dalam fungsi pengaturan (regelendaad), setiap peraturan daerah adalah bersifat mengatur, sehingga secara eksplisit
bahwa
peraturan
daerah
lahir
dalam
kapasitas
pemerintah daerah melakukan fungsi pengaturan. Kedua, Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilihat dari materi yang diatur dalam peraturan daerah. Apakah suatu peraturan daerah memberikan hak atau kewenangan pengelolaan kepada instansi Badan Usaha Milik
Daerah
atau
Perusahaan
Daerah
dalam
mengelola
sumberdaya alam? Termasuk dalam hal ini adalah apakah negara melalui pemerintah daerah memberikan kewenangan pengelolaan kepada masyarakat atau bersama-sama dengan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Ketiga, Fungsi Kebijakan (beleid) dan Keempat, tindakan pengurusan (berstuursdaad) yang dilihat dari materi peraturan daerah, apakah suatu peraturan daerah memberikan izin, lisensi atau konsesi kepada badan hukum atau non-badan hukum dalam mengakses sumberdaya alam. Fungsi pengurusan dalam bentuk pemberian izin berkaitan dengan kewenangan pemerintah daerah untuk menarik pungutan (pajak daerah dan retribusi daerah) dari pemanfaatan sumberdaya alam
135 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Kelima, Fungsi pengawasan (toezichthoudensdaad) dalam peraturan daerah dilihat dari bagaimana pengaturan pengawasan dan/atau pengendalian dirumuskan di dalam peraturan daerah agar penguasaan negara atas sumberdaya alam dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bagi pemerintah pusat, fungsi pengawasan ini dilakukan dengan melakukan pengujian (executive review) terhadap peraturan daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah.
136 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Tabel 4.6 Perbandingan UU No.11/1967 dan UU No.4/2009 Materi Pokok
UU No.11 Tahun
UU No.4 Tahun 2009
1967 1. Judul
2. Prinsip Hak Penguasaan Negara (HPN)
3. Penggolongan/ Pengelompokan
4. Kewenangan Pengelolaan
Ketentuan2 Pokok Pertambangan Penguasaan bahan galian diselenggarakan Negara (psl. 1)
Penggolongan bahan galian: strategis, vital, non strategis-non vital (psl.3)
o Bahan galian strategis (gol.A) dan vital (gol.B) oleh Pemerintah o Bahan galian
Pertambangan dan Batubara
Mineral
o Penguasaan minerba oleh Negara, diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau Pemda (psl.4) o Pemerintah dan DPR menetapkan kebijakan pengutamaan minerba bagi kepentingan nasional (psl.5) o Pengelompokan usaha pertambangan: mineral dan batubara o Penggolongan tambang mineral: radioaktif, lo- gam, bukan logam, batuan (psl.34) o 21 berada pusat o 14 berada propinsi
kewenangan di tangan kewenangan di tangan
137 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
5. Wilayah Pertambangan
6. Legalitas Usaha
non strategisnon vital oleh Pemda I/Propinsi (psl.4) Secara terinci tidak diatur, kecuali bahwa usaha pertambangan tidak berlokasi di tempat suci, kuburan, bangunan, dll (psl.16 ayat 3)
o 12 kewenangan berada di tangan kabupaten/kota (psl. 6-8)
o Wilayah pertambangan adalah bagian dari tata ruang nasional, ditetapkan pemerintah setelah koordinasi dgn Pemda dan konsultasi dgn DPR (psl.10) o Wilayah pertambangan tdd: wilayah usaha pertambangan/WU P, wilayah pertambangan rakyat/WPR dan wilayah pencadangan nasional/ WPN (psl.14-33) Rezim kontrak Rezim perijinan (psl. 35), (psl.10,15), berupa: o Ijin berupa: usaha o Kontrak pertambangan/IUP o Ijin karya/KK pertambangan o Kuasa rakyat/IPR o Ijin pertambangan usaha /KP pertambangan o Surat ijin khusus/IUPK pertambangan 138 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
7. Tahapan Usaha
8. Klasifikasi Investor & Jenis Legalitas Usaha
daerah/SIPD o Surat ijin pertambangan rakyat/SIPR Enam tahapan, berkonsekuensi pada adanya 6 jenis kuasa pertambangan: penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan & pemurnian, pengangkutan, penjualan (psl.14)
o Investor domestik (PMDN), berupa: KP, SIPD, PKP2B o Investor asing (PMA), berupa: KK, PKP2B
Dua tahapan, berkonsekuensi pada adanya 2 tingkatan perijinan: o Eksplorasi, meliputi: penyeldikan umum, eskplorasi, studi kelayakan. o Operasi produksi, meliputi: konstruksi, penambangan, pengolahan & pemurnian, pengangkutan & penjualan (psl.36) o IUP bagi badan usaha (PMA/PMDN), koperasi, perseorangan (psl.38) o IPR bagi penduduk lokal, koperasi (psl.67) o IUPK bagibadan usaha berbadan hukum Indonesia, dengan prioritas bagi BUMN/D (psl.75)
Pembagian kewenangan antar-pemerintahan. Secara umum, jika merujuk Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menjadi pedomaan dalam Undang139 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Undang Nomor 4 Tahun 2009, arsitektur umum pembagian kewenangan pertambangan dalam sistem pemerintahan RI hari ini dapat ditunjukan seperti gambar berikut ini: Daftar Bagan 4.4 Pertambangan Dalam Sistem Pemerintahan NKRI (UUD 1945 & UU NO. 32 Tahun 2004)
Mengalir dari pedoman di atas, Undang-Undang Minerba menggariskan penetapan
kewenangan
kebijakan
eksklusif
nasional,
(b)
pusat
dalam
pembuatan
hal:
(a)
peraturan
perundang-undangan, (c) penetapan standard, pedoman dan kriteria, (d) penetapan sistem perijinan pertambangan minerba nasional, (e) penetapan wilayah pertambangan setelah
140 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
berkoordinasi dengan Pemda dan berkonsultasi dengan DPR. Di luar itu, jenis-jenis kewenangan (terutama ihwal perijinan) antar pusat, propinsi dan kab/kota bersubtansi sama dan hanya berbeda dalam skala cakupan wilayah: Pemda kab/kota dalam kab/kota tersebut dan wilayah laut sampai 4 mil, Pemda propinsi untuk wilayah lintas kab/kota dan wilayah laut sampai 4-12 mil, serta Pusat untuk wilayah lintas propinsi dan wilayah laut lebih dari 12 mil dari garis pantai. Pembagian semacam ini juga sesuai dengan garis Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan. Wewenang Perizinan Tambang di Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Pemerintahan Daerah/Perpu Nomor 2 Tahun 2014, Pasal 14 menyatakan: Urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral hanya ada pada pemerintah provinsi dari pusat. Selanjutnya,
yang
menjadi
Kewenangan
pemerintah
Pusat adalah sebagai berikut: 1. Menetapkan wilayah tambang (WP) yang terdiri dari wilayah
usaha
pencadangan
pertambangan
negara
(WPN),
dan
(WUP),
wilayah
wilayah
usaha
pertambangan khusus (WUPK); 141 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
2. Menetapkan WIUP mineral logam dan batubara serta WIUPK; 3. Menetapkan WIUP mineral non logam lintas provinsi; 4. Menerbitkan IUP mineral logam, mineral nonlogam, dan batubara yang wilayah tambangnya lintas provinsi, berbatasan negara lain, serta wilayah laut dari 12 mil; 5. Menerbitkan IUP penanaman modal asing; 6. Penerbitan IUPK; 7. Penerbitan IUPL pengolahan dan permurnian untuk penanaman modal asing; 8. Penetapan produksi mineral logam dan batubara untuk tiap provinsi; 9. Penetapan harga patokan mineral logam dan harga patokan batubara; 10. Pengelolaan inspektur tambang. Kemudian, yang menjadi Kewenangan pemerintah Provinsi adalah sebagai berikut: 1. Penerbitan WIUP mineral non logam dan batuan; 2. Penerbitan IUP mineral logam dan batubara; 3. Penerbitan IUP mineral non logam dan batuan; 4. Penerbitan IPR; 142 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
5. Penerbitan IUPK pengolahan dan pemurnian untuk penanaman modal dalam negeri; 6. Penetapan harga patokan mineral non logam dan batuan. 7. Penerbitan WIUP mineral non logam dan batuan; 8. Penerbitan IUP mineral logam dan batubara; 9. Penerbitan IUP mineral non logam dan batuan; 10. Penerbitan IPR; 11. Penerbitan IUPK pengolahan dan pemurnian untuk penanaman modal dalam negeri; 12. Penetapan harga patokan mineral non logam dan batuan. Jika diadakan studi komperatif terkait hal pertambangan maka jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), justru menyebutkan bahwa Kewenangan bupati/walikota terkait izin pertambangan: 1. Menetapkan wilayah pertambangan rakyat (WPR) setelah berkonsultasi DPRD; 2. Menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di wilayahnya;
143 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
3. Memberikan penerbitan
rekomendasi IUP
yang
kepada
berada
dalam
gubernur wilayah
soal lintas
kabupaten dan kepada menteri penerbitan IUP lintas provinsi; 4. Memberikan izin sementara penjualan mineral atau batubara bila kegiatan studi kelayakan yang dilakukan pemegang IUP Eksplorasi mendapatkan minerba; 5. Menerbitkan
IUP
operasi
produksi
untuk
lokasi
penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian serta pelabuhan
yang
berada
dalam
satu
wilayah
kabupaten/kota. Memberikan rekomendasi ke Gubernur untuk IUP lintas kabupaten dan kepada menteri terkait IUP lintas provinsi; 6. Menerbitkan Izin Pertambangan Rakyat; 7. Mencabut IUP atau Izin Usaha Pertambangan khusus (IUPK); 8. Mengawasi usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP; 9.
Melaporkan pelaksanaan kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh pemegan IUP di wilayah kabupaten/kota kepada menteri;
144 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
10. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap usaha pertambangan rakyat; 11. Memberikan sanksi administratif kepada pemegang IUP, IPR, atau IUPK.
145 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Daftar Bagan 4.5 Isu-isu Strategis Mandatory Undang-Undang Nomor 23 tahun 201461 Landasan Fundamanetal Untuk Pengelolaan SDA
Arah Baru Tata Kelola Pertambangan Minerba
Isu-Isu Strategis Mandatory
Harmonisasi dengan Peraturan Pelaksanaan UU4/2009
UUD 1945 Pasal 33
UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
Kelembagaan Inspektur Tambang dan Pejabat Pengawas Pertambangan
a. Penyerahan IUP Bupati/Walikota kepada Gubernur b. Gubernur memberikan Tugas Pembantuan kepada Buapti/Walikota Untuk Menerbitkan IUP Mineral bukan logam dan Batuan
a.
b.
Pengelolaan Inspektur Tambang secara nasional dengan merevisi Kepmen PANRB dan Revisi SKB Menteri ESDM, Menteri PAN dan Kepala BKN Pengelolaan Pejabat Pengawas Pertambangan
Pembentukan Balai Pertambangan
Pembentukan Balai Pertambangan disetiap Provinsi Kecuali Provinsi di Pulau Jawa dan Bali 61
Paparan Direktorat Jendral Mineral dan Batubara Pada Indonesia Minning Outlok 2015, Jakarta 28 Januari 2014
146 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Tabel 4.7 Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Sub Urusan
Pemerintah Pusat
Daerah Provinsi
NO
1 1
2 Mineral dan Batubara
3 4 a) Penetapan wilayah a) Penetapan pertambangan wilayah izin sebagai bagian dari usaha rencana tata ruang pertabangan wilayah nasional, mineral bukan yang terdiri atas ogam dan wilayah usaha batuan dalam 1 pertambagan, (satu) Daerah wilayah Provinsi dan pertambangan wilayah laut rakat dan wilayah sampai 12 mil pencadangan b) Penerbitan izin negara serta usaha wilayah usaha pertambangan pertambangan mineral logam khsusus dan batubara b) Penetapan wilayah dalam rangka izin usaha penanaman pertambangan modal dalam mineral logam dan negri pada batubara serta wilayah izin wilayah izin usaha usaha pertambangan pertambangan khusus Daerah yang c) Penetapan wilayah berada dalam izin usaha satu daerah pertambangan Provinsi mineral bukan termasuk logam dan batuan wilayah laut lintas Daerah sampai 12 mil Provinsi dan laut wilayah laut lebih c) Penerbitan izin dari 12 mil usaha
Daerah Kabupaten/ Kota
5
147 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
d) Penerbitan izin oertambangan usaha mineral bukan pertambangan logam dan mineral logam, batuan dalam batu bara, mineral rangka bukan logam dan penanaman batuan pada: modal dalam 1). Wilayah izin negri pada usaha wilayah izin pertambangan usaha yang berada pada pertambangan wilayah lintas yang berada daerah provinsi; dalam satu 2). Wilayah izin daerah provinsi usaha termasuk pertambangan wilayah laut yang berbatasan sampai dengan langsung dengan 12 mil laut. negara lain; dan d) Penerbitan izin 3) wilayah laut pertambangan lebih dari 12 mil rakyat untuk e) penerbitan izin komoditas usaha mineral logam, pertambangan batubara, dalam rangka mineral bukan penanaman modal logam, dan asing batuan dalam f) pemberianizin wilayah usaha pertambangan pertambangan rakyat. khusus mineral e) Penerbitan izin dan batu bara usaha g) permeberian pertambangan registrasi izin operasi produksi usaha khusus untuk pertambangan dan pengolahan dan penetapan umlah pemurnian produksi setiap dalam rangka daerah provinsi penanaman untuk komoditas modal dalam mineral logam dan negri yang batubara komoditas 148 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
h)
penerbitan izin tambangnya usaha berasal dari satu pertambanngan daerah Provinsi operasi produksi yang sama khusus untuk f) Penerbitan izin pengolahan dan usaha jasa pemurnian yang pertambangan komoditas dan surat tambangnya yang keterangan berasal dari daerah terdaftar dalam provinsi lain di rangka luar lokasi fasilitas penanaman pengolahan dan modal dalam pemurnian, atau negri yang impor serta dalam kegiatan rangka penanaman usahanya dalam modal asing satu daerah i) penerbitan izin provinsi. usaha jasa g) Penetapan harga pertambangan dan patokan mineral surat keterangan bukan logam terdaftar dalam rangka penanaman modal dalam negri dan penanaman modal asing yang kegiatan usahanya di seluruh wialayah Indonesia j) penetapan harga patokan mineral logam dan batubara k) pengelolaan inspektur tambang dan pejabat pengawas pertambangan
149 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
NO
Tabel 4.8 Identifikasi dan Kualifikasi Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Kluster kewenangan Pemerintah Kabupaten Peraturan Daerah Rekomendasi
1
Perda No 5 tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Pemerintah Kabupaten Bintan
2
Perda No 10 tahun 2008 tentang Dilakukan Pembentukan Organisasi Kecamatan Penyempurnaan dan up to dan Kelurahan date acuan yuridis Dan kelengkapan yuridis formal
3
Perda No 8 tahun 2009 tentang Pedoman Pembentukan, dan Penghapusan dan Penggabungan Kelurahan
Dilakukan Penyempurnaan dan up to date acuan yuridis Dan kelengkapan yuridis formal
Keterangan
Pembagian urusan pemerintahan ke dalam 1. Absolut 2. Konkuren yang dibagi ke dalam dua bahagian; a) wajib dan, b) pilihan 3. Urusan Pemerintahan Umum
Dilakukan Penyempurnaan dan up to date acuan yuridis Dan kelengkapan yuridis formal 150 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
4 Perda No 2 tahun 2010 tentang Dilakukan Perlindungan dan Pengelolaan Penyempurnaan dan up to Lingkungan Hidup Daerah date acuan yuridis Dan kelengkapan yuridis formal 5 Perda No 1 tahun 2012 tentang Dilakukan Penyempurnaan dan up to Pengelolaan Pertambangan Mineral date acuan yuridis Dan kelengkapan yuridis formal
6 Perda No 2 tahun 2012 tentang Dilakukan Rencana TataRuang Wilayah Penyempurnaan dan up to Kabupaten Bintan date acuan yuridis Dan kelengkapan yuridis formal 7 Perda No 9 tahun 2012 tentang Dilakukan Penyelenggaraan Pendidikan. Penyempurnaan dan up to date acuan yuridis Dan kelengkapan yuridis formal
Pemberiuan IUP tidak lagi berada dalam urusan pemerintahan kabupaten/kota namun menjadi urusan pemerintahan provinsi. Namun dalam UU minerba 2009 masih meletakkan pemerintah kabupaten/kota sebagai pemberi IUP. Perubahan tentang batas wilayah laut yang kini tidak lagi menjadi urusan pemerintahan Kabupaten/kota namun menjadi urusan pemerintah pemerintahan Provinsi Manajemen Pendidikan a) Pengelolaan Pendidikan Dasar b) Pengelolaan Pendidikan anak Usia dini dan Pendidikan Nssional 151 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Kurikulum Penetapan kurikulum muatan local pendidikan dasar, pendidikan anak usia dini, dan pendidikan non formal Perizinan Pendidikan a) Penerbitan izin pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat b) Penerbitan izin pendidikan anak usia dini dan pendidikan non-formal yang diselenggarakan oleh masyarakat. Pembinaan bahasa dan sastra yang penuturnya dalam daerah Kabupaten/Kota
152 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
BAB V PENUTUP
5.1
Kesimpulan Perubahan
desentralistik bertujuan
sistem
atau
untuk
pemerintahan
otonomi
daerah
peningkatan
dari
yang
pelayanan
sentralistik
pada dan
ke
hakekatnya
kesejahteraan
masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah. Penerapan otonomi daerah merupakan bagian dalam amanat reformasi, dan hal itu kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dan kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah (walaupun terdapat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 2014, namun UndangUndang Nomor 23 tahun 2014 tetap berlaku, perubahan yang terjadi pada Perppu, hanya mencabut dua pasal yakni; terkait dengan kewenangan DPRD memilih kepala Daerah).
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah lebih merupakan dekonstruksi daripada upaya me-
153 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
rekonstruksi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, dengan mereduksi kewenangan bupati/walikota untuk membangun daerah.
Instrument desentralisasi turut mengubah pola pengelolaan sumber daya yang sebelumnya berada dalam level kewenangan kabupaten/kota diantaranya;
kemudian Pengalihan
di
alihkan
urusan
pada
level
pendidikan
provinsi, menengah
(SMA/SMK), perijinan tambang galian C, dan batas wilayah laut dan hutan yang kini kabupaten/kota tidak punya kewenangan karena dialihkan ke Provinsi. Maka dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014, praktis terdapat efek perubahan dan patut dilakukan penyesuaian
acuan
normatif
yuridisnya
peraturan-peraturan
daerah yang ada di Kabupaten Bintan, khususnya yang berkaitan dengan kewenangan yang semula menjadi domain pemerintah kabupaten/kota kini telah beralih ke pemerintahan provinsi, pun demikian dengan beleid desa terdapat peraturan baru yakni Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014.
154 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
DAFTAR PUSTAKA Amrah Muslimin, Pemerintahan Daerah Menurut Perundangan Terakhir (Tahun 1957), Karya Budhi Darma, Jakarta, 1957. ________, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1986. Adrianto, Luky dan Akhmad Solihin, Kajian Dampak Kebijakan UU No.23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah Terhadap Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, 2014. Kerjasama Kementerian Kelautan dan Perikanan, MPAG, USAID. Arizona, Yance, Karakter Peraturan Daerah Sumberdaya Alam : Kajian Kritis terhadap Struktur Formal Peraturan Daerah dan Konstruksi Hak terkait Pengelolaan Hutan, Penerbit HUMA, 2008. B.N Marbun, DPRD & Otonomi Daerah Setelah Amandemen UUD 1945 & UU Otonomi Daerah 2004, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005. Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. David Osborne-Ted Goebler, Reinventing Government, New York: A Plume Book, 1993. Endi Jaweng, Robert, Sketsa Otonomi Daerah Tahun 2014, KPPOD Brief Edisi Oktober-Desember 2014 Eko, Sutoro, Titik Istiyawatun dkk, Desa Membangun Indonesia, Forum Pengembangan Pembaruan Desa (FPPD), Yogyakarta, 2014, Eko, Sutoro, Buku Pintar ; Kedudukan dan Kewenangan dan Tata Kelola Desa, Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), 2014 155 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Fauzi Rahman, Noer, Yesua YDK, dan Nani Saptariani, Policy Paper : Pokok-Pokok Pikiran untuk Rancangan Peraturan Pemerintahan tentang Desa Adat,. Forum Pengembangan Pembaruan Desa (FPPD), Yogyakarta, 2014. HAW Widjaja, Penyelenggaran Otonomi Di Indonesia Dalam Rangka Sosialisasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Rajawali Press, Jakarta, 2005. Hidayat, Syarif, Desentralisasi untuk Pembangunan Daerah, Jentera: Peraturan Daerah edisi 14 Tahun IV, OktoberDesember 2006 Hamdi, Muchlis, Supriyanto, R. Endi Jaweng (dkk), Naskah Akademik RUU tentang Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah, BPHN 2011. Irawan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat Daerah, Rineka Cipta, Jakarta, 1990. Joeniarto, Perkembangan Pemerintahan Jakarta, 1992.
dan
Lokal,
Pemerintah
Bina
Aksara,
Koesoemahatmadja, Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Bina Cipta, Bandung,1979. Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, Kementerian Dalam Negri 2011 Prasojo, Eko, Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah di Indonesia; Antara Sentripetalisme dan Sentrifugalisme, Pidato Pengukuhan Guru Besar Adminitrasi Negara Universitas Indonesia. Rawasita, Reny, et.al., Menilai Tanggung Jawab Sosial Peraturan Daerah, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2009. R.P
Soeroso, Isi Negara Kesatuan, dalam majalah Mimbar Indonesia, 1950, tahun dan nomor penerbitan tidak diketahui. 156 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Silahudin, M., Kewenangan Desa dan Regulasi Desa, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. 2015. Solly Lubis, Perkembangan Garis Politik dan Per-Undang-Undangan Pemerintahan Daerah, Alumni, Bandung, 1983. Soepomo, soal Pemerintah Daerah di dalam UUD Sementara dalam majalah Mimbar Indonesia, 1950, Tahun ke-IV, No 43. Suwandi, Made, Kewenangan Daerah dalam Koridor UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dalam Josef Riwu Kaho, Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, POLGOV FISIPOL UGM, 2012. Sujamto, Otonomi Daerah Yang Nyata Dan Bertanggungjawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984. Paparan Direktorat Jendral Mineral dan Batubara Pada Indonesia Minning Outlok 2015, Jakarta 28 Januari 2014. Rozali Abdulllah, Pelaksanaan Otonomi Luas & Isu Federalisme Sebagai Suatu Alternatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.
Wahyono SK, Wawasan Nusantara Sebuah Konsepsi Geopolitik, dalam majalah Departemen Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia Dharsmasena, no.100/April 1982
157 | P a g e
PUSAT STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
15