Pendidikan Agama dalam Paradigma Sistem Pendidikan Nasional (Kajian Kritis UU Sisdiknas)
Oleh : Nurul Fadhilah (2.216.3.019) Program Pasca Sarjana Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati Email :
[email protected] Kata Kunci
: Agama, Paradigma, Sistem
Abstrak
: Pendidikan merupakan kebutuhan hidup semua orang, tanpa pendidikan maka
masyarakat tidak akan terbentuk sesuai dengan yang kebutuhan idealnya. Pendidikan menjadi kunci estafet keberlangsungan generasi dan peradaban. Di sebuah Negara pendidikan pasti berusaha dirancang sebaik-baiknya sehingga kedepannya dapat memajukan Negara tersebut. Indonesia memiliki konsep pendidikan yang termaktub dalam system pendidikan nasional. Terdapat berbagai bidang yang dijelaskan dalam system pendidikan nasional salah satunya tentang pendidikan keagamaan. Pada pembahasan ini system pendidikan nasional yang akan dikaji adalah system pendidikan terbaru yakni UU SISDIKNAS no 20 Tahun 2003. 1. Pendahuluan Berdasarkan pemaparan H.A.R. Tilaar bahwa pendidikan merupakan kegiatan yang esensial dalam setiap kehidupan masyarakat.1 Pendidikan juga merupakan kegiatan yang kompleks, meliputi berbagai komponen yang berkaitan satu sama lain. Jika pendidikan ingin dilaksanakan secara terencana dan teratur, maka berbagai elemen yang terlibat dalam kegiatan pendidikan tersebut perlu dikenali. Untuk itu diperlukan pengkajian usaha pendidikan sebagai suatu sistem. 2
1 H.A.R. Tilaar. Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 50. 2
Nanang Fattah. Landasan Manajemen Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), 6.
Pendidikan nasional telah diatur dan didefinisikan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) nomor 20 Tahun 2003. Dalam UU tersebut pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pendidikan agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Selain itu, dijelaskan pula bahwa Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tersebut berkedudukan sebagai landasan hukum dalam penyelenggaraan setiap sistem pendidikan. UU No. 20 Tahun 2003 ini merupakan salah satu perangkat pendidikan yang sudah semestinya dirumuskan secara baik dan proporsional. Hal ini berkaitan dengan keberadaan UU Sisdiknas tersebut yang berfungsi dalam menjabarkan bagaimana tujuan Visi dan Misi Pendidikan Nasional, hingga mekanisme prosedural pendidikan diatur, dengan tidak melepaskan konteks sosial-politik saat ini dan masa depan. Oleh karena itu, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa baik dan buruk sistem pendidikan dapat dilihat dari keberadaan UU dan sistem pendidikannya. 2. Landasan Teori 2.1 Sejarah Sistem Pendidikan di Indonesia Sejarah Pendidikan Dan UU Sisdiknas Dari Merdeka Sampai Sekarang Pendidikan Nasional Indonesia dimulai sejak Indonesia belum merdeka sampai sekarang.3 Pendidikan sebelum Indonesia merdeka dibedakan menjadi 3 bagian yaitu:
a. yang
Pendidikan
Tradisional yaitu
penyelenggaraan
pendidikan
nusantara
dipengaruhi oleh agama-agama besar di dunia, seperti Hindu, Budha, Islam dan
Nasrani (Katolik dan Protestan);
3
di
Umar Tirtaraharja, dkk, Pengantar Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005, hlm. 288
b. Pendidikan Kolonial Barat yaitu penyelenggaraan pendidikan di nusantara Indonesia oleh pemerintah kolonial Barat, terutama oleh pemerintah kolonial Belanda; c. Pendidikan Kolonial Jepang yaitu penyelenggaraan pendidikan di nusantara Indonesia oleh pemerintah militer Jepang dalam zaman Perang Dunia II.
Setelah dibacakannya teks Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945, mulailah Indonesia menyusun system pendidikan secara mandiri. Pada tangal 18 Agustus 1945 Indonesia menetapkan Pancasila dan UUD’45 sebagai dasar Negara. UUD’45 sendiri menjadi landasan Undang-Undang untuk mengatur Sisdiknas hingga sekarang dengan landasan pasal 31 dan 32 dalam UUD’45 tersebut. Setelah itu pada tanggal 4 April 1950 Pemerintah RI yang berpusat di Yogyakarta mengndangkan UU No 4 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. Kemudian UU ini di berlakukan untuk seluruh wilayah Negara kesatuan II yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1950, melalui UU No 12 th 1954 tentang pernyataan berlakunya UU No 4 Th 1950 dari RI dahulu tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah.4 Setelah masuk pada zaman Demokrasi terpimpin, disamping UU No 12 Th 1954 tentang pernyataan berlakunya UU No 4 Th 1950, pada tanggal 14 Desember 1961 diberlakukan UU No 22 Th 1961 tentang Perguruan Tinggi menjadi dasar Sistem Persekolahan. Setelah itu ditahun 1965 muncul UU No 14 PRPS Th 1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional dan UU No 19 PNPS Th 1965 tentang Pokok-Pokok Pendidikan Nasional. Setelah itu Sisdiknas mulai berkembang menyesuaikan perkembangan SDM di Indonesia, terbukti pada tanggal 27 Maret 1989 diberlakukan UU No 2 Th 1989 tentang Sisdiknas yang didalamnya selain pendidikan sekolah, diberlakukan juga pendidikan luar sekolah guna mencerdaskan kehidupan bangsa yang menjadi tujuan dari UU tersebut.5
4
http://multazam-einstein.blogspot.com/2013/03/kajian-kritis-terhadap-uu-sisdiknas.html Di akses minggu, 15 oktober 2017 5
Ibid, Umar Tirtaraharja, dkk. Hlm 393
Setelah memasuki abad ke-21 UU No 2 Th 1989 diganti dengan UU No 20 Th 2003 dan berlaku sampai sekarang. Alasan digantinya UU 1989 menjadi UU 2003 terkait tentang BAB Sistem Pendidikan Nasional karena UU nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional sudah tidak memadai lagi dan perlu diganti serta perlu disempurnakan agar sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 maka perlu membentuk Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2.2 Definisi sistem pendidikan nasional Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik agar dapat berperan aktif dan positif dalam hidupnya sekarang dan yang akan datang. Pendidikan nasional Indonesia adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan kepada pencapaian tujuan pembangunan nasional Indonesia. Sistem pendidikan nasional (SISDIKNAS) merupakan satu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang saling berkaitan untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional diselenggarakan oleh pemerintah dan swasta di bawah tanggung jawab Mentri Pendidikan dan Kebudayaan dan mentri lainnya, seperti pendidikan agama oleh Mentri Agama, AKABRI oleh Mentri Pertahanan dan Keamanan. Juga departemen lainnya menyelenggarakan pendidikan yang disebut Diklat. Setiap bangsa memiliki sistem pendidikan nasional. Pendidikan nasional masingmasing bangsa berdasarkan pada dan dijiwai oleh kebudayaanya. Kebudayaan tersebut sarat dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang melalui sejarah sehingga mewarnai seluruh gerak hidup suatu bangsa.6 Sistem pendidikan nasional Indonesia disusun berlandaskan kepada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasar pada Pacasila dan UUD’45 sebagai kristalisasi nilai-nilai hidup bangsa indonesia. Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional disusun sedemikian rupa, meskipun secara garis besar ada persamaan dengan sistem pendidikan nasional
6
Made pidarta, landasan pendidikan, Jakarta:PT. Rineka Cipta, 2007, hlm 262
bangsa lain, sehingga sesuai dengan kebutuhan akan pendidikan dari bangsa Indonesia yang secaa geografis, demografis, historis dan kultural berciri khas.
2.3 Pasal-pasal yang berkaitan dengan Pendidikan Agama dalam Sisdiknas BAB III PRINSIP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN Pasal 4 (1)Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. BAB V PESERTA DIDIK Pasal 12 (1)Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak : a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama; Bagian Kesembilan Pendidikan KeagamaanPasal 30 1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundangundangan. 2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. 3) pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. 4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis. 5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
3. Pembahasan 4.1 Undang-Undang SISDIKNAS tentang Pendidikan Islam Peraturan perundang-undangan RI salah satunya yang menjadi landasan yuridis dalam pendidikan adalah Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003. Undang-undang ini bisa disebut sebagai induk peraturan perundang-undangan pendidikan. Undang-undang ini mengatur pendidikan pada umumnya, artinya segala sesuatu bertalian dengan pendidikan, mulai dari prasekolah sampai dengan pendidikan tinggi , mulai dari pendidikan Formal hingga khusus ditentukan dalam Undang-Undang ini. Pendidikan Islam di Indonesia sebagai sub-sistem pendidikan nasional, secara implisit akan mencerminkan ciri-ciri kwalitas manusia Indonesia seutuhnya. Kenyataan seperti ini dapat dipahami dari hasil rumusan seminar pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960, ia memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam ditujukan sebagai bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran islam (Hisbullah, 1999: 28). Dalam kontek ini Ahmad D. Marinda (1986: 23) mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.7 Hal tersebut masi selarasa dengan konferensi dunia petama tentang Pendidikan Islami tahun 1977 Ashraf menerangkan dalam (Tafsir:2016) yang berkesimpulan bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah manusia
yang
menyerahkan diri secara mutlak kepada Allah.8 Sementara itu, tujuan ideal yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia lewat proses dan sistem pendidikan nasional yang termaktub dalam Undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 adalah sebagai berikut: “Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradabaan bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa
7
Ibid. Made pidarta, hlm.47
8
Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: PT Remaja Rosdkarya. 2016. Hlm 67
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” Dengan melihat tujuan pendidikan di atas, baik pendidikan Islam maupun pendidikan nasional, tampaknya paling tidak terdapat dua dimensi kesamaan yaitu: 1. Dimensi transendental (lebih dari hanya sekedar ukhrowi yang berupa ketaqwaan, keimanan, dan keikhlasan) 2. Dimensi duniawi melalui nilai-nilai material sebagai sarana, seperti kecerdasan, pengetahuan dan ketrampilan. Dengan demikian keberhasilan dalam Islam akan membantu keberhasilan nasional. Begitu juga sebaliknya keberhasilan pendidikan Nasional secara makro turut membantu tujuan pendidikan islam. Oleh karena itu, perbedaan lembaga pendidikan Islam mestinya oleh pemerintah dijadikan mitra untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yaitu dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Islam Nasional, merupakan undang-undang yang mengatur penyelenggaraan satu sistem pendidikan nasional sebagai diketahui dalam UUD 1945. 4.2 Pendidikan Keagamaan dalam UU SISDIKNAS Pendidikan agama dimaksudkan untuk membangun aspek keimanan dan ketakwaan sebagaiman diamanatkan dalam undang-undang. Pendidikan agama ini didefinisikan menjadi usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik agar mereka hidup sesuai ajaran islam. Ini dibedakan dari pengajaran agama yang dianggap hanya pemberian pengetahuan agama kepada anak , agar supaya mempunyai ilmu pengetahuan agama. 9 Sejak peraturan perundangan Indonesia mewajibkan materi pendidikan agama dibelajarkan, selama itu pula tidak diatur di sana mengenai agama apa dan untuk siapa. Banyak permasalahan-permasalahan terutama di sekolah negri yang siswanya sendiri
9
Abdur Rohman Saleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, jakarta: PT Gemawindu Pancaprakasa,2000,hlm.117
beragam agamanya . Misalnya di suatu sekolah terdapat siswa yang agamanya menjadi minoritas bahkan kurang dari 3 orang siswa yang menganut agama minoritas tersebut, sekolahpun tidak menganggrakan untuk memanggil guru agamanya karna sedikit siswa yang menganut agama minoritas, secara yuridis sekolah wajib memanggil guru agama jika penganut suata agama minimal terdapat 15 orang seperti dalam PMA No 16 tahun 2010 pasal 4. Muncul permasalahan ketika tidak ada guru yang mengajar siswa beragama minoritas sehingga membuat guru agama yang di sekolah tersebut mau tidak mau yang memberikan nilai pada pelajaran agama karena kebingungannya dan sulit bekerja sama dengan pihak lembaga keagamaan lain . Ada siswa katolik di sekolah negeri diberi pelajaran agama oleh guru yang beragama islam. Demikian pula siswa muslim di sekolah Kristen atau hindu diberikan materi pembelajaran agama yang tidak sesuai dengan agama yang dianutnya. Prektek pendidikan agama semacam ini belakangan ini dinilai tidak proporsional , juga telah menimbulkan kekhawatiran menjadi ajang apostesi (bahasa islamnya pemurtadan siswa-siswa). Padahal jelas dalam hak sebagai peserta didik dalam pasal 12 menyatakan bahwa “setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”. Hal tersebut meberikan kerancuan bahwasanya ternyata system tidak dapat memecahkan atau mengatasai permasalahan yang nantinya terjadi di lapangan. Kontras hal tersebut secara tidak langsung mendeskriminasikan siswa yang menjadi minoritas di suatu lembaga sekolah dan lagi-lagi hal tersebut menjadi kontradiksi dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan yakni” Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”. Sebenarnya kalau dicermati lebih teliti, kelemahan pendidikan agama yang gagal membangun nuansa ibadah (obedience),dan moralitas, yang disebabkan oleh karena agama diajarakan secara mismatch (tidak cocok antara agama guru dan siswa) hanyalah salah satu sebab kelemahan pendidikan agama. Yang benar adalah adanya faktor-faktor lain yang turut serta menjadi penyebabnya. Di beberapa sekolah agama sudah diberikan secara cocok antara agama guru dan siswa, kelemahan-kelemahan pendidikan agama yang sama tetap
saja menghantui. Faktor-faktor pelemah utama lainnya misalnya : soal keterbatsan waktu dan metode pembelajaran. Lepas dari berbagai kelemahan pendidikan agama di sekolah umum, banyak penyelenggara sekolah umum akhirnya melekatkan suasana sekolah menjadi wahana terpadu pembelajaran agama. Kemunculan sistem madrasah , sekolah berlambang agama, misalnya SD Islam, SMP Islam, atau SMA Islam Terpadu, beberapa lengkap dengan boarding school, pondok pesantren dan semacamnya., merupakan terapi pengembangan pendidikan agama agar kelemahan yanga biasa terjadi bisa diatasi. Slogan yang dipampang beragam, ada yang 30 % agama 70 % umum, atau sebaliknya. Ada yang masing-masing 50 % atau 100%. Dengan kemunculan kecenderungan baru pendidikan islam semacam ini, masalah pendidikan agama di sekolah umum relatif sudah bisa diselesaikan sebagian.10 Tetapi siapapun bisa menerka, dengan mengandalkan 2 jam pembelajaran (120 menit) apakah mungkin peserta didik mampu menjadi ahli agama sesuai yang maksud dalam pasal semibilan UU Sisdiknas yakni “Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.” Jika pendidikan agama hanya mengandalkan system formal tentu tidak mungkin hal tersebut dapat tercapai. Dari sini guru-guru agama harus mulai mencari terapi untuk prospek pendidikan agama di masa depan. Diantaranya dengan merangkul orang tua melakukan terapi penyempurnaan melalui : 1.- belajar lagi dirumah, baik oleh orang tua atau memanggil guru ngaji. 2- sekolah madrasah diniyah sore, 3- sekolah negeri sambil menjadi santri di pondok pesantren.
10
Ibid, Abdur Rohman Saleh, hlm 119
Akan tetapi penyempurnaan ini bersifat bebas. Sehingga tidak semua orang tua menyadari kepentingan melakukannya. Sedangkan ada pula pendidikan informal merupakan penyelenggaraan pendidikan keagamaan paling banyak dilaksanakan oleh masyarakat, karena karaktenya yang tidak terstruktur, tidak berjenjang, dan tidak memiliki pola tetap. Contoh pendidikan ini adalah anak yang belajar ngaji kepada orang tuanya, belajar secara mandiri, dan lain sebagainya. Karena pendidikan informal ini merupakan salah satu jenis pendidikan yang diatur oleh UU Sisdiknas, maka siapapun yang memiliki kewenangan seharusnya memiliki hak dan kewajiban untuk mengatur, membina dan memberikan sanksi bila dipelukan. Terlebih dari kondisi system yang kurang memperhatikan detail setiap hak peserta didik secara individu, kita berkelut juga mengenai biroksi. Dalam pasal Sembilan dijelaskan “Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Pemerintah dalam hal tersebut tidak jelas, mengapa tidak langsung saja dijelaskan secara mutlak bahwa pendidikan agama dibawah kementrian agama, atau pendidikan agama di bawah kementrian pendidikan nasional. Ada kejanggalan tersendiri seperti kurikulum agama di sekolah negri ( yang berada dalam kementrian pendidikan) dibuat oleh kementrian pendidikan , buku dibuat oleh kementrian pendidikan tetapi pengawasan pendidikan agamanya dan evaluasinya dilakukan oleh kementrian agama. Tampaknya kementrian agamanya seperti kehilangan ruh nya mengawasi apa yang bukan buatan mereka. Muncul pertanyaan-pertanyaan mengapa tidak kementrian agama saja yang secara menyeluh mencover pendidikan agama. Atau jika melihat sisi pendidikan bahwa pendidikan itu milik kementrian pendidikan, mengapa tidak langsung saja pengawasan diberikan langsung oleh kementrian pendidikan agar mereka dapat mengevaluasi sendiri hasil konsep system buatan mereka bukan dilimpahkan kementrian agama. 4. Kesimpulan dan Rekomendasi 5.1 Kesimpulan Tujuan pendidikan agama dengan tujuan pendidikan nasional pada hakikatnya memiliki visi yang sama sehingga kedua tujuan tersebut saling berkesinambungan.
Beberapa permasalahan timbul mengenai hak peserta didik dalam memperoleh pendidikan agamanya seperti terdapat dalam sisdiknas tapi tidak terbantu dengan perundang-undangan yang lain atau menjadi tolak belaka. Pemerintah dalam sisdiknas tidak jelas menyebutkan penanggug jawab dalam pendidikan agama di Indonesia. 5.2 Rekomendasi 5.2.1. Perlu ada penyesuaian yang menyeluruh antara sisdiknas dengan undanganundangan pendidikan agama agar tidak terjadi kerancuan. 5.2.2 Perlu ada satu lembaga utuh yang jelas tentang siapa yang mengatur pendidikan agama di Indonesia secara keseluruhah. Faktanya dualisme lembaga yang menjadi pengatur pendidikan agama yakni kemenag dan kemendikbud melah membuat kebingungan pada masyarakat tentang siapa yang paling bertanggung jawab dalam system pendidikan agama. Daftar Pustaka Fattah, Nanang. 2009. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. http://multazam-einstein.blogspot.com/2013/03/kajian-kritis-terhadap-uu-sisdiknas.htm Minggu, 15 September 2017
l
Pidarta made. 2007. landasan pendidikan, Jakarta:PT. Rineka Cipta, Saleh Abdur Rohman, 2000. Pendidikan Agama dan Keagamaan, jakarta: PT Gemawindu Pancaprakasa Tafsir. Ahmad. 2016. Ilmu Pendidikan Islami. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Tilaar, H.A.R. 2009. Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan. Jakarta: Rineka Cipta. Tirtaraharja Umar, dkk, 2005. Pengantar Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta,