Jurnal Hukum Dan Peradilan Ham.docx

  • Uploaded by: Sri Desri Herdiyanti
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Jurnal Hukum Dan Peradilan Ham.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,994
  • Pages: 25
PERADILAN HAM DI INDONESIA DAN DI DUNIA (INTERNASIONAL) Sri Desri Herdiyanti Nim. 2170010016 Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung Jl. Cimincrang Samping Mapolda Jabar Kota Bandung Email: [email protected] ABSTRAK Hak fundamental setiap orang dan warga negara atas peradilan yang adil dijamin oleh Konstitusi, sehingga Negara harus mewujudkan peradilan yang kompeten, independen, dan imparsial. Demikian juga pada Pengadilan HAM, jaminan terhadap peradilan yang adil demi melindungi manusia dan harkat kemanusiaan harus diwujudkan selaras dengan prinsip bangsa Indonesia yang berketuhanan dan berkeadilan. Dibentuknya Pengadilan HAM untuk menyelesaikan pelanggaran berat HAM menjadi parameter awal yang akan menunjukkan sampai seberapa jauh keseriusan Pemerintah untuk melindungi dan memajukan HAM. Era penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia ditandai oleh disyahkannya regulasi/instrument hukum baik di dalam amandemen konstitusi negara maupun Perundangan dalam bentuk undang-undang diantaranya adalah Undang-Undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang substansinya berkiblat pada Statuta Roma. HAM telah mendorong banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat dunia, dan masyarakat berharap banyak pada adanya pengadilan HAM yang dapat melindungi hak-hak mereka. Berdirinya HAM telah membawa perubahan dan arus global di dunia Internasional untuk mengubah cara pandang dan kesadarannya terhadap pentingnya suatu perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM). Demi menjaga akuntabilitas proses peradilan pada Pengadilan HAM, perlu keterlibatan setiap elemen sebagai kontrol agar semakin meningkatkan kepedulian atas terselenggaranya proses peradilan HAM yang adil. Kata Kunci: Hak Asasi Manusia, Peradilan, Indonesia, Internasional. ABSTRACT The fundamental right of every person and citizen to a fair trial is guaranteed by the Constitution, so that the State must realize a competent, independent, and impartial judiciary. Similarly, in the Human Rights Court, guarantees of a fair trial to protect humanity and human dignity must be realized in harmony with the principle of the nation Indonesia that is both loyal and fair. The establishment of a Human Rights Court to resolve gross human rights violations is an early parameter that will show how far the Government is serious about protecting and promoting human rights. The era of respect for human rights in Indonesia is marked by the passage of regulation/instrument of law both in the

1

constitutional amendment of the state and legislation in the form of law such as Law No. 26 of 2000 on Human Rights Court whose substance is oriented in the Rome Statute. Human rights have encouraged many changes in the life of the world community, and people expect much in the presence of human rights courts that can protect their rights. The establishment of human rights has brought changes and global flow in the international world to change the way of view and awareness of the importance of a human rights protection. In order to maintain accountability of the judicial process in the Human Rights Court, it is necessary to engage each element as a control in order to increase awareness of the implementation of a fair human rights trial process. Keywords: Human Rights, Judiciary, Indonesia, International. PENDAHULUAN Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada tahun 1948 telah mendorong banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat dunia. Sekelompok anak bangsa merasa telah menemukan kebebasan atas penindasan dari anak bangsa yang lainnya, dipihak lain ada sekelompok masyarakat justru harus mengalami kondisi peperangan karena negara tempat tinggalnya dianggap sebagai penjahat HAM, khususnya kepala negara mereka sebagai pemerintahan yang anti HAM, maka atas nama demi penegakan HAM, masyarakat sipil yang harus menerima akibat dari politik perang menegakan HAM tersebut. Apapun dampak dari penegakkan HAM, banyak masyarakat dunia termasuk masyarakat Indonesia berharap banyak pada adanya pengadilan HAM yang dapat melindungi hak-hak mereka.1 Berdirinya HAM telah membawa perubahan dan arus global di dunia Internasional untuk mengubah cara pandang dan kesadarannya terhadap pentingnya suatu perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM). Meningkatnya kesadaran masyarakat Internasional mengenai isu HAM ini dalam tempo yang relatif singkat adalah suatu langkah maju dalam kehidupan bernegara secara demokratis menuju sistem kenegaraan yang menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Dengan dituangkannya nilai-nilai HAM yang terkandung di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tersebut telah membawa konsep tatanan dalam rezim-rezim baru yang terlibat dalam pembangunan institusi maupun konstruksi demokrasi berpandangan bahwa pendidikan HAM merupakan sarana penangkal yang tepat untuk mencegah kambuhnya kembali kecenderungan pelanggaran HAM. Hal ini juga telah membawa perubahan dalam konteks mekanisme sistem pemerintahan dibelahan dunia dalam membentuk masyarakat yang menaruh penghormatan terhadap nilai-nilai HAM sebagai kerangka konstitusi pada landasan yuridis yang tertinggi dalam kehidupan bernegara. Apa yang terjadi di Indonesia merupakan kasus tersendiri, dimana penyusunan muatan HAM yang lebih demokratis dalam Konstitusi Republik Indonesia mulai dilakukan dan dimuat ketika pembentukan amandemen kedua Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Penyusunan muatan HAM tersebut tidak terlepas dari situasi sosial dan politik yang ada, seiring dengan nuansa 1

Andrey Sujatmoko, Jurnal Sejarah, Teori, Prinsip dan Kontroversi Ham, 2013.

2

demokratisasi, keterbukaan, dan perlindungan HAM serta upaya mewujudkan negara yang berdasarkan hukum. Pemahaman HAM di Indonesia sebagai nilai, konsep dan norma yang hidup dan berkembang dimasyarakat sebenarnya dapat ditelusuri melalui studi terhadap sejarah perkembangan HAM, yang mulai sejak zaman pergerakan hingga kini, yaitu pada saat terjadi amandemen terhadap UUD 1945 yang kemudian membuat konstitusi tersebut secara eksplisit memuat atau mencantumkan pasalpasal yang berhubungan dengan HAM. Tiga konstitusi yang pernah berlaku sejak masa kemerdekaan sebelum diamandemen (UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950), memuat pasal-pasal tentang HAM dalam kadar dan penekanan yang berbeda, yang disusun secara kontekstual sejalan dengan suasana dan kondisi sosial-politik pada saat penyusunannya. Diawali dengan berakhirnya rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto yang begitu represif selama 32 tahun berkuasa, telah menimbulkan kesadaran akan pentingnya penghormatan HAM. Euforia atas sejumlah tuntutan agar dilakukan peradilan tehadap para pelanggar HAM masa lalu ketika itu kian merebak dan meluas, sementara pelanggaran-pelanggaran HAM terus berlangsung dalam berbagai bentuk, pola dan aktor yang berbeda.2 Sehubungan dengan itu, wacana untuk memiliki suatu peraturan perundang-undangan yang melegitimasikan penghormatan, pemajuan dan penegakan nilai-nilai HAM juga mendapat respon yang positif dari berbagai kalangan masyarakat, terutama dari keluarga korban pelanggaran HAM berat. Sebagai bentuk pelaksanaan dan penjabaran dari amandemen UUD 1945, Pemerintah dan DPR akhirnya merumuskan suatu peraturan perundang-undangan khusus dibidang HAM, antara lain yaitu: Undang-Undang No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Perppu No 1 Tahun 1999 Tentang Pengadilan HAM yang kemudian menjadi Undang-Undang No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM3. Berangkat dari terpenuhinya sistem hukum yang mengakomodir seperangkat peraturan perundang-undangan dibidang HAM tersebut (law making policy) maka terbentuk pula politik hukum pemerintah terhadap hal-hal yang berkaitan mengenai HAM, salah satunya adalah tentang Peradilan HAM. PEMBAHASAN A. Peradilan HAM di Indonesia Penegakan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) di Indonesia mencapai kemajuan ketika pada tanggal 6 November 2000 disahkannya Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan kemudian diundangkan tanggal 23 November 2000. Berdasarkan Undang-Undang No 26 Tahun 2000, Pengadilan

2 Asep Mulyana, Jurnal Perkembangan Pemikiran HAM, Koleksi Pusat Dokumentasi ELSAM, 2013. 3 Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007, hlm. 159-187.

3

HAM merupakan pengadilan khusus yang berada dibawah peradilan umum4, dan merupakan lex specialis dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).5 Pengadilan ini dikatakan khusus karena dari segi penamaan bentuk pengadilannya sudah secara spesifik menggunakan istilah Pengadilan HAM6 dan kewenangan pengadilan ini juga mengadili kejahatan-kejahatan tertentu. Undang-undang ini merupakan undang-undang yang secara tegas menyatakan sebagai undang-undang yang mendasari adanya pengadilan HAM di Indonesia yang akan berwenang untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat. Undang-undang ini juga mengatur tentang adanya pengadilan HAM ad hoc yang akan berwenang untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi dimasa lalu. Dasar hukum peradilan HAM di Indonesia, dapat dirujuk dari beberapa peraturan perundang-undangan sebagai berikut: 1. Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP 2. Undang-Undang No 14 Tahun 1970, Jo. Undang-Undang No 35 Tahun 1999, Jo UU No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman 3. Undang-Undang No 2 Tahun 1986, Jo. Undang-Undang No 8 Tahun 2004 Tentang Pengadilan Umum 4. Undang-Undang No 39 Tahun 1999 Tentang HAM 5. Undang-Undang No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM Kedudukan pengadilan HAM di Indonesia adalah sebagai pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM yang berat yang masuk dalam lingkungan Peradilan Umum (Pasal 1 Butir 3 jo. Pasal 2 Undang-Undang No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM). Sistem peradilan HAM Indonesia dapat dibagi atas dua macan, yaitu : 1. Peradilan khusus HAM, yaitu peradilan khusus HAM yang diselenggarakan dalam lingkungan pengadilan umum diadakan untuk pelanggaran HAM yang berat. Kompetensi Peradilan khusus HAM yang berada dalam lingkungan Pengadilan Umum, adalah: “Memeriksa dan memutus perakara pelanggaran HAM yang berat baik yang terjadi dalam wilayah teritorial NKRI maupun diluar wilayah dimaksud yang dilakukan oleh WNI”. 2. Peradilan Ad Hoc HAM, yaitu peradilan Ad Hoc HAM yang diselenggarakan dalam lingkungan Pengadilan Umum diadakan untuk pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum berlakunya UndangUndang No 26 Tahun 2000. Kompetensi Peradilan Ad Hoc HAM, adalah 4

Pasal 2 UU No 26 Tahun 2000. Penjelasan Umum UU No 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa Bertitik tolak dari perkembangan hukum, baik ditinjau dari kepentingan nasional maupun dari kepentingan internasional, maka untuk menyelesaikan masalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan mengembalikan keamanan dan perdamaian di Indonesia perlu dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia yang merupakan pengadilan khusus bagi pelanggaran hak asasi manusia yang berat. 5 Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007, hlm. 118-126. 6 Istilah pengadilan HAM sering dipertentangkan dengan istilah peradilan pidana karena memang pada hakekatnya kejahatan yang merupakan kewenangan pengadilan HAM juga merupakan perbuatan pidana.

4

“Memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diberlakukannya Undang-Undang No 26 Tahun 2000”.7 Kejahatan-kejahatan yang merupakan yurisdiksi pengadilan HAM adalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang keduanya merupakan pelanggaran HAM yang berat8. Penamaan Pengadilan HAM yang mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida ini dianggap tidak tepat9, karena Pelanggaran HAM yang berat dengan dua jenis kejahatan tersebut adalah kejahatan yang merupakan bagian dari hukum pidana internasional (international crimes) sehingga yang digunakan adalah seharusnya terminologi “pengadilan pidana”.10 Namun terlepas dari penamaan Pengadilan HAM yang kurang tepat tersebut, pembentuk undang-undang menyadari bahwa penanganan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida kejahatan ini adalah kejahatan luar biasa yang tidak bisa ditangani dengan sistem peradilan pidana biasa. Pengaturan yang sifatnya khusus ini didasarkan atas kerakteristik kejahatan yang sifatnya extraordinary sehingga memerlukan pengaturan dan mekanisme yang juga sifatnya khusus.11

7

Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hlm. 23. 8 Wiyono, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2006, hlm. 11. 9 Secara yuridis seharusnya pengklasifikasian kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida diintegrasikan kedalam kitab undang-undang hukum pidana melalui amandemen. Dengan memasukkan jenis kejahatan ini kedalam kitab undang-undang hukum pidana maka tidak akan melampaui asas legalitas. Sedangkan pelanggaran HAM yang dilakukan sebelum adanya amandemen tersebut seharusnya dibentuk mahkamah peradilan pidana ad hoc untuk kasus tertentu. Pandangan ini sejalan dengan pemahaman bahwa pelanggaran HAM yang berat termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida secara yuridis seharusnya

mengalami transformasi menjadi tindak pidana dan peradilan yang berwenang adalah peradilan pidana. 10 Lihat misalnya penamaan pengadilan untuk kejahatan-kejahatan paling serius dalam Statuta Roma yang menggunakan istilah pengadilan pidana international (International Criminal Court). Dalam sejarahnya, penghukuman atas pelanggaran ham yang berat telah terjadi pasca perang dunia kedua. Pengadilan Nurenberg dan Pengadilan Tokyo pada tahun 1948 menjadi awal atas proses penghukuman bagi para pelaku pelanggaran HAM yang berat. Setelah itu pada tahun 1993 digelar Pengadilan Pidana Internasional Ad hoc untuk mengadili berbagai pelanggaran serius atau pelanggaran berat yang terjadi di negara bekas Yugoslavia pada tahun 1993 dan pada tahun 1994 juga dibentuk Pengadilan Pidana Internasional ad hoc untuk mengadili kejahatan Genosida, Pelanggaran Konvensi Jenewa dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994. 11 Penjelasan Umum UU No 26 Tahun 2000 menyatakan Pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan “extra ordinary crimes” dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketenteraman, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Terhadap perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat diperlukan langkahlangkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus.

5

Istilah pengadilan HAM sering dipertentangkan dengan istilah peradilan pidana karena memang pada hakikatnya kejahatan yang merupakan kewenangan pengadilan HAM juga merupakan perbuatan pidana. Undang-Undang No 26 Tahun 2000 yang menjadi landasan berdirinya pengadilan HAM ini mengatur tentang beberapa kekhususan atau pengaturan yang berbeda dengan pengaturan dalam hukum acara pidana. Pengaturan yang berbeda atau khusus ini mulai sejak tahap penyelidikan dimana yang berwenang adalah Komnas HAM sampai pengaturan tentang majelis hakim dimana komposisinya berbeda dengan pengadilan pidana biasa. Dalam pengadilan HAM ini komposisi hakim adalah lima orang yang mewajibkan tiga orang diantaranya adalah hakim ad hoc12. Namun, meskipun terdapat kekhususan dalam penangannya, hukum acara yang digunakan, masih menggunakan hukum acara pidana terutama prosedur pembuktiannya.13 Pengadilan HAM ini juga mengatur tentang kekhususan penanganan terhadap kejahatan-kejahatan yang termasuk gross violatioan of human rights dengan menggunakan norma-norma yang ada dalam hukum internasional. Normanorma yang di adopsi itu diantaranya adalah mengenai prinsip tanggung jawab individual (Individual Criminal Responsibility) yang dielaborasi dalam ketentuan dalam Undang-Undang No 26 Tahun 2000 dalam pasal 1 ayat 4. Tanggung jawab indvidual ini ditegaskan bahwa tanggung jawab dikenakan terhadap semua orang namun tidak dapat dikenakan kepada pelaku yang berusia dibawah 18 tahun.14 Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Statuta Roma yang juga mengatur tentang tangung jawab individual dan pembatasan atas tanggung jawab atas keadaan tertentu.15 Prinsip tanggung jawab pidana secara individual ini dalam praktek pengadilan telah diakui oleh majelis hakim dalam beberapa putusannya, terutama dalam membuktikan unsur atasan (baik sipil maupun militer) yang mampu bertanggung jawab. Pengaturan yang sifatnya khusus ini didasarkan atas kerakteristik kejahatan yang sifatnya extra ordinary sehingga memerlukan pengaturan dan mekanisme yang sifatnya khusus. Harapan atas adanya pengaturan yang sifatnya khusus ini adalah dapat berjalannya proses peradilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat secara kompeten dan fair. Efek yang lebih jauh adalah putusnya rantai impunity atas pelaku pelanggaran HAM yang berat dan 12

Rozali Abdullah, Syamsir, Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan HAM di Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, 2004, hlm. 41-42. 13 Pasal 10 UU No 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa dalam hal tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana. 14 Rozali Abdullah, Syamsir, Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan HAM di Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, 2004, hlm. 46. 15 Pasal 33 Statuta Roma menyatakan bahwa suatu kejahatan dalam jurisdiksi Mahkamah telah dilakukan oleh seseorang sesuai dengan perintah suatu Pemerintah atau seorang atasan, baik militer atau sipil, tidak membebaskan tanggung jawab pidana orang tersebut kecuali kalau: a) Orang tersebut berada dalam kewajiban hukum untuk menuruti perintah dari Pemerintah atau atasan yang bersangkutan; b) Orang tersebut tidak tahu bahwa perintah itu melawan hukum; dan c) Perintah itu tidak nyata-nyata melawan hukum. Untuk keperluan pasal ini, perintah untuk melakukan genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan jelas-jelas melawan hukum.

6

bagi korban, adanya pengadilan HAM akan mengupayakan adanya keadilan bagi mereka. Undang-Undang No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM telah dijalankan dengan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor-timur. Dalam prakteknya, pengadilan HAM ad hoc ini mengalami banyak kendala terutama berkaitan dengan lemahnya atau kurang memadainya instumen hukum. Undang-Undang No 26 Tahun 2000 ternyata belum memberikan aturan yang jelas dan lengkap tentang tindak pidana yang diatur dan tidak adanya mekanisme hukum acara secara khusus. Dari kondisi ini, pemahaman atau penerapan tentang Undang-Undang No 26 Tahun 2000 lebih banyak didasarkan atas penafsiran hakim ketika melakukan pemeriksaan di pengadilan. Pengadilan Ham Ad Hoc Untuk Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diberlakukannya Undang-Undang No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM dapat diputus dan diperiksa oleh Pengadilan HAM Ad Hoc. Pemberlakuan asas retroaktif ini dimungkinkan dengan dasar Pasal 28J ayat 2 UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi: ”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Proses atau mekanisme pembentukan Pengadilan HAM Ad hoc sampai dengan saat ini, tetap menjadi sesuatu yang belum jelas. Kata ”Adhoc” (yang berasal dari Bahasa Latin) dapat diartikan ”khusus” karena mengandung arti ”formed for a particular purpose” (dibentuk untuk suatu tujuan tertentu). Istilah Adhoc (formed for a particular purpose) juga mengandung pengertian ”tidak permanen”. Artinya, keberadaan suatu badan atau lembaga ad hoc akan berakhir apabila maksud pembentukan badan itu telah selesai dilaksanakan. Dari sudut UU Pengadilan HAM, yang dimaksud Pengadilan HAM Ad hoc adalah Pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara Pelanggaran HAM yang Berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Pengadilan HAM. Pengadilan HAM Ad hoc dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR) berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden dan berada dalam lingkungan Peradilan Umum. Penjelasan Pasal 43 ayat 2 UndangUndang Pengadilan HAM menyebutkan bahwa: ”Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan pada dugaan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang ini”. Namun, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 18/PUU-V/2007 yang diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim pada

7

tanggal 20 Februari 2007 dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada tanggal 21 Februari 2007, Penjelasan Pasal 43 ayat 2 Undang-Undang Pengadilan HAM sepanjang kata ”dugaan” bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Mahkamah Konstitusi dalam putusan a quo berpendapat bahwa untuk menentukan perlu tidaknya pembentukan Pengadilan HAM ad hoc atas suatu kasus tertentu menurut locus dan tempus delicti memang memerlukan keterlibatan institusi politik yang mencerminkan respresentasi rakyat yaitu DPR. Akan tetapi, DPR dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM Ad hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang berwenang untuk itu. Oleh karena itu, DPR tidak serta merta menduga sendiri tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu dari institusi yang berwenang, dalam hal ini Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik sesuai ketentuan Undang-Undang Pengadilan HAM. Harus dipahami bahwa kata ”dugaan” dalam Penjelasan Pasal 43 ayat 2 UU Pengadilan HAM dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) sebagai akibat dapat ditafsirkannya kata ”dugaan” berbeda dengan mekanisme sebagaimana diuraikan diatas. Hukum Acara Pengadilan HAM Pelanggaran HAM yang berat adalah kejahatan yang sifatnya extraordinary crimes yang merupakan kejahatan internasional dan musuh umat manusia. Kejahahatan ini mempunyai perumusan dan sebab terjadinya yang sangat berbeda dengan kejahatan pidana biasa. Dengan perbedaan jenis kejahatan dan akibat yang ditimbulkan dari kejahatan ini tidak mungkin memperlakukan pelanggaran HAM yang berat dengan dengan upaya biasa dan memerlukan sebuah pengadilan yang sifatnya khusus dengan hukum acara yang bersifat khusus pula. Undang-Undang No 26 Tahun 2000 disamping mengatur tentang delik kejahatan yang termasuk pelanggaran HAM yang berat juga mengatur tentang kekhususan dari proses pengadilan HAM. Kekhususan mengenai proses pengadilan HAM ad hoc meliputi proses beracara yang khusus bila dikaitkan dengan proses peradilan pidana yang berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Kekhususan itu adalah berkaitan dengan kewenangan lembaga penegak hukum dalam proses pemeriksaan baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan.16 Kekhususan dalam tahapan-tahapan itu adalah berkaitan dengan sifat ad hoc dari masing-masing pihak yang melakukan pemeriksaan. Sifat adhoc menunjuk pada konteks kasus yang ditangani atau menunjuk pada jangka waktu bekerjanya. Dalam tahap penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM dapat membentuk tim penyelidik ad hoc, demikian pula dalam tahap penyidikan dan penuntutan Jaksa Agung dapat mengangkat tim ad hoc. Dalam proses pemeriksaan di pengadilan 16

Rozali Abdullah, Syamsir, Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan HAM di Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, 2004, hlm. 48.

8

sifat ad hoc dan khusus ini ditunjukkan dengan adalah hakim ad hoc yang diangkat dalam jangka waktu 5 Tahun untuk mengadili perkara pelanggaran ham yang berat. Sifat khusus lainnya adalah mengenai jangka waktu yang ditetapkan secara terbatas dalam Undang-Undang No 26 Tahun 2000 dalam setiap tahapan proses peradilan. Jangka waktu ini ditujukan untuk membuat setiap tahapan proses peradilan berjalan dengan efisien. Kekhususan lainnya adalah mengenai pengaturan khusus berkenaan dengan perlindungan saksi dan korban juga pengaturan mengenai kompensasi, restitusi dan rehablitasi yang merupakan hak korban pelanggaran ham yang berat. Penjelasan Umum Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menekankan tentang kekhususan dari pengadilan HAM. Berdasarkan pengalaman proses peradilan yang telah dilakukan oleh pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang berat Timortimur dan Tanjung Priok ternyata pengaturan mengenai hukum acara yang khusus berdasarkan ketentuan Undang-Undang No 26 Tahun 2000 maupun KUHAP tidak cukup memadai. Alasan bahwa ketentuan hukum acara yang tidak memadai ini timbul mengingat selama proses peradilan HAM yang telah dijalankan masih menghadapi berbagai macam kendala dimana dalam beberapa pengaturannya tidak dapat dijalankan dan cenderung diabaikan atau dilanggar. Disamping itu ketentuan KUHAP juga tidak mampu menjawab berbagai macam persoalan yang muncul berkenaan dengan proses acara dan pembuktian selama berlangsungnya proses pengadilan.17 Hukum acara yang digunakan dalam Pengadilan HAM adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sepanjang tidak diatur secara khusus oleh Undang-Undang No 26 Tahun 2000 (lex specialis derogat lex generalis). Adapun proses penyelesaian pelanggaran berat HAM menurut Undang-Undang No.26 Tahun 2000 adalah sebagai berikut: 1. Penyelidikan Penyelidikan dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM). Hal ini bertujuan adanya objektifitas hasil penyelidikan, apabila dilakukan oleh lembaga independen. Dalam penyelidikan, penyelidik berwenang melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran berat HAM; menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran berat HAM serta mencari keterangan dan barang bukti; memanggil pihak pengadu, korban atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya; memanggil saksi untuk dimintai kesaksiannya; meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya jika dianggap perlu; memanggil pihak terkait untuk melakukan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya; dan atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa pemeriksaan surat, penggeledahan dan 17

Mengenai Hukum Acara Pengadilan HAM secara rinci dapat dilihat di makalah, Pengadilan HAM di Indonesia, Seri Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara ke XI, Elsam, 2007.

9

penyitaan, pemeriksaan setempat, mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan. 2. Penyidikan Penyidikan pelanggaran berat HAM dilakukan oleh Jaksa Agung. Dalam pelaksanaan tugasnya Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat. Sebelum melaksanakan tugasnya, penyidik ad hoc mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing. Penyidikan diselesaikan paling lambat 90 hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. Penyidikan dapat diperpanjang 90 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai daerah hukumnya dan dapat diperpanjang lagi 60 hari. Jika dalam waktu tersebut, penyidikan tidak juga terselesaikan, maka dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung. 3. Penuntutan Penuntutan dilakukan oleh Jaksa Agung. Jaksa Agung dapat mengangkat penuntut umum ad hoc yang terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat. Syarat untuk diangkat menjadi penuntut umum sama halnya dengan syarat diangkat menjadi penyidik ad hoc. Penuntutan dilakukan paling lama 70 hari sejak tanggal hasil penyidikan diterima. 4. Pemeriksaan di Pengadilan Pemeriksaan perkara pelanggaran berat HAM dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan HAM berjumlah 5 orang, terdiri atas 2 orang hakim pada Pengadilan HAM dan 3 orang hakim ad hoc. Perkara paling lama 180 hari diperiksa dan diputus sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan HAM. Banding pada Pengadilan Tinggi dilakukan paling lama 90 hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi. Kasasi paling lama 90 hari sejak perkara dilimpahkan ke Mahkamah Agung. Contoh Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia 1. Kasus Tragedi 1965-1966 Sejumlah jenderal dibunuh dalam peristiwa 30 September 1965. Pemerintahan orde baru kemudian menuding Partai Komunis Indonesia sebagai biang keroknya. Lalu pemerintahan saat itu membubarkan organisasi tersebut, dan melakukan razia terhadap simpatisannya. Razia itu dikenal dengan operasi pembersihan PKI. Komnas HAM memperkirakan 500.000 hingga 3 juta warga tewas dibunuh saat itu. Ribuan lainnya diasingkan, dan jutaan orang lainnya harus hidup dibawah bayang-bayang ‘cap PKI’ selama bertahun-tahun. Dalam peristiwa ini, Komnas HAM balik menuding Komando Operasi Pemulihan Kemanan dan semua panglima militer daerah yang menjabat saat itu sebagai pihak yang paling bertanggung-jawab. Saat ini, kasus ini masih ditangani oleh Kejaksaan Agung. Namun penanganannya lamban. Tahun 2013 lalu, Kejaksaan mengembalikan berkas ke Komnas HAM, dengan alasan data kurang lengkap.

10

2. Kasus Penembakan Misterius (Petrus) tahun 1982-1985 Penembakan misterius atau sering disingkat Petrus alias operasi clurit adalah operasi rahasia yang digelar mantan Presiden Soeharto dengan dalih mengatasi tingkat kejahatan yang begitu tinggi. Operasi ini secara umum meliputi operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat, khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya tak jelas, tak pernah tertangkap, dan tak pernah diadili. Hasil dari operasi clurit ini, sebanyak 532 orang tewas pada tahun 1983. Dari jumlah itu, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Kemudian pada tahun 1984, tercatat 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak. Setahun kemudian, pada 1985, tercatat 74 orang tewas, 28 diantaranya tewas ditembak. 3. Tragedi Semanggi dan Kerusuhan Mei 1998 Pada 13-15 Mei 1998, terjadi kerusuhan massif yang terjadi hampir di seluruh sudut tanah air. Puncaknya di Ibu Kota Jakarta. Kerusuhan ini diawali oleh kondisi krisis finansial Asia yang makin memburuk. Serta dipicu oleh tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti yang tertembak dalam demonstrasi pada 12 Mei 1998. Dalam proses hukumnya, Kejaksaan Agung mengatakan, kasus ini bisa ditindaklanjuti jika ada rekomendasi dari DPR ke Presiden. Karena belum ada rekomendasi, maka Kejaksaan Agung mengembalikan berkas penyelidikan ke Komnas HAM. Namun belakangan, Kejaksaan Agung beralasan kasus ini tidak dapat ditindaklanjuti karena DPR sudah memutuskan, bahwa tidak ditemukan pelanggaran HAM berat. Dalih lainnya, Kejaksaan Agung menganggap kasus penembakan Trisakti sudah diputus oleh Pengadilan Militer pada 1999, sehingga tidak dapat diadili untuk kedua kalinya. 4. Kasus Terbunuhnya Aktivis HAM Munir Said Thalib Munir ditemukan meninggal di dalam pesawat jurusan JakartaAmsterdam, pada 7 September 2004 . Saat itu ia berumur 38 tahun. Munir adalah salah satu aktivis HAM paling vokal di Indonesia. Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial. Saat menjabat Dewan Kontras (Komite Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Komando Pasukan Khusus Tentara Nasional Indonesia. Setelah Soeharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota tim Mawar. Namun, hingga hari ini, kasus itu hanya mampu mengadili seorang pilot maskapai Garuda, Pollycarpus Budihari Priyanto. Polly mendapat vonis hukuman 14 tahun penjara karena terbukti berperan sebagai pelaku yang meracuni Munir dalam penerbangan menuju Amsterdam. Namun banyak pihak yang meyakini, Polly bukan otak pembunuhan. Belum juga selesai pengungkapan kasusnya, dan Polly malah dibebaskan bersyarat.

11

5. Tragedi Wamena Berdarah pada 4 April 2003

6.

7.

8.

9.

Tragedi itu terjadi pada 4 April 2003 pukul 01.00 waktu Papua. Sekelompok massa tak dikenal membobol gudang senjata Markas Kodim 1702/Wamena. Penyerangan ini menewaskankan dua anggota Kodim, yaitu Lettu TNI AD Napitupulu dan Prajurit Ruben Kana (penjaga gudang senjata). Kelompok penyerang diduga membawa lari sejumlah pucuk senjata dan amunisi. Dalam rangka pengejaran terhadap pelaku, aparat TNI-Polri diduga telah melakukan penyisiran, penangkapan, penyiksaan, perampasan secara paksa, sehingga menimbukan korban jiwa dan pengungsian penduduk secara paksa. Pada pemindahan paksa ini, tercatat 42 orang meninggal dunia karena kelaparan, serta 15 orang jadi korban perampasan. Komnas juga menemukan pemaksaan penanda tanganan surat pernyataan, serta perusakan fasilitas umum. Proses hukum atas kasus tersebut hingga saat ini buntu. Terjadi tarik ulur antar Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Sementara para tersangka terus menikmati hidupnya, mendapat kehormatan sebagai pahlawan, menerima kenaikan pangkat dan promosi jabatan tanpa tersentuh hukum. Kasus Tanjung Priok (1984) Bermula dari warga Tanjung Priok, Jakarta Utara berdemonstrasi yang rusuh antara warga dengan kepolisian dan anggota TNI yang mengakibatkan sejumlah warga tewas dan luka-luka. Peristiwa yang terjadi tanggal 12 September 1984. Sejumlah warga dan aparat militer diadili atas tuduhan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Peristiwa ini dilatar belakang pada masa Orde Baru. Peristiwa Aceh (1990) Peristiwa Aceh terjadi sejak tahun 1990 yang memakan korban baik di pihak aparat maupun penduduk sipil yang tidak berdosa. Peristiwa Aceh tersebut diduga dari unsur politik dimana terdapat pihak-pihak tertentu yang berkeinginan Aceh untuk merdeka. Pembantaian Rawagede Pembantaian Rawagede merupakan pelanggaran HAM yang terjadi penembakan dan pembunuhan penduduk kampung Rawagede (sekarang Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang, Jawa Barat) oleh tentara Belanda tanggal 9 Desember 1945 bersamaan dengan Agresi Militer Belanda I. Akibatnya puluhan warga sipil terbunuh oleh tentara Belanda yang kebanyakan dibunuh tanpa alasan yang jelas. Tanggal 14 September 2011, Pengadilan Den Haaq menyatakan pemerintah Belanda bersalah dan harus bertanggung jawab dengan membayar ganti rugi kepada para keluarga korban pembantaian Rawagede. Peristiwa 27 Juli Peristiwa yang disebabkan dari pendukung Megawati Soekarno Putri yang menyerbu dan mengambil alih kantor DPP PDI di Jakarta Pusat tanggal 27 Juli 1996. Massa mulai melempari batu dan bentkrok ditambah lagi kepolisian dan anggota TNI dan ABRI datang bersama pansernya. Kerusuhan tersebut meluas sampai ke jalan-jalan, massa mulai merusak bangunan dan rambu-rambu lalu lintas. Dikabarkan bahwa lima orang 12

meninggal dunia, terdapat puluhan orang baik sipil maupun aparat mengalami luka-luka dan beberapa ditahan. Berdasarkan KOMNAS HAM peristiwa ini terbukti pelanggaran HAM. 10. Pembantaian Santa Cruz Kasus yang masuk dalam kasus pelanggaran HAM di Indonesia, yaitu pembantaian oleh militer atau anggota TNI dengan menembak warga sipil di pemakaman Santa Cruz, Dili, di Timor-Timur tanggal 12 November 1991. Kebanyakan warga sipil sedang menghadiri pemakanan rekannya di pemakaman Santa Cruz ditembak anggota Militer Indonesia. Puluhan demonstran yang kebanyakan mahasiswa dan warga sipil mengalami luka-luka dan sampai meninggal. Peristiwa ini murni pembunuhan anggota TNI dan aksi menyatakan TImor-Timur keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan membentuk negara sendiri. 11. Kasus Abepura Kasus Abepura merupakan peristiwa pelanggaran HAM yang berat yang terjadi setelah diundangkannya Undang-undang No. 26 tahun 2000. Sedangkan perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Tim-tim pada pra dan pasca jajak pendapat 1999 merupakan peristiwa pelanggaran HAM yang berat yang diadili oleh Pengadilan HAM Ad Hoc, yang kemudian disusul oleh perkara pelanggaran HAM Tanjung Priok yang akan diperiksa dan diadili oleh Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta Pusat pada pertengahan Agustus (pertengahan Juli 2003 baru dilimpahkan ke Pengadilan HAM Ad Hoc). Peristiwa Abepura berawal pada tanggal 7 Desember 2000 dimana terjadi penyerangan yang dilakukan oleh massa yang tidak dikenal terhadap Mapolsek Abepura yang mengakibatkan satu orang polisi meninggal dunia dan 3 orang lainnya luka-luka. Setelah terjadi peristiwa penyerangan tersebut, Kapolres Jayapura AKBP Drs. Daud Sihombing dengan dibantu oleh Komandan Satuan Tugas Brimob Polda Irian Jaya Kombes Pol. Drs. Johny Wainal Usman, melakukan pengejaran dan penahanan terhadap orang-orang yang diduga sebagai pelaku penyerangan tersebut. Pengejaran tersebut dilakukan antara lain terhadap Asrama mahasiswa Ninmin, pemukiman warga Kobakma Mamberamo dan Wamena, asrama mahasiswa Yapen Waropen, kediaman masyarakat suku Lani, suku Yali, suku Anggruk dan terhadap asrama Ikatan Mahasiswa Ilaga. Dalam pengejaran dan penahanan terhadap kelompok-kelompok tersebut telah terjadi pelanggaran-pelanggaran sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 39 tahun 1999 dan undang-undang No. 26 tahun 2000 seperti penyiksaan (torture), pembunuhan kilat (summary killings), penganiayaan (persecution), perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik secara sewenang-wenang, penangkapan dan penahanan sewenangwenang (unlawful arrest and detention), pelanggaran atas hak milik, dan pengungsian secara tidak sukarela (involuntary displace persons). Latar belakang terjadinya peristiwa Abepura tersebut tidak dapat dilepaskan dari kebijakan negara terhadap Papua, dimana kebijakan negara

13

tersebut tertuang dalam Rencana Operasi Pengkondisian Wilayah dan Pengembangan Jaringan Komunikasi Dalam Menyikapi Arah Politik Irian Jaya (Papua) Untuk Merdeka dan Melepaskan Diri Dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dokumen inilah yang menjadi kerangka acuan rencana operasi menyeluruh dari pemerintah untuk menghadapi gerakan rakyat Papua yang dikategorikan sebagai gerakan separatis.

Berdirinya Pengadilan HAM ad hoc di Indonesia, misalnya untuk kasus Timor Timur, sebenarnya merupakan kesempatan yang sangat bagus bagi Indonesia dalam hal penegakan dan penghormatan akan hak asasi manusia.

14

Sebagai anggota masyarakat internasional, merupa-kan kesempatan untuk membuktikan bahwa Indonesia berkehendak (willing) dan mampu (able) menyelesaikan pelanggaran berat hak asasi manusia, khususnya yang terjadi di Timor Timur. Sayangnya proses peradilan yang ada tidak memperlihatkan kesungguhan tersebut. Banyak pihak menilai pengadilan yang dilaksanakan di Indonesia hanyalah untuk menghindari pengadilan internasional dan bertujuan melindungi pihak-pihak yang bersalah. Catatan lainnya adalah keterlambatan dari mulai hasil penyelidikan KPP-HAM sampai terbentuknya Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000, hasil KPP-HAM yang tidak dijadikan pegangan untuk menuntut oleh jaksa penuntut umum, perekrutan jaksa dan hakim yang tidak transparan dan berbagai persoalan lainnya yang mengakibatkan pengadilan yang berlangsung jauh dari harapan. Menurut hukum internasional, mekanisme nasional memang merupakan prioritas dalam menyelesaikan kasus-kasus sebagaimana diatas. Setelah ICC berdiri pun, meskipun per-manen, namun sifatnya adalah melengkapi (komplementaris) terhadap pengadilan nasional. Dengan demikian, sebenarnya mekanisme nasional yang utama, dan hal sesuai dengan teori dalam hukum internasional mengenai tanggung jawab negara. Dalam hal terdapat pelanggaran hukum internasional, maka sebelum diajukan tuntutan ke pengadilan internasional, langkah-langkah penyelesaian sengketa yang disediakan negara yang dituntut (local remedies) harus ditempuh terlebih dahulu. Untuk itu, agar mekanisme nasional menjadi efektif, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut. Pertama, pengadilan yang ada harus mencerminkan rasa keadilan dari masya-rakat. Berbagai bentuk pengadilan yang ada mempunyai tujuan untuk keadilan dan peng-hargaan atas hak korban. Pengadilan yang lahir kemudian biasanya sebagi koreksi atas pengadilan sebelumnya. Misalnya, pada IMT Nuremberg dan Tokyo. Kesan bahwa pengadilan tersebut dibentuk oleh pihak pemenang perang untuk mengadili pihak yang kalah perang sangat dirasakan. Hal ini tidak mewakili keadilan masyarakat internasional. Kedua, pengadilan yang ada harus tidak memihak. Pada pengadilan ad hoc Timor Timur sangat kuat kesan bahwa pengadilan diadakan untuk menghindari pengadilan internasional dan melindungi pihak-pihak yang memang bersalah. Ketiga, apabila perundangan nasional yang mengatur mengenai hal ini mengadopsi perjanjian internasional, maka harus dilakukan secara menyeluruh. Mungkin ada yang disesuaikan dengan sistem hukum nasional, namun tidak mengurangi esensi dari ketentuan yang telah ada. Keempat, pelanggaran berat HAM adalah extraordinary crime. Dengan demikian penegakan hukumnya akan berbeda dengan hukum pidana biasa, demikian juga hukum acaranya. Pemahaman mengenai pelanggaran berat HAM sebagai extraordinary crime, yang dengan demikian berbeda dengan hukum pidana biasa mutlak diperlukan oleh para penegak hukum. Juga berkaitan dengan kasus-kasus pelanggaran terhadap kejahatan internasional tidak bisa terlepas dari kasus serupa yang telah diadili oleh pengadilan internasional menjadi yurisprudensi bagi kasus serupa di tanah air. Kelima, kesiapan aparat penegak hukum apabila suatu saat menghadapi kasuskasus serupa. Keenam, kejahatan perang sebaiknya dimasukkan dalam kompetensi yurisdiksi pengadilan nasional, mengingat kejahatan perang merupakan salah satu kejahatan internasional yang menjadi kompetensi yurisdiksi ICC. Ketujuh, untuk

15

suatu mekanisme nasional yang efektif, yang harus mendapat perhatian adalah persoalan mengadopsi instrumen hukum internasional ke dalam hukum nasional, dengan tetap mengutamakan kedaulatan negara serta tidak melupakan ketentuan Pasal 17 Statuta Roma 1998, terutama angka 2 dan 3. B. Peradilan HAM di Dunia (Internasional) Tahun 1948 PBB mengeluarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang menjadi dasar hukum Internasional baru bagi persoalan HAM. Pengadilan pidana Internasional atau dalam bahasa Inggris disebut Internasional Criminal Court (ICC) merupakan lembaga hukum independen dan permanen yang dibentuk oleh masyarakat negara-negara Internasional untuk menjatuhkan hukuman kepada setiap bentuk kejahatan menurut hukum Internasional diantaranya genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang dan kejahatan agresi.18 International Criminal Court (ICC) adalah pengadilan pidana internasional permanen yang pertama kali dibentuk yang berwenang melakukan penyelidikan, mengadili dan menghukum setiap orang yang melakukan kejahatan internasional yang paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional. Mekanisme penyelesaian pelanggaran berat HAM ditingkat Internasional terdiri dari Mahkamah HAM yang bersifat Ad hoc dan Permanen. Mahkamah HAM internasional Ad hoc dibentuk berdasarkan suatu resolusi DK PBB atas dasar ancaman atas keamanan dan perdamaian dunia. ketidakmauan (unwillingness) dan ketidakmampuan (inability) dari negara yang diduga melakukan pelanggaran berat HAM untuk menyelesaikan masalah pelanggaran tersebut di tingkat nasional dapat mendasari dibentuknya Mahkamah Internasional Ad hoc dan diambil alihnya Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Berdasarkan Pasal 5 Statuta Roma yurisdiksi ICC mencakup empat kejahatan internasional yang paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional, yaitu: Kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi. Genosida adalah setiap perbuatan (seperti pembunuhan, pemusnahan, penyiksaan, perkosaan) yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok kebangsaan, suku, ras dan keagamaan. Kejahatan terhadap kemanusiaan meliputi tindak-tindak pidana tertentu yang dilakukan sebagai bagian dari suatu serangan yang meluas atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Tindak-tindak pidana tersebut seperti pembunuhan, pemusnahan, penyiksaan, perkosaan, perbudakan seksual, penghilangan secara paksa dan kejahatan apartheid. Kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida dapat terjadi pada saat perang maupun damai. Kejahatan perang adalah kejahatan yang terjadi ketika atau ada kaitannya dengan konflik bersenjata yang sedang berlangsung, baik yang bersifat internasional maupun non internasional, yang meliputi pelanggaran berat terhadap orang-orang atau harta benda yang dilindungi berdasarkan HHI dan pelanggaran serius terhadap hukum dan kebiasaan perang lainnya. Kejahatan ini 18

Artidjo Alkostar, Pengadilan HAM, Indonesia, dan Peradabannya, Yogyakarta, PUSHAM UII, 2004, hlm. 13.

16

dilakukan sebagai bagian dari suatu rencana atau kebijakan atau yang dilaksanakan secara besar-besaran, yang antara lain: pembunuhan sengaja, penyiksaan termasuk percobaan biologis, sengaja menimbulkan penderitaan berat atau luka serius, perusakan meluas dan perampasan harta benda secara tidak sah, pemaksaan tawanan perang dan perampasan hak-haknya, deportase tidak sah, penyanderaan, serangan sengaja terhadap penduduk sipil dan obyek-obyek yang bukan sasaran militer, penyalahgunaan obyek dan lambang yang dilindungi secara Internasional, penyerangan terhadap petugas misi kemanusiaan dan anggota pasukan perdamaian PBB.19 Berdasarkan Statuta Roma, kejahatan agresi baru akan dihadapkan di ICC apabila Negara telah menyetujui defenisi, kondisi-kondisi dan unsur-unsur dari agresi itu sendiri pada suatu Review Conference. Di samping itu, berdasarkan piagam PBB, Dewan Keamanan mempunyai kewenangan eksklusif untuk menyatakan bahwa suatu tindakan agresi telah terjadi. Sebagai salah satu acuan, berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB No 3314 tahun 1974, tindakantindakan yang termasuk ke dalam tindakan agresi adalah serangan bersenjata, pemboman, blokade, pendudukan wilayah, mengijinkan Negara lain untuk menggunakan wilayah negaranya untuk melakukan tindakan agresi dan mengerahkan tentara non regular dan tentara bayaran untuk terlibat dalam agresi. Tindakan agresi merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan terencana dan berkelanjutan. Dalam hal penerapan yurisdiksi ICC pada suatu Negara, terdapat prinsip yang paling fundamental, yakni ICC harus merupakan komplementer (pelengkap) dari yurisdiksi pidana nasional suatu negara (complementarity principle). Fungsi ICC bukanlah untuk menggantikan fungsi sistem hukum nasional suatu negara, namun ICC merupakan mekanisme pelengkap bagi Negara ketika negara menunjukkan ketidakmauan (unwillingness) atau ketidakmampuan (inability) untuk menghukum pelaku kejahatan yang merupakan yurisdiksi ICC. Selanjutnya Statuta Roma menegaskan bahwa pengadilan nasional yang merupakan kedaulatan suatu negara tidak dapat dikontrol oleh ICC. Prinsip komplementer berlaku juga terhadap negara yang bukan merupakan negara pihak akan tetapi memberikan pernyataan pengakuannya atas yurisdiksi ICC. Dengan demikian, ICC merupakan the last resort dan hal ini merupakan jaminan bahwa ICC bertujuan untuk mengefektifkan sistem pengadilan pidana nasional suatu negara. Adapun Yurisdiksi ICC terbagi ke dalam empat jenis, sebagai berikut: 1. Territorial Jurisdiction; bahwa yurisdiksi ICC hanya berlaku dalam wilayah negara pihak; yurisdiksi juga diperluas bagi kapal atau pesawat terbang yang terdaftar dinegara pihak dan dalam wilayah bukan negara pihak yang mengakui yurisdiksi ICC berdasarkan deklarasi Ad hoc; 2. Material Jurisdiction; bahwa kejahatan yang menjadi yurisdiksi ICC terdiri dari kejahatan tehadap kemanusian, kejahatan perang, kejahatan agresi dan genosida;

19

Gultom, Erikson Hasiholan, Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dan Peradilan Kejahatan terhadap Kemanusiaan di Timor Timur, Jakarta, PT. Tatanusa, 2006, hlm. 43.

17

3. Temporal Jurisdiction (rationae temporis); bahwa ICC baru memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang diatur dalam Statuta setelah Statuta Roma berlaku/ diratifikasi; 4. Personal Jurisdiction (rationae personae); bahwa ICC memiliki yurisdiksi atas orang (natural person), dimana pelaku kejahatan dalam yurisdiksi ICC harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara individu (individual criminal responsibility), termasuk pejabat pemerintahan, komandan militer maupun atasan sipil. Pelanggaran dan kejahatan HAM dapat diajukan ke pengadilan Internasional jika terjadi act on commission (tindakan kekerasan) yang dapat dilakukan oleh negara/ institusi/ organisasi/ perkumpulan kelompok (nonstate actor) dan act of omission (tindakan pembiaran) yang dilakukan oleh negara. Dengan demikian, pelanggaran HAM bukan sekedar melanggar hukum nasional suatu negara, melainkan merupakan pelangaran hukum HAM internasional. Hukum HAM individu atau kelompok yang dilindungi secara internasional dari pelanggaran terutama yang dilakukan oleh pemerintah atau aparatya, termasuk di dalamnya upaya penegakan hak-hak tersebut.20 Dalam perserikatan bangsa-bangsa (PBB) terdapat lembaga-lembaga yang bertugas mengadili dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hukum-hukum internasional, persengketaan antar negara, yang kemudian melimpahkannya untuk mengadili tindakan kejahatan dimaksud kepada lembaga-lembaga yang berwenang. Lembaga-lembaga tersebut antara lain sebagai berikut: 1. Makhamah Internasional Mahkamah Internasional (internasional Court of Justice) lembaga pengadilan internasional yang terbatas hanya untuk negara PBB yang bersengketa. Pelaku pelanggaran atau sengketa selain negara anggota PBB berada diluar wewenang Mahkamah Internasional. Mahkamah internasional dibentuk pada tahun 1920 dengan nama Mahkamah Tetap Internasional yang berkedudukan di Den Haag Belanda. Mahkamah tersebut, antara lain: a. Memiliki tugas memeriksa perselisihan di antara negara-negara anggota PBB yang diserahkan kepadanya; b. Memberikan pendapat kepada mejelis umum PBB tentang penyelesaian sengketa di antara negara-negara anggota PBB; c. Mendesak Dewan Keamanan PBB untuk bertindak terhadap salah satu pihak yang berselisih jika negara tersebut tidak menghiraukan keputusan-keputusan Mahkamah Internasional; d. Memberikan nasehat tentang persoalan hukum kepada Majelis Umum dan Dewan Keamanan. 2. Mahkamah Militer Internasional Mahkamah militer internasional (International Military Tribunal), dibentuk di London pada tanggal 8 Agustus 1945 untuk menuntut, 20

Jurnal Eko Riyadi, Evolusi Pemikiran Dan Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia,

2008.

18

mengadili, dan menghukum penjahat perang utama dari poros Eropa dalam kasus kejahatan Perang Dunia II. Lingkup yuridiski Mahkamah Internasional, antara lain menetapkan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan terhadap manusia, dan kejahatan perang. 3. Mahkamah Pidana Internasional Mahkamah pidana internasional (Internasional Criminal Court/ CC) dibentuk berdasarkan Statuta Roma 17 Juli 1998 (Status Pengadilan Kriminal Internasional (Statute of the International Criminal Court) mulai berlaku bulan Juli 2002 yang menetapkan bahwa yurisdiksi ICC hanya terbatas pada kejahatan paling serius yang menjadi kepentingan komunitas internasional secara keseluruhan (the most serious crimes of concern to the internasional community as a whole) yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan, agresi, perang, dan genosida. Dengan meretifikasi Statute Roma 1998 tersebut membawa dampak hukum yang luas, artinya jika pemerintah Indonesia tidak mampu melindungi dan menegakkan HAM maka konsekuensinya dunia internasional dapat memberikan tekanan politik untuk membawa kasus pelanggaran HAM di Indonesia ke pengadilan HAM Internasional. Dalam proses pengadilan Pidana Internasional, tidak berlaku surut (asas retroaktif). Sebaliknya bagi suatu negara tersebut tidak dapat dibawa ke pengadilan pidana Internasional. Internasional tribunal dibentuk untuk kategori pelanggaran HAM berat berskala Internasional yang berlaku disuatu wilayah. Dewan Keamanan PBB mempunyai kewenangan membentuk pengadilan internasional disuatu negara dengan syarat kausu tersebut berlangsung dalam suatu konflik yang berlarut-larut, mengancam perdamaian internasional maupun regional, pemerintah negara yang bersangkutan tidak berdaya dan tidak sanggup menciptakan pengadilan yang objektif. Sanksi Internasional atas pelanggaran HAM yaitu diberlakukannya travel warning terhadap warga negaranya, pengalihan investasi atau penanaman modal asing, pemutusan hubungan diplomatic, pengurangan bantuan ekonomi, pengurangan tingkat kerjasama, pemboikotan produk eksport, dan embargo Ekonomi. Proses penanganan dan peradilan terhadap pelaku kejahatan HAM Internasional secara umum sama dengan penanganan dan peradilan terhadap pelaku kejahatan yang lain, sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia. Secara garis besar, apabila terjadi pelanggaran HAM yang berat dan berskala Internasional, proses peradilannya sebagai berikut: 1. Jika suatu negara sedang melakukan penyelidikan, penyidikan atau penuntutan atas kejahatan yang terjadi, maka pengadilan pidana internasional berada dalam posisi inadmissible (ditolak) untuk menangani perkara kejahatan tersebut. Akan tetapi, posisi inadmissible dapat berubah menjadi admissible (diterima untuk menangani perkaran pelanggaran HAM), apabila negara yang bersangkutan enggan (unwillingness) atau tidak mampu (unable) untuk melaksanakan tugas investigasi dan penuntutan;

19

2. Perkara yang telah diinvestigasi oleh suatu negara, kemudian negara yang bersangkutan telah memutuskan untuk tidak melakukan penuntutan lebih lanjut terhadap pelaku kejahatan tersebut, maka pengadilan pidana internasional berada dalam posisi inadmissible. Namun, dalam hal ini, posisi inadmissible dapat berubah menjadi admissible bila putusan yang berdasarkan keengganan (unwillingness) dan ketidakmampuan (unability) dari negara untuk melakukan penuntutan; 3. Jika pelaku kejahatan telah diadili dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap, maka terhadap pelaku kejahatan tersebut sudah melekat asas nebus in idem. Artinya, seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama setelah terlebih dahulu diputuskan perkaranya oleh putusan pengadilan peradilan yang berkekuatan tetap. Contoh Kasus Pelanggaran HAM Internasional 1. Konflik Israel dengan Palestina Kasus sengketa antara Israel dengan Palestina merupakan salah satu sengketa global yang tidak ada habisnya. Dulunya, Israel hanya sebuah wilayah yang terbentuk dari perkumpulan orang-orang Yahudi yang mengungsi ke wilayah Palestina. Orang-orang Yahudi itu diterima baik oleh bangsa Palestina, namun kenyataannya Israel mulai sedikit demi sedikit memperluas wilayahnya dengan menguasai sebagian besar wilayah Palestina, dan pada akhirnya Israel memiliki wilayah yang lebih luas dibandingkan dengan Palestina, padahal dulunya wilayah Israel lebih kecil dibanding Palestina. Salah satu cara Israel dalam memperluas wilayahnya yaitu dengan cara berperang. Dengan bantuan dari Amerika Serikat, beberapa kali Israel melancarkan serangan ke Palestina hingga akhirnya mengakibatkan banyaknya korban jiwa yang berjatuhan di Palestina. Bahkan sudah ada ribuan warga Palestina yang menjadi korban, termasuk anak-anak, wanita dan sampai relawan yang membantu juga ikut menjadi korban. Palestina sampai saat ini masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan dari PBB sebagai suatu negara, namun setelah diakuinya Palestina tidak menghentikan peperangan antara Israel dengan Palestina. Akibat tindakan dari Israel dan akhirnya masyarakat dunia mengecam tindakan kejahatan kemanusiaan tersebut. 2. Bentrok Oposisi dan Pemerintah Mesir Bentrok antara oposisi dan pemerintah Mesir selama 4 dekade banyak dikecam oleh masyarakat di dunia. Baru beberapa minggu, sudah ratusan ribu masyarakat Mesir turun ke jalan untuk menyerukan pencopotan Hosni Mubbarak dari jabatannya sebagai presiden Mesir. Penyebabnya adalah karena adanya krisis ekonomi dan politik yang sudah dialami Mesir. Sebagian warga Mesir menganggap presiden Hosni Mubbarak sebagai presiden yang baik karena selalu memperhatikan rakyat kecil, namun berbeda halnya dengan sebagian warganya menganggap presiden Hosni Mubbarak bersifat glamor dan otoriter. Bentrok pun terjadi dan tidak dapat dihindarkan lagi, Selama berminggu-minggu ratusan warga menjadi korbannya, banyak yang akhirnya sampai meninggal dunia.

20

Konflik antara oposisi dan pemerintah Mesir semakin meluas. Setelah presiden Mesir tersebut terkepung oleh rakyatnya dan bersembunyi di dalam selokan kemudian ditemukan oleh rakyat Mesir dan akhirnya meninggal di tangan rakyat yang pernah ia pimpin. 3. Rezim Adolf Hitler di Jerman Pasukan Nazi pimpinan Adolf Hitler dikenal sebagai pembantai kaum Yahudi. Lalu apa alasan Nazi pimpinan Adolf Hitler sangat membenci Yahudi? Sejarah menyebutkan jika indikasi kebencian Hitler kepada Yahudi disebabkan oleh kematian yang janggal sang ibu di tangan dokter Yahudi. Seorang sejarawan Jerman bernama Ralf-George Reuth berargumen, kebencian Hitler karena ada pengaruh Revolusi Rusia dan keterpurukan ekonomi Jerman akibat kaum Yahudi. Yang membuat Nazi sangat membenci Yahudi karena mereka meyakini bangsa Yahudi secara biologis dan rasial berbeda dengan ras Jerman. 4. Rezim Benito Mussolini di Italia Benito Mussolini adalah nama dari pemimpin Italia semasa Perang Dunia II bersama dengan pemimpin Jerman Adolf Hitler. Benito Mussolini memimpin Italia mengguncang daratan Eropa & Afrika lewat perang paling dahsyat dan juga merupakan perang paling berdarah dalam sejarah umat manusia. Mussolini lahir di Predappio, ayahnya adalah seorang pandai besi dan ibunya adalah seorang guru sekolah. Tanggal 22 Mei 1939, Mussolini dan Adolf Hitler menandatangani “Pakta Baja”, sebuah kesepakatan resmi mengenai persekutuan antara Jerman dan Italia. Pada September 1939 Jerman menginvasi Polandia sekaligus mengawali pecahnya Perang Dunia II. Italia tidak langsung melibatkan diri dalam PD II tersebut, namun setelah melihat rentetan kemenangan Jerman, Mussolini kemudian memerintahkan pasukannya untuk menyerbu Perancis Selatan pada tahun 1940. Di tahun yang sama Italia juga menginvasi Yunani. Bukan hanya di Eropa saja, pasukan Italia juga terlibat konflik dengan pasukan Inggris di Afrika Timur dan Utara. Tahun 1943 merupakan titik balik PD II. Pasukan Jerman yang awalnya yang sangat perkasa mulai kepayahan, sementara di wilayah Italia juga mulai luluh lantak akibat serangan dari pihak lawan. Popularitas Mussolini lama-kelamaan mulai tergerus. Mussolini ditembak mati pada tanggal 28 April 1945. 5. Perang Sipil di Bosnia Perang Bosnia dan Herzegovina adalah sebuah konflik bersenjata internasional yang terjadi pada bulan Maret 1992 dan November 1995. Perang ini melibatkan antara Bosnia dan Republik Federal Yugoslavia (berganti nama menjadi Serbia dan Montenegro begitupula Kroasia. Perang antara etnis Serbia dan etnis Kroasia terjadi pada awal tahun 1992 disebabkan tidak menentunya wilayah Bosnia Herzegovina. Pecahnya konflik diakibatkan serangan pihak Kroat Bosnia, di bawah pimpinan dari golongan ekstrem kanan Kroasia terhadap penduduk Serbia Bosnia di desa Sijekovac yang menewaskan 29 orang penduduk sipil, 7 orang diperkosa dan 3 diantaranya dibunuh. Peristiwa tersebut dilakukan oleh 35 orang

21

kelompok bersenjata Garda Kroasia/pasukan Kroasia pimpinan Dobrosav Paraga. 6. Kasus Ras di Afrika Selatan Tahun 1990, Afrika Selatan adalah negara hitam-putih. Sejak pencabutan sistem Aparheid tahun 1994, hak rakyat berlaku untuk semua ras. Sejak Partai Nasional de Boer 1948, setelah perang dunia II memenangkan pemilihan umum dan membentuk pemerintahan minoritas kulit putih, sistem Apartheid ditetapkan di undang-undang. Pada tahun 1950, pendaftaran populasi Afrika Selatan dibagi menjadi 3 ras yaitu, Bantu (Afrika kulit hitam), kulit putih, dan kulit berwarna lainnya. Kemudian ada kategori baru yaitu Asia yang sebagian besar berasal dari warga etnis India dan Pakistan. 80 persen wilayah Afrika Selatan dimiliki oleh warga kulit putih. Sedangkan warga kulit hitam ditempatkan di wilayah termiskin yang disebut sebagai homelands. Pemisahan antara kulit putih dan hitam juga diberlakukan di fasilitas umum. Kongres Nasional Afrika (ANC), membentuk sayap bersenjata, yaitu Umkhonto we Sizwe (MK) yang berarti "Tombak Bangsa". Dalam waktu 1,5 tahun, MK melancarkan sekitar 200 sabotase, pendirinya adalah Nelson Mandela yang berjuang demi kesetaraan ras. Tahun 1964 pimpinan oposisi seperti Nelson Mandela dan Walter Sisulu divonis hukuman penjara seumur hidup. Tekanan politis baik di Afrika Selatan maupun dunia internasional semakin besar. Dan pada tahun 1990, Presiden Afrika Selatan Frederick Willem de Klerk, membebaskan Nelson Mandela dan beberapa tahanan politis yang lain. Pada tahun 1994 Nelson Mandela terpilih sebagai Presiden Afrika Selatan pertama versi baru. 7. Etnis Rohingya Myanmar Rohingya adalah sebuah kelompok etnis Indo-Arya dari Rakhine di Burma. Kasus pelanggaran ham yang dialami oleh etnis Rohingya di Myanmar di mana telah terjadi pembantaian terhadap muslim Rohingya, dalam peristiwa tersebut banyak dari etnis Rohingya yang tewas. Hal itu pun banyak dikecam oleh dunia internasional. Pembantaian yang terjadi dikarenakan perbedaan agama. 8. Pelanggaran HAM Uni Soviet terhadap Afghanistan Pasukan Soviet pertama kali sampai di Afghanistan pada tanggal 25 Desember 1979, 85.000 tentara Uni Soviet mengadakan invasi ke Kabul, Afghanistan yang mendukung pemerintahan Babrak Karmal melalui kudeta sehingga menimbulkan korban perang berkepanjangan hingga tahun 1990-an. PENUTUP Sejak tahun 2000, dengan diundangkannya Undang-Undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Indonesia mempunyai mekanisme untuk melakukan penuntutan data kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida. Hadirnya mekanisme ini membuka peluang dihadapkannya pelaku pelanggaran HAM berat yang sebelumnya menikmati impunitas ke depan pengadilan. Pengadilan ini juga memberikan mekanisme untuk pemenuhan hak-

22

hak korban yakni pengaturan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Namun, Putusan-putusan pengadilan HAM sampai saat ini secara umum belum memberikan hasil sebagaimana harapan banyak pihak sebagaimana saat awal pengadilan ini diupayakan.21 Berbagai faktor memang mempengaruhi perjalanan pengadilan HAM di Indonesia, selain regulasi juga faktor-faktor lainnya, oleh karenanya untuk perkembangan kedepan penting untuk melakukan perbaikan dalam tataran regulasi sebagai landangan pengadilan HAM yang kuat. Setelah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Peradilan internasional baru akan digunakan jika penyelesaian melalui peradilan nasional tidak berjalan dengan baik, sehingga pelaku dapat lolos dari tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) lolos dari hukuman, karena tidak efektifnya peradilan nasional. Pada prinsipnya peradilan internasional merupakan pelengkap (complementary) dan hanya dibentuk jika mekanisme penegakan melalui hukum nasional tidak dapat berjalan secara efektif. Untuk kasus kejahatan terhadap kemanusiaan yang telah terjadi di Timor-Timur seperti pembunuhan, penyiksaan, intimidasi, perkosaan, penculikan, deportasi paksa, dan perbuatan-perbuatan lainnya di masa sekitar referendum 1999, tidak menutup kemungkinan bagi mahkamah pidana internasional untuk melaksanakan kompetensi dan yurisdiksinya tersebut kasus ini, karena faktanya telah terpenuhi persyaratan materiil yang ditetapkan oleh Statute Roma. Dalam kasus Timor-Timur, pengadilan HAM ad Hoc secara obyektif dinilai telah gagal melaksanakan kewajibannya mengadili individu-individu yang bertanggung jawab atas terjadinya rangkaian kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor-Timur. Berbagai hasil temuan dan analisa komprehensif telah membuktikan dan menyimpulkan bahwa terdapat kelemahan-kelemahan yang fundamental dalam proses hukum untuk kasus tersebut. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain : tidak ada komitmen HAM pemerintah, regulasi dari perspektif HAM sanga tidak memadai dan membelenggu, sumber daya Hakimhakim dan Jaksa-jaksa sangat tidak memenuhi kualifikasi untuk mengadili dan menuntut kasus-kasus pelanggaran HAM, dan kelemahan-kelemahan yang mendasar berkaitan dengan saksi. Kelemahan-kelemahan tersebut tidak boleh dan tidak mungkin untuk ditolerir apalagi dibiarkan. Oleh karena itu, berdasarkan hukum internasional kasus tersebut memenuhi persyaratan-persyaratan untuk diproses kembali. Pengambilalihan atau intervensi Mahkamah Pidana internasional untuk mengadili kembali individu-individu yang telah melakukan kejahatan kemanusiaan di Timor-Timur merupakan salah satu alternative atau langkah yang baik, karena secara normative internasional, pengulangan kembali proses pengadilan terhadap kasus Timor-Timur tidak melanggar prinsip-prinsip fundamental hukum internasional. Pengulangan kembali proses pengadilan atas kasus tersebut merupakan kewajiban yang bersifat erga omnes bagi setiap atau seluruh komunitas dunia dan harus direalisasikan. Sedangkan komisi kebenaran

21

Lihat Laporan Pemantauan, Pengadilan Yang Melupakan Korban, Kelompok Kerja Pengadilan HAM, ELSAM-KONTRAS, PBHI, 2006.

23

dan rekonsiliasi atau komite kebenaran dan persahabatan bukan lagi merupakan satu solusi yang tepat untuk konteks pengadilan kasus Timor-Timur. SARAN Pada saat ini setiap Negara dituntut untuk dapat menyelenggarakan peradilan HAM secara efektif. Demikian pula pembentukan pengadilan HAM di Indonesia diharapkan dapat efektif dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Dengan demikian penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia, khususnya kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Timor-Timur yang pelakunya adalah warga Negara Indonesia cukup diselesaikan melalui peradilan nasional Indonesia. Mengingat peradilan internasional PBB dibentuk melalui resolusiresolusi Dewan Keamanan PBB, maka hubungan timbale balik dengan Negara-negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB juga akan mempengaruhi perlu tidaknya dibentuk peradilan internasional bagi pelanggaran HAM di Timor-Timur. Oleh karena itu Indonesia perlu meningkatkan hubungan baik dengan anggota-anggota tetap guna menghindari dikeluarkannya resolusi tentang pembentukan peradilan internasional bagi penyelesaian kasus pelanggaran HAM Timor-Timur tersebut.

24

DAFTAR PUSTAKA BUKU Alkostar, Artidjo. 2004. Pengadilan HAM, Indonesia, dan Peradabannya. Yogyakarta: PUSHAM UII. Gultom, Erikson Hasiholan. 2006. Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dan Peradilan Kejahatan terhadap Kemanusiaan di Timor Timur. Jakarta: PT. Tatanusa. Majda El-Muhtaj. 2007. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Qamar, Nurul. 2016. Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi. Jakarta: Sinar Grafika. Rozali Abdullah, Syamsir. 2004. Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan HAM di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia. Wiyono. 2006. Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. JURNAL Laporan Pemantauan. 2006. Pengadilan Yang Melupakan Korban. Kelompok Kerja. Mengenai Hukum Acara Pengadilan HAM secara rinci dapat dilihat di makalah. 2007. Pengadilan HAM di Indonesia. Seri Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara ke XI. Elsam. Mulyana, Asep. 2013. Perkembangan Pemikiran HAM. Koleksi Pusat Dokumentasi ELSAM. Riyadi, Eko. 2008. Evolusi Pemikiran Dan Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia. Sujatmoko, Andrey. 2013. Pengadilan HAM: Sejarah, Teori, Prinsip dan Kontroversi Ham. ELSAM-KONTRAS, PBHI.

25

Related Documents


More Documents from "Agus Pakpahan"

Snuping Spyware
December 2019 79
Ngantuk Ngedite.docx
April 2020 15
Field Bus Guide
June 2020 17
10.pdf
December 2019 27