JURNAL READING
DEPARTEMEN PENYAKIT MULUT
Aktivitas Ulserasi Oral Behcet’s Disease : Kepatuhan Medikasi Yang Buruk Merupakan Faktor Risiko Yang Terabaikan
Oral ulcer activity in Behcet’s disease: Poor medication adherence is an underestimated risk factor
Oleh : Ending Suryani Musa 170160100111029
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2018
Aktivitas Ulserasi Oral Behcet’s Disease : Kepatuhan Medikasi Yang Buruk Merupakan Faktor Risiko Yang TerabaikanAbstrak Objektif : tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi hubungan antara aktivitas ulserasi oral dan kepatuhan medikasi berdasarkan jenis kelamin pada penderita Behcet’s disease (BD). Metode dan material : kelompok dari penelitian terdiri dari 330 pasien BD (Perempuan 167; lakilaki 163, rata-rata umur; 38,5 ±). Aktivitas ulserasi di oral dan kepatuhan medikasi dievaluasi sebulan sebelumnya. Kepatuhan terhadap medikasi dievaluasi menggunakan 8 item Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8) dengan skor dari 0 sampai 8 dengan skor tertinggi mengindikasikan kepatuhan yang baik. Sedangkan kepatuhan yang buruk dengan nilai <6 berdasarkan MMAS-8. Hasil : lebih dari setengah pasien pada kelompok ini memiliki ulser oral yang aktif (n=129, 66,4%) sebulan sebelum dilakukan penelitian. Jumlah ulser pada pasien perempuan secara signifikan lebih tinggi dengan kepatuhan medikasi yang rendah (2,39±3,24) dibandingkan dengan pasien perempuan lainnya (1,28±2,05; p=0,023). Meskipun kecenderungan yang sama juga diamati pada pasien laki-laki (2.14±3.3 vs. 1.81±2.31), namun hubungan antara keduanya tidak diamati (p=0.89). frekuensi konsumsi obat perhari lebih rendah pada pasien dengan tingkat kepatuhan medikasi yang tinggi dibandingkan dengan objek penelitian lainnya (p=0.04). Kesimpulan : kepatuhan medikasi yang rendah adalah faktor risiko yang tersembunyi pada manajemen BD. Kepatuhan yang buruk memiliki hubungan dengan aktivitas ulserasi oral pada pasien BD perempuan Kata kunci : kepatuhan medikasi, ulserasi oral, Behcet’s disease
Pendahuluan Kepatuhan medikasi adalah hal yang penting dalam sistem kesehatan untuk mengontrol gejala, mengurangi jumlah mortaliti dan morbiditi, dan peningkatan kondisi pasien adalah tujuan utama dari medikasi. Kurangnya kepatuhan medikasi dapat mengakibatkan kunjungan yang tidak dibutuhkan, hospitalisasi, biaya medikasi yang tidak perlu. Pembuat kebijakan di bidang kesehatan bermaksud ingin menurunkan hal-hal di atas karena masalah ekonomi yang kritis. Kepatuhan medikasi utamanya disebabkan oleh pasien sendiri, sistem kesehatan, pola penyakit, dan faktor lainnya yang berhubungan dengan perawatan. Faktor-faktor yang berhubungan
dengan pasien diantaranya profil demografi, rasa keyakinan pasien (belief) , faktor sosioekonomi, termasuk tingkat pendidikan pasien dan status finansial. Belief dapat dijelaskan sebagai rasa kekhawatiran pasien terhadap efek samping dari medikasi atau pemahaman pasien tentang efek yang menguntungkan dari medikasi. Sedangkan faktor yang berhubungan dengan sistem pelayanan diantaranya, komunikasi antara pasien dan tenaga kesehatan serta bagaimana pasien dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia, dengan mengingat bahwa medikasi hanya terbatas pada keparahan dari gejala. Dapat dikatakan medikasi yang mempertimbangkan faktor-faktor di atas adalah tahapan medikasi yang kompleks, terutama dengan memperhatikan jumlah obat yang dikomsumsi setiap hari, sistem administrasi, dan frekuensi dosis. BD adalah kelainan inflamasi kronik multisistemik yang dikategorikan berdasarkan remisi dan relapsnya. Beberapa pilihan medikasi seperti penggunaan analgesik, penggunaan obat antiinflamasi non-steroidal, penggunaan obat kortikosteroid, agen biologis, dapat digunakan sebagai medikasi yang ditentukan berdasarkan tipe dan keparahan dari organ yang terlibat. Ulserasi oral adalah manifestasi klinis yang paling umum ditemukan pada BD. Berbeda dengan agen immunosuppressive, perawatan konvensional menggunakan medikasi topikal dan colchicine tidak bisa mengeliminasi aktivasi ulserasi oral (13-15). Karenanya, kondisi ini dapat menghalangi penyerapan obat pada kasus dengan keterlibatan mukokutaneus. Penyempurnaan perawatan baru-baru ini di-evaluasi kembali dengan studi validitas menggunakan Morisky Medication Adherence Scale (MMAS), Compliance Questionnaire on Rheumatology (CQR-T), and Beliefs about Medicines Questionnaire in BD patients (16, 17). Validasi ini dianggap mampu menjadi alat untuk praktis klinis. MMAS dianggap koheren dengan studi ini (16,17). Tujuan dari studi ini adalah untuk mengevaluasi hubungan antara aktivitas ulserasi oral dan kepatuhan pasien BD terhadap medikasi berdasarkan gender. Material dan Metode Studi cross-sectional ini dilakukan pada 330 pasien BD (F:167; M:163, rata-rata umur:38,5±10,5 tahun) yang didiagnosa berdasarkan kriteria International Study Group (18). Data dikumpulkan dengan cara pemeriksaan klinis dan kuisioner tentang kepatuhan medikasi, jumlah kunjungan selama setahun terakhir, juga frekuensi konsumsi obat perhari. Skore keparahan penyakit dihitung berdasarkan keterlibatan organ(19). Kriteria inklusi: melakukan medikasi pada 3 bulan terakhir dan usia ≥ 18 tahun. Jawaban yang tidak konsisten, kondisi kesehatan mental yang terganggu dan faktor comorbid yang mempengaruhi komsumsi obat (pasien yang cacat penglihatan dan kelainan fisik lainnya) adalah kriteria eksklusinya. Studi dilakukan berdasarkan prinsip Declaration of Helsinki dan diterima oleh Ethical Committee of Marmara University Medical School. Informed consent diberikan kepada semua pasien. Pengukuran “kepatuhan medikasi” dihasilkan dari laporan kepatuhan yang diisi sendiri oleh pasien selama 4 minggu. Kepatuhan medikasi dievaluasi berdasarkan 8-item MMAS (MMAS-8)
yang didapatkan dan ditransletkan dari turki(20,21). Sebelum studi dimulai, kuisioner dikontrol berdasarkan panduan adaptasi cross-cultural(22). Skor yang digunakan pada skala ini adalah 0-8, dengan angka tertinggi menunjukkan kepatuhan yang lebih baik. Kepatuhan yang rendah ditentukan adalah <6 poin pada MMAS-8 (20). Asisten penelitian yang tidak terlibat pada protokol medikasi memberikan kuisioner pada pasien saat kunjungan rutin. Validitas dievaluasi dengan 4 expert(GM, NI, TE, dan HD). Konstruksi validitas dinilai dari frekuensi konsumsi obat perhari dan jumlah kunjungan selama setahun terakhir. Validitas konvergen dievaluasi dengan mengabaikan intake obat dengan 5 poin scoring Likert (1:tidak pernah vs. 5:selalu). Reliabilitas eksternal dinilai dengan analisis test-retest yang diberikan pada 5% pasien sebulan setelahnya oleh single researcher (GM), dan reliabilitas observer internal dievaluasi oleh 2 peneliti(GM dan NI). Nilai Cronbach alpha untuk reliabilitas internal adalah 0,71. Analisis Statistik Data dianalisa menggunakan program SPSS 20,0. Uji T tidak berpasangan, Uji chi-square dan uji korelasi Pearson digunakan dalam analisis. Uji Mann-Whitney U digunakan pada distribusi data yang tidak normal. Hasil Manifestasi klinis dan data demografi pasien ditunjukkan pada tabel 1. Pasien dikategorikan berdasarkan keparahan dalam grup “parah” (pasien dengan keterlibatan organ besar, ≥4 poin) dan grup “ringan”(pasien dengan gejala mukokutaneus, <4) (tabel 1). Lebih dari setengah jumlah pasien memiliki ulserasi oral yang aktif (n=219, 66,4%), selama sebulan penelitian. Lebih dari setengah jumlah pasien dirawat dengan colchicine (1-2 mg/hari), dan lainnya (n=147, 44.5%) diberi obat immunosuppresive (azathioprine dan kortikosteroid) Skor MMAS-8 yang dengan range kepatuhan rendah (poin <6 n=273, 82.7%) hingga level sedang/tinggi (poin ≥6; n=57, 17.3%). Rasio pasien dengan kepatuhan rendah lebih tinggi pada pasien grup keparahan ‘ringan’ (57,5%) daripada pada grup keparahan ‘parah’ (42.5%; p=0.03; Table 2), terutama dengan keterlibatan okular (33.7%; p=0.02). Hubungan yang serupa tidak diobservasi pada grup keparahan ‘ringan’ dan pada keterlibatan organ yang parah (p>0.05). Selain itu, angka kunjungan selama setahun terakhir lebih tinggi pada pasien dengan nilai kepatuhan tinggi (p=0.041; Table 2). Tidak dilakukan observasi terkait dengan durasi penyakit (low: 11.2±7.3 years vs. high: 11.8±8.4 years) dan tahun edukasi (low: 7.2±4.2 years vs. high: 7.3±4.5 years) menurut kepatuhan medikasi (berturut-turut; p=0.59 and p=0.96). Pada pasien perempuan lesi oral secara signifikan berhubungan dengan kepatuhan yang rendah (72.7 %), dibandingkan dengan kepatuhan yang tinggi (50%; p=0.018), sedangkan hubungan yang serupa tidak diamati pada pasien laki-laki (p=0.52; Table 2). Sesuai data ini, jumlah ulserasi oral secara signifikan lebih tinggi pada pasien perempuan dengan kepatuhan rendah (2.39±3.24)
dibandingkan dengan grup lainnya (1.28±2.05; p=0.023). meskipun kecenderungan serupa juga diamati pada pasien laki-laki (2.14±3.3 vs 1.81±2.31), namun hubungan yang signifikan tidak diamati. Pada grup yang diobservasi, frekuensi intake obat perhari lebih tinggi pada pasien dengan kepatuhan rendah dibandingan pada pasien dengan kepatuhan tinggi (p=0.04; Table 2). Skor untuk pasien yang ‘lupa intake obat’ (2.38±1.04) berkorelasi moderat dengan skor MMAS-8 (r=0.6; p=0.000). sebaliknya relasi yang serupa tidak diamati dalam hal angka konsumsi obat perhari (p=0.48; Table 2). Saat 5% pasien yang secara klinis stabil diamati untuk variasi interobserver dan intraobserver, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada reliabilitas intraobserver (p>0.05). reabilitas interobserver dievaluasi oleh 2 peneliti (GM dan NI). Tidak ditemukan perbedaan yang signifikan di antara skor MMAS-8 peneliti (p>0.05). Diskusi Ketidakpatuhan terhadap medikasi berhubungan dengan outcome yang buruk dan hal ini merupakan isu yang penting bagi tenaga kesehatan, pembuat kebijakan juga pembayar dikarenakan kondisi penyakit yang kronis. Hal ini dapat diamati dengan mengukur metabolisme obat secara langsung dan tidak langsung menggunakan data kepatuhan pasien. Pada penelitian terbaru kepatuhan medikasi yang rendah ditemukan pada pasien dengan tingkat penyakit yg ringan dan pada wanita dengan oral ulcer yang aktiv. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, protokol perawatan dengan manifestasi di mucocutaneus masih belum jelas dan penyembuhan total lesi mucocutaneus biasanya tidak dapat dicapai dengan perawatan saat ini. Kedua, wanita dengan keterlibatan mucocutaneus tidak begitu di pengaruhi oleh komplikasi penyakit yang mengancam jiwa. Karenanya, perawatan terhadap penyakit mucocutaneus tidak begitu agresive dibanding penyakit lain yang melibatkan organ penting. Terakhir, ekspektasi pasien untuk sembuh total tidak dapat dicapai pada keterlibatan mucocutaneus. Pemahaman yang kurang terhadap penyakit dan pengaruh psikologis juga berhubungan dengan ketidakpatuhan medikasi pada wanita. Pada pengamatan kelompok, kepatuhan medikasi yang tinggi ditemukan pada pasien dengan keterlibatan mata dibanding pada keterlibatan mucocutaneus. Hasil observasi ini dapat diprediksi Karena pasien dapat dengan mudah melihat efek perawatan pada symptom ini pada kehidupan sehari-hari. Sesuai perkiraan, frekuensi intake medikasi harian berhubungan dengan kepatuhan medikasi yang rendah. Hasil penelitian ini sesuai dengan kemungkinan penyebab ketidakpatuhan seperti lupa mengkonsumsi obat dan pemberian obat yang berkali-kali pada penelitian sebelumnya. Kepatuhan ini dapat ditingkatkan melalui pelatihan terhadap pasien terutama menekankan pentingnya kepatuhan medikasi. Pemberian informasi yang spesifik tentang spesifikasi interval
waktu mengkonsumsi obat (misalnya tiap 6 jam) juga jumlah konsumsi perhari (misalnya 2x sehari) dan memberikan instruksi yang mudah dipahami dapat membantu pasien menjalani medikasi dengan aman dan meningkatkan kepatuhan medikasi. Dikarenakan kepatuhan medikasi tidak begitu dibahas pada praktek klinis sehari-hari, sehingga hal ini sering menjadi masalah yang tersembunyi. Klinisi tidak dapat mengenali hal ini sebagai penyebab kegagalan medikasi, yang akhirnya menyebabkan aktivasi klinis yang tidak dapat diprediksi dan kontrol penyakit yang lemah. Hal penting lainnya adalah protokol medikasi yang kompleks, termasuk multiple medikasi dan multiple dosis per medikasi per hari, yang mempengaruhi keinginan pasien untuk menerima perawatan. Karenanya perlu dilakukan studi lebih lanjut pada BD terkait faktor resiko yang berhubungan dengan ketidakpatuhan medikasi di berbagai kelompok kultural yang berbeda. Studi ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, penelitian dirancang menjadi penelitian cross-sectional dan observasional. Evaluasi kepatuhan dilakukan dengan menggunakan metode self-reporting. Metabolisme obat yang terkait tidak diuji. Kedua, efek dari faktor kultural terhadap medikasi tidak dievaluasi, sehingga perlu dilakukan penelitian multicenter yang ditujukan bagi pasien dari berbagai negara yang berbeda. Ketiga, kepatuhan medikasi dievaluasi pada saat kunjungan ke dokter. Meskipun terdapat beberapa keterbatasan, perlunya motivasi dan edukasi terobservasi pada pasien dengan keterlibatan mucocutaneus pada penelitian ini. Kesimpulannya, kepatuhan terhadap medikasi ditemukan rendah pada kelompok pasien yang diteliti, dan kepatuhan yang buruk ditemukan berhubungan dengan aktivitas ulserasi oral dan juga berhubungan dengan gender pada pasien BD. MMAS-8 dianggap tepat untuk digunakan pada perawatan klinis rutin pasien BD. Penelitian lebih lanjut tentang konsekuensi program edukasi yang terstruktur yang menargetkan peningkatan kepatuhan, yang akan memberikan informasi penting tentang perawatan penyakit, perlu dilakukan.