Journal Reading
Difficult Airway Management during Anesthesia: A Review of the Incidence and Solutions
Pembimbing : dr. Navy G.H.M Lolong W, SpAn KIC
Disusun Oleh : Bella Cindy Delila 1710221013
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ANESTESI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PERSAHABATAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ‘VETERAN’ JAKARTA PERIODE 26 DESEMBER 2018 – 26 JANUARI 2019
LEMBAR PENGESAHAN
Journal Reading Difficult Airway Management during Anesthesia: A Review of the Incidence and Solutions
Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Departemen Anestesi RSUP Persahabatan
Disusun Oleh : Bella Cindy Delila
1710221013
Pembimbing :
dr. Navy G.H.M Lolong W, SpAn KIC
Difficult Airway Management during Anesthesia: A Review of the Incidence and Solutions PENANGANAN JALAN NAFAS YANG SULIT SELAMA ANESTESI : KAJIAN MENGENAI INSIDENSI SERTA SOLUSINYA Abstrak Tujuan : kami menentukan insidensi serta faktor prediktif dari masalah jalan nafas yang sulit, dan alat yang digunakan untuk menyelesaikan masalah ini pada pasien yang menjalani anestesi secara umum. Metode : kami mengkaji laporan kasus sulit jalan nafas pada 37805 pasien yang menjalani anestesi umum dari bulan Mei 2011 hingga oktober 2013. Data diambil dari sistem audit prosedural yang diterapkan pada institusi kami. Hasil dan Kesimpulan : terdapat 885 (2,3%) pasien dengan masalah sulit jalan nafas. Insidensi sulit jalan nafas saat tindakan intubasi trakea, penggunaan masker ventilasi dan jalan nafas supraglotis masing masing sebesar 4.7%, 0.4%, dan 1%. Dari 805 pasien dengan sulit intubasi trakea, yang alami kegagalan intubasi trakea sebanyak 11 (0.1%) pasien dan 3 dari pasien ini membutuhkan trakeostomi. Faktor resiko utama dari sulit jalan nafas adalah jarak tiromental yang pendek (odd rasio 11.3 (9.6-13.4)) dan perluasan leher yang terbatas (OR 7.0 (5.5-8.8)). Pasien yang mana penatalaksanaan diperkirakan akan alami kesulitan memiliki resiko 4 kali lipat lebih tinggi untuk alami kesulitan jalan nafas yang sebenarnya dibandingkan pasien yang kesulitannya tidak diantisipasi. Nilai prediktif negatif dari evaluasi preoperatif sederhana adalah 98.7%. alat yang paling sering digunakan ketika menemukan sulit intubasi trakea adalah bougie dan videolaringoskope, khususnya pada kesulitan yang tidak diantisipasi. Jalan nafas supraglotik membuat memungkinkannya pemberian oksigenasi dan ventilasi ketika ditemukan sulit intubasi, namun terdapat 0.4% insidensi untuk sulit menempatkan supraglotic airway. Kajian kami ini mendukung untuk dilakukannya evaluasi jalan nafas sederhana dahulu sebelum operasi, mencegah percobaan berulang dari intubasi trakea maupun insersi jalan nafas supraglotik ketika ditemukan adanya kesulitan dan menggunakan metode seminimal dan sedini mungkin sebagai alternatifnya. Kata kunci : Difficult airway; Airway obstruction; Airway management; Difficult intubation; Intratracheal; Laryngeal masks; Laryngoscopes
PENDAHULUAN Prediksi dari tatalaksana jalan nafas sulit dan persiapan alat yang canggih serta kemampuan menggunakan alat tersebut dapat mencegah outcome buruk ketika menemukan kesulitan dalam menatalaksana jalan nafas paien. Oleh karena itu, kami menggunakan penilaian jalan nafas preoperatif standar untuk semua pasien, terdiri dari penilaian mallampati, pergerakan leher, jarak thyromental, pembukaan mulut serta adanya gigi yang tanggal atau jarak antar gigi, untuk persiapan operasi yang adekuat. Gagal intubasi dari trakea bukan semata mata mengancam jiwa, namun bila dilakukan pengulangan terus menerus dapat melukai jalan nafas dan membuat penyelamatan jalan nafas semakin sulit, sehingga sebabkan gagal oksigenasi dan mortalitas. Kami menekankan oksigenasi, mencegah percobaan alat berulang, dan merubah tatalaksana ke metode jalan nafas lebih dini. Disaat rasio tersedianya alat sangatlah luas, kami mengidentifikasi pada institusi kami terdapat empat alat utama untuk melatih para staff kami, dalam rangka penatalaksanaan jalan nafas sulit, antara lain : -
Bougie
-
Supraglotic airway
-
Videolaringoskopi
-
Bronkoskopi fleksibel
Berbagai alat ini memudahkan staff kami untuk mampu mengatasi keadaan terberat termasuk kasus “tidak bisa ventrilasi-tidak bisa intubasi”, yang terjadi pada sekitar 0.01-0.05%. keempat alat ini dicantumkan pada sebagian besar pedoman untuk penatalaksanaan jalan nafas sulit. Kriokotomi ada didalam pedoman, namun beberapa hanya sedikit ahli anestesi yang pernah menggunakan alat tersebut untuk krikotomi darurat serta disini kami konteksnya meneliti cedera iatrogenik karena metode ini. Pada kajian ini, kami meneliti insidensi keadaan sulit jalan nafas selama anestesi umum, prediksi dari adanya kesulitan dan metode dimana penatalaksanaan jalan nafas dapat aman dan berhasil.
MATERIAL DAN METODE Pada tahun 2011, kami menerapkan 100% sistem audit prosedural dari semua pekerja anestesi di institusi kami. Hal ini adalah mandat dari pihak rumah sakit serta kemeterian kesehatan sebagai bagian dari perbaikan kualitas secara berkelanjutan dan patient safety untuk semua prosedural dan spesialisasi bedah. Badan peninjauan khusus (The Domain Specific Review
Board) diberitahu tentang pekerjaan audit kami dan menyarankan agar persetujuan dari pasien (inform consent) tidak diperlukan untuk pekerjaan audit tersebut. Sistem audit mencatat karakteristik pasien, teknik anestesi, masalah dan kesulitan yang dihadapi dan insiden kritis yang merugikan. Pada kajian ini, kami meneliti semua laporan kasus mengenai penatalaksanaan jalan nafas sulit dari 37805 kasus anestesi umum yang diambil mulai dari bulan mei 2011 hingga oktober 2013. Imformasi tambahan diambil dari catatan kasus, dan bila kurang, dilakukan wawancara dengan ahli anestesi yang terlibat dalam kasus tersebut. Kami menemukan adanya kasus sulit ventilasi SGA, gagal insersi SGA, dan kasus gagal intubasi trakea. -
Sulit masker
ventilasi (difficult mask
ventilation) didefinisikan sebagai
ketidakmampuan menjaga masker ventilasi secara adekuat atau masker ventilasi yang membutuhkan dua ahli anestesi. -
Sulit ventilasi SGA didefinisikan sebagai ketidak mampuan untuk melaksanakan ventilasi yang adekuat karena satu atau lebih masalah berikut : misalnya tidak adekuatnya perekatan SGA, terlalu banyaknya resistensi terhadap jalan masuk dan keluar gas. Pada institusi kami, SGA yang paling sering digunakan adalah LMA proseal, LMA supreme dan I-gel.
-
Sulit intubasi trakea didefinisikan sebagai adanya grading cormack dan lehane derajat III atau IV menggunakan laringoskopi konvensional dan atau kebutuhan akan alat tambahan untuk bisa melakukan intubasi trakea.
Kami mencatat metode yang digunakan untuk menyelesaikan masalah sulit jalan nafas, keberhasilan penatalaksanaan jalan nafas, serta setiap komplikasi yang terjadi selama penatalaksanaan jalan nafas. Evaluasi standar pre anestesi termasuk evaluasi mallampati, pergerakan leher, jarak thyromental, pembukaan mulut dan adanya gigi tanggal maupun jarak antar gigi. Jarak thyromental dianggap abnormal jika kurang dari tiga jari pasien. Kami menganggap mallampati kelas I, II, dan III sebagai faktor prediktif resiko rendah untuk alami sulit jalan nafas, dan adanya mallampati kelas IV sebagai faktor resiko tinggi. Adanya kondisi seperti diabetes, obesitas (BMI>27.5 kg/m2), obstruktif sleep apnea, dan apakah pasien beresiko untuk alami aspirasi juga turut dicatat. Ringkasan evaluasi dibuat sebagai berikut : jalan nafas sulit “antisipasi” atau “tidak diantisipasi”. Apakah jalan nafas sulit dapat diantisipasi diperiksa ulang saat “time out” pre induksi, selama dimana identitas pasien, riwayat alergi, monitor fungsi, serta mengantisipasi kehilangan darah yang juga turut diperiksa.
Persiapan lebih lanjut dari bougie, videolaringoskop atau alat lain untuk jalan nafas sulit, atau tidak adanya persiapan alat lain, kesemuanya didasarkan pada berbagai evaluasi ini. Pada institusi kami, semua induksi anestesi melibatkan ahli anestesi dengan pengalaman minimal 3 tahun, yang dibantu oleh perawat anestesi (penata). Dengan lebih dari satu residen anestesi junior yang turut terlibat dalam induksi anestesi, dan lebih banyak ahli anestesi senior yang juga terlibat di ruang operasi untuk memandu pada residen junior tersebut. ANALISIS STATISTIK Kami memperkiraan odd ratio dengan interval kepercayaan sebesar 95% untuk faktor resiko jalan nafas sulit, termasuk keterbatasan perluasan leher, jarak thyromental yang pendek, keterbatasan pembukaan mulut, susunan gigi yang buruk, serta orofaringeal malampati grade IV. Kami memperhitungkan sensitifitas serta spesifitas dari berbagai faktor ini dalam memprediksi kesulitan dan juga nilai prediktif positif maupun negatif dari adanya berbagai faktor ini. HASIL Selama periode penelitian, terdapat 37805 pasien yang menjalani anestesi umum dan intervensi jalan nafas. Kami mencatat sejumlah kasus tatalaksana jalan nafas sulit pada tabel 1. Jalan nafas supraglotik(supraglotic airways) adalah teknik yang paling sering digunakan. Tatalaksana Jumlah jalan nafas
Intubasi
Kesulitan yang ditemui
Kegagalan
Jumlah
%
Jumlah
%
17292
805
4.7
11
0.1
18805
63
0.4
34
0.2
1708
17
1
0
0
37805
885
2.3
-
-
kasus
trakea Supraglotic airway yang digunakan Masker ventilasi Total
Sebanyak 885 pasien alami situasi sulit jalan nafas, dan insidensinya sebesar 2.3%. tidak ada mortalitas atau kerusakan otak hipoksik dari semua pasien ini. Hipoksia sesaat (transient
hypoxia) dengan oksigenasi <80% terjadi pada 22 pasien, dan secara cepat dikoreksi dengan masker ventilasi pada percobaan/upaya pemberian jalan nafas. Kami mencatat insidensi outcome yang buruk pada pasien dengan jalan nafas sulit seperti pada tabel 2. Tabel 2. Outcome yang buruk pada pasien dengan jalan nafas sulit Outcome yang buruk
Jumlah
%
Transient hipoksia
22
2.5
Bronkospasme
15
1.7
Laringospasme
10
1.1
Trauma gigi
6
0.7
Aspirasi paru
5
0.6
Hiperkapnia
5
0.6
Trauma jalan nafas
4
0.5
INTUBASI TRAKEA SULIT Terdapat 805 pasien dengan intubasi trakea sulit, pasien pasien ini memiliki grading laringoskop yang buruk atau tidak dapat diintubasi dengan alat intubasi yang pertama. Pada 704 dari semua pasien ini, laringoskop macintosh awalnya digunakan untuk managemen jalan nafas namun gagal mengintubasi trakea. Alat tambahan pun dibutuhkan, dan angka kesuksesan dari alat tambahan ini ditunjukkan pada tabel 3. Bougie dan videolaringoskop adalah alat yang paling sering digunakan. Alat
Jumlah %
Sukses
Gagal
Angka kesuksesan %
600
5
99.2
Videolaringoskop 52 (7.4)
40
12
76.9
33 (4.7)
16
17
48.5
8 (1.1)
6
2
75
2 (0.3)
1
1
50
2 (0.3)
2
0
100
Bougie
Mccoy
605 (85.9%)
laringoskop Supraglotic airway (interim) Bronkoskopi fiberoptik LMA Fastrach
1 (0.1)
1
0
100
wajah 1 (0.1)
1
0
100
Trakeostomi Masker (face mask)
pada 605 pasien ketika percobaan pertama menggunakan laringoskopinya langsung gagal, bougie adalah alat bantuan pertama yang digunakan. Dari semua pasien ini, beberapa bagian dari lubang masuk laringeal dapat terlihat dan intubasi pun berhasil pada 600 kasus (99.2%). Bougie digunakan dengan laringoskop lain, dan secara keseluruhan, memungkinkan berhasilnya intubasi pada 686 (85.2%) kasus ketika menggunakan laringoskop machintosh, laringoskopMcCoy atau videolaringoskop. Videolaringkoskop adalah teknik tersering yang digunakan setelah didapatkan kesulitan saat memakai laringoskop machintose dan intubasi pun berhasil pada 76.9% pasien. Videolaringoskop digunakan sebagai alat pertama, dibandingkan dengan laringoskop machintosh, untuk intubasi trakea pada 37 paien dan berhasil pada 29 pasien (78.4%). LMA fastrach digunakan untuk intubasi trakea pada 7 pasien, dan semuanya berhasil. Bronkoskopi fleksibel digunakan pada 6 pasien sesuai prosedur saat pasien masih sadar seperti yang direncanakan, sebelum induksi anestesi. Pada dua pasien, bronkoskopi fleksibel digunakan setelah gagal mencoba laringoskop langsung dan videolaringoskopi. Pada 11 pasien (0.06%), gagal intubasi didiagnosis setelah percobaan menggunakan alat tambahan gagal, dan percobaan selanjutnya saat intubasi trakea dihentikan. Tiga dari 11 pasien membutuhkan trakeotomi segera, sambil tetap mempertahankan masker ventilasi. Pada delapan pasien, SGA sukses digunakan untuk mempertahankan oksigenasi. Pada satu dari ke sebelas pasien ini, jalan nafas dikontrol dengan masker ventilasi melalui anestesi, setelah percobaan intubasi gagal. pada dua pasien, keputusan dibuat untuk memberhentikan tindakan anestesi lebih lanjut, membangunkan pasien, dan menunda operasi. Transient hipoksia terjadi setelah gagal intubasi pada 4 pasien, namun tidak ada pasien dengan hipoksia berat terjadi akibat cedera neurologi.
PENEMPATAN JALAN NAFAS SUPRAGLOTIK YANG SULIT Dari semua pasien yang direncakan untuk menjalani SGA dalam penatalaksanaan jalan nafas, terdapat kesulitan untuk menempatkan SGA pada 63 (0.4%) pasien. Gagal menempatkan SGA pada 34 (02%) pasien, kemudian percobaan pun dihentikan, dan jalan nafas pasien
ditatalaksana menggunakan masker ventilasi atau intubasi trakea. Terdapat percobaan intubasi trakea berulang pada 9 dari semua pasien ini. Ketika menghadapi penempatan SGA yang sulit, berbagai tipe SGA dicobakan pada 21 pasien dari semua pasien dan hanya 11 pasien saja (52.4%) yang berhasil.
MASKER VENTILASI YANG SULIT Dari semua pasien yang menggunakan masker ventilasi sebagai metode yang direncakan untuk penatalaksanaan jalan nafas, terdapat kesulitan masker ventilasi pada 17 (1%) dari semua pasien ini, membutuhkan pertolongan dan penggunaan alat bantu tambahan. Sementara tidak mungkin ada pasien yang tak menggunakan masker ventilasi, ahli anestesi pun tidak serta merta melanjutkan tindakan masker ventilasi bila ditemukan kesulitan saat penerapannya. SGA kemudian dilakukan untuk mengatasi kesulitan pada 9 pasien ini, intubasi trakea pada 6 pasien dan intubasi bronkoskopi fleksibel pada 2 pasien. Dari 885 pasien, tatalaksana sulit jalan nafas diantisipasi pada 524 pasien (59,2%) setelah evaluasi pre anestesi. Ke 524 pasien ini sebesar 5.1% dari 9684 pasien yang kesulitannya bisa diatasi. Insidensi nya empat kali lipat lebih tinggi pada paisen yang kesulitannya tidak bisa diantisipasi. Nilai prediktif, sensitifitas dan spesifitas dari indikator digunakan pada evaluasi pre anestesi seperti yang tampak pada tabel 4. Nilai prediktif positifnya rendah, sedangkan nilai prediktif negatifnya tinggi. Dari semua indikator : -
tingginya stadium malampati,
-
jarak thyromental yang pendek,
-
keterbatasan gerak leher,
-
terbatasnya pembukaan mulut,
-
susunan gigi yang buruk,
-
BMI yang besar
kesemuanya meningkatkan resiko sulit dalam penalaksanaan jalan nafas. Resiko ini semakin ditingkatkan lagi bila jarak tiromental nya pendek dan ada keterbatasan gerak leher.
TABEL 4. Prediktor pada sulit jalan nafas
DISKUSI Kajian kami menemukan bahwa insidensi sulit jalan nafas adalah sebesar 2.3% dari seluruh pasien yang di anestesi umum dimana hampir semuanya terlibat sulit intubasi. 4.7% proporsi pasien sulit intubasi membutuhkan intubasi trakea, dimana data ini dapat dibandingkan dengan 5.8% hasil penelitian meta analisis sebelumnya, dan insidensi sebesar 0.06% dari gagal intubasi juga dapat dibandingkan dengan data terbaru pada 0.05% populasi non obstetri yang diteliti. Kebanyakan keadaan sulit intubasi termasuk aman dan mudah ditatalaksana menggunakan sejumlah kecil perangkat saja. Ketika beberapa bagian dari jalan masuk laring sudah terlihat, bougie lah yang paling sering digunakan pertama kali dengan angka kesuksesan tindakan yang paling tinggi. Namun ketika lubang masuk laringeal tidak tampak sama sekali,
videolaringoskop bisa dipakai. Kajian kami mengisyaratkan bahwa ketersediaan dan pengalaman dengan videolaringoskop ternyata dapat menurunkan angka kejadian gagal intubasi. Bronkoskopi fleksibel dan LMA fastrach digunakan hanya pada sebagian kecil kasus saja. Kesulitan diminimalisir atau dicegah pada beberapa pasien dengan penggunaan cepat dari alat bougie dan videolaringoskop saat awal, atau menggunakan SGA dari pada intubasi trakea. Disamping tidak memerlukan persiapan alat yang banyak, kami menyatakan bahwa alat ini lebih baik bila digunakan dengan persiapan, untuk menurunkan angka kejadian dari kesulitan yang tidak diprediksi sebelumnya. Videolaringoskop memiliki beberapa keuntungan dari pada laringoskop langsung konvensional. Khususnya, penggunaanya membutuhkan ekstensi dan fleksi kepala dan leher yang tidak terlalu banyak, tekanan pada leher dan distorsi pada jalan nafas bagian atas. videolaringoskop memungkinkan operator dan asisten untuk secara simultan melacak jalan nafas. Pembukaan mulut yang adekuat masih dibutuhkan untuk penggunaan videolaringoskop dan terdapat kesulitan memasukkan trakea tube meskipun gambaran laring sudah sangat jelas, dan hal ini juga dapat sebabkan trauma jalan nafas. Pada beberapa pasien, bougie digunakan untuk memandu trakea tube selama videolaringoskopy. Kami mengisyaratkan bahwa ketika laringoskopi konvensional ternyata gagal, videolaringoskop harus giunakan lebih awal dan bougie digunakan secara bersamaan dengan videolaringoskop pada kasus “can see cannot intubate”. Berdasarkan audit kami, tidak ada trauma jalan nafas yang disebabkan videolaringoskope, namun kami juga harus mencegah percobaan berulang menggunakan videolaringoskop untuk menvegah bengkak dan berdarahnya jalan nafas. Pada pasien kami, angka kesulitan untuk memasukkan SGA ternyata lebih rendah dibandingkan intubasi trakea yang sulit. Tampak memungkinkan bila keadaan sulit intubasi yang dicegah saat ini kebanyakan menggunakan alat SGA. SGA sekarang ini adalah bagian dari semua algoritma sulit jalan nafas, untuk memudahkan pemberian oksigenasi dan ventilasi. Disaat SGA mungkin tidak menawarkan perlindungan terhadap isi lambung yang regurgitasi, SGA seperti LMA proseal dan Igel memiliki jalan untuk memasukkan gastric tube sehingga membuat drainase cairan lambung menjadi mudah dan menurunkan jumlah /volume cairan lambung. Meskipun begitu, kami juga memperingatkan untuk tidak terlalu tergantung pada SGA, karena sulitnya memasukkan SGA juga dapat terjadi pada pasien yang alami sulit intubasi. Kajian literatur terbaru menemukan bahwa angka sulit ventilasi dengan SGA sebesar 0.5%. kasus kegagalan memasukkan SGA pada kajian kami sebagian besar melibatkan tidak adekuatnya ventilasi akibat adanya kebocoran gas. Insersi
SGA diabaikan dan kemudian digunakanlah intubasi trakea, tetapi sebagian besar dari ini juga memiliki intubasi trakea yang sulit yang membutuhkan penggunaan bougies dan videolaryngoscopes. Kami menyarankan bahwa penting juga untuk menghindari beberapa upaya untuk memasukkan SGA, karena upaya ini dapat membuat trauma pada jalan napas, membuat ventilasi masker selanjutnya, intubasi trakea atau bronkoskopi yang fleksibel menjadi sulit atau tidak mungkin. Pada penelitian kami, tidak ada pasien yang alami gagal dalam menjalani masker ventilasi maupun kegagalan penempatan SGA dan gagal intubasi trakea yang tidak diantisipasi. Hanya sejumlah kecil pasien saja yang membutuhkan operasi subglotik untuk jalan nafas. Dari ketiga pasien, kesulitan dapat diantisipasi dan tim operasi ada untuk melakukan trakeotomi darurat. Tidak ada dari pasien ini yang alami kriotirotomi oleh dokter ahli anestesi, mengisyratkan bahwa sangat sedikit sekali ahli anestesi yang memiliki pengalaman yang cukup mengenai pemasangan krikotirotomi. Latihan pada model simulator atau binatang percobaan adalah metode yang memungkinkan untuk meningkatkan skill pada ahli anestesi ini. Tidak ada kasus cedera hipoksia yang ditemukan. Departemen kami telah menekankan bahwa oksigenasi lebih diutamakan daripada intubasi, dan menekankan menghentikan beberapa upaya intubasi dan mengubah metode alternatif lebih awal. Hal ini untuk mencegah jalan nafas yang tadinya sulit menjadi jalan nafas yang tidak mungkin lagi ditatalaksana dengan alat apapun. Gagal intubasi tidak serta merta mengancam jiwa, namun berkaitan dengan komplikasi serius, seperti pengulangan tindakan yang dapat merusak jalan nafas atas dan membuat masker ventilasi menjadi semakin sulit. Pada tahun 2011, Proyek Audit Nasional ke-4 dari Royal College of Anesthetists di Inggris memperkirakan insiden satu komplikasi jalan nafas serius per 22000 kasus, dan ini bisa setinggi satu dari 5000 kasus. Populasi penelitian pusat tunggal kami dari 3.780 pasien mungkin terlalu kecil untuk memberikan tingkat komplikasi tersebut. Pada institusi kami, semua pasien menjalani evaluasi terstandar mengenai jalan nafas sebagai bagian dari evaluasi pre operatif, dan hal ini kemudian dikonfirmasi lagi saat “time out” sebelum induksi anestesi dilaksanakan. Fokus kami adalah menurunkan insidensi jalan nafas sulit yang tidak dapat diantisipasi, untuk kemudian dapat dipersiapkan sebelumnya. terdapat nilai yang rendah pada sensitifitas serta spesifitas, dan nilai prediktif positif yang lebih rendah lag dari evaluasi jalan nafas serta faktor resiko individu pada pasien-pasien kami. Hasil ini Ini mirip dengan sistem evaluasi jalan napas lain yang lebih luas dan rumit, yang semuanya juga memiliki sensitivitas dan spesifisitas terbatas. Banyak pasien dengan kesulitan yang diantisipasi pada akhirnya memiliki manajemen jalan napas yang mudah, dengan hanya 5,1%
yang memiliki saluran udara yang sulit. Sebaliknya, pada pasien yang dievaluasi tidak memiliki jalan napas yang sulit, nilai prediksi negatifnya sangat tinggi dan 98,7% tidak memiliki masalah. Sisanya 1,3% memiliki kesulitan yang tidak terduga. Kami mengisyaratkan bahwa pemeriksaan tidak hanya diarahkan pada sulit laringoskop dan intubasi, tapi juga sulit masker ventilasi, sulit SGA, dan sulit pembedahan jalan nafas. Pada pasien kami, jarak thyromental yang pendek adalah faktor prediktor terkuat dari sulit jalan nafas. Jarak thyromental dianggap sebagai indikator dari ruang mandibula dan mencerminkan apakah penempatan lidah menggunakan blade laringoskop akan sulit atau gampang. Kami juga memeriksa pergerakan leher yang terbatas, pembukaan mulut terbatas, dan pertumbuhan gigi yang buruk untuk mencegah kesulitan yang tidak terduga karena faktorfaktor ini. Secara khusus, pembukaan mulut yang sangat terbatas akan membutuhkan metode alternatif seperti intubasi hidung bronkoskopi atau saluran udara bedah subglotis. Terlepas dari keterbatasan evaluasi sederhana ini, hasil kami menunjukkan bahwa hal itu mencegah kesulitan yang tidak terduga dengan pemasangan laringoskop atau SGA. Para pasien yang memiliki saluran udara sulit yang tidak diantisipasi memiliki variasi anatomi yang dapat dikelola dengan bougies dan videolaryngoscopes. Terdapat beberapa keterbatasan pada penelitian kami, seperti yang diajarkan di rumah sakit, kami menemukan luasnya rasio pengalaman dokter dan komeptensinya dan mungkin beberapa saluran udara yang didiagnosis sebagai sulit oleh ahli anestesi junior mungkin tidak sulit di tangan yang lebih berpengalaman. Kedua, meskipun kesulitan diantisipasi pada banyak pasien, hanya sebagian kecil yang akhirnya dilaporkan sulit, karena SGA digunakan sebagai gantinya. Ketiga, penggunaan SGA secara luas akan menghasilkan tingkat intubasi sulit yang lebih rendah, tetapi hal ini mencerminkan praktiknya yang masih kontemporer. KESIMPULAN Kesimpulannya, kebanyakan insidensi jalan nafas sulit ditatalaksana menggunakan metode dengan rasio yang kecil, serta mencegah percobaan berulang dari trakea tube atau insersi SGA. Bougie dan videolaringoskop mampu membantu suksesnya intubasi dengan propors yang besar pada pasien yang mengalami sulit intubasi. Evaluasi jalan nafas yang mudah dan terstandarisasi, membantu mencegah jalan nafas yang tidak dapat diantisipasi sebelumnya. disaat SGA dapat digunakan untuk membantu menyelamatkan oksigenasi selama sulit intubasi, kami tetap memberikan peringatan bahwa terdapat resiko untuk terjadinya sulit SGA dan sulit intubasi yang dapat terjadi bersamaan pada beberapa pasien.