Jurnal Reading Forensik.docx

  • Uploaded by: Ivana Ester Sinta Uli
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Jurnal Reading Forensik.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,362
  • Pages: 29
JOURNAL READING “Evaluation of Injuries Caused by Penetrating Chest Trauma in Patients Referred to the Emergency Room”

Dosen Penguji dr. Julia Ike Haryanto, MH., Sp. KF

Residen Pembimbing : dr. Yudhitya Meglan Haryanto

Disusun oleh: Sylvia Ruth Alisa Nababan (UKI)

Tiffany Christine Sagita (UNDIP)

Nisrina Amalia (UKI)

Helga Sharon El Shemida (UNDIP)

Ivana Ester Sinta (UKI)

Dhafin Aghnia Putri (UNDIP)

Fadhilah Nur Fahada (UNDIP)

Nahla (UNDIP)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO RSUP DR. KARIADI SEMARANG PERIODE 21 JANUARI 2019 – 16 FEBRUARI 2019

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat-Nya, akhirnya kami dapat menyelesaikan journal reading dengan judul “Evaluation of Injuries Caused by Penetrating Chest Trauma in Patients Referred to the Emergency Room” tepat pada waktunya. Journal reading ini kami buat untuk memenuh Tugas dan Syarat Ujian Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia dan Universitas Diponegoro RSUP dr. Kariadi Semarang. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu serta membimbing kami sehingga journal reading ini dapat terselesaikan dengan baik, terutama kepada dr. Julia Ike Haryanto, MH., Sp. KF sebagai penguji dan dr. Yudithya Meglan Haryanto sebagai residen pembimbing kelompok kami. Kami berharap journal reading ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi para pembacanya. Kami meminta maaf apabila terdapat kesalahan dalam pembuatan journal reading ini.

Semarang, 2 Februari 2019

Penulis

i

DAFTAR ISI Kata Pengantar……….………………………………………………………………………... i Daftar Isi …………………………………………………………………………................... ii

BAB I TERJEMAHAN JURNAL Abstrak………………………………………………………………………………... 1 Pendahuluan…………………………………………………………………………... 1 Metode dan Bahan……………………………………………………………………. 3 Hasil…………………………………………………………………………………... 3 Diskusi………………………………………………………………………………... 5 Kesimpulan…………………………………………………………………………… 8

BAB II LAMPIRAN JURNAL……………………………………………………………... 9

BAB III TINJAUAN PUSTAKA III.1. Definisi……………………………………………………………………........ 13 III.2. Epidemiologi…………………………………………………………………... 13 III.3. Klasifikasi Pneumotoraks dan Patofisiologi…………………………………... 14 1. Pneumotoraks Traumatik……………………………………………………….. 14 2. Pneumotoraks non Traumatik…………………………………………………... 16 III.4. Diagnosis……………………………………………………………………… 19 III.5. Tatalaksana……………………………………………………………………. 21 III.6. Pemeriksaan Pneumotoraks Pada Kasus Mati………………………………… 23 III.7. Pneumoscrotum ……………………………………………………………….. 24

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………. 25

ii

BAB I TERJEMAHAN JURNAL

Evaluasi Cedera Yang Disebabkan oleh Trauma Tembus Dada pada Pasien yang Dirujuk ke Unit Gawat Darurat M. Aghaei Afshar & F. Mangeli & A. Nakhaei

ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan frekuensi dari berbagai cedera yang disebabkan oleh trauma tembus dada, dan juga penyebab dan jenis trauma serta cedera yang menyertainya. Ini adalah penelitian deskriptif cross-sectional, dilakukan pada semua pasien yang dirujuk ke ruang gawat darurat Rumah Sakit Shahid Bahonar, Kerman, dari Maret 2000 hingga September 2008, karena trauma tembus dada. Informasi yang diperlukan termasuk usia, jenis kelamin, penyebab trauma, jenis dan lokasi cedera, dan cedera yang menyertainya diperoleh dan digunakan untuk mengisi kuesioner dan kemudian dianalisis. 828 pasien dilibatkan dalam penelitian ini; kebanyakan dari mereka berada dalam kisaran usia 2029. Dari pasien, 97,6% adalah laki-laki. Penyebab trauma yang paling sering adalah penikaman, dan cedera yang paling sering terjadi setelah trauma adalah pneumotoraks dan hemotoraks. Trauma ortopedik adalah cedera yang paling sering menyertai. Metode diagnostik yang paling umum digunakan adalah foto polos dada. Pada 93% pasien, chest tube dipasang dan torakotomi dilakukan untuk 97% pasien. Rumah Sakit Shahid Bahonar adalah Pusat Trauma rujukan dan merawat sejumlah besar pasien trauma dada. Sebagian besar pasien hanya membutuhkan pemasangan chest tube sebagai pengobatan definitif. Kata kunci: Trauma dada, chest tube, trauma tembus, trauma.

PENDAHULUAN Trauma dianggap sebagai penyebab pertama kematian, morbiditas, dan rawat inap dalam kisaran usia 1–40 tahun di dunia saat ini. Mungkin, dapat disebutkan bahwa trauma memiliki efek sosial dan ekonomi terbesar pada semua penyebab penyakit. Dengan demikian, dalam beberapa tahun terakhir sebagian besar studi tentang penyakit dilakukan pada korban trauma. Menurut temuan dari penelitian sebelumnya, trauma dada hanya menyebabkan 45% kematian setelah trauma, 50% di antaranya terjadi setelah kecelakaan fatal [1], dan 75% 1

kematian terjadi setelah mencapai ruang gawat darurat. Pada 20% pasien trauma, trauma dada diamati tidak dominan atau disertai dengan cedera lain dan sekitar 25% dari semua kematian yang disebabkan oleh trauma terjadi karena cedera dada [1, 2]. Terlepas dari temuan ini, operasi darurat hanya diperlukan pada 10-15% pasien dengan trauma dada. Saat ini, peningkatan layanan darurat dan transportasi yang lebih cepat dari pasien ke rumah sakit telah meningkatkan jumlah korban yang selamat. Selain itu, dokter gawat darurat harus dengan cepat mengelola pasien dengan memahami tren patofisiologi trauma dada [3]. Dengan demikian, diagnosis trauma dada yang tepat dan tepat sangat penting dan diagnosis cedera dada yang benar dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas [3, 4]. Di AS, setiap tahun karena berbagai cedera, 160.000 kematian terjadi [1]. Juga, 50.000 orang terkena beberapa cacat tetap [1]. Hemothorax, pneumothorax, dan kombinasi dari dua cedera ini adalah komplikasi fatal yang paling umum dari trauma dada tajam dan tumpul. Karena trauma dada dapat memengaruhi sebagian besar populasi dunia, ini dapat menyebabkan jumlah tertinggi dari kehilangan tahun kerja dan hampir 40% dari semua kematian yang disebabkan olehnya dapat dicegah dengan prosedur pencegahan dan pembentukan sistem trauma regional [5 , 6]. Titik kunci dalam diagnosis trauma dada adalah memiliki kecurigaan yang tinggi terhadap kemungkinan adanya trauma dada pada pasien yang terluka. Sebagian besar dari cedera dapat didiagnosis dengan evaluasi paraclinical sederhana, seperti foto polos dada [7]. Secara umum, pemahaman yang tepat tentang masalah yang disebabkan oleh trauma dada dapat menyebabkan pencegahan komplikasi yang disebabkan oleh keterlambatan dalam perawatan. Juga, ini akan mengurangi tingkat kematian dan ketergantungan di tempat tidur, dan konsumsi obat-obatan. Selain itu, ini dapat mencegah operasi yang tidak semestinya. Beberapa pengukuran telah dilakukan di Iran untuk mengurangi kematian akibat kecelakaan. Mempertimbangkan ini dan juga statistik cedera di seluruh dunia, serta kemungkinan perbedaan dalam epidemiologi dan prevalensi trauma dada di berbagai daerah, kami melakukan penelitian saat ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan frekuensi cedera yang berbeda yang disebabkan oleh trauma tembus dada, dan juga penyebab dan jenis trauma dan cedera yang menyertai pada pasien yang dirujuk ke Rumah Sakit Bahonor, Kerman, antara Maret 2000 dan September 2008. Kami berharap bahwa mengidentifikasi cedera dada sebagai salah satu trauma utama pada pasien yang mengalami trauma di wilayah tersebut mengarah pada pemahaman yang lebih baik tentang cedera di wilayah tersebut oleh sejawat kami, dan dengan demikian meningkatkan hasil diagnosa dan perawatan.

2

METODE DAN BAHAN Penelitian dilakukan secara retrospektif. Semua pasien dengan trauma dada dengan atau tanpa cedera yang menyertai yang dirujuk ke Rumah Sakit Shahid Bahonar, Kerman, antara Maret 2000 dan September 2008 dimasukkan dalam penelitian. Untuk tujuan ini, 828 file ditinjau (trauma dada dalam penelitian ini didefinisikan sebagai semua cedera dada akibat trauma tembus). Informasi yang diperlukan termasuk usia, jenis kelamin, penyebab trauma, jenis dan lokasi cedera, dan cedera yang menyertainya diekstraksi dan digunakan untuk mengisi kuesioner. Protokol penelitian telah disetujui oleh komite etika penelitian dari Kerman University of Medical Sciences. Data dianalisis menggunakan perangkat lunak SPSS, versi 15, dan chi-square digunakan untuk perbandingan komplikasi antara kedua kelompok.

HASIL Dari Maret 2000 hingga September 2008, ada 828 kasus trauma dada. Dari jumlah tersebut 811 pasien adalah laki-laki (97,6%). Sehubungan dengan rentang usia, pasien berada di kisaran usia 9-84 tahun. Jumlah pasien tertinggi dan terendah diamati pada rentang usia 2029 (442 pasien, 53,3%) dan 50-59 (11 pasien, 13,2%), masing-masing. Usia rata-rata pasien adalah 24 tahun. Sehubungan dengan penyebab yang mendasari trauma, penusukan (776 pasien, 93,7%) dan diseruduk sapi (3 pasien, 0,36%) adalah penyebab yang paling dan paling tidak lazim (Tabel 1). Mengenai lokasi trauma, pada 481 pasien (58%) lokasi trauma adalah sisi kiri dan pada 328 pasien (39%) lokasi trauma adalah sisi kanan dada, sementara 19 pasien (2,2%) mengalami trauma bilateral. Mempertimbangkan cedera yang menyertai trauma dada, pada 650 pasien (78,6%) trauma dada tak dominan diamati. Cedera kepala dan leher, ortopedi, dan perut adalah cedera yang menyertai masing-masing pada 22 (26%), 116 (14%), dan 40 (4,8%) pasien (Tabel 2). Dengan demikian, cedera ortopedi adalah cedera yang paling sering menyertai (Tabel 3). Dari 116 Cedera ortopedi, 18 adalah patah tulang (cedera tulang) (11; 61,11% ekstremitas bawah dan 7; 38,8% ekstremitas atas), yang dirawat, dan yang lainnya cedera jaringan lunak. Lokasi trauma ortopedi telah ditunjukkan pada Tabel 4.

3

Tabel 1 Penyebab trauma Penyebab Trauma Tusuk

Jumlah Pasien

Persentasi

776

93,7

Tembak

49

5,94

Seruduk Sapi

3

0,36

Durasi tinggal di rumah sakit adalah dalam kisaran 1–13 hari. Diagnosis akhir, perjalanan klinis, dan operasi bedah (jika perlu) didasarkan pada temuan radiologis. Metode diagnostik yang paling umum digunakan adalah foto polos dada (yang dilakukan pada semua pasien), diikuti oleh foto polos ekstremitas, yang dilakukan pada 14% pasien (116 pasien). Frekuensi paling sedikit penggunaan adalah CT scan paru, dilakukan hanya pada 6% pasien (Tabel 5). Berbagai jenis cedera yang disebabkan oleh trauma dalam urutan frekuensi adalah: pneumotoraks 308 pasien (37%), hemothorax 290 pasien (35%), hemopneumothorax 219 pasien (26%), tamponade 16 pasien (1,9%), ruptur jantung 12 pasien (1,4%), efusi pleura dua pasien (1,5%), dan efusi perikardial dua pasien (1,5%), yang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Bebagai cedera dada yang disebabkan trauma Diagnosis Akhir

Jumlah Pasien

Persentasi

Pneumotoraks unilateral

305

36,8

Pneumotoraks bilateral

3

0,36

Hemotoraks unilateral

289

34,9

Hemotoraks bilateral

1

0,12

Pneumohemotoraks unilateral

215

25,9

Pneumohemotoraks bilateral

4

0,48

Efusi pleura unilateral

1

0,12

Efusi pleura bilateral

1

0,12

Tamponade

16

1,93

Efusi perikardial

2

0,24

Cardiac injury

12

1,44

4

Dari 828 pasien yang diteliti, 821 dirawat dan bertahan; diantara mereka 813 (93%) pasien menggunakan chest tube (pada 12 pasien chest tube bilateral diganti) dan delapan pasien (0,97%) menjalani torakotomi. Dari 828 pasien yang dievaluasi, tujuh pasien meninggal (angka kematian sekitar 0,84%); dua pasien karena ruptur aorta toraks dan lima pasien karena ruptur jantung atau hemoperikardium. Tabel 3 Prevalensi cedera yang menyertai trauma dada Jumlah Pasien 22

Cedera yang Mengikuti Cedera kepala dan leher

Pesentasi 26

Cedera ekstremitas

116

12

Cedera abdomen

40

4,8

Isolated chest trauma

650

78,6

Pendarahan terjadi pada 90 (11%) pasien karena gangguan koagulasi, tidak bekerja sama, dan dalam dua kasus perdarahan pembuluh interkostal terjadi karena penempatan chest tube yang salah. Frekuensi komplikasi lain dari perawatan telah ditunjukkan pada Tabel 6. Frekuensi komplikasi lain yang dialami selama rawat inap di dua kelompok perlakuan telah ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 4 Frekuensi cedera ortopedik pada studi populasi Trauma Ortopedik

Frekuensi n (%)

Ekstremitas atas

42 (36,20)

Ekstremitas bawah

24 (20,68)

Ekstremitas atas dan bawah

48 (41,37)

DISKUSI Trauma dada diamati lebih sering pada pria dalam penelitian (97,6% pada pria versus 2,4% pada wanita), yang konsisten dengan temuan penelitian lain. Pada studi lain, tingkatnya dilaporkan 79-98; 7% pada pria dan 1,25-24,6% pada pasien wanita [8-10]. Rentang usia 2029 dan 50-59 masing-masing menunjukkan frekuensi trauma dada tertinggi dan terendah, dengan usia rata-rata 24 tahun untuk pasien. Dalam penelitian serupa, usia rata-rata pasien adalah 34 tahun [9-13]. Ini menunjukkan bahwa trauma secara umum lebih banyak terjadi pada orang muda, yang memiliki produktivitas tertinggi di masyarakat.

5

Tabel 5 Distribusi berbagai metode diagnosis Metode Diagnosis

Frekuensi, n (%)

CXR

821 (100)

X-ray estremitas

116 (20,04)

X-ray tengkorak

478 (58,25)

X-ray abdomen dan pelvis

254 (31)

Sonografi abdomen

156 (19)

CT scan dada

49 (6)

Dalam penelitian saat ini, penyebab trauma paling umum untuk semua usia (khususnya untuk rentang usia 20-30) adalah penusukan sejalan dengan studi Onat et al. di Turki [14]. Ini menunjukkan bahwa remaja putra yang lebih aktif dalam urusan sosial lebih rentan terhadap cedera sosial semacam itu. Tampaknya studi lebih lanjut diperlukan untuk pencegahan potensi komplikasi cedera seperti pada orang muda maupun untuk evaluasi yang berbeda dari aspek sosial dan ekonomi. Lokasi yang paling umum untuk trauma dada adalah sisi kiri dada. Cedera yang menyertainya paling sering adalah ortopedi. Dalam penelitian lain, fraktur tulang rusuk adalah cedera yang paling sering menyertai [9, 12, 13]. Tabel 6 Frekuensi komplikasi yang terjadi selama rawat inap pada dua metode perawatan berbeda Frekuensi pada metode chest tube, n (%)

Frekuensi pada metode torakotomi

90 (11)

2 (25)

Fistula bronkial

21 (2,55)

0

Emfisema

35 (4,26)

0

Kematian

9 (3,1)

0

Komplikasi Perdarahan

Tingkat kematian dalam penelitian kami adalah 0,84%, yang kurang dari studi Onat et al. (mis. 10,8%) [14]. Tingkat kematian studi keseluruhan pada Clarke et al. di Afrika Selatan dilaporkan 33% untuk luka dada tembus dan 52% untuk luka tembak, yang secara signifikan 6

lebih dari penelitian kami [15]. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan dalam mekanisme cedera; dalam penelitian mereka cedera tembak adalah lazim dan dalam penelitian kami tidak ada cedera tembak dan luka tembak di dada lebih mematikan daripada luka tikaman [14, 15]. Jelas bahwa pada setiap pasien yang mengalami trauma, khususnya pasien dengan trauma dada, pemeriksaan umum dan semua sistem harus dilakukan dengan hati-hati. Dalam studi saat ini, diagnosis akhir yang diperoleh berdasarkan temuan radiologis atau operasi bedah, adalah pneumotoraks, hemotoraks, hemopneumotoraks, tamponade, emfisema, ruptur jantung, efusi perikardial, dan efusi pleura sesuai urutan frekuensi. Dengan demikian, pneumotoraks adalah diagnosis yang paling sering, yang konsisten dengan beberapa penelitian lain [16]. Ini menunjukkan bahwa di antara berbagai jenis trauma dada, cedera yang paling umum adalah cedera dinding dada, yang sebagian besar dangkal. Dalam penelitian ini, sehubungan dengan jenis perawatan, tabung dada ditempatkan untuk sebagian besar pasien (93%), dan torakotomi dan pembukaan dada diperlukan pada delapan pasien (0,97%). Dalam penelitian lain, kurang dari 10% pasien menjalani operasi torakotomi, dan perawatan suportif dan penempatan chest tube cukup untuk pengobatan pada 90-95% pasien [8, 9, 11, 13]. Dalam studi saat ini, indikasi utama untuk operasi bedah adalah pendarahan hebat dan perdarahan lanjutan setelah penempatan chest tube. Ini sesuai dengan semua studi sebelumnya. Temuan yang paling sering diamati setelah torakotomi adalah ruptur paru, diikuti cedera pembuluh interkostal, yang konsisten dengan temuan beberapa penelitian lain [4, 6, 10]. Mempertimbangkan hal ini, menyediakan lebih banyak pengobatan untuk pasien ini di pusat pengobatan ruang gawat darurat dan melakukan prosedur segera dan menyelamatkan nyawa diperlukan pada semua pasien ini. Metode diagnostik yang paling umum digunakan adalah radiografi polos dada, yang dilakukan untuk semua pasien. Radiografi dada telah diindikasikan juga dalam penelitian lain sebagai alat yang terjangkau untuk diagnosis cedera dada [2, 5, 7, 17]. Sebuah studi baru-baru ini merekomendasikan bahwa pasien dengan trauma dada tembus dan skrining CXR normal harus dikontrol dengan CXR 3 jam tertunda, pemeriksaan fisik serial, dan penilaian terfokus dengan sonografi, dan CT scan harus diterapkan sebagai modalitas diagnostik hanya dalam kasus-kasus tertentu [18].

7

KESIMPULAN Karena rumah sakit kami adalah pusat rujukan trauma, dapat disimpulkan bahwa pria dalam kisaran usia 20-29 adalah kelompok rentan utama untuk jenis cedera ini dan penusukan adalah penyebab paling umum dari penetrasi cedera dada. Karena frekuensi tinggi trauma dada pada pasien yang terluka, penempatan chest tube adalah pengobatan yang pasti pada kebanyakan pasien. Mengenai jenis komplikasi yang dihasilkan, metode ini dapat dianggap pengobatan yang paling tepat untuk trauma dada.

8

BAB II LAMPIRAN JURNAL

9

10

11

12

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

III.1. Definisi Pneumotoraks merupakan akumulasi udara atau gas dalam rongga pleura. Hal ini menyebabkan penekanan terhadap paru-paru sehingga paru tidak dapat mengembang dengan maksimal dan cenderung kolaps. Pneumotoraks mengurangi kapasitas vital paru dan menurunkan tekanan oksigen. Terjadi kebocoran antara alveolus dan rongga pleura sehingga udara akan berpindah dari alveolus ke rongga pleura hingga tekanan di kedua sisi sama. Akibatnya, volume paru berkurang dan volume rongga toraks bertambah.1

III.2. Epidemiologi Pneumotoraks dilaporkan terjadi pada 15-50% pasien yang mendapat trauma khususnya dibagian dada, akibat luka tusuk. Pneumotoraks tipe simple maupun tension dapat ditemukan pada 10% pasien yang mengalami flail chest. Pneumotoraks menjadi penyebab kematian ke-3 akibat trauma dada setelah fraktur iga (simple maupun multiple) dan kontusio paru.2 Insidensi pneumotoraks spontan berikisar 7.4 – 18 per 100.000 populasi setiap tahunnya pada laki-laki dan berkisar 1.2 - 6 per 100.000 populasi per tahun pada wanita menurut Penelitian Jang. Pneumotoraks terjadi pada 40-50% pasien yang terkena trauma dada.3 13

Insiden penumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak yang tidak diketahui, sehingga terjadi secara spontan dan tiba-tiba. Pria memiliki risiko yang lebih besar dibandingkan perempuan dengan perbandingan 5 : 1. Namun dari sejumlah penelitian menunjukan kejadian ini lebih banyak terjadi pada dewasa berumur sekitar 40 tahun.4 Berdasarkan penelitian Takeno dari Jepang, mulai dari tahun 2001 – 2012, terjadi peningkatan kasus penumotoraks 1.7 kali dibandingkan survey tahun 1992-1997. Di Instalasi Gawat Darurat Persahabatan Jakarta didapatkan 253 pasien yang menderita pneumotoraks dan angka ini merupakan 5.5% kunjungan dari seluruh kasus respirasi yang datang. Alasan dibalik peningkatan angka ini masih belum diketahui namun diduga berhubungan dengan perubahan tekanan atmosfir dan rokok.4 Insidensi pneumotoraks dapat berulang setelah kejadian pneumotoraks pertama, angkanya sangat bervariasi. Angka estimasi terjadinya pneumotoraks ulang pada PSP adalah 28% (20-60%), dan pada PSS adalah 43%. Kejadian ini biasanya terjadi dalam 1 bulan setalah kejadian PSP.5 Insidensi penetapan diagnosis pneumotoraks di rumah sakit Inggris sebanyak 16.7/100000 per tahun untuk laki-laki dan 5.8/100000 per tahun untuk perempuan. Angka kematian akibat pneumotoraks adalah 1.260.000 per tahun untuk pria dan 620.000 per tahun untuk perempuan. Kasus kematian pada pneumotoraks lebih banyak terjadi pada orang lanjut usia (> 55 tahun).5 Pneumotoraks selain disebabkan oleh kasus trauma dapat disebabkan oleh keadaan lain seperti Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) sebanyak 69%, tumor sebanyak 18%, sarcoidosis 5,1% , tuberculosis 1,7%, penyakit paru lainnya 2.5%.6

III.3. Klasifikasi Pneumotoraks dan Patofisiologi Pneumotoraks dapat dibagi berdasarkan penyebabnya, yaitu: 1.

Pneumotoraks traumatik Pneumotoraks traumatik dapat terjadi karena trauma tajam ataupun trauma tumpul pada

dada. Pada trauma tajam luka menyebabkan udara secara langsung masuk ke rongga pleura melalui dinding dada atau melalui pleura visceral dari cabang trakeobronkial. Pada trauma tumpul pneumotoraks terjadi jika terdapat laserasi pleura visceral akibat fraktur iga. Penekanan yang tiba-tiba pada dada meningkatkan tekanan alveolar secara cepat sehingga menyebabkan ruptur alveolus. Ketika alveolus ruptur udara masuk ke ruang interstisial dan 14

masuk ke pleura visceral atau mediastinum. Pneumotoraks terjadi ketika pleura visceral atau mediastinal ruptur sehingga udara masuk ke rongga pleura.1 Mekanisme: Pada manusia normal, rongga pleura memiliki tekanan negatif sehingga alveolar dapat mengembang dan mengempis selama siklus respirasi. Gradient tekanan antara alveoli dan rongga pleura atau yang biasa disebut tekanan transpulmonar sebagai hasil dari inherensi daya recoil paru. Trauma dibagi menjadi dua, yaitu: a. Trauma tajam Luka tusuk dan luka tembak dapat melukai bagian tepi paru dan menyebabkan hemotoraks dan pneumotoraks pada lebih dari 80% kasus trauma tajam pada dada.1 b. Trauma tumpul Trauma tumpul dapat menyebabkan fraktur iga. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan intratoraks dan ruptur bronkial. Manifestasi berupa “Fallen lung sign”, hilum paru berada dibawah tingkat dalam kavitas toraks atau pneumotoraks persisten meskipun telah terpasang chest tube.1 Pneumotoraks traumatik diklasifikasikan lagi menjadi dua jenis, yaitu: 1. Pneumotoraks traumatik iatrogenik Secara teknis pneumotoraks iatrogenik disebabkan oleh trauma dan bukan terjadi secara spontan. Riwayat medis perlu diperhatikan pada saat pemeriksaan pasien dengan distres pernapasan dan nyeri dada sebelum kematian. Penyebab pneumotoraks iatrogenik tersering adalah akibat aspirasi jarum transtoraks. Faktor kedalaman dan ukuran lesi dapat menyebabkan hal ini. Semakin dalam dan kecil lesi maka akan semakin meningkatkan peluang terjadinya pneumotoraks. Penyebab lain yang dapat menyebabkan pneumotoraks iatrogenik adalah ventilasi mekanik, pemasangan nasogastric tube (NGT), trakeostomi, endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP), dan blok pleksus supraklavikular brachialis. Selain itu pneumotoraks akibat akupuntur pada dinding dada juga pernah dilaporkan.1,7 2. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, salah satu penyebabnya adalah barotrauma. 

Barotrauma pulmoner Sejak volume dari massa gas pada suhu konstan berbanding terbalik dengan

tekanannya, maka volume udara yang tersaturasi pada suhu tubuh akan meningkat 1,5 kali dibangkan volume pada ketinggan permukaan air. Jika udara ditempatkan pada ketinggian 3050 meter, udara yang terperangkap pada pleura dapat ruptur dan menyebabkan 15

pneumotoraks. Hal ini dapat terjadi pada anggota kru udara. Sama halnya dengan penyelam scuba, udara yang terkompresi masuk ke paru oleh regulator dan selama naik ke permukaan barotrauma dapat terjadi ketika tekanan ambien menurun secara cepat, gas dalam paru akan menyebar dan menyebabkan pneumotoraks.1

2.

Pneumotoraks non traumatik (spontan) Setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks non traumatik atau

spontan dibagi menjadi dua, yaitu: a. Pneumotraks spontan primer (Primary Spontaneous Pneumothorax : PSP) dan sekunder. Pada PSP tidak berhubungan dengan penyakit paru penyerta. Meskipun tidak terdapat penyakit paru namun sebagian besar pasien (sekitar 80%) memiliki kelainan patologis paru saat diperiksa dengan CT scan. Inflamasi saluran napas distal, fibrosis dan bronkiolitis ditemukan secara mikroskopik pada 90% kasus PSP. Faktor risiko paling umum pada PSP adalah perokok, jenis kelamin laki-laki, dan postur tubuh tinggi kurus. Pada postur tubuh tinggi kurus terdapat hipotesis bahwa pada pasien tersebut memiliki tegangan alveolus dan daya regang apeks paru yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang dengan postur normal atau pendek. Selain itu pada literatur juga dikemukakan bahwa terdapat deformitas dinding dada pada pasien PSP tinggi kurus yang diperiksa dengan CT scan, gambaran umum ditemukan adalah bentuk toraks asimetrik dan datar yang dapat mempengaruhi heterogenitas tekanan alveolus.7 b. Pneumotoraks spontan sekunder (Secondary Spontaneous Pneumothorax : SSP). Pada SSP terjadi pada orang dengan berbagai penyakit paru penyerta yang menyebabkan udara masuk ke rongga pleura melalui saluran napas yang rusak akibat progresivitas penyakit tersebut. Umumnya SSP terjadi pada usia lebih dari 55 tahun. Penyakit penyebab paling sering adalah PPOK, terjadi pada sekitar 57% kasus dengan ruptur bleb dan bullae menjadi penyebab utama. Penyakit lain yang juga berhubungan dengan SSP misalnya asma, pneumonia, idiopathic pulmonary fibrosis, tumor paru dan emboli paru. Lesi di bronkus atau trakea baik tumor atau hasil infeksi dapat menyebabkan kebocoran udara melalui erosi atau ruptur saluran napas distal akibat obstruksi katup endobronkial sehingga membatasi ekspansi paru. Etiologi non-pulmoner juga pernah dilaporkan misalnya pada fistula pleura dengan esofagus, gaster, atau duodenum, perforasi organ hollow viscus dengan rongga toraks.1,7

16

Pneumotoraks juga dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1.

Simple pneumotoraks Dimana tidak ada perpindahan jantung atau mediastinum dari lokasi normalnya.

2.

Tension pneumotoraks Dimana terdapat perpindahan jantung atau mediastinum dari lokasi normalnya.1,7

Tension pneumotoraks terjadi ketika ada gangguan pada pleura visceral, pleura parietal, atau cabang trakeobronkial. Gangguan terjadi ketika terbentuk one-way valve dan menyebabkan aliran udara masuk ke rongga pleura dan menghambat aliran keluar udara. Volume udara yang masuk tidak dapat diabsorbsi seiring meningkatnya udara intrapleura pada setiap inspirasi. Akibatnya tekanan meningkat dalam hemitoraks, paru ipsilateral kolaps dan menyebabkan hipoksia. Tekanan yang semakin meningkat menyebabkan perpindahan mediastinum ke arah kontralateral dan menekan paru kontralateral dan vaskuler yang masuk ke atrium kanan jantung. Hal ini menyebabkan hipoksia semakin berat dan mengganggu aliran balik darah vena. Diduga terjadi kompresi vena kava superior dan inferior karena mediastinum terdeviasi dan tekanan intratoraks meningkat. Hipoksia menyebabkan resistensi vaskuler pulmoner meningkat akibat vasokonstriksi. Jika tidak ditangani akan terjadi hipoksemia, asidosis metabolik, dan berkurangnya cardiac output akibat cardiac arrest dan berujung pada kematian.1 Pada pasien yang sadar tanpa ventilasi onset tanda dan gejala tension pneumotoraks memiliki rentang antara beberapa menit sampai 16 jam. Pasien sadar memiliki mekanisme kompensasi yang lebih baik dibandingkan pasien yang mendapat ventilasi. Hal ini menyebabkan pneumotoraks bersifat progresif dengan tanda utama hipoksemia. Sianosis dan komplikasi neurologis dapat ditatalaksana dengan pemberian oksigen. Pada pasien dengan ventilasi mekanik progresivitas pneumotoraks dapat terjadi secara cepat yaitu dalam hitungan menit, namun tergantung dari gradien tekanan intrapleura dan tekanan alveolus. Ventilasi dapat meningkatkan aliran gas melalui defek pleura dan menyebabkan udara keluar setiap respirasi. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan intrapleura yang lebih cepat dan menyebabkan pneumotoraks dengan kolapsnya sistem kardiorespirasi. Trauma dan defek yang besar dapat mempercepat pneumotoraks. Kelainan paru seperti ARDS, pulmonary hemorrhage, dan kontusio paru dapat mempercepat pneumotoraks dengan mengurangi komplians paru dan membatasi kolaps paru sehingga menghasilkan tekanan intrapulmoner meningkat terhadap volume gas yang diberikan.11

17

Pada

pasien

dengan

tension

pneumotoraks

terdapat

mekanisme

untuk

mempertahankan MAP saat terjadi tension pneumothorax, yaitu :12 1. Pengurangan tekanan pneumothorax paru yang terkena ke mediastinum dan hemitoraks kontralateral 2. Mempertahankan aliran balik vena jantung dengan meningkatkan usaha napas yang menyebabkan peningkatan tekanan negatif intratoraks paru kontralateral saat inspirasi. Meningkatkan laju jantung melalui refleks baroreseptor dan atau pelepasan katekolamin ke jantung.

Tabel 1. Perbedaan manifestasi respirasi pada pasien tension pneumothorax Onset Status

Tanda dan

Tekanan

Sistem yang

respirasi

gejala

arteri

berhenti (arrest)

gejala hingga

Keterangan

terjadi arrest

Napas

Nyeri dada,

Normal

Respirasi

Hitungan

Mekanisme

spontan

dispnea,

sampai henti

jam

kompensasi secara

respiratory

napas terjadi

progresif

distress,

atau

meningkatkan

takipnea,

penurunan

ukuran

hipoksia,

kesadaran

pneumotoraks

peningkatan

(mekanisme

ipsilateral untuk

usaha napas,

kompensasi

mempertahankan

takikardi

gagal)

tekanan arteri hingga tahap preterminal dari kelainan terjadi.

Ventilasi

Hipoksia,

Kompensasi

tekanan

takikardi,

gagal secara

positif

hipotensi,

cepat

Kardiovaskuler

Hitungan

Tidak adanya

menit

mekanisme kompensasi secara

dan gagal

progresif

jantung

meningkatkan 18

tekanan pneumotoraks ipsilateral secara cepat dan menurunkan tekanan arteri sehingga terjadi hipotensi. Sumber : Roberts DJ, et al. Clinical manifestations of tension pneumothorax: protocol for a systematic review and meta-analysis. 2014.

III.4. Diagnosis Penegakan diagnosis pneumotoraks dapat dibuat berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan konfirmasi menggunakan radiografi toraks, ultrasonografi, dan CTscan. 4.1. Manifestasi Klinis8 Pada Early Pneumothorax ditemukan gejala, yaitu: • Nyeri pleuritik secara tiba-tiba Nyeri lokal yang dirasakan seperti tertusuk berhubungan dengan respirasi atau batuk • Sesak napas secara tiba-tiba karena paru kolaps sehingga tidak dapat berkembang. • Anxietas • Takikardi ( > 135 kali per menit) Gejala tersebut merupakan mekanisme kompensasi tubuh untuk menstabilkan Cardiac Output (CO) akibat penekanan pembuluh darah besar pada daerah rongga dada, seperi aorta, vena cava superior dan vena cava inferior, sehingga terjadi penurunan aliran darah balik ke jantung. • Takipnea (> 50 kali per menit) Merupakan mekanisme kompensasi tubuh karena terjadi gangguan ventilasi yang menyebabkan penurunan kadar oksigen dan peningkatan kadar karbon dioksida akibat paru-paru yang tidak dapat berkembang dengan baik.

19

Pada Late Pneumothorax ditemukan gejala, yaitu: • Hipotensi (< 90/50 mmHg) Disebabkan karena penekanan pembuluh darah besar pada daerah rongga dada sehingga penurunan aliran balik darah ke jantung. Hal ini menyebabkan penurunan preload dan afterload. • Distensi vena jugularis Disebabkan karena penekanan pada vena cava superior dan vena cava inferior • Sianosis Disebabkan karena penurunan aliran darah perifer dan kekurangan oksigen dalam darah • Penurunan kesadaran Disebabkan karena hipoperfusi pada organ-organ vital terutama otak.

4.2.Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan foto polos Posisi foto polos untuk xray dapat dilakukan PA atau supine/lateral decubitus. Gambaran x-ray akan didapatkan gambaran lusen avaskular pada lapang paru, disertai nampaknya garis pleura viseral berupa garis putih yang sesuai dengan kelengkungan rongga toraks. Pada beberapa kasus, bila udara yang terdapat pada paru sudah semakin banyak, dapat terjadi pendorongan trakea dan atau jantung ke bagian sisi kontralateral. Setelah terjadi trauma dapat terjadi emfisema kulit yaitu keadaan dimana udara dapat masuk ke jaringan ikat dibawah kulit, pada foto polos nampak sebagai gambaran lusen bergaris-garis seperti sisir pada bagian tubuh yang mengalami trauma. Hal ini bukanlah keadaan yang mengancam nyawa, karena umumnya dapat sembuh sendiri setelah beberapa minggu.

20

Foto Polos Dada Pada Pneumothorax

2. Pemeriksaan CT-Scan Pada pneumotoraks kecil dan pnemomediastinum pemeriksaan menggunakan CT-Scan lebih sensitif dibandingkan dengan foto polos. CT scan sebagai gold standard untuk mendeteksi pneumotoraks traumatik bila tidak terlihat pada pemeriksaan foto polos supinasi.

III.5. Tatalaksana Tatalaksana pneumotoraks berdasarkan tingkat keparahan gejala, ukuran, dan adanya penyakit paru penyerta. Berdasarkan British Thoracic Society, ukuran pneumotoraks berdasarkan panjang udara yang terlihat antara ujung paru dan dinding dada10. 

Small pneumothorax: 2 cm antara ujung paru dan dinding dada.



Large pneumothorax: >2 cm antara ujung paru dan dinding dada.

Namun ukuran dari pneumothorax ini tidak lebih penting dari gejala klinis pneumothorax yang ada dan tidak terlalu berperan besar dalam tatalaksana terhadap pneumothorax.

Berikut tatalaksana yang dilakukan pada pneumotoraks: a. Tatalaksana awal Manajemen airway, breathing dan circulaiton harus diperhatikan pada semua pasien trauma dada. 

Airway : membersihkan dan membuka jalan napas dan memastikan tulang servikal aman.



Breathing : memberikan terapi oksigen adekuat



Circulaiton : kontrol perdarahan dan tanda-tanda syok 21

b. Terapi oksigen Oksigen tinggi (100%) biasanya diberikan kepada pasien dengan pneumotoraks untuk memberikan oksigenasi yang adekuat kepada organ vital lainnya, terutama pasien dengan saturasi ≤ 92%. Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan foto toraks serial tiap 12-24 jam. c. Simple aspirasi Tindakan aspirasi dilakukan menggunakan kanul IV dan jarum. Lokasi aspirasi dilakukan pada sela iga kelima di garis anterior aksilaris untuk mencegah terjadinya perdarahan. d. Thoracostomy Torakostomi dilakukan apabila simple aspirasi tidak memberikan hasil yang efisien. Penanganan pneumotoraks yaitu salah satunya dilakukannya tindakan dekompresi seperti torakostomi. Tindakan torakostomi tidak lepas dari komplikasi yang dapat terjadi seperti kematian, trauma pada paru, perdarahan, infeksi. Prinsip torakostomi yaitu dengan membuat hubungan antara rongga pleura dengan lingkungan luar dengan memasukkan selang melalui dinding dada hingga ke rongga pleura, dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi negatif. Hal ini disebabkan karena udara keluar melalui selang tersebut. Tujuannya adalah agar paru cepat mengembang dan segera terjadi perlekatan antara pleura viseral dan pleura parietal.1,8 Tatalaksana bila dijumpai emfisema subkutis, adalah menangani penyakit yang mendasari, yaitu penanganan yang sama dengan pneumotoraks. Emfisema subkutis terjadi hanya jika ada trauma baik dari eksternal maupun dari internal. Suara krepitus pada emfisema subkutis dapat menghilang dengan sendirinya, tidak seperti krepitus pada fraktur tulang iga. Emfisema subkutis tidak perlu penanganan khusus, namun apabila masif, dapat dipasangkan kateter pada jaringan subkutan untuk melepaskan udara. Chest tube dapat dipasangkan pada emfisema subkutis dengan pneumotoraks. Tatalaksana utama nya adalah menangani kondisi yang mendasari, dan suportif yaitu bed rest, anti nyeri, dan suplementasi oksigen. 8

22

Thoracostomy

III.6. Pemeriksaan Pneumotoraks pada Kasus Mati Pneumotoraks pada kasus mati, jika dilakukan postmortem radiografi maka akan didapatkan7 : 

Paru yang asimetris



Tidak adanya corakan paru



Daerah paru tampak gambaran yang hitam



Terdapatnya gambaran gas pada organ internal, terdistribusi secara vaskular, terutama pada otak, jantung , dan liver. Ketika jenazah dilakukan otopsi maka akan didapatkan9 :



Pleura visceral tidak akan terlihat berada di lapisan bawah pleura parietal karena pleura visceral akan menonjol keluar akibat adanya tekanan tinggi di antara pleura visceral dan paru, atau pleura visceral akan terlihat sangat melekat ke dalam paru karena adanya tekanan tinggi yang menekan rongga pleura.



Adanya gelembung udara yang keluar jika air dituang ke dalam rongga dada dan tulang rusuk. Metode ini dilakukan dengan mengiris kulit dan lapisan subkutan sehingga melepaskan lapisan tersebut dari sisi permukaan anterior dan lateral iga.



Jika terjadi emfisema kulit maka pada palpasi akan didapatkan krepitasi disekitar daerah trauma. Emfisema subkutis dapat diakibatkan operasi atau trauma yang menyebabkan kerusakan pada alveoli paru sehingga udara keluar ke mediastinum lalu terjebak di bawah kulit seringkali pada daerah subkutis leher dan dada. Pada pemeriksaan jenazah, pada palpasi dapat ditemukan krepitasi yang dapat berpindahpindah, udara pada emfisema subkutis dapat berpindah hingga abdomen maupun 23

tungkai dikarenakan tidak adanya batasan pada jaringan lemak/ subkutan untuk mencegah perpindahan udara tersebut sedangkan pada fraktur iga terdapat deformitas dinding dada serta didapatkan krepitasi pada tempat iga yang fraktur dan krepitasi bersifat lokal pada daerah yang fraktur atau tidak dapat berpindah seperti hal nya krepitasi emfisema subkutis.

III.7. Pneumoscrotum Pneumoskrotum adalah terakumulasinya gas dalam rongga skrotum sehingga timbul pembengkakan pada skrotum. Pneumoskrotum ini terjadi akibat adanya proses pembusukan pada jenazah yang menghasilkan gas sisa pembusukan seperti karbon dioksida, karbon monoksida, ammonia, dan hidrogen sulfida yang akan terakumulasi di jaringan, salah satunya di rongga peritoneum di mana pada pria akan turun melalui kanalis inguinalis, masuk ke skrotum dan menimbulkan pembengkakan di skrotum. Pneumoskrotum dan pneumothoraks merupakan dua hal yang terpisah, di mana bila terdapat penumpukan udara di rongga dada, maka udara tidak akan turun ke skrotum. Jadi, penyebab pneumoskrotum hanya karena terjadi pembusukan sehingga terdapat penumpukan gas di peritoneum yang pada pria akan turun lewat kanalis inguinalis ke rongga skrotum sehingga menimbulkan pembengkakan skrotum.7

24

DAFTAR PUSTAKA

1. Sharma A, Jindal P. Principles of diagnosis and management of traumatic pneumothorax. J Emergencies Trauma Shock New Delhi. 2008;1(1):34–41. 2. Veysi VT, Nikolaou VS, Paliobeis C, Efstathopoulos N, Giannoudis PV. Prevalence of chest trauma, associated injuries and mortality: a level I trauma centre experience. Int Orthop.2009;33(5):1425–33. 3. Wolfman NT, Myers WS, Glauser SJ, Meredith JW, Chen MY. Validity of CT classification on management of occult pneumothorax: a prospective study. Am J Roentgenol. 1998 Nov;171(5):1317–20. 4. Lihawa, Nurjannah. PPDS O IP Paru UNAIR.Majalah Kedokteran Respirasi, Volume 4 Nomor 2, 2013.RSUD Dr. Soetomo Surabaya 5. Bobbio A, Dechartres A, Bouam S, Damotte D, Rabbat A, Régnard J-F, et al. Epidemiology of spontaneous pneumothorax: gender-related differences. Thorax. 2015;70(7):653–8. 6. Gupta D, Hansell A, Nichols T, Duong T, Ayres J, Strachan D. Epidemiology of pneumothorax in England. Thorax. 2000; 55(8):666–71. 7. Lear-Kaul KC. Forensic Considerations of Spontaneous Pneumothorax in Sudden Unexpected Natural Death. Acad Forensic Pathol. 2015; 5(1):47–58. 8. McCance KL, Huether SE. Pathophysiology: The Biologic Basis for Disease in Adults and Children [Internet]. Elsevier; 2013. (Pathophysiology the Biologic Basis). 9. Dolinak D, Matshes E, Lew EO. Forensic Pathology: Principles and Practice. Elsevier . 10. Currie GP, Alluri R, Christie GL, Legge JS. Pneumothorax: an update. Postgrad Med J. 2007 Jul;83(981):461–5. 11. Leigh-Smith S, Harris T. Tension pneumothorax--time for a re-think? Emerg Med J. 2005;22(1):8–16.

25

12. Roberts DJ, Leigh-Smith S, Faris PD, Ball CG, Robertson HL, Blackmore C, et al. Clinical manifestations of tension pneumothorax: protocol for a systematic review and meta-analysis. Syst Rev [Internet]. 2014 [cited 2018 Dec 5];3(1). Available from: http://systematicreviewsjournal.biomedcentral.com/articles/10.1186/2046-4053-3-3

26

Related Documents


More Documents from "blaze ricz"