Journal 1.doc

  • Uploaded by: jojor simamora
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Journal 1.doc as PDF for free.

More details

  • Words: 5,352
  • Pages: 21
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETIDAKTERATURAN BEROBAT PENDERITA TB PARU DI PUSKESMAS KOTA BINJAI TAHUN 2004 Jojor Simamora Dinas Kesehatan Kota Binjai Jl.Gatot Subroto no 191 Binjai Abstract: The program of lungs tuberculosis prevention through DOTS strategy has been implemented in Binjai since 1999, but the result is still not like what is expected. The result of TB prevention program in Binjai in 2003 revals that the irregularity of patients with TB getting treatment is 33,7%. This high percentage contributes less to the patients’ recovery. This situation serves as basis for this study intended to examine the factor which is related to the high rate of irregularty of patients whith TB getting treatment in Binjai. To find out the risk factor of the irregularity of patients with TB getting treatment, this case controled study was conducted by comparing a group of patients with irregular treatment (case) to those with regular treatment (controled). The sample of each group (case and controled groups) are 75, who were derived from the population through the simple random sampling method. The data obtained were analyzed through univariate, bivariate (chisquare), and multivariate (multiple regression logistic) analysis methods. The result of study reveals that at the level of confidence of 95%, there is a significant relationship between the variables of medicine-taking controler (PMO) p = 0,000 OR = 12,152, health personnel behavior p = 0,000 OR = 10,744, side effect of medicine p = 0,011 OR = 6,105, knowlegde patient p = 0,000 OR = 6,097, health promotion p = 0,015 OR = 4,062 and distance to community health center (from home) p = 0,016 OR p = 4,009. The above statement shows that medicine taking controler (PMO) and health personnel behavior have the strongest relationship with the irregularity of getting treatment. Thefore the intervention suggested to minimize the rate of irregularity of getting treatment is to encourage the patients to improve their knowledge on tuberculosis by improving the knowledge of health personnels on tuberculosis of health promotion to the patients can be improved providing pocket books on TB treatment to be given to the patients, their family and organizing a continiuous improvement of medicine taking control (PMO) Key words:

Irregularity, Tuberculosis recovery, medicine-take controler (PMO), behavior.

1. Pendahuluan Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman mycobakterium tuberkulosis. Menurut WHO prevalensi penyakit TB aktif di dunia adalah sekitar 15–20 juta orang dengan insiden kejadian 10 juta orang dan tidak kurang dari 3 juta orang kematian per tahun. Kematian yang disebabkan TB paru pada wanita lebih banyak dari pada kematian ibu hamil, ibu bersalin dan nifas (WHO, 1993). Sampai hari ini belum satupun negara di dunia yang terbebas dari TB paru. Bahkan untuk negara maju, yang pada mulanya angka tuberkulosis sudah menurun, belakangan

naik lagi mengikuti

peningkatan penderita HIV positif dan AIDS (Depkes, 2003).

1

Jumlah penderita TB paru di Indonesia mempunyai urutan ketiga terbesar di dunia setelah India dan China. Menurut perkiraan WHO tahun 2000 penderita TB paru di Indonesia diperkirakan 557.000 penderita baru / tahun dan 129.000 orang kematian per tahun atau 15 orang pada setiap jam (WHO, 2001). Kematian oleh TB cukup besar, hal ini tanpa kita sadari dan tidak dirasakan secara langsung karena kasusnya tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Menurut laporan Depkes RI (1999), dari 19 propinsi di Indonesia thn 1994/1995 penyakit TB paru memberikan kontribusi 9% sebagai penyebab kematian pada umur 14 - 44 thn, angka kesembuhan penderita TB yang berobat ke puskesmas adalah 69,8%, sedangkan target nasional yang ditetapkan minimal 85% belum terpenuhi. Salah satu penyebab rendahnya kesembuhan penderita TB adalah ketidak teraturan penderita tuberkulosis dalam meminum obat (Darmadi 2000). Senewe (1997) menyatakan 33% penderita TB paru tidak teratur dalam menjalankan pengobatannya. Menurut Gaffar (2000) yang berhubungan dengan faktor ketidak teraturan pasien tersebut adalah pengetahuan, ketersediaan obat, petugas pelayanan kesehatan dan pengawas menelan obat. Sedangkan Hidayat (2000) faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan berobat penderita TB adalah pekerjaan, biaya transport, adanya penyakit lain, dan umur penderita. Upaya pemberantasan TB paru dengan menggunakan strategi DOTS di kota Binjai di mulai pada tahun 1999 dengan melengkapi sarana dan prasarana secara bertahap (Profil kesehatan kota Binjai 2003). Beberapa puskesmas yang sudah memenuhi syarat ditetapkan sebagai puskesmas rujukan mikroskopis dan puskesmas pelayanan mandiri untuk pelaksanaan strategi DOTS. Pada tahun 2003 di kota Binjai terdapat 5 puskesmas induk, 2 puskesmas rawat inap, dan 17 puskesmas pembantu dengan jumlah kelurahan 37 kelurahan. Empat puskesmas induk dan 2 puskesmas rawat inap telah melaksanakan penanggulangan TB paru dengan strategi DOTS. Sejak diberlakukannya strategi DOTS di kota Binjai terlihat adanya peningkatan perbaikan cakupan TB paru dari tahun ke tahun, namun masih jauh di bawah

2

angka estimasi/indikator keberhasilan program penganggulangan TB paru yang ditetapkan pemerintah. Hal ini terlihat dari laporan Dinas Kesehatan kota Binjai Tahun 2003 yang dapat di lihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 1.1 Cakupan Program Pemberantasan TB Paru di Kota Binjai Tahun 2003 No

Indikator

Sasaran ( % ) dalam THN 2001 2002 2003 1 CDR 65 65 70 2 Cure rate 85 85 85 3 Eror rate <5 <5 <5 4 Drop out <10 <10 <10 Sumber : SubDin P2P kota Binjai.

Cakupan ( % ) dalam THN 2001 2002 2003 65 67 53,3 58,2 66,2 7,6 6.4 21.3 17.7 12,2

Salah satu tujuan pengobatan tuberkulosis jangka pendek adalah mengurangi penularan dengan cara meningkatkan cakupan penemuan penderita baru (Penemuan penderita > 70% dari semua penderita tuberkulosis), dan peningkatan angka kesembuhan penderita >80%. Pada tahun 2003 jumlah penderita BTA positif yang berobat di puskesmas kota Binjai adalah 246 orang (profil Kesehatan 2003). Prevalensi penyakit TB paru adalah 0,109%. Prevalensi TB paru ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di kota Binjai. Angka kesembuhan penderita TB paru di kota Binjai adalah 61%, masih jauh dari target nasional. Rendahnya angka kesembuhan ini merupakan salah satu permasalahan program kesehatan di kota Binjai. Angka kegagalan (drop out) adalah 17,2% dan target nasional adalah < 10%. Kegagalan ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya tidak teratur berobat, obat habis di puskesmas, dan lain sebagainya. Sampai saat ini penelitian tentang faktor yang mempengaruhi ketidakteraturan penderita tuberkulosis berobat di puskesmas atau yang sejenis dengan topik ini, belum pernah dilakukan di Binjai. Oleh sebab itu penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian ini. 2. Metode Penelitian Penelitian ini adalah studi analitik dengan pendekatan desain kasus dan kontrol tidak berpadanan. Peneliti kemudian mengukur paparan yang dialami penderita TB pada waktu lampau dengan cara mengkaji catatan medik, pemeriksaan-pemeriksaan diagnostik

3

penunjang. Penelitian ini dapat mengestimasi beberapa faktor yang berhubungan dengan perilaku penderita TBC yang berobat di puskesmas kota Binjai. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita TBC yang berumur 15 tahun keatas terdaftar di puskesmas dan di catat di daftar pengobatan penderita TBC paru (01) pada tahun 2002 s/d 2003.

Sampel adalah sebagian dari populasi yang memenuhi syarat

sebagai kasus dan kontrol pada penelitian. Kriteria kasus adalah

penderita TBC yang berumur >15 tahun di kota Binjai

yang berobat di puskesmas dan di catat pada pencatatan pengobatan penderita TBC paru (01) pada tahun 2002 s/d 2003 yang pernah terlambat/lalai mengambil/minum obat selama 2 hari atau lebih berturut-turut pada masa pengobatan intensif dan lebih dari (minimal) 1 minggu pada masa pengobatan lanjutan. Kriteria kontrol adalah penderita TBC yang berumur >15 tahun di kota Binjai yang berobat di puskesmas dan di catat di pencatatan pengobatan penderita TBC paru (01) pada tahun 2002 s/d 2003

yang tidak pernah terlambat/lalai mengambil/minum obat

selama 2 hari atau lebih pada masa pengobatan intensif dan lebih dari (minimal) 1 minggu pada masa pengobatan Besarnya sampel

minimal yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

berdasarkan rumus (Basuki 2000): [ Z ıα 2√ 2p (1-p) + Z1-√ (p1 (1-p1) + p2 (1-p2) ]²

Rumus : n = ( p2 – p1 ) ²

Ket:

n

: Jumlah subjek dalam kelompok kasus.

α

: Tingkat kemaknaan ( 0,05 ) dengan Ζ 1- ½α =1,96.

β

: Kekuatan penelitian ( 80%) dengan Ζ 1- β = 0,842

p1

: Proporsi kontrol yang terpapar.

p2

: Prorposi kasus yang terpapar.

OR : Odds ratio. p2

=

OR. p1 P1  p1.OR

4

Berdasarkan rumus tersebut dapat dihitung jumlah sampel minimal dengan tingkat kesalahan 5% dan kekuatan uji 80%. Dari beberapa penelitian didapatkan perkiraan OR antara 2,5-4,1 dan proporsi masing-masing variabel independent

antara 0.35 – 0.4.

Sedangkan jumlah sampel yang di dapat adalah sebagai berikut. Tabel 3.1 Perhitungan Besar Sampel Menurut Beberapa Faktor yang Berhubungan Dengan Perilaku Penderita TBC Paru oleh Penelitian Sebelumnya Faktor Pengetahuan Pendapatan keluarga Efek samping obat

Penyuluhan petugas Pendidikan

PMO Jarak ke puskesmas

P1 0,4 0,36 0,4 0,4 0,4 0,36 0,35

OR 2,63 3,43 3,06 2,37 2,74 2,5 4,1

Jlh sampel 65 38 48. 70 63 75 32

Peneliti Nazahar Suherman Lubis Lubis Nazahar Hidayat Hidayat

Jumlah sampel terbesar dari beberapa variabel independent penelitian tersebut adalah 75 orang (n), karena desain penelitan ini adalah kasus dan kontrol, maka besarnya sampel minimal adalah 2 x n = 2n. Oleh sebab itu jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 75 orang untuk sampel kasus dan 75 orang untuk sampel kontrol. Total sampel adalah 150 orang. Metode pengambilan sample digunakan dengan simpel random sampling. Alat pengukuran yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian ini adalah kuesioner. Sedangkan tehnik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan observasi dan wawancara. 2. Pengolahan Data Data yang sudah terkumpul selanjutnya akan di olah dan dianalisis dengan bantuan perangkat lunak komputer program SPSS. 2.1.

Analisis Variabel Bebas Dengan Variabel Terikat Analisis variable bebas dengan variable terikat bertujuan untuk mengetahui

hubungan antara dua variable dengan menggunakan test kemaknaan. Untuk uji kemaknaan digunakan uji chi square (X²). Selain itu di lakukan juga perhitungan Odds ratio (OR) untuk melihat estimasi terjadinya outcome. Perhitungan OR dapat di lakukan dengan melalui table 2 x 2.

5

2.3. Penentuan Model Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Ketidakteraturan Berobat Analisis ini bertujuan

untuk mengetahui faktor yang dominan

mempengaruh variabel terikat. Hal ini dapat di lakukan dengan analisis multiple logistic regression, dengan menggunakan persamaan sebagai berikut. ln (p/1-p) = βo + bıXı + b2X2 +…………………+.bnXn βo

= Konstanta

b1,b2….bn = Koefisien regressi variabel prediktor (Independen) X1,X2 ..Xn = Masing masing variabel bebas yang pengaruhnya akan diteliti. p

= Probabilitas untuk terjadinya “peristiwa” dari variabel independen.

3. Hasil Penelitian Hasil penelitian disajikan dalam bentuk table seperti di bawah ini. Penyajian ini adalah hasil analisis univariat dan analisis chi square, untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada table berikut. TABEL 4.4.

Distribusi Frekwensi Responden Penderita TB Paru Dengan Ketidakteraturan Berobat Dipuskesmas Kota Binjai Tahun 2003. Kasus

VARIABEL

n=75

Kont Rol n=75

Total OR

95% CI

p

N= 150

6

Jenis Kelamin 1. 2.

Laki laki Perempuan

1. 2. 3. 4.

< 20 thn 21-40 thn 41-60 thn > 60 thn

Umur

Pendidikan 1. 2.

Rendah Tinggi

1. 2.

Tidak bekerja Bekerja Pengetahuan Tdk Baik Baik

Pekerjaan

1. 2.

Pendapatan keluarga 1. Rp.185.000 Efek samping Obat (ESO) 1. Tidak ada efek samping obat 2. Ada efek samping obat Penyuluhan kesehatan. 1. Tdk Mengerti peny.kesehatan 2. 3. Mengerti peny.kesehatan

28 47

34 41

62 88

1.89

0,368:3,425

0,631

2 19 31 23

1 25 35 14

3 44 66 37

1,833 1,664 1,785

0,463:2,193 0,356:1,752 0,455:2,154

0,461 0,321 0,571

43 32

40 46

83 67

1,176

0,617:2,240

0,743

25 50

17 58

42 108

1,706

0,828:3,515

0,273

56 19

22 53

78 72

7,1

3,457:14,58

0,002

33 42

50 25

83 67

0,393

0,203:0,762

0,009

22 53

7 68

29 121

4,032

1,602:10,15

0,024

33 42

9 66

42 108

5,762

2,506:

0,013

13,246

Kasus

Kont Rol

Total

n=75

n=75

N=150

44 31

17 58

48 27 37 38

VARIABEL Perilaku Pet.Kesehatan 1. TidakPuas 2. Puas Pengawas Minum Obat ( MO) 1. Ada PMO 2. Tidak ada PMO Jarak ke Puskesmas 1. Jauh 2. Dekat

OR

95% CI

P

61 89.

4,843

2,382: 9,845

0,027

18 57

66 84

5,630

2,770:11,443

0,010

10 65

47 103

3,329

2,829: 14,157

0,033

P= chi Square 3.1. Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Ketidakteraturan Berobat Hasil

analisis

bivariat

menunjukkan

tingkat

pendidikan

responden

dengan

ketidakteraturan, odds ratio sebesar 1,176 (95% CI: 0,617:2,240) artinya responden yang tingkat pendidikannya rendah mempunyai kemungkinan

1,176 kali lebih besar tidak

teratur berobat dibandingkan dengan responden berpendidikan tinggi dan tidak bermakna secara statistik karena 95% CI melewati nilai 1 dan p value 0,743 lebih tinggi dari p<0,25.

7

3.2. Hubungan Pekerjaan Dengan Ketidakteraturan Berobat Dari tabel 4.4. terlihat bahwa hasil analisis bivariat pekerjaan dengan ketidakteraturan berobat memperlihatkan odds ratio sebesar 1,706 (95% CI:0,828:3,515) artinya responden yang tidak bekerja mempunyai kemungkinan 1,706 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan dengan responden yang bekerja, di mana hasil uji statisik tidak bermakna yaitu 95% CI melewati nilai 1 dan p value 0,273 lebih besar dari 0,25.

3.3.

Hubungan Pengetahuan Dengan Ketidakteraturan Berobat Hasil analisis bivariat menunjukkan tingkat pengetahuan dengan ketidakteraturan

berobat

odds ratio

sebesar 7,1 (95% CI 3,457:14,582) artinya responden yang

pengetahuannya kurang baik mempunyai kemungkinan 7,1 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan dengan responden yang pengetahuannya baik. Hasil uji statistik bermakna yaitu 95% CI tidak melewati nilai 1 dan p value = 0,002. 3.4.

Hubungan Pendapatan Keluarga Dengan Ketidakteraturan Berobat Hasil analisis bivariat menunjukkan hubungan pendapatan keluarga dengan

ketidakteraturan berobat, odss ratio sebesar 0,393 (95% CI : 0,203:0,762) artinya responden yang memperoleh pendapatan rendah mempunyai kemungkinan 0,393 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan dengan responden yang memperoleh pendapatan tinggi dan bermakna secara statistik karena 95% CI tidak melewati nilai 1 dan p value 0,009. Variabel ini dipertimbangkan untuk ikut model uji multiple logistic regression. 3.5.

Hubungan Efek Samping Obat (ESO) Dengan Ketidakteraturan Berobat Hasil analisis bivariat ESO dengan ketidakteraturan berobat menunjukan odds ratio

sebesar 4,032 (95% CI : 1,602:10,151) artinya responden yang merasakan adanya efek samping obat mempunyai kemungkinan

4,302 kali lebih besar tidak teratur berobat

dibandingkan dengan responden yang tidak merasakan adanya efek samping obat dan bermakna secara statistik yaitu 95% CI tidak melewati nilai 1 dan P value 0,024. 3.6. Hubungan Penyuluhan Petugas Kesehatan Dengan Ketidakteraturan

Berobat

8

Hasil analisis bivariat penyuluhan petugas kesehatan dengan ketidakteraturan berobat memperlihatkan odds ratio sebesar 5,762 (95% CI : 2,506:13,246) artinya responden yang tidak mengerti penyuluhan petugas kesehatan mempunyai kemungkinan 5,762 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan dengan responden yang mengerti penyuluhan petugas kesehatan, dan bermakna secara statistik yaitu 95% CI tidak melewati nilai 1 dan p value 0,013.

3.7.

Hubungan Perilaku Pelayanan Petugas Kesehatan Dengan Ketidakteraturan Berobat Hasil analisi bivariat perilaku pelayanan petugas kesehatan dengan ketidakteraturan

menunjukkan odds ratio sebesar 4,843 (95% CI 2,362:9,845) artinya responden yang tidak merasa puas dengan perilaku petugas kesehatan mempunyai kemungkinan 4,843 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan dengan responden yang merasa puas dengan perilaku petugas kesehatan dan bermakna secara statistik yaitu 95% CI tidak melwati nilai 1 dan p value 0,013. 3.8.

Hubungan Pengawas Minim Obat (PMO) Dengan Ketidakteraturan Berobat Hasil analisis bivariat PMO dengan ketidakteraturan berobat menunjukkan odss ratio

sebesar 5,630 (95% CI: 2,770:11,443) artinya responden yang tidak ada PMO memiliki kemungkinan 5,63 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan dengan responden yang memiliki PMO dan bermakna secara statistik yaitu 95% CI tidak melewati nilai 1 dan p value 0,010. 3.9.

Hubungan Jarak Puskesmas Dengan Ketidakteraturan Berobat Hasil analisis bivariat jarak puskesmas dengan ketidakteraturan berobat menunjukkan

odds ratio sebesar 3,329 (95% CI: 2,829:14,157) artinya responden yang mempunyai tempat tinggal jauh dari puskesmas mempunyai kemungkinan 3,329 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan dengan responden yang tempat tinggalnya dekat dengan puskesmas dan secara statistik bermakna yaitu 95% CI tidak melewati nilai 1 dan p value 0,033.

9

3.10.

Analisis Model Faktor Resiko Ketidakteraturan Berobat dengan Multiple

Logistic Regression Tabel 4.5. Hasil Akhir Regressi Logistik Ganda Faktor Yang Mempengaruhi Ketidakteraturan Berobat Penderita Tb Paru di Puskesmas VARIABEL

No

B

S.E

Wald

Exp(B)

Sig

95%CI

1

PMO

2,498

0,586

18,177

12,152

0,000

3,855:38,623

2

Perilaku Petugas

2,374

0,612

15,074

10,744

0,000

3,241:35,623

3

Evek samping obat

1,809

0,715

6,399

6,105

0,011

1,50324,796

4

Pengetahuan

1,808

0,498

13,183

6,097

0,000

2,298:16.177

1,402

0,576

5,919

4,062

0,015

1,313:12,562

1,389

0,577

5,783

4,009

0,016

1,293: 12,43

-7,207

1,259

32,743

0,01

0,000

Penyuluhan kesehatan Jarak

5 6

Constant

7

Nilai -2 log likelihood = 106,490

G = 101,454.

p = 0,000.

Model akhir persamaan regressi logistik untuk menentukan faktor yang mempengaruhi kejadian ketidakteraturan berobat penderita TB paru di puskesmas adalah sebagai berikut. Logit p (Ketidakteraturan berobat) = - 7,207 + 2,498 (PMO) + 2,374 (Perilaku kesehatan)

+ 1,809 (ESO) +1,808 (Pengetahuan) + 1,402 (Penyuluhan

kesehatan)

petugas

+ 1,389 (Jarak

kepuskesmas).

Analisis tersebut memperlihatkan kekuatan hubungan

masing masing variabel

terhadap kejadian ketidakteraturan berobat penderita TB paru di puskesmas

sebagai

berikut: 1)

Pengaruh pengawas menelan obat (PMO) dengan ketidakteraturan berobat dapat di lihat

dari Exp(B) = 12,152, artinya responden yang

tidak memiliki pengawas

menelan obat mempunyai kemungkinan 12,152 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan dengan responden yang mempunyai pengawas menelan obat setelah variabel perilaku petugas kesehatan, ESO, pengetahuan, penyuluhan kesehatan dan jarak ke puskesmas di kontrol.

10

2)

Pengaruh perilku petugas kesehatan dengan ketidakteraturan berobat dapat di lihat dari Exp(B) = 10,744, artinya responden yang tidak puas terhadap perilaku petugas kesehatan mempunyai kemungkinan 10,744 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan responden yang merasa puas terhadap perilku petugas kesehatan setelah variabel , ESO, pengetahuan, penyuluhan kesehatan dan jarak ke puskesmas di kontrol.

3)

Pengaruh evek samping obat (ESO) dengan ketidakteraturan berobat dapat di lihat dari Exp(B) = 6,105, artinya responden yang kemungkinan

merasakan

evek samping obat

6,105 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan dengan

responden yang tidak merasakan evek samping obat setelah pengetahuan, penyuluhan kesehatan dan jarak ke puskesmas di kontrol. 4)

Pengaruh pengetahuan dengan ketidakteraturan berobat dapat di lihat dari Exp(B) = 6,097, artinya responden yang tidak memiliki pengetahuan tidak baik mempunyai kemungkinan

6,097 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan dengan

responden yang mempunyai pengetahuan baik setelah penyuluhan kesehatan dan jarak ke puskesmas di kontrol. 5)

Pengaruh penyuluhan kesehatan dengan ketidakteraturan berobat dapat di lihat dari Exp(B) = 4,062, artinya responden yang

tidak mengerti penyuluhan kesehatan

mempunyai kemungkinan 4,062 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan dengan responden yang mengerti penyuluhan kesehatan setelah jarak ke puskesmas di kontrol. 6)

Pengaruh jarak ke puskesmas dengan ketidakteraturan berobat dapat di lihat dari Exp(B) = 4,009, artinya responden yang tempat tinggal jauh dari puskesmas mempunyai kemungkinan 4,009 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan dengan responden yang jarak rumahnya dekat dengan puskesmas setelah variabel perilaku petugas kesehatan, ESO, pengetahuan, penyuluhan kesehatan di kontrol. Berdasarkan nilai Odds Ratio, kita dapat memperkirakan nilai kekuatan pengaruh

variabel

pengawas menelan obat,

perilaku petugas kesehatan, ESO, pengetahuan,

11

penyuluhan kesehatan dan jarak ke puskesmas. Melalui model ini dengan 6 buah variabel prediktor dapat memperkirakan kejadian ketidakteraturan berobat penderita TB paru di puskesmas sebesar 79,3%, selebihnya disebabkan oleh factor factor lain. 4. Pembahasan Hasil Penelitian 4.1.

Pengetahuan Pengetahuan responden dikategorikan menjadi dua, kurang baik dan baik. Proporsi

pengetahuan responden tidak jauh berbeda antara responden yang pengetahuan kurang baik (52%) dan yang baik (48%). Pada kelompok teratur sebagian besar responden mempunyai pengetahuan baik (70,7%), sedangkan pada kelompok tidak teratur (74,7%) mempunyai pengetahuan tentang TB kurang baik. Penelitian ini memperlihatkan

penderita yang

pengetahuannya kurang baik terhadap TB mempunyai resiko 6,094 kali lebih besar untuk tidak teratur berobat dibandingkan dengan responden yang mempunyai pengetahuan baik tentang TB. Hasil penelitian yang sama diperlihatkan oleh Hidayat, (2000) bahwa responden yang mempunyai perilaku tidak teratur berobat adalah mereka yang berpengetahuan kurang baik. 4.2.

Efek Samping Obat Efek Samping Obat pada penelitian ini memperlihatkan responden menyatakan ada

efek samping obat (80,7%) dan tidak ada ESO (19,3%). Proporsi responden yang merasakan ada ESO pada kelompok teratur (90,7%), lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok tidak teratur (70,7%) dan odds ratio 6,105. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Wirdani (2001) bahwa ESO memberikan resiko ketidakteraturan berobat 4,5 kali dibandingkan dengan penderita yang tidak ada ESO. Aditama (2000) menyatakan dengan pemakaian OAT yang berbulan bulan dapat menimbulkan ESO. Dengan adanya efek samping ini sering menyebabkan penderita berhenti minum obat. 4.3.

Perilaku Petugas Pelayanan Kesehatan

12

Perilaku petugas pelayanan kesehatan pada penelitian ini memperlihatkan bahwa responden yang merasakan tidak puas terhadap perilaku pelayanan petugas mempunyai resiko 10,744 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan dengan responden yang merasa puas terhadap perilaku petugas pelayanan kesehatan. Bila sikap petugas positip diasumsikan sebagai pelayanan petugas yang memuaskan, maka hasil penelitian Margono (1996) memperlihatkan hasil yang tidak jauh berbeda. Sebagian besar responden memberikan penilaian positif terhadap pelayanan kesehatan ketika responden memeriksakan diri (84,28%) dibandingkan dengan responden yang menilai sikap negatip (17,3%). Hubungan perilaku petugas dengan keteraturan minum obat menunjukkan odds ratio sebesar 5,9 (p = 0,000). Suherman (1997) juga memperlihatkan hasil yang hampir sama, dimana responden yang mendapat pelayanan memuaskan oleh petugas kesehatan 4,88 kali lebih besar untuk memanfaatkan pengobatan tuberkulosis paru di puskesmas bila dibandingkan dengan responden yang mendapat pelayanan tidak memuaskan. Mengingat kuatnya pengaruh perilaku petugas kesehatan dengan ketidakteraturan berobat, diharapkan petugas kesehatan

lebih berperilaku positif dalam pelayanan

kesehatan antara lain petugas sebaiknya berempati kepada penderita, tidak merokok di depan penderita, meningkatkan pengawasan, penyuluhan kepada keluarga penderita. 4.4.

Pengawasan Menelan Obat Proporsi responden yang mempunyai PMO (56%) dan responden yang tidak

memiliki PMO adalah (44%). Proporsi responden yang tidak memiliki PMO pada kelompok tidak teratur (64%). Hal ini lebih tinggi di bandingkan kelompok teratur (24%). Penelitian ini memperlihatkan penderita yang tidak memiliki PMO mempunyai peluang 12,152 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan penderita yang memiliki PMO. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Oesman (2000) yang menyatakan ada hubungan bermakna antara PMO dengan kepatuhan berobat penderita TB paru (p=0,000). Begitu juga dengan penelitian Marzuki (2000) kemungkinan kepatuhan berobat pada responden

yang mengatakan ada PMO selama pengobatan 2,8 kali dibandingkan

13

responden yang tidak ada PMO. Hasil yang tidak jauh berbeda ditunjukkan Hidayat (2000) bahwa responden yang tidak ada PMO mempunyai resiko 16,2 kali lebih besar untuk tidak patuh berobat dibandingkan responden yang mempunyai PMO. Pengawas minum obat (PMO) yang paling baik adalah orang yang paling dekat dengan penderita, dihormati dan disegani penderita. Orang yang dihormati dan disegani penderita biasanya semua saran yang diberikannya akan dilaksanakan oleh penderita. Apabila seseorang itu penting bagi kita maka apa yang dikatakannya cenderung untuk di contoh (Siswanto, 1998).

4.5. Penyuluhan Petugas Kesehatan Proporsi responden yang tidak mengerti dengan penyuluhan petugas pada penderita yang tidak teratur berobat sebesr (40%), ini lebih besar dari pada kelompok yang teratur berobat sebesar (12%). Penderita yang tidak mengerti penyuluhan petugas kemungkinan kejadian 4,064 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan dengan responden yang mengerti penyuluhan petugas (p = 0,015).

Penelitian Hidayat (2000) dan

Wirdani (2001) juga menemukan hubungan yang bermakna antara penyuluhan petugas dengan ketidakteraturan berobat. Aditama (2000) menyatakan ketidakteraturan berobat bukan semata mata kesalahan pasien, tapi juga gambaran kesalahan petugas kesehatan yang gagal menyakinkan pasien untuk berobat sampai tuntas. Bila dikaitkan dengan pengetahuan penderita yang kurang baik terhadap TB paru, hal ini salah satu faktor responden berobat tidak teratur. Oleh sebab itu perlu peningkatan penyuluhan kepada penderita dan keluarga terutama mengenai pentingnya berobat secara teratur, pemeriksaan dahak ulang kepada penderita. Penyuluhan yang diberikan petugas kesehatan selama ini tidak berhasil guna, mungkin disebabkan beberapa hal misalnya penderita kurang yakin dengan apa yang diberikan oleh petugas, rendahnya tingkat pendidikan penderita sehingga kemampuan penderita lemah dalam menerima isi penyuluhan, penderita pelupa karena usia sudah tua. 4.6.

Jarak ke Puskesmas

14

Penelitian ini memperlihatkan responden yang jarak rumahnya jauh dari puskesmas mempunyai kemungkinan 4,009

kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan

dengan responden yang jarak rumahnya dekat dengan puskesmas (p = 0,016). Bila dibandingkan dengan hasil penelitian Margono (1996) menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara jarak dengan kepatuhan berobat (p = 0,023) Penderita yang mempunyai jarak rumahnya jauh dengan puskesmas mempunyai kejadian 2,2 kali untuk tidak patuh berobat dibandingkan dengan penderita yang mempunyai jarak rumahnya dekat dengan puskesmas. Demikian pula dengan penelitian Oesman (2000) ada hubungan yang bermakna antara jarak dengan kepatuhan berobat TB paru. Jarak (pelayanan

kesehatan/puskesmas)

yang

dirasakan

tempat

responden

berobat

mempengaruhi

ketidakteraturan berobat adalah semakin jauh jarak ke tempat berobat semakin tidak patuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Poerbanegoro (1994), menyatakan bahwa jarak tempuh yang jauh dari tempat tinggal ke puskesmas berkaitan dengan sarana transportasi, sehingga bagi penderita yang bertempat tinggal jauh dan sulit mendapat transportasi ke puskesmas dapat tidak teratur berobat (mengambil obat, pemeriksaan dahak ulang dan lain lain). 5.Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain, 5.1. Angka kesembuhan penderita TB paru di kota Binjai masih di bawah target penanggulangan TB secara nasional yaitu 66,2% target >85%. Angka tidak teratur berobat adalah 33,7%. 5.2. Faktor intrinsik yang berpengaruh terhadap ketidakteraturan berobat penderita TB paru di puskesmas adalah: 5.2.1. Pengetahuan yaitu,

penderita yang

pengetahuanya kurang baik terhadap

pengobatan TB paru mempunyai kemungkinan 6,097 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan pada penderita yang pengetahuannya baik terhadap pengobatan TB paru. 5.2.2. Efek samping obat (ESO) yaitu, penderita yang

mengalami ESO terhadap

pengobatan TB paru mempunyai kemungkinan 6,105 kali lebih besar tidak teratur

15

berobat dibandingkan pada penderita tidak mengalami ESO terhadap pengobatan TB paru. 5.3. Faktor ekstrinsik yang berpengaruh terhadap ketidakteraturan berobat penderita TB paru di puskesmas adalah: 5.3.1. Pengawas menelan obat yaitu penderita yang tidak mempunyai PMO pada pengobatan TB paru mempunyai kemungkinan 12,152 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan pada penderita yang mempunyai PMO pada pengobatan TB paru. 5.3.2. Perilaku petugas pelayanan kesehatan yaitu penderita yang tidak puas pada perilaku petugas pelayanan kesehatan mempunyai kemungkinan 10,744 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan dengan penderita yang merasa puas pada perilaku petugas pelayanan kesehatan. 5.3.3. Penyuluhan kesehatan yaitu penderita yang tidak mengerti penyuluhan kesehatan mempunyai kemungkinan 4,062 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan dengan penderita yang mengerti penyuluhan kesehatan. 5.3.4. Jarak rumah ke Puskesmas (pelayanan kesehatan) yaitu penderita yang rumahnya jauh dari puskesmas mempunyai kemungkinan 4,009 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan dengan penderita yang rumahnya dekat dengan puskesmas. 5.3.5. Model yang paling baik untuk memprediksi hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen (ketidakteraturan berobat) berdasarkan hubungan yang paling kuat adalah, pengawas minum obat (PMO), perilaku petugas pelayanan kesehatan, efek samping obat, pengetahuan, penyuluhan kesehatan, jarak ke puskesmas. Variabel tersebut secara bersama sama mempengaruhi ketidakteraturan berobat dan bermakna secara statistik. 5.3.6. Kontribusi variabel tersebut terhadap kejadian ketidak teraturan berobat adalah sebesar 79,3%.

16

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETIDAKTERATURAN BEROBAT PENDERITA TB PARU DI PUSKESMAS KOTA BINJAI TAHUN 2004

MAKALAH/JURNAL

OLEH JOJOR SIMAMORA 027023010

PROGRAM MAGISTER EPIDEMIOLOGI PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2004

17

DAFTAR PUSTAKA . Aditama, Y. T. 2000. Tuberkulosis Diagnosis Terapi Dan Masalahnya. Jurnal Respirologi Indonesia. No. 2. Thn. 9: 8-16. Jakarta. Andreas. 2000. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Kepatuhan Pasien Dalam Perawatan Saluran Akar di FKG UI Jakarta Tahun 1998. Thesis Program Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Ariawan, I. 1998. Besar Dan Metode Sampel Pada Penelitian Kesehatan . University Pres UI. Jakarta. Arikunto, S. 1997. Prosedur Peneliti. Suatu pendekatan praktek. Jakarta.

Rineka Cipta.

Azwar , A. 1996. Pengantar Epidemiologi. Binarupa Aksara. Jakarta. Bahar, A. 1990. Tuberkulosis Paru dalam Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. PABDI. Jakarta. Basuki, B. 2000. Aplikasi Metode Kasus Kontrol. Bagian Kedokteran Komunitas FKUI. Jakarta. Becker, S. 1983. A Psychological of Health Behaviour. Health Values: Achiving High Level Wellness. Volume 7 no 2 April. New york. Chandra, B. 1996. Pengantar Prinsip dan Metode Epidemiologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Darmadi. 2000. Analisis Kualitatif Perilaku Kepatuhan Menelan Obat Penderita TB Paru Di 4 Puskesmas Di Wilayah Kabupaten Ketapang Tahun 2000.Thesis PPS IKM UI. Depok. Depkes R.I. 1993. Pedoman Epidemiologi Tuberkulosis Paru. Sub.Dit P2MPLP. Jakarta. Depkes R.I. 1999. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. Dirjen P2MPLP. Jakarta. Depkes R.I. 2003. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. Dirjen P2MPL. Jakarta. Depkes R.I. 1992. Survey Kesehatan Rumah Tangga. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta.

Depkes R.I. 2002. Survey Kesehatan Rumah Tangga. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta. Dinkes Kota Binjai. 2003. Profil kesehatan Kota Binjai. Sub.Din Bina Program. Binjai. Dirjen P2PL. 2003.Tuberkulosis. http://www.infeksi.com/tuberkulosis. 24 Okt. Duff.R., & Hollingshead. 1986. Sickness and Society. New york. Harper and Row.

18

Faliha, H. N. 2004. TBC Paru Bisa Disembuhkan. http://www.journalnet.com. 25 Januari. Gaffar, A. 2000. Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Pencarian Pertolongan Pengobatan Penderita TB Paru Di Kec Banggai Kabupaten Banggai Kepulauan Tahun 2000. Thesis Program Pasca Sarjana IKM UI. Jakarta. Gani, A. 1999. Aplikasi Indikator Kesehatan dan IPM Dalam Alokasi Anggaran Kesehatan Masyarakat. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia. Depkes. Jakarta. Tahun XXVII, No 1: 5-13. Glenz, K. 1990. Health behavior and health education, theory research and practise. Joosey by publisher. San Fransisco. Green, L. W.

1980. Health Education Planning A diagnostik Approach. mayfield publishing company, first Ed.Philadelpia.

Hidayat, J. 2000.Analisis Ketidakpatuhan Berobat Penderita TB Paru Positip di Kabupaten Pontianak Tahun 1998. Thesis Program Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat UI. Jakarta. Komariah. 2000. Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Ketaatan Berobat Penderita Penyakit Kusta Di Kabupaten Aceh Besar thn 1996-1998. Thesis Program Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat UI. Jakarta. Lewis, H. 1986. Priciples of epidemiology a self teacing guide. University of Texas School of Public Health Houston. Texass. Lubis, F. 1997. Factor Associated With an Unsuccessful Treatment of Pulmonary Tuberculosis in Pontianak Distric West Kalimantan Indonesia in 19961997. Thesis Mahidol university. Bangkok. Lumenta, B. 1989. Pasien, Citra, Peran, dan Perilaku. Tinjauan fenomena sosial. Kanisius. Yogyakarta. Margono, B. 1996. Penanganan Pengobatan gagal pada TB paru, Medika No. 6. Th. 9.: 1934. Miller, F., Horne, N., & Crofyon, J. 1992. Clinical Tuberculosis. The Macmillan Press Limited. Second Edition. Boston. Murti, B. 1995. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Gajah Mada University press. Yogyakarta. Musadad, A. 2004. Hubungan Faktor Lingkungan Rumah dengan Kejadian Penularan TB Paru Di Rumah Tangga. http://www.digilib.litbang.depkes. go.id. 23 September . Muzaham, F. 1995. Sosiologi Kesehatan. Peneribit Universitas Indonesia. Jakarta. Nazar, R. 1997. Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Kepatuhan Berobat Pendrita TB Paru Di Poli Paru Rumah Sakit Persahabatan Jakarta Tahun 1995. Thesis Program Pasca Sarjana FKM UI. Depok . Notoatmojo, S. 2003. Pengantar pendidikan Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Andi Ofset. Yogyakarta.

19

Notoatmojo, S. dan Sarwono, S., 1985. Pengantar ilmu perilaku Kesehatan. Badan Penerbit Kesehatan Masyarakat FKM UI. Jakarta. Paratiknya, W. A. 2003. Dasar Dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. PT Taja Grafindo Persada. Jakarta. Parhusip, R. S., Sugito, Hilaluddin, Sinaga, B., & Silitonga, M. 2003. “Permasalahan Penerapan Sistim DOTS di Kota Medan dan Kabupaten TOBASA” makalah dalam Temu Ilmiah dalam rangka World TB Day 2003. SMF Paru FKUSU/RSUP H. Adam Malik. Medan. Poerbanegoro, S., Tafaal. Z., Notoatmojo. S., Soedarti, Sasongko, A., Sarwono, S., Mamdy, Z., Hasan, A., & Pratomo, H. 1994. Pengantar Pendidikan Kesehatan Masyarakat. FKM UI. Depok. Purwanto, H. 1999. Perilaku Manusia Untuk Keperawatan. Penerbit untuk kedokteran EGC. Jakarta. Rothman, K. J., & Greenland, S. 1998. Modern Epidemiologi. 1nd ed. Lippicot – Raven Publishers. Washington. Sacket, D. L., Hynes, R. B., & Tugwel. P. 1985. Clinical Epidemiology, A Basic Science For Clinic Medicine: Complience, Brown and Co, Boston. Sarafino, E. P. 1990. Health Psycolog: Biopsychosocial Interaction. John Willey and Son. New York. Sarwono, K. 1992. Community Participation In Primary Health Care A Case In Indonesia. Disertasi University Leiden. Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan. Beberapa konsep dan Aplikasinya. Gajah Mada University press. Yogyakarta. Sclhesselman, J. 1982. Case Control Studies, Design, conduct, analysis. Oxford unifersity Press. New york. Senewe, F. P. 1997. Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Keteraturan Berobat Penderita Tuberculosis Paru se Kotif Depok Jawa Barat Tahun 1997. Thesis Program Pasca Sarjana IKM UI. Jakarta. Singarimbun, M., Effendi, S., & Ancok, Dj. 1987. Metode Penelitian Survey. LP3S. Jakarta. Siswanto. 1998. Upaya Menurunkan Putus Berobat Pada Penderita Tuberkulosis Dengan Menggunakan Kartu Berobat TBC. Balitbangkes. Jakarta. Suherman. 1995. Studi Kasus Kontrol Pemanfaatan Pengobatan Tuberkulosis paru BTA (+) di Puskesmas DKI Jakarta 1995. Thesis Program Pasca Sarjana FKM UI. Depok. Suliha, U. 1991. Studi Tentang Kepatuhan Datang Kontrol Penderita TuberkulosisParu Dengan Pengobatan Jangka Pendek Dan Faktor Yang Mempengaruhinya Di RSU Persahabatan 1990. Thesis Program Pasca Sarjana FKM UI. Depok.

20

Toman, K. 1979. Tuberculosis Case Finding & Chemotherapy, Question and Answer. WHO. Genewa. Oesman, H. 2000. Faktor yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Kabupaten Aceh Utara Tahun 1999. Thesis Program Pasca Sarjana IKM UI. Jakarta. Vaughan, J. P., & Morrow,R.H. 1997.Panduan Epidemiologi Bagi Pengelola Kesehatan Kabupaten. Diterjemahkan oleh Hendarmin Aulia dan Husnil Farouk. ITB. Bandung. Wirdani. 2000. Hubungan Keberadaan PMO Dengan Keteraturan Minum Obat Fase Intensif Penderita TB Paru Di Puskesmas Pandeglang Tahun 2000. Thesis Program Pasca Sarjana FKM UI. Jakarta. WHO. 2001. Repot On The Indonesia. WHO Joint Evaluation on National TB Program. Genewa. WHO. 1993. Treatment of Tuberculosis. Guidelines for national program, second edition, WHO/TB/1993. Genewa.

21

Related Documents

Benchmarking 1doc
June 2020 45
Homework.1doc
October 2019 76
Journal
October 2019 56
Journal
June 2020 15
Journal
June 2020 17

More Documents from "sumedh1287"