Identifikasi Tingkat Pengetahuan Ibu Mengenai Kelainan Kongenital di Kelurahan Plaju Ulu Kota Palembang Ahmad Reyhan, Mitayani, Ratih Pratiwi Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang
ABSTRAK Kelainan kongenital adalah kelainan dari struktur atau fungsi yang terjadi saat masa kandungan dan dapat diidentifikasi saat prenatal atau saat lahir. Kelainan kongenital juga menjadi salah satu penyebab kematian bayi baru lahir dan balita dimana angka kematian anak yang ditimbulkan oleh kelainan kongenital sendiri berjumlah 495.000 anak di seluruh dunia dan sebagian besar penderita kelainan kongenital meninggal pada tahun pertama kehidupan mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat pengetahuan ibu mengenai kelainan kongenital. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah ibu yang berada di usia reproduktif, yaitu berusia 15-49 tahun. Pengambilan sampel sendiri menggunakan teknik cluster sampling. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Hasil penelitian didapatkan bahwa sejumlah besar pengetahuan baik berasal dari ibu-ibu yang berusia berusia 40-49 tahun, yaitu sebanyak 69 ibu (52,7%), ibu yang memiliki pendidikan perguruan tinggi, yaitu berjumlah 68 orang (72,3%), serta ibu yang multipara, yaitu sejumlah 102 orang (33,4%). Menurut teori, usia mempengaruhi pengetahuan dikarenakan semakin tua usia, maka semakin banyak pula pengetahuan seseorang. Sedangkan tingkat pendidikan mempengaruhi pengetahuan dimana pendidikan merupakan suatu usaha mematangkan individu dan sumber informasi. Pengalaman ibu saat mengandung dapat membentuk pola pikir ibu sehingga mempengaruhi pengetahuan ibu. Kesimpulan dari penelitian adalah tingkat pengetahuan ibu mengenai kelainan kongenital sudah baik.
Kata Kunci: Kelainan Kongenital, Pengetahuan, Usia, Pendidikan, Paritas
ABSTRACT Congenital malformation are abnormality of structures or functions that occur during pregnancy and can be identified at prenatal or at birth. Congenital malformation are also one of the causes of death of newborns and toddlers where child mortality caused by congenital malformation alone amounts to 495,000 children worldwide and most people with congenital malformation die within the first year of life. This study aims to identify the level of knowledge of the mother about congenital malformation. The sample used in this study is the mother who was in the reproductive age, which is aged 15-49 years old. Sampling by self using cluster sampling technique. The type of this research is descriptive research. The results showed that a large amount of good knowledge came from mothers aged 40-49 years old, as many as 69 mothers (52.7%), mothers who have college education, which is 68 people (72.3%), and multiparous mother, which is 102 people (33,4%). According to the theory, age affects knowledge because of the older age, the more one's knowledge. While the level of education affects knowledge where education is an attempt to mature individuals and information sources. As well as maternal experience in pregnancy will shaping the mother's mindset and affecting their knowledge. The conclusion of the research is the level of mother knowledge about congenital malformation is good.
Key Word: Congenital malformation, Knowledge, Age, Education, Parity
PENDAHULUAN Kelainan kongenital adalah kelainan dari struktur atau fungsi yang terjadi saat masa kandungan dan dapat diidentifikasi saat prenatal, saat lahir atau mungkin kemudian saat bayi.
1
Berdasarkan laporan WHO, sekitar 3 juta
janin dan bayi lahir dengan kelainan mayor. Kelainan kongenital sendiri merupakan salah satu penyebab kematian anak di seluruh dunia. Angka kematian anak yang ditimbulkan oleh kelainan kongenital sendiri berjumlah 495.000 anak di seluruh dunia. Sebagian besar penderita kelainan kongenital meninggal pada tahun kehidupan pertama mereka.
1
Kelainan kongenital juga menjadi salah satu penyebab kematian bayi baru lahir dan balita di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh program penurunan kematian neonatal di Indonesia masih terfokus pada masalah Bayi Berat Lahir Rendah, asfiksia, dan infeksi. 2
1
METODE Penelitian ini merupakakan penelitian deskriptif, yang bertujuan mendeskripsikan tingkat pengetahuan ibu mengenai kelainan kongenital. Desain penelitian yang dipilih adalah Cross-sectional. Penelitian dilakukan pada tanggal 27 Oktober - 27 Desember 2017 di Kelurahan Plaju Ulu Kota Palembang. Pengambilan sampel secara cluster sampling dari 45 RT di Keluruhan Plaju Ulu yang memenuhi kriteria inklusi. Data penelitian berupa data primer kuisioner. Hasil dari kuisioner kemudian dilanjutkan dengan dengan mendeskripisikan data yang didapat serta menarik kesimpulan dari data yang diperoleh.
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan pada 398 orang dimana jumlah keseluruhan penduduk perempuan Kelurahan Plaju Ulu adalah 9641 jiwa. Hasil penelitian diuji dengan mengggunakan satu metode analisis data, yaitu analisis univariat. Analisis univariat yang diteliti digunakan untuk mengidentifikasi variabel yaitu tingkat pengetahuan ibu secara keseluruhan, tingkat pengetahuan berdasarkan usia, tingkat pengetahuan berdasarkan paritas dan tingkat pengetahuan berdasarkan tingkat pendidikan.
Anak retardasi mental di Yayasan Bina Autis Mandiri dan Yayasan Pembinaan Anak Cacat Palembang yang didiagnosis retardasi mental sebanyak 90 orang, namun hanya 78 data yang dapat dianalisis sedangkan 12 data tidak dapat dianalisis dikarenakan terdapat bekas luka pada jari-jari tangan, responden menolak dan responden tidak hadir saat penelitian. Gambar 1. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Berdasarkan Usia
120 100 80 Buruk 60
Sedang Baik
40 20 0 <21
21-30
31-40
41-49
2
Dari gambar 1 didapatkan menunjukkan bahwa sejumlah besar pengetahuan baik berasal dari ibu-ibu yang berusia berusia 41-49 tahun, yaitu sebanyak 57 ibu. Serta jumlah yang merata di semua usia untuk pengetahuan yang kurang. Hal ini kemungkinan dikarenakan penelitian dilakukan pada saat hari dan jam kerja, dan ibu-ibu berusia tersebut tidak mengikuti acara PKK yang diadakan di RT. Berdasarkan teori, aspek psikologis atau mental taraf berpikir seseorang semakin matang dan dewasa maka tingkat pengetahuan seseorang tersebut semakin luas. 3,4 Semakin tinggi umur seseorang, maka semakin bertambah pula ilmu atau pengetahuan yang dimiliki karena pengetahuan seseorang diperoleh dari pengalaman sendiri maupun pengalaman yang diperoleh dari orang lain.
5,6
Serta, usia memungkinkan jumlah
pengetahuan yang lebih banyak sehingga lebih mudah dalam menyerap informasi dan dapat melakukan pengambilan pengetahuan lebih terstruktur, meskipun adanya keterbatasan memori, sehingga lebih efisien dalam pembelajaran . 6 Pada penelitian yang dilakukan oleh Masoumeh, et al (2015), terhadap 150 perempuan di Iran Utara, terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan ibu mengenai kelainan kongenital dan usia ibu. 7 Sedangkan pada penelitian Bello (2012), tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan ibu mengenai kelainan kongenital dan usia ibu. 8
Gambar 2. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tabel 2 menunjukkan nilai IQ dengan frekuensi tertinggi yaitu pada kategori ringan sebanyak 47 orang (60,3%), sedangkan untuk frekuensi terendah pada kategori berat dan sangat berat (0%).) Insiden retardasi mental di Indonesia sebesar 1-3% dari jumlah penduduk dengan kriteria retardasi mental ringan 80%, retardasi mental sedang 12% dan retardasi mental berat 1%.5 Pada penelitian ini tidak ditemukan retardasi mental berat dan sangat berat kemungkinan karena kebanyakan dari mereka mempunyai keterbatasan dalam gerak fisik, ada yang tidak dapat berjalan dan tidak dapat berdiri atau bangun tanpa bantuan, mereka lambat dalam mengerjakan tugas-tugas yang sangat sederhana, sulit menjangkau sesuatu, dan mendongakkan kepala, sehingga mereka tidak disekolahkan di YPAC dan YBAM karena tidak mampu untuk mengikuti proses belajar di sekolah.
Tabel 3. Distribusi Pola Sidik Jari pada Anak Retardasi Mental Pola Sidik Jari
Frekuensi (n)
Persentase (%)
Simple Arch
11
1,4
Tented Arch
32
4,1
Ulnar Loop
455
58,3
Radial Loop
12
1,5
3
Simple Whorl
204
26,2
Central Pocket Whorl
31
4
Accidental Whorl
6
0,8
Double Loop Whorl
29
3,7
Total
780
100
Pola sidik jari diperoleh dari lima jari tangan kanan dan lima jari tangan kiri. Sehingga dari 78 responden didapatkan 780 pola sidik jari. Pola sidik jari terbanyak yaitu pada pola ulnar loop sebanyak 455 jari tangan (58,3%). Sedangkan frekuensi terendah yaitu pada pola accidental whorl sebanyak 6 jari tangan (0,8%). Hasil ini serupa dengan distribusi persentase pola sidik jari pada orang normal yaitu sekitar 5% dengan pola arch, 25- 30% merupakan pola whorl, dan 65-70% adalah pola sidik jari loop.12 Hal ini kemungkinan adanya faktor genetik dan lingkungan, walaupun dalam penelitian ini tidak dilakukan analisis lanjutan bagaimana pewarisan sifat pola sidik jari dan bagaimana lingkungan mempengaruhinya. Penelitian oleh Bhagwat dan Mesram (2013) yang memaparkan bahwa terjadi peningkatan pola ulnar loop (68,4%) dan penurunan pola whorl (23,65%) pada anak retardasi mental.6 Gaikwat dan Pandhare (2016) juga memberikan hasil serupa yaitu adanya peningkatan yang signifikan dalam pola ulnar loop (59%) dan pengurangan pola whorl (31%) pada retardasi mental dibandingkan dengan anak normal yaitu ulnar loop (51,6%) dan whorl (42%).7 Penelitian di Sumatra Utara oleh Sufitni (2007) memaparkan bahwa persentase pola sidik jari yang paling banyak pada anak retardasi mental yaitu ulnar loop (60%).
8
Beberapa hasil penelitian diatas menunjukkan
penurunan pada frekuensi whorl tanpa mengklasifikasikan jenis whorl itu sendiri, dimana hal ini sedikit berbeda dengan penelitian yang dilakukan yaitu pola whorl yang mengalami penurunan frekuensi tersebut adalah tipe accidental whorl. Saat ini penelitian tentang sidik jari masih sedikit.
9,10,11
Rata-rata pola sidik jari pada tangan manusia umumnya sekitar
5% dengan pola arch, 25- 30% merupakan pola whorl, dan 65-70% adalah pola sidik jari loop.
12
Penelitian Bhasin
(2007) melaporkan frekuensi pola whorl tertinggi pada Mongoloid sebanyak 47%, diikuti Amerika Indian sebanyak 43%, di Eropa yaitu 36% serta frekuensi paling rendah di Afrika yaitu 27%. Sedangkan pola loop ditemukan frekuensi yang tertinggi di Afrika 64%, diikuti Eropa 60%, Amerika Indian 52% dan terendah pada Mongoloid 51%. Frekuensi pola arch tertinggi di Afrika yaitu 9%, diikuti Amerika Indian 5%, Eropa 4% dan Mongoloid hanya 4%. 13
Tabel 4. Distribusi Kombinasi Pola Sidik Jari per Sepuluh Jari Tangan pada Setiap Anak Retardasi Mental Jumlah Pola Sidik Jari per Sepuluh Jari Tangan 1 pola
2 pola
Frekuensi (Orang)
Persentase (%)
UL
8
10,3
SW
1
1,3
SW + UL
11
14,1
UL + TA
4
5,1
4
SW + RL
1
1,3
SA + TA
1
1,3
UL + CPW
3
3,7
UL + DLW
1
1,3
UL + RL
4
5,1
SW + DLW
1
1,3
UL + SA
1
1,3
DLW + UL + SW
11
14,1
SW + UL + CPW
14
17,9
SW + RL + UL
1
1,3
UL + RL + TA
1
1,3
UL + SW + TA
2
2,5
SA + UL + TA
1
1,3
SW + AW + UL
2
2,5
UL + DLW + TA
1
1,3
UL + TA + CPW
1
1,3
UL + SA + SW
1
1,3
SA + TA + UL + SW
1
1,3
SW + RL + AW + DLW
1
1,3
SW+ UL + RL + CPW
1
1,3
SW + UL + DLW + CPW
1
1,3
TA + CPW + SW + UL + RL
1
1,3
AW + SW + CPW + DLW + UL
1
1,3
SW + RL + UL + TA + DLW
1
1,3
78
100
3 pola
4 pola
5 pola
Total Keterangan: SA: Simple arch TA: Tented arch UL: Ulnar loop RL: Radial loop SW: Simple whorl CPW: Central pocket whorl AW: Accidental whorl DLW: Double loop whorl
Pada tabel 4 menjelaskan bahwa setiap individu memiliki variasi jumlah pola sidik jari pada kesepuluh jari tangannya, mulai dari 1 pola hingga 5 pola sidik jari. Variasi pola sidik jari terbanyak per sepuluh jari individu yaitu simple whorl, ulnar loop, dan central pocket whorl (17,9%). Pola sidik jari setiap manusia unik dan tidak pernah berubah hingga hayatnya.
14,15
Sidik jari termasuk pewarisan sifat genetik dari orang tua, namun dalam penelitian ini
tidak dibahas tentang pewarisan sifat. Setiap individu memiliki variasi pola sidik jari yang berbeda-beda karena pada dasarnya pembentukan pola sidik jari melibatkan banyak gen (poligenik) sehingga tidak akan ada individu yang memiliki pola yang sama bahkan kembar identik sekalipun. 12,16 Dari hal itu maka seorang individu bisa saja memiliki 1
5
macam pola sidik jari atau lebih di kesepuluh jarinya. Pada anak retardasi mental di penelitian ini, ternyata variasi pola sidik jari terbanyak per-sepuluh jarinya yaitu simple whorl, ulnar loop, dan central pocket whorl (17,9%). Data ini menunjukkan bahwa dominansi pola di kesepuluh jari individu anak retardasi mental yaitu pola ulnar loop dan whorl. Hal ini kemungkinan karena pola dasar dermatoglifi manusia semuanya berpola ulnar loop, namun ada tujuh gen lain yang turut berperan, sehingga terjadi variasi pola dermatoglifi.
17
Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Gaikwad dan
Pandhare (2016) bahwa urutan persentase pola sidik jari anak retardasi mental yaitu ulnar loop (59%) dan whorl (31%). Telah diketahui dari berbagai literatur bahwa pola sidik jari yang menyimpang sangat kuat hubungannya dengan abnormalitas kromosom atau penyakit genetik, khususnya penelitian tentang retardasi mental (Schaumann dan Opitz, 1991). Menurut Jin dkk (2015), mutasi gen RAB40AL (OMIM 300405) telah dikaitkan dengan abnormalitas dermatoglifi. Mutasi ini terjadi saat embriogenesis pada kehamilan dalam rentang minggu ke 6-8 sampai minggu ke-21, sehingga kemungkinan adanya mutasi gen tersebut menyebabkan abnormalitas dermatoglifi berupa peningkatan frekuensi pola ulnar loop dan penurunan pola accidental whorl pada anak retardasi mental. 3 Namun sampai sekarang belum diketahui dengan jelas dimana letak gen-gen yang mengatur dermatoglifi. Beberapa kelainan pada autosom maupun kelainan pada kromosom seks, sama-sama memberikan kelainan pada dermatoglifi. 18
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Sudut ATD Palmar Kanan Sudut ATD (o)
Frekuensi (n)
Persentase (%)
<35
14
17,9
35 – 50
60
76,9
>50
4
5,2
Total
78
100
Hasil pengukuran untuk sudut ATD palmar kanan didapatkan terbanyak yaitu sudut 35 o-50o berjumlah 60 orang (76,9%) dan paling sedikit sudut >50o sebanyak 4 orang (5,1%). Tabel 6. Distribusi Frekuensi Sudut ATD Palmar Kiri Sudut ATD (o)
Frekuensi (n)
Persentase (%)
<35
13
16,7
35 – 50
59
75,6
>50
6
7,7
Total
78
100
Hasil serupa juga didapatkan untuk sudut ATD pada palmar kiri, yaitu frekuensi terbanyak pada sudut 35 o-50o berjumlah 59 orang (75,6%) dan frekuensi paling sedikit sudut >50 o sebanyak 6 orang (7,7%).
Tabel 7. Distribusi Frekuensi Sudut ATD berdasarkan Kategori Retardasi Mental menurut DSM-IV-TR Palmar Kanan (n)
Kategori <35o
Retardasi Mental
N
%
35 o -50 o N
%
Palmar Kiri (n) >50 o
N
%
<35 o n
%
6
35 o -50 o n
%
Total
>50 o n
%
n
%
Ringan
7
7,43
37
39,4
3
3,2
5
5,3
38
40,42
4
4,25
94
100
Sedang
7
11,3
23
37,1
1
1,61
8
12,9
21
33,87
2
3,22
62
100
Tabel 7 menunjukkan hasil distribusi ATD berdasarkan kategori retardasi mental menurut kriteria DSM-IV-TR yaitu retardasi mental ringan memiliki frekuensi sudut ATD tertinggi pada besaran sudut 35o-50o (kanan: 39,4%; kiri: 40,42%). Retardasi mental sedang juga menunjukkan hasil yang sama yaitu frekurensi tertinggi pada besaran sudut 35 o50o (kanan: 37,1%; kiri: 33,87%). Hasil pengukuran sudut ATD pada masing-masing palmar kanan dan kiri memiliki hasil yang sama yaitu frekuensi tertinggi pada sudut 35o-50o dan terendah pada sudut >50o. Berdasarkan kategorinya, baik retardasi mental ringan maupun sedang menunjukkan hasil yang sama yaitu frekuensi tertinggi pada besaran sudut 35o-50o. Hasil ini berbeda dengan penelitian oleh Bhagwat dan Mesram (2013) dimana nilai rata-rata untuk sudut ATD meningkat pada anak laki-laki retardasi mental (kanan 51,79o dan kiri 51,03o) dan perempuan (kanan 50,15o dan kiri 51,68o) dibandingkan dengan anak laki-laki normal (kanan 43,77o dan kiri 43,61o) dan perempuan (kanan 43,59o dan kiri 43,92o).6 Vashist dkk (2009) juga menjelaskan bahwa beberapa kasus retardasi mental menunjukkan sudut ATD kisaran <30o sampai >65o.
19
Penelitian lain oleh Yamuna dan Dhanalaksmi (2017) memaparkan adanya peningkatan
nilai rata-rata sudut ATD secara statistik pada anak-anak retardasi mental, yaitu palmar kanan (80,31 o) dan kiri (76,61o). 20 Rata-rata sudut ATD pada populasi normal adalah antara 35°–50°. 21 Perbedaan dermatoglifi terjadi pada setiap etnik dan ras. Proses difusi genetik pada karakteristik fisik dermatoglifi terjadi secara bertahap antara dua etnis yang berbeda yang kemudian akan menyebabkan pertukaran ciri fisik.
22,23
Besaran sudut ATD cenderung menurun seiring bertambahnya usia karena telapak tangan tumbuh lebih
panjang daripada lebarnya. Ukuran sudut ATD juga dipengaruhi oleh penempelan telapak tangan di kertas observasi saat pola dicetak. Tekanan yang diberikan saat telapak tangan tercetak juga bisa mempengaruhi sudut ATD.
18,25
Sudut
ATD pada penelitian ini memiliki hasil yang berbeda dengan penelitian sebelumnya dimungkinkan karena banyaknya faktor yang mempengaruhi, seperti etnis, ras, usia sampel dan teknis saat penelitian, sehingga tidak menunjukkan suatu kekhasan sudut ATD pada anak retardasi mental.
KESIMPULAN 1.
Klasifikasi retardasi mental pada penelitian ini yaitu retardasi mental ringan (60,3%), sedang (39,7%) serta berat dan sangat berat masing-masing 0%.
2.
Distribusi pola sidik jari pada anak retardasi mental yaitu ulnar loop (58,3%), simple whorl (26,2%), tented arch (4,1%), central pocket whorl (4%), double loop whorl (3,7%), radial loop (1,5%), simple arch (1,4%), dan accidental whorl (0,8%).
3.
Distribusi besar sudut ATD anak retardasi mental pada palmar kanan yaitu sudut <35o sebesar 17,9%, sudut 35o50o sebesar 76,9%, dan sudut >50o sebesar 5,2%, sedangkan pada plamar kiri yaitu sudut <35 o sebesar 16,7%, sudut 35o-50o sebesar 75,6 %, dan sudut >50o sebesar 7,7%.
4.
Frekuensi pola sidik jari tertinggi pada anak retardasi mental didapatkan pola ulnar loop (58,3%) dan terendah pola accidental whorl (0,8%). Sedangkan untuk sudut ATD dalam penelitian ini tidak menunjukkan hasil yang khas, dimana frekuensi tertinggi pada sudut 35 o -50 o (kanan 76,9% dan kiri 75,6%)
UCAPAN TERIMA KASIH
7
Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada pihak Yayasan Pembinaan Anak Cacat Palembang dan Yayasan Bina Autis Mandiri Palembang atas pemberian izin pengambilan data penelitian, juga kepada adik-adik yang bersedia menjadi sampel pada penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3. 4. 5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12. 13. 14.
15.
16. 17. 18.
19.
WHO. 2012. The WHO Application ICD-10 to deaths during pregnancy, childbirth and the puerperium: ICD-MM. Perancis: WHO 2012. Available at http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/70929/1/9789241548458_eng.pdf. Diakses pada tanggal 25 September 2017. Depkes RI (10 Agustus 2016). Kemenkes - WHO SEAR Bahas Pencegahan dan Pengendalian Kelainan Bawaan.. Available at http://www.depkes.go.id/article/print/16081100003/kemenkes---who-sear-bahas-pencegahan-danpengendalian-kelainan-bawaan.html. Diakses pada tanggal 2 September 2017 Wawan, A. dan Dewi. 2010. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Manusia. Yogyakarta : Nuha Medika Notoadmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Miller, A et al. 2011. Maternal Age and Prevalence of Isolated Congenital Heart Defects in an Urban Area of the United States. Annals of Epidemiology. 155A(9): 2137-45. Available ar https://www.aap.org/enus/Documents/chphc/chphc_article_miller.pdf. Diakses pada tanggal 12 Januari 2018 Miller, A et al. 2011. Maternal Age and Prevalence of Isolated Congenital Heart Defects in an Urban Area of the United States. Annals of Epidemiology. 155A(9): 2137-45. Available ar https://www.aap.org/enus/Documents/chphc/chphc_article_miller.pdf. Diakses pada tanggal 12 Januari 2018 Masoumeh, P et al. 2015. Knowledge of pregnant women about congenital anomalies: A cross-sectional study in north of Iran. Indian Journal of Health Science and Biomedical Researches Kleu. 8(1): 41-47. 2015. Available at http://www.ijournalhs.org/article.asp?issn=23495006;year=2015;volume=8;issue=1;spage=41;epage=47;aulast=M asoumeh. Diakses pada tanggal 12 Agustus 2017. Bello, Ajediran I et al. 2013. Knowledge of pregnant women about birth defects. BMC Pregnancy Childbirth. 13:45. Februari 20, 2013. Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3598521/. Diakses pada tanggal 12 Agustus 2017. Dhall, J.K. dan Kapoor, A.K. 2016. Fingerprint Ridge Density as a Potential Forensic Anthropological Tool for sex Identification. Journal of Forensic Sciences 61(2): 424-429.. Available at https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26418279. Diakses pada tanggal 12 Januari 2018. Nugraha, Z.S., Alnur, A., & Hastuti, J. 2009. Pola sidik jari anak-anak sindrom down di SLB bakhti kencana dan anak-anak normal di Sd Budi Mulia dua yogyakarta. Jurnal kedokteran dan kesehatan Indonesia. Available at http://journal.uii.ac.id. Diakses pada tanggal 4 Agustus 2017 Nazarabadi, M.H., Abutorabi, R.R.R., dan Hosseini, H.B. 2007. Dermatoglyphic assesment in down and klinefelter syndromes. Iran journal medicine science, 32(2), 105-109. Available at http://ijms.sums.ac.ir. Diakses pada tanggal 2 Agustus 2017. Suryo. 2016. Genetika manusia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Bhasin, M.K. 2007. Genetics of Castes and Tribes of India: Dermatoglyphics. International Jounal of Human Genetic, 7(2): 175-215. Available at citeseerx.ist.psu.edu. Diakses pada tanggal 19 September 2017. Jain, A.K., Prabhakar, S., dan Pankanti, S. 2002. On the similarity of identical twin fingerprints. The Journal of Pattern Recognition Society, 35, 2653–2663. Available at biometrics.cse.msu.edu. Diakses pada tanggal 13 Januari 2018. Eboh, D.E.O. 2017. Fingerprint patterns in relation to gender and blood group among students of Delta State University, Abraka, Nigeria. Journal of Experimental and Clinical Anatomy Vol. 12 Issue 2. Available at http://www.jecajournal.org. Diakses pada tanggal 18 januari 2018. Ho dkk. 2016. Genetic Variant Influence on whorl in fingerprint patterns. J Invest Dermatol, 136(4), 859-862. Available at https://www.ncbi.nlm.nih.gov. Diakses pada tanggal 17 Januari 2018. Chastanti, I. 2009. Pola Multifaktor Sidik Jari pada Penderita Obesitas Di Daerah Medan dan Sekitarnya. Available at http://repository.usu.ac.id. Diakses pada tanggal 11 Januari 2018. Bala, A., Deswal, A., Sarmah, P.C., Khandalwal, B., dan Tamang, B.K. 2015. Palmar dermatoglyphics patterns in diabetes mellitus and diabetic with hypertension patients in Gangtok region. International Journal of Advanced Research, Volume 3, Issue 4, 1117-1125. Available at www.journalijar.com. Diakses pada tanggal 16 Januari 2018. Vashist, M. dkk. 2009. Axial triradius as a preliminary diagnostic tool in patients of mental retardation. Vol 4 number 1. Available at www.iosrjournals.org. Diakses pada tanggal 5 Agustus 2017.
8
20. Yamuna, N., dan Dhanalaksmi, V. 2017. Dermatoglyphics study in children with mental retardation. Vol 5(1): 3541-46. Available at https://dx.doi.org/10.16965/ijar.2017.108. Diakses pada tanggal 6 Agustus 2017. 21. Aida, N. 2014. Analisis sudut atd pada narapidana. 3(1) : 27-33. Available at jbioua.fmipa.unand.ac.id/index.php/jbioua/article/download/110/102. Diakses pada tanggal 1 Agustus 2017. 22. Zhang, dkk. 2010. Dermatoglyphics from all chinese ethnic groups reveal geographic patterning. Volume 5, issue 1. Available at www.plosone.org. Diakses pada tanggal 18 Januari 2018. 23. Bruin, E.I., Graham, J.H., Louwerse. A., dan Huizink, A.C. 2014. Mild Dermatoglyphic Deviation in Aldocents with Autism Spectrum Disorders and Average Intellectual Abilities as Compared to Typically Developing Boys. Autism Research and Treatment. 1-5. Available at https://www.ncbi.nlm.nih.gov. Diakses pada tanggal 17 Januari 2018. 24. Phankale, S.V., Mahajan, A.A., dan Doshi, M.A. 2012. Study of ‘atd’ Angle as Dermatoglyphic Feature in Bronchial Asthma. International Journal of Health Sciences and Research Vol.2; Issue: 4. Available at www.ijhsr.org. Diakses pada tanggal 16 Januari 2018.
9