Ali Ibnu Abbas Al-Majusi: Penemu Teknik Pengolahan Aspal Haly Abbas. Itulah nama panggilan Ali Ibnu Abbas Al-Majusi di Barat. Dokter dan psikolog Mus lim ini turut berjasa dalam mengembang kan teknologi pengolahan aspal men jadi minyak. Ilmuwan dari Persia itu cukup dikenal di Barat lewat buah pikir nya yang berjudul Kitab AlMalikiserta Kitab Kamil as-Sina’a at-Tibbiyya( Com plete Book of the Medical Art). Bu ku teks kedokteran dan psikologi yang ditulisnya itu sangat berpengaruh di Barat. Al-Majusi terlahir di Ahvaz, Persia Tenggara. Ia menimba ilmu dari Syeikh Abu Maher Musa ibnu Sayyar. Ia adalah satu dari tiga dokter terhebat di kekhalifahan Islam bagian timur pada zamannya. Berkat kehebatannya itu, dia pun diangkat menjadi dokter di istana Amir Adhad al-Dowleh Fana Khusraw salah seorang penguasa dari Dinasti Buwaih yang berkuasa dari tahun 949 M hingga 983 M. Ia mendirikan sebuah rumah sakit di Shiraz, Persia, serta Rumah Sakit Al-Adu di di Baghdad pada 981 M. Sebelum masuk Islam, Al-Majusi adalah penganut Zoo raster yang menyembah api. Al-Majusi berhasil mengolah aspal men jadi minyak yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit dan luka kulit. Ia memeras endapan aspal yang dipanaskan untuk diambil airnya. Selama mengabdikan dirinya untuk Amir Dinasti Buwaih, Al-Majusi menulis Kitab al-Maliki( Buku Istana). Buku itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin bertajuk Liber Regalis atau Rega lis Dispositio. Buku ini dianggap lebih sistematis dan lebih ringkas dibanding kan ensiklopedia karya Al-Razi yang ber judul Al-Hawi. Bahkan, dibandingkan dengan The Canon of Medicinekarya Ibnu Sina yang legendaris itu, Kitab Al-Malikiini dipandang lebih praktis. Kitab Al-Malikiterbagi dalam 20 diskursus. 10 bab pertama mengulas teori dan 10 bab sisanya mengupas praktik kedokteran. Kitab karya Al-Majusi itu diterjemahkan oleh Constantinus Afri canus ke dalam bahasa Latin berjudul Liber Pantegni. Buku itulah yang menjadi rujukan teks didirikannya Sekolah Kedokteran Saler nitana di Salerno. Secara utuh, kitab itu diterjemahkan oleh Stephen Antioch pada tahun 1127 M. Buku kedokteran itu lalu dicetak di Venicia pada 1492 dan 1523 M. Dalam karyanya itu, Al-Majusi menekankan pentingnya hubungan yang sehat antara dokter dan pasien. Hubungan itu, kata dia, sangat penting dalam etika kedokteran. Kitab itu juga mengupas secara detail metodologi ilmiah yang berkaitan dengan riset biomedikal modern. Secara khusus, sang ilmuwan juga mengupas seluk-beluk masalah psikologi dalam bu ku nya The Complete Art of Medicine. hri Ali Ibnu Abbas Al-Majusi aly Abbas. Itulah nama panggilan Ali Ibnu Abbas Al-Majusi di Barat. Dokter dan psikolog Mus lim ini turut berjasa dalam mengembang kan teknologi pengolahan aspal men jadi minyak. Ilmuwan dari Per sia itu cu kup dikenal di Barat lewat bu ah pikir nya yang berjudul Kitab AlMalikiserta Kitab Kamil as-Sina’a at-Tibbiyya( Com plete Book of the Medical Art). Bu ku teks kedokteran dan psikologi yang ditulisnya itu sangat berpengaruh di Barat. Al-Majusi terlahir di Ahvaz, Persia Teng gara. Ia menimba ilmu dari Syeikh Abu Maher Musa ibnu Sayyar. Ia adalah satu dari tiga dokter terhebat di kekhalifahan Islam bagian timur pada zamannya. Ber kat kehebatannya itu, dia pun diangkat men jadi dokter di istana Amir Adhad al-Dowleh Fana Khusrawsalah seorang penguasa dari Dinasti Buwa ih yang ber kuasa dari tahun 949 M hingga 983 M. Ia mendirikan sebuah rumah sakit di Shiraz, Persia, serta Rumah Sakit Al-Adu di di Baghdad pada 981 M. Sebelum ma suk Islam, Al-Majusi adalah pe nganut Zoo raster yang
menyembah api. Al-Majusi berhasil mengolah aspal men jadi minyak yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit dan luka kulit. Ia memeras en dapan aspal yang dipa naskan untuk diambil airnya. Selama mengabdikan dirinya untuk Amir Dinasti Buwaih, Al-Majusi menulis Kitab al-Maliki( Buku Istana). Buku itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin bertajuk Liber Regalis atau Rega lis Dispositio. Buku ini dianggap lebih sistematis dan lebih ringkas dibanding kan ensiklopedia karya Al-Razi yang ber judul Al-Hawi. Bahkan, dibandingkan dengan The Canon of Medicinekarya Ibnu Sina yang legendaris itu, Kitab Al-Malikiini dipandang lebih praktis. Kitab Al-Malikiterbagi dalam 20 dis kursus. 10 bab pertama mengulas teori dan 10 bab sisanya mengupas praktik kedokteran. Kitab karya Al-Majusi itu diterjemahkan oleh Constantinus Afri canus ke dalam bahasa Latin berjudul Liber Pantegni. Buku itulah yang menjadi rujukan teks didirikannya Sekolah Kedokteran Saler nitana di Salerno. Secara utuh, kitab itu diterjemahkan oleh Stephen Antioch pada tahun 1127 M. Buku kedokteran itu lalu dicetak di Venicia pada 1492 dan 1523 M. Dalam karyanya itu, Al-Majusi me nekankan pentingnya hubungan yang sehat antara dokter dan pasien. Hubungan itu, kata dia, sangat penting dalam etika kedokteran. Kitab itu juga mengupas secara detail metodologi ilmiah yang berkaitan dengan riset biomedikal modern. Secara khusus, sang ilmuwan juga mengupas seluk-beluk masalah psikologi dalam bu ku nya The Complete Art of Medicine.
Al-Mawardi Pemikiran Termasyhur di Zaman Kekhalifahan Alboacen. Begitu peradaban Barat biasa menyebut pemikir dan pakar ilmu politik termasyhur di era Kekhalifahan Abbasiyah ini. Ilmuwan legendaris di abad ke-10 M itu diakui dunia sebagai salah seorang peletak dasar keilmuan politik Islam. Gagasan dan pemikirannya tentang ilmu politik yang dituangkan dalam bukunya yang amat fenomenal berjudul, Al-Ahkam al- Sultania w’al-Wilayat al-Diniyya, hingga kini masih tetap diperbincangkan. Selain menguasai ilmu politik, inte lektual Muslim bernama Al-Mawardi ini juga dikenal sebagai ahli hukum, pakar ilmu hadis, serta sosiolog Muslim terkemuka. Ia sempat mengabdikan dirinya menjadi ahli hukum di sekolah fikih. Dalam bidang ini, sang pemikir Muslim itu melahirkan dasar-dasar yurisprudensi yang reputasinya begitu monumental bertajuk, Al-Hawi, yang terdiri atas 8.000 halaman. Kemampuannya dalam bidang hukum yang begitu mumpuni membuat Al-Mawardi berkali-kali diangkat sebagai hakim (qadhi) di berbagai provinsi.Ke lihaiannya dalam melakukan lobi-lobi politik juga membuat khalifah mendau latnya sebagai duta keliling pemerintahan Abbasiyah. Ketika situasi politik kenegaraan bergolak, Al-Mawardi pun tampil sebagai tokoh pemersatu. Sebagai seorang pemikir yang independen, Al- Mawardi terus menyuara kan mediasi antara dua kekuatan yang bertikai pada zamannya, yakni pemerintahan Abbasiyah dan militer Syiah Buyid. Ia tak memihak pada satu kubu, melainkan tampil sebagai tokoh yang netral. Tak salah, jika seorang orientalis menyebut ulama penganut madzhab Syafi’i bernama lengkap, Abu al Hasan Ali bin Habib Al-Mawardi, ini sebagai Khatib of Baghdad. Sejatinya, Al-Mawardi adalah putra dari seorang saudagar minyak mawar. Ia terlahir di pusat kota peradaban Islam klasik, Basrah, pada 386 H/975 M. Al-Mawardi kecil menempuh pendidikan dasar di tanah kelahirannya. Ilmu hukum telah membetot perhatiannya sejak masih remaja. Ia lalu berguru kepada seorang pakar hukum madzhab Syafi’i terkemuka bernama, Abul Qasim Abdul Wahid as-Saimari. Setelah menguasai ilmu hukum Islam (fikih), Al-Mawardi akhirnya memutuskan hijrah ke
Baghdad untuk menimba ilmu lainnya. Ia memutuskan untuk berguru ilmu hukum, tata bahasa, dan sastra pada Syeikh Abdul Hamid Al-Isfraini dan Abdullah Al- Bafi. Berkat otaknya yang encer, dalam waktu singkat Al-Mawardi pun telah menguasai beragam ilmu,seperti hadis, fikih, politik, filsafat, etika, dan sastra. Kemampuannya dalam mengusai beragam ilmu itu mengantarkannya pada sebuah perjalanan karier yang cemerlang. Menjadi hakim merupakan jabatan pertama yang ditawarkan khalifah kepadanya. Keberhasilannya sebagai hakim di berbagai dae rah kekuasaan Abbasiyah mengantarkannya pada jabatan yang lebih tinggi. Hingga akhirnya, AlMawardi mencapai puncak karier dalam bidang kehakiman saat diangkat sebagai hakim ketua di Baghdad. Prestasinya yang begitu cemerlang membuat Khalifah Abbasiyah, Al-Qaim bin Amrullah, memercayainya sebagai duta besar keliling kekhalifahan. Ia bertugas dari satu negara ke negera lainnya sebagai pimpinan misi khusus Pemerintah Abbasiyah. Ia memainkan peranan yang penting untuk tetap menjaga hubungan diplomatik antara Kekhalifahan Abbasiyah yang mulai meredup dengan Dinasti Buwaih dan Seljuk yang mulai menguat. Keandalannya dalam berdiplomasi membuat pemerintahan Islam lain yang sedang menguat menaruh hormat pada sang duta besar. Tak heran, jika berkunjung ke sebuah negara, Al-Mawardi selalu mendapatkan hadiah dan cendera mata dari para sultan pada zaman itu. Ia pun menjadi saksi ketika Baghdadpusat pemerintahan Abbasiyah diambil alih Dinasti Buwaih. Kontribusinya bagi peradaban Islam dalam bidang ilmu politik dan sosiologi sungguh amat tak ternilai. Al-Mawardi telah melahirkan sebuah buku terbesar dalam khazanah peradaaban Islam, yakni Kitab al-Ahkam al-Sultania. Selain itu, ia juga menulis buku termasyhur lainnya berjudul, Qanun al-Wazarah, serta Kitab Nasihat al-Mulk. Bukubuku yang ditulisnya itu membahas tentang dasardasar ilmu politik. Secara detail dan lugas, dalam buku politiknya Al-Mawardi mengupas tentang fungsi dan tugas khalifah, perdana menteri, menteri-menteri, hubungan antara berbagai elemen publik dengan pemerintah, serta langkah-langkah untuk menguatkan pemerintahan dan memastikan kemenangan dalam peperangan. Dua bukunya yang berjudul, Al-Ahkam al-Sultaniah serta Qanun al-Wazarah, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Itulah yang membuat Al-Mawardi termasyhur di seantero dunia hingga abad ini. Ia juga diyakini sebagai seorang penulis Doctrine of Necessity dalam ilmu politik. Al-Mawardi telah meletakkan prinsip-prinsip yang jelas tentang pemilihan khalifah dan kualitas pemilihnya. Kitab Al-Ahkam al-Sultania diyakini para seja rawan ditulis Al-Mawardi atas permintaan dari salah seorang Khalifah Abbasiyah di Baghdad. Hal itu tercantum dalam prakata buku yang legendaris itu. Bukunya yang fenomenal itu telah diakui seba gaikarya klasik dalam bidang politik. Tak hanya diperbin cangkan di kalangan intelektual Arab, Al-Ah kam al-Sultaniah pun menjadi kajian para orientalis. Tak heran, kalau pemikiran Al-Mawardi kerap dikutip dalam berbagai buku diskursus tentang hukum Islam dan pemerintahan. Tak melulu membahas kekuasaan, buku ini juga telah memperkenalkan batas-batas negara, reklamasi tanah, suplai air, pajak, serta hal-hal lain yang begitu detail tentang tugas dan hubungan negara dengan rakyatnya. Dalam bidang etika, Al-Mawardi menulis kitab berjudul, Aadab al-Dunya wa al-Din. Kitab ini sa ngat populer dan tema-tema yang dibahas di dalamnya masih menjadi bahan kajian di beberapa negara Islam. Sebagai salah seorang pemikir ilmu politik terkemuka di abad pertengahan, pemikiran-pemikirannya telah memberi pengaruh yang begitu besar bagi pengembangan ilmu politik serta sosiologi. Pemikirannya tentang sosiologi pada zaman berikutnya dilanjutkan oleh Ibnu Khaldun. Pengaruh pemikiran Al-Mawardi terhadap Bapak Sosiologi dunia itu terlihat pada karya Nizamul Mulk Tusi, yakni Siyasat Nama, dan Prolegomena karya Ibnu Khaldun. Salah satu ciri khas Al-Mawardi adalah selalu memberikan pandangan dalam sudut pandang yang berbeda. Inilah ciri khas pemikir yang independen, netral, dan tak memihak pada satu
kelompok atau golongan. Pakar politik seperti ini sangat sulit ditemukan pada zaman modern.Al-Mawardi tutup usia pada 1058 M. Meski begitu, namanya tetap abadi dan akan dikenang sepanjang masa. heri ruslan Setelah menguasai ilmu hukum Islam (fikih), Al-Mawardi akhirnya memutus kan hijrah ke Baghdad untuk menimba ilmu lainnya. Ia memutuskan untuk berguru ilmu hu kum, tata bahasa, dan sastra pada Syeikh Abdul Hamid Al-Isfraini dan Abdullah Al-Bafi. Berkat otaknya yang encer, dalam waktu sing kat Al-Mawardi pun telah menguasai beragam ilmu, seperti hadis, fikih, politik, filsafat, etika, dan sastra.
AL-MUQADDASI, Geografer Muslim Fenomenal dari Yerusalem ”Hierosolomite”. Begitulah peradaban Barat kerap menyebut Al- Muqaddasi geografer Muslim terkemuka pada abad ke-10 M ini. Ilmuwan asal Al-Quds (Yerusalem) ini merupakan salah seorang penulis tentang masyarakat Islam terhebat di dunia. Sejarah mengabadikannya sebagai geografer andal yang telah melahirkan sebuah karya geografi monumental. Buah karya sang geografer yang paling populer adalah kitab Ahsan at-Taqasim fi Ma’arifat AlAqalim. Dalam kitab itu, Al- Muqaddasi mengupas secara lugas dan jelas seluk-beluk pengetahuan tentang pembagian wilayah. Kitab yang ditulisnya pada 985 M itu sungguh sangat mengagumkan. “Tak ada satu pun kajian geografi modern yang terlewatkan oleh AlMuqaddasi,” cetus ilmuwan Barat, JH Kramers. Tak salah pula jika sejarawan asal Prancis mendaulat Al-Muqaddasi sebagai ‘pencipta ilmu geografi yang total’. Sejarah juga mencatat Al-Muqaddasi sebagai geografer perintis yang mampu melukiskan secara detail tempat-tempat yang pernah disinggahinya. Ia tak cuma menggambarkan kondisi geografis sebuah wilayah, namun mencapai berbagai aspek dalam kehidupan manusia. Dalam karyanya yang amat monumental —Ahsan at-Taqasim fi Ma’rifat al- Aqalim—AlMuqaddasi pun memberikan gambaran tentang jumlah penduduk, adat istiadat, aktivitas perdagangan, mata uang, kelompok sosial, monumen-monumen arkeologi, alat ukur atau timbangan, hingga pada kondisi politik sebuah masyarakat. Itulah yang membuat peradaban Barat berdecak kagum atas kecerdasan seorang Al-Muqaddasi. Buah pikir yang ditulisnya pada akhir abad ke-10 M itu masih tetap menjadi perbincangan menarik di kalang geografer Barat abad ke-19 M. Adikaryanya dibawa ke Eropa oleh orientalis berkebangsaan Jerman, Aloys Sprenger. Ahsan al-Taqasim fi Ma’rifat al-Aqalim dinilai sejarawan dan geografer Barat sebagai sebuah karya yang sungguh sangat menakjubkan. Tak tanggung-tanggung, kehebatan karya Al-Muqaddasi telah diklaim sebagai yang terhebat sepanjang zaman—tak ada yang mampu menandinginya. Ia telah memberi begitu banyak insiprasi bagi para geografer modern. Metode-metode yang dikembangkannya hingga kini masih tetap digunakan. Salah satunya mengenai pemakaian peta yang terbukti sangat berguna dalam kehidupan modern. Pendekatan ilmiah yang digunakan Al- Muqaddasi dalam menulis karya geografi sangat berbeda dengan ilmuwan sebelumnya. Bagi dia, geografi tak hanya terkungkung dalam batasan letak geografis. Secara memukau, ia mampu menyuguhkan penjelasan mengenai dasar-dasar dan fungsi masyarakat Islam dari sebuah wilayah yang pernah dikunjunginya. Kemampuan sebuah komunitas untuk mengatasi berbagai hambatan alam juga menjadi hal yang menarik perhatiannya. Secara tak terduga, penjelasan tentang masalah ini telah memberi inspirasi bagi masyarakat lain yang membacanya. Dengan membaca tulisannya yang detail dan terperinci, masyarakat lain akan terlecut semangatnya untuk melahirkan
sebuah penemuan. Dalam bukunya yang monumental, Al- Muqaddasi misalnya menggambarkan secara detail tentang pengelolaan air dan teknologi hidrolik. Teknologi itu sudah digunakan masyarakat Mesir di abad ke-10 M untuk mengelola air dan menjamin berjalannya sistem pertanian. Selain itu, masalah fiskal, keuangan, mata uang, serta fluktuasi yang terjadi di dalamnya juga menjadi perhatian Al-Muqaddasi. Ia menceritakan, semua provinsi di wilayah Irak hingga perbatasan Damaskus sudah menggunakan mata uang dinar dan dirham. Masyarakat Muslim di wilayah itu juga mengenal istilah rub yang bernilai seperempat dinar dan qirat bernilai setengah dirham. Terdapat pula khurnaba yang bernilai seperempat, seperdelapan, dan seperenam belas bagian. Pergantian dari satu mata uang ke mata uang lainnya juga menjadi perhatian lainnya, Pendapatan masyarakat di sebuah wilayah juga menarik perhatiannya. Suatu waktu, AlMuqaddasi mengunjungi Provinsi Yaman. Ia mencatat wilayah Hadramaut memiliki pendapatan sebesar seratus ribu dinar. Al-Yaman serta Al-Bayrayn masing-masing memiliki pendapatan enam ratus ribu dinar dan lima ratus ribu dinar. Lalu, bagaimana jejak hidup sang geografer? Ada yang menyebut nama lengkap sang ilmuwan adalah Muhammad ibnu Ah - mad Shams al-Din Al-Muqaddasi. Namun, ada pula yang menulis nama lengkapnya Abu Abdullah Mohammed bin Ahmad bin al-Bana Al-Bashari Al-Maqdisi. Nama populernya— Al-Muqad dasi—diambil dari kota kelahirannya, yakni AlQuds. Ia terlahir di kota suci ketiga bagi umat Islam itu pada 945 M. Kakeknya bernama Al-Bana, seorang arsitek terkemuka yang bekerja pada Ibnu Tulun. Menurut Al- Muqaddasi, sang ayah dipercaya sebagai arsitek pelabuhan laut Acre. Sang geografer andal ini mendapat berkah untuk mengenyam pendidikan yang berkualitas setelah menunaikan ibadah haji di Tanah Suci pada usia 20 tahun. Sepulang dari Makkah, ia memilih jalan hidupnya untuk mengembangkan studi geografi. Demi mewujudkan impiannya itu, Al-Muqaddasi pun melanglang buana ke berbagai negara dan tempat. Ekspedisi yang dilakukannya itu telah mengantarkannya untuk menyinggahi seluruh negara-negara Islam. Pada 985 M, hasil perjalanannya ke berbagai negara Islam itu dituliskannya secara sistematis. “Penggambarannya tentang Palestina, khususnya Yerusalem, tanah kelahirannya, merupakan salah satu yang terbaik dalam karyanya,” puji Guy Le Strange (1890 M) mengomentari buah karya Al-Muqaddasi dalam bukunya berjudul, Palestine Under The Muslim. Konon, sang ilmuwan tak cuma menggunakan potensi dirinya saat menulis adikarya. Ia senantiasa memohon pertolongan dan bantuan dari Sang Khalik. Ada satu hal yang patut ditiru dari sang ilmuwan dalam menjaga ketajaman ingatannya. AlMuqaddasi tak pernah lalai untuk selalu berinteraksi dengan Allah SWT. Meski begitu, ilmuwan Muslim ini pun tak pernah lepas dari dugaan sebagai seorang agen pemerintahan Dinasti Fatimiyah Mesir. Terlepas dari dugaan itu, Al-Muqaddasi tetaplah seorang geografer Muslim yang mendapat pengakuan dari peradaban Islam dan Barat. Kota dalam Pandangan Al-Muqaddasi Apa beda sebuah kota besar dengan kota kecil? Bila pertanyaan itu diajukan kepada AlMuqaddasi maka jawabannya, “lihatlah masjid dan mimbarnya.” Geografer Muslim kenamaan ini memang mampu membedakan sebuah kota besar ( city) dengan kota kecil ( town) dengan melihat bangunan masjid dan mimbarnya. Semakin megah bangunannya serta indah mimbar sebuah masjid di sebuah wilayah, menunjukkan posisi daerah itu. Masjid dan mimbar, menurut Al-Muqaddasi, merupakan simbol otoritas Islam. Sebagai geografer yang brilian, ia sangat tertarik dengan kondisi
masyarakat Islam perkotaan, evolusinya, keberagaman, hingga kompleksitasnya. Sebuah pencapaian yang belum terpikirkan geografer sebelumnya. Ia pun mampu menetapkan sebuah daerah layak menjadi ibu kota. Menurut Al-Muqaddasi, jika diibaratkan ibu kota adalah jenderal sedangkan kota-kota kecil adalah pasukannya. Dalam kajian geografi yang dilakukannya, Al-Muqaddasi pun mencoba menyelidiki struktur pertahanan sebuah kota. Jika datang ke sebuah kota, Al- Muqaddasi akan menyelidiki tembok yang mengelilingi kota itu. Berapa tingginya, seberapa ketebalannya, jarak antartembok, kubu pertahanan, akses di dalam dan di luar, lokasinya menurut topografi umum, hubungannya dengan tempat peristirahatan, serta lainnya menjadi perhatian sang geografer. Dengan kajian seperti itu, ia mampu menilai kekuatan pertahanan sebuah kota. Hal lainnya yang mengundang perhatian Al-Muqaddasi dari sebuah kota adalah geliat perekonomiannya. Maju tidaknya sebuah kota dapat dilihat Al-Muqaddasi dari perdagangan, pertukaran, serta perekonomian secara keseluruhan yang terjadi di kota itu. Al-Muqaddasi pun melakukan studi pasar. Bagaimana pasang-surut sebuah pasar. Ia pun sampai-sampai menggali informasi tentang besaran biaya yang dikeluarkan setiap orang untuk kesehatan di sebuah kota. Selain itu, dia juga mengorek data untuk mengetahui sumber pendapatan, baik harian maupun bulananan, serta bagaiamana pendapatan itu disalurkan. Untuk mendapat informasi yang akurat dari sebuah kota, Al-Muqaddasi pun akan mencari informasi bagaimana kehidupan di sebuah tempat berlangsung. Faktor-faktor yang digalinya adalah sikap masyarakat, kebersihan, serta moralitasnya. Penelitian ini dilakukannya di setiap kota yang dikunjunginya. Selain itu, Al-Muqaddasi pun selalu mencoba untuk menghubungkan antara topografi dengan perkembangan perkotaan. Pada abad ke-10 M, ia sudah mampu meneropong masa depan Arab Saudi. Menurut dia, lautan yang terdapat di sekitar jazirah itu akan menjadi daya tarik bagi setiap orang untuk mengunjunginya. ‘’Membuka batas antara laut akan mampu meningkatkan perdagangan,’‘ ungkap sang geografer. Ia juga mampu memprediksi masa depan pertumbuhan perekonomian suatu daerah dari kajian geografi yang detail dan mendalam. Selain itu, Al- Muqaddasi juga melakukan penelitian mengenai dampak iklim dan tempat terhadap bentuk fisik penduduknya. Tempat yang dingin seperti Khwarizmidan Ferghana membuat penduduknya menebalkan jenggot serta badannya lebih gemuk. Hal lain yang juga dikajinya adalah cara berpakaian, makanan, serta dialek bahasa dari setiap kota yang dikunjunginya. Al-Muqaddasi memang pantas disebut geografer yang jenius. Perdaban modern telah berutang budi terhadap dedikasi dan terobosan serta penemuan metode penelitian yang telah ditemukan sang ilmuwan asal Yerusalem itu.
Arsitektur di Era Kekhalifahan Umayyah Selama 89 tahun berkuasa, Dinasti Umayyah (661-750) mampu memperluas wilayah kekuasaan Islam. Kekhalifahan Umayyah yang berpusat di Damaskus, Suriah, mengatur wilayah kekuasaannya hingga ke Tashken di wilayah timur dan hingga wilayah pegunungan Pyrenee di sebelah barat. Kekhalifahan Umayyah sudah mampu mengatur pemerintahan dan perdagangan. Ditopang perekonomian yang kuat, Dinasti Umayyah telah mampu melakukan pembangunan.
Di era inilah mulai dibangun Masjid Kubah Batu ( Dome of Rock) di Yerusalem dan Masjid Agung di Damaskus yang dikenal dengan nama Masjid Agung Umayyah. Periode kejayaan Umayyah ditandai dengan pencapaian dalam bidang arsitektur. Dikuasainya wilayah Irak, Iran, dan Suriah oleh umat Islam berkontribusi dalam perkembangan seni dan arsitektur. Dinasti Umayyah telah memberi peran dan pengaruh yang besar dalam arsitektur Masjid. Pada 673 M, Muawiyahpemimpin pertama Dinasti Umayyah--mulai memperkenalkan menara. Menara masjid pertama dibangun pada Masjid Amr Ibn-Al-Ash. Di masjid itu, ia membangun empat menara sebagai tempat untuk mengumandangkan adzan. Dalam proses pembangunan Masjid Agung Umayyah, dinasti ini juga mulai memperkenalkan sejumlah teknik arstitektur baru khas Islam. Salah satunya adalah lengkungan pada arsitektur masjid. Pada era kekuasaan Dinasti Umayyah yang ditandai dengan kemakmuran juga diperkenalkan elemen-elemen fungsional dan struktural utama dalam arsitektur masjid, seperti menara, mihrab, maksurah, dan kubah. Seni dekorasi juga mulai berkembang menjadi seni Islami melalui penggunaan kalgrafi dengan tulisan indah kufi. Kaca mozaik juga mulai diperkenalkan pada masa itu. Setelah ditumbangkan Dinasti Abbasiyah pada 750 M, Dinasti Umayyah juga turut membangun sederet karya arsitektur monumental di Spanyol. Hingga kini, karya arsitektur peninggalan Dinasti Umayyah masih mengagumkan.
Blues, Musik yang Berakar dari Tradisi Islam Pengaruh lainnya yang diberikan komunitas kulit hitam yang beragama Muslim di Amerika terhadap musik Blues adalah alat-alat musik yang bisa mereka mainkan. Pada era perbudakan di Amerika, orang kulit putih melarang mereka untuk menabuh drum, karena khawatir akan menumbuhkan semangat perlawanan para budak Blues dikenal sebagai sebuah aliran musik vokal dan instrumental yang berasal dari Amerika Serikat (AS). Musik yang mulai berkembang pesat pada abad ke-19 M itu muncul dari musikmusik spiritual dan pujian yang biasa dilantunkan komunitas kulit hitam asal Afrika di AS. Musik yang menerapkan blue note dan pola call and response itu diyakini publik AS dipopulerkan oleh 'Bapak Blues'--WC Handy (1873-1958). Percayakah Anda bahwa musik Blues berakar dari tradisi kaum Muslim? Awalnya, publik di negeri Paman Sam pun tak meyakininya. Namun, seorang penulis dan ilmuwan serta peneliti pada Schomburg Center for Research in Black Culture di New York, Sylviane Diouf, berhasil meyakinkan publik bahwa Blues memiliki relasi dengan tradisi masyarakat Muslim di Afrika Barat. Untuk membuktikan keterkaitan antara musik Blues Amerika dengan tradisi kaum Muslim, Diouf memutar dua rekaman. Yang pertama diperdengarkannya kepada publik yang hadir di sebuah ruangan Universitas Harvard itu adalah lantunan adzan--panggilan bagi umat Islam untuk menunaikan ibadah shalat. Setelah itu, Diouf memutar Levee Camp Holler. Rekaman kedua itu adalah lagu Blues lawas yang pertama kali muncul di Delta Mississippi sekitar 100 tahun yang lalu. Levee Camp Holler bukanlah lagu blues yang terbilang biasa. Lagu itu diciptakan oleh komunitas kulit hitam Muslim asal Afrika Barat yang bekerja di Amerika pasca-Perang Sipil. Lirik lagu Levee Camp Holler yang diperdengarkan Diouf itu terdengar seperti panggilan suara adzan--berisi tentang keagungan Tuhan. Seperti halnya lantunan adzan, lagu Levee Camp Holler itu menekankan kata-kata yang terdengar bergetar. Menurut Diouf, langgam yang sengau antara lagu Blues Levee Cam Holler yang mirip adzan juga merupakan bukti adanya pertautan antara keduanya.
Publik yang hadir di ruangan itu pun takjub dengan kebenaran bukti yang diungkapkan Diouf. "Tepuk tangan pun bergemuruh, sebab hubungan antara musik Blues Amerika dengan tradisi Muslim jelas-jelas terbukti," papar Diouf. "Mereka berkata, 'Wow, benar-benar terdengar sama. Blues ternyata benar berakar dari sana (tradisi Islam)'." Jonathan Curiel dalam tulisannya bertajuk, Muslim Roots, US Blues, mengungkapkan bahwa publik Amerika perlu berterima kasih kepada umat Islam dari Afrika Barat yang tinggal di Amerika. Sekitar tahun 1600 hingga pertengahan 1800 M, banyak penduduk kulit hitam dari Afrika Barat yang dibawa paksa ke Amerika dan dijadikan budak. Menurut para sejarawan, sekitar 30 persen budak dari Afrika Barat yang dipekerjakan secara paksa di Amerika itu adalah Muslim. "Meski oleh tuannya dipaksa untuk menganut Kristen, namun banyak budak dari Afrika itu tetap menjalankan agama Islam serta kebudayaan asalnya," cetus Curiel. Mereka tetap melantunkan ayat-ayat Alquran setiap hari. Namun, sejarah juga mencatat bahwa para pelaut Muslim dari Afrika Barat adalah yang pertama kali menemukan benua Amerika sebelum Columbus. "Tak perlu diragukan lagi, secara historis kaum Muslimin telah memberi pengaruh dalam evolusi masyarakat Amerika beberapa abad sebelum Christopher Columbus menemukannya," tutur Fareed H Numan dalam American Muslim History A Chronological Observation. Sejarawan Ivan Van Sertima dalam karyanya, They Came Before Columbus, membuktikan adanya kontak antara Muslim Afrika dengan orang Amerika asli. Dalam African Presence in Early America, Van Sertima menemukan fakta bahwa para pedagang Muslim dari Arab juga sangat aktif berniaga dengan masyarakat yang tinggal di Amerika. "Columbus juga tahu bahwa Muslim dari pantai barat Afrika telah tinggal lebih dulu di Karibia, Amerika Tengah, Selatan, dan Utara," papar Van Sertima. Umat Islam yang awalnya berdagang telah membangun komunitas di wilayah itu dengan menikahi penduduk asli. Curiel menambahkan, pengaruh lainnya yang diberikan komunitas kulit hitam yang beragama Muslim di Amerika terhadap musik Blues adalah alat-alat musik yang bisa mereka mainkan. Pada era perbudakan di Amerika, orang kulit putih melarang mereka untuk menabuh drum, karena khawatir akan menumbuhkan semangat perlawanan para budak. Namun, penggunaan alat musik gesek yang biasa dimainkan umat Islam dari Afrika masih diizinkan untuk dimainkan karena dianggap mirip biola. Guru Besar Ethnomusikologi dari Universitas Mainz, Jerman, bernama Prof Gehard Kubik mengatakan alat musik banjo Amerika juga berasal dari Afrika. Secara khusus, Prof Kubik menulis sebuah buku tentang relasi musik Blues dengan peradaban Islam di Afrika Barat berjudul, Africa and the Blues, yang diterbitkan University Press of Mississippi pada 1999. "Saya yakin banyak penyanyi Blues saat ini yang tak menyadari bahwa pola musik mereka meniru tradisi musik kaum Muslim di Arab," cetusnya. Secara akademis Prof Kubik telah membuktikannya. "Gaya vokal kebanyakan penyanyi Blues menggunakan melisma, intonasi bergelombang. Gaya vokal seperti itu merupakan peninggalam masyarakat di Afrika Barat yang telah melakukan kontak dengan dunia Islam sejak abad ke-7 dan 8 M," paparnya. Melisma menggunakan banyak nada dalam satu suku kata. Sedangkan, intonasi bergelombang merupakan rentetan yang beralih dari mayor ke skala minor dan kembali lagi. Hal itu sangat umum digunakan saat kaum Muslim melantunkan adzan dan membaca Alquran. Dengan fakta itu, papar Prof Kubik, para peneliti musik seharusnya mengakui bahwa Blues berakar dari tradisi Islam yang berkembang di Afrika Barat. Meski telah dibuktikan secara akademis, namun masih banyak pula yang tak mengakui
adanya pengaruh tradisi masyarakat Muslim Afrika dalam musik Blues. "Non-Muslim sangat sulit untuk meyakini fakta itu, karena mereka tak memiliki pengetahuan yang cukup tentang peradaban Islam dan musik Islami," ungkap Barry Danielian, seorang pemain terompet yang tampil bersama Paul Simon, Natalie Cole, dan Tower of Power. Suara lantunan adzan dan ayat-ayat Alquran yang biasa dilantunkan para Muslim kulit hitam di Amerika mengandung musikalitas. "Dalam jamaah saya, kata Danielian yang tinggal di Jersey City, New Jersey, 'Ketika kami berkumpul dan sang imam datang ada ratusan orang dan kami melantunkan doa, pasti terdengar sangat musikal. Anda akan mendengar musikal itu seperti orang Amerika menyebut Blues.'" Begitulah tradisi Islam di AS telah melahirkan sebuah aliran musik bernama Blues. Musik dalam Peradaban Islam Bagaimanakah Islam memandang musik? Ada dua pandangan di dalam Islam terhadap musik. Ada ulama yang membolehkan dan ada pula yang melarangnya. Perbedaan ini muncul lantaran Alquran tak membolehkan dan melarangnya. Ulama terkemuka Dr Yusuf Al-Qardawi dalam bukunya, Al-Halaal wal Haraam fil Islam, memperbolehkan musik dengan sejumlah syarat. Sebenarnya, sejumlah ritual keagamaan yang dijalankan umat Islam mengandung musikalitas. Salah satu contohnya adalah alunan adzan. Selain itu, ilmu membaca Alquran atau ilm al-qiraah juga mengandung musik. Meski begitu, Al-Albani melarang umat Islam untuk bermusik. Ia mendasarkannya pada salah satu hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari. "Akan ada dari ummatku kaum yang menghalalkan zina, memakai sutra, minuman keras, dan alat-alat musik." Secara umum, umat Islam memperbolehkan musik. Bahkan, di era kejayaannya, umat Islam mampu mencapai kemajuan dalam bidang seni musik. Terlebih lagi, musik dan puisi menjadi salah satu tradisi yang berkembang di Semenanjung Arab sebelum kedatangan Islam. Pencapaian peradaban Islam dalam bidang musik tercatat dalam Kitab Al-Aghani yang ditulis oleh Al-Isfahani (897 M-967 M). Dalam kitab itu, tertulis sederet musisi di zaman kekhalifan, seperti Sa'ib Khathir (wafat 683 M), Tuwais (wafat 710 M), dan Ibnu Mijjah (wafat 714 M). Penyebaran Islam ke seluruh penjuru jazirah Arab, Persia, Turki, hingga India, semuanya memilik tradisi musik. Seni musik berkembang pesat di era kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Para ilmuwan Muslim banyak menerjemahkan risalah musik dari Yunani--terutama ketika Khalifah Al-Ma'mun berkuasa. Para Khalifah Abbasiyah pun turut mensponsori para penyair dan musisi. Salah satu musisi yang karyanya diakui dan disegani adalah Ishaq Al-Mausili (767 M-850 M). Pada awal berkembangnya Islam, musik diyakini sebagai cabang dari matematika dan filsafat. Tak heran, jika matematikus dan filosof Muslim terkemuka, Al-Kindi (800 M-877 M), adalah ahli teori musik yang kesohor. Al-Kindi juga tercatat sebagai ilmuwan yang menjadikan musik untuk pengobatan dan penyembuhan penyakit. Ia menulis tak kurang dari 15 kitab tentang musik, namun yang masih ada tinggal lima. Al-Kindi adalah orang pertama yang menyebut kata 'musiqi'. Tokoh Muslim lainnya yang juga banyak menyumbangkan pemikirannya bagi musik adalah Al-Farabi (870 M-950 M). Ia tinggal di Istana Saif al-Dawla Al-Hamdan¡ di kota Aleppo. Matematikus dan filosof ini juga sangat menggemari musik serta puisi. Selama tinggal di istana itu, Al-Farabi mengembangkan kemampuan musik serta teori tentang musik. Al-Farabi juga diyakini sebagai penemu dua alat musik, yakni rabab dan qanun. Ia menulis tak kurang dari lima judul kitab tentang musik. Salah satu buku musiknya yang populer bertajuk, Kitabu al-Musiqa to al-Kabir, atau The Great Book of Music. Berisi teori-teori musik dalam Islam.
Pemikiran Al-Farabi dalam bidang musik masih kuat pengaruhnya hingga abad ke-16 M. Kitab musik yang ditulisnya itu sempat diterjemahkan oleh Ibnu Aqnin (1160 M-1226 M) ke dalam bahasa Ibrani. Selain itu, karyanya itu juga dialihbahasakan ke dalam bahasa latin berjudul De Scientiis dan De Ortu Scientiarum. Salah satu ahli teori musik Muslim lainnya adalah Ibnu Sina.
BUAH PIKIR SANG PAKAR POLITIK Kitab Al-Ahkaam Al-Shultaniah (Hukum-hukum Kekuasaan) begitu fenomenal. Buah pikir AlMawardi tentang ilmu politik itu telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Kitab yang monumental itu merupakan adikarya sang pakar politik. Dalam kitab itulah, pemikiran dan gagasan Al-Mawardi tentang politik tercurah dengan begitu jelas. Tak hanya berlaku pada masanya, prinsipprinsip politik kontemporer dan kekuasaan yang dicetuskannya hingga kini masih tetap menjadi wacana yang menarik diperbincangkan bahkan diperdebatkan. Buku dasardasar ilmu politik itu mencakup berbagai hal, seperti pengangkatan imamah (kepala negara/pemimpin), pengangkatan menteri, gubernur, panglima perang, jihad bagi ke mas lahatan umum, jabatan hakim, hingga jabatan wali pidana. Kitab Al-Ahkam Al-Shultaniahjuga mengkaji masalah imam shalat, zakat, fa’i, ghanimah(rampasan perang), ketentuan pemberi an tanah, ketentuan daerah-daerah yang berbeda status, hukum seputar tindak kriminal, fasilitas umum, penentuan pajak dan jizyah, masalah protektorat, dan masalah dokumen negara dengan begitu lengkap dan detail. Imamaik itu raja, presiden, sultan menurut Al-Mawardi, adalah sebuah keniscayaan. keberadaannya sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara. Tanpa kehadiran seorang imam, ungkap dia, sebuah masyarakat atau negara akan kacau. Tanpa kehadiran pemimpin, manusia men jadi tidak bermartabat. Sebuah bangsa pun menjadi tak lagi berharga. Inilah ketentuan seorang imamah yang legal dalam pandangan Al-Mawardi. Menu -rutnya, jabatan imamah menjadi sah apabila memenuhi dua metodologi. Pertama, dia dipilih oleh parlemen ( ahlul halli wal aqdi). Mereka inilah yang memiliki wewenang untuk mengikat dan mengurai atau juga disebut model Al Ikhtiar. Kedua, ditunjuk oleh imam sebelumnya. Model pertama selaras dengan demokrasi dalam konteks modern. Sementara, tipe kedua, Al Mawardi merujuk pada eksperimen sejarah, yakni pengangkatan Khalifah Umar bin Khattab oleh khalifah sebelumnya, Abu Bakar Ash Shiddiq. Seorang khalifah, papar dia, bisa dilengserkan dan harus mundur bila mengalami dua cacat. Pertama, cacat dalam keadilannya (bisa disebabkan syahwat, atau akibat syubhat). Kedua, cacat tubuh. Dalam kaitan ini adalah cacat pancaindra (termasuk cacat yang menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai seorang imam, seperti hilang ingatan secara permanen, hilang penglihatan). Selain itu, juga cacat organ tubuh dan cacat tindakan. Sedangkan, cacat yang tidak menghalangi untuk diangkat sebagai imam, seperti cacat hidung yang menyebabkan tidak mampu mencium bau sesuatu, cacat alat perasa, seperti membedakan rasa makanan. Lalu, bagaimana konsep jihad menurut Al- Mawardi? Selain terdapat perintah jihadkepada orang kafir, masih ada tiga jenis jihad lainnya, yakni jihad untuk memerangi orang murtad, jihad melawan para pemberontak ( bughat), dan jihad melawan para pengacau keamanan.
Geliat Studi Matematika di Maghrib Ajaran Islam mulai bersemi di wilayah Maghrib - Afrika Utara - pada tahun 642 M. Setelah melalui berbagai ekspedisi penaklukan, seluruh wilayah Maghrib yang meliputi Aljazair, Mesir, Libya, Maroko, Sudan, Tunisia akhirnya berhasil dikuasai Islam pada awal abad ke-8 M. Sejak itulah, di wilayah Maghrib mulai menggeliat aktivitas intelektualitas, salah satunya adalah studi matematika. Geliat studi matematika yang berkembang di era keemasan Islam di Afrika Utara ternyata hingga kini masih berlangsung. Matematika menjadi salah satu ilmu yang digemari masyarakat Afrika Utara. Saat ini, tercatat terdapat 2.000 doktor matematika yang tersebar di Afrika Utara. Sedangkan di Selatan Sahara terdapat 1.000 matematikus bergelar doktor. Ali Mostafa Mosharafa tercatat sebagai matematikus Maghrib pertama yang meraih gelar doktor dari University of London pada tahun 1923. Sebagai perbandingan, Indonesia hingga kini hanya memiliki 100 dokter matematika. Jumlah doktor matematika itu dihitung mulai dari Dr Sam Ratulangi. Begitu banyaknya doktor matematika yang terdapat di benua 'hitam' itu menunjukkan betapa masih kuatnya pengaruh geliat studi matematika di era keemasan Islam. Lalu bagaimanakah studi matematika berkembang pesat di daratan yang dulu termasyhur dengan sebutan Maghrib itu? Prof Ahmed Djebbar seorang guru besar pada University of Sciences and Technologies Lille I di Lille, Prancis dalam tulisannya berjudul Mathematics in the Medieval Maghrib membagi perkembangan matematika di era kejayaan Islam di Afrika Utara ke dalam empat periode. Periode pertama adalah masa kelahiran dan perkembangan pertama matematika di Maghrib yang berlangsung dari abad ke-9 M hingga 11 M. Periode kedua adalah perkembangan matematika pada era kekuasaan Kerajaan Almohad yang berlangsung dari abad ke-12 M hingga 13 M. Periode ketiga adalah masa lahirnya teori-teori baru matematika di Maghrib pada abad ke-14 M hingga 15 M. Sedangkan, periode keempat adalah perkembangan matematika di Afrika Utara setelah abad ke-15 M. Menurut Prof Djebbar, lahir dan berkembangnya studi matematika di wilayah Maghrib sangat dipengaruhi perkembangan keilmuan di Andalusia. ''Secara ekonomi, politik dan budaya Spanyol Muslim dan Maghrib pada abad pertengahan memiliki keterikatan dan kedekatan,'' papar ilmuwan yang berkiprah di Laboratoire Paul Painlev‚, Prancis itu. Terlebih, Muslim Spanyol dan Maghrib memiliki keterkaitan tradisi keilmuan. Meski secara sosial dan budaya Spanyol Muslim dan Maghrib berbeda, namun keduanya direkatkan oleh akidah yang mereka anut yakni Islam. Sejarawan abad ke-11, Said AlAndalus, memaparkan pada awal Islam masuk ke Spanyol, penduduk negeri itu sama sekali tak tertarik pada sebuah ilmu. Minat masyarakat Spanyol Muslim terhadap keilmuwan mulai tumbuh ketika Dinasti Umayyah berdiri secara independen di negeri Matador itu. Perkembangan dan ghirah (semangat) keilmuwan di Spanyol Muslim itu perlahan namun pasti lalu merambat ke wilayah Maghrib. Studi matematika mulai digandrungi masyarakat Muslim di Afrika Utara sejak abad ke-9 M. Pusat studi matematika pertama terdapat di Ifriqiyan atau lebih tepatnya lagi di Kairouan. Pada era itu geliat studi matematika memang masih terbatas di wilayah itu. Meski masih terbatas, di Maghrib telah muncul matematikus terkemuka seperti Yahya AlKharraz dan muridnya Yahya Al-Kanuni (829 M - 901 M). Yahya tercatat sebagai orang Maghrib yang pertama kali menulis buku berjudul Hisba - membahas tentang aturan transaksi
perdagangan di pasar. Pada era itu, Maghrib juga memiliki seorang matematikus kondang bernama Shuqrun Ibn Ali - ahli berhitung dan falak dalam ilmu waris. Buku matematika yang ditulis Shuqrun terbilang fenomenal. Sejarawan Ibnu Khair mengungkapkan buku karya Shuqrun masih tetap dijadikan referensi pengajaran pada abad ke-12 M di sekolah-sekolah yang tersebar di kota Bougie - metropolis ilmu pengetahuan Maghrib Tengah. Sedangkan pada abad ke-9 M, matematikus yang terekam dalam sejarah hanya satu orang, yakni Abu Sahl al-Qayrawani. Abu Sahl tergolong matematikus perintis di Maghrib. Dia berhasil menulis sebuah kitab yang bertajuk Kita-b fi `l-hisab al-hindi (Buku berhitung India). Di era kekuasaan Dinasti Aghlabid (800 M - 910 M), Kairouan memainkan peranan penting dalam perkembangan matematika. Sejumlah ilmuwan dari Timur hingga Ifriqiya berdatangan ke kota itu untuk mengembangkan aritmatika dan geometri. Sepanjang abad ke-9 M hingga 11 M, wilayah Maghrib telah menjadi metropolis ilmu pengetahuan. Di era itu, perdagangan buku berkembang pesat, pembiayaan proyek perbanyakan manuskrip mulai semarak, para ilmuwan mulai menadapatkan gaji yang tinggi dan sekolah-sekolah mulai dibangun. Hal itu merupakan salah satu pengaruh eratnya hubungan Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad dengan Dinasti Aghlabid. Dinasti Aghlabid ternyata meniru kebijakan Kekhalifahan Abbasiyah dalam bidang ilmu pengetahuan. Di wilayah Maghrib pun ternyata di buat lembaga ilmu pengetahuan yang juga diberi nama Bait Al-Hikmahyang didirikan Sultan Ibrahim II (875 M - 902 M). Bait Al-Hikmah di Baghdad berdiri lebih awal yakni ketika Khalifah Harun Ar-Rasyid (786 M - 809 M) memimpin Dinasti Abbasiyah. Sejak itulah, studi matematika berkembang di wilayah Maghrib. Memasuki abad ke-10 M, geliat studi matematika di Maghrib kurang terekam dalam sejarah. Saat itu, tercatat beberapa matematikus seperti Al-Utaq Al-Ifriqi (wafat 955 M), Ya`qu-b Ibnu Killis (wafat 990 M) dan Al-Huwa-ri- (wafat 1023 M). Sejarah kembali merekam secara baik aktivitas matematika di Maghrib pada abad ke-11 M. Ada sederet nama matematikus yang muncul pada era itu. Ibn Abi ar-Rijal (wafat 1034-35 M) tercatat sebagai salah seorang matematikus pada abad itu. Selain itu, juga ada Abu As-Salt (wafat 1134 M). Matematikus lainnya yang mengembangkan matematika di Maghrib adalah `Abd al-Mun`im al-Kindi- (wafat 1043-44 M), Ibnu `Atiya alKatib (wafat 1016 M). Mereka adalah matematikus yang mengembangkan geometri dan Aritmatika. Begitulah studi matematika berkembang dengan pesat di wilayah Maghrib alias Afrika Utara.
Industri Kimia Warisan Kejayaan Islam Bagi peradaban Islam, kimia bukan hanya teori belaka. Melalui berbagai upaya, umat Islam di abad keemasan telah melahirkan sederet industri yang sangat bermanfaat bagi kehidupan umat manusia. Berikut ini adalah industri berbasis kimia yang dilahirkan peradaban Islam. Keramik dan gerabah Sejak abad ke-8 M hingga 18 M, penggunaan keramik glazed begitu populer di ranah seni Islam. Teknologi penciptaan keramik itu dikembangkan para seniman Islam. Basrah, Irak, menjadi sentra pembuatan gelas tak tembus cahaya. Selain itu, Ar-Raqqah, Suriah, pada abad ke-8 M juga tercatat sebagai pusat produksi gelas dan gerabah. Lem keju
Dalam bukunya bertajuk, Book of the Hidden Pearl, Jabir Ibnu Hayyan untuk pertama kali menjelaskan tentang resep pembuatan lem dari keju. Minyak dan produk-produk turunannya Sejak abad ke-8 M, jalanan di Kota Baghdad telah dilapisi dengan aspal. Si hitam yang membuat jalan mulus itu merupakan produk turunan dari minyak setelah melalui distilasi. Pada abad ke-9 M, ladang minyak di sekitar Baku, Azerbaijan, sudah mulai diekploitasi dan dibuat naftah atau minyak tanah. Al-Razi tercatat sebagai kimiawan pertama yang mampu memproduksi minyak tanah melalui distilasi. Metode pembuatan minyak tanah itu diungkapkannya dalam Kitab Al-Asrar (Buku Rahasia). Kimiawan Muslim tercatat sebagai yang pertama memproduksi bensin dari minyak mentah melalui distilasi. Minyak mawar Pertama kali diproduksi oleh kimiawan Muslim melalui distilasi bunga mawar. Minyak mawar digunakan untuk minuman dan industri parfum. Industri minuman Kopi. Minuman kopi pertama kali berkembang di dunia Islam. Kali pertama, minuman kopi ditemukan masyarakat Muslim di Yaman pada abad ke-10 M. Di Yaman, kopi diracik sebagai minuman bernama Al-Qahwa. Konon, minuman itu dibuat oleh kelompok sufi agar mereka dapat tetap beribadah serta berzikir sepanjang malam. Kopi menyebar ke seluruh negeri Muslim melalui para pelancong, jamaah haji, dan para pedagang. Minuman kopi mulai dikenal masyarakat Makkah dan Turki di akhir abad ke-15 M. Sedangkan, masyarakat Mesir baru bisa mencicipi kopi pada abad ke-16 M. Masyarakat Eropa baru mengenal nikmatnya kopi pada abad ke-17 M. Kopi masuk ke Eropa melalui Italia. Hubungan perdagangan antara Venisia dengan Afrika Utara, khususnya Mesir, menjadi pintu masuknya kopi ke Eropa. Penyulingan dan pemurnian air Para kimiawan Muslim merupakan yang pertama kali memproduksi air suling dan air murni. Ini dilakukan untuk mengatasi perjalanan panjang melalui gurun yang tak jelas sumber airnya. Minuman ringan Sherbet tercatat sebagai minuman ringan berkarbon pertama di dunia. Kimiawan Muslim di era kejayaan juga banyak yang menciptakan resep minuman sirup yang dapat bertahan di luar lemari es selama satu pekan hingga satu bulan. Batu Mulia dan Mutiara Dalam Kitab Al-Durra al-Maknuna Jabir sudah mampu menjelaskan resep pembuatan mutiara buatan dan pemurnian mutiara. Gelas Silika Industri gelas silika ditemukan Abbas Ibnu Firnas (810 M-887 M). Dia yang pertama mencipatakan gelas dari pasir dan batu. Kosmetik Pengembangan produk kosmetik di dunia Islam begitu gencar dilakukan seorang dokter dan ahli bedah Muslim di Andalusia, Al-Zahrawi (936 M-1013 M), pada abad ke-10 M. Dalam ensiklopedia kesehatan yang berjudul, Al-Tasreef, Albucassis begitu Barat menjuluki AlZahrawi, telah mengupas secara khusus tentang kosmetik. Bagi Al-Zahrawi, kosmetik merupakan bagian dari pengobatan. Kitab Al-Tasreef ini begitu besar pengaruhnya di Eropa. Sabun Sabun yang berasal dari minyak tumbuhan (olive oil), minyak aroma kali pertama diproduksi oleh kimiawan Muslim. Parfum
Adalah fakta yang tak terbantahkan bahwa kebudayaan Islam telah memberi pengaruh yang sangat signifikan terhadap perkembangan industri parfum di dunia Barat. Dunia Islam berkontribusi besar dalam memperkenalkan proses ekstrasi wewangian melalui teknologi distilasi uap yang telah dikembangkan para ilmuwan Islam sejak abad ke-8 M. Industri parfum modern di dunia Barat pun banyak mengadopsi bahan ramuan parfum yang telah dikembangkan para ahli kimia Muslim. Mesiu Fakta sejarah menyebutkan bahwa ahli kimia Muslim bernama Khalid bin Yazid (wafat tahun 709 M) sudah mengenal potassium nitrat (KNO3)bahan utama pembuat mesiu pada abad ke7 M. Dua abad lebih cepat dari Cina. Menurut Prof Ahmad Y Al-Hassan dalam bukunya bertajuk, Islamic Technology an Ilustrated History (1986), potasium nitrat dikenal di dunia teknologi Islam dengan beragam nama. Senyawa kimia itu pada awalnya digunakan dalam proses metalurgi serta digunakan untuk membuat asam nitrat dan aqua regia. ''Rumus dan resepnya dapat ditemukan dalam karya-karya Jabir Ibnu Hayyan (wafat tahun 815 M), Abu Bakar Al-Razi (wafat tahun 932 M), dan ahli kimia Muslim lainnya,'' papar Prof AlHassan. Dari abad ke abad, istilah potasium nitrat di dunia Islam selalu tampil dengan beragam nama, seperti natrun, buraq, milh al-ha'it, shabb Yamani, serta nama lainnya.
Jejak Kejayaan Islam di Luar Angkasa Al-Sufi pun tercatat sudah berhasil melakukan obsevasi dan menjelaskan bintang-bintang, posisinya, jarak dan warna bintang-bintang itu. Ia juga mampu membuat peta bintang. Kitabnya yang paling fenomenal, yakni kitab Suwar al-Kawakib. Dunia Islam di zaman kekhalifahan sempat menjelma sebagai pusat studi astronomi dan astrologi. Studi astronomi dan astrologi mulai berkembang pada era kepemimpinan Khalifah Al-Mansyur sebagai penguasa ketiga Kekhalifahan Abbasiyah di abad ke-8 M. Studi astronomi dan astrologi di dunia Islam kian menggeliat sejak ditemukannya astrolabe oleh AlFazari. Menurut sejarawan sains, Donald Routledge, kedua ilmu yang telah menguak rahasia langit itu mencapai puncak kejayaannya dalam peradaban Islam dari tahun 1025 M hingga 1450 M. Pada masa itu, di berbagai wilayah kekuasaan Islam telah lahir sederet astronom dan astrolog Muslim serta sejumlah observatorium yang besar dan megah. Tak dapat dimungkiri bahwa sederet astronom dan astrolog Muslim terkemuka, seperti Nasiruddin at-Tusi, Ulugh Beg, Al-Batanni, Ibnu Al-Haitham, Ibnu Al-Syatir, Abdur Rahman asSufi, Al-Biruni, Ibnu Yunus, Al-Farghani, Al-Zarqali, Jabir Ibnu Aflah, Abu Ma'shar, dan lainnya, telah memberi sumbangan penting bagi pengembangan astronomi dan astrologi. Bukti kejayaan yang diraih peradaban Islam dalam astronomi dan astrologi dapat dibuktikan melalui penamaan bintang dan sederet kawah bulan dengan nama-nama yang berasal dari bahasa Arab. Muslim Heritage Foundation mencatat ratusan nama bintang yang berasal dari peradaban Islam. Para astronom Muslim pada awalnya mengenal nama-nama bintang dari Almagest karya Ptolemeus--astronom Yunani yang hidup pada abad ke-2 M. Setelah menguasai pengetahuan serta teknologi dalam bidang astronomi dan astrologi, para ilmuwan Muslim pun mulai memberi nama bintang-bintang yang berhasil mereka temukan. Sejarawan Jerman yang juga ahli dalam penamaan bintang dalam astronomi Islam, Paul Kunitzsch, mengungkapkan, ada dua tradisi penamaan bintang yang diwariskan oleh peradaban Islam. Pertama penamaan bintang melalui dongeng. Paul menyebut penamaan bintang secara tradisional ini sebagai indigenous-Arabic. Yang kedua, menurut Paul, penamaan bintang secara ilmiah (scientific-Arabic). Sayangnya, penamaan bintang yang dilakukan para ilmuwan
Muslim telah dibelokkan oleh peradaban Barat. Hal itu dilakukan saat buku-buku teks bahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Latin mulai abad ke-12 M. Buku-buku teks bahasa Arab yang ditulis para astronom dan astrolog Muslim dengan sengaja dirusak sehingga maknanya pun berubah. Selain itu, perusakan alih bahasa itu juga membuat nama-nama bintang yang ditemukan peradaban Islam kehilangan arti. Tak cuma itu, nama bintang juga secara sengaja dipindahkan dari satu ke yang lain. Sehingga, posisi bintang yang telah ditetapkan oleh para astronom dan astrolog Muslim itu berada dalam peta bintang yang berbeda. Untungnya, sebagian besar nama bintang yang diadopsi masyarakat Barat sejak bergulirnya Renaisans masih dalam bahasa Arab yang asli. Salah seorang astronom Muslim yang sangat berpengaruh dalam penamaan bintang adalah Abu al-Husain `Abd Al-Rahma-n Al-Sufi (903 M-986 M). Orang Barat mengenalnya dengan panggilan Azophi. Al-Sufi secara sistematis berhasil merevisi katalog bintang yang dibuat Ptolemeus. Ia mengubah Almagest yang populer itu dengan Kitab Suwar al-Kawakib (Kitab Bintang-Bintang Tetap). Kitab yang dirampungkannya pada 964 M itu memang berbasis pada warisan astronomi Yunani. Meski begitu, nama-nama bintang yang tercatat dalam kitabnya itu berasal dari penemuannya sendiri dan diberi nama dalam bahasa Arab. Salinan kitab karya Al-Sufi itu sempat ditulis ulang olah putranya sekitar tahun 1010 M. Kini, kitab itu tersimpan di Perpustakaan Bodleian, Oxford. Menurut Paul, tradisi masyarakat lokal di negeri Muslim yang tersebar di Semenanjung Arab dan Timur Tengah memiliki nama tersendiri untuk beragam bintang yang terang, salah satunya adalah Aldebaran. Paul menambahkan, kerap kali masyarakat Muslim memperlakukan bintang tunggal seperti orang atau binatang. Bintang yang dikenal sebagai Alpha dan Beta Ophiuchi, tutur dia, dianggapnya sebagai anjing gembala. Paul menemukan fakta adanya penamaan bintang dalam bahasa Arab yang terdapat dalam buku Almagest karya Ptolemeus. "Contohnya nama bintang Fomalhaut berasal dari bahasa Arab yang berarti 'mulut ikan dari selatan'," ungkap Paul. Dalam kitab yang ditulisnya, astronom Muslim, Al-Sufi, telah mencatat hasil observasinya tentang Galaxi Andromeda. Ia menyebutnya sebagai 'awan kecil'. Al-Sufi pun tercatat sudah berhasil melakukan observasi dan menjelaskan bintang-bintang, posisinya, jarak, dan warna bintang-bintang itu. Ia juga mampu membuat peta bintang. Kitabnya yang paling fenomenal, yakni Kitab Suwar al-Kawakib itu diterjemahkan ke dalam bahasa Latin mulai abad ke-12, baik penjelasan teksnya maupun gambarnya. Dari kitab inilah, masyarakat Barat salah satunya mengenal nama-nama bintang. Namanama bintang di luar angkasa yang ditemukan para ilmuwan Islam itu merupakan salah satu jejak kejayaan Islam. Nama Islam di Galaxi Peradaban Islam telah turut memberi nama ratusan hingga ribuan bintang dalam populasi galaksi. Dari sederet nama bintang yang ditemukan dan dinamai ilmuwan Muslim itu, hingga kini masih ada yang dipakai, bahkan ada pula yang sudah lenyap dan tak digunakan lagi oleh peradaban modern. Berikut ini beberapa contoh nama bintang yang berasal dari warisan kejayaan Islam. No Nama Populer Nama Arab Bintang 1 Acamar Akhir an-Nahr Theta Eri 2 Achernar Akhir an-Nahr Alpha Eri 3 Acrab Al-'Aqrab Beta Sco
4 Acubens Az-Zubana Alpha Cnc 5 Adhafera Ad-Dafirah Zeta Leo 6 Adhara Al-'Adhara Epsilon CMa 7 Ain 'Ain Epsilon Tau 8 Albali Al-Bali' Epsilon Aqr 9 Alchibah Al-Khiba' Alpha Crv 10 Aldebaran Ad-Dabaran Alpha Tau 11 Alderamin Adh-Dhira' al-Yamin? Alpha Cep 12 Alfirk Al-Firq Beta Cep 13 Algedi Al-Jady Alpha Cap 14 Algenib Al-Janb Gamma Peg 15 Algieba Al-Jabhah Gamma Leo 16 Algebar Al-Jabbar Beta Ori 17 Algol Al-Ghul Beta Per 18 Algorab Al-Ghurab Delta Crv 19 Alhena Al-Han'ah Gamma Gem 20 Alioth Al-Jawn Epsilon UMa 21 Alkaid Al-Qa'id Eta UMa 22 Alkes Al-Ka's Alpha Crt 23 Almak 'Anaq al-Ard Gamma And 24 Almeisan Al-Maisan Gamma Gem 25 Alnair An-Nayyir Alpha Gru 26 Alnair An-Nayyir Zeta Cen 27 Alnilam An-Nidham Epsilon Ori 28 Alnitak An-Nitaq Zeta Ori 29 Alphard Al-Fard Alpha Hya 30 Alphecca Al-Fakkah Alpha CrB sumber: Muslim Heritage Abadi di Kawah Bulan Sebagai bentuk pengakuan dunia terhadap sumbangan peradaban Islam, sebanyak 24 ilmuwan dan ulama Muslim terkemuka di era kejayaan telah diabadikan menjadi nama kawah bulan. Pemberian nama ke-24 ilmuwan Muslim itu pun telah mendapat pengakuan dari Organisasi Astronomi Internasional (IAU). Hanya satu nama tokoh Muslim yang tak diakui IAU menjadi nama kawah bulan, yakni Muhammad Abduh (1849 M-1905 M). Ke-24 tokoh Muslim itu resmi diakui IAU sebagai nama kawah bulan secara bertahap pada abad ke-20 M, antara tahun 1935, 1961, 1970, dan 1976. Pada awalnya, nama ilmuwan Muslim yang diabadikan di kawah bulan itu disebut dalam bahasa Latin, seperti Alhazen, Azophi, Alpetragius, Albataneus, Alfraganus, dan lainnya. Namun, kemudian diberi nama aslinya dalam bahasa Arab. Berikut nama-nama tokoh dan ilmuwan Muslim yang diabadikan di kawah bulan. Abulfeda. Nama lengkapnya Isma'il Ibn Abu al-Fida. Ia adalah ahli geologi dari Suriah (1273 M-1331 M). Abulwafa. Bernama lengkap Abu al-Wafa al-Buzajani. Matematikus dan astronom asal Persia (940 M-998 M). Al-Bakri. Geografer Muslim asal Andalusia itu bernama Abu `Ubayd Abdallah Ibn `Abd alAziz Ibn Muhammad al-Bakri (1010 M-1094 M). Al-Biruni. Ilmuwan serba bisa yang populer di Afghanistan dan India itu bernama lengkap Abu ar-Rayhan Muhammad ibn Ahmad al-Biruni. Dia seorang astronom, matematikus, dan geografer (973 M-1048 M). Al-Khwarizmi. Matematikus dan astronom kelahiran Khwarizmi itu bernama lengkap Muhammad ibnu Musa al-Khwarizmi. Al-Marrakushi. Abu `Ali al-Hasan Ibn `Ali al-Marrakushi adalah astronom dan matematikus asal Maroko dan bekerja di Mesir pada abad ke-13 M. Albategnius. Muhammed bin Jaber Al-Battani dikenal di dunia Barat dengan panggilan Albategnius. Dia seorang astronom dan matematikus yang berasal dari Harran,
Mesopotamia. Alfraganus. Abu 'l-'Abbas Ahmad Ibn Muhammad Ibn Kathir al-Farghani adalah astronom terkemuka di Baghdad yang berasal dari Iran pada abad ke-9 M. Alhazen. Nama aslinya adalah Abu Ali al-Hasan Ibn al Haytham. Ahli fisika, matematika, dan astronomi itu mengabdikan hidupnya di Mesir (987 M-1038 M). Almanon. Ini merupakan nama panggilan orang Barat terhadap Abu Ja'far Abdallah alMa'mun ibnu Harun al-Rashid. Khalifah Dinasti Abbasiyah di Baghdad yang berkuasa pada 813 M-833 M. Alpetragius. Astronom asal Andalusia itu bernama Abu Ishaq Nur al-Din Al-Bitruji Al-Ishbili. Arzachel. Nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ibrahim ibn Yahya al-Naqqash al-Zarqalluh or al-Zarqali. Matematikus terkemuka ini berasal dari Toledo, Andalusia. Avicenna. Ilmuwan legendaris Muslim itu bernama Abu `Ali al-Hussayn Ibn Sina (980 M-1037 M). Azophi. Nama lengkapnya Abdurrahman Al-Sufi. Dia adalah astronom terkemuka yang menulis tentang bintang. Geber. Astronom abad ke-12 M asal Andalusia itu sebenarnya bernama Abu Muhammad Jabir Ibn Aflah al-Ishbili. Ibnu Battuta. Penjelajah dan geografer Muslim asal Maroko itu bernama Abu Abd Allah Muhammad Ibn `Abd Allah Ibn Battuta. Ibnu Firnas. Orang Barat menyebutnya Armen Firman. Insinyur pencipta kapal terbang itu bernama lengkap Abbas Ibn Firnas. Ibnu Yunus. Astronom Mesir (950 M-1009) itu bernama Abu al-Hasan bin Ahmad ibnu Yunus al-Sadafi. Ibnu-Rushd. Dokter dan filsuf Muslim asal Andalusia ini bernama Abu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rushd. Messala. Nama lengkapnya adalah Ma-sha' Allah ibnu Athari al-Basri. Dia adalah astronom asal Irak. Nasiruddin. Ilmuwan terkemuka asal kota Tus, Khurasan, ini bernama lengkap Muhammad ibnu Muhammad ibnu al-Hasan al-Tusi. Omar Khayyam. Dia adalah sastrawan, astronom, dan matematikus terkemuka asal Persia yang hidup pada abad ke-11 M. Dia juga dikenal dengan panggilan al-Khayyami. Thebit. Ilmuwan asal Irak ini bernama lengkap Thabit Ibn Qurrah al-Sabi' al-Harrani Thabit Ibn Qurra. Ia hidup pada abad ke-9 M. Ulugh Beigh. Dia adalah penguasa Dinasti Timurid yang juga mencintai astronomi serta sempat membangun observatorium. Nama lengkapnya adalah Mirza Mohammad Taragai bin Shahrukh.
Kesaksian Para Saintis tentang Alquran * Prof E Marshall Johnson Guru besar dan Ketua Departemen Anatomi dan Perkembangan Biologi Universitas Thomas Jefferson, Philadelphia, Pennsylvania, AS, itu mulai tertarik untuk meneliti tanda-tanda ilmiah yang terdapat dalam Alquran dalam ajang Konferensi Medis ke-7 Arab Saudi Tahun 1982. Ketika itu, dibentuk panitia khusus untuk menginvestigasi tanda-tanda ilmiah dalam Alquran dan hadis. Setelah melakukan penelitian, Prof Johnson pun mengakui tanda-tanda ilmiah yang terkandung dalam Alquran. "Kesimpulannya, Alquran tak hanya menggambarkan perkembangan dalam bentuk eksternal. Namun, menekankan juga tahapan-tahapan proses pembentukan secara internal, tahapan-tahapan dalam embrio, penciptaan dan perkembangannya. Semuanya diakui oleh ilmu pengetahuan modern," papar Prof Johnson. * Prof TVN Persaud Guru besar Anatomi dan Kesehatan Anak dari Univeristas Manitoba,, Winnipeg, Manitoba, Kanada, itu juga mengakui bukti-bukti ilmiah yang tercantum dalam Alquran. Dia adalah
penulis puluhan buku dan ratusan jurnal ilmiah. Pada tahun 1991, sempat meraih JCB Grant Award. Inilah pengakuannya tentang kebenaran Alquran yang disampaikannya saat memaparkan hasil penelitiannya di Kairo, Mesir. "Awalnya, saat melihat Muhammad sebagai manusia biasa, tak bisa membaca dan tak tahu bagaimana menulis. Faktanya, dia adalah seorang buta aksara. Namun, apa yang diungkapkannya (Alquran) pada 1400 tahun lalu, secara mengagumkan, sungguh akurat dan sesuai dengan sains modern," papar Prof Persaud. Ia pun secara tegas menyatakan bahwa ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW pastilah firman Tuhan. * Prof Joe Leigh Simpson Guru besar dan Ketua Departemen Obstetrics dan Gynaecolog, Baylor College of Medicine, Houston, Texas, AS, itu juga mengakui kebenaran tanda-tanda ilmiah yang terdapat dalam Alquran. "Tak ada pertentangan antara genetika dengan agama Islam. Adalah fakta bahwa agama Islam telah menjadi petunjuk bagi ilmu pengetahuan," cetusnya. Prof Simpson pun meyakini bahwa Alquran berasal dari Tuhan. Sebab, Nabi Muhammad SAW tak bisa membaca dan menulis. * Prof Alfred Kroner Guru besar Departemen Geosains Universitas Mainz, Jerman, ini dikenal sebagai salah seorang geolog terkemuka dunia. Ia mengaku terkagum-kagum dengan isi Alquran yang mampu menjelaskan asal mula terbentuknya alam semesta. "Memikirkan dari mana Muhammad berasal ... saya berpikir hampir tak mungkin dia telah mengetahui banyak hal tentang asal mula alam semesta," paparnya. Menurut dia, para ilmuwan saja baru mengetahui asal mula pembentukan alam semesta dalam beberapa tahun terakhir, dengan menggunakan kemajuan teknologi yang sangat rumit. Atas dasar itu, Prof Kroner juga meyakini bahwa Alquran yang disampaikan Nabi Muhammad SAW adalah firman yang berasal dari Tuhan. * Prof Yushidi Kusan Direktur Observatorium Tokyo, Jepang, ini juga menyatakan sangat terkagum-kagum dengan apa yang dijelaskan Alquran tentang alam semesta. "Saya sangat terkesan dengan faktafakta astronomi dalam Alquran yang terbukti kebenarannya. Kami, para astronom modern, baru mempelajari secuil saja tentang alam semesta," ungkapnya. "Dengan membaca Alquran dan menjawab pertanyaan, saya kira, saya dapat menemukan jalan di masa depan untuk menginvestigasi alam semesta."
Kontribusi Peradaban Islam dalam Kedokteran Gigi Ajaran Islam memerintahkan agar umatnya senantiasa menjaga kesehatan gigi dan mulut. Dalam salah satu haditsnya, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: ''Seandainya tidak akan merepotkan umatku, maka aku akan perintahkan kepada mereka untuk membersihkan gigi pada setiap akan shalat.''(HR Bukhari dan Muslim). Islam memahami bahwa menjaga kesehatan gigi dan mulut akan sangat menentukan kualitas hidup manusia. Tak heran jika seabad setelah Rasulullah SAW wafat, para dokter Muslim di era keemasan terdorong untuk turut mengembangkan ilmu kedokteran gigi (dentistry). Sejatinya, pengobatan gigi telah diterapkan manusia dari peradaban Lembah Indus bertarikh 7.000 hingga 5.500 SM. Namun, ilmu kedokteran gigi justru berkembang pesat pada era kejayaan peradaban Islam. Henry W Noble (2002) dalam Tooth transplantation: a controversial story, History of Dentistry Research Group, Scottish Society for the History of Medicinemengakui bahwa para dokter Muslim di zaman kekhalifahan merupakan perintis dalam pengembangan ilmu kedokteran
gigi. Peradaban Barat saja baru mengembangkan ilmu kedokteran gigi secara khusus pada abad ke-17 M. Buku pertama tentang ilmu kedokteran gigi di Barat baru hadir tahun 1530 M bertajuk "Artzney Buchlein". Buku teks kedokteran gigi dalam bahasa Inggris baru muncul tahun 1685 karya Charles Allen berjudul Operator for the Teeth.Bahkan, masyarakat Amerika baru mengenal adanya dokter gigi pada abad ke-18 M. John Baker merupakan dokter pertama yang praktik di benua itu. Baker merupakan dokter gigi yang berasal dari Inggris. Amerika baru memiliki dokter gigi sendiri pada tahun 1779 M bernama Isaac Greenwood. Lucunya, peradaban Barat mengklaim Pierre Fauchard - berkebangsaan Prancis yang hidup di abad ke-17 sebagai "bapak ilmu kedokteran gigi modern". Padahal, menurut Noble, 700 tahun sebelum Fauchard hidup, seorang dokter Muslim bernama Abu al-Qasim Khalaf ibn alAbbas Al-Zahrawi alias Abulcasis (930 M - 1013 M) telah sukses mengembangkan bedah gigi dan perbaikan gigi.Keberhasilannya yang telah memukau para dokter gigi modern itu tercantum dalam Kitab Al-Tasrif. Kitab itu tercatat sebagai teks pertama yang mengupas bedah gigi secara detail. "Dalam kitabnya itu, Abulcasis juga secara detail menggambarkan keberhasilannya dalam melakukan penanaman kembali gigi yang telah dicabut," papar Noble. Al-Zahrawi juga tercatat sebagai dokter yang mempelopori penggunaan gigi palsu atau gigi buatan yang terbuat dari tulang sapi. Kemudian geligi palsu itu dikembangkan lagi mengunakan kayu - seperti yang digunakan oleh presiden pertama Amerika Serikat, George Washington 700 tahun kemudian. Sumbangan penting dokter Muslim di era kejayaan dalam pengembangan ilmu kedokteran juga diungkapkan Salma Almahdi (2003) dalam tulisannya berjudul Muslim Scholar Contribution in Restorative Dentistry yang dimuat dalam Journal of the International Society for the History of Islamic Medicine. Menurut Almahdi, dokter gigi Muslim dari abad ke-10 M lainnya yang mengembangkan >dentistry adalah Abu Gaafar Amed ibnu Ibrahim ibnu Abi Halid al-Gazzar. Dokter gigi asal Afrika Utara itu memaparkan metode perbaikan gigi secara detail dalam Kitab Zad al-Musafir wa qut al-Hadir. Kitab itu lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sebagai Viaticum oleh Constantine the African di Universitas Salerno - yang berada di Selatan Italia. "Kitab yang ditulis Al-Gazzar merupakan yang pertama yang mengupas tentang perawatan gigi busuk/rusak," papar Almahdi. Dalam kitabnya, Al-Gazzar menyatakan bahwa hal pertama yang perlu dilakukan untuk mengobati gigi yang busuk adalah membersihkannya. Kemudian, papar dia, gigi itu diisi dengan gallnut, madu, kemenyan, terbinth yang mengandung damar, pohon cedar yang mengandung damar, pellitory atau pengasapan dengan akar colocynthis.Al-Gazzar pun merekomendasikan senyawa arsenik untuk gigi yang berlubang. Campuran ini juga mampu mengatasi pembusukan gigi serta mengendurkan dan meredakan ketegangan syaraf. Dokter Muslim lainnya yang memberi sumbangan penting bagi ilmu kedokteran gigi adalah Ibnu Sina lewat karyanya yang sangat fenomenal bertajuk he Canon of Medicine. Menurut Almahdi, Ibnu Sina terpengaruh oleh Al-Gazzar dalam pengobatan gigi. Meski begitu, Ibnu Sina mengembangkan sendiri pengobatan gigi dengan caranya sendiri. Baik Al-Gazzar maupun Ibnu Sina sepakat bahwa kebusukan pada gigi disebabkan oleh "cacing gigi". Namun pendapat itu dipatahkan oleh dokter Muslim lainnya dari abad ke-12 M bernama Gaubari. Dalam Book of the Elite yang ditulisnya, Gaubari menyatakan bahwa dalam kenyataannya cacing gigi tak pernah ada. Sejak abad ke-13 M, teori cacing gigi akhirnya tak lagi diterima dalam kedokteran Islam. Kontribusi peradaban Islam lainnya yang tak kalah penting dalam kedokteran gigi diberikan oleh Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria Ar-Razi. Dokter legendaris di era keemasan peradaban Islam itu juga secara khusus mengembangkan perawatan kesehatan gigi. Ar-Razi terbilang sebagai dokter Muslim pertama yang memberi sumbangan bagi ilmu kedokteran gigi.Menurut Almahdi, Ar-Razi mencoba merekomendasikan metode yang dikembangkan Galen - dokter dari peradaban Yunani - dalam melepas gigi rusak dengan cara dibor. Untuk mengurangi rasa sakit saat gigi dibor, dokter terkemuka di kota Baghdad itu menganjurkan
agar lubang gigi ditetesi minyak. Selain mengkaji masalah gigi, dokter Muslim di era kekhalifahan pun sudah mengkaji kesehatan mulut, salah satunya soal lidah. Organ penting yang dibiasa digunakan untuk mengunyah, menelan dan berbicara itu mendapat perhatian khusus dari Ibnu Sina. Dalam Canon the Medicine, Ibnu Sina mengkaji berbagai penyakit lidah dan penyembuhannya.Menurut Almahdi, dalam kitabnya yang sangat lengkap itu Ibnu Sina menerangkan tentang anatomi lidah serta penyakit-penyakit yang sering dialami organ lidah baik secara sensorik maupun motorik. Ibnu Sina membahas masalah lidah secara mendalam dalam empat belas bab. Betapa sumbangan peradaban Islam bagi dunia kedokteran sungguh begitu luar biasa. Namun, kontribusi penting para dokter Muslim itu kerap dinihilkan dan disembunyikan peradaban Barat. Tak heran, bila pencapaian para ilmuwan Muslim di era kejayaan itu juga tak diketahui masyarakat Islam di era modern ini. Sungguh ironis memang.
Layanan Pos di Masa Kejayaan Islam Sumber literatur, bukti dokumen, dan catatan arkeologi menunjukkan pada waktu itu sistem per- posan sudah sangat mutakhir. Sistem per- posan dikelola secara terpusat dan berhubungan langsung dengan khalifah. K etika Dinasti Umayyah berkuasa (661 M750 M), wilayah kekuasaan Islam terbentang semakin luas. Guna menjalin komunikasi dengan para gubernur yang berkuasa di berbagai provinsi, Kekhalifahan Umayyah mulai membentuk sistem perposan di dunia Islam. Dinasti ini tercatat sebagai salah satu pencipta sistem perposan yang sangat penting dalam sejarah dunia. Sejarawan Paul Lunde dalam tulisannya berjudul, The Appointed Rounds, mengungkapkan bahwa jasa pos telah mulai dikenal peradaban manusia Mesir Kuno sejak tahun 2000 SM. Selain itu, peradaban Cina dan Romawi pun sudah menerapkannya jauh sebelum Islam hadir di muka bumi. Meski begitu, Lunde memaparkan bahwa jasa perposan mulai dibangun secara mutakhir pada abad ke-9 M— era kejayaan Islam. Secara khusus, Adam Silverstein dalam bukunya bertajuk, Postal System in PreModern Islam, mengungkapkan sejarah awal mula jasa pos berdiri di dunia Islam. Menurut Silverstein, dalam peradaban Islam sistem perposan dikenal dengan nama barid. Bangsa Romawi menyebut jasa per posan sebagai cursus publicus. “Khalifah Muawiyyah bin Abi Sufyan meru pakan orang pertama yang membentuk barid atau layanan pos di dunia Islam,” papar Silverstein. Muawiyyah membentuk barid untuk mempercepat kedatangan informasi dari provinsi kekuasaan Umayyah yang terpencil. Sejak itu, jasa perposan terus berkembang pesat di dunia Islam yang dikuasai oleh Dinasti Umayyah. Salah satu kontribusi penting Kekhalifahan Umayyah bagi dunia perposan dilakukan oleh Ziyad bin Abi Sufyan—salah seorang gubernur penting di era itu. Menurut Akbar Shah Najeebabad dalam bukunya, History of Islam, ketika Ziyad berkuasa, Dinasti Umayyah mulai mendirikan departemen pos. Pada masa itu sudah mulai diangkat para petugas pos dan dibangun sistem perposan. “Untuk pertama kalinya, Ziyad memperkenalkan sistem pemasangan segel pada surat atau dokumen yang dikirimkan melalui pos,” ungkap Akbar. Hal itu dilakukan untuk menjaga kerahasiaan surat atau dokumen yang dikirim melalui pos. Menurut Akbar, pada segel yang dipasang di setiap surat dan dokumen yang dikirim tercantum kalimat, ‘setiap amal ada pahalanya’.
Selain itu, ciri khas segel yang terpasang pada dokumen atau surat yang dikirim melalui jasa pos pada waktu itu terdapat gambar Ka’bah. Gambar Ka’bah terpampang dalam segel surat bertahan hingga kekuasaan Dinasti Umayyah tumbang pada 750 M. Selain itu, setiap surat yang dikirim akan dibuatkan salinannya dan disimpan di kantor kekhalifahan. Menurut Silverstein, pembangunan infrastruk tur umum jasa pos— seperti rute dan kantor pos—di zaman Dinasti Umayyah dilakukan pada awal kepemimp inan Khalifah Marwan bin Al-Hakam. Tak heran, jika selepas kekuasaan Marwan berakhir, jasa perposan berkembang pesat di bawah AlWalid bin Abdul-Malik bergelar Al-Walid I (668 M-715 M). “Sumber literatur, bukti dokumen, dan catatan arkeologi menunjukkan pada waktu itu sistem perposan sudah sangat mutakhir. Sistem perposan dikelola secara terpusat dan berhubungan lang sung dengan khalifah,” imbuh Silverstein. Ketika rezim penguasa dunia Islam mulai berganti di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah, pada tahap awal jasa perposan tak mengalami perubahan secara sistem. Saat itu, hanya terjadi perubahan penguasa yang mengelola departemen pos. Sejarawan Muslim dari abad ke-10 M, Alt Mas’udi, menyatakan bahwa barid untuk pertama kali melayani pengantaran surat pada zaman kekuasaan Abbasiyah. Sejarah mencatat, pengelolaan sistem perposan yang efektif dan efisien juga dilakukan di era kekuasaan Dinasti Seljuk pada abad ke-9 M. Seljuk merupakan dinasti Islam yang pernah menguasai Asia Tengah dan Timur Tengah. Wilayah kekuasaan Kekaisaran Seljuk Agung terbentang dari Anatolia hingga ke Rantau Punjab di Asia Selatan. Dinasti ini didirikan oleh suku Oghuz Turki yang berasal dari Asia Tengah. Menurut Lunde, pengelolaan sistem perposan pada era Dinasti Seljuk mendapat perhatian penuh dari Perdana Menteri Kesultanan Seljuk Turki, Nizam Al-Mulk. Jasa perposan dikembangkan penguasa Dinasti Seljuk agar dapat memperoleh informasi yang cepat dan akurat. “Adalah tugas seorang raja untuk mengetahui secara benar kondisi para petani dan tentaranya, baik jauh maupun dekat. Seorang raja harus mengetahui informasi mengenai hal itu sebanyak-banyaknya,” tutur Lunde, mengutip pernyataan Nizam Al-Mulk. Untuk menguasai informasi itulah, AlMulk mengangkat pejabat yang khusus mengurusi bidang perposan. Pada masa itu, Dinasti Seljuk sudah memiliki seorang Diwan Al-Barid—Menteri Pos dan Komunikasi. Bagi pemerinta han Al-Mulk, layanan perposan merupakan lembaga negara yang penting. Departemen Pos dan Telekomunikasi dijadikannya sebagai sebuah agen informasi. Melalui layanan pos, seorang perdana menteri bisa berkomunikasi dengan gubernur di berbagai provinsi yang terbentang begitu luas. “Pejabat inspektur pos pada masa itu tak hanya memastikan surat-surat yang dikirim sampai di setiap kantor pos,” cetus Lunde. Namun, imbuh dia, para inspektur pos juga bertugas untuk mengumpulkan informasi bagi pemerintah pusat. Secara periodik mereka harus menyampaikan laporannya. Menurut Lunde, laporan yang harus disampaikan inspektur pos itu berkisar pada kondisi dan hasil panen para petani di daerah, situasi politik, serta kinerja para gubernur di provinsi. “Pengelolaan barid di era Seljuk sebenarnya sangat mirip dengan Pony Express di Amerika Barat,” tegas Lunde. Namun, di era kekuasaan Seljuk, unta dan kedelai menjadi alat transportasi. Sedangkan di Amerika Barat menggunakan kuda. Lunde mengungkapkan, di setiap empat hingga enam mil sebuah wilayah terdapat kantor pos.
Untuk menghindari kelelahan, petugas penyampai pesan akan diganti di kantor pos berikutnya. Pemerintah Seljuk menggaji ribuan pegawai pos. Saat itu, yang boleh mengirim pesan hanya pemerintah. Warga negara biasa yang ingin mengirimkan pesan harus menitipkannya pada rombongan pedagang atau menyewa kurir khusus untuk hal-hal mendesak. Pada masa itu, surat baru akan sampai dalam waktu beberapa hari ke tujuan. Jika seseorang mengirim surat dari Kairo dengan tujuan Damaskus, akan sampai dalam empat hari. Berbeda dengan Pony Express yang hanya dapat bertahan selama 16 bulan, dari tahun 1860 M hingga Oktober 1861 M. Sistem perposan Islam alias barid mampu bertahan hingga beberapa abad. Bahkan, mampu menjangkau hinga ke India. Penjelajah Muslim dari Maroko, Ibnu Batutta, dalam catatan perjalanannya mengungkapkan aktivitas layanan pos di Sind, India, tahun 1333 M. Begitulah layanan pos di dunia Islam berlangsung. Merpati Pos Ala Dinasti Mamluk Layanan pos di era kejayaan Islam tak hanya sekadar sebagai pengantar pesan. Dinasti Mamluk yang berkuasa di Mesir pada 1250 M hingga 1517 M juga menjadikan pos sebagai alat pertahanan. Guna mencegah invasi pasukan tentara Mongol di bawah komando Hulagu Khan pada medio abad ke-13 M, para insinyur Mamluk membangun menara pengawas di sepanjang rute pos Irak hingga Mesir. Di atas menara pengawas itu, selama 24 jam penuh para penjaga telah menyiapkan tandatanda bahaya. Jika bahaya mengancam di siang hari, petugas akan membakar kayu basah yang dapat mengepulkan asap hitam. Sedangkan di malam hari, petugas akan membakar kayu kering. Upaya itu ternyata tak sepenuhnya berhasil. Tentara Mongol mampu menembus Baghdad dan memorak-poran dakan metropolis intelektual itu. Meski begitu, peringatan awal yang ditempatkan di sepanjang rute pos itu juga berhasil mencegah masuknya tentara Mongol ke Kairo, Mesir. Hanya dalam waktu delapan jam, berita pasukan Mongol akan menyerbu Kairo sudah diperoleh pasukan tentara Muslim. Itu berarti, sama dengan waktu yang diperlukan untuk menerima telegram dari Baghdad ke Kairo di era modern. Berkat informasi berantai dari menara pengawas itu, pasukan Mamluk mampu memukul mundur tentara Mongol yang akan menginvasi Kairo. Menurut Paul Lunde, layanan pos melalui jalur darat pada era kekuasaan Dinasti Mamluk juga sempat terhenti ketika pasukan Tentara Salib memblokir rute pos. Meski begitu, penguasa Dinasti Mamluk tak kehabisan akal. Sejak saat itu, kata dia, Dinasti Mamluk mulai menggunakan merpati pos. Dengan menggunakan burung merpati sebagai pengantar pesan, pasukan Tentara Salib tak dapat mencegah masuknya pesan dari Kairo ke Irak. “Merpati pos mampu mengantarkan surat dari Kairo ke Baghdad dalam waktu dua hari,” tutur Lunde. Sejak itu, peradaban Barat juga mulai meniru layanan pos dengan merpati seperti yang digunakan penguasa Dinasti Mamluk. Lunde menuturkan, pada 1300 M Dinasti Mamluk memiliki tak kurang dari 1.900 merpati pos. Burung merpati itu sudah sangat terlatih dan teruji mampu mengirimkan pesan ke tempat tujuan. Seorang tentara Jerman bernama Johan Schiltberger menuturkan kehebatan pasukan merpati pos yang dimiliki penguasa Dinasti Mamluk. “Sultan Mamluk mengirim surat dengan merpati, sebab dia memiliki banyak musuh,” cetus Schiltberger. Dinasti Mamluk memang bukan yang pertama menggunakan merpati pos. Penggunaan
merpati untuk mengirimkan pesan kali pertama diterapkan peradaban Mesir kuno pada 2900 SM. Pada masa kekuasaan Dinasti Mamluk, merpati pos juga berfungsi untuk mengirimkan pesanan pos parsel. Alkisah, penguasa Mamluk sangat puas dengan kiriman buah ceri dari Lebanon yang dikirimkan ke Kairo dengan burung merpati. Setiap burung merpati membawa satu biji buah ceri yang dibungkus dengan kain sutra. Pada masa itu, sepasang burung merpati pos harganya mencapai 1.000 keping emas. Layanan merpati pos ala Dinasti Mamluk itu tercatat sebagai sistem komunikasi yang tercepat di abad pertengahan. Hingga akhirnya, Samuel Morse menemukan telegraf pada 1844 M dan Guglielmo Marconi menciptakan radio. heri ruslan
Merpati Pos Ala Dinasti Mamluk Layanan pos di era kejayaan Islam tak hanya sekadar sebagai pengantar pesan. Dinasti Mamluk yang berkuasa di Mesir pada 1250 M hingga 1517 M juga menjadikan pos sebagai alat pertahanan. Guna mencegah invasi pasukan tentara Mongol di bawah komando Hulagu Khan pada medio abad ke-13 M, para insinyur Mamluk membangun menara pengawas di sepanjang rute pos Irak hingga Mesir. Di atas menara pengawas itu, selama 24 jam penuh para penjaga telah menyiapkan tandatanda bahaya. Jika bahaya mengancam di siang hari, petugas akan membakar kayu basah yang dapat mengepulkan asap hitam. Sedangkan di malam hari, petugas akan membakar kayu kering. Upaya itu ternata tak sepenuhnya berhasil. Tentara Mongol mampu menembus Baghdad dan memorak-porandakan metropolis intelektual itu. Meski begitu, peringatan awal yang ditempatkan di sepanjang rute pos itu juga berhasil mencegah masuknya tentara Mongol ke Kairo, Mesir. Hanya dalam waktu delapan jam, berita pasukan Mongol akan menyerbu Kairo sudah diperoleh pasukan tentara Muslim. Itu berarti, sama dengan waktu yang diperlukan untuk menerima telegram dari Baghdad ke Kairo dieramodern. Berkat informasi berantai dari menara pengawas itu, pasukan Mamluk mampu memukul mundur tentara Mongol yang akan menginvasi Kairo. Menurut Paul Lunde, layanan pos melalui jalur darat pada era kekuasaan Dinasti Mamluk juga sempat terhenti ketika pasukan Tentara Salib memblokir rute pos. Meski begitu, penguasa Dinasti Mamluk tak kehabisan akal. Sejak saat itu, kata dia, Dinasti Mamluk mulai menggunakan merpati pos. Dengan menggunakan burung merpati sebagai pengantar pesan, pasukan Tentara Salib tak dapat mencegah masuknya pesan dari Kairo ke Irak. Merpati pos mampu mengantarkan surat dari Kairo ke Baghdad dalam waktu dua hari, tutur Lunde. Sejak itu, peradaban Barat juga mulai meniru layanan pos dengan merpati seperti yang digunakan penguasa Dinasti Mamluk. Lunde menuturkan, pada 1300 M Dinasti Mamluk memiliki tak kurang dari 1.900 merpati pos. Burung merpati itu sudah sangat terlatih dan teruji mampu mengirimkan pesan ketempat tujuan. Seorang tentara Jerman bernama Johan Schiltberger menuturkan kehebatan pasukan merpati pos yang dimiliki penguasa Dinasti Mamluk. Sultan Mamluk mengirim surat dengan merpati, sebab dia memiliki banyak musuh, cetus Schiltberger. Dinasti Mamluk memang bukan yang pertama menggunakan merpati pos. Penggunaan merpati untuk mengirimkan pesan kali pertama diterapkan peradaban Mesir kuno pada 2900 SM. Pada masa kekuasaan Dinasti Mamluk, merpati pos juga berfungsi untuk mengirimkan pesanan pos par sel. Al kisah, penguasa Mamluk sangat puas dengan kiriman buah ceri dari Lebanon yang dikirimkan ke Kairo dengan burung merpati. Setiap burung merpati membawa satu biji buah ceri yang dibungkus dengan kain sutra. Pada masa itu, sepasang burung merpati pos harganya mencapai 1.000 keping emas. Layanan merpati pos ala Dinasti Mamluk itu tercatat sebagai sistem komunikasi yang tercepat di abad pertengahan. Hingga
akhirnya, Samuel Morse menemukan telegraf pada 1844 M dan Guglielmo Marconi menciptakan radio.
Libya Kekuatan Baru Islam dari Afrika Libya melalui Jam’iyah Ad-Dakwah Al-Islamiyah Al-Alamiyah sangat konsen dan konsisten untuk menyebarkan ajar an Islam ke ber bagai penjuru dunia. Lemba ga ini bah kan turut meno pang gerakan dakwah Is lami yah di se luruh nega ra Afrika. Negeri Saha ra. Begitulah Libya negara berpenduduk mayoritas Muslim yang terbentang di sepanjang pantai timur laut Afrika itu kerap dijuluki. Sejarah peradaban Islam mencatat, negara yang dikenal dengan nama resmi Great Socialist People’s Libyan Arab Jamahiriya itu turut me me gang peranan penting dalam pe nye baran Islam di benua Afrika Utara. Kini, melalui Jam’iyah Ad- Dakwah Al-Islamiyah Al-Alamiyah yang dimilikinya—negeri petrodolar yang terhampar di daratan seluas 1.759. 540 km persegi itu—mulai menjadi sebuah kekuatan baru Islam di ‘Benua Hitam’ Afrika. Negara multietnis yang terdiri atas bangsa Barbar, Arab, Yunani, Mal ta, Italia, Mesir, Pakistan, Turki, In dia, dan Tunisia itu terletak di se belah barat Tunisia dan Aljazair. Di bagian timur, negeri yang tercatat se bagai salah satu wilayah ter tua yang dihuni peradaban manusia itu berbatasan dengan Mesir. Di ba gian selatan, negara yang kini dipim pin oleh Kolonel Muam mar Qaddafi sejak tahun 1969 itu bertetangga dengan Sudan dan Nigeria. Popu lasi pen duduk Libya yang dikaruniai lim pahan cadangan minyak itu mencapai 6.173. 579 jiwa—97 persen beragama Islam. Menurut bukti-bukti arkeologi, di wilayah Libya sekitar 8 milenium SM telah berkembang kebudayaan Neoli ti kum di kawasan pantai. Masyarakat Libya kuno sudah mulai mengembang kan pertanian. Sedangkan di wilayah selatan yang terdiri atas hamparan padang pasir, masyarakat Libya kuno memiliki mata pencaharian sebagai pemburu. Asal muasal keberadaan bangsa Barbar di daratan Libya hingga kini masih diselimuti misteri. Meski be gitu, bukti arkeologi dan lingusitik mengindikasikan suku Barbar berasal dari barat daya Asia. Mereka diduga hijrah ke daratan Afrika Utara pada milenium ke-3 SM. Sejarah mencatat, wilayah Libya selalu menarik perhatian beragam peradaban. Tak heran, jika penguasa negeri itu selalu silih berganti dari zaman ke zaman. Sebelum abad ke-12 SM, wilayah ini sempat dikuasai orangorang Phoenik. Bangsa Yunani Kuno juga sempat menguasai wilayah itu sekitar abad ke-7 SM. Selama 400 tahun la manya, wilayah Libya, Tripoli, dan Cyrenaica, sempat menjadi bagian da ri kekuasaan bangsa Romawi. Pada masa itu, penduduk Libya dikisahkan hidup dalam kemakmur an. Bangunan Leptis Magna nan me gah yang terletak 120 km dari Tripoli menjadi sak si kekuasaan Romawi di Libya. Sisasisa peninggalan Romawi itu menunjukkan adanya kehidupan metropolis yang sangat maju di permulaan abad masehi. Gedung teater, pasar, istana raja, ko lam pemandian, dan lapangan olah raga yang begitu megah menjadi saksi kehi dupan masyarakat kota bangsa Romawi di darat an Libya. Seiring ber kuasanya Romawi, pada awal abad ke-2 M agama Kristen mulai menyebar di wilayah Libya. Libya memasuki babak baru ketika ajar an Islam memasuki negeri Sahara itu pada 642 M. Di bawah komando Jenderal Muslim, Amar bin Ash, pasukan tentara Islam yang saat itu berada di era kepemimpinan Umar bin Khat tab berhasil menguasai Libya—ka was an Cyrenaica dan membangun markas pertahanan di Barce.
Dua tahun kemudian, pasukan tentara Islam mampu menembus ke ku atan Bizantium dan akhirnya m e nguasai Tripo litania. Jenderal perang tentara Muslim lainnya, Uqba bin Na fi, pada 663 M juga tercatat berhasil merebut wilayah Fezzan dari Kekai sar an Bizantium. Kekuasaan Romawi semakin menyusut ketika pada 670 M, tentara Muslim mengambil alih se jum lah provinsi di Afrika. Uqba lalu mendirikan kota Kairouan di wilayah Tunisia. Mulai abad ke-8 M, wilayah Libya, Tripolitania, dan Cyrenaica—berada dalam kekuasaan Dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus. Berkuasanya Islam di wilayah Libya menjadi berkah bagi penduduknya. Dinasti Umayyah mampu menyatukan kehi dupan politik dan agama di bawah payung kekhilafahan. Pemerintahan dijalankan dengan syariah (hukum Islam)—berdasarkan Alquran dan Hadis. Kehidupan masyarakat Libya be gitu makmur dan tenteram di bawah kekuasaan kekhilafahan Islam. Sektor pertanian di kawasan pesisir dan per kotaan berkembang pesat. Orang-orang kota merasa nyaman dan aman ka rena mendapat jaminan untuk ber niaga dan berbisnis. Penduduk non-Muslim mendapatkan jaminan hak atas lahan yang mereka kuasai. Di Cy renaica, para pemimpin gereja me nyambut datangnya Islam, karena te lah membebaskan mereka dari penindasan Bizantium. Peradaban Islam pun mulai membangun perkotaan di Afrika Utara. Kedatangan pasukan tentara Islam di Afrika Utara—khususnya Libya—bu kan untuk melakukan penjajahan, melainkan untuk melakukan dakwah dan penaklukan saja. Berbeda dengan invasi yang dilaku kan Barat terhadap negara-negara Islam. Mereka m e ngu a sai, menindas, mengeksploitasi, dan menjajah ketika menaklukkan sebuah wilayah. Ekspansi yang dilakukan peradaban Islam malah membawa kedamaian dan kemakmuran bagi wilayah yang ditaklukkan tentara Islam. Perlahan namun pasti, jumlah pemeluk Islam mulai berkembang di Libya. Apalagi, tentara Muslim yang datang ke wila yah itu melakukan asimilasi dengan penduduk asli, seperti melakukan pernikahan dengan wanita di wilayah Libya. Suku Barbar yang nomaden pun berbondong-bondong memeluk agama Islam. Setelah ke kuasaan Dinasti Umay yah berakhir, wila yah Libya ber ada dalam naungan Kekhilafahan Ab basiyah. Kawasan Afrika Utara termasuk Libya—dipimpin seorang amir yang berada di bawah kendali kha lifah. Pada tahun 800, Khalifah Ha run Ar-Ra syid mengangkat Ib ra him bin Aghlab, yang mendirikan dinasti di Kairouan, memerintah Afrika dan Tripo litania sebagai negara bagian yang otonom. Amir Aghlabid memperbaiki sistem irigasi bekas Romawi. Peradaban Is lam pun membangun kawasan Libya hingga menjadi daerah yang makmur dan kaya-raya. Produksi pertanian pun melimpah ruah. Dinasti Aghlabid berlombalomba dengan Kekaisaran Bizantium untuk menguasai Medi terania Tengah. Dari wilayah itu pula, Dinasti Aghlabid mampu mengusai Sicilia—wila yah otonom di Italia Selatan, dan memainkan peranan aktif dalam kancah perpolitikan di Italia. Setelah tenggelamnya kekuasaan Dinasti Aghlabid, kawasan Libya sempat pula dikuasai Dinasti Fatimiyah. Libya pernah pula berada dalam kekuasaan Dinasti Mamluk dan hingga akhirnya diambil alih Kekhilafahan Turki Usmani. Seiring waktu, Libya melalui Jam’iyah Ad-Dakwah Al-Islamiyah Al- Alamiyah sangat konsisten untuk menyebarkan ajar an Islam ke ber bagai penjuru dunia. Lemba ga ini bah kan turut meno pang gerakan dakwah Is lamiyah di se luruh nega ra Afrika. Se cara rutin, lem baga dakwah ini mempersatukan umat Islam dengan meng undang para ulama dan intelektual Muslim dari berbagai penjuru dunia untuk menyusun agenda dakwah. Lembaga ini pun telah membangun sederet masjid agung di berbagai be lah an dunia. Bahkan secara rutin, lembaga ini mengundang ulama dari Indonesia. Lembaga dakwah ini pun mendanai pembangunan Masjid Qa dafi Center di Bogor, Jawa Barat. Libya di Era Kekuasaan Turki Usmani
Di awal abad ke-16 M, kawasan Mediterania menjadi rebutan dua kekuatan dan peradaban; Spanyol Hapsburg dan Kekhilafahan Turki Usmani. Pada 1510 M, bangsa Spanyol menginvasi Libya. Mereka menguasai Tripoli dan menghancurkan ibu kota Libya itu. Spanyol pun sempat mendirikan basis pertahanan laut di Tripoli. Meski begitu, Spanyol tak terlalu meng anggap penting Kota Tripoli. Raja Charles V pun memercayakan penguasaan Tripoli kepada Ksatria St John Malta. Pasukan Turki Usmani dibawah komando Admiiral Sinan Pasha pada 1551 M berhasil mengusir para kesatria Kristen yang menguasai Tripoli. Sultan Turki Usmani lalu mengangkat kapten Draughut Pasha sebagai gubernur di Tripolitania. Draughut Pasha memperbaiki kota pantai yang sempat dihancurkan bangsa Spanyol. Secara formal wilayah kekuasaan Turki Usmani di benua Afrika dibagi menjadi tiga wilayah, yakni Aljazair, Tunis, dan Tripoli (Libya). Setelah tahun 1565 M, wilayah Tripoli dipimpin oleh seorang Pasha yang diangkat langsung oleh Sultan. Setiap wilayah diperkuat oleh pasukan tentara khusus yang personelnya berasal dari suku Turki yang benar-benar telah bertekad untuk mengabdikan dirinya bagi mili ter. Pada akhir abad ke-17 M, jumlah penduduk Tripoli tercatat sekitar 30 ribu jiwa. Pada masa itu, Tripoli ma sih sebatas kota kabupaten bagi Kesultanan Turki Usmani. Selama dikuasai Turki Usmani, wilayah Libya mengalami masa pasang surut. Kekuasaan Turki di Libya berakhir pada awal abad ke-20 M. Setelah melalui pertempuran yang sangat sengit, Libya akirnya jatuh dalam genggaman kekuasaan Italia pada 1912 M. Penjajah Italia lalu menyatukan Tripolitania dan Cyrenaica pada 1934 sebagai bagian dari Libya. Hingga kini, peninggalan Kekhilafahan Usmani berupa benteng pertahanan masih berdiri kokoh di Jalan Medan Al-Jazair Tripoli. Di sebelah kiri benteng itu juga berdiri sebuah pasar, yakni Pasar Turki. Pasar rakyat itu menjadi salah satu sentra perdagangan dan niaga masyarakat Libya di Tripoli. Dari Gerakan Sufi hingga Revolusi 1 September Selama Italia menjajah Libya, rakyat Libya terus melakukan perlawanan. Perlawanan terhadap penjajah dari Eropa itu digelorakan oleh kaum sufi yang tergabung dalam tarekat yang didirikan oleh Muhammad bin Ali as-Sanusi (1787-1859). Setelah melalui perjuangan panjang, akhirnya pada Oktober 1951, berdasarkan konstitusi Libya menyatakan kemerdekaannya dalam bentuk negara federal monarki yang dipimpin Raja Idris—sebagai kepala negara. Perjalanan pemerintahan monarki di bawah pimpinan Raja Idris itu akhirnya berakhir pada 1 September 1969. Sekelompok tentara muda yang terdiri atas 70 orang mengambil alih kekuasaan dari Raja Idris. Penggulingan kekuasaan itu digulirkan dari kota Benghazi. Kelompok militer muda ini dipimpin oleh 12 anggota direktorat yang menamakan dirinya Revolutionary Command Council (RCC). Sejak itulah, pimpinan militer muda yang dipimpin Kolonel Mua mar Qaddafi mendeklarasikan kemerdekaan Libya yang kedua kalinya. Inilah kemerdekaan Libya sepenuhnya yang be bas dari pengaruh negara-negara Barat. Libya pun memproklamasikan berdirinya Great Socialist People’s Libyan Arab Jamahiriya. Qaddafi tampil sebagai pemimpin tertinggi di negara itu. Tahun ini, usia Libya di bawah kepemimpinan Qaddafi memasuki usia ke-39. Selain membangun bangsanya, Qaddafi pun menaruh perhatian penting terhadap aktivitas dakwah Islamiyah. Uniknya, negara ini menghitung tahun Islam dari saat wafatnya Rasulullah SAW, bukan dari saat hijrah. Aktivitas keislaman kini terus menggeliat di Libya. Sebuah harapan baru bagi kemajuan ajaran Islam.
Masjid Agung Umayyah Masjid Agung Umayyah memiliki peran yang amat penting dalam sejarah peradaban Islam. Secara historis dan budaya, masjid yang berdiri megah di jantung kota tua Damaskus, Suriah, itu merupakan salah satu tempat ibadah umat Islam yang paling tua. Inilah salah satu karya fenomenal dalam bidang arsitektur di era kekhalifahan yang menjadi simbol kejayaan dan kebanggaan peradaban Islam. Arsitekturnya telah memberi pengaruh bagi seni bina masjid di seluruh dunia. Masjid Agung Umayyah yang diyakini sebagai salah satu tempat suci bagi kaum Muslimin, itu merupakan tempat lahirnya sejumlah elemen penting dalam dunia arsitektur Islam. Dari masjid inilah, arsitektur Islam mulai mengenal lengkungan ( horseshoe arch), menara segi empat, dan maksurah. Berdirinya Masjid Agung Umayyah berawal dari kedatangan Islam di bawah pimpinan Khalid bin Al-Walid di Suriah pada 635 M. Dengan menjunjung semangat toleransi, umat Islam yang menguasai Damaskus memberi kebebasan bagi penganut Nasrani untuk beribadah. Kedua pemeluk agama samawi ini lalu bersepakat untuk membagi dua gereja St John. Umat Islam beribadah di sebelah timur dan di bagian barat digunakan penganut Kristen sebagai gereja. Tempat ibadah kedua agama ini hanya dipisahkan dinding tembok. Berbilang waktu, jumlah umat Islam di Damaskus terus bertambah banyak. Sehingga, bangunan gereja yang dibagi dua itu tak lagi mampu menampung jumlah umat Islam yang kian bertambah banyak. Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik (705-715 M) lalu memutuskan untuk membangun masjid yang megah. Umat Islam pun segera bernegoisasi dengan komunitas Kristen Damaskus. Lewat pembicaraan yang alot, akhirnya kedua belah pihak mencapai kata sepakat. Khalifah Al-Walid memutuskan untuk membeli lahan dan mulai membangun masjid yang sangat megah. Sarjana Barat kerap menuding pembangunan Masjid Agung Umayyah sebagai bentuk intoleransi umat Islam. Benarkah? Tudingan itu ternyata salah kaprah. Sebuah studi yang dilakukan Golvyn L (1971) dalam bukunya berjudul, Art religieux des Umayyades de Syrie, membuktikan tuduhan itu tak benar dan tak berdasar. Golvyn berhasil meneliti teks yang ditulis Uskup Arculfe. Dalam teks itu, sang uskup menyatakan kaum Muslimin memiliki masjid sendiri dan gereja St John dibangun umat Kristen di bawah pemerintahan Islam. Penjelasan Uskup Arculfe itu juga didukung dengan sejumlah teks. "Jadi, Masjid Agung Umayyah tak dibangun di atas reruntuhan gereja St John sebagaimana yang dituduhkan sarjana Barat," papar Golvyn. Proses pembangunan Masjid Agung Umayyah dimulai pada 87 H/705 M dan selesai pada 96 H/714 M. Biaya pembangunannya berasal dari pajak lahan pertanian ( kharaj) yang dipungut pemerintahan Dinasti Umayyah. Pembangunan masjid terbesar pertama di abad ke-8 M itu melibatkan para seniman dan tukang bangunan dari berbagai negeri, seperti Persia, India, Afrika Utara, Mesir, dan Bizantium. Sejarawan Al-Muqadassi menuturkan, Raja Bizantium turut menawarkan para tukang bangunan dan seniman serta bahan bangunan untuk membantu proses pembangunan Masjid Agung Umayyah. Sehingga, kemudian muncul anggapan bahwa gaya arsitektur masjid itu meniru seni bina bangunan Bizantium. Namun, anggapan itu dibantah oleh aristektur Barat KAC Creswell dalam bukunya, Early Muslim Architecture, dan Strzygowski (1930). "Masjid Agung Umayyah adalah murni hasil kerja umat Islam yang terinspirasi oleh gaya Persia," papar kedua arsitektur kenamaan itu. Pada awalnya, masjid yang besar dan megah itu berdiri di atas lahan dengan panjang 157 meter dan lebar 100 meter serta terdiri atas dua bagian utama. Bagian halaman menempati hampir separuh area masjid dan dikelilingi
serambi yang melengkung. Bangunan masjid itu tampak megah dengan ditutupi kubah yang indah. Pada masjid itu juga terdapat tempat khusus untuk menampung zakat atau pendapatan negara yang bernama baitul mal. Bangunan baitul mal yang berada di sisi halaman sebelah barat itu pertama kali didirikan oleh Khalifah Al-Mahdi pada 778 M. Halaman masjid yang berbentuk persegi empat dibiarkan terbuka karena terinspirasi Masjid Nabi Muhammad SAW di Madinah. Masjid ini dihiasi dengan tiga menara yang menjulang di langit Damaskus. Tiga menara yang menemani bangunan masjid yang megah itu terbilang unik. Sebab, biasanya jumlah menara yang ada pada masjid jumlahnya satu, dua, empat, atau tujuh seperti yang terdapat di AlHaram As-Sharif (Kaabah). Bentuk menaranya yang segi empat menandakan masjid inilah yang pertama kali menggunakan minaret. Terdapat tiga pintu utama untuk memasuki area Masjid Agung Umayyah. Pintu utama pertama terdapat di tengah tembok sebelah utara. Dua pintu lainnya terdapat di sisi tembok sebelah timur (bab jayru) dan sebelah barat (bab ziyada). Di era kekhalifahan Islam, Masjid Agung Umayyah menjadi pusat kegiatan umat. Dari masjid inilah peradaban Islam terus berkembang luas hingga mencapai benua Asia, Afrika, dan Eropa. Pada masa itu, masjid tak hanya menjadi tempat untuk beribadah, namun juga menjadi pusat aktivitas ilmu pengetahuan. Masjid Agung Umayyah makin bertambah istimewa karena berdiri di atas areal bersejarah pra-Islam. Para sejarawan kerap menghubungkan masjid ini dengan sejumlah tokoh agama yang termasyhur. Lahan yang dibangun masjid tersebut ternyata adalah makam Nabi Yahya AS. Sejarawan Ibnu al-Faqih melaporkan bahwa Zaid Ibnu Al-Waqid, yang memimpin pembangunan masjid menemukan tengkorak Nabi Yahya di dekat sebuah reruntuhan. Khalifah Al-Walid lalu memerintahkan agar tengkorak Nabi Yahya itu dikuburkan di salah satu dermaga masjid yang kemudian dikenal sebagai Amud al-Sakasik. Sejarawan Harawi pada 1173 M mencatat bahwa tiang marmet berwarna hitam dan putih yang menopang kubah AlNasr (kubah di depan mihrah) masjid itu merupakan tahta Bilqis, ratu Saba di era Nabi Sulaiman AS. Menara sebelah timur atau yang biasa disebut sebagai Menara Isa diyakini sebagai tempat akan turunnya Nabi Isa AS. Hingga kini, Masjid Agung Umayyah yang dibangun 14 abad lalu masih berdiri dengan megah dan indah.
Pengaruh Islam dalam Wushu dan Kungfu Siapa yang tak kenal Wushu dan Kungfu? Ya, olahraga bela diri asal Cina itu begitu mengagumkan. Gerakan-gerakannya sungguh indah sekaligus mematikan. Di balik nama besar dan popularitasnya, ternyata peradaban Islam di Cina banyak memberi sumbangan dan pengaruh yang sangat penting bagi kedua olahraga bela diri itu. Wushu berasal dari kata Wu berarti ilmu perang dan Shu bermakna seni. Sumbangan peradaban Islam dalam Wushu mulai terjadi di era kekuasaan Dinasti Yuan. Ketika itu, umat Islam memiliki pengaruh yang besar dalam pemerintahan. Pengaruh itu kian menguat ketika Dinasti Ming didirikan Kaisar Zhu Yuanzhang, seorang jenderal yang beragama Islam. Dinasti Ming memiliki enam orang komandan perang Muslim yang gagah. Mereka adalah Chang Yuchun, Hu Dahai, Mu Ying, Lan Yu, Feng Sheng, dan Ding Dexing. Semua komandan perang dari Dinasti Ming itu adalah para master Wushu. Mereka banyak memberi pengaruh dalam jurus-jurus Wushu. Ketika kekuasaan beralih ke Dinasti Qing, para master Wushu yang beragama Islam banyak
menemukan dan mengembangkan jurus-jurus dalam Wushu, seperti bajiquan, piguazhang, dan liuhequan. Pusat Wushu Muslim di Cina berada di Kabupaten Cangzhou, Provinsi Hebei. Dari kota itu telah lahir master Wushu Muslim yang sangat termasyhur bernama Wang Zi Ping atau Wu Zhong (1881 M-1973 M). Selain memberi pengaruh yang besar dalam olahraga Wushu, peneliti Cina bernama Mohammed Khamouch dalam tulisannya berjudul,The Legacy of Muslim Kung Fu Masters, memaparkan warisan Islam dalam seni bela diri yang dikuasai aktor Jet Lee itu. Menurut Khamouch, para master kungfu Muslim telah menanamkan sebuah filosofi penting dalam seni bela diri asal Cina itu. Filosofi itu berasal dari sebuah hadis Rasulullah SAW. Empat belas abad lampau Nabi Muhammad pernah bersabda, "Manusia yang kuat bukanlah orang yang membanting orang lain dalam sebuah perkelahian. Manusia yang kuat adalah orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah." Hikmah yang dimasukan para kungfu master Muslim itu melahirkan apa yang disebut sebagai "Chi" (energi dalam). Dengan menguasai Chi, seorang ahli kungfu mampu menjinakkan nafsu dan sifat kebinatangan yang ada dalam dirinya. Selain itu, dengan memiliki Chi, seseorang akan dengan lebih mudah menguasai seni bela diri kungfu. "Para master kungfu Muslim telah berhasil mengharmonisasi bentuk internal maupun eksternal dalam seni bela diri itu," papar Khamouch. Salah satu seni bela diri warisan peradaban Islam di Cina yang dikenal di Tanah Air adalah Thifan Po Khan. Seni bela diri ini sejenis kungfu yang dikombinasi dengan bela diri lainnya. Ciri Islamnya, bela diri yang satu ini sudah dibersihkan dari unsur-unsur kesyirikan dan kejahiliyahan. Konon, seni bela diri yang dikembangkan umat Islam di Cina itu mulai berkembang pada abad ke-7 M. Secara bahasa, Thifan Po Khan berarti pukulan tangan bangsawan. Disebut demikian karena gerakan-gerakan dalam thifan relatif halus dibandingkan bela diri serumpunnya, seperti Syufu Taesyu Khan. Sehingga, bela diri yang halus ini dianggap cocok untuk para bangsawan. Di negeri asalnya, Thifan merupakan olahraga bela diri kalangan pesantren-pesantren yang lazim disebut lanah. Seni bela diri ini masuk ke Nusantara pada abad ke-17 M. Thifan sempat menjadi bela diri resmi kerajaan di Aceh, saat Sultan Iskandar Muda berkuasa.
Peradaban Islam Pelopor Sistem Penulisan Bagi Tunanetra Dunia modern boleh jadi hanya mengenal Louis Braille (1809-1852) sebagai satu-satunya penemu sistem penulisan bagi kalangan tunanetra. Padahal, 600 tahun sebelum Braille, peradaban Islam telah memelopori lahirnya sistem tulisan bagi kaum tunanetra. Sayangnya, terobosan penting yang diciptakan ilmuwan Muslim di abad ke-13 M itu seakan lenyap ditelan zaman. Adalah profesor Muslim bernama Ali Ibnu Ahmed Ibnu Yusuf Ibnu Al-Khizr Al-Amidi yang telah merintis penciptaaan sistem penulisan bagi orang buta itu. Sejak terlahir ke dunia, Al-Amidi sudah dalam kondisi buta. Keterbatasan penglihatan itu tak menyurutkan semangatnya untuk belajar dan terus menggali ilmu. Ilmuwan asal Suriah itu pun termasyhur sebagai ahli hukum dan pakar bahasa asing. Untuk menggali ilmu dan pengetahuan, Al-Amidi berhasil menciptakan sebuah sistem penulisan untuk kaum difabel. Dengan sistem penulisan yang diciptakannya, ilmuwan yang wafat pada 1314 M itu mampu membaca dan menulis buku. Penyandang tunanetra memang
dikenal memiliki kemampuan meraba yang sangat luar biasa. Berkah itu mampu dimanfaatkan Al-Amidi untuk menggali ilmu. Dengan kemampuan meraba dan menyentuh itu, dia tak hanya mampu menempatkan dan menyimpan buku pada rak, tetapi Al-Amidi juga mampu menentukan nomor halaman sebuah buku. Selain itu, ia juga mampu mengetahui nilai buku dengan menetapkan jarak baris buku. Sayangnya, jasa dan dedikasi Al-Amidi dalam menciptakan sistem penulisan untuk kaum difabel itu seperti hilang ditelan zaman. Sejarah juga seakan melupakan kontribusi tak ternilai yang telah diberikan ilmuwan Muslim itu. Tak hanya adikaryanya yang terkubur zaman, sosok Al-Amidi juga nyaris tak pernah disebut-sebut dalam sejarah peradaban Islam. Sungguh ironis memang. Bahkan dalam hampir seluruh buku sejarah, pun jejaknya sangat sulit untuk ditemukan. Tak heran jika warga dunia hanya mengenal Braille yang berkebangsaan Prancis sebagai penemu huruf Braille. Pada 1824, Braille menciptakan sejenis sistem tulisan sentuh yang khusus digunakan para penyandang tunanetra. Awalnya, sistem penulisan itu dirancang Braille ketika berusia 15 tahun untuk memudahkan tentara membaca di tempat gelap. Sistem tulisan yang terdiri atas sel yang mempunyai enam titik timbul itu mulai populer dua tahun setelah Braille tutup usia. Sejak itulah, penyandang cacat tunanetra di seantero Prancis mulai menggunakan huruf Braille untuk membaca dan menulis. Huruf Braille terdiri atas 63 karakter. Setiap karakter atau sel terdiri atas enam titik--dua titik mendatar serta tiga titik lainnya menurun. Titik-titik yang terdapat dalam sel itulah yang kemudian dapat dibaca oleh para tunanetra dengan menggunakan rabaan jari. Pada awalnya, huruf Braille tak mengenal huruf W. Setelah diadopsi sebagai sistem tulisan bagi kaum tunanetra yang universal dalam bahasa Inggris di London pada 1932, huruf Braille terus disempurnakan. Kini, huruf Braille telah diperkaya dan dapat digunakan untuk membaca nota musik dan matematika. Bahkan, Alquran Braille pun sudah tersedia sejak lama. Kian kayanya fungsi huruf Braille terjadi setelah sistem penulisan itu ditambah dua titik lagi. Sehingga, setiap selnya terdiri atas delapan titik. Dengan penambahan titik itu, penyandang tunanetra bisa membedakan huruf kapital dengan huruf kecil. Kombinasi delapan titik yang terdapat dalam setiap karakter huruf Braille itu, kini telah disusun dalam standar Unicode. Huruf Braille untuk bahasa Indonesia hampir sama dengan kode huruf Braille Inggris. Sejarah Barat mencatat, sistem Braille pada mulanya dikembangkan Charles Barbier sebagai metode komunikasi. Adalah Kaisar Napoleon Bonaparte yang memerintahkan Barbier untuk membuat kode bagi para serdadunya untuk berkomunikasi dalam keadaan gelap gulita yang disebut tulisan malam. Namun, sistem yang dikembangkan Barbier itu terlalu kompleks untuk dipelajari tentara. Sistem tulisan yang dikembangkan Barbier pun akhirnya ditolak militer. Hingga akhirnya pada 1824, Napoleon berkunjung ke Institut Nasional bagi orang tunanetra di Paris, Prancis, dan bertemu dengan Louis Braille. Lalu, Braille diminta untuk memodifikasi serta merancang sistem tulisan malam yang baru. Ia lalu memodifikasi tulisan yang dibuat Barbier dengan menggunakan sistem sel yang terdiri atas enam titik. Dunia modern pun menganggap sistem tulisan Braille telah melahirkan semacam revolusi komunikasi bagi kalangan tunanetra. Kesadaran untuk menghidupkan kembali sejarah hidup dan kontribusi Al-Amidi mulai muncul di Arab Saudi pada 1975 serta 1981 dan di Mesir pada 1961. Sejak tanggal 31 Maret 1975 dirayakan sebagai hari tunanetra dan pada 1981 dideklarasikan sebagai tahun internasional orang-orang cacat.
Tak jelas apa yang menyebabkan para sejarawan Muslim tak mencatat keberhasilan Al-Amidi yang begitu fenomenal. Boleh jadi, sistem tulisan yang dikembangkan Al-Amidi untuk kaum tunanetra serta tulisan tentang sejarah hidupnya musnah dalam huru-hara yang melanda wilayah Irak. Apalagi, Al-Amidi menetap di wilayah itu. Pada 9 Juli 1401 M, Kota Baghdad dan wilayah Irak lainnya dihancurkan oleh pasukan Timur Lenk--penguasa Dinasti Timurid yang berpusat di Asia Tengah. Selain menghancurkan bangunan serta gedung-gedung penting, aksi invansi Timur Lenk yang masih keturunan Hulagu Khan itu juga menimbulkan korban jiwa belasan ribu jiwa. Serangan Timur Lenk ke Baghdad merupakan invansi kedua yang dilakukan bangsa Mongol. Sebelumnya, pada 1258 M, Baghdad diluluhlantakan tentara Mongol pimpinan Hulagu Khan. Bait Al-Hikmah yang menyimpan jutaan judul buku dibakar. Bahkan, sungai-sungai pun berubah warnanya menjadi hitam, akibat tinta yang meleleh dari buku yang dibuang ke sungai. Peradaban Islam modern tentunya memiliki tugas penting untuk melacak jejak karya dan sejarah hidup Al-Amidi. Bisa jadi pula, risalah tentang sejarah Al-Amidi digondol peradaban Eropa ketika menjajah negara-negara Muslim di Timur Tengah. Pun Sangat mungkin, berkat karya Al-Amidi-lah Braille terinspirasi untuk menciptakan tulisan bagi tunanetra. Ulama dan Ilmuwan Muslim Tunanetra Selain Al-Amidi, peradaban Islam di era keemasan juga mencatat kiprah sederet ilmuwan dan ulama Muslim yang menyandang tunanetra. Ada yang sejak lahir mengalami kebutaan dan ada pula yang mengalami kebutaan pada usia tua. Bahkan, ada pula yang ketika lahir tunanetra, namun penglihatannya bisa kembali normal, seperti Imam Bukhari. Berikut ini adalah beberapa ulama dan ilmuwan Muslim yang tunanetra: Abdullah Ibnu Ummu Maktum Abdullah adalah sahabat Rasulullah SAW yang menyandang tunanetra. Namun, keterbatasan penglihatan tak menyurutkan daya juangnya untuk membela dan menyebarkan agama Allah SWT. Sejarah peradaban Islam mencatat, Abdullah sempat memainkan peranan penting dalam komunitas Muslim pada zamannya. Tak hanya sekadar sahabat bagi Rasulullah SAW, Abdullah adalah keponakan Siti Khadijah-istri pertama Nabi Muhammad SAW. Ayahnya bernama Qays ibnu Za'id dan ibunya Atikah binti Abdullah. Atikah dijuluki Ummu Maktum karena dia melahirkan seorang anak yang buta bernama Abdullah. Abdullah merupakan salah seorang sahabat yang terbilang paling awal menerima kebenaran ajaran Islam. Dia pun menyaksikan bagaimana Islam berkembang pesat di Makkah dan Madinah. Meski pada awalnya mendapat tekanan dan siksaan dari kaum Quraisy, Abdullah yang tunanetra tetap memegang keyakinannya sebagai seorang Muslim. Ia juga tetap berada di belakang Rasulullah SAW untuk membela agama Allah SWT. Salah satu kelebihan yang dimilikinya adalah daya ingat yang luar biasa. Tak heran, jika Abdullah menjadi salah seorang sahabat yang bertugas untuk menghapal Alquran. 'Abdur-Razzaq bin Humam Nama lengkapnya adalah Abu Bakar 'Abdur-Razzaq bin Humam bin Nafi' Al-Himyari. Dia adalah seorang ulama yang memiliki pengetahuan yang luar biasa. Ia juga merupakan seorang ahli hadis. Dari Abdu-Razzaq-lah, imam Ahmad, Ishak, Ibnu Ma'in, dan Adh-Dhuhli mendengar langsung hadis. Pada awalnya, penglihatan Abdur-Razzaq normal. Namun, memasuki usia tua, dia mengalami kebutaan. Meski begitu, dia tetap dikenal sebagai ahli
hadis yang memiliki hapalan yang tajam. Ia meninggal pada 211 H pada usia 85 tahun. Abu 'Iesa Muhammad bin 'Iesa bin Sura At-Tirmidzi Ia dikenal sebagai ahli hadis yang termasyhur. Terlahir di Tirmiz, Uzbekistan, pada 209 H, murid Imam Bukhari ini dikenal dengan panggilan At-Tirmidzi. Salah satu kontribusinya bagi pengembangan agama Islam adalah kitab Al-Jami-- menghimpun 4.000 hadis Nabi Muhammad SAW. Kitab yang ditulisnya itu juga populer dengan julukan, Sunan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi juga berjasa dalam mengembangkan metodelogi hadis yang disusunnya dalam buku bertajuk, Al-'Ilal. Sang ahli hadis pun mengalami kebutaan. Ia tutup usia pada 13 Rajab 279 H.
Peradaban Islam Perintis Geologi Modern Menelusuri sumbangan peradaban Islam di era keemasan terhadap ilmu pengetahuan seakan tak pernah ada habisnya. Di zaman kejayaannya, para ilmuwan Muslim ternyata telah berjasa mengembangkan geologi modern: sebuah cabang ilmu alam yang mempelajari bumi, komposisinya, struktur, sifat-sifat fisik, sejarah, dan proses asal mula terbentuknya bumi serta sejarah perkembangannya. Geologi mendapat perhatian penting dari para ilmuwan Muslim di zaman kekhalifahan. Sebab, studi tentang bumi itu memiliki kegunaan dan manfaat yang sangat tinggi. Geologi mampu membantu peradaban manusia dalam menemukan dan mengatur sumber daya alam yang ada di bumi, seperti minyak bumi, batu bara, dan juga metal, seperti besi, tembaga, emas, dan uranium. Selain itu, studi yang dikembangkan para saintis Islam itu juga sangat membantu dalam menemukan zat mineral lainnya yang memiliki nilai ekonomi, seperti asbestos, perlit, mika, fosfat, zeolit, tanah liat, pumis, kuarsa, dan silika serta elemen lainnya, termasuk belerang, klorin, dan helium. Sejak era kekhalifahan, umat Islam telah mampu menemukan ladang minyak, besi, emas, dan lainnya. Ilmuwan Barat, Fielding H Garisson, menyatakan bahwa studi geologi modern dimulai pada era kekhalifahan. Dalam bukunya yang berjudul History of Medicine, Garisson mengatakan, "Umat Islam di abad pertengahan tak hanya mengawali berkembangnya aljabar, kimia, dan geologi, tapi juga telah meningkatkan dan memuliakan peradaban." Abdus Salam (1984) dalam Islam and Science menyatakan bahwa Abu Al Raihan Al Biruni (973-1048 M) merupakan geolog Muslim perintis yang berjasa mendirikan studi geologi modern. Secara mendalam, ilmuwan Muslim abad ke-11 M itu menulis geologi India. Al Biruni melontarkan sebuah hipotesis bahwa anak benua India awalnya adalah sebuah lautan. ''Jika Anda melihat tanah India dengan mata sendiri dan mengamati alamnya, sebenarnya daratan India awalnya adalah laut,'' papar Al Biruni dalam Book of Coordinates. Ia juga menuturkan, keberadaan kerang dan fosil di wilayah negeri Hindustan menunjukkan kawasan itu adalah lautan yang kemudian meningkat menjadi daratan kering. Berdasarkan penemuannya itu, Al Biruni menyatakan bahwa bumi secara konstan mengembang. Temuannya itu memperkuat pandangan Islam yang menyatakan bahwa bumi tak kekal. Teori bumi tak kekal yang dilontarkan Al Biruni itu berlawanan dengan keyakinan ilmuwan Yunani Kuno yang berpendapat bahwa bumi itu kekal. Al Biruni pun lalu menyatakan bahwa bumi juga memiliki usia. Pendapat sang ilmuwan Muslim di era kekhalifahan itu terbukti. Para geolog modern akhirnya membuktikan pendapat itu dengan menyatakan bahwa usia bumi yang diperkirakan sekitar 4,5 miliar (4,5x109) tahun.
Ilmuwan Muslim legendaris, Ibnu Sina (981-1037 M), juga turut memberi kontribusi yang amat penting bagi studi geologi. Avicenna--begitu masyarakat Barat biasa menyebutnya-menamakan geologi sebagai Attabieyat. Dalam bab lima ensiklopedia berjudul Kitab al Shifa, Ibnu Sina menjelaskan mineralogi dan meteorologi. Selain itu, bab keenam Kitab Al-Shifa juga mengupas berbagai hal tentang bumi dan proses pembentukannya. Secara perinci dan lugas, Ibnu Sina membahas pembentukan gunung, manfaat gunung dalam pembentukan awan, sumber-sumber air, asal muasal gempa bumi, pembentukan mineral-mineral, serta keanekaragamaan lahan tanah di bumi. Pemikiran Ibnu Sina tentang geologi ternyata sangat berpengaruh terhadap peradaban Barat. Berkat jasa Avicenna-lah masyarakat Barat kemudian mengenal hukum superposisi, konsep katastropisme (bencana besar), serta doktrin uniformitarianism. Buah pikir Ibnu Sina juga banyak memengaruhi ilmuwan Barat bernama James Hutton dalam mencetuskan Teori Bumi pada abad ke-18 M. Secara terang-terangan, dua akademisi Barat bernama Toulmin dan Goodfield (1965) menjelaskan sumbangsih yang diberikan Ibnu Sina bagi studi geologi modern. "Sekitar abad ke-10 M, Avicenna telah melontarkan hipotesis tentang asal muasal bentangan gunung. Padahal, 800 tahun kemudian, pemikiran seperti itu masih dianggap radikal di dunia Kristen,'' papar Toulim dan Goodfield. Tak cuma itu, metodologi ilmiah serta observasi lapangan yang dikembangkan Ibnu Sina hingga kini masih tetap menjadi bagian yang penting dalam investigasi geologi modern. Studi geologi juga sebenarnya secara lusa tercantum dalam Alquran. Dalam surat Alhijr ayat 19, Allah SWT berfirman, "Dan, Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran." Dalam surat Annahl ayat 15, Sang Khalik juga berfirman, "Dan, Dia menancapkan gununggunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu. (Dan, Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk." Ayat-ayat inilah yang kemungkinan memberi inspirasi bagi para ilmuwan Muslim untuk mengkaji studi geologi. Sumbangan lainnya yang didedikasikan ilmuwan Muslim untuk studi geologi adalah penemuan kristalisasi dalam proses pemurnian. Terobosan penting yang dilakukan Jabir Ibnu Hayyan--saintis pada abad ke-8 M--itu sangat penting dalam kristalogi. Bapak Sejarah Sains, George Sarton, menegaskan bahwa Jabir Ibnu Hayyan juga turut berkontribusi dalam geologi. "Kami menemukan dalam tulisannya (Jabir) pandangan tentang metode penelitian kimia, sebuah teori pembentukan logam pada lapisan tanah, " papar Sarton. Dalam risalah yang ditulisnya, papar Sarton, Jabir Ibnu Hayyan menyatakan bahwa pada dasarnya terdapat enam logam yang berbeda, akibat adanya perbedaan perbandingan sulfur dan merkuri pada keenam jenis logam itu. Bila kita simak secara teliti, studi geologi mendapat perhatian dalam Alquran. Selain banyak memaparkan gunung, ayat suci Alquran juga membahas tanah. Dalam surat Al A'raaf ayat 58, Allah SWT berfirman, "Dan, tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah. Dan, tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur." Dalam ayat lainnya, Alquran juga menjelaskan adanya kandungan penting dalam tanah. "Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang ada di antara keduanya dan semua yang ada di bawah tanah." (QS Thaahaa: ayat 6). Allah SWT juga berfirman dalam surat Alkahfi ayat 41, "Atau, airnya menjadi surut ke dalam tanah. Maka, sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi." Demikianlah bukti nyata bahwa Alquran sangat mendorong umat Islam untuk
mengembangkan sains. Karya Para Ilmuwan Muslim untuk Geologi Pada era keemasan, begitu banyak ilmuwan Muslim yang mengkaji studi geologi. Menurut Guru Besar Universitas Yordania, Prof Abdulkader M Abed, para saintis Islam itu mengkaji tema-tema khusus, seperti mineral, batu-batuan, serta permata. Sayangnya, kebanyakan risalah itu banyak yang hilang dan tak eksis lagi. Berikut ini adalah para ilmuwan yang risalah pentingnya masih tersisa. Yahya bin Masawaih (wafat 857 M) menulis permata dan kekayaannya. Al Kindi (wafat 873 M) menulis tiga risalah. Salah satu karyanya yang terbaik berjudul Gems and The Likes. Al Hasan bin Ahmad Al Hamdani (334 H) menulis tiga buku mengenai metode eksplorasi emas, perak, permata, dan bahan mineral lainnya. Ikhwaan As Safa (pertengahan abad ke-4 H) menulis ensiklopedia yang berisi bagianbagian minelar serta klasifikasinya. Abu Ar Rayhan Mohammad bin Ahmad Al Biruni (wafat 1048 M) adalah ahli mineralogi terhebat sepanjang sejarah peradaban Islam. Selain menulis Book of Coordinates, dia juga menyusun buku berjudul Al Jamhir fi Ma'rifatil Al Jawahir yang mengupas cara mengenali permata. Buku itu dinilai sebagai kontribusi terbaik yang disumbangkan peradaban Islam bagi studi mineralogi. Ahmad bin Yousef Al Tifashi menulis kitab Azhar Al Afkar fi Jawahir Al Ahjar yang berisi tentang cara mengenali batu-batu mulia. Mohammad bin Ibrahim Ibnu Al Akfani (wafat 1348 M) menulis buku berjudul Nukhab Al Thakhair fi Ahwaal Al Jawahir. Buku tersebut mengupas karakteristik batu-batu mulia. Mineralogi dalam Peradaban Islam Para ilmuwan Muslim di abad ke-10 hingga 11 M banyak menaruh perhatian untuk meneliti dan menulis risalah tentang mineralogi. Studi mineralogi merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari geologi. Sebab, mineralogi merupakan cabang geologi yang berfokus pada sifat kimia, struktur kristal, dan fisika dari mineral. Studi ini juga mencakup proses pembentukan dan perubahan mineral. Sekitar 10 abad yang lalu, para saintis Muslim sudah mampu mengidentifikasi beragam jenis mineral. Mereka mendedikasikan dirinya untuk mempelajari mineral. Al Biruni dikenal sebagai pakar mineralogi Muslim yang paling hebat dalam sejarah peradaban Islam. Di zaman itu, para ilmuwan Islam sudah mampu menjelaskan komposisi kimia dan struktur kristal. Batu permata dan batu mulia dinilai para ilmuwan Muslim sebagai jenis mineral yang khusus. Intan, batu nilam, jamrud, serta yang lainnya digolongkan ke dalam mineral. Sejak zaman dahulu, batu-batu mulia itu menjadi lambang kemewahan raja-raja dan para wanita. Sumbangan peradaban Islam dalam bidang mineralogi tak lepas dari keberhasilan umat Islam menguasai wilayah-wilayah penting, seperti Mesir, Mesopotamia, India, dan Romawi. Peradaban wilayah itu sebelumnya juga telah mengenal beragam jenis mineral, batu mulia, dan permata. Karya-karya terdahulu itu lalu dikembangkan dan diteliti lebih lanjut oleh para ilmuwan Muslim.
Peran Masjid dalam Pendidikan Islam Masjid-masjid besar biasanya juga menawarkan pendidikan ilmu yang lehih luas lagi. Dimasjid-masjid besar itu, para pelajar di jaman kekhalifahanpun bida mempelajari beragam ilmu, seperti tata bahasa Arab, logika, aljabar, biologi, sejarah, hukum dan teologi.
"Di era kejayaan Islam, masjid tak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah saja, namun juga sebagai pusat kegiatan intelektualitas," ungkap J Pedersen dalam bukunya berjudul Arabic Book. Sejak awal perkembangannya, masjid terbukti memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan pendidikan di dunia Islam. Sejarawan asal Palestina, AL Tibawi, menyatakan bahwa sepanjang sejarahnya, masjid dan pendidikan Islam adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Di dunia Islam, sekolah dan masjid menjadi satu kesatuan. "Sejak pertama kali berdiri, masjid telah menjadi pusat kegiatan keislaman, tempat menunaikan shalat, berdakwah, mendiskusikan politik, dan sekolah," cetus Jacques Wardenburg. Di manapun ajaran Islam berkembang, di situlah bangunan masjid menjulang. Peran masjid kemudian berkembang sebagai tempat menimba ilmu. Sekolah-masjid di era kejayaan Islam mampu menampung murid dalam jumlah ratusan hingga ribuan siswa. Sebagai pusat intelektualitas, masjid-masjid di era kekhalifahan telah dilengkapi dengan perpustakaan. Koleksi bukunya begitu melimpah, karena banyak ilmuwan dan ulama yang mewakafkan bukunya di perpustakaan masjid. Sejarah peradaban Islam mencatat, aktivitas pendidikan berupa sekolah pertama kali hadir di masjid pada tahun 653 M di kota Madinah. Pada era kekuasaan Dinasti Umayyah, sekolah di Masjid pun mulai muncul di Damaskus pada tahun 744 M. Sejak tahun 900 M, hampir setiap masjid memiliki sekolah dasar yang berfungsi untuk mendidik anak-anak Muslim yang tersebar di dunia Islam. Pada zaman keemasan Islam, anak-anak mulai disarankan untuk menimba ilmu sejak menginjak usia lima tahun. Pada tahap awal, mereka diajarkan cara untuk menulis 99 nama Allah yang indah atau asmaul husna. Selain itu, anak-anak Muslim di masa kekhalifahan pun mulai diperkenalkan dengan tulisan ayat-ayat Alquran yang sederhana. Setelah mahir membaca dan lincah menulis, anak-anak yang belajar di masjid dijarkan Alquran ditambah pelajaran berhitung atau aritmatika. Para siswa juga bisa mempelajari ilmuilmu lainnya. Masjid-masjid besar, biasanya juga menawarkan pendidikan ilmu yang lebih luas lagi. Di masjid-masjid besar itu, para pelajar di zaman kekhalifahan pun bisa mempelajari beragam ilmu seperti tata bahasa Arab, logika, aljabar, biologi, sejarah, hukum, dan teologi. Pada perkembangannya, para pelajar juga tak hanya menimba ilmu di masjid saja. Untuk mempraktikan kemampuannya dalam bidang kedokteran, para siswa juga belajar di rumah sakit. Yang tertarik astronomi juga belajar langsung di observatorium. Tempat belajar juga bisa dilakukan di madrasah - umumnya tempatnya berdampingan dengan masjid. Selain itu bisa juga di rumah-rumah para guru. Di wilayah Spanyol Muslim, aktivitas pendidikan pada umumnya bertempat di masjid. Masjid menjadi pusat aktivitas belajar-mengajar di mulai di daerah kekuasaan Dinasti Umayyah itu sejak berdirnya Masjid Cordoba pada abad ke-8 M. Kegiatan belajar-mengajar di masjid memang terbilang unik dan sangat khas. Format dasar pendidikan di masjid adalah belajar dengan melingkar. Format seperti ini dikenal sebagai Halaqat al-ilm atau halaqah. Dalam ensiklopedia Islam, Halaqah berari "kumpulan orang-orang yang duduk melingkar" atau "kumpulan para pelajar di sekitar seorang guru". Kerap kali, masjid-masjid yang menyelenggarakan halaqah kedatangan ilmuwan tamu. Secara khusus, ilmuwan atau ulama tamu itu akan dipersilakan duduk di samping guru sebagai bentuk penghormatan. Terkadang, ulama atau ilmuwan tamu itu juga diberikan waktu untuk mengajar. Penjelajah Muslim terkemuka dari Maroko, Ibnu Batutta, dalah catatan perjalannya mengambarkan lebih dari 500 pelajar menghadiri halaqah di Masjid Agung Umayyah, Damaskus. Geografer dan penjelajah Muslim lainnya, Al-Muqaddasi, juga menceritakan di Masjid Amr dekat Kairo, Mesir terdapat lebih dari 50 halaqah pada satu tempat. Sedangkan di masjid
utama Kairo, tak kurang terdapat 120 halaqah. Menurut Ruth Stellhorn Mackensen dalam bukunya Background of The History of Moslem Libarries, mengajar dan belajar di masjidmasjid besar di era kekhalifahan menjadi profesi yang benar-benar membanggakan. Aktivitas keilmuan di masjid bahkan bisa melahirkan sebuah pendidikan tinggi atau universitas. Sejarah mencatat, hingga kini terdapat universitas terkemuka di dunia Islam yang lahir dan berasal dari aktivitas intelektual di masjid antara lain; Universitas Al-Qayrawwan dan Al-Zaituna di Tunisia, Al-Azhar di Mesir, Al-Qarawiyyin di kota Fez Maroko, dan Sankore di Timbuktu. Masjid-masjid besar yang menyelenggarakan aktivitas pendidikan mampu menarik perhatian para ilmuwan dan pelajar dari berbagai belahan di dunia Islam. Pada abad ke-12 M, misalnya, aktivitas keilmuwan yang digelar di Masjid Sankore Timbuktu, Mali Afrika Barat mampu mendatangkan 25 ribu siswa dari berbagai negara. Pendidikan yang diselenggarakan di masjid pada masa kejayaan Islam mampu melahirkan sederet tokoh Muslim terkemuka. Pendidikan Masjid Cordoba Spanyol mampu melahirkan seorang ilmuwa besar bernama Ibnu Rushdi dan Ibnu Bajja. Sebuah masjid di Basrah, Irak juga mampu melahirkan seorang ahli tata bahasa Arab terkemuka sepanjang masa bernama Sibawaih. Ia merupakan murid AlKhalil Ibnu Ahmad yang mengajarnya di masjid. Sekolah yang digelar di Masjid Al-Qarawiyyin Fez, Maroko pun mampu melahirkan ulama dan ilmuwan hebat seperti; Ibnu Khaldun, Ibnu Al-Khatib, Al-Bitruji, Ibnu Harazim, Ibnu Maimoun, serta Ibnu Wazzan (Leo Africanus). Bahkan di Masjid Al-Qarawiyyin pula Paus Sylvester II menimba ilmu matematika dan lalu menyebarkannya di gereja-gereja Eropa. Pamor Masjid Al-Azhar, Mesir pun mampu menarik perhatian ilmuwan seperti Ibnu Al-Haitham, Ibnu Khaldun, dan Al-Baghdadi. Pendidikan yang digelar di masjid pada zaman kejayaan Islam ternyata mampu memberi pengaruh terhadap pendidikan di Eropa. Menurut George Makdisi, guru besar Studi Islam di Universitas Pennsylvania, pendidikan masjid yang diselenggarakan di era kekhalifahan telah memberi pengaruh kepada peradaban Eropa melalui sistem pendidikan, universalitas, metode pengajaran, dan gelar kesarjanaan yang diberikan. "Islam juga memberi pengaruh kepada Barat dalam penyelenggaraan pendidikan universitas yakni dalam kebebasan akademik profesor dan mahasiswa, dalam tesis dokteral serta yang lainnya," cetus Makdisi. Begitulah peran masjid dalam mengembangkan pendidikan di dunia Islam pada era keemasan Islam. Lalu bagaimanakah peran masjid saat ini? Gudang Ilmu itu Bernama Masjid Sebagai pusat kegiatan umat, masjid memiliki tiga peran penting yakni sebagai tempat aktivitas sosial, politik dan pendidikan. Guna menopang ketiga peran penting itu, pada era kejayaan Islam masjid telah dilengkapi dengan perpustakaan. Dengan koleksi buku yang terbilang melimpah. Seperti halnya dengan sekolah, masjid juga tak bisa dipisahkan dari keberadaan perpustakaan. Aktivitas pendidikan di masjid tentu membutuhkan banyak buku sebagai referensi. Hal ini mendorong masyarakat di dunia Islam secara rela menyumbangkan dan mewakafkan koleksi buku yang dimilikinya disimpan di perpustakaan masjid. Masjid menjadi tempat yang aman bagi masyarakat Muslim, pada zaman itu. Dengan menuimpan bukunya di masjid, maka buku yang mereka sumbangkan itu akan dirawat dan digunakan para pelajar yang menimba ilmu di masjid. Sehingga, ilmu yang terkandung dalam sebuah buku bisa menyebar luas. Tak hanya disimpan di rak dan dipenuhi debu. Menurut R Mackensen dalam buknya Background of the History of Muslim Libraries Observes para ilmuwan mewariskan koleksi perpustakaan pribadinya kepada masjid agar buku itu tetap terpelihara. Perpustakaan masjid pun memiliki koleksi buku yang lengkap. Ini
juga barangkali yang membuat para guru dan murid begitu betah menghabiskan waktunya belajar di masjid. Sungguh mengagumkan bila kita mengetahui Masjid Sufiyah di Allepo, Suriah, pada era keemasan Islam mampu mengoleksi buku tak kurang dari 10 ribu volume. Pada masa itu, penguasa Aleppo mempelopori gerakan wakaf buku ke perpustakaan masjid. Gerakan yang dipimpin Pangeran Sayf Al-Dawla itu mampu menggerakan ilmuwan dan bangsawan di wilayah itu untuk menyumbangkan koleksi buku-bukunya. Gerakan wakaf buku ke perpustakaan masjid itu terjadi hampir di seluruh wilayah dunia Islam. Demi pengembangan dan penyebaran ilmu, masyarakat mau menyimpan bukunya di masjid. Umat Islam di era kejayaan begitu cinta dengan ilmu pengetahuan. Ajaran Islam mengajarkan umatnya untuk berpikir dan mencari pengetahuan agar dapat mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Tak heran, jika dalam Alquran kata Ilm (pengetahuan) disebut secara berulang-ulang sebanyak 750 kali. Ini pula yang membuat Rasulullah SAW menyerukan umatnya untuk mencari pengetahuan sejauh dan semampunya. Nabi Muhammad SAW pun mengajak umatnya untuk belajar sepanjang hayat - dari saat dilahirkan hingga meninggal dunia. Perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW itulah yang dijadikan pegangan para penguasa Muslim untuk mendukung dan menopang pendidikan. Perpustakaan masjid di era keemasan telah menjadi lumbung ilmu yang melecut semangat para pelajar serta ulama dan ilmuwan untuk berlomba-lomba meraih ilmu. Dengan menguasai beragam ilmu pengetahuan itulah, dunia Islam tampil sebagai penguasa dunia selama beberapa abad. Sayangnya, kini aktivitas keilmuan yang berpusat di masjid menjadi semakin kering. Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa aktivitas keilmuan di masjid mampu melahirkan sederet ilmuwan, ulama dan cendekiawan Muslim yang hebat. Yang mampu memberi kontribusi penting bagi peradaban manusia.
Perpustakaan Lumbung Ilmu di Era Kekhalifahan Sejak peradaban Islam menguasai teknologi pembuatan kertas, aktivitas penulisan buku di akhir abad ke-8 M kian menggeliat. Jumlah buku yang terbit di era kekuasaan Dinasti Abbasiyah itu sungguh melimpah. Pada era itu minat baca sangat tinggi, sehingga setiap orang berlomba membeli dan mengoleksi buku. Ziauddin Sardar dan MW Davies dalam bukunya berjudul Distorted Imagination menggambarkan penerbitan buku di dunia Islam 10 abad silam, hampir setara dengan pencapain peradaban Barat saat ini, baik secara kualitas maupun kuantitas. "Hampir 1.000 tahun sebelum buku hadir di peradaban Barat, industri penerbitan buku telah berkembang pesat di dunia Islam," paparnya. Guna menampung buku-buku yang terbit setiap saat, pada abad ke-9 M di hampir seluruh kota Islam sudah ada perpustakaan. Masyarakat Islam menyebutnya sebagai dar al-'ilm. Sejatinya konsep perpustakaan atau library sudah mulai muncul di era peradaban bangsa Sumeria Kuno. Para arkeolog menemukan bekas bangunan perpustakaan di Nippur bertarikh 1900 SM. Peradaban Islam di era kekhalifahan tak hanya memiliki perpustakaan yang banyak. Masyarakat Muslim di masa keemasan juga memperkenalkan konsep perpustakaan modern. Bagi masyarakat Islam, perpustakaan bukan hanya tempat untuk menyimpan risalah. Namun, umat Islam menjadikan dar al-'ilm sebagai pusat penyebaran ilmu pengetahuan dan peradaban.
Di dunia Islamlah kali pertama perpustakaan umum berdiri. Peradaban Islam pula yang menjadikan perpustakaan sebagai tempat untuk meminjam buku. Tak cuma sebatas itu, dar al-'ilm pun menjadi tempat pertemuan dan diskusi. Perpustakaan di era kejayaan Islam juga menjadi sarana pertukaran ilmu antara guru dan muridnya. Yang lebih mengagumkan lagi, perpustakaan Islam di zaman kekhalifahan telah memperkenalkan konsep katalog. Pada masa itu, buku-buku yang disimpan di perpustakaan telah diatur dan ditempatkan ke dalam genre dan kategori. Konsep itu ternyata hingga kini masih digunakan di perpustakaan modern. "Perpustakaan memiliki peran dan posisi yang tinggi dalam masyarakat Islam di abad pertengahan," tutur O Pinto dalam bukunya bertajuk The Libraries of the Arabs during the time of the Abbasids,' in Islamic Culture. Menurutnya, hampir di setiap masjid dan lembaga pendidikan yang tersebar di dunia Islam, pada masa itu, dipastikan memiliki perpustakaan dengan jumlah buku yang melimpah. Di perpustakaan itulah, papar Pinto, para pelajar menghabiskan waktunya dengan membaca buku. Menurut Pinto, di Baghdad terdapat hampir 36 perpusatakaan umum--sebelum kota metropolis intelektual itu diluluh-lantakkan pasukan tentara Mongol. Di pusat pemerintahan Abbasiyah itu juga terdapat ratusan pedagang buku dan penerbitan. Sangat wajar jika pada masa itu, ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat dan dunia Islam mampu menggenggam dunia. Para penguasa pada era itu begitu mendukung berdirinya perpustakaan. Khalifah AlMutawwakil--penguasa Dinasti Abbasiyah--pada abad ke-9 M sempat memerintahkan berdirinya `zawiyat qurra bagi masyarakatnya yang gemar membaca. Tak cuma itu, bangunan perpustakaan pun dirancang dengan megah dan refresentatif. Sejarawan Al-Muqaddasi menuturkan, Adhud al-Daula (wafat 983 M) mendirikan sebuah perpustakaan yang megah di Shiraz. Perpustakaan itu berdiri di sebuah kompleks yang nyaman; dikelilingi taman, danau, dan aliran air yang menenangkan pikiran. Gedungnya diatapi kubah. Tak kurang dari 360 ruangan disediakan untuk menyimpan buku berdasarkan kategorinya. Dalam buku berjudul The Rabic Book karya Yaqut Mu'jam yang diterjemahkan G French disebutkan di Kota Merw, di wilayah Persia Timur, pada 1216 M hingga 1218 M terdapat 10 perpustakaan umum. Dua perpustakaan berada di masjid dan sisanya di madrasah. R Landau dalam bukunya bertajuk Morocco menuturkan di kota Marrakech, kota terbesar ketiga di Maroko, berdiri Masjid Kutubya. Masjid yang dibangun pada era kekuasaan Abd AlMumin dari Dinasti Muwahiddun itu sengaja diberi nama Kutubya, karena di sekelilingnya terdapat tak kurang dari 200 buku. Pada masa kekhalifahan, buku menjadi komoditas perdagangan yang menguntungkan di Maroko. "Bahkan di Spanyol Muslim terdapat 70 perpustakaan umum," ungkap G Le Bon dalam bukunya berjudul La Civilisation des Arabes. Sejak abad ke-9 M, perpustakaan telah tersebar luas di kota-kota Islam. Di zaman itu, perpustakaan yang megah dan besar juga telah hadir di Kairo, Aleppo, dan kota-kota besar lainnya di Iran, Asia Tengah, dan Mesopotamia. Para penguasa Muslim yang cinta pada ilmu pengetahuan pun mendirikan perpustakaan pribadi. Jumlah buku yang dikoleksinya pun begitu melimpah. Perpustakaan Mostandir, miliki Sultan Mesir memiliki koleksi tak kurang dari 80 ribu volume. Bahkan, perpustakaan milik Dinasti Fatimiah di Kairo tercatat memiliki satu juta volume buku. Selain itu, perpustakaan milik penguasa Muslim di Tripoli menyimpan koleksi buku hingga mencapai 200 ribu volume. Sejarah juga mencatat, jumlah perpustakaan umum yang dimiliki penguasa Kekhalifahan Umayyah di Spanyol Muslim, mencapai 70 unit. Selain itu, para ilmuwan dan ulama di kota itu juga memiliki perpustakaan pribadi yang jumlahnya tak terhitung. Tak heran, jika Cordoba, ibu kota pemerintahan Dinasti Umayyah di Spanyol, menjadi pusat ilmu pengetahuan yang sangat pesat. Pada era kekhalifahan Islam, perpustakaan umum yang tersebar di kota-kota besar memiliki
jaringan yang kuat. Saking banyaknya jumlah buku yang disimpan di perpustakaan Muslim, saat Kota Baghdad dihancurkan tentara Mongol dibawah komado Hulagu Khan, sungaisungai di kota itu berwarna hitam pekat yang berasal dari tinta buku. Menjamurnya perpustakaan di dunia Islam pada era keemasan telah membuat masyarakat Muslim mampu menguasai dunia. Masa keemasan dunia Islam itu mulai memudar, setelah perpustakaan-perpustakaan besar yang menyimpan koleksi buku-buku bernilai tinggi dihancurkan saat bangsa Mongol melakukan invansi. Di era kolonialisme juga banyak buku penting dari dunia Islam yang 'dirampok' dan dibawa para penjajah Barat ke Eropa.
Semua Berawal dari Masjid Sejatinya masjid tak hanya menjadi tempat beribadah. Menurut J Pedersen dalam bukunya Arabic Book, pada masa keemasan Islam, masjid juga berfungsi sebagai pusat kegiatan intelektualitas. Di era kekhalifahan masjid merupakan tempat para sarjana dan ulama Muslim menyusun buku. "Sebelum diterbitkan, seorang penulis atau ilmuwan harus mempresentasikan isi bukunya kepada publik. Mereka melakukannya di masjid dengan cara dibaca atau didiktekan," papar Ziauddin Sardar. Paparan penulis atau ilmuwan itu lalu didengarkan masyarakat umum dan dikopi oleh seorang warraqin--yang bekerja sebagai penulis yang menyalin berbagai manuskrip yang dipesan para pelanggannya. Masjid dan perpustakaan pada zaman kejayaan Islam tak bisa dipisahkan. Sebab, masjid juga memainkan peran yang penting lainnya, yakni sebagai perpustakaan. Kehadiran perpustakaan di dunia Islam juga berasal dari aktivitas keilmuan yang digelar di rumah Allah SWT. Menurut Pedersen, pada masa itu masyarakat Muslim menyerahkan koleksi bukunya ke masjid untuk disimpan di dar al-kutub (perpustakaan). Masyarakat di hampir seluruh dunia Islam, mulai dari Atlantik hingga ke Teluk Persia, menjadikan masjid sebagai tempat yang aman untuk menyimpan buku. "Buku-buku itu dihadiahkan dan banyak ilmuwan yang mewariskan perpustkaan pribadinya kepada masjid untuk menjamin buku mereka tetap terpelihara," ungkap R Mackensen dalam Background of the History of Muslim Libraries Observes. Tak heran, jika koleksi buku yang dimiliki perpustakaan masjid begitu melipah. Di Allepo, Suriah, misalnya, perpustakaan masjid tertua bernama Sufiya mengoleksi buku hampir 10 ribu volume. Buku-buku itu merupakan pemberian dari penguasa Kota Aleppo yang termasyhur, Pangeran Sayf al-Dawla. Gerakan wakaf buku ke perpustakaan masjid yang dipelopori pemimpin itu juga diikuti oleh para ilmuwan dan intelektual. Masjid Abu Hanifah di Irak pun memiliki koleksi buku yang melimpah. Buku-buku yang tersimpan di perpustakaan masjid itu merupakan hibah atau hadiah dari koleksi pribadi. Dengan menyimpan bukunya di perpustakaan masjid, buku-buku itu akan dirawat dan dibaca oleh lebih banyak orang. Sehingga, pengetahuan yang terkandung dalam buku itu bisa tersebar lebih luas. Salah seorang tokoh yang menyumbangkan koleksinya ke Masjid Abu Hanifah adalah seorang dokter bernama Yahia Ibnu Jazla (wafat 1099 M) dan penulis sejarah AlZamakhshari (wafat 1143 M). Perpustakaan masjid lainnya yang juga mengoleksi banyak buku adalah Al-Qarawiyyin. Aktivitas perpustakaan dan keilmuwan di masjid yang terletak di Kota Fez, Maroko, itu telah melahirkan universitas pertama di dunia. Sejarawan Al-Fasi pada 1548 M mengungkapkan, salah seorang ilmuwan yang menyumbangkan buku yang ditulisnya adalah Abu Abdullah Muhammad Al-Ajmawi. Ia menyumbangkan karya besarnya berjudul Al-Qawl Al-Mutabar kepada para siswa yang belajar di masjid itu. Ilmuwan legendaris, Ibnu Khaldun, juga mewakafkan bukunya yang berjudul Kitab Aal-Ibar ke perpustakaan masjid itu.
Buku yang berharga itu lalu dipinjamkan kepada orang tepercaya selama dua bulan, setelah itu dikembalikan lagi ke perpustakaan. Jadilah perpustakaan masjid menjadi tempat penyimpanan buku-buku yang langka dan tak ternilai harganya. Dengan koleksi buku yang melimpah, para pelajar, serta ilmuwan pun berbondong-bondong pergi ke masjid. Mereka datang ke masjid dengan dua tujuan. Untuk beribadah, sekaligus meningkatkan pengetahuan dengan membaca buku. Bahkan, para ilmuwan dan sarjana Muslim sampai menetap di masjid. Syahdan, dua ulama dan ilmuwan Muslim terkemuka, Al-Ghazali dan AlBaghdadi, sempat menetap beberapa periode di menara Masjid Umayyah di Damaskus. Sedangkan, Ibnu Al-Haitham fisikawan penemu optik sempat tinggal di sebuah qubah Masjid Al-Azhar Kairo, Mesir. Menjelang meninggal, para ulama dan ilmuwan itu mewakafkan koleksi buku mereka ke masjid. Masjid Al-Aqsa di Yerusalem, pada era kejayaan Islam, juga memiliki empat perpustakaan. Tempat tersuci ketiga umat Islam itu mengoleksi buku dalam jumlah yang sangat banyak. Buku itu tersimpan di Madrasah Nahawiya dan Ashrafyia yang berada di sekitar masjid.
Revolusi Kimia dalam Peradaban Islam Ilmu kimia merupakan sumbangan penting yang telah diwariskan para kimiawan Muslim di abad keemasan bagi peradaban modern. Para ilmuwan dan sejarah Barat pun mengakui bahwa dasar-dasar ilmu kimia modern diletakkan para kimiawan Muslim. Tak heran, bila dunia menabalkan kimiawan Muslim bernama Jabir Ibnu Hayyan sebagai 'Bapak Kimia Modern'."Para kimiawan Muslim adalah pendiri ilmu kimia," cetus Ilmuwan berkebangsaan Jerman di abad ke-18 M. Tanpa tedeng aling-aling, Will Durant dalam he Story of Civilization IV: The Age of Faith, juga mengakui bahwa para kimiawan Muslim di zaman kekhalifahanlah yang meletakkan fondasi ilmu kimia modern. Menurut Durant, kimia merupakan ilmu yang hampir seluruhnya diciptakan oleh peradaban Islam. "Dalam bidang ini (kimia), peradaban Yunani (seperti kita ketahui) hanya sebatas melahirkan hipotesis yang samar-samar," ungkapnya. Sedangkan, peradaban Islam, papar dia, telah memperkenalkan observasi yang tepat, eksperimen yang terkontrol, serta catatan atau dokumen yang begitu teliti.Tak hanya itu, sejarah mencatat bahwa peradaban Islam di era kejayaan telah melakukan revolusi dalam bidang kimia. Kimiawan Muslim telah mengubah teori-teori ilmu kimia menjadi sebuah industri yang penting bagi peradaban dunia. Dengan memanfaatkan ilmu kimia, Ilmuwan Islam di zaman kegemilangan telah berhasil menghasilkan sederet produk dan penemuan yang sangat dirasakan manfaatnya hingga kini. Berkat revolusi sains yang digelorakan para kimiawan Muslim-lah, dunia mengenal berbagai industri serta zat dan senyawa kimia penting. Adalah fakta tak terbantahkan bahwa alkohol, nitrat, asam sulfur, nitrat silver, dan potasium--senyawa penting dalam kehidupan manusia modern--merupakan penemuan para kimiawan Muslim.Revolusi ilmu kimia yang dilakukan para kimiawan Muslim di abad kejayaan juga telah melahirkan teknik-teknik sublimasi, kristalisasi, dan distilasi. Dengan menguasai teknik-teknik itulah, peradaban Islam akhirnya mampu membidani kelahiran sederet industri penting bagi umat manusia, seperti industri farmasi, tekstil, perminyakan, kesehatan, makanan dan minuman, perhiasan, hingga militer. Pencapaian yang sangat fenomenal itu merupakan buah karya dan dedikasi para ilmuwan seperti Jabir Ibnu Hayyan, Al-Razi, Al-Majriti, Al-Biruni, Ibnu Sina, dan masih banyak yang lainnya. Setiap kimiawan Muslim itu telah memberi sumbangan yang berbeda-beda bagi pengembangan ilmu kimia.Jabir (721 M-815 M), misalnya, telah memperkenalkan eksperimen atau percobaan kimia. Ia bekerja keras mengelaborasi kimia di sebuah laboratorium dengan serangkaian eksperimen. Salah satu ciri khas eksperimen yang dilakukannya bersifat kuantitatif. Ilmuwan Muslim berjuluk 'Bapak Kimia Modern' itu juga tercatat sebagai penemu sederet proses kimia, seperti penyulingan/distilasi, kristalisasi, kalnasi, dan sublimasi. Sang ilmuwan yang dikenal di Barat dengan sebutan 'Geber' itu pun tercatat berhasil
menciptakan instrumen pemotong, pelebur, dan pengkristal. Selain itu, dia pun mampu menyempurnakan proses dasar sublimasi, penguapan, pencairan, kristalisasi, pembuatan kapur, penyulingan, pencelupan, dan pemurnian.Berkat jasanya pula, teori oksidasi-reduksi yang begitu terkenal dalam ilmu kimia terungkap. Senyawa atau zat penting seperti asam klorida, asam nitrat, asam sitrat, dan asam asetat lahir dari hasil penelitian dan pemikiran Jabir. Ia pun sukses melakukan distilasi alkohol. Salah satu pencapaian penting lainnya dalam merevolusi kimia adalah mendirikan industri parfum. Ilmuwan Muslim lainnya yang berjasa melakukan revolusi dalam ilmu kimia adalah Al-Razi (lahir 866 M). Dalam karyanya berjudul, Secret of Secret, Al-Razi mampu membuat klasifikasi zat alam yang sangat bermanfaat. Ia membagi zat yang ada di alam menjadi tiga, yakni zat keduniawian, tumbuhan, dan zat binatang. Soda serta oksida timah merupakan hasil kreasinya.Al-Razi pun tercatat mampu membangun dan mengembangkan laboratorium kimia bernuansa modern. Ia menggunakan lebih dari 20 peralatan laboratorium pada saat itu. Dia juga menjelaskan eksperimen-eksperimen yang dilakukannya. "Al-Razi merupakan ilmuwan pelopor yang menciptakan laboratorium modern," ungkap Anawati dan Hill. Bahkan, peralatan laboratorium yang digunakannya pada zaman itu masih tetap dipakai hingga sekarang. "Kontribusi yang diberikan Al-Razi dalam ilmu kimia sungguh luar biasa penting," cetus Erick John Holmyard (1990) dalam bukunya, Alchemy. Berkat Al-Razi pula industri farmakologi muncul di dunia.Sosok kimiawan Muslim lainnya yang tak kalah populer adalah Al-Majriti (950 M-1007 M). Ilmuwan Muslim asal Madrid, Spanyol, ini berhasil menulis buku kimia bertajuk, Rutbat Al-Hakim. Dalam kitab itu, dia memaparkan rumus dan tata cara pemurnian logam mulia. Dia juga tercatat sebagai ilmuwan pertama yang membuktikan prinsip-prinsip kekekalan masa --yang delapan abad berikutnya dikembangkan kimiawan Barat bernama Lavoisier. Sejarah peradaban Islam pun merekam kontribusi Al-Biruni (wafat 1051 M) dalam bidang kimia dan farmakologi. Dalam Kitab Al-Saydalah (Kitab Obat-obatan), dia menjelaskan secara detail pengetahuan tentang obat-obatan. Selain itu, ia juga menegaskan pentingnya peran farmasi dan fungsinya. Begitulah, para kimiawan Muslim di era kekhalifahan berperan melakukan revolusi dalam ilmu kimia.
Seni Membuat Pedang di Era Keemasan Saat Perang Salib itulah, peradaban Barat mulai mencari rahasia teknologi tempa baja yang dikuasai dunia Islam. Tentara Perang Salib menyebut baja yang hebat dari Damaskus itu dengan sebutan Damascus Steel. Teknologi pengolahan besi dan baja Damaskus kesohor karena mampu menempa dan mengeraskan wootz steel menjadi indah dan lentur. Dunia Islam dikenal memiliki kandungan sumber daya alam yang melimpah ruah. Salah satu sumber mineral yang memiliki arti penting dalam sejarah teknologi Islam adalah besi dan baja. Di era kejayaan Islam, berkembang pesat teknologi pengolahan besi dan baja serta seni membuat pedang. Salah satu sentra pembuatan pedang dengan teknologi yang termasyhur di zaman kekhalifahan adalah Damaskus, Suriah. Seni pembuatan pedang dengan teknologi tinggi dalam peradaban Islam dimulai pada abad ke-9 M. Sejarawan Al-Qalqashandi dalam buku berjudul, Subh Al-A’sha, menuturkan pada abad ke-12 M Damaskus menjadi sentra pengolahan besi dan baja yang sangat termasyhur. Pada masa itu, Damaskus berada dalam kekuasaan Dinasti Ayyubiyah. Ibnu Asakir (wafat pada 1177 M) dalam bukunya berjudul, Sejarah Kota Damaskus, juga mengisahkan kota yang sempat menjadi ibu kota Dinasti Umayyah pada abad ke-7 M dan 8 M itu sebagai pusat pembuatan pedang yang kesohor.
Baja Damaskus dikenal sangat keras dan teksturnya yang indah dihiasi ornamen garis bergelombang (firind). Pedang buatan Damaskus yang kerap disebut sebagai pedang Persia sangat lentur dan ulet. Kehebatan pedang dari dunia Islam sempat membuat peradaban Barat terperangah dan terkagum-kagum. Salah satu faktor penyebab kekalahan pasukan Tentara Perang Salib dari Eropa ketika bertempur melawan tentara Muslim adalah peralatan tempur. Selain memiliki kuda-kuda yang tangguh di medan perang, pasukan tentara Muslim juga dilengkapi dengan pedang yang mampu membelah manusia dengan satu kali tebasan. Pedang Persia sungguh sangat mengagumkan. Ia mampu memotong sutra yang dijatuhkan dari udara. Tak cuma itu, pedang buatan Damaskus juga sanggup mematahkan bilah pedang lain atau batu tanpa hilang ketajamannya. Alkisah, saat Perang Salib berkecamuk, Raja Richard The Lionheart sempat memamerkan kehebatan pedangnya kepada Salahudin AlAyubi—panglima pasukan tentara Muslim. Dengan penuh arogan Richard menebaskan pedangnya pada sebuah baja. Dalam satu kali tebas an, pedang Richard ‘Berhati Singa’ mampu membelah baja itu. Salahudin pun tersenyum dan ke mu dian melemparkan kain sutra ke uda ra. Lalu, pedang yang disandang nya dihunuskan. Ketika me nge nai bilah pedang Saladin, kain sutra itu terpotong menjadi dua. Kisah itu menunjukkan betapa pedang yang dibuat peradaban Islam sungguh luar biasa tajamnya. Saat Perang Salib itulah, peradaban Barat mulai mencari rahasia teknologi tempa baja yang dikuasai dunia Islam. Tentara Perang Salib menyebut baja yang hebat dari Damaskus itu dengan sebutan Damascus Steel. Teknologi pengolahan besi dan baja Damaskus kesohor karena mampu menempa dan mengeraskan wootz steel menjadi indah dan lentur. Seni membuat pedang di era kejayaan Islam mendapat perhatian khusus dari peradaban Barat. Secara khusus, Robert Hoyland dan Brian Gilmore menulis buku bertajuk, Medieval Islamic Swords and Swordmaking. Buku setebal 216 halaman itu mengupas risalah yang ditulis ulama Muslim terkemuka pada abad ke-9, M Ya’qub Ibnu Ishaq Al-Kindi, tentang ‘Pedang dan Ragam Jenisnya’. Risalah yang ditulis Al-Kindi itu berisi informasi teknologi pembuatan pedang. Secara khusus, Al- Kindi juga mengklarifikasi beragam jenis besi dan baja untuk membuat pedang. “Pedang itu terbuat dari dua jenis besi, yakni alami (yang ditambang) dan tak alami (buatan),” papar AlKindi. Besi alami, menurut Al-Kindi, terbagi menjadi dua. Ada yang dinamakan Shaburqan atau besi laki-laki—ini adalah jenis besi keras yang diolah dalam kondisi panas. Jenis yang kedua adalah Narmahin atau besi perempuan— ini adalah besi yang lembek yang tak dapat diolah dalam kondisi panas. “Pedang dapat ditempa dari salah satu jenis besi ini atau gabungan keduanya,” ungkap AlKindi. Karena itu, menurut Al- Kindi, pedang yang terbuat dari besi alami terbagi menjadi tiga jenis: shaburqani, narmahani, dan gabungan keduanya. Al-Kindi menyebut besi yang tak alami sebagai fuladh. Besi buatan atau tak alami terbuat dari proses penyulingan dan pemurnian. Besi jenis ini juga dikenal sangat kuat, fleksibel, dan dapat diolah dalam keadaan panas. Al-Kindi membagi kualitas besi ke dalam tiga jenis. “Kualitas besi itu terbagi menjadi tiga macam; antique (kuno), modern, nonantique (tak kuno), dan nonmodern (tak modern). ‘’Pedang dapat ditempa dari semua jenis besi dan baja ini,” ungkap Al-Kindi. Menurut AlKindi, jenis besi atau baja yang paling berkualitas tinggi adalah jenis antique (kuno). “Antique tak ada kaitannya dengan waktu atau usia, namun itu mengindikasikan kemurnian kualitas.” Menurut dia, pedang yang berkualitas tinggi itu terbuat dari besi atau baja jenis antique.
Kualitas pedang antique juga terbagi menjadi tiga jenis. Yang paling berkualitas tinggi dinamakan Yemenite. Kualitas nomor dua disebut Qal’i dan yang ketiga disebut Indian. Pada era kejayaan Islam, pedang-pedang yang dibuat para pandai besi di dunia Islam juga ada yang bahannya diimpor dari Sarandib (kini wilayah Srilanka). Sedangkan pedang asli dari dunia Muslim, besi dan bajanya berasal dari Khurasan, Basrah, Damaskus, Mesir, dan Kufah. Ilmuwan Muslim lainnya yang menguasai teknologi pembuatan pedang adalah Abu Al-Raihan Al- Biruni (973 M-1048 M). Secara khusus, ia menulis kitab berjudul, Al-Jamahir fi ma`rifat aljawahir. Dalam karyanya itu, Al-Biruni menggambarkan proses karbonisasi besi tempa dan pembuatan baja dari besi tuang. Kitab lainnya yang mengupas tentang pembuatan pedang adalah Kitab Al-hadid (Kitab tentang Besi) yang ditulis Al-Jildaki. Ahli kimia asal Mesir itu mengungkapkan begitu banyak informasi seputar tingkat kemampuan masyarakat Muslim di era keemasan dalam pengolahan besi dan baja. Prof Ahmad Y Al-Hassan dalam tulisannya berjudul, The Origin of Damascus Steel In Arabic Sources, mengungkapkan hampir semua pedang di dunia Islam terbuat dari ‘Besi Damaskus’. Salah satu ciri khas pedang dari Damaskus dihiasi dengan pola hias (firind). Menurut Al-Kindi, firind dapat ditemukan dalam semua jenis besi buatan. Sedangkan, pedang yang terbuat dari besi alami tak memiliki pola hias atau firind. Al-Biruni dalam kitabnya Aljamahir secara menarik menjelaskan latar belakang dibalik pembuatan pola hias pada pedang. Besi dalam Alquran Besi mendapat tempat yang khusus dalam kitab suci Alquran. Secara khusus, surat ke-57 mengambil nama Al-Hadidyang berarti besi. Kata Al-Hadiddiambil dari ayat 25 surat tersebut. Dalam ayat itu, Alquran secara jelas mengungkapkan bahwa besi memiliki kekuatan dan sangat bermanfaat bagi manusia. Dengan besi itu, umat Islam bisa menolong agama Allah. “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa buktibukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasulNya, padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa. (QS Al-Hadid: ayat 25).Selain itu, Alquran juga menggambarkan proses pengolahan besi. Dalam surat Al-Khafi (gua) ayat 96 Allah SWT berfirman, “Berilah aku potongan-potongan besi.” Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulkarnain, “Tiuplah (api itu).” Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, dia pun berkata, “Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar aku kutuangkan ke atas besi panas itu”. Teknologi pengolahan besi tampaknya telah dikuasai manusia sejak zaman Nabi Daud AS. Hal itu terungkap dalam surat Al- Anbiyaa’ (Nabi-nabi) ayat 80. Dalam surat itu Allah SWT berfirman, “Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu. Maka, hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah). Fakta lainnya yang menyebutkan pengolahan besi yang telah berkembang di zaman Nabi Daud AS juga dengan diungkapkan dalam surat Saba’ (Kaum Saba) ayat 10. “Dan sesungguhnya telah Kami berikan ke pada Daud karunia dari Kami. (Kami berfirman), “Hai gunung-gunung dan burung-bu rung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud,” dan Kami telah melunakkan besi untuknya.” Dalam surat Saba’ ayat 11, Alquran juga memerintahkan dan menjelaskan cara membuat baju besi. “Buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya, dan kerjakanlah
amalan yang saleh. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan.” Paling tidak, terdapat sembilan ayat dalam Alquran yang membahas dan menjelaskan tentang besi. “Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah Dia ciptakan, dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung, dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya). (QS An-Nahl: ayat 81).
Siwak, Pembersih Gigi Warisan Rasulullah SAW Membersihkan gigi merupakan sunah yang dianjurkan Nabi Muhammad SAW. Rasulullah SAW biasa membersihkan giginya dengan siwak. Dalam hadits dsebutkan Rasulullah SAW biasa menggosok giginya dengan siwak setiap bangun dari tidur. Hudaifah RA meriwayatkan: "Kapan pun Rasulullah SAW bangun dari tidur, ia akan menggosok giginya dengan siwak." (HR Bukhari dan Muslim). Selain setelah bangun tidur, dalam hadits lainnya Nabi Muhammad SAW juga biasa membersihkan giginya dengan siwak sesaat sebelum berwudhu. Aisyah RA meriwayatkan: Kami biasa menyiapkan sebuah siwak dan air untuk wudhu bagi Rasulullah SAW kapan pun Allah menghendaki beliau bangun dari tidur malam, beliau akan mebersihkan giginya dengan siwak, mengambil wudhu, dan lalu mendirikan shalat. (HR Muslim). Bahkan dalam hadits lainnya, Rasulullah SAW secara khusus menyarankan umatnya untuk menggunakan siwak. Anas RA meriwayatkan: Rasulullah SAW bersabda, "Aku menyaran agar kalian menggunakan siwak". (HR Bukhari). Siwak merupakan alat pembersih gigi yang diwariskan Rasulullah SAW bagi umatnya.Bukan tanpa alasan Rasulullah SAW menyarankan umatnya untuk menggunakan siwak berbentuk batang yang diambil dari akar dan ranting segar tanaman arak (salvadora persica). Sebuah penelitian ilmiah pada tahun 2003 membuktikan keunggulan siwak dibandingkan pasta gigi biasa. Kayu siwak memiliki keunggulan karena terbukti mengandung mineral-mineral alami yang dapat membunuh bakteri, menghilangkan plaque, mencegah gigi berlubang serta memelihara gusi. Siwak pun diketahui memiliki kandungan kimiawi yang bermanfaat, seperti Antibacterial acids, seperti astringents, abrasive, dan detergent yang berfungsi untuk membunuh bakteri, mencegah infeksi dan menghentikan pendarahan pada gusi. Selain itu, siwak juga mengandung zat kimia seperti Klorida, Pottasium, Sodium Bicarbonate, Fluoride, Silika, Sulfur, Vitamin C, Trimethyl amine, Salvadorine, Tannins, dan beberapa mineral lainnya yang berfungsi untuk membersihkan gigi, memutihkan dan menyehatkan gigi dan gusi. Siwak pun mengandung minyak aroma alami yang memiliki rasa dan bau yang segar. Zat inilah yang membuat siwak dapat menghilangkan bau pada mulut. Sebagai pasta gigi alami, siwak juga mampu mencegah pembentukan karang gigi. Zat anti pembusukan yang terkandung dalam siwak diyakini dapat menurunkan jumlah bakteri di mulut dan mencegah proses pembusukan.Kelebihan lainnya dari siwak adalah kemampuannya untuk turut merangsang produksi saliva (air liur) lebih. Apalagi saliva merupakan organik mulut yang melindungi dan membersihkan mulut. Atas dasar itulah perusahaan pasta gigi di dunia menyertakan bubuk siwak ke dalam produknya. Pada tahun 1986 dan 2000, organisasi kesehatan se-dunia merekomendasikan penggunaan siwak dalam sebuah konsensus internasional. Dr Otaybi dari Arab Saudi dalam penelitian
yang dilakukannya membuktikan bahwa siwak memberi efek positif bagi sistem kekebalan tubuh. Sungguh mengagumkan.
Teori Relativitas Persamaan Al Kindi dan Einstein 1.100 tahun sebelum Einstein mencetuskan teori relativitas, ilmuwan Muslim di abad ke-9 M telah meletakkan dasardasar teori relativitas, yaitu saintis dan filosof bernama Al-Kindi yang mencetuskan teori itu. Dunia sains modern di awal abad ke-20 M dibuat takjub oleh penemuan seorang ilmuwan Yahudi Jerman bernama Albert Einstein. Fisikawan ini pada 1905 memublikasikan teori relativitas khusus (special relativity theory). Satu dasawarsa kemudian, Einstein yang didaulat majalah Time sebagai tokoh abad XX itu mencetuskan teori relativitas umum (general relativity theory). Teori relativitas itu dirumuskannya sebagai E=mc2. Rumus teori relativitas yang begitu populer menyatakan bahwa kecepatan cahaya adalah konstan. Selain itu, teori relativitas khusus yang dilontarkan Einstein berkaitan dengan materi dan cahaya yang bergerak dengan kecepatan sangat tinggi. Sedangkan, teori relativitas umum menyatakan, setiap benda bermassa menyebabkan ruangwaktu di sekitarnya melengkung (efek geodetic wrap). Melalui kedua teori relativitas itu, Einstein menjelaskan bahwa gelombang elektromagnetis tidak sesuai dengan teori gerakan Newton. Gelombang elektromagnetis dibuktikan bergerak pada kecepatan yang konstan, tanpa dipengaruhi gerakan sang pengamat. Inti pemikiran kedua teori tersebut menyatakan, dua pengamat yang bergerak relatif akan mendapatkan waktu dan interval ruang yang berbeda untuk kejadian yang sama. Meski begitu, isi hukum fisik akan terlihat sama oleh keduanya. Dengan ditemukannya teori relativitas, manusia bisa menjelaskan sifat-sifat materi dan struktur alam semesta. "Pertama kali saya mendapatkan ide untuk membangun teori relativitas, yaitu sekitar tahun lalu 1905. Saya tidak dapat mengatakan secara eksak dari mana ide semacam ini muncul. Namun, saya yakin, ide ini berasal dari masalah optik pada benda-benda yang bergerak," ungkap Einstein saat menyampaikan kuliah umum di depan mahasiswa Kyoto Imperial Uni versity pada 4 Desember 1922. Benarkah Einstein pencetus teori relativi tas pertama? Di Barat sendiri, ada yang meragukan teori relativitas itu pertama kali ditemukan Einstein. Sebab, ada yang berpendapat bahwa teori relativitas pertama kali diungkapkan oleh Galileo Galilei dalam karyanya bertajuk Dialogue Concerning the World's Two Chief Systems pada 1632. Teori relativitas merupakan revolusi dari ilmu matematika dan fisika. Sejatinya, 1.100 tahun sebelum Einstein mencetuskan teori relativitas, ilmuwan Muslim di abad ke-9 M telah meletakkan dasar-dasar teori relativitas, yaitu saintis dan filosof legendaris bernama Al-Kindi yang mencetuskan teori itu. Sesungguhnya, tak mengejutkan jika ilmuwan besar sekaliber Al-Kindi telah mencetuskan teo ri itu pada abad ke-9 M. Apalagi, ilmuwan kelahiran Kufah tahun 801 M itu pasti sangat mengua sai kitab suci Al quran. Sebab, tak di ragukan lagi bahwa ayat-ayat Alquran mengandung pengetahuan yang absolut dan selalu menjadi kun ci tabir misteri yang me liputi alam semesta raya ini.
Aya-ayat Alquran yang begitu menakjubkan inilah yang mendorong para saintis Muslim di era keemasan mampu meletakkan dasar-dasar sains modern. Sayangnya, karya-karya serta pemikiran para saintis Muslim dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi telah ditutuptutupi. Dalam Al-Falsafa al-Ula, ilmuwan bernama lengkap Yusuf Ibnu Ishaq Al- Kindi itu telah mengungkapkan dasardasar teori relativitas. Sayangnya, sangat sedikit umat Islam yang mengetahuinya. Sehingga, hasil pemikiran yang brilian dari era kekhalifahan Islam itu seperti tenggelam ditelan zaman. Menurut Al-Kindi, fisik bumi dan seluruh fenomena fisik adalah relatif. Relativitas, kata dia, adalah esensi dari hukum eksistensi. "Waktu, ruang, gerakan, dan benda, semuanya relatif dan tak absolut," cetus Al-Kindi. Namun, ilmuwan Barat, seperti Galileo, Descartes, dan Newton, menganggap semua fenomena itu sebagai sesuatu yang absolut. Hanya Einstein yang sepaham dengan Al-Kindi. "Waktu hanya eksis dengan gerakan; benda dengan gerakan; gerakan dengan benda," papar Al-Kindi. Selanjutnya, Al-Kindi berkata, "... jika ada gerakan, di sana perlu benda; jika ada sebuah benda, di sana perlu gerakan." Pernyataan AlKindi itu menegaskan bahwa seluruh fenomena fisik adalah relatif satu sama lain. Mereka tak independen dan tak juga absolut. Gagasan yang dilontarkan Al-Kindi itu sama dengan apa yang diungkapkan Einstein dalam teori relativitas umum. "Sebelum teori relativitas dicetuskan, fisika klasik selalu menganggap bahwa waktu adalah absolut," papar Einstein dalam La Relativite. Menurut Einstein, pendapat yang dilontarkan oleh Galileo, Descartes, dan Newton itu tak sesuai dengan definisi waktu yang sebenarnya. Menurut Al-Kindi, benda, waktu, gerakan, dan ruang tak hanya relatif terhadap satu sama lain, namun juga ke objek lainnya dan pengamat yang memantau mereka. Pendapat Al-Kindi itu sama dengan apa yang diungkapkan Einstein. Dalam Al-Falsafa al-Ula, Al-Kindi mencontohkan, seseorang melihat sebuah objek yang ukurannya lebih kecil atau lebih besar menurut pergerakan vertikal antara bumi dan langit. Jika orang itu naik ke atas langit, dia melihat pohon-pohon lebih kecil. Jika dia bergerak ke bumi, dia melihat pohon-pohon itu jadi lebih besar. "Kita tak dapat mengatakan bahwa sesuatu itu kecil atau besar secara absolut. Tetapi, kita dapat mengatakan bahwa itu lebih kecil atau lebih besar dalam hubungan kepada objek yang lain," tutur Al- Kindi. Kesimpulan yang sama diungkapkan Einsten sekitar 11 abad setelah Al- Kindi wafat. Menurut Einstein, tak ada hukum yang absolut dalam pengertian hukum tak terikat pada pengamat. Sebuah hukum, papar dia, harus dibuktikan melalui pengukuran. Al-Kindi menyatakan, seluruh fenomena fisik, seperti manusia menjadi dirinya, adalah relatif dan terbatas. Meski setiap manusia tak terbatas dalam jumlah dan keberlangsungan, mereka terbatas; waktu, gerakan, benda, dan ruang yang juga terbatas. Einstein lagi-lagi mengamini pernyataan Al-Kindi yang dilontarkannya pada abad ke-11 M. "Eksistensi dunia ini terbatas meskipun eksistensi tak terbatas," papar Einstein. Dengan teori itu, Al-Kindi tak hanya mencoba menjelaskan seluruh fenomena fisik. Namun, juga dia membuktikan eksistensi Tuhan. Karena, itu adalah konsekuensi logis dari teorinya. Di akhir hayatnya, Einsten pun mengakui eksistensi Tuhan. Teori relativitas yang diungkapkan kedua ilmuwan berbeda zaman itu pada dasarnya sama. Namun, penjelasan Einstein telah dibuktikan dengan sangat teliti. Bahkan, teori relativitasnya digunakan untuk pengembangan energi, bom atom, dan senjata nuklir pemusnah massal. Sedangkan, Al-Kindi mengungkapkan teorinya untuk membuktikan eksistensi Tuhan dan keesaan-Nya. Sayangnya, pemikiran cemerlang sang saintis Muslim tentang teori relativitas itu itu tak banyak diketa hui. Sungguh sangat ironis, memang. Si Jenius dari Abad IX
Al-Kindi atau Al-Kindus adalah ilmuwan jenius yang hidup di era kejayaan Islam Baghdad. Saat itu, panji-panji kejayaan Islam dikerek oleh Dinasti Abbasiyah. Tak kurang dari lima periode khalifah dilaluinya, yakni Al-Amin (809-813), Al-Ma'mun (813- 833), Al-Mu'tasim, AlWasiq (842-847), dan Mutawakil (847-861). Kepandaian dan kemampuannya dalam menguasai berbagai ilmu, termasuk kedokteran, membuatnya diangkat menjadi guru dan tabib kerajaan. Khalifah juga mempercayainya untuk berkiprah di Baitulhikmah yang kala itu gencar menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dari berbagai bahasa, seperti Yunani. Ketika Khalifah Al-Ma'mun tutup usia dan digantikan putranya, Al-Mu'tasim, posisi Al-Kindi semakin diperhitungkan dan mendapatkan peran yang besar. Dia secara khusus diangkat menjadi guru bagi putranya. Al-Kindi mampu menghidupkan paham Muktazilah. Berkat peran Al-Kindi pula, paham yang mengutamakan rasionalitas itu ditetapkan sebagai paham resmi kerajaan. Menurut Al-Nadhim, selama berkutat dan bergelut dengan ilmu pengetahuan di Baitulhikmah, Al-Kindi telah melahirkan 260 karya. Di antara sederet buah pikirnya itu telah dituangkan dalam risalah-risalah pendek yang tak lagi ditemukan. Karya-karya yang dihasilkannya menunjukan bahwa Al-Kindi adalah seorang yang berilmu pengetahuan yang luas dan dalam. Ratusan karyanya itu dipilah ke berbagai bidang, seperti filsafat, logika, ilmu hitung, musik, astronomi, geometri, medis, astrologi, dialektika, psikologi, politik, dan meteorologi. Bukunya yang paling banyak adalah geometri sebanyak 32 judul. Filsafat dan kedokteran masingmasing mencapai 22 judul. Logika sebanyak sembilan judul dan fisika 12 judul. RELATIVITAS dalam Alquran Alam semesta raya ini selalu diselimuti misteri. Kitab suci Alquran yang diturunkan kepada umat manusia merupakan kuncinya. Allah SWT telah menjanjikan bahwa Alquran merupakan petunjuk hidup bagi orang-orang yang bertakwa. Untuk membuka selimut misteri alam semesta itu, Sang Khalik memerintahkan manusia agar berpikir. Berikut ini adalah beberapa ayat Alquran yang membuktikan teori relativitas itu. ".... Sesungguhnya, sehari di sisi Tuhanmu seperti seribu tahun dari tahuntahun yang kamu hitung." (QS Alhajj: 47). "Dia mengatur urusan langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu." (QS Assajdah: 5). "Yang datang dari Allah, yang mempunyai tempat-tempat naik. Malaikatmalaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun." (QS 70: 3-4). "Dan, kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya. Padahal, ia berjalan sebagaimana jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS Annaml: 88). "Allah bertanya, 'Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?' Mereka menjawab, 'Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari. Maka, tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung.' Allah berfirman, 'Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui'." (QS 23: 122-114).
2008-09-18 10:17:00
Melacak Warisan Islam di Tiongkok Sebuah kabar tak sedap berembus dari Negeri Tirai Bambu. Umat Islam di Xinjiang--sebuah daerah otonom yang berbatasan dengan Tibet--dilarang otoritas Cina untuk menunaikan shalat Tarawih berjamaah di bulan Ramadhan. Tak cuma itu, mengunakan jilbab bercadar dan sorban pun menjadi hal terlarang bagi delapan juta umat Muslim Uighur yang tinggal di wilayah barat daya Xinjiang, Republik Rakyat Cina (RRC), itu. Perlakuan diskriminatif terhadap umat Islam itu tentu saja sungguh sangat tak adil. Padahal, umat Islam yang tinggal di negeri itu sejak abad ke-7 M telah menyumbangkan sederet warisan penting bagi peradaban bangsa Cina. Sejarah mencatat, Islam yang dikenal sebagai Yisian Jiabao (agama yang murni) juga telah memberi pengaruh dalam kehidupan masyarakat Tiongkok yang multietnis. Peradaban Islam di Cina mulai memiliki pengaruh yang kuat dalam berbagai aspek kehidupan pada era kekuasaan Dinasti Mongol Yuan (1274 M-1368 M). Dikuasainya sebagian besar wilayah Eurasia pada abad ke-13 M telah membawa dampak yang luas bagi tradisi Cina dan Persia. Ketika itu, dua peradaban berbaur menjadi satu dalam satu kekaisaran. Penguasa Dinasti Mongol Yuan mengangkat status imigran Muslim menjadi Cina Han. Dinasti Yuan pun mendatangkan ratusan ribu imigran Muslim dari wilayah Barat dan Asia Tengah untuk memperluas wilayah dan pengaruh kekaisaran. Di era itulah, umat Islam memberi pengaruh yang begitu besar dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat Cina. Anthony Garnaut, seorang pakar hubungan antara Cina dengan kebudayaan Islam dalam tulisannya berjudul,The Islamic Heritage in China: A General Survey, memaparkan sumbangan Islam di negeri itu. ''Islam telah memberi pengaruh yang cukup besar dalam teknologi, ilmu pengetahuan, filsafat, dan seni di Cina,'' papar Garnaut. Menurut Garnaut, salah satu pengaruh umat Islam yang paling tampak di Cina adalah dalam bidang arsitektur. Peradaban Islam banyak memberi warna dalam motif hiasan serta kaligrafi. Menurut catatan sejarah, bangunan masjid pertama kali dibangun pada abad ke-7 M di era kekuasaan Dinasti Tang (618 M-907 M). Uniknya, arsitektur bangunan masjid ini mengikuti arsitektur tradisional Cina. Paling tidak ada tiga jenis arsitektur masjid di dataran Cina. Di bagian barat Cina, arsitektur masjid menggunakan elemen-lemen seperti yang digunakan di bagian dunia yang lain. Salah satu cirinya; memiliki menara dan kubah. Namun, di belahan timur Cina, bangunan masjid justru tampak seperti pagoda. Sedangkan di barat laut Cina, masjid Muslim Uighur memadukan arsitektur Timur dan Barat. Saat ini, tak kurang terdapat 45 ribu masjid di Cina. Lima masjid yang paling populer di antaranya; Masjid Niujie yang berada di Beijing dibangun pada 996 M; Masjid Huaisheng di Guangzhou; Masjid Kowloon dan Islamic Center di Kowloon, Hong Kong, dibangun pada 1896; Masjid Id Kah di Kashgar Xinjiang; serta Masjid Agung Xi'an di Xi'an, Shaanxi. Arsitektur bangunan masjid di Cina dikenal dengan keindahannya. Peninggalan Islam lainnya yang masih bertahan di negeri Tiongkok itu adalah makam dua dari empat sahabat Rasulullah SAW yang berada di kaki Gunung Lingshan. Tempat itu dikenal sebagai "Makam Suci" tempat Sa-Ke-Zu dan Wu-Ko-Shun, dua sahabat Nabi Muhammad, dimakamkan. Mereka adalah orang pertama yang menyebarkan agama Islam di Cina. Hingga kini, makam itu masih tetap terpelihara. Salah satu jasa penting peradaban Islam lainnya di era kekuasaan Dinasti Yuan adalah pembangunan kota bernama Khanbaliq. Kota itu dibangun oleh para seniman dan insinyur serta tukang batu yang didatangkan dari negeri-negeri Islam di Asia Tengah. Selain itu, seorang insinyur Muslim bernama Amir al-Din juga tercatat telah mendesain Pulau Qionghua kini berada di sekitar danau Taman Beihai di pusat Kota Beijing.
Peradaban Cina juga mengenal tulisan indah yang dikenal di dunia Muslim sebagai kaligrafi. Seni menulis indah khas Islam itu di Cina dikenal dengan nama Sini. Karya-karya Sini itu banyak digunakan di masjid-masjid yang berada di timur Cina. Seniman kaligrafi Sini terkemuka bernama Hajji Noor Deen Mi Guangjiang. Selain itu, peradaban Islam sempat memegang peran penting dalam pemerintahan di negeri Tirai Bambu. Di era kekuasaan Dinasti Ming, umat Muslim pun masih memiliki pengaruh yang kuat di lingkaran pemerintahan. Pendiri Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang, adalah jenderal Muslim terkemuka, termasuk Lan Yu Who. Pada 1388 M, Lan memimpin pasukan Dinasti Ming dan menundukkan Mongolia. Tak lama setelah itu, muncul Laksamana Cheng Ho--seorang pelaut Muslim andal. Menurut Garnaut, perdaban Islam juga telah memberi pengaruh dalam dunia kedokteran Cina. Umat Islam di negeri itu telah memelopori pendirian rumah sakit pertama, hu yah wo yuan, pada 1277 M. Selain itu, buku kedokteran Cina yang direvisi pada era kekuasaan Dinasti Song pada 1056 M dan 1107 M banyak mengambil dari buku kedokteran yang ditulis Ibnu Sina. Yang tak kalah penting, Islam pun cukup dominan memengaruhi seni kuliner Cina yang dikenal dengan aneka masakannya yang lezat. "Makanan halal yang bisa diterapkan umat Islam sejak dahulu masih cukup berpengaruh," papar Garnaut, ilmuwan alumnus Australian National University, di Melbourne itu. Dalam bidang seni kuliner, masakan halal tak terlalu sulit untuk ditemukan di kota-kota besar di Cina. Sebab, banyak restoran maupun tempat makan di Cina yang dikelola orang Muslim. Bahkan, sudah ada provinsi yang mengeluarkan sertifikat makanan beku yang halal, yakni dari Provinsi Jiangsu. Garnaut juga memaparkan bahwa budaya menulis juga merupakan salah satu warisan peninggalan peradaban Islam di daratan Cina. Aneka macam peninggalan budaya itu masih bertahan hingga sekarang. Dalam bidang astrologi dan astronomi, peradaban Islam juga sangat besar pengaruhnya di Cina. Prof Li Hua Ying dalam tulisannya bertajuk, ,Islamic Heritage of Muslims in China menambahkan, pada abad ke-17 M, Islam masih memberi pengaruh yang besar bagi masyarakat di daratan. "Umat Muslim bersama dengan suku Han telah membantu Cina pada masa-masa senang dan susah," papar Prof Li. Umat Islam, papar Li, juga telah turut berjasa mewujudkan perdamaian di wilayah perbatasan. Prof Li juga menilai, umat Islam di Cina pada abad ke-17 M juga sangat berjasa memperbaiki perekonomian dan mengembangkan pengetahuan keagamaan. Pada era itu, buku-buku Islam tentang linguistik, filsafat, fikih, akhlak, sejarah, dan pemikiran serta tradisi Cina dalam bahasa klasik Han begitu banyak diterbitkan. "Penulis seperti Ma Chu (1640 M-1711 M), Leo Tse (1660 M-1730 M), dan Chang Chung (1584 M-1670 M) dengan produktif menghasilkan karya-karyanya, tak hanya menerjemahkan dari bahasa Arab dan Persia," ungkap Prof Li. Buku-buku Islami itu lalu disinkronisasi dengan sistem pengajaran dan filosofi Confucius. Para sarjana Muslim seperti Wang Dai Yu dan Liu Tsi di era kekuasaan Dinasti Ming dan Chen, telah memberi pengaruh pada pemikiran filasafat Cina.