Jurnal Poll.docx

  • Uploaded by: Shin
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Jurnal Poll.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,299
  • Pages: 20
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Disolusi adalah proses dimana zat padat masuk ke larutan. Untuk bentuk sediaan yang mengandung bahan padat aktif, laju disolusi mungkin penting untuk penyerapan. Disolusi bahan padat aktif dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti media di mana obat dilarutkan (Hasan, 2017). Bioavabilitas adalah ukuran jumlah obat yang diabsorbsi ke dalam sirkulasi sistemik dalam waktu tertentu. Dengan beberapa pengecualian (pro-obat), obat yang diberikan secara intravena mempunyai bioavabilitas 100%. Bioavabilitas obat sering digambarkan sebagai fraksi jumlah yang diabsorbsi setelah pemberiaan obat ekstravaskuler relatif terhadap pemberiaan secara intravena. (Behrman, 2000). Analisis ketersediaan hayati (bioavabilitas) dari suatu bahan bioaktif merupakan cara untuk mengetahui nilai biologis serta fungsi fisiologisnya di dalam tubuh serta untuk mengevaluasi metabolismenya di dalam tubuh sehingga dapat digunakan oleh manusia atau hewan untuk kepentungan kesehatan. Ketersedaiaan hayati adalah sejumlah komponen suatu zat di dalam darah atau organ yang dapat diukur setelah penyerapan pada suatu jaringan (Langseth , 2000). Ketersediaan hayati digunakan untuk memberi gambaran mengenai keadaan dan kecepatan absorpsi obat dari bentuk sediaan. Ketersediaan hayati digambarkan dengan kurva kadar terhadap waktu setelah obat diminum dan berada pada jaringan biologis atau cairan, seperti darah dan urine (Syamsuni, 2006). 1.2 Tujuan Percobaan - Untuk mengetahui Volume Distribusi (Vd) Sulfadiazin secara in vivo di dalam tubuh kelinci. 1

- Untuk mengetahui konsentrasi plasma awal (Cp0) Sulfadiazin secara in vivo di dalam tubuh kelinci. - Untuk mengetahui t1/2 Sulfadiazin secara in vivo di dalam tubuh kelinci. - Untuk mengetahui rute pemberian obat untuk menghasilkan efek terapi dan pengaruh bentuk sediaan obat terhadap bioavailabilitas (ketersediaan hayati) obat dalam tubuh. - Untuk mengetahui berbagai parameter farmakokinetik dalam menentukan bioavailabilitas pada uji in vivo. 1.3 Manfaat Percobaan - Agar mahasiswa dapat mengetahui Volume Distribusi (Vd) Sulfadiazin secara in vivo di dalam tubuh kelinci. - Agar mahasiswa dapat mengetahui konsentrasi plasma awal (Cp0) Sulfadiazin secara in vivo di dalam tubuh kelinci. - Agar mahasiswa dapat mengetahui t1/2 Sulfadiazin secara in vivo di dalam tubuh kelinci. - Agar mahasiswa dapat mengetahui rute pemberian obat untuk menghasilkan efek terapi dan pengaruh bentuk sediaan obat terhadap bioavailabilitas (ketersedi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Bahan 2.1.1. CTM

2

Nama lain

:Klorfemiramin Maleat,

2-[p-kloro-α-[2-(dimetioamino)-

etil]benzil] Rumus kimia

: C16H19CIN2.C4H4O4

Berat molekul

: 390,87

Pemerian

: Serbuk hablur , putih; tidak berbau. Larutan mempunyai pH antara 4 dan 5

Kelarutan

: Mudah larut dalam air; larut dalam etanol dan dalam kloroform dan sukar larut dalam eter dan benzena

Identifikasi

:Spektrum serapan inframerah zat yang didispersikan dalam kaliu broida P menunjukkan maksimu hanya pada panjang gelombang yang sama seperti pada Klorfeniramin Maleat BPFI

Wadah dan penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya Disolusi

; Media disolusi: 500ml air Alat tipe 2 : 50 rpm Waktu : 45 menit

Prosedur

:Lakukan penetapan jumlah chlorpheniramin maleas yang terlarut dengan mengukur serapan filtrat larutan uji, jika

3

perlu encerkan dengan asam klorida 3N, dan dengan serapan larutan baku Klorfenramin maleat BPFI dalam media yang sama pada panjang gelombang serapan maksimum lebih kurang 262nm. Toleransi: Dalam waktu 45 menit harus larut tidak kurang dari 75% Q C16H19CIN2.C4H4O4 dari jumlah yang tertera pada etiket. (Depkes RI, 1995). Sulfadiazin dapat ditentukan kadarnya dengan berbagai cara, diantaranya dilakukan dengan metode nitrimetri dengan menggunakan natrium nitrit sebagai pentiter dan larutan kanji sebagai indikator di mana akan terbentuk larutan berwarna biru tua. (Ditjen POM, 1979). Sulfadiazin dapat juga ditentukan dengan menggunakan spektrofotometri ultraviolet dalam larutan asam ( HCL 0,1 N) spektrumnya pada panjang gelombang 215 nm dan 242 nm, pada larutan basa (NaOH 0,1 N) spektrumnya pada 242 nm dan 254 nm, dan dalam pelarut metanol spektrum maksimumnya pada 270 nm (Ditjen POM, 1979). 2.2 Prinsip – Prinsip Farmakokinetika Farmakokinetika dapat didefinisikan sebagai setiap proses yang dilakukan tubuh terhadap obat, yaitu resorpsi, transpor, biotransformasi (metabolisme), distribusi

dan

ekskesi.

Dalam

arti

sempit

farmakokinetika

khususnya

mempelajariperubahan konsentrasi dari obat dan metabolitnya di dalam darah. Tubuh kita dapat dianggap sebagai suatu ruang besar yang terdiri dari beberapa kompartimen (bagian) berisi cairan dan antar-kompartimen tersebut dipisahkan oleh membran sel. Kompartimen yang terpenting antara lain saluran lambung-usus,

4

sistem peredaran darah, ruang ekstrasel (di luar sel, antarjaringan), ruang intrasel (di dalam sel) dan ruang cerebrospinal (sekitar otak dan sumsum tulang belakang). Resorpsi, distribusi dan ekskresi obat di dalam tubuh pada hakikatnya berlangsung dengan mekanisme yang sama, karena semua proses ini tergantung dari lintasan obat melalui serangkaian membran sel tersebut (Tan, 2007). Membran sel terdiri dari suatu lapisan lipoprotein (lemak dan protein) yang mengandung banyak pori kecil dan berisi air. Lubang - lubang ini sedemikian kecilnya hingga tidak dapat dilihat dengan mikroskop elektron dengan perbesaran 50.000 kali. Membran dapat dilintasi dengan mudah oleh zat –zat tertentu tetapi sukar dilalui oleh zat – zat lainnya, sehingga disebut semipermeabel (semi = setengah, permeabel = dapat ditembus). Zat-zat lipofilik yang mudah larut dalam lemak dan tidak bermuatan listrik pada umumnya lebih mudah melintasinya dibanding dengan zat-zat hidrofil yang bermuatan listrik (ion).

Tujuan

biotransformasi obat adalah untuk mengubahnya sedemikian rupa hingga mudah diekskresi ginjal, dengan lain kata membuatnya lebih hidrofil (Tan, 2007). Obat akan berinteraksi dalam tubuh lewat organ, di dalam organ obat berinteraksi di jaringan, dalam jaringan obat bekerja di sel secara molekuler. Masuknya obat ke dalam tubuh melalui tiga fase, yaitu fase farmasetika, farmakokinetika,

farmakodinamik.

Dalam

fase

farmasetika,

obat

akan

terdisintegrasi oleh pelarut di dalam tubuh, sehingga peran disolusi obat dalam pelarut dalam tubuh sangat penting. Tahap awal ini sangat menentukan ketersediaan hayati obat dalam tubuh untuk masuk ke tahap selanjutya yaitu fase farmakokinetik.. dalam fase farmakokinetika, obat diabsorpsikan, didistribusikan, dimetabolismekan, dan akhirnya diekskresikan (Muchtaridi, 2018).

5

Fase-fase Estafet Utama dalam Aksi Obat a. Fase farmasetika Disamping molekul obat, stabilitas obat dalam lambung dan kelarutannya dalam air, formulasi dan bentuk sediaan yang digunakan juga sangat penting. Jadi, pada proses dispersi molekul obat yang dipakai dalam bentuk sediaan menjadi senyawa aktif yang tersedia untuk diabsorpsi. Fase ini dinamakan fase farmasetika yang menentukan ketersediaan obat untuk diabsorbsi ke dalam sistem biologis (Muchtaridi, 2018). b. Fase farmakokinetik absorpsi molekul obat mengakibatkan ketersediaan biologis. Distribusi konversi metabolik dapat mengakibatkan bionaktivasi/bioaktivasi dan ekskresi obat. Bersama fase 3 menentukan konsentrat obat dalam bentuk aktif yang mencapai jaringan targen. Hal ini menampilkan farmakokinetik aksi obat, yaitu menyelidiki nasib obat mulai dari pemberian sampai absorpsi dari usus dan transpor ke seluruh jaringan tubuh (Muchtaridi, 2018). c. Fase farmakodinamik induksi sering berdasarkan atas suatu interaksi molekul obat dan reseptor jaringan target (Muchtaridi, 2018). Suatu obat yang diminum per oral akan melalui tiga fase: farmasetik (disolusi), farmakokinetik, dan farmakodinamik, agar kerja obat dapat terjadi. Dalam fase farmasetik, obat berubah menjadi larutan sehingga dapat menembus membran biologis. Jika obat diberikan melalui rute subkutan, intramuskular, atau intravena, maka tidak terjadi fase farmaseutik. Fase kedua, yaitu farmakokinetik, terdiri dari empat proses (subfase); absorpsi, distribusi, metabolisme (atau

6

biotransformasi, dan ekskresi. Dalam fase farmakodinamik, atau fase ketiga, terjadi respon biologis atau fisiologis (Kee, 1994). Sekitar 80% obat diberikan melaui mulut; oleh karena itu, farmasetik (disolusi) adalah fase pertama dari kerja obat. Dalam saluran gastrointestinal, obat-obat perlu dilarutkan agar dapat diabsorpsi. Obat dalam bentuk padat (tablet atau pil) harus didisentegrasi menjadi partikel-partikel kecil supaya dapat larut ke dalam cairan, dan proses ini dikenal sebagai disolusi (Kee, 1994). Tidak 100% dari sebuah tablet merupan obat. Ada bahan pengis dan pelembab yang dicampurkan dalam pembuatan obat sehingga obat dapat mempunyai ukuran tertentu dan mempercepat disolusi obat tersebut. Beberapa tambahan dalam obat seperti ion Kalium (K) dan Natrium (Na) dalam kalium penisilin dan natrium penisilin, meningkatakan penyerapan dari obat tersebut. Penisilin sangat buruk diabsorbsi dalam saluran gastrointestinal, karena adanya asam lambung.dengan penambahan kalium atau natrium ke dalam penisilin, maka obat lebih banyak diabsorbsi (Kee, 1994). Disintegrasi adalah pemecahan tablet atau pil menjadi pertikel-partikel yang lebih kecil, dan disolusi adalah melarutnya partikel-partikel yang lebih kecil itu dalam cairan gastrointestinal untuk diabsorbsi. Rate limiting adalah waktu yang dibutuhkan oleh sebuah obat untuk berdisintegrasi dan samapi siap untuk diabsorpsi di dalam tubuh. Obat-obat dalam bentuk cair lebih cepat siap diserap oleh saluran gastrointestinal daripada obat dalam bentuk padat. Pada umunya obat-obat berdisintegrasi lebih cepat dan diabsorbsi lebih cepat dalam cairan asam yang mempunyai pH 1 atau 2 daripada cairan basa. Orang tua dan muda mempunyai keasaman lambung yang rendah, sehingga pada umumnya absorbsi

7

obat lebih lambat untuk obat-obat yang diabsorbsi terutama melalui lambung (Kee, 1994). Obat-obat dengan enteric-coated, EC (selaput enterik) tidak dapat didisentegrasi oleh asam lambung. Sehingga didisentegrasinya beru terjadi jika berada dalam suasana basa di dalam usus halus. Tablet enteric-coated dapat bertahan di dalam lambung untuk jangka waktu lama; sehingga , oleh karenanya obat-obatan yang demikian kurang efektif atau efek mulanya emnjadi lambat (Kee, 1994). Satu dari keuntungan pelepasan osmotik adalah insensitivitas dari obat melepas pH, kekuatan ionik, dan hidrodinamikdari media yang mengelilingi tablet. Apabila obat yang dilepas adalah dari tablet pada rute atau pelepasan yang mendekati atau melewati daya larut dari obat, disolusi obat mungkin dipengaruhi oleh hidrodinamik (Wen ,2010). Makanan umumnya mengurangi laju absorbsi obat oleh (a) pengosongan lambung yang melambat, (b) meningkatnya viskositas kandungan luminal (sebabnya mengurangi laju disolusi dan difusi obat menuju dinding usus), (c) kompleksitas obat dengan komponen makanan, dan (d) stimulasi dari sekresi cairan gastriintestinal yang memungkinkan menurunkan obat (Smith, 2006). Makanan dalam saluran gastrointestinal dapat mengganggu pengenceran dan absorbsi obat-obat tertentu. Beberapa mengiritasi mukosa lambung, sehingga cairan atau makanan diperlukan untuk mengencerkan konsentrasi obat (kee, 1994) 2.3 Ketersediaan Hayati Efek terapi suatu obat biasanya baru terlihat setelah zat aktifnya melewati sistem pembuluh darah aorta, lalu masuk ke hati dan mengalami detoksikasi, kemudian kembali masuk ke peredaran darah dan didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh (Syamsuni, 2006). 8

Ketersediaan hayati suatu obat dapat diukur pada keadaan penderita yang bersangkutan (in vivo) dengan menentukan kadar obat dalam plasma darah. Hal ini menunjukkan adanya suatu korelasi antara kadar obat dalam plasma dengan efek terapi. Ketersediaan farmasetik ditentukan secara in vitro dengan mengukur kecepatan disolusi zat aktif dalam waktu tertentu. Kadar obat dalam air liur lebih kecil daripada dalam plasma darah (1:10) (Syamsuni, 2006). Ketersediaan hayati digunakan untuk memberi gambaran mengenai keadaan dan kecepatan absorpsi obat dari bentuk sediaan. Ketersediaan hayati digambarkan dengan kurva kadar terhadap waktu setelah obat diminum dan berada pada jaringan biologis atau cairan, seperti darah dan urine (Syamsuni, 2006). Data ketersediaan hayati digunakan untuk menentukan jumlah atau bagian obat yang diabsorpsi dari bentuk sediaan; kecepatan obat diabsorpsi; masa kerja obat berada dalam cairan biologis atau jaringan bila dihubungkan dengan respon pasien; dan hubungan antara kadar obat dalam darah dengan efektivitas terapi atau efek toksik (Syamsuni, 2006). Dalam industri farmasi, ketersediaan hayati digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk memilihdan menyususn formula sediaan obat dengan cara : 1. membandingkan macam-macam formulasi substansi obat untuk menentukan formula mana yang paling cocok dalam hal absorpsi obatnya; 2. membandingkan KH substansi obatnya dari bermacam – macam batch sediaan obat yang diproduksi; 3. membandingkan KH substansi obatnya dari bermacam –macam sediaan obat, seperti tablet, kapsul, eliksir;

9

4. membandingkan KH substansi obatnya dari sediaan obat yang sama tetapi dari pabrik yang lain (Syamsuni, 2006). 2.4 Absorbsi dan Bioavabilitas obat Agar efektif, obat harus diabsorbsi dari tempat pemberiaannya ke sirkulasi sistemik, dari mana dia didistribusikan ke tempat kerjanya dan dieliminasi dari tubuh. Bioavabilitas adalah ukuran jumlah obat yang diabsorbsi ke dalam sirkulasi sistemik dalam waktu tertentu. Dengan beberapa pengecualian (pro-obat), obat yang diberikan secara intravena mempunyai bioavabilitas 100%. Bioavabilitas obat sering digambarkan sebagai fraksi jumlah yang diabsorbsi setelah pemberiaan obat ekstravaskuler relatif terhadap pemberiaan secara intravena. Secara matematis, bioavabilitas sebaiknya dihitung sebagai rasio daerah di bawah kurva waktu kadar obat (AUC) yang ditentukan setelah pemberiaan obat ekstarvaskuler terhadap AUC obat yang diperoleh setelah pemberian secara intravena (AUC oral/AUC IV) (Behrman, 2000). Profil absorbsi obat merupakan suatu keterpaduan yang tergantung baik pada bioavabilitas maupun laju absorpsi ke dalam sirkulasi sistemik. Laju dan besarnya absorpsi obat dipengaruhi oleh berbagai faktor fisikokimia dan faktor terkait penderita. Variabel – variabel ini dan yang lainnya (obat yang diberikan bersamaan) dapat mempengaruhi kecepatan absorpsi obat tetapi tidak mempengaruhi bioavabilitasnya. Misalnya, adanya makanan dalam lambung dan duodenum dapat menurunkan kecepatan tetapi biasanya tidak mempengaruhi. BAB III METODE PERCOBAAN 3.1

Alat dan Bahan

3.1.1 Alat

10

Alat - alat yang digunakan dalam percobaan adalah Animal box, Beaker glass 500 ml (Pyrex), Gelas ukur 10 ml (Pyrex), Karet vial, Karet sentrifuse, Kertas perkamen, Labu tentukur 10 ml (Pyrex), Neraca analitik (Bocco), Penyangga mulut, Pisau cukur (Gilette), Pipet tetes, Sentrifuse (Centrifuge), Spektrofotometer UV (Shimadzu), Spuit 3 ml, Spuit 5 ml, Stopwatch, Tabung sentrifuse, Tissue (Paseo), Tisu lensa, Tutup labu tentukur, Vial, Vortex (WINA). 3.1.2 Bahan Bahan – bahan yang digunakan adalah Akuades bebas CO2, Alkohol 70%, Asam Trikloro Asetic (TCA) 10%, Kapas,Klorfeniramin Maleat, Medium Lambung Buatan, Natrium Sitrat, Natrium Nitrit 0,5% , dan Vaselin. 3.2

Hewan Percobaan Kelinci jantan (Oryctolagus cuniculus) dengan berat 1,8 - 2,5 kg.

3.3

Prosedur

3.3.1 Pemberian sediaan secara Intravena Ditimbang kelinci. Dicukur bulu telinga hingga bersih menggunakan pisau cukur. Diambil sebanyak 0,5 ml darah dari vena marginal dengan spuit yang mengandung 0,5 ml Natrium sitrat. Dimasukkan campuran ke dalam tabung sentrifuge yang berisi 2 ml larutan TCA 10 %. Dihomogenkan campuran dengan menggunakan vortex. Disentrifuge campuran pada 2000 rpm selama 10 menit. Diambil larutan supernatan dan dimasukkan ke dalam labu tentukur lalu diencerkan dengan medium dapar fosfat hingga 10 ml (percobaan blanko). Diberikan sediaan secara intavena pada bagian telinga vena marginal dengan menggunakan spuit. Diambil 0,5 ml darah pada interval ke 5, 10, 20, 30, 45, 60 dan 75 menit. Dilakukan hal yang sama seperti pada larutan blanko. Diukur serapannya pada panjang gelombang yang sesuai dengan menggunakan spektofotometer UV. 11

3.3.2 Pemberian sediaan secara Oral Ditimbang kelinci. Dicukur bulu telinga hingga bersih menggunakan pisau cukur. Diambil sebanyak 0,5 ml darah dari vena marginal dengan spuit yang mengandung 0,5 ml Natrium sitrat. Dimasukkan campuran ke dalam tabung sentrifuge yang berisi 2 ml larutan TCA 10 %. Dihomogenkan campuran dengan menggunakan vortex. Disentrifuge campuran pada 2000 rpm selama 10 menit. Diambil larutan supernatan dan dimasukkan ke dalam labu tentukur lalu diencerkan dengan medium dapar fosfat hingga 10 ml (percobaan blanko). Diberikan sediaan secara oral dengan bantuan alat pembuka mulut. Diambil 0,5 ml darah pada interval ke 5, 10, 20, 30, 45, 60 dan 75 menit. Dilakukan hal yang sama seperti pada larutan blanko. Diukur serapannya pada panjang gelombang yang sesuai dengan menggunakan spektofotometer UV.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1

Hasil

4.1.1 Pengukuran kadar Klorfeniramin Maleat Tablet Generik dalam darah dengan pemberian secara Oral

12

No.

Waktu

Absorbansi

Konsentrasi

1.

0

0,595

12,384

2.

5

0,698

14,483

3.

10

1,037

21,522

4.

20

1,043

21,643

5.

30

1,214

25,203

6.

45

1,193

24,762

7.

60

1,056

21,915

8.

70

0,897

18,606

9.

80

0,605

12,551

10.

90

0,567

11,752

4.1.2 Pengukuran kadar Klorfemiramin Maleat Tablet Dagang dalam darah dengan pemberian secara Oral No.

Waktu

Absorbansi

Konsentrasi

1.

0

0

0,000

2.

5

0,680

14,095

3.

20

0,875

18,157

4.

30

0,752

15,598

5.

45

0,957

19,861

6.

50

0,933

19,356

7.

60

0,978

20,299

8.

70

0,838

17,389

13

9.

80

0,791

16,417

4.1.3 Pengukuran kadar Paracetamol Larutan dalam darah dengan pemberian secara Intravena No.

Waktu

Absorbansi

Konsentrasi

1.

0

3,525

-9,966

2.

5

3,370

55,163

3.

10

2,856

40,001

4.

20

2,698

36,741

5.

30

2,440

38,215

6.

45

2,228

26,134

7.

60

1,970

37,593

8.

75

1,866

34,399

9.

80

1,711

41,294

10.

90

1,606

38,542

4.1.4 Pengukuran kadar Paracetamol Tablet generik dalam darah dengan pemberian secara Oral No.

Waktu

Absorbansi

Konsentrasi

1.

0

0,769

4,8718

2.

5

1,213

13,419

3.

10

1,239

13,918

4.

20

1,249

14,114

14

5.

30

1,318

15,449

6.

45

1,293

14,973

7.

60

1,282

14,754

8.

70

1,281

14,735

9.

80

1,258

14,297

10.

90

1,249

14,114

4.1.5 Pengukuran kadar Paracetamol Tablet Dagang dalam darah dengan pemberian secara Oral

4.1.6

No.

Waktu

Absorbansi

Konsentrasi

1.

0

0,000

0

2.

5

1,435

34,263

3.

10

1,928

34,263

4.

20

2,414

18,904

5.

30

3,311

17,770

6.

45

2,524

19,957

7.

60

2,000

22,189

8.

70

1,328

25,244

9.

80

1,114

21,371

10.

90

0,854

20,441

Pengukuran kadar Paracetamol Larutan dalam darah dengan pemberian secara Intravena

15

No.

Waktu

Absorbansi

Konsentrasi

1.

0

0,000

0

2.

5

2,498

26,253

3.

10

2,541

25,722

4.

20

2,451

25,722

5.

30

2,241

23,376

6.

45

2,189

22,793

7.

60

2,056

21,305

8.

70

2,482

26,069

4.2 Perhitungan Terlampir 4.2

Pembahasan Dari hasil percobaan pengaruh konsentrasi plasma awal (Cp0) ,t1/2 dan volume

distribusi (Vd) terhadap sediaan ctm tablet generik diperoleh hasil yaitu 9318,005 mcg/ml; 29,2405 menit; 220,994 ml. Ketersediaan obat dalam darah atau bioavailabilitas (F) pada percobaan tidak didapat. Hal ini dikarenakan tidak dilakukannya percobaan dengan rute intravena tetapi dari percobaan bioekivalen sini didapat data yang menunjukkan bahwa adanya perbedaan - perbedaan parameter bioekivalensi, walaupun obat hanya melalui rute pemberian yang sama yaitu secara oral. Estimasi availabilitas fisiologis dapat dilakukan dengan mengukur plasma level obat atau ekskresi uriner zat aktif unchanged,atau kemungkinan lain yaitu saliva level obat, yang merupakan cara yang cukup ekonomis dan relatif singkat.

16

Asalkan cara ini dapat didesain, dikelola dan dievaluasi dengan baik, diharapkan hasil - hasilnya akan relatif dekat dengan potensi obat yang sebenarnya. Dalam menaksir ketersediaan hayati ada 3 parameter yang biasanya diukur yang menggambarkan profil konsentrasi obat dalam darah dan waktu dari obat yang diberikan. (1) Konsentrasi puncak (Cmaks), menggambarkan konsentrasi obat tertinggi dalam sirkulasi sistemik. (2) Waktu untuk mencapai konsentrasi puncak (tmaks), menggambarkan lamanya waktu tersedia untuk mencapai konsentrasi puncak obat dalam sirkulasi sistemik. (3) Luas daerah dibawah kurva (AUC), merupakan total area dibawah kurva konsentrasi vs waktu yang menggambarkan perkiraan jumlah obat yang berada pada sirkulasi sistemik. Bioavailabilitas in vivo dari suatu produk obat dilakukan jika laju dan jumlah memenuhi (Ansel, 2005).

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1

Kesimpulan - Volume distribusi (Vd) Klorfeniramin Maleat yang diperoleh secara in vivo didalam tubuh kelinci adalah 0,0004377323 ml. - Konsentrasi plasma awal (Cp0) Klorfeniramin Maleat yang diperoleh secara in vivo di dalam tubuh kelinci adalah 9138,005 mcg/ml.

17

- Nilai t1/2 Klorfeniramin Maleat yang diperoleh secara in vivo di dalam tubuh kelinci adalah 29,2405 menit. - Rute pemberian obat meliputi pemberian secara oral, intramuskular, intravena , dan lain-lain. Urutan bioavailabilitas yang paling tinggi adalah pemberian melalui intravena karena obat diinjeksikan langsung ke pembuluh darah sehingga langsung mencapai sistemik, kemudian dilanjutkan pemberian secara intramuskular dan yang terakhir secara oral karena obat harus mengalami disolusi dan absorpsi serta melalui first pass metabolism. - Parameter farmakokinetik untuk menentukan bioavailabilitas sediaan secara in vivo diantaranya adalah Cmax, Tmax, t½, AUC( Area Under Curve), AUMC, Konstanta Absorbsi (Ka), Konstanta Eliminasi (Ke), Volume distribusi (Vd).

5.2 Saran -

Sebaiknya pada percobaan selanjutnya, dapat dilakukan pemberian rute lain seperti subkutan dan intraperitonial.

-

Sebaiknya pada percobaan selanjutnya, dapat digunakan obat lain seperti furosemid.

DAFTAR PUSTAKA Behrman, Kliegman, dan Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Halaman: 366 - 367 Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan R.I. Halaman: 579 Hasan, M. M., dkk. 2017. A key approach on dissolution of pharmaceutical dosage forms. The Pharma Innovation Journal. Vol. 6(9). Halaman: 168-180 Kee, J. L. Dan Evelyn R. H. 1994. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Halaman: 6

18

Muchtaridi, dkk. 2018. Kimia Medisinal Dasar-Dasar dalam Perancangan Obat. Jakarta: Prenadamedia Group. Halaman: 7 – 9 Smith and William. 2006. Introsuction to The Principles of Drug Design and Action Fourth Edition. United State: Taylor & Francis Group. Halaman: 37 Suarsana I. N, Srikayati W., dan Bambang P. P. 2012. Ketersediaan Hayati Isoflavon dalam Plasma dan Pengaruhnya terhadap Nilai Biokimia Darah pada Tikus Hiperglikemia. Jurnal Biokimia. Vol. 13 No. 1. Halaman: 86 87 Syamsuni. 2006. Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi. Jakarata: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Halaman: 28 - 31 Tan, T. dan Kirana R. 2008. Obat-Obat Penting. Edisi VI. Jakarta: Gramedia. Halaman: 22 - 23 Watson, D. G. dkk. 2017. Phamaceutical Analysis Fourth Edition. London: Elsevier. Halaman: 90 Wen, H. dan Kinam P. 2010. Oral Controlled Release Formulation Design and Drug Delivery. Canada: Wiley. Halaman: 147

19

Gambar 1 spektrofotometer

gambar 2 labu tentukur

Gambar 3 pipet tetes

gamabr 4 vial

20

Related Documents

Jurnal
December 2019 93
Jurnal
May 2020 64
Jurnal
August 2019 90
Jurnal
August 2019 117
Jurnal
June 2020 36
Jurnal
May 2020 28

More Documents from ""

Jurnal Poll.docx
December 2019 46
Seloka.docx
April 2020 22