Jpsejarah&umumdd130058.pdf

  • Uploaded by: nazara
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Jpsejarah&umumdd130058.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 4,596
  • Pages: 10
PERKEMBANGAN AGAMA KRISTEN DI TAPANULI UTARA (1861-1890) Oleh: Apriana Luna Boru Damanuik

PENDAHULUAN Indonesia mendapatkan banyak pengaruh dari luar, terutama setelah masa kerajaankerajaan. Salah satu pengaruh yang masih tetap ada hingga saat ini adalah dalam hal kepercayaan. Awalnya masyarakat Indonesia menganut percaya pada benda-benda yang memiliki kekuatan dan kepada roh nenek moyang, kemudian kepercayaan tersebut terganti dengan kepercayaan lainnya seperti Hindu, Budha, Islam, Katolik, dan Kristen Protestan. Kepercayaan baru tersebut masuk ke Indonesia bersamaan dengan datangnya para pedagang dan penjajah. Misalnya saja agama Kristen yang dibawa masuk ke Indonesia oleh penjajah. Agama Kristen pertama kali diperkenalkan oleh Belanda pada abad ke-16 M. Pekabar-pekabar Injil mulai berdatangan dari beberapa negara seperti Inggris, Belanda, dan Jerman untuk memberitakan Injil. Pekabar Injil tersebut datang ke Indonesia dengan satu tujuan yaitu Amanat Agung1. Lembaga pekabar Injil (zending) menempatkan zendeling2 ke daerah-daerah yang sama sekali belum pernah mendengar tentang Injil. Indonesia merupakan tempat yang sesuai dengan hal ini karena sebagian besar masyarakat Indonesia belum mengetahui tentang agama Kristen. Salah satu daerah di Indonesia yang masih memegang teguh kepercayaan dari nenek moyangnya adalah daerah pedalaman Sumatera. Daerah ini didiami oleh suku yang keras kepala dan menutup diri dari dunia luar. Suku tersebut adalah suku Batak, arti kata Batak Menurut J. Warneckialah “penunggang kuda yang lincah”, sedangkan menurut H. N. Van der Tuuk Batak berarti “kafir”, pendapat lain mengartikan batak sebagai “budak-budak yang bercap atau ditandai”.3 Zending yang berperan utama dalam sejarah agama Kristen di Tapanuli Utara adalah Rheinische Missions Gesellschaft (RMG). Zending ini berasal dari Barmen, Jerman yang didirikan pada tahun 1828.4 Awalnya, zending ini telah mengirimkan zendeling ke Kalimantan Selatan, namun karena terjadi revolusi Pangeran Hidayat di Kalimantan Selatan maka pihak Belanda melarang zendeling untuk terus menginjili. Akhirnya zendeling tersebut dipindahkan ke Sumatera yang saat itu masih dalam keadaan aman dan memang sedang membutuhkan penginjilan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah kritis. Menurut Kuntowijoyo, penelitian sejarah mempunyai lima tahap, yaitu: (1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber, (3) verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber), (4) interpretasi (analisis dan sintesis), dan (5) penulisan (historiografi).5 Keadaan Sosial Budaya Tapanuli Utara Tapanuli Utara merupakan salah satu daerah yang terdapat di Sumatera Utara dengan Tarutung sebagai ibu kotanya. Daerah ini berbatasan dengan Kabupaten Simalungun di sebelah Utara, Kabupaten Asahan di sebelah Timur, Kabupaten Tapanuli Tengah di sebelah Selatan, dan

1

Amanat Agung merupakan hal utama bagi umat Kristen, intinya adalah mengenai pemberitaan Injil hingga ke ujung dunia. Lihat Matius 28: 18-20. 2 Zending adalah pekabaran Injil, usaha-usaha menyebarkan agama Kristen. Badan-badan penyelenggara (misi) penyebaran agama Kristen. Lihat tulisan Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 1570. 3 Andar M. Lumbantobing, “Das Amt In Der Batak-Kirche” terj. K. M. Lumbantobing, dkk., Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), hlm. 1. 4 F. D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), hlm. 231. 5 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang, 1995), hlm. 90. 1

Kabupaten Dairi di sebelah Barat.6 Daerah Tapanuli Utara sering disebut dengan Tanah Batak, hal ini dikarenakan masyarakat di daerah tersebut mayoritasnya ialah oleh suku Batak. Tanah Batak terletak di 1,20 – 3,50 LU, kira-kira 10 – 20 di sebelah barat Padang atau 970 40’ – 1000 11’ Bujur Timur.7 Suku Batak yang mendominasi di Tapanuli Utara adalah suku Batak Toba. Makanan pokok masyarakat Tapanuli Utara adalah nasi dan ubi jalar. Mereka juga memakan daging pada saat tertentu. Jika orang Batak menyembelih hewan, darah hewan tersebut akan ditampung dan disimpan kemudian dijadikan saus yang disiram di atas daging siap makan. Sebelum dimasak, daging hewan tersebut dipotong kecil dengan masing-masing berat satu ons.8 Ada juga makanan yang biasanya dibawa ke tempat keluarga sebagai syarat dalam sistem adat, yaitu kue pohul pohul dan dolung dolung. Masyarakat Batak juga menjunjung tinggi tradisi dan pengetahuan tentang silsilah keluarganya. Silsilah tersebut dapat diketahui dari marga yang ikut dipakai sebagai nama seseorang. Penentuan marga didasarkan pada garis keturunan dari bapak (patrilineal). Semua anak laki-laki maupun perempuan memiliki marga yang sama dengan bapaknya. Hubungan kekeluargaan dalam suku Batak diungkapkan dengan kata Dalihan Na Tolu artinya Tiga Tungku. Dikatakan demikian karena hubungan kekeluargaan suku Batak sama dengan bentuk tugku sederhana yang terdiri dari tiga batu. Dalihan Na Tolu terdiri dari tiga hal yaitu dongan sabutuha (teman satu marga), hula-hula (keluarga dari pihak istri), dan boru (keluarga dari pihak menantu laki-laki).9 Suku Batak memegang teguh kepercayaan tersebut, bahkan upacara adat dianggap sebagai upacara keagamaan karena adat suku Batak memiliki hubungan yang erat dengan kepercayaan. Masyarakat Tapanuli Utara memiliki kepercayaan terhadap dewa-dewa dan roh nenek moyang, kepercayaan dalam suku Batak ini disebut agama Parmalim. Agama Parmalim muncul untuk menghadapi krisis kebudayaan suku Batak pada saat masuknya agama Islam, Kristen, dan kolonialisme. Agama Parmalim mulai muncul pada akhir tahun 1870, pendirinya adalah Guru Somaliang. Menurut Guru Somaliang, agama Parmalim merupakan kelanjutan dari tradisi keagamaan lama suku Batak.10 Pengikut agama Parmalim berdoa kepada roh-roh leluhur atau penghuni keramat. Terkadang, nama Sisingamangaraja dipanggil saat mereka berdoa, tetapi kedudukannya tidak sebagai Raja Dewa. Sisingamangaraja dianggap sebagai utusan bagi Bangsa Batak. Guru Somaliang beranggapan bahwa Sisingamangaraja adalah nabi orang Batak Toba.11 Nama Parmalim diambil dari kata malim (bahasa Batak) yang artinya menjadi merdeka. Masuknya Agama Kristen serta Perkembangannya Kentalnya kepercayaan tersebut membuat suku Batak sulit untuk diubah kepercayaannya, selain itu mereka juga memiliki sifat yang keras dan tertutup dari dunia luar. Pada awal masuknya agama Kristen ke Tapanuli Utara, daerah ini masih daerah merdeka karena belum dijajah oleh 6

S. P. Napitupulu, dkk., Arsitektur Tradisional Daerah Sumatera Utara, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1997), hlm. 11. 7 Elisa Sutan Harahap, Perihal Bangsa Batak, (Djakarta: Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan Dep. P. P. Dan K., 1960), hlm. 9. 8 Anthony Reid, “Witnesses to Sumatra. A Travellers’ Anthology”, terj. Tim Komunitas Bambu, Sumatera Tempo Doeloe: dari Marco Polo sampai Tan Malaka, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), hlm. 220. 9 T. M. Sihombing, Filsafat Batak: Tentang Kebiasaan-Kebiasaan Adat Istiadat, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hlm. 71. 10 Paul Bodholdt Pedersen, “Batak Blood and Protestant Soul”, terj. Maria Th. Sidjabat & W. B. Sidjabat, Darah Batak dan Jiwa Protestan: Perkembangan Gereja-Gereja Batak di Sumatera Utara, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975), hlm. 41. 11 Sitor Situmorang, Toba Na Sae, Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2004), hlm. 435. 2

Belanda. Zending yang pertama mengirimkan zendeling ke Tapanuli Utara ialah zending dari London, Baptist Missionary Society (BMS). Zendeling yang dikirim ialah Richard Burton dan Nathaniel Ward. Tujuan awal Burton dan Ward memang bukan Tapanuli Utara karena sebelum tiba di Tapanuli Utara, mereka telah ditempatkan di Sibolga dan Bengkulen. Burton dan Ward tiba di pedalaman Tapanuli Utara karena mereka melakukan perjalanan ke Danau Toba. Perjalanan tersebut dimulai pada tanggal 30 April 1824, kemudian pada tanggal 4 Mei 1824, mereka tiba di Silindung.12 Burton dan Ward menetap beberapa saat di Tapanuli Utara dan memberitakan Injil, berkhotbah untuk masyarakat di sana. Saat Burton berkhotbah, seorang Raja Huta berdiri dan mengatakan bahwa mereka tidak akan meninggalkan adat-istiadat nenek moyang mereka, tetapi jika kedatangan Burton dan Ward untuk menjadikan mereka kaya dan mulia, maka mereka akan menerima kedatangan Burton dan Ward dengan senang hati.13 Mendengar pernyataan tersebut, maka rombongan Burton dan Ward memutuskan untuk pergi dari Silindung dan kembali ke Sibolga. Setelah Burton dan Ward, pada tahun 1834 dikirim lagi zendeling dari Amerika dibawah naungan American Board of Commissioners for Foreign Missions (ABCFM). Zendeling tersebut ialah Samuel Munson dan Henry Lyman. Mereka tiba di Sibolga pada tanggal 17 Juni 1834 dan memulai perjalanan ke Silindung pada tanggal 23 Juni 1834. Saat mereka tiba di pinggir daerah Silindung, Raja Panggalamei beserta beberapa pengikutnya menghadang, menangkap, dan kemudian membunuh Munson dan Lyman. Mereka dibunuh pada tanggal 28 Juni 1834 di daerah Lobu Pining, pinggir daerah Silindung.14 Penyebab terjadinya pembunuhan kepada dua orang zendeling tersebut sebenarnya masih belum bisa dipastikan karena muncul berbagai pendapat yang saling bertentangan mengenai peristiwa tersebut. Menurut Dr. James Gould, ada beberapa keterangan mengenai pembunuhan Munson dan Lyman yakni sebagai berikut.15 1. Masyarakat Batak mengira Munson dan Lyman adalah orang Belanda. Munson dan Lyman dicurigai sebagai mata-mata atau musuh yang mencoba menghancurkan Tanah Batak. Hal ini bisa saja terjadi karena pada saat itu masyarakat Batak memiliki hubungan yang tidak baik dengan Belanda (Belanda berusaha memperluas daerahnya ke pedalaman daerah Batak). 2. Munson dan Lyman dibunuh oleh pembantunya sendiri yang saat itu ikut serta dalam perjalanan. Namun, hal ini masih diragukan karena pencurian barang-barang yang tidak berharga kurang bisa dijadikan alasan.16 3. Munson dan Lyman dibunuh oleh orang Belanda bukan orang Batak. Tuan F. Bonnet (Wakil Belanda di Sibolga) berulang kali menyatakan bahwa ia telah memperingatkan Munson dan Lyman agar tidak pergi ke pedalaman Tapanuli karena saat itu kekuasaan Belanda belum sampai ke sana, namun dua orang zendeling tersebut tetap berangkat ke pedalaman Tapanuli. Bonnet juga mengancam akan menghukum setiap orang yang menyebarkan berita mengenai dibunuhnya para zendeling. Selain pernyataan di atas yang disampaikan oleh Dr. James Gould, ada pula pendapat yang menyampaikan bahwa pembunuhan tersebut merupakan dampak dari Perang Padri (1830) yang belum lama terjadi sebelum Munson dan Lyman tiba di pinggir Lembah Silindung. Suku Batak yang baru saja mengalami perang dan masih dalam keadaan kacau menjadi sangat berhati-hati dengan masuknya bangsa asing ke wilayah mereka. Saat itu, daerah Lobu Pining dijadikan pos keamanan 12

Anthony Reid, op.cit., hlm. 212. O. L. Napitupulu, Perang Batak Perang Sisingamangaraja, (Djakarta: Jajasan Pahlawan Nasional Sisingamangaraja, 1972), hlm. 305. 14 Bungaran Antonius Simanjuntak, Konsepku Membangun Bangso Batak: Manusia, Agama, dan Budaya, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012), hlm. 187-188. 15 Paul Bodholdt Pedersen, op. cit., hlm. 49. 16 Selama belajar di RMG, zendeling diajarkan agar bisa hidup dalam kesederhanaan. Pernyataan tersebut setidaknya dapat menjadi alasan mengapa pernyataan ini kurang bisa diterima. Tidak menutup kemungkinan dalam penelitian selanjutnya akan muncul fakta baru mengenai pernyataan ini. 3 13

untuk melindungi Silindung. Pembunuhan yang terjadi atas Munson dan Lyman menjadi salah satu alasan mengapa daerah pedalaman Tapanuli Utara tetap merdeka hingga tahun 1876.17 Pekabaran Injil di Tanah Batak kemudian dilanjutkan oleh zending Jerman. Pada tahun 1840, Rheinische Missions Gesellschaft (RMG) mempekerjakan Franz Wilhelm Junghuhn untuk meneliti kebudayaan dan kepercayaan suku Batak. Franz Wilhelm Junghuhn adalah seorang ahli bangsabangsa (Ethnologist). Pada tahun 1847, ia berhasil menulis buku yang berjudul Beschreibung der Battalander. Buku tersebut merupakan buku pertama yang mengkaji tentang kebudayaan dan kepercayaan suku Batak secara khusus.18 Karya-karya Franz Wilhelm Junghuhn selama berada di Tanah Batak di baca oleh Herman Neubronner van der Tuuk dan ia menjadi tertarik untuk menginjili suku Batak. Pada tahun 1849, van der Tuuk akhirnya ditugaskan oleh Nederlandse Bijbelgenootschap (NBG) yaitu Lembaga Alkitab di Belanda untuk menginjili dan mempelajari bahasa Batak.19 Saat tiba di Tanah Batak, van der Tuuk bisa diterima dengan baik oleh masyarakat setempat karena ia bisa menggunakan bahasa Batak dan sudah mengetahui kebudayaan suku Batak sehingga dapat membangun hubungan baik dengan suku Batak. Pada tahun 1856, van der Tuuk berhasil menulis tata bahasa Batak, kamus bahasa Batak, dan menerjemahkan beberapa bagian Perjanjian Lama dalam Alkitab ke bahasa Batak Toba.20 Setelah Herman Neubronner van der Tuuk, ada juga beberapa orang zendeling yang diberangkatkan dari Ermelo (kota kecil di Belanda) ke daerah Tapanuli bagian Selatan.21 Mereka adalah Gerrit Van Asselt, Dammeboer, dan Betz. Zendeling Belanda ini mulai melakukan pekabaran Injil ke daerah Tapanuli bagian Utara pada tahun 1861. Pada tahun yang sama, dua lembaga yaitu NBG dan RMG menjadi satu untuk mulai melakukan pekabaran Injil di Tapanuli Utara. Gerrit Van Asselt, Dammerboer, dan Betz yang awalnya berada di bawah bimbingan zending Belanda, bergabung dengan Carl Wilhelm Heine dan Karl Klammer yang berada di bawah bimbingan RMG.22 Empat orang zendeling ini bersatu dalam bimbingan RMG. Pada tanggal 7 Oktober 1861, mereka mengadakan pertemuan di rumah Bondanalotot Nasution yang terletak di daerah Prausorat, Sipirok. Pertemuan tersebut dimaksudkan untuk membicarakan pembagian daerah kerja dan perencanaan pelaksanaan kerja selama mereka berada di Tapanuli.23 Pada tahun 1861, zending RMG mengirimkan zendelingnya ke Sumatra yaitu Ludwig Ingwer Nommensen. Nommensen tiba di Tanah Batak pada tanggal 23 Juni 1862. Pemerintah Belanda hanya memperbolehkan Nommensen menetap di daerah yang telah mereka kuasai. Nommensen pun

17

Muller Kruger, Sedjarah Geredja di Indonesia, (Djakarta: BPK, 1966), hlm. 212-213. Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang; Berdasarkan Laporan L. I. Nommensen dan Penginjil RMG Lain, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), hlm. 23. 19 Paul Bodholdt Pedersen, op. cit., hlm. 51. 20 Walter Lempp, Benih yang Tumbuh XII; Suatu Survey Mengenai: Gereja-Gereja di Sumatra Utara (Laporan Regional Sumatra Utara), (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi Dewan GerejaGereja di Indonesia, 1976), hlm. 110. 21 Tapanuli Selatan merupakan batu loncatan bagi zendeling yang akan menginjili di Tapanuli Utara. Pada saat itu pemerintah Belanda melarang dengan keras jika ada zendeling yang ingin pergi ke Tapanuli Utara karena daerah tersebut merupakan daerah yang masih merdeka (belum pernah dijajah). Jadi, sebelum zendeling berhasil masuk ke Tapanuli Utara (kecuali Barus, karena daerah ini telah menjadi tempat perdagangan), mereka terlebih dahulu dipekerjakan di Tapanuli Selatan. Lihat tulisan Muller Kruger, Sedjarah Geredja di Indonesia, (Djakarta: BPK, 1966), hlm. 212. 22 Karl Klammer dan Carl Wilhelm Heine adalah zendeling yang ditugaskan oleh RMG. Mereka telah lama melayani di Kalimantan Selatan, namun karena terjadi perang di Kalimantan Selatan dan pemerintah Belanda melarang mereka untuk menetap di Kalimantan, maka mereka dipindahtugaskan ke Sumatera. Lihat tulisan Muller Kruger, Sedjarah Geredja di Indonesia, (Djakarta: BPK, 1959), hlm. 211. 23 Paul Bodholdt Pedersen, op. cit., hlm. 53. 4 18

memulai pelayanannya di daerah Barus.24 Daerah ini merupakan daerah di Tapanuli bagian utara yang telah dikuasai Belanda. Namun pada bulan November 1863, Nommensen memaksa agar ia dapat masuk ke daerah pedalaman Tapanuli Utara, yaitu Silindung. Padahal daerah Silindung merupakan daerah merdeka karena pemerintah Belanda belum pernah mencoba untuk menguasai daerah tersebut. Banyak pihak yang melarang Nommensen pergi ke sana karena takut peristiwa yang menimpa Munson dan Lyman terjadi juga pada Nommensen. Namun Nommensen tetap berangkat ke Silindung. Sesampainya di Silindung, ia mendapatkan perlindungan dan diperlakukan dengan baik oleh Raja Pontas Lumbantobing, seorang Raja di daerah Silindung.25 Meskipun Raja Pontas Lumbantobing memperlakukan Nommensen dengan baik, namun tidak semua masyarakat Silindung juga memperlakukannya dengan baik. Banyak cara dan usaha yang dilakukan masyarakat dan raja-raja untuk mengusir dan bahkan untuk membunuh Nommensen. Usaha yang mereka lakukan adalah mengucapkan kata-kata keji ketika melihat Nommensen, memotong rotan-rotan yang mengikat rumah Nommensen yang akhirnya roboh ketika hujan angin datang, serta beberapa kali usaha pembunuhan.26 Pada saat Nommensen akan dibunuh, selalu ada hal yang menyelamatkannya. Misalnya saja saat makanan Nommensen telah diberi racun, ketika Nommensen akan memakannya secara tidak sengaja makanan tersebut tersenggol dan tumpah. Semua usaha masyarakat Silindung gagal karena Nommensen tetap menghadapi sikap jahat itu dengan ramah dan rendah hati. Melihat gaya hidup Nommensen yang tetap ramah dan rendah hati membuat masyarakat Silindung dapat menerima Nommensen. Setelah orang Batak mulai menerima Nommensen dengan baik, ada beberapa orang Batak yang belajar dan membantu Nommensen secara diam-diam. Mereka lakukan dengan diam-diam karena jika ketahuan maka mereka akan dianggap sebagai pengkhianat adat Batak dan mereka akan diusir dari kampungnya. Pada tahun 1865, orang Batak yang secara diam-diam megikuti Nommensen ketahuan dan diusir dari Silindung. Orang-orang tersebut mendatangi Nommensen untuk meminta bantuan dan perlindungan. Inilah awal mula munculnya Huta Dame (Kampung Damai) yang didirikan Nommensen untuk membantu orang Kristen mula-mula di Tapanuli Utara. Baptisan27 pertama untuk orang Batak di Tapanuli Utara terlaksana pada tahun 1865. Pendeta yang memberikan baptisan pertama untuk orang Batak di Tapanuli Utara ialah Nommensen. Pada tanggal 27 Agustus 1865, Nommensen membaptis empat orang laki-laki, empat orang perempuan, dan lima orang anak-anak di Silindung. Salah satu diantara mereka adalah Raja Pontas Lumbantobing. Perkembangan agama Kristen di Tapanuli Utara berlangsung sangat cepat. Pada awal tahun 1866, jumlah orang Batak yang menjadi Kristen bertambah sebanyak 50 orang.28 Pada bulan Maret 1866, RMG mengirimkan calon istri Nommensen29 bersama dengan Peter Hinrich Johannsen (1839-1898) yang ditugaskan untuk membantu pelayanan Nommensen di Tapanuli Utara. Selama berada di Tanah Batak, Peter H. Johannsen telah menerjemahkan Perjanjian Lama ke dalam bahasa Batak. Tahun 1867, Johannsen membuka pos zending di Pansurnapitu. Pada tanggal 17 November 1867, Nommensen dan Johannsen telah membaptis 26 orang di Pansurnapitu dan 43 orang di Saitnihuta. Johannsen juga membaptis Ompu Sarimatua yang kemudian mengganti 24

Bungaran Antonius Simanjuntak, Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba Hingga 1945: Suatu Pendekatan Sejarah, Antropologi Budaya, dan Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hlm. 50. 25 Muller Kruger, loc. cit. 26 O. L. Napitupulu, op. cit., hlm. 318-319. 27 Pembabtisan: upacara agama yang menggunakan air, baptisan orang percaya merupakan upacara agama yang berarti pengampunan dosa dan penerimaan Roh Kudus. Lihat Kamus Alkitab dalam ALKITAB Terjemahan Baru (TB) LAI 1974, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2002), hlm. 323. 28 Bungaran Antonius Simanjuntak, (2006), op. cit., hlm. 51. 29 Semua zendeling yang berada di bawah bimbingan RMG dilarang menikah dengan warga yang sedang mereka Injili. RMG yang menyiapkan pasangan hidup untuk zendeling yang sedang ditugaskan. 5

namanya menjadi Raja Salomo Pengabean pada tanggal 24 September 1869.30 Perkembangan jumlah orang Batak di Tapanuli Utara yang menjadi agama Kristen dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 1. Jumlah Orang Batak yang Menjadi Kristen31 Tahun 1861 1867 1870 1871 1876 1877 1881 1891 1892 1898 1901

Jumlah orang Batak-Kristen 2 orang 115 orang 849 orang 1.250 orang 2.056 orang 2.173 orang 7.500 orang 27.779 orang 21.779 orang 40.723 orang 47.784 orang

Dampak Perkembangan Agama Kristen Perkembangan agama Kristen yang pesat di Tapanuli Utara memberikan pengaruh dalam kehidupan masyarakat Batak, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial budaya. Agama Kristen dapat diterima dengan baik oleh suku Batak karena zendeling memberikan bantuan sosial selama melakukan penginjilan. Salah satunya adalah yang berhubungan dengan kesehatan. Zendeling membangun rumah-rumah pengobatan. Jadi bangunan sekolah, tempat pengobatan, dan gereja biasanya berada dalam satu wilayah. Ada pula bangunan yang pada hari Senin hingga Sabtu dijadikan sekolah dan pada hari Minggu digunakan sebagai tempat beribadah (gereja). Pekerjaan zendeling dalam bidang kesehatan, mendapatkan bantuan dari pemerintah Belanda. Suku Batak juga mendapatkan bantuan lainnya dalam bidang pendidikan. Suku Batak baru mendapatkan pendidikan formal setelah zendeling membangun sekolah di Tapanuli Utara. Semua sekolah zending yang memenuhi persyaratan, mendapatkan bantuan dari pemerintah Belanda. Jadi, hampir seluruh sekolah di daerah Tapanuli Utara diselenggarakan oleh Zending RMG.32 Pada tahun 1868, dibentuk pendidikan yang difokuskan untuk menciptakan penginjil bagi suku Batak. Pendidikan tersebut menghasilkan 27 orang penginjil Batak.33 Pada tahun 1873, berdiri sebuah sekolah yang disebut singkola mardalan yaitu sekolah berjalan. Disebut demikian karena guru-guru mereka tidak tinggal di tempat yang sama, jadi para murid datang ke tempat para guru. Biasanya para murid akan tinggal bersama dengan gurunya selama satu atau dua hari.34 Sekolah berjalan ini didirikan karena sekolah seminari di Parausorat telah di tutup. Sekolah-sekolah berkembang pesat di seluruh wilayah Tapanuli bersamaan dengan perkembangan agama Kristen.

30

A. A. Sitompul, Perintis Kekristenan di Sumatera Utara, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986), hlm. 57 & 78. 31 Andar M. Lumbantobing, op.cit., hlm. 74. 32 Ibid., hlm. 61. 33 Muller Kruger, op. cit., hlm. 219. 34 Johannsen menjadi guru di Pansurnapitu, Nommensen di Huta Dame, dan Mohri di Sipoholon. Lihat tulisan Paul Bodholdt Pedersen, “Batak Blood and Protestant Soul”, terj. Maria Th. Sidjabat & W. B. Sidjabat, Darah Batak dan Jiwa Protestan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975), hlm. 61. 6

Pada tahun 1877, didirikan seminari Pansurnapitu oleh pendeta Johansen. Namun gedung sekolahnya baru dibangun pada tanggal 9 Desember 1887. Pada tahun 1901, seminari tersebut dipindahkan ke Sipoholon daerah Silindung, namun gedung sekolah yang asli tetap dipelihara dan dipakai untuk sekolah minggu anak-anak. Sekolah ini sekarang menjadi Universitas HKBP Nommensen. Pada tahun 1883, didirikan sekolah guru (Kweekschool) di Padang Sidempuan serentak dengan kota-kota lain di Hindia Belanda. Pemerintah pribumi hanya mendirikan sekolah-sekolah di seluruh Keresidenan Tapanuli yang dianggap sebagai daerah kota, sedangkan untuk yang ada di desadesa, sekolah diselenggarakan oleh zending. Hingga tahun 1909, terdapat 365 sekolah di wilayah Toba dengan jumlah murid 18.000 orang, 6.700 orang diantaranya adalah anak-anak yang belum beragama Kristen. Seminari Sipoholon memiliki 120 orang murid dengan tiga orang guru yang berasal dari Eropa.35 Pada tahun 1890, muncul penerbitan majalah yang bernama “Immanuel”. Penerbitan majalah ini dikelola dan dipimpin oleh zending, namun lambat laun kepemimpinannya beralih kepada orang Batak yang kemudian mengeluarkan publikasi sendiri dengan nama “Soara Batak”.36 Jenis pendidikan yang dimunculkan oleh zendeling di Tanah Batak adalah pendidikan yang dikhususkan untuk perkembangan penginjilan. Sekolah yang didirikan adalah sekolah guru dan pendeta, agar setelah selesai sekolah mereka dapat memberitakan Injil pada mereka yang belum percaya. Sekolah umum baru muncul pada tahun 1911 ketika pemerintahan Belanda sudah mulai berkembang di Tapanuli Utara.37 Masyarakat Batak menjadi lebih bisa menerima zendeling karena telah merasakan kemajuan yang diberikan oleh zendeling. Sikap terbuka masyarakat Batak pada zendeling ini menjadi awal perubahan dalam kehidupan mereka. Perubahan itu terjadi karena ada perbedaan yang sangat penting antara kepercayaan asli masyarakat Batak dengan ajaran agama Kristen. Tata pelaksanaan adat lama banyak yang dihilangkan, terutama tata pelaksanaan adat yang tidak sesuai dengan agama Kristen. Orang Batak yang telah menjadi Kristen dilarang untuk mengikuti upacara adat yang kebanyakan bertentangan dengan ajaran agama Kristen. Pernyataan ini dapat dibuktikan dengan peribahasa Batak yang terkenal yaitu: Tubu ma sirungguk38 di bona ni tada-tada, Nunga muba uhum dung ro Sibontar mata. Artinya: Sirungguk tumbuh di pangkal tada-tada, hukum berubah setelah datang Siputih Mata.39 Unsur-unsur kebudayaan Batak yang tidak bertentangan dengan agama Kristen tetap dipelihara oleh zendeling, misalnya aksara Batak, bahasa Batak, dan sastra lisan. Sedangkan kebudayaan Batak yang bertentangan dengan ajaran agama Kristen, dilarang keras oleh zendeling. Misalnya memainkan alat musik Batak (margondang) dan menari (manortor).40 Margondang adalah upacara pemujaan kepada ompu mulajadi na bolon dengan memukul gendang. Fungsi dari gondang adalah ritus awal untuk upacara memanggil Tuhan.41 Bahasa Batak tetap dipertahankan karena menurut zendeling dan bagi orang Batak, bahasa menjadi alat yang mempersatukan mereka. Semua buku tata acara (agenda, buku nyanyian rohani, katekismus yang digunakan dalam pengajaran orang

35

Ibid., hlm. 62-64. Walter Lempp, op. cit., hlm. 113. 37 Bungaran Antonius Simanjuntak, Pemikiran tentang Batak: setelah 150 Tahun Agama Kristen di Sumatera Utara, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011), hlm. 278. 38 Sirungguk adalah semacam tanaman hias. Sedangkan tada-tada adalah batang pohon sipiupiu tanggule yang awalnya digunakan sebagai tiang sula manusia dan kemudian dijadikan sebagai tongkat sihir (tunggal panaluan). 39 Andar M. Lumbantobing, op. cit., hlm. 66. 40 Uli Kozok, op. cit., hlm. 73. 41 Hotman M. Siahaan. “Persekutuan Agama dan Budaya Orang Batak Toba: Kasus HKBP”, Prisma, No. 2 Februari 1979 Tahun VIII, hlm. 24. 7 36

naik sidi), buku pengakuan iman, dan tata gereja semuanya menggunakan bahasa Batak. Pelajaran Agama Kristen (PAK) di sekolah negeri juga menggunakan bahasa Batak.42 Usaha untuk menghilangkan kepercayaan asli yang bertentangan dengan agama Kristen dilakukan dengan mengubah alat musik yang digunakan saat ibadah menjadi alat musik tiup yang berasal dari Jerman karena jika menggunakan gondang dianggap seperti mengundang begu (roh jahat). Bentuk bangunan dan gedung gereja juga dibangun dengan gaya Kathedral Gotik, sedangkan bentuk bangunan rumah Batak tidak digunakan sama sekali.43 Bangunan gereja Batak dilengkapi juga dengan lonceng yang dipasang di menara-menara gereja, sama halnya seperti gereja yang ada di Jerman. Orang Batak Kristen beranggapan bahwa jika gereja tidak memiliki lonceng, maka gereja tersebut belumlah lengkap. Pembangunan gereja dengan menara lonceng tidak lagi dilakukan setelah Perang Dunia II terjadi. Saat itu orang Batak Kristen mulai membangun gereja dengan gaya arsitektur Batak.44 Zendeling tidak hanya melarang dimasukkannya kebiasaan-kebiasaan Batak ke dalam gereja, dalam kehidupan sehari-hari pun zendeling melarang orang Batak Kristen untuk ikut serta dalam kegiatan upacara adat yang bertentangan dengan agama Kristen. Adapun upacara adat atau kebiasaan-kebiasaan suku Batak yang mendapat pengaruh dari agama Kristen atau pun kebudayaan yang menjadi akulturasi antara lain upacara pernikahan, upacara kematian, dan pembangunan tugu leluhur. Saat orang Batak Kristen menikah, harus dilakukan pemberkatan nikah di gereja dan wajib pula diadakan upacara adat pernikahan karena jika salah satunya tidak dilaksanakan maka pernikahan tersebut dianggap tidak sah. KESIMPULAN Daerah Tapanuli sering disebut dengan Tanah Batak, sebutan itu menunjukkan identitas dari etnis yang tinggal di wilayah tersebut. Masyarakat di Tapanuli Utara memenuhi kebutuhan hidup dengan bertani dan berternak. Mereka meenanam berbagai macam tanaman untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sebelum agama Kristen masuk, masyarakat di Tapanuli Utara menganut agama Parmalim. Agama Kristen mulai diperkenalkan dengan suku Batak pada tahun 1824 dan mulai mengalami perkembangan pesat pada tahun 1861. Pada saat itu, agama Kristen sudah diterima oleh banyak masyarakat Batak. Ada jangka waktu panjang hingga suku Batak dapat menerima agama Kristen. Hal ini terjadi karena suku Batak merupakan suku yang keras, tidak mau menerima hal-hal baru, dan menutup diri dari dunia luar. Sikap suku Batak yang demikian tidak membuat zendeling yang memberitakan Injil menjadi jera ataupun takut. Awal kedatangan zendeling tidak disambut dengan baik oleh masyarakat Tapanuli Utara, bagi mereka zendeling sama dengan orang-orang Belanda yang ingin menguasai daerah mereka. Penolakan-penolakan tersebut ditanggapi dengan kerendahan hati oleh para zendeling dan mereka tetap memberitakan Injil. Selama mereka memberitakan Injil, mereka juga membantu masyarakat Batak dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Sejak awal, zendeling memang mengutamakan hal-hal sosial agar dapat masuk ke tengah-tengah kehidupan masyarakat Batak kerena jika mereka dapat hidup bersama masyarakat Batak, maka akan menjadi lebih mudah bagi mereka untuk memberitakan Injil. Cara ini pun berhasil menarik hati masyarakat Batak menjadi Kristen. Semakin lama zendeling berada di Tapanuli Utara, semakin banyak orang-orang Batak yang menjadi Kristen. Berkembangnya agama Kristen dengan pesat di Tapanuli Utara merupakan berkat dari Allah dan hasil usaha zendeling yang mengasihi suku Batak. Perkembangan yang pesat tersebut memberikan pengaruh yang besar bagi suku Batak. Dampak yang paling besar adalah berubahnya status agama yang mereka anut, dari agama Parmalim menjadi agama Kristen Protestan. Dampak lainnya adalah dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Zendelinglah yang pertama kali mengenalkan pendidikan umum kepada suku Batak, dan mengenai 42

Walter Lempp, op. cit., hlm. 214. Ibid., hlm. 219. 44 Andar M. Lumbantobing, op. cit., hlm. 78. 43

8

pengobatan-pengobatan secara medis juga dikenal suku Batak dari zendeling. Pengaruh lainnya adalah dalam kehidupan sehari-hari suku Batak Kristen, banyak kegiatan gereja Batak yang harusnya diimani dengan iman Kristen namun dalam prakteknya menjadi tercampur dengan kepercayaan asli suku Batak. DAFTAR PUSTAKA F. D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994. Harahap, Elisa Sutan, Perihal Bangsa Batak, Jakarta: Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan Dep. P. P. dan K., 1960. Kozok, Uli, Utusan Damai di Kemelut Perang; Berdasarkan Laporan L. I. Nommensen dan Penginjil RMG Lain, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010. Kruger, Muller, Sedjarah Geredja di Indonesia, Djakarta: BPK, 1959. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2005. Lempp, Walter, Benih yang Tumbuh XII; Suatu Survey Mengenai: Gereja-Gereja di Sumatra Utara (Laporan Regional Sumatra Utara), Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi Dewan GerejaGereja di Indonesia, 1976. Lumbantobing, Andar Marisitua, “Das Amt In Der Batak-Kirche”, terj. K. M. Lumbangtobing, dkk., Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992. Napitupulu, O. L., Perang Batak Perang Sisingamangaraja, Djakarta: Jajasan Pahlawan Nasional Sisingamangaraja, 1972. Napitupulu, S. P., dkk., Arsitektur Tradisional Daerah Sumatera Utara, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1997. Pedersen, Paul Bodholdt, “Batak Blood and Protestan Soul”, terj. Maria Th. Sidjabat dan W. B. Sidjabat, Darah Batak dan Jiwa Protestan: Perkembangan Geredja-geredja Batak di Sumatera Utara, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975. Reid, Anthony, “Witnesses to Sumatra. A Travellers’ Anthology”, terj. Tim Komunitas Bambu, Sumatera Tempo Doeloe: dari Marco Polo sampai Tan Malaka, Jakarta: Komunitas Bambu, 2010. Siahaan, Hotman M., “Persekutuan Agama dan Budaya Orang Batak Toba: Kasus HKBP”, Prisma, No. 2 Februari 1979 Tahun VIII, 1979. Sihombing, T. M., Filsafat Batak: Tentang Kebiasaan-Kebiasaan Adat Istiadat, Jakarta: Balai Pustaka, 1986. Simanjuntak, Bungaran Antonius, Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba Hingga 1945: Suatu Pendekatan Sejarah, Antropologi, Budaya, dan Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.

9

__________________________, Pemikiran tentang Batak: setelah 150 Tahun Agama Kristen di Sumatera Utara, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011. __________________________, Konsepku Membangun Bangso Batak: Manusia, Agama, dan Budaya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2012. Sitompul, A. A., Perintis Kekristenan di Sumatera Bagian Utara, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986. Situmorang, Sitor, Toba Na Sae, Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX, Jakarta: Yayasan Komunitas Bambu, 2004.

10

More Documents from "nazara"